Anda di halaman 1dari 46

REVIEW GENERAL TEORI SASTRA KONTEMPORER

MAKALAH

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur Mata Kuliah Teori Sastra
Kontemporer
Dosen Pengampu: Khomisah, MA

Disusun Oleh:

Dian Indri agistiani 12050200


Fitri Handayani 1205020202
Ilma Limaatul Ashfiya 12050200

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

2022
KATA PENGANTAR

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

P uji syukur kehadirat Allah S WT yang telah memberikan rahmat


s erta k a r u n i a - N y a sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah
t e n t a n g r e v i e w g e n e r a l T e o r i S a a t r a Kontemporer yang merupakan tugas
matakuliah teori Sastra Kontemporer . K ami berharap semoga makalah ini
dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu
diharapkan agar kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga
kedepannya dapat lebih baik.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
telahberperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal hingga akhir. Semoga
AllahSWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

Bandung,13 Desember 2022


Kelompok 12
DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Pengertian Teori Strukturalisme?
2. Apa Pengertian Teori Semiotika
3. Apa Pengertian Teori Resepsi Sastra
4. Apa Pengertian Teori Psikoanalisis
5. Apa Pengertian Teori Feminisme dan Pasca Feminisme
6. Apa Pengertian Teori Ekranisasi dan Musikologi

C. TUJUAN PENELITIAN
1. Mengetahui Pengertian Teori Strukturalisme?
2. Mengetahui Teori Semiotika
3. Mengetahui Teori Resepsi Sastra
4. Mengetahui Teori Psikoanalisis
5. Mengetahui Teori Feminisme dan Pasca Feminisme
6. Mengetahui Teori Ekranisasi dan Musikologi
BAB II
PEMBAHASAN

A. Strukturalisme
Secara definitif, strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur.
Hubungan tersebut tidak hanya bersifat positif, seperti keselarasan, kesesuaian, dan
kesepahaman. Melainkan pula negatif, seperti konflik dan pertentangan. Teori
strukturalisme sastra merupakan sebuah teori pendekatan terhadap teks-teks sastra
yang menekankan keseluruhan relasi antara berbagai unsur teks. Unsur-unsur teks
secara berdiri sendiri tidaklah penting. Unsur-unsur itu hanya memperoleh artinya di
dalam relasi. Relasi-relasi yang dipelajari dapat berkaitan dengan mikroteks (kata,
kalimat), keseluruhan yang lebih luas (bait, bab), maupun intertekstual (karya-karya
lain dalam periode tertentu). Relasi tersebut dapat berwujud ulangan, gradasi, ataupun
kontras dan parodi. Dengan demikian, teori struktural adalah suatu disiplin yang
memandang karya sastra sebagai suatu struktur yang terdiri atas beberapa unsur yang
saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya.
Strukturalisme dianggap sebagai mementingkan objek dengan konsekuensi
menolak, bahkan ‘mematikan’ subjek pencipta. Oleh karena itulah strukturalisme
dianggap sebagai anti-humanis. Strukturalisme juga dianggap melepaskan karya dari
sejarah sastra dan sosial budaya yang justru merupakan asal-usulnya. Lahirnya
strukturalisme dinamik didasarkan atas kelemahan-kelemahan strukturalisme.
Strukturalisme dinamik dimaksudkan sebagai penyempurnaan strukturalisme yang
semata-mata memberikan intensitas terhadap struktur intrinsik, yang dengan
sendirinya melupakan aspek-aspek ekstrinsiknya. Strukturalisme dinamis mula-mula
dikemukakan oleh Mukarovsky dan Felik Vodicka. Menurutnya, karya sastra adalah
proses komunikasi, fakta semiotik, terdiri atas tanda, struktur, dan nilai-nilai. Karya
seni adalah petanda yang memperoleh makna dalam kesadaran pembaca. Oleh karena
itulah karya seni harus dikembalikan pada kompetensi penulis, masyarakat yang
menghasilkannya, dan pembaca sebagai penerima.

5
Secara definitif strukturalisme memberikan perhatian terhadap analisis unsur-
unsur karya. Setiap karya sastra, baik karya sastra dengan jenis yang sama maupun
berbeda, memiliki unsur-unsur yang berbeda. Di samping sebagai akibat ciri-ciri
inheren tersebut, perbedaan unsur juga terjadi sebagai akibat dari perbedaan proses
resepsi pembaca. Dalam hubungan inilah karya sastra dikatakan sebagai memiliki ciri-
ciri yang khas, otonom, tidak bisa digeneralisasikan. Setiap penilaian akan
memberikan hasil yang berbeda. Meskipun demikian perlu dikemukakan unsur-unsur
pokok yang terkandung dalam ketiga jenis karya, yaitu: prosa, puisi, dan drama.
a. Unsur-unsur prosa, diantaranya: tema, peristiwa atau kejadian, latar atau setting,
penokohan atau perwatakan, alut atau plot, sudut pandang, dan gaya bahasa.
b. Unsur-unsur puisi, diantaranya: tema, stilistika atau gaya bahasa, imajinasi atau
daya bayang, ritme atau irama, rima atau persajakan, diksi atau pilihan kata,
simbol, nada, dan enjambemen.
c. Unsur-unsur drama, dalam hubungan ini drama teks, di antaranya: tema, dialog,
peristiwa.
Sekalipun demikian, teori strukturalisme yang hanya menekankan otonomi dan
prinsip objektivitasnya pada struktur karya sastra memiliki beberapa kelemahan
pokok, yaitu: 1) Karya sastra diasingkan dari konteks dan fungsinya sehingga sastra
kehilangan relevansi sosialnya, tercabut dari sejarah dan terpisahkan dari
permasalahan manusia. 2) Karya sastra tidak dapat diteliti dalam rangka konvensi-
konvensi kesusastraan sehingga pemahaman kita mengenai genre dan sistem sastra
sangat terbatas.
Selain itu, kelemahan terbesar dari strukturalisme adalah sifatnya yang
sinkronistis. Sebuah karya sastra dianggap sebagai sebuah dunia tersendiri yang
terlepas dari dunia lainnya. Padahal, sebuah karya sastra adalah cermin zamannya.
Artinya, karya sastra yang dihasilkan seorang pengarang pada suatu kurun waktu
tertentu merupakan gambaran dari kondisi kehidupan yang terdapat dalam kurun
waktu tersebut. Di dalamnya terdapat gambaran tentang situasi sosial, politik,
ekonomi dan kebudayaan dari kurun waktu (zaman) tersebut. Strukturalisme
mengabaikan semua itu. Strukturalisme hanya "bermain-main" dengan bangunan
bentuk dari sebuah karya sastra semata-mata. Aspek-aspek kesejarahan dari sebuah
karya sastra tidak dibenarkan untuk dijadikan acuan dalam melakukan analisis.
Dapatlah dipahami jika teori strukturalisme diposisikan sebagai teori sastra yang a-
historis. Seorang pengarang tidaklah menulis dalam sebuah ruang kosong. Ia menulis

6
dalam sebuah ruang yang di dalamnya penuh dengan berbagai persoalan kehidupan.
Persoalan-persoalan itu tentulah mempengaruhi alam pikiran pengarang ketika
membuat karangannya. Kondisi itu diabaikan oleh teori strukturalisme.

B. Semiotika
1. Pengertian Semiotika
Secara etimologi, istilah semiotik dan semiotika berasal dari bahasa
Yunani semeon yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri di definisikan sebagai dasar
atas suatu konvensi sosial yang terbangun sebelumnya yang dapat dianggap
mewakili sesuatu yang lain. Tanda pada awalnya dimaknai sebagai suatu hal yang
menunjuk pada adanya hal lain. Secara terminologis semiotik dapat di definisikan
sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa
seluruh kebudayaan sebagai tanda.
Van Zoest mengartikan semiotik sebagai “ilmu tanda (sign) dan segala
yang berhubungan dengannya; cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain,
pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakan”.
Charles S. Peirce dalam Hawkes mengungkapkan bahwa batasan semiotika
adalah dalam pengertiannya yang umum, logika sebagaimana yang saya yakini
dan saya tunjukan merupakan nama lain dari semiotika, yaitu doktrin tanda yang
“pura-pura penting” atau doktrin tanda yang formal. Lebih lanjut Peirce
menjelaskan bahwa yang dimaksud doktrin tanda adalah yang lahir dari
pengamatan kita terhadap sifat-sifat tanda yang betul-betul kita ketahui.
Pengamatan tersebut kita sebut suatu abstaksi. Kita dapat mengatakan bahwa
pengamatan tersebut bisa saja salah. Untuk itu, pada pengertian lain kita
tambahkan kata “tidak penting” untuk sesuatu yang mesti menjadi sifat-sifat
semua tanda yang digunakan oleh intelegensi saintifik (kecerdasan ilmu
pengetahuan) atau kecerdasan untuk dapat belajar lewat pengalaman.
Ferdinand de Saussure mendefinisikan semiologi sebagai suatu ilmu yang
mengkaji tanda-tanda dalam kehidupan sosial. Ilmu ini merupakan bagian dari
psikologi sosial. Sedangkan linguistik merupakan cabang dari semiologi.
Dari definisi-definisi diatas, para ahli sepakat bahwa semiotika adalah ilmu
yang mengkaji tanda.

7
2. Cabang Semiotika
Semiotika berkaitan erat dengan bidang lingusitik, yang sebagian untuk
mempelajari struktur dan makna bahasa yang lebih spesifik. Hanya saja, berbeda
dengan linguistik, semiotika juga mempelajari tentang sistem-sistem tanda non
linguistik. Oleh Charles Morris, semiotika dibagi menjadi tiga cabang:
a. Semantik, merupakan bagian dari semiotika yang mempelajari hubungan antara
tanda-tanda dengan designate atau objek-objek yang diacunya. Designate
menurut Charles Morris adalah makna tanda-tanda sebelum digunakan di dalam
tuturan tertentu.
b. Sintaksis, merupakan bagian dari semiotika yang mempelajari hubungan formal
antara satu tanda dengan tanda-tamda yang lain. Hubungan formal ini
merupakan kaidah-kaidah yang mengendalikan turunan dan interprestasi.
c. Pragmatik, merupakan bagian semiotika yang mempelajari hubungan antara
tanda-tanda dengan interpreter-interpreter atau para pemakainya. Pragmatik
secara khusus berkaitan dengan aspek-aspek komunikasi, khususnya situasional
yang melatari tuturan.

3. Manfaat Semiotika
Pada dasarnya manfaat semiotika adalah untuk menggali ide (concept) atau
makna (signified atau signifier) yang berada di balik tanda. Jika bahasa merupakan
tanda yang paling penting, maka semiotika sangat berguna untuk tanda-tanda
kebahasaan (linguistik) yang ada pada karya sastra serta kitab suci seperti Al-
Qur`an.
Art Van Zoest (1993: 55-56) mengungkapkan dua manfaat semiotika,
yaitu:
a. Manfaat teoritis, yaitu semiotika digunakan untuk membantu merumuskan
teori-teori semiotika. Para perumus tersebut diantaranya dokter, arsitek,
sejarawan seni, ahli bahasa, mahasiswa sastra, ahli tropologi budaya dan lain
sebagainya.
b. Manfaat praktis (terapan), yaitu semiotika yang telah diterapkan pada bidang-
bidang tertentu yang hasilnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat umum.

4. Tokoh-Tokoh Semiotika
a. Ferdinand de Saussure

8
Dikenal sebagai Bapak semiotika modern yang membagi relasi antara
penanda (signifier) dan petanda (signified) berdasarkan konvensi yang disebut
dengan signifikasi. Menurut Saussure, semiotika adalah kajian yang
membahas tentang tanda dalam kehidupan sosial dan hukum yang
mengaturnya. Beliau sangat menekankan bahwa tanda itu memiliki makna
tertentu karena sangat dipengaruhi oleh peran bahasa.
b. Charles Sanders Pierce
Menurut Pierce, tanda dalam semiotika akan selalu berkaitan dengan
logika, terutama logika manusia untuk menalar adanya tanda-tanda yang
muncul di sekitarnya. Pierce membagi tanda atas tiga hal yaitu representamen,
interpretan, dan objek.
c. Roland Barthes
Barthes juga termasuk dalam jajaran tokoh besar di dunia semiotika.
Menurutnya, semiotika adalah ilmu yang digunakan untuk memaknai suatu
tanda, yang mana bahasa juga merupakan susunan atas tanda-tanda yang
memiliki pesan tertentu dari masyarakat. Tanda disini juga dapat berupa lagu,
dialog, not musik, logo, gambar, mimik wajah, hingga gerak tubuh.

C. Resepsi Sastra
1. Pengertian Resepsi Sastra
Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meneliti teks sastra dengan
mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan. Dalam
memberikan sambutan dan tanggapan tentunya dipengaruhi oleh faktor ruang,
waktu, dan golongan sosial. Secara definitif resepsi sastra berasal dari bahasa
Latin, yaitu recipere, dan dalam Bahasa Inggris, yaitu reception yang berarti
sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi
didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya
sehingga dapat memberikan respon terhadapnya. Hal ini sejalan dengan pendapat
Pradopo bahwa resepsi sastra adalah estetika (ilmu keindahan) yang mengacu
kepada tanggapan atau resepsi pembaca karya sastra dari waktu ke waktu.
Endraswara mengemukakan bahwa resepsi berarti menerima atau
penikmatan karya sastra oleh pembaca. Resepsi merupakan aliran yang meneliti
teks sastra dengan bertitik tolak kepada pembaca yang memberi reaksi atau
tanggapan terhadap teks itu. Menurut Junus ada dua tanggapan yang mugkin

9
diberikan pembaca, yaitu tanggapan pasif dan tanggapan aktif. Tanggapan pasif
diartikan bagiamana pembaca memahami sebuah karya sastra. Sedangkan
tanggapan aktif ialah bagaimana pembaca merealisasikan apa yang telah dibaca.
Oleh karena itu, pengertian resepsi sastra sangatlah luas sesuai penggunaannya.

2. Metode Penerapan Resepsi Sastra


Metode resepsi sastra mendasarkan diri pada teori bahwa karya sastra itu
sejak terbitnya selalu mendapat tanggapan dari pembacanya. Menurut Jauss,
apresiasi pembaca pertama terhadap sebuah karya sastra akan dilanjutkan dan
diperkaya melalui tanggapan-tanggapan yang lebih lanjut dari generasi ke
generasi.
Tugas resepsi ialah meneliti tanggapan pembaca yang berbentuk
interprestasi, konkretisasi, ataupun kritik atas karya sastra yang dibaca.
Tanggapan-tanggapan tersebut dapat dipengaruhi beberapa faktor, seperti latar
belakang sosial budaya, tingkat pendidikan pembaca, tingkat pengalaman, dan
usia pembaca. Sehingga apabila pembaca memiliki pengetahuan yang luas tentang
kehidupan, pastilah akan sempurna dalam menjelaskan konkretisasi tersebut.
Konkretisasi yang tidak didasarkan pada stuktur teks dan strukur sistem nilai
dipandang tidak relevan.
Berdasarkan kemunculan tanggapan, metode penelitian resepsi sastra dapat
dibedakan menjadi dua, antara lain:
a. Metode Resepsi Sinkronis
Penelitian resepsi dengan metode sinkronis adalah penelitian resepsi
sastra yang menggunakan tanggapan pembaca sezaman, artinya pembaca yang
digunakan sebagai responden berada dalam satu periode waktu. Penelitian
resepsi dengan metode ini dapat dilakukan dengan cara menganalisis
tanggapan pembaca sezaman dengan menggunakan teknik wawancara maupun
teknik kuisioner. Oleh karena itu, penelitian resepsi sinkronis ini disebut
sebagai penelitian eksperimental.
b. Metode Resepsi Diakronik
Penelitian resepsi sastra dengan metode diakronis merupakan penelitian
resepsi sastra yang dilakukan terhadap tanggapan-tanggapan pembaca dalam
beberapa periode, yang masih berada dalam satu rentang waktu. Umumnya
penelitian resepsi diakronis dilakukan atas tanggapan pembaca yang berupa

10
kritik sastra, baik yang termuat dalam media massa maupun dalam jurnal
ilmiah.
Penelitian resepsi diakronis yang melihat bentuk fisik teks yang muncul
sesudahnya dapat dilakukan melalui hasil intertekstual, penyalinan,
penyaduran, maupun penerjemahan. Intertekstual merupakan fenomena resepsi
pengarang dengan melibatkan teks yang pernah dibacanya dalam karya
sastranya. Hasil intertekstual, penyalinan, penyaduran, maupun penerjemahan
ini dapat dilakukan atas teks sastra lama maupun sastra modern.
Dalam metode diakronis ini, peneliti juga dapat menerapkan teori lain,
seperti teori intertekstualitas, teori sastra bandingan, teori filologi, dan
beberapa teori lain yang mendukung penelitian resepsi diakronis. Hal ini
umumnya diterapkan dalam penelitian karya sastra turunan.
Kelebihan dari penelitian resepsi diakronis adalah kemudahan peneliti
dalam mencari data, yaitu tanggapan pembaca ideal terhadap suatu karya
sastra. Sehingga peneliti tidak harus bersusah payah mencari data dengan
teknik wawancara maupun kuasioner pada responden.
Kelemahan penelitian resepsi diakronis akan dirasakan oleh para
peneliti pemula. Umumnya peneliti pemula akan mengalami kesulitan dalam
menentukan karya sastra yang dijadikan objek penelitian. Karena umumnya
karya sastra yang dikenal banyak orang telah diteliti resepsinya oleh peneliti-
peneliti terdahulu.

D. FEMINISME DAN POST FEMINISME

Feminisme adalah serangkaian gerakan sosial, gerakan politik, dan


ideologi yang memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mendefinisikan,
membangun, dan mencapai kesetaraan gender di lingkup politik, ekonomi,
pribadi, dan sosial. Feminisme menggabungkan posisi bahwa masyarakat
memprioritaskan sudut pandang laki-laki, dan bahwa perempuan diperlakukan
secara tidak adil di dalam masyarakat tersebut. Upaya untuk mengubahnya
termasuk dalam memerangi stereotip gender serta berusaha membangun
peluang pendidikan dan profesional yang setara dengan laki-laki. Beberapa
cendekiawan menganggap kampanye feminis sebagai kekuatan utama di balik
perubahan sosial utama dalam sejarah terhadap hak-hak perempuan,
11
khususnya di Barat, di mana mereka hampir secara universal dihargai atas
pencapaian hak pilih perempuan, bahasa netral gender, hak reproduksi bagi
perempuan (termasuk akses terhadap kontrasepsi dan aborsi, serta hak untuk
memasuki kontrak dan memiliki properti. Banyak gerakan dan ideologi
feminis yang telah berkembang selama tahun-tahun terakhir ini serta mewakili
berbagai sudut pandang dan tujuan.
Patriarki merupakan penyebab utama lahirnya feminisme pada
pemikiran-

pemikiran perempuan. Patriarki didefinisikan sebagai garis lurus vertikal di


mana ujung garis tersebut ditempati oleh gender maskulin atau laki-laki.
Sehingga, segala sesuatunya harus mendapat izin dari laki-laki yang berkuasa
terlebih dahulu. Menanggapi patriarki dalam feminis, komunitas pegiat
feminisme di Yogyakarta bernama Femjoy memberikan keterangannya.

12
Kita tidak bisa menafikan karena patriarki akan susah hilang. Maka dari
itu muncul feminisme radikal untuk melawan dominasi tersebut. Perempuan
juga punya peran yang besar, dalam sejarah, diketahui bahwa laki-laki
berburu. Namun, sudah dikaji perempuanlah yang mengelola segalanya.
Menjadi setara bukan berarti perempuan harus berburu juga namun lebih
kepada apakah kita dapat tempat yang sama untuk memperjuangkan sesuatu.
Patriarki dianggap selalu berkoalisi dengan sistem kapitalisme. Sistem
yang dianggap bergabung tersebut dianggap merugikan. Kapitalisme
dipandang mendapat keuntungan dari seks diskriminasi melalui upah buruh
atau pekerja yang murah. Tidak hanya perempuan, bahkan laki-laki pun bisa
tertindas oleh sistem kapitalisme. Selanjutnya, perwakilan Femjoy ini
menambahkan bahwa tidak semua laki-laki itu patriarkis dan tidak semua
perempuan itu feminis.
Feminisme di Indonesia melibatkan nama Kartini sebagai pencetus
gerakan emansipasi pada masanya. Kartini yang merasa bahwa perempuan
bukan hanya sekedar objek pingitan yang tidak layak bersekolah lebih tinggi,
lantas mencurahkan segala perasaan dan kegelisahannya kepada teman
penanya. Habis Gelap Terbitlah Terang merupakan jembatan untuk
memahami pemikiran dan kegelisahaan Kartini pada masa itu. Setiap tulisan
Kartini menyampaikan maksud kritis yang akhirnya dapat membuka
pemikiran orang-orang, terutama kaum perempuan. Feminisme di Indonesia
bukan saja persoalan paham yang terlalu menjunjung tinggi kesetaraan
gender. Feminisme berkutat pada suatu sudut pandang dimana emansipasi
dijadikan sebagai tujuan khususnya. Tidak menutup kemungkinan, emansipasi
dan feminisme dapat saling mendukung satu sama lain. Hal yang jelas adalah
keduanya menuntut kesetaraan dan keadilan gender.

A. Post Feminisme

Postfeminisme merupakan pandangan lanjutan dari feminisme


konvensional. Postfeminisme memiliki perbedaan mendasar dengan
feminisme (konvensional) yang cenderung melihat segala ketidakseimbangan

13
dari hubungan laki-laki dan perempuan sebagai ulah mutlak laki-laki.
Begitupula dalam hal menganalisis segala tindakan perempuan yang
dianggap sebagai bagian dari

14
budaya patriarki. Misalnya, ketika perempuan berusaha berpenampilan cantik
selalu dipandang sebagai objek atau ditujukan untuk memuaskan mata laki-
laki. Singkatnya, perempuan berpenampilan cantik dilihat sebagai pemuas
hasrat laki- laki semata (Sofyan, 2018).
Pandangan postfemienisme jauh berkembang dan lebih progresif.
Berbeda dengan feminsime (konvensional), postfeminisme memandang
tindakan perempuan tidak selamanya akibat dari kuasa laki-laki (Sofyan,
2018). Perempuan dalam pandangan postfeminisme merupakan subjek yang
mampu melakukan segala tindakannya secara mandiri dan untuk kepuasannya
sendiri .
Postfememinisme bisa kita katakan sebagai pandangan feminisme yang
lebih optimis dalam melihat perempuan. Perempuan dalam pandangan
postfeminisme sudah menyesuaikan diri dengan kondisi postmodern saat ini.
Perempuan mulai melakukan tindakannya atas orientasi kebebasannya sendiri
dan mulai memahami porsi relasinya dengan laki-laki. Sehingga, bentuk
penindasan dan diskriminasi budaya patriarki mulai perempuan tangkis.

B. Perkembangan Feminisme Hingga Post Feminisme

1. Gerakan Feminisme Awal, Gerakan feminisme awal merupakan sebagai


usaha-usaha untuk menghadapi patrarki antara tahun 1550-1700 di
Inggris (Hodgson-Wright, 2006). Fokus perjuangan feminisme awal
adalah melawan pandangan patriarkis mengenai posisi subordinat
perempuan karena dianggap sebagai mahluk yang lebih lemah, lebih
emosional dan tidak rasional (Jenainati dan Groves, 2007: 9).
Pemikiran ini dimungkinkan karena berkembangnya Pencerahan di
Inggirs yang mempengaruhi pemikiran mengenai perempuan sebagai
bagian dari masyarakat yang turut berperan bagi perkembangan
masyarakat (O‘Brien, 2009). Menurut Hodgson-Wright (2006),
perjuangan feminisme awal melalui tiga cara. Pertama melalui usaha
untuk merevisi esensials subordinasi perempuan dalam ajaran gereja.
Kedua dengan menentang berbagai buku panduan bersikap yang

15
cenderung mengekang perempuan pada jaman tersebut. Ketiga, dengan
membangun solidaritas antar

16
penulis perempuan. Solidaritas ini membangunkepercayaan diri dan
dukungan finansial di kalangan penulis perempuan. Pendidikan
inteketual yang diberikan kepada anak-anak perempuan dalam keluarga-
keluarga yang dipengaruhi oleh Pencerahan pada gilirannya menerbitkan
inspirasi mengenai pentinganya pendidikan perempuan menjadi dasar
bagi pergerakan yang lebih politis dalam feminisme gelombang
pertama (Ross, 2009).
2. Feminisme Gelombang Pertama dianggap dimulai dengan tulisan
Mary Wollstonecraft The Vindication of the Rights ofWoman (1792)
hingga perempuan mencapai hak pilih pada awal abad keduapuluh
(Sanders, 2006). Tulisan Wolstonecraft dilihat Sanders sebagai
tonggak gerakan feminisme modern Wollstonecraft menyerukan
pengembangan sisi rasional pada perempuan dan menuntut agar anak
perempuan dapat belajar di sekolah pemerintah dalam kesetaraan
dengan anak laki-laki. Pendidikan ini diharapkan Wolstonecfrat akan
mengembangkan intelektualitas perempuan sehingga
mampu berkembang menjadi individu yang mandiri, terutama secara
finansial (Richardson, 2002). Perjuangan Wollstonecraft dilanjutkan
oleh pasangan Harriet dan John Stuart Mill. Mereka memperjuangkan
perluasan kesempatan kerja bagi perempuan dan hak-hak legal
perempuan dalam pernikahan maupun perceraian.Feminisme gelombang
pertama juga sudah diwarnai oleh usaha beberapa perempuan untuk
memperjuangkan hak perempuan setelah menikah dan hak asuh anak
setelah perceraian. Salah satu pejuang hak perempuan yang sudah
menikah yang paling menonjol adalah Caroline Norton yang
memperjuangkan hak asuh atas anak-anaknya setelah Caroline bercerai
(Gleadle, 2002). Aktifitas para perempuan ini
merangsang tumbuhnya kesadaran mengenai ketertindasan perempuan
yang kemudian mendorong munculnya berbagai organisasi untuk
membela nasib kaum perempuan. Aktifitas kaum feminis di Inggris ini
bergaung juga di Amerika yang mencapai tonggak penting pada
Seneca Falls Convention(1848) yang menuntut
17
dihapuskannya semua diskriminasi berdasarkan jenis kelamin.Di Inggris,
meningkatnya meningkatnya jumlah perempuan yang bekerja menuntut
disediakannya sekolah yang dapat mempersiapkan perempuan sebagai
tenaga kerja professional. Meski lapangan kerja yang tersedia
umumnya berada pada sektor domestik, namun hal ini mendorong
meluasnya kebutuhan pendidikan untuk perempuan. Pada gilirannya,
semakin banyak perempuan yang terlibat di dunia pendidikan yang
memicu dicetuskannya ide bahwa perempuan berhak mendapatkan hak
pilih (Sanders, 2006). Isu ini semakin memuncak pada 1895 saat kata
―feminist‖ digunakan untuk pertamakalinya dalam Athenaeum (Walters,
2005: 1). Hak pilih untuk perempuan dicapai pada 1918.Menurut
Sanders (2006), feminisme gelombang pertama mencakup beberapa
ambivalensi. Para feminis gelombang pertama sangat berhati-hati agar
tidak terlibat kehidupan yang tidak konvensional. Mungkin ini ada
kaitannya dengan backlash yang dialami pasca biografi Mary
Wollstonecraft (Kirkham, 1997). Di samping itu, gerakan ini hanya
memperjuangkan perempuan lajang dari kelas menengah saja, terutama
yang memiliki intelektualitas tinggi. Sementara itu, gerakan mereka
hanya ditujukan untuk isu-isu tertentu saja dan belum ada
kesadaran mengenai gerakan feminisme yang lebih luas. Hanya
perempuan kaya yang memiliki kesempatan untuk berkarir dan
kehidupan domestic karena mereka mampu membayar pelayan untuk
melakukan pekerjaan rumah tangga mereka. Dan kritik yang paling
mencolok adalah para feminis ini masih mengandalkan bantuan kaum
laki-laki untuk mencapai tujuan-tujuan mereka.
3. Feminisme Gelombang Kedua dimulai pada tahun 1960an yang
ditandai

dengan terbitnya The Feminine Mystique (Freidan, 1963), diikuti


dengan berdirinya National Organization for Woman (NOW, 1966) dan
munculnya kelompok-kelompok conscious raising (CR) pada akhir tahun
1960an (Thompson, 2010). Feminisme gelombang kedua dinilai sebagai

18
feminisme yang paling kompak dalam paham dan pergerakan mereka
(Thornham, 2006). Feminisme gelombang kedua bertema besar
―women‟s

19
liberation‖ yang dianggap sebagai gerakan kolektif yang revolusionis.
Gelombang ini muncul sebagai reaksi ketidakpuasan perempuan
atas berbagai diskriminasi yang mereka alami meskipun emansipasi
secara hukum dan politis telah dicapai oleh feminisme gelombang
pertama. Untuk itu, feminisme gelombang kedua lebih memusatkan
diri pada isu-isu yang mempengaruhi hidup perempuan secara
langsung: reproduksi, pengasuhan anak, kekerasan seksual, seksualitas
perempuan, dan masalah domestisitas (Gillis, et.al., 2004).Menurut
Thornham (2006), feminisme gelombang kedua di Amerika dapat
dikelompokkan menjadi dua aliran. Kelompok pertama merupakan aliran
kanan yang cenderung bersifat liberal yang bertujuan untuk
memperjuangkan partisipasi perempuan di seluruh kehidupan sosial (di
Amerika), dengan hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki.
Aliran ini ada di bawah organisasi NOW (National Organization for
Women-Organisasi Perempuan Nasional) yang didirikan oleh Betty
Freidan pada 1966. Aliran kedua sering disebut aliran kiri dan bersifat
lebih radikal. Feminisme radikal berakar reaksi para feminisyang
merasa tidak terfasilitasi dalam feminisme liberal NOW karena
perbedaan ras, kelas, dan protes terhadap kekejaman Amerika dalam
perang Vietnam (Siegel, 2007). Konsep utama feminisme radikal
adalah ―consciousness raising‘ dengan paham ―the personal
ispolitical‖ (Whelehan, 1995). Paham ini percaya bahwa kekuasaan
patriarki bekerja pada insitusi-institusi personal seperti pernikahan,
pengasuhan anak, dan kehidupan seksual (Genz dan Brabon, 2009: 48).
Menurut aliran ini, perempuan telah dipaksa oleh patriarki untuk
bersikap apolitis, mengalah, dan lemah kembut. Mereka menentang
kontes-kontes kecantikan karena menganggap kontes-kontes tersebut
sebagai sarana untuk mencekoki perempuan dengan standar kecantikan
yang melemahkan posisi perempuan. Di Inggris, Kelompok Kanan
terbentuk kuat di kalangan perempuan pekerja. Mereka
melaksanakan pemogokan untuk menuntut persamaan upah. Sementara
itu kelompok kiri sangat dipengaruhi oleh paham
20
Sosialis Marxisme (Thornham, 2006). Namun dalam The British
National Women‟sLiberation Conferencepada 1970, aliran kanan
dan kiri di Inggris bersatu dan menyerukan satu
feminisme. Secara kompak mereka menuntut persamaan upah,
persamaan pendidikan dan kesempatan kerja, tempatpenitipan anak 24
jam, alat kontrasepsi gratis, dan aborsi sesuai kebutuhan. Tuntutan-
tuntutan ini menunjukan bahwa feminisme gelombang kedua
berfokus pada isu perempeuan sebagai kelompok yang tertindas dan
tubuh perempuan sebagai situs utama penindasan tersebut.
Menurut Thornham (2006), salah satu ciri utama feminisme gelombang
kedua baik di Inggris maupun di Amerika adalah usaha mereka untuk
merumuskan teori yang mampu memayungi semua
perjuangan feminis. Dalam pandangan Thornham, buku The
Second Sex (1956) dari Simone de Beauvoir menjadi salah satu
acuan utama feminisme tahun 1970an. Simone de Beauvoir
menentang determinisme biologis dalam fisiologi,
determinisme dorongan bawah sadar dalam psikoanalisa Freud
dan determinisme subordinasi ekonomi dalam teori
Marx (Phoca dan Wright, 1999; Thornham, 2006).
Menurut de Beauviour, teori-teori tersebut telah mendorong internalisasi
konsep perempuan sebagai yang liyan (the Other)dan perempuan
menjadi wanita karena konstruksi- konstruksi sosial yang patriarkis
tersebut (deBeauvoir, 1956). Bagi de Beauvoir, perempuan harus
merebut kesempatan untuk mencapai kesetaraan dalam hal
ekonomi dan sosial agar perempuan menjadi subjek yang setara dengan
laki-laki
4. Feminisme gelombang ketiga (PostFeminisme), Berbagai kritik
terhadap

universalisme dalam feminisme gelombang kedua mendorong terjadinya


pendefinisian kembali berbagai konsep dalam feminisme pada akhir tahun
1980an. Menurut Brooks (1997: 8), setidaknya ada tiga hal yang

21
mendorong terjadinya reartikulasi konsep-konsep feminisme. Pertama,
dari dalam feminisme sendiri yang mulai melihat bahwa konsep mereka
bersifat rasis dan etnosentris yang hanya mewakili perempuan kulit putih
kelas menengah dan memarginalkan perempuan dari kelompok etnis
dan kelas

22
lainnya. Kedua, feminis gelombang kedua dianggap belum cukup
menyuarakan isu ―sexual difference.‖ Sementara itu, di luar
feminisme, berkembang teori-teori postmodenrnisme,
poststrukturalisme dan postkolonialisme yang kemudian
beririsan dengan perkembangan feminisme.Dengan
sedemikian banyaknya suara yang tak terwakili dalam feminisme
gelombang kedua berpadu dengan perkembangan post-modernisme,
perkembangan feminisme sejak akhir tahun 1980an
menjadi sangat majemuk. Postmodernisme menolak wacana
monolitik dan kebenaran tunggal serta pengaburan batas-batas
adi budaya dengan budaya masa (dalam hal ini
budaya populer). Dengan konsep-konsep
postmodernis ini, banyak suara yang tadinya dipinggirkan
mendapatkan kesempatan untuk menyuarakan diri dan didengar. Hal
ini mengakibatkan begitu banyak aliran yang dapat dicakup dalam
perkembangan feminisme pasca gelombang kedua.Dikotomi antara
feminisme gelombang ketiga dan postfeminisme dalam
perkembangan feminisme pasca gelombang kedua merupakan salah
satu permasalahan mendasar yang dialami mengenai penamaan
perkembangan feminisme pasca 1970an. Jika keduanya dianggap
sebagai perkembangan feminisme yang berbeda, maka keduanya
merupakan perkembangan yang berlangsung pada waktu yang hampir
bersamaan. Jika keduanya dianggap perkembangan yang sama, ada
usaha-usaha definitif dari beberapa feminis yang mendefinisikan diri
mereka sebagai feminis gelombang ketiga dan atau sebaliknya
postfeminist. Lebih jauh, kedua istilah tidak hanya sering dimaknai
secara bertentangan, keduanya juga memiliki banyak definisi yang
terkadang saling tumpang tindih dan saling bertentangan. Istilah
postfeminisme muncul lebih awal dalam sebuah artikel pada 1920.
Istilah ini digunakan untuk menyatakan sikap ―pro perempuan
namun tidak anti-laki-laki,‖ yang merayakan keberhasilan feminisme
gelombang pertama dalam meraih hak pilih (Faludi, 2006; Genz dan
23
Brabon: 2009).Istilah postfeminisme kembali muncul pada 1980an
dengan makna yang sangat beragam. Gill dan Scharff (2011)
merangkum adanya empat pengertian postfeminisme

24
Pertama, postfeminisme sebagai titik temu antara feminisme dengan
postmodernisme, poststrukturalisme, dan postkolonialisme yang berarti
postfeminisme merupakan pengkajian yang lebih kritis terhadap
feminisme (Brooks, 1997). Pengertian postfeminisme berikutnya macu
pada perayaan matinya feminisme yang ditandainya dengan tercapainya
tujuan- tujuan feminisme gelombang kedua pada 1970an sehingga tujuan-
tujuan tersebut tidak lagi relevan pada 1980an (Tasker dan Negra,
2007 dikutip dalam Gill dan Scharff, 2011)

C. Aliran-Aliran Feminisme

Ada beberapa aliran feminisme, diantaranya:

1. Feminisme liberal mulai berkembang pada abad ke 18, di dasari pada


prinsip- prinsip liberalisme, yaitu semua orang (laki-laki dan perempuan)
dengan kemampuan rasionalitasnya diciptakan dengan hak yang sama dan
setiap orang harus memiliki kesempatan yang sama untuk memajukan

dirinya. 17Adapun awal lahirnya aliran feminisme liberal adalah tentang


konsepsi nalar, yakni keyakinan bahwa nalar membedakan manusia
dengan makhluk lain tidak memberikan informasi apapun. Sebab
perempuan walau sama-sama manusia yang bernalar, perempuan tidak
memiliki kesadaran untuk bebas dari keterpurukannya. Aliran ini
dinamakan feminisme liberal karena memiliki perhatian khusus tentang
pentingnya kebebasan individu tantang hakhak yang didapat dan
kewajiban yang dilakukan. Yakni setiap individu perempuan atau laki-laki
memiliki hak-hak yang harus dilindungi dari penindasan, sehingga
perhatian utama dari aliran ini adalah tentang persamaan hak, khususnya
hak- hak perempuan. Feminisme liberal mengisyaratkan bahwa manusia
baik laki-laki dan perempuan adalah sama, seimbang, dan serasi
dihadapan publik. Laki-laki memiliki kekhususan tertentu, begitu pula
dengan perempuan. Namun, tidak boleh dijadikan suatu alasan untuk
melakukan penindasan. Perempuan tidak bisa diletakkan lebih rendah dari

25
laki-laki dalam setiap bidang, sebab laki-laki dan perempuan memliki
kesanggupan dalam melakukan segala sesuatu diruang khusus dan
publik. Bahkan dalam tulisan

26
Niken Savitri dalam buku Perempuan dan Hukum menjelaskan bahwa
setiap orang memiliki otonomi, termasuk perempuan. Lebih lanjut karena
aliran ini sangat menekankan pada adanya kesetaraan maka aliran ini
berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki secara rasional setara, jadi
mereka harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk menerapkan
pilihan rasional meraka. Feminisme liberal juga melihat sumber
penindasan bagi perempuan karena belum terpenuhinya hak-hak
perempuan, seperti diskriminasi hak, kesempatan, dan kebebasan hanya
karena berjenis kelamin perempuan. Namun aliran ini tetap menolak
persamaan secara keseluruhan antara laki- laki dan perempuan. dalam
beberapa hal, aliran ini masih tetap memandang perlu adanya pembedaan
antara laki-laki dan perempuan, seperti yang berhubungan dengan fungsi
reproduksi. Aliran ini juga beranggapan bahwa tidak harus dilakukan
perubahan struktural secara menyeluruh namun cukup melibatkan
perempuan di dalam berbagai peran, seperti yang telah disebutkan
sebelumnya.
2. Femisme radikal berkembang sekitar tahun 1960-an, kata kunci dari aliran
ini adalah radikal yakni mengakar dan menghendaki adanya perombakan
pada suatu sistem. Sumber masalah bagi aliran feminisme radikal adalah
ideologi patriarki, yakni bentuk organisai rumah tangga di mana ayah
adalah tokoh dominan dalam rumah tangga, menguasai anggotanya, dan
menguasai reproduksi rumah tangga. Bagi aliran ini, penindasan pada
perempuan sejak awal adalah karena peran dominasi laki-laki atas
perempuan. Sistem kekuasaan pada keluarga merupakan bagian kecil dari
penindasan dan menyebabkan keterbelakangan perempuan. Hal ini
mengindikasikan penindasan terhadap perempuan terjadi karena sistem
seks atau gender. Sehingga untuk dapat dikualifikasikan sebagai seorang
feminis radikal, maka seorang feminis harus yakin bahwa sistem seks atau
gender adalah penyebab fundamental dari penekanan perempuan.
Menurut Alison Jaggar dan Paula Rothenberg Klain hal tersebut dapat
diinterprestasi bahwa perempuan secara historis dan kelompok

27
mendapatkan penindasan (opresi) yang pertama, bahwa penindasan
tehadap perempuan adalah yang paling menyebar dan ada dalam

28
setiap masyarakat yang diketahui, bahwa penindasan terhadap perempuan
merupakan penindasan yang paling sulit untuk dihapus, dan bahwa
peninadasan terhadap perempuan memberikan model konseptual untuk
memahami bentuk penindasan lain. Oleh karena itu tidak saja harus
dirombak, tetapi juga harus dicabut sampai akarnya sebagaimana kata
kunci aliran ini “radikal”. Menurut feminis radikal, ayah dalam keluarga
adalah pembuat semua keputusan penting. Idelologi dan sistem ini tidak
hanya telah melestarikan suprioritas kaum laki-laki atas perempuan,
namun juga telah menciptakan keistimewaan laki-laki atas ekonomi.
23
Sistem keluarga bagi aliran feminisme liberal dianggap sebagai
perpanjangan dari sistem patriarki. Sehingga aliran ini menggugat sistem
ayah sebagai kepala keluarga, bahkan menolak lembaga institusi keluarga.
Feminisme radikal juga mempercayai pada pentingnya otonomi dan
gerakan perempuan. Perempuan dapat menolak perkawinan atau memilih
tidak menggunakan alat kontrosepsi. Rekontruksi sosial feminis radikal
bukan hanya dilatar belakangi oleh sikap kepemimpinan dan kekuasaan
laki-laki selama ini, namun jelmaan dari kehendak otoritas perempuan
untuk menjadi “penguasa” yang sejajar dengan laki-laki. Gerakan ini
ditandai dengan gerakan kemandirian oleh kelompok perempuan dalam
segala segmentasi kehidupan. Pembongkaran radikal dilakukan pula
terhadap normanorma keluarga antara suami dan istri. Suami tidak harus
menjadi kepala rumah tangga dalam pandangan aliran ini. Bahkan
keluarga tidak harus didefinisikan sebagai organisasi yang terdiri dari
ayah, ibu, dan anak, melainkan bisa terdiri atas ibu dan anak. Kehadiran
ayah tidak menjadi keharusan. Dalam posisi inilah praktik-praktik aborsi
dihalalkan, melainkan memandang bahwa mengandung dan melahirkan
adalah hak preogatif seorang perempuan dan perempuan berhak
menentukan sikap untuk menolak. Aliran ini juga mengupayakan
pembenaran rasional gerakannya dengan mengungkapkan fakta-fakta
bahwa laki-laki adalah masalah bagi perempuan. Laki-laki selalu
mengeksploitasi fungsi reproduksi perempuan dengan berbagai dalih.
Sehingga aliran ini memiliki pemahaman untuk menolak dikotomi antara
29
publik dan domestik, juga menolak dipisahkannya

30
tubuh dan pikiran. Jadi omong kosong ada lakilaki memperkosa
perempuan secara tidak sadar, di mana perempuan merasa keenakan
namun fikiranya menolak hal tersebut. Dalam hal ini, feminisme mencoba
membela perempuan yang dianggap merasa samasama merasakan enak
saat diperkosa. Bagi aliran ini ketika seorang perempuan sudah menolak
dan mengatakan “tidak” untuk melakukan hubungan badan, tetapi laki-
laki tetap memaksa untuk bersetubuh maka tindakan itu dianggap tindak
pemerkosaan.Menurut aliran ini perempuan tidak harus bergantung pada
lakilaki, bukan saja dalam hal lahiriyah melainkan dengan hal batiniyah
juga. Perempuan dapat merasakan kehangatan, kemesraan, dan kepuasan
seksual tidak hanya dari perempuan melainkan juga dari sesama
perempuan. Sepanjang perempuan meneruskan hubungannya dengan laki-
laki, maka akan sulit bahkan tidak mungkin untuk berjuang melawan laki-
laki. Salah satu tokoh feminisme radikal yang menganut faham ini adalah
Elsa Gidlow, ia berteori bahwa menjadi lesbi adalah terbebas dari
dominasi laki-laki, baik intern maupun eksternal. Dari pemahaman inilah
feminis radikal mendapat tantangan besar dari dunia, bahkan dari sesama
aliran feminis lainnya.
3. Feminisme Marxis, Kata kunci dari aliran ini adalah Marxis, yakni
berlandaskan pada teori konfliknya Karl Marx tentang kepemilikan
pribadi. Bagi Marx kepemilikan pribadi akan menimbulkan kehancuran
pada sistem keadilan dan kesemaan kesempatan yang pernah dimiliki
masyarakat. Dari kepemilikan tersebut sejatinya telah menciptakan sistem
kelas yang eksploitatif. Dalam buku “Feminisme dan Pemberdayaan
Perempuan dalam Timbangan Islam” disebutkan: Dari Karya Frederick
Engelsyang berjudul The Origin of the Family: Private Property dan the
State, mengulas jatuhnya status perempuan, yakni saat munculnya era
hewan piaraan dan petani menetap. Di masa ini merupakan awal kondisi
penciptaan surplus yang menjadi dasar private property. Surplus
kemudian menjadi dasar bagi perdagangan dan produksi untuk exchange
mendominasi for use. Karena laki-laki mengontrol produksi untuk

31
exchange, maka mereka dapat menguasai sosial politikmasyarakat, dan
akhirnya perempuan direduksi menjadi bagian

32
kepemilikan. Dalam pandangan aliran feminisme marxis, bahkan dalam
keluargapun tercermin sistem private property, yakni kepemilikan suami
atas keluarganya. Suami adalah cerminan kaum borjuis yang menguasai
nafkah dan materi dari keluarga, sehingga memiliki kekuasaan dan posisi
yang kuat dalam keluarga dibanding istri dan anak-anak yang ditempatkan
menjadi kaum proletar. Selain itu, perempuan bagi aliran ini dalam
keluarga di tempatkan hanya dalam sektor domestik untuk mengurus
rumah tangga. Perempuan dalam rumah tanggapun dalam pekerjaannya
tidak diperhitungkan dalam perhitungan ekonomi, sosial, dan politik.
Dengan tidak adanya nilai ekonomis, sosial, dan politik dalam kehidupan
berumah tangga maka perempuan dianggap tidak lebih bernilai dibanding
laki-laki. Laki-laki dianggap lebih bernilai karena memiliki pekerjaan
yang ekonomis dan memberi masukan nafkah kepada keluarga. Oleh
karena itu, perjuangan feminis marxis adalah menuntut agar pekerjaan
rumah tangga dihargai dan bernilai ekonomis. Sebab pekerjaan rumah
tangga adalah produktif dan menciptakan surplus velue atau nilai tambah
dalam kehidupan berumah tangga. Dengan cara itu, laki-laki dan
perempuan berkedudukan sama karena secara ekonomis keduanya
mempunyai pekerjaan yang sama nilai ekonomis.

Feminisme dapat diartikan sebagai sebuah sudut pandang atau


gaya hidup yang mempunyai akar sejarah berbeda-beda dan berkembang
sesuai sosial budaya yang berbeda. Seperti feminisme dalam Islam tidak
jauh berbeda dengan gerakan feminisme pada umumnya yang sangat
beragam. Namun ada perbedaan yang fundamental dari feminisme itu
sendiri, yakni persoalan feminisme tidak sekedar menyangkut hubungan
horizontal tetapi juga hubungan vertikal. Itulah sebabnya feminisme
yang muncul di dalam Islam selalu dikaitkan dengan al Qur’an. Jadi
secara umum feminisme Islam adalah alat analisis atau gerakan yang
bersifat historis dan konstekstual sesuai dengan kesadaran baru yang
berkembang dalam menjawab masalah-masalah perempuan yang aktual
yang menyangkut ketidakadilan dan ketidaksejajaran. Menurut Budhy

33
Munawar-Rachman yang khas dari feminisme Islam adalah dialog yang
intensif antara prinsip-prinsip keadilan

34
dan kesederajatan yang ada dalam teks-teks keagamaan, seperti al Qur’an,
hadits, dan tradisi keagamaan dengan perlakuan terhadap perempuan yang ada
dalam masyarakat muslim. Cara pandang ulama dan tokoh agama terhadap
setiap teks keagamaan terkadang sesuai dengan sosial kultural, namun
sayangnya selalu ada kecenderungan untuk mempertahankan penafsiran
tersebut yang nyata-nyata telah mensubordinasi perempuan sebagai makhluk
kedua setelah laki-laki. Akar permasalahan feminisme Islam adalah patriarki,
yang asal mulanya adalah dari konsep kesetaraan antara laki- laki dan
perempuan dalam Islam, dan juga konsep penciptaan perempuan.

E. PSIKOANALISIS SIGMUND FREUD

Psikoanalisis adalah cabang ilmu yang dikembangkan oleh Sigmund Freud dan para
pengikutnya, sebagai studi fungsi dan perilaku psikologis manusia. Pada mulanya istilah
psikoanalisis hanya dipergunakan dalam hubungan dengan Freud saja, sehingga
“psikoanalisis” dan “psikoanalisis Freud” sama artinya. Bila beberapa pengikut Freud
dikemudian hari menyimpang dari ajarannya dan menempuh jalan sendiri-sendiri, mereka
juga meninggalkan istilah psikoanalisis dan memilih suatu nama baru untuk menunjukan
ajaran mereka. Contoh yang terkenal adalah Carl Gustav Jung dan Alfred Adler, yang
menciptakan nama “psikologi analitis” (bahasa Inggris: analitycal psychology) dan
“psikologi individual” (bahasa Inggris: individual psychology) bagi ajaran masing-masing.
Psikoanalisis memiliki tiga penerapan:

1. suatu metode penelitian dari pikiran.

2. suatu ilmu pengetahuan sistematis mengenai perilaku manusia.

3. suatu metode perlakuan terhadap penyakit psikologis atau emosional.

Teori Psikoanalisis dikembangkan oleh Sigmund Freud. Psikoanalisis dapat


dipandang sebagai teknik terapi dan sebagai aliran psikologi. Sebagai aliran psikologi,

35
psikoanalisis banyak berbicara mengenai kepribadian, khususnya dari segi struktur,
dinamika, dan perkembangannya.

Mekanisme Pertahanan Ego

Freud menyatakan bahwa mekanisme pertahanan ego itu adalah mekanisme yang
rumit dan banyak macamnya. Berikut ini 7 macam mekanisme pertahanan ego yang menurut
Freud umum dijumpai (Koeswara, 2001: 46—48).

1. Represi, yaitu mekanisme yang dilakukan ego untuk meredakan kecemasan dengan cara
menekan dorongan-dorongan yang menjadi penyebab kecemasan tersebut ke dalam
ketidaksadaran.

2. Sublimasi, adalah mekanisme pertahanan ego yang ditujukan untuk mencegah atau
meredakan kecemasan dengan cara mengubah dan menyesuaikan dorongan primitif das es
yang menjadi penyebab kecemasan ke dalam bentuk tingkah laku yang bisa diterima, dan
bahkan dihargai oleh masyarakat.

3. Proyeksi, adalah pengalihan dorongan, sikap, atau tingkah laku yang menimbulkan
kecemasan kepada orang lain.

4. Displacement, adalah pengungkapan dorongan yang menimbulkan kecemasan kepada


objek atau individu yang kurang berbahaya dibanding individu semula.

5. Rasionalisasi, menunjuk kepada upaya individu memutarbalikkan kenyataan, dalam hal ini
kenyataan yang mengamcam ego, melalui dalih tertentu yang seakan-akan masuk akal.
Rasionalissasi sering dibedakan menjadi dua: sour grape technique dan sweet orange
technique.

6. Pembentukan reaksi, adalah upaya mengatasi kecemasan karena insdividu memiliki


dorongan yang bertentangan dengan norma, dengan cara berbuat sebaliknya.

7. Regresi, adalah upaya mengatasi kecemasan dengan bertinkah laku yang tidak sesuai
dengan tingkat perkembangannya.

Tahap-tahap Perkembangan Kepribadian

36
Menurut Freud, kepribadian individu telah terbentuk pada akhir tahun ke lima, dan
perkembangan selanjutnya sebagian besar hanya merupakan penghalusan struktur dasar itu.
Selanjutnya Freud menyatakan bahwa perkembangan kepribadian berlangsung melalui 5
fase, yang berhubungan dengan kepekaan pada daerah-daerah erogen atau bagian tubuh
tertentu yang sensitif terhadap rangsangan. Kelima fase perkembangan kepribadian adalah
sebagai berikut (Kuntojo, 2005:172—173).

1. Fase oral (oral stage): 0 sampai dengan 18 bulan. Bagian tubuh yang sensitif terhadap
rangsangan adalah mulut.

2. Fase anal (anal stage): kira-kira usia 18 bulan sampai 3 tahun. Pada fase ini bagian tubuh
yang sensitif adalah anus.

3. Fase falis (phallic stage): kira-kira usia 3 sampai 6 tahun. Bagian tubuh yang sensitif pada
fase falis adalah alat kelamin.

4. Fase laten (latency stage): kira-kira usia 6 sampai pubertas. Pada fase ini dorongan seks
cenderung bersifat laten atau tertekan.

5. Fase genital (genital stage): terjadi sejak individu memasuki pubertas dan selanjutnya.
Pada masa ini individu telah mengalami kematangan pada organ reproduksi

F. EKRANISASI
1. Pengertian Ekranisasi

Ekranisasi menurut Eneste (1991: 60) adalah pelayarputihan atau pemindahan sebuah
novel ke dalam film yang mengakibatkan berbagai perubahan. Karya sastra tidak hanya
bisa diterjemahkan tetapi juga dapat dialihkan dari satu bahasa ke bahasa lain dan

37
dialihwahanakan, seperti novel yang ditulis berdasarkan film dan drama atau film dan
drama yang dibuat berdasarkan novel.

Pengalihan wahana tersebut memunculkan berbagai perubahan yaitu penciutan,


penambahan, dan perubahan variasi cerita dari kata-kata menjadi wacana gambar.
Ekranisasi itu sendiri memiliki hubungan dengan pendekatan pragmatik dan resepsi.
Keindahan suatu karya sastra bukan sesuatu yang mutlak, abadi, dan tetap. Keindahan
bergantung pada situasi dan latar belakang sosio-budaya si pembaca (Pradotokusumo,
2005: 80- 82). Eneste (1991: 60-61) membagi perubahan yang dilakukan oleh penulis
skenario dan sutradara dalam proses ekranisasi menjadi tiga aspek, yakni penciutan,
penambahan, dan perubahan variasi.

a. Aspek Penciutan

Penciutan yang terjadi pada proses ekranisasi berarti apa yang dinikmati berjam-
jam atau berhari-hari harus diubah menjadi apa yang dinikmati (ditonton) selama
sembilan puluh sampai seratus dua puluh menit. Artinya, tidak semua hal yang
diungkapkan dalam novel akan dijumpai pula dalam film. Hal ini terjadi karena
sebelumnya pembuat film (penulis skenario dan sutradara) sudah memilih terlebih dahulu
informasi-informasi yang dianggap penting atau menandai. Di samping itu, keterbatasan
teknis film dan film hanya ditonton sekali maka tokohbersahaja yang lebih sering dipakai
dalam film.

b. Aspek Penambahan

Penambahan-penambahan yang terjadi dalam proses ekranisasi disebabkan karena


penulis skenario dan sutradara telah menafsirkan terlebih dahulu novel yang hendak
difilmkan. Seorang sutradara tentu mempunyai alasan tertentu untuk melakukan
penambahan misalnya penambahan pada cerita, alur, penokohan, latar, atau suasana dan
juga memungkinkan adanya penambahan tokoh-tokoh.

c. Aspek Perubahan

38
Variasi Perubahan variasi disebabkan karena kemungkinan pembuat film merasa perlu
untuk membuat variasivariasi dalam film, sehingga terkesan film yang didasarkan atas
novel itu tidak seasli novelnya (Eneste, 1991: 65-67).

2. Pengertian Novel dan Film


a. Novel
Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1995:9) menyatakan bahwa kata novel berasal dari
bahasa Italia yaitu novella. Secara harfiah, novella berarti sebuah barang baru yang kecil dan
kemudian diartikan sebagai cerita 3 pendek dalam bentuk prosa. Novel merupakan bentuk
karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Novel adalah salah satu karya sastra bersifat kreatif
imajinatif yang mengemas persoalan kehidupan manusia secara kompleks dengan berbagai
konflik, sehingga pembaca memperoleh pengalamanpengalaman baru tentang kehidupan.
Novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak,
lebih rinci, lebih detil, dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebih
kompleks (Nurgiyantoro,1995:11).

b. Film
Sumarno(1996:2) mengungkapkan bahwa film merupakan pekembangan lanjut dari
potografi.Penyempurnaan-penyempurnaan film terus berlanjut, yang kemudian mendorong
rintisan film alias gambar hidup.lebih lanjut, Denim (2010:19) menjelaskan bahwa film dapat
memperlihatkan perlakuan objek yang sebenarnya. Dari berbagai pendapat tersebut dapat
disimpulkan bahwa film merupakan kumpulan peristiwa yang direkam dan disajikan dalam
bentuk gambar bergerak dan bersuara. Bluestone (dalam Eneste, 1991:18) menyatakan, film
merupakan gabungan dari berbagai ragam kesenian, yaitu musik, seni rupa, drama, sastra
ditambah dengan unsur fotografi.

3. Sebab-Sebab Ekranisasi
Sebab-sebab ekranisasi secara umum adalah keringnya ide dalam penulisan script.
Kekeringan ide ini disebabkan oleh keterbatasan ide penulis script. Keringnya ide dalam
penulisan script mengakibatkan adanya gejala plagiasi film dan pemilihan ide penulisan
script berdasarkan novel best seller. Berikut uraian lebih lanjut tentang keringnya ide dalam
penulisan script.

39
G. MUSIKOLOGI
1. Pengertian Musikologi

Musikologi merupakan cabang analisis dan riset bidang compu yang masuk dalam
rumpun Humaniora. Dalam pengertian sempit, musikologi hanya terbatas pada sejarah
compu budaya barat. Dalam pengertian menengah, musikologi bisa mencakup semua budaya
yang relevan dan berbagai bentuk-bentuk compu, gaya, genre dan tradisi yang beragam.
Sedangkan dalam pengertian luas, musikologi mencakup semua disiplin ilmu compu yang
relevan dan semua manifestasi compu di semua budaya. Musikologi lahir dari beberapa sub
disiplin antara lain: pentas compu, teori, analisis, dan komposisi compu.

2. Sejarah dan Perkembangan Musikologi

Musikologi telah berkembang sejak pertengahan abad ke-19. Antara tahun 1860 dan
pada periode Perang Dunia Pertama,bidang musikologi berkembang menjadi disiplin
akademik yang dilaksanakan oleh para akademisi dan difasilitasi oleh perguruan tinggi. Di
Jerman musikologi sebagai bidang akademis berkembang melalui adopsi metode ilmiah ke
dalam studi musik.

Istilah musikologi berasal dari kata Jerman Musikwissenschaft, yang berarti “ilmu
music,” yang digunakan pertama kali pada tahun 1863 dalam pengantar 5 sebuah jurnal
tahunan tentang pengetahuan musik (lihat Chrysander 1863: 9-16) yang berasumsi bahwa
musikologi memiliki kesederajatan dengan ilmu pengetahuan pada umumnya. Bidang
penelitian musikologi bersifat heterogen dan tidak hanya berkaitan dengan musik seni Eropa
namun juga semua musik rakyat dan non-Barat. Secara umum ruang lingkup kebidangan
musikologi meliputi studi historis dan berbagai fenomena musik, yang termasuk di dalamnya
ialah :

1) Bentuk dan notasi musik

2) Kehidupan Komposer dan pemain

3) Pengembangan alat music

40
4) Musik teori (Harmoni,melodi,ritme,mode,skala,dll.)

5) Bidang-bidang estetika,akustik dan fisiologi suara.

41
Guido Adler (1855-1941) memberikan kontribusi yang besar terhadap perkembangan
musikologi. Alder menginisiasi kodifikasi metode penelitian disiplin ini berdasarkan ruang
lingkup, metode, dan tujuan musikologi (Alder, 1885). Alder menawarkan konsep kajian
musikologi yang memisahkan di antara kajian historis dan kajian sistematis, serta
menempatkan musik sebagai sains.

3. Cabang-Cabang Musikologi
1. Musikologi Historis
Musikologi historis mempelajari tentang komposisi, pertunjukan, masyarakat
pendukung dan kritik musik dari periode waktu terdahulu. Sebagai gambaran, kajian-
kajian sejarah musik mempelajari karya dan kehidupan para komponis,
perkembangan genre dan gaya,fungsi sosial musik dalam kelompok masyarakat
tertentu dan modus pertunjukan di tempat dan waktu tertentu.
2. Musikologi Sistematik
Musikologi Sistematik Mempelajari teori musik, estetika, pedagogi, akustik, sains
dan teknologi instrumen musik, serta berbagai macam implikasi musik pada ilmu-
ilmu lain seperti fisiologi, psikologi, sosiologi, filsafat, dan teknologi komputer.
3. Etnomusikologi
Etnomusikologi Merupakan kajian musik yang mempelajari konteks kultural
(masyarakat) musik tertentu di luar musik Barat.
4. Psikologi Musik Psikologi musik adalah cabang musikologi yang menerapkan
pengetahuan dan metode dari semua sub disiplin psikologi (persepsi, kognisi,
motivasi, dll.) untuk memahami bagaimana musik diciptakan, dirasakan, ditanggapi,
dan terlibat dalam kehidupan sehari-hari.

42
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

3.2 SARAN

43
DAFTAR PUSTAKA

Allatif, Fakhruddin Faris dkk. 2022. Semiotika. Makalah.

Febriana, Dina dkk. 2022. Resepsi Sastra. Makalah.

Jendela Sastra. 2014. Teori Sastra Strukturalis. Diakses dari


https://www.jendelasastra.com/wawasan/artikel/teori-sastra-strukturalis.

Ludani, Yitran. 2014. Teori Sastra. Diakses dari https://wwsatra.blogspot.com/2015/04/makalah-


teori-sastra-strukturalisme.html. Makalah

Miftahudin, Emif. 2022. Aplikatif Teori Resepsi Sastra. Makalah.

Nafila, Firha Hilyatu dkk. 2022. Teori Sastra Kontemporer: Aplikatif Strukturalisme. Makalah.

Sastra33. 2014. Teori Sastra (4): Strukturalisme. Diakses dari


https://sastra33.blogspot.com/2011/05/teori-sastra-4-strukturalisme.html.

Taufiq, Wildan. 2016. Semiotika: untuk Kajian Sastra dan Al-Qur’an. Bandung: Yrama Widya.

DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K. 2015. Psikoanalisis Sigmund Freud. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Damono, Sapardi Djoko. 2005. Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta. Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional.

Dyan Wahyuning Praharwati, Sahrul Romadhon. 2017. Ekranisasi Sastra: Apresiasi Penikmat
Sastra Alih Wahana. Jakarta.

44
Eneste, Pamusuk. 1991. Novel dan Film. Jakarta: Nusa Indah.

Indrawan, Andre. 2018. Berbagi Musik-Persembahan Untuk Sang Maha Guru. Yogyakarta.
BP.ISI Yogyakarta.

Ja’far, H. 2015. Struktur Kepribadian Manusia Perspektif Psikologi dan Filsafat. Psymathic:
Jurnal Imiah Psikologi, 2(2), 209—221.

https://www.scribd.com/document/385197211/TEORI-EKRANISASI

45
46

Anda mungkin juga menyukai