DISUSUN OLEH:
(21110040)
2024
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
kehendakNya makalah ini yang berjudul “Analisis Cerpen Kritik sastra pendekatan
objektif” dapat terselesaikan dengan baik. Saya harap makalah ini dapat memberi
manfaat dan menambah wawasan bagi pembaca, terutama mengenai pendekatan
objektif kritik sastra.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Ibu Monalisa Frince Sianturi S.Pd,
M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah kritik sastra. Saya menyadari dalam
penulisan makalah ini masih banyak kesalahan. Untuk itu saya menerima kritik dan
saran yang membangun untuk memperbaiki penulisan makalah saya selanjutnya.
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR PUSTAKA…………..........................................................................12
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
Cerita pendek atau yang biasa disebut dengan cerpen, merupakan cerita
yang dikemas secara ringkas, padat, dan jelas. Selaras dengan yang
diungkapkan oleh Kosasih (2004:431) Cerpen adalah karangan pendek yang
berbentuk prosa. Dalam cerita pendek dikisahkan sepenggal kehidupan tokoh,
yang penuh dengan pertikaian, peristiwa yang mengharukan atau
menyenangkan, dan mengandung kesan yang tidak mudah dilupakan pembaca.
Dengan demikian, cerpen adalah sebuah prosa yang singkat, padat, jelas dengan
sepenggal kehidupan tokoh yang memberikan pesan-pesan sederhana, namun
bermakna kepada para pembaca. Tidak hanya itu, cerpen juga ternyata
bermanfaat untuk kehidupan pembaca yang mampu memberikan pengalaman
baru, kenikmatan dalam segala yang dirasakan, mengembangkan imajinasi
dengan segala pengertian tentang tingkah laku manusia baik dalam pola
pikirnya maupun psikologisnya. Pengalaman yang universal itu ternyata sangat
berkaitan dengan kehidupan kemanusiaan yang dapat berupa masalah
percintaan, tradisi, budaya, agama, sosial, persahabatan, politik, pendidikan,
dan segala kehidupan kemanusiaan yang lainnya. Cerpen dengan segala
permasalahan yang universal itu, harus diteliti dengan cara kritik sastra. Salah
satu tujuan dalam kritik sastra tersebut untuk membantu para pembaca
memahami karya sastra. Adapun tujuan sebenarnya kritik sastra untuk
memberikan penilaian objektif terhadap baik atau buruknya karya sastra
tersebut.
1
Sastra merupakan dunia imajinatif yang merupakan hasil kreasi
pengaran untuk merefleksikan pengalaman yang dialaminya. Dunia dalam
karya sastra dikreasikan dan sekaligus ditafsirkan lazimnya melalui bahasa.
Apapun yang dipaparkan pengaran kemudian ditafsirkan oleh pembaca. Karya
sastra merupakan suatu seni yang kompleks, artinya pengaran dalam
mengekspersikan sesuatu, melalui media sastra tidak hanya pada salah satu
aspek saja. Karya sastra tidak lepas dari kehidupan manusia. Sastra tidak bisa
dipahami sepenuhnya apabila tidak disangkut pautkan dengan kehidupan
manusia.
1.3 Tujuan
1. Mengetahui apa itu pendekatan objektif.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam perkembangan aliran ini di Indonesia, menurut Teeuw (1988, hlm. 52)
aliran Rawamangun paling dekat dengan aliran objektif, karena yang menjadi pusat
perhatia, mereka adalah karya itu sendiri. Namun aliran ini juga tentu tidak
menapikkan pendekatan lain dalam mengkaji sebuah karya sastra. Pandangan
Aristoteles tentang pendekatan objektif (dalam Teeuw, 1988, hlm. 52) bahwa
“dalam tragedi tindakan (action) bukan watak (characrer) yang terpenting. Efek
tragedi dihasilkan oleh aksi plotnya dan untuk menghasilkan efek yang baik plot
harus memunyai keseluruhan (wholeness), untuk itu harus dipenuhi ernpat syarat
3
utarna, yaitu dalarn istilah bahasa Inggris disebut order, ampritture, atau
comprexiiy, tutity, dan connection atau coherence.” Menurut Werrek dan Wallen
(1990) menyebutkan bahwa pendekatan ini sebagai pendekatan intrinsik karena
kajian difokuskan pada unsur intrinsik karya sastra yang dipandang memiliki
kebulatan, koherensi dan kebenaran sendiri. Sedankan menurut Teeuw (1984)
pendekatan objektif berarti pendekatan struktural memandang dan memahami
karya sastra dari segi struktur karya sastra itu sendiri. Karya sastra dipandang
sebagai suatu otonom, berdiri sendiri, bebas dari pengarang, realitas maupun
pembacanya.
2. Tokoh dan penokohan yaitu pelaku rekaan yang mengalami peristiwa atau
berkelakuan diberbagai peristiwa dalam cerita.
5. Amanat yaitu pesan yang disampaikan penulis melalui cerita kepada para
pembaca.
6. Gaya bahasa yaitu cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana
seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang ingin dikemukakan.
4
Listrik sudah empat tahun masuk kampungku dan sudah banyak yang
dilakukannya. Kampung seperti mendampat injeksi tenaga baru yang membuatnya
menggeliat penuh gairah. Listrik memberi kampungku cahaya, musik, es, sampai
api dan angin. Di kampungku, listrik juga membunuh bulan di langit. Bulan tidak
lagi menarik hati anak- anak. Bulan tidak lagi mampu membuat bayang-bayang
pepohonan. Tapi kampung tidak merasa kehilangan bulan. Juga tidak merasa
kehilangan tiga laki-laki yang tersengat listrik hingga mati.
Sampai sekian lama, rumahku tetap gelap. Ayahku tidak mau pasang listrik. Inilah
yang membuat tetangga di belakang rumah jengkel terus-terusan. Keduanya sangat
berhasrat menjadi pelanggan listrik. Tapi hasrat mereka tak mungkin terlaksana.
Sebelum ada dakstang di bubungan rumahku. Rumah dua tetangga di belakang itu
terlalu jauh dari tiang.
Kampungku yang punya kegemaran berceloteh seperti mendapat jalan buat berkata
seenaknya terhadap ayah. Tentu saja dua tetangga itulah sumbernya.
“Haji Bakir itu seharusnya berganti nama menjadi Haji Bakhil. Dia kaya tetapi tak
mau pasang listrik. Tentu saja dia kawatir akan keluar banyak duit.”
Kadang celoteh yang sampai di telingaku sedemikian tajam sehingga aku tak kuat
lagi menerimanya. Mereka mengatakan ayahku memelihara tuyul. “Tentu saja Haji
Bakir tak mau pasang listrik karena tuyul tidak suka cahaya terang.”
5
Yang terakhir kedua tetangga itu merencanakan tindakan yang lebih jauh. Entah
belajar dari mana mereka menuduh ayahku telah melanggar asas kepentingan
umum. Mereka menyamakan ayahku dengan orang yang tidak mau menyediakan
jalan bagi seseorang yang bertempat tinggal di tanah yang terkurung. Konon
mereka akan mengadukan ayahku kepada lurah.
Aku sendiri bukan tidak punya masalah dengan sikap ayah. Pertama, akulah yang
lebih banyak menjadi bulan-bulanan celoteh yang kian meluas di kampungku. Ini
sungguh tidak nyaman. Kedua, gajiku sebagai propagandis pemakaian alat
kontrasepsi memungkinkan aku punya radio, pemutar pita rekaman, juga TV
(karena aku masih bujangan). Maka alangkah konyolnya sementar listrik
ditawarkan sampai ke depan. Rumah, aku masih harus repot dengan setiap kali
membeli baterei dan nyetrum aki.
Ketika belum tahu latar belakang sikap ayah, aku sering membujuk. Lho, kenapa
aku dan ayah tidak ikut beramai-ramai bersama orang sekampung membunuh
bulan? Pernah kukatakan, apabila ayah enggan mengeluarkan uang maka pasal
memasang listrik akulah yang menanggung biayanya. Karena kata-kataku ini ayah
tersinggung. Tasbih di tangan ayah yang selalu berdecik tiba-tiba berhenti.
“Jadi kamu seperti orang-orang yang mengatakan aku bakhil dan pelihara tuyul?”
Aku menyesal. Tapi tak mengapa karena kemudian ayah mengatakan alasan yang
sebenarnya mengapa beliau tidak mau pasang listrik. Dan alasan itu tak mungkin
kukatakan kepada siapa pun, khawatir hanya mengundang celoteh yang lebih
menyakitkan. Aku tak rela ayah mendapat cercaan lebih banyak.
Betapa juga ayah adalah orang tuaku, yang membiayai sekolahku sehingga aku kini
adalah seorang propagandis pemakaian alat kontrasepsi. Lalu mengapa orang
kurang menghayati status yang kini kumiliki. Menjadi propagandis tersebut tidak
hanya membawa keuntungan materi berupa gaji dan insentif melainkan ada lagi
yang lain.
6
Jadi, aku mengalah pada keteguhan sikap ayah. Rela setiap kali beli baterai dan
nyetrum aki, dan rela menerima celoteh orang sekampung yang tiada hentinya.
Ketika ayah sakit, beliau tidak mau dirawat di rumah sakit. Keadaan beliau makin
hari makin serius. Tapi beliau bersiteguh tak mau diopname. Aku berusaha
menyingkirkan perkara yang kukira menyebabkan ayah tak mau masuk rumah
sakit.
“Apakah ayah khawatir di rumah sakit nanti ayah akan dirawat dalam ruang yang
diterangi lampu listrik? Bila demikian halnya maka akan kuusahakan agar mereka
menyalakan lilin saja khusus bagi ayah”.
Tanggapan ayah ada rasa tersinggung yang terpancar dari mata beliau yang sudah
biru memucat. Ya, Tuhan, lagi-lagi aku menyesal. Dan jiwaku mendadak buntu
ketika mendengar ucapan ayah yang keluar tersendat-sendat.
“Sudahlah, Nak. Kamu lihat sendiri aku hampir mati. Sepeninggalku nanti kamu
bisa secepatnya memasang listrik di rumah ini”.
Tidak pernah sekalipun aku mendengar kata-kata ayah yang mengandung ironi
demikian tajam. Sesalku tak habis-habisnya. Dan malu. Kewahlianku melakukan
pendekatan verbal yang biasa aku lakukan selama menjadi propagandis alat
kontrasepsi ternyata hanya punya arti negatif di hadapan ayah. Lebih malu lagi
karena ucapan ayah tadi adalah kata-kata terakhir yang ditujukan kepadaku.
Seratus hari sudah kematian ayah orang-orang bertahlil di rumahku sudah duduk di
bawah lampu neon dua puluh watt. Mereka memandangi lampu dan tersenyum.
Dua. Tetangga belakang yang tentu saja sudah pasang listrik mendekatiku.
7
Aku diam karena sebal melihat gaya mereka yang pasti menghubung-hubungkan
pemasangan listrik di rumahku yang baru bisa terlaksana sesudah kematian ayah.
Oh, mereka tidak tahu bahwa aku sendiri menjadi linglung. Listrik memang sudah
kupasang tapi aku justru takut menghidupkan radio, TV, dan pemutar pita rekaman.
Sore hari aku tak pernah berbuat apa pun sampai ibu yang menghidupkan lampu.
Aku enggan menjamah sakelar karena setiap kali aku melakukan hal itu tiba-tiba
bayangan ayah muncul dan kudengar keletak-keletik suara tasbihnya.
Linglung. Maka tiba-tiba mulutku nyerocos. Kepada tamu yang bertahlil aku
mengatakan alasan yang sebenarnya mengapa ayahku tidak suka listrik, suatu hal
yang seharusnya tetap kusimpan.
“Ayahku memang tidak suka listrik. Beliau punya keyakinan hidup dengan listrik
akan mengundang keborosan cahaya. Apabila cahaya dihabiskan semasa hidupnya
maka ayahku khawatir tidak ada lagi cahaya bagi beliau di dalam kubur.
Aku siap menerima celoteh dan olok-olok yang mungkin akan dilontarkan para
tamu. Karena aku sendiri pernah menertawakan pikiran ayah yang antik itu. Aneh,
para tamu malah menunduk. Aku juga menunduk, sambil berdoa tanpa sedikitpun
kadar olok-olok. Kiranya ayahnya mendapat cukup cahaya di alam sana.
8
di rumahnya dan melibatkan perjuangan hidup, ketahanan keluarga
di tengah cobaan, dan adaptasi terhadap perubahan lingkungan
sosial.
“Ayahku tidak mau pasang listrik. Inilah yang membuat tetangga di
belakang rumah jengkel terus-terusan.”
B. Sudut Pandang
Sudut pandang adalah kedudukan seorang penulis di dalam sebuah
cerita.
Adapun sudut pandang yang digunakan dalam cerpen Rumah Yang
Terang Karya Ahmad Tohari adalah Sudut pandang orang pertama
pelaku pertama, karena menggunakan tokoh “aku” sebagai
pencerita.
C. Alur/Plot
Alur/plot adalah sebuah rangkaian kejadian dalam cerita yang
disusun dalam urutan-urutan cerita secara keseluruhan.
Adapun alur yang dimiliki oleh cerpen Rumah Yang Terang Karya
Ahmad Tohari adalah.
Alur Maju
“Apakah ayah khawatir di rumah sakit nanti ayah akan dirawat
dalam ruang yang diterangi lampu listrik? Bila demikian halnya
maka akan kuusahakan agar mereka menyalakan lilin saja khusus
bagi ayah”.
D. Latar
Latar adalah gambaran situasi mengenai peristiwa yang terjadi
dalam sebuah cerita.
Adapun Latar yang dimiliki oleh cerpen Rumah Yang Terang Karya
Ahmad Tohari adalah sebagai berikut:
Latar tempat
• Rumah aku
9
“Sebuah tiang lampu tertancap di depan rumahku. Seperti
semasa teman-temannya. Sesama tiang listrik yang
membawa perubahan pada rumah yang terdekat.”
• Kampung aku
“Listrik sudah empat tahun masuk kampungku dan sudah
banyak yang dilakukannya.”
Latar Waktu
• Sore Hari
“Sore hari aku tak pernah berbuat apapun sampai ibu yang
menghidupkan lampu.”
• Malam hari
“Di kampungku listrik juga membunuh bulan di langit.
Bulan tidak lagi menarik hati anak-anak.”
Latar Suasana
• Sedih
“Seratus hari sudah kematian ayah orang-orang bertahlil di
rumahku sudah duduk di bawah lampu neon dia puluh
menit.”
E. Tokoh dan Penokohan
Pelaku dalam karya sastra.
• Aku: Penyabar dan berbakti pada orang tua
“ aku siap menerima celoteh dan olok-olok yang mungkin
akan dilontarkan para tamu.”
• Tetangga: Pembohong
“Kampungku yang punya kegemaran berceloteh seperti
mendapat jalan buat berkata seenaknya terhadap ayah.”
• Ayah
“ beliau punya keyakinan hidup dengan listrik akan
mengundang keborosan cahaya.”
F. Gaya Bahasa
Gaya bahasa atau yang biasa dikenal adalah majas.
10
Adapun gaya bahasa yang dipakai oleh Ahmad Tohari adalah:
Gaya bahasa yang sederhana dan mudah dipahami pembaca.
G. Amanat
Amanat adalah pesan penulis yang disampaikan kepada pembaca
melalui karyanya.
Adapun amanat dari cerpen Rumah Yang Terang Karya Ahmad
Tohari adalah:
Kita tidak boleh berprasangka buruk terhadap orang lain dan
berbaktilah kepada orang tua selagi kita masih bisa melakukannya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
11
Dalam cerpen “Rumah yang Terang” karya Ahmad Tohari, melalui
penggambaran rumah sebagai metafora kehidupan. Deskripsikan dengan
cermat bagaimana cahaya dalam rumah mencerminkan kebahagiaan dan
harapan. Sisipkan konflik kecil yang menguji kestabilan rumah tersebut, dan
pembangunan karakter-karakter dengan latar belakang yang memperkaya
cerita. Akhiri cerpen dengan pesan yang memperkuat makna kebersamaan dan
cahaya sebagai penerang di tengah kegelapan kehidupan.
12
DAFTAR PUSTAKA
http://sipeg.unj.ac.id/repository/upload/artikel/9._Refleksi_50_Tahun_Pengaj
aran_Bahasa_dan_Seni_Di_Fakultas_Bahasa_dan_Seni_Universitas_Negeri_
Jakarta_Dr_.Siti_Gomo_Atas,_M_. Hum_.-min_.pdf Di akses pada tanggal 3
Maret 2021.
13