Anda di halaman 1dari 16

ANALISIS CERPEN KRITIK SASTRA PENDEKATAN OBJEKTIF

DOSEN PENGAMPU: Monalisa Frince Sianturi S.Pd, M.Pd

DISUSUN OLEH:

SONIA VERONIKA SIMANGUNSONG

(21110040)

PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN MEDAN

2024

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
kehendakNya makalah ini yang berjudul “Analisis Cerpen Kritik sastra pendekatan
objektif” dapat terselesaikan dengan baik. Saya harap makalah ini dapat memberi
manfaat dan menambah wawasan bagi pembaca, terutama mengenai pendekatan
objektif kritik sastra.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Ibu Monalisa Frince Sianturi S.Pd,
M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah kritik sastra. Saya menyadari dalam
penulisan makalah ini masih banyak kesalahan. Untuk itu saya menerima kritik dan
saran yang membangun untuk memperbaiki penulisan makalah saya selanjutnya.

Medan, Desember 2024

Sonia Veronika Simangunsong

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………...........................................................................i


DAFTAR ISI .........................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................................1
1.2 Latar Belakang.........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................2
1.3 Tujuan.......................................................................................................2
BAB 2 PEMBAHASAN.........................................................................................3
2.1 Pengertian Pendekatan Objektif...............................................................3
2.2 Poin-poin yang dikaji dalam pendekatan objektif....................................3
2.3Contoh pendekatan objektif .....................................................................4
BAB 3 PENUTUP ................................................................................................ 11
3.1 Kesimpulan.............................................................................................11
3.2 Saran.......................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA…………..........................................................................12

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cerita pendek atau yang biasa disebut dengan cerpen, merupakan cerita
yang dikemas secara ringkas, padat, dan jelas. Selaras dengan yang
diungkapkan oleh Kosasih (2004:431) Cerpen adalah karangan pendek yang
berbentuk prosa. Dalam cerita pendek dikisahkan sepenggal kehidupan tokoh,
yang penuh dengan pertikaian, peristiwa yang mengharukan atau
menyenangkan, dan mengandung kesan yang tidak mudah dilupakan pembaca.
Dengan demikian, cerpen adalah sebuah prosa yang singkat, padat, jelas dengan
sepenggal kehidupan tokoh yang memberikan pesan-pesan sederhana, namun
bermakna kepada para pembaca. Tidak hanya itu, cerpen juga ternyata
bermanfaat untuk kehidupan pembaca yang mampu memberikan pengalaman
baru, kenikmatan dalam segala yang dirasakan, mengembangkan imajinasi
dengan segala pengertian tentang tingkah laku manusia baik dalam pola
pikirnya maupun psikologisnya. Pengalaman yang universal itu ternyata sangat
berkaitan dengan kehidupan kemanusiaan yang dapat berupa masalah
percintaan, tradisi, budaya, agama, sosial, persahabatan, politik, pendidikan,
dan segala kehidupan kemanusiaan yang lainnya. Cerpen dengan segala
permasalahan yang universal itu, harus diteliti dengan cara kritik sastra. Salah
satu tujuan dalam kritik sastra tersebut untuk membantu para pembaca
memahami karya sastra. Adapun tujuan sebenarnya kritik sastra untuk
memberikan penilaian objektif terhadap baik atau buruknya karya sastra
tersebut.

Pendekatan objektif adalah pendekatan yang didasarkan pada suatu


karya sastra secara keseluruhan. Unsur-unsur yang terkandung dalam karya
sastra dikupas satu persatu dengan dimulai dari tokoh, penokohan, alur, sudut
pandang, bahasa, tema dan unsur lainnya.

1
Sastra merupakan dunia imajinatif yang merupakan hasil kreasi
pengaran untuk merefleksikan pengalaman yang dialaminya. Dunia dalam
karya sastra dikreasikan dan sekaligus ditafsirkan lazimnya melalui bahasa.
Apapun yang dipaparkan pengaran kemudian ditafsirkan oleh pembaca. Karya
sastra merupakan suatu seni yang kompleks, artinya pengaran dalam
mengekspersikan sesuatu, melalui media sastra tidak hanya pada salah satu
aspek saja. Karya sastra tidak lepas dari kehidupan manusia. Sastra tidak bisa
dipahami sepenuhnya apabila tidak disangkut pautkan dengan kehidupan
manusia.

Mengkaji karya sastra akan membantu kita menangkap makna yang


terkandung di dalam pengalaman-pengalaman yang disampaikan melalui para
tokoh imajinatifnya. Dan memberikan cara-cara memahami segenap jenis
kegiatan sosial kemasyarakatan, serta maksud yang terkandung di dalam
kegiatan-kegiatan tersebut, baik kegiatan kita sendiri maupun kegiatan
masyarakat lainnya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu pendektan objektif?
2. Poin-poin apa saja yang menjadi bahan kajian pendektan objektif?
3. Contoh kajian pendektan objektif !

1.3 Tujuan
1. Mengetahui apa itu pendekatan objektif.

2. Mengetahui poin kajian pendekatan objektif.

3. Mengetahui contoh pendekatan objektif.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pendekatan Objektif


Pendekatan objektif adalah pendekatan yang didasarkan pada suatu karya sastra
secara keseluruhan. Dalam buku (Abidin 2010:75) diperjelas lagi bahwa
pendekatan objektif adalah pendekatan yang mengutamakan penyelidikan karya
sastra berdasarkan kenyataan teks sastra itu sendiri. Pendekatan objektif adalah
pendekatan dalam karya sastra yang menitikberatkan pada karya itu sendiri.
Pendekatan objektif dasar yang kuat untuk pandangan yang menganggap karya
sastra sebagai struktur yang otonom. Pandangan karya sastra sebagai struktur yang
otonom menurut Teeuw (1988, hlm. 51) dikutip dari beberapa pakar sastra Barat
bahwa sekitar tahun 340 SM di Athena Aristoteles telah meletakkan konsep tersebut
dalam bukunya berjudul Poetika. Pada aliran strukturalisme, bukan penulis atau
pembaca yang penting, bukan pula 178 kenyataan yang dibayangkan oleh karya
seni, tetapi karya sastra sebagai sesuatu yang otonom. Dari pandangan tersebut
menunjukan bahwa pendekatan objektif adalah pendekatan yang lebih
mementingkan unsur kuryu sastra setagai karya yang hanya mementingkan unsur-
unsur yang membangun karya itu, tanpa memerhatikan pengarang, pembaca, dan
alam semesta. Karya sastra sebagai sesuatu yang otonom dapat dilepaskan dari
unsur di luar karya itu sendiri.

Dalam perkembangan aliran ini di Indonesia, menurut Teeuw (1988, hlm. 52)
aliran Rawamangun paling dekat dengan aliran objektif, karena yang menjadi pusat
perhatia, mereka adalah karya itu sendiri. Namun aliran ini juga tentu tidak
menapikkan pendekatan lain dalam mengkaji sebuah karya sastra. Pandangan
Aristoteles tentang pendekatan objektif (dalam Teeuw, 1988, hlm. 52) bahwa
“dalam tragedi tindakan (action) bukan watak (characrer) yang terpenting. Efek
tragedi dihasilkan oleh aksi plotnya dan untuk menghasilkan efek yang baik plot
harus memunyai keseluruhan (wholeness), untuk itu harus dipenuhi ernpat syarat

3
utarna, yaitu dalarn istilah bahasa Inggris disebut order, ampritture, atau
comprexiiy, tutity, dan connection atau coherence.” Menurut Werrek dan Wallen
(1990) menyebutkan bahwa pendekatan ini sebagai pendekatan intrinsik karena
kajian difokuskan pada unsur intrinsik karya sastra yang dipandang memiliki
kebulatan, koherensi dan kebenaran sendiri. Sedankan menurut Teeuw (1984)
pendekatan objektif berarti pendekatan struktural memandang dan memahami
karya sastra dari segi struktur karya sastra itu sendiri. Karya sastra dipandang
sebagai suatu otonom, berdiri sendiri, bebas dari pengarang, realitas maupun
pembacanya.

2.3 Poin-poin yang dikaji dalam Pendekatan Objektif


1. Tema yaitu ide sentral sebuah cerita.

2. Tokoh dan penokohan yaitu pelaku rekaan yang mengalami peristiwa atau
berkelakuan diberbagai peristiwa dalam cerita.

3. Alur yaitu peralihan dari suatu keadaan ke keadaan lain.

4. Latar yaitu segala petunjuk, keterangan, acuan, yang berkaitan dengan


ruang, waktu, suasana terjadinya peristiwa.

5. Amanat yaitu pesan yang disampaikan penulis melalui cerita kepada para
pembaca.

6. Gaya bahasa yaitu cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana
seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang ingin dikemukakan.

2.4 Contoh kajian Pendekatan Objektif


Rumah Yang Terang
oleh Ahmad Tohari

4
Listrik sudah empat tahun masuk kampungku dan sudah banyak yang
dilakukannya. Kampung seperti mendampat injeksi tenaga baru yang membuatnya
menggeliat penuh gairah. Listrik memberi kampungku cahaya, musik, es, sampai
api dan angin. Di kampungku, listrik juga membunuh bulan di langit. Bulan tidak
lagi menarik hati anak- anak. Bulan tidak lagi mampu membuat bayang-bayang
pepohonan. Tapi kampung tidak merasa kehilangan bulan. Juga tidak merasa
kehilangan tiga laki-laki yang tersengat listrik hingga mati.

Sebuah tiang lampu tertancap di depan rumahku. Seperti semasa teman-temannya.


Sesama tiang listrik yang membawa perubahan pada rumah yang terdekat,
demikian. Halnya beton langsing yang menyangga kabel-kabel di depan rumahku
itu. Bedanya, yang dibawa ke rumahku adalah celoteh-celoteh sengit dua tetangga
di belakang. Rumahku.

Sampai sekian lama, rumahku tetap gelap. Ayahku tidak mau pasang listrik. Inilah
yang membuat tetangga di belakang rumah jengkel terus-terusan. Keduanya sangat
berhasrat menjadi pelanggan listrik. Tapi hasrat mereka tak mungkin terlaksana.
Sebelum ada dakstang di bubungan rumahku. Rumah dua tetangga di belakang itu
terlalu jauh dari tiang.

Kampungku yang punya kegemaran berceloteh seperti mendapat jalan buat berkata
seenaknya terhadap ayah. Tentu saja dua tetangga itulah sumbernya.

“Haji Bakir itu seharusnya berganti nama menjadi Haji Bakhil. Dia kaya tetapi tak
mau pasang listrik. Tentu saja dia kawatir akan keluar banyak duit.”

Kadang celoteh yang sampai di telingaku sedemikian tajam sehingga aku tak kuat
lagi menerimanya. Mereka mengatakan ayahku memelihara tuyul. “Tentu saja Haji
Bakir tak mau pasang listrik karena tuyul tidak suka cahaya terang.”

5
Yang terakhir kedua tetangga itu merencanakan tindakan yang lebih jauh. Entah
belajar dari mana mereka menuduh ayahku telah melanggar asas kepentingan
umum. Mereka menyamakan ayahku dengan orang yang tidak mau menyediakan
jalan bagi seseorang yang bertempat tinggal di tanah yang terkurung. Konon
mereka akan mengadukan ayahku kepada lurah.

Aku sendiri bukan tidak punya masalah dengan sikap ayah. Pertama, akulah yang
lebih banyak menjadi bulan-bulanan celoteh yang kian meluas di kampungku. Ini
sungguh tidak nyaman. Kedua, gajiku sebagai propagandis pemakaian alat
kontrasepsi memungkinkan aku punya radio, pemutar pita rekaman, juga TV
(karena aku masih bujangan). Maka alangkah konyolnya sementar listrik
ditawarkan sampai ke depan. Rumah, aku masih harus repot dengan setiap kali
membeli baterei dan nyetrum aki.

Ketika belum tahu latar belakang sikap ayah, aku sering membujuk. Lho, kenapa
aku dan ayah tidak ikut beramai-ramai bersama orang sekampung membunuh
bulan? Pernah kukatakan, apabila ayah enggan mengeluarkan uang maka pasal
memasang listrik akulah yang menanggung biayanya. Karena kata-kataku ini ayah
tersinggung. Tasbih di tangan ayah yang selalu berdecik tiba-tiba berhenti.

“Jadi kamu seperti orang-orang yang mengatakan aku bakhil dan pelihara tuyul?”
Aku menyesal. Tapi tak mengapa karena kemudian ayah mengatakan alasan yang
sebenarnya mengapa beliau tidak mau pasang listrik. Dan alasan itu tak mungkin
kukatakan kepada siapa pun, khawatir hanya mengundang celoteh yang lebih
menyakitkan. Aku tak rela ayah mendapat cercaan lebih banyak.

Betapa juga ayah adalah orang tuaku, yang membiayai sekolahku sehingga aku kini
adalah seorang propagandis pemakaian alat kontrasepsi. Lalu mengapa orang
kurang menghayati status yang kini kumiliki. Menjadi propagandis tersebut tidak
hanya membawa keuntungan materi berupa gaji dan insentif melainkan ada lagi
yang lain.

6
Jadi, aku mengalah pada keteguhan sikap ayah. Rela setiap kali beli baterai dan
nyetrum aki, dan rela menerima celoteh orang sekampung yang tiada hentinya.
Ketika ayah sakit, beliau tidak mau dirawat di rumah sakit. Keadaan beliau makin
hari makin serius. Tapi beliau bersiteguh tak mau diopname. Aku berusaha
menyingkirkan perkara yang kukira menyebabkan ayah tak mau masuk rumah
sakit.
“Apakah ayah khawatir di rumah sakit nanti ayah akan dirawat dalam ruang yang
diterangi lampu listrik? Bila demikian halnya maka akan kuusahakan agar mereka
menyalakan lilin saja khusus bagi ayah”.

Tanggapan ayah ada rasa tersinggung yang terpancar dari mata beliau yang sudah
biru memucat. Ya, Tuhan, lagi-lagi aku menyesal. Dan jiwaku mendadak buntu
ketika mendengar ucapan ayah yang keluar tersendat-sendat.

“Sudahlah, Nak. Kamu lihat sendiri aku hampir mati. Sepeninggalku nanti kamu
bisa secepatnya memasang listrik di rumah ini”.

Tidak pernah sekalipun aku mendengar kata-kata ayah yang mengandung ironi
demikian tajam. Sesalku tak habis-habisnya. Dan malu. Kewahlianku melakukan
pendekatan verbal yang biasa aku lakukan selama menjadi propagandis alat
kontrasepsi ternyata hanya punya arti negatif di hadapan ayah. Lebih malu lagi
karena ucapan ayah tadi adalah kata-kata terakhir yang ditujukan kepadaku.

Seratus hari sudah kematian ayah orang-orang bertahlil di rumahku sudah duduk di
bawah lampu neon dua puluh watt. Mereka memandangi lampu dan tersenyum.
Dua. Tetangga belakang yang tentu saja sudah pasang listrik mendekatiku.

“Nah, lebih enak dengan listrik, ya Mas?”

7
Aku diam karena sebal melihat gaya mereka yang pasti menghubung-hubungkan
pemasangan listrik di rumahku yang baru bisa terlaksana sesudah kematian ayah.
Oh, mereka tidak tahu bahwa aku sendiri menjadi linglung. Listrik memang sudah
kupasang tapi aku justru takut menghidupkan radio, TV, dan pemutar pita rekaman.
Sore hari aku tak pernah berbuat apa pun sampai ibu yang menghidupkan lampu.
Aku enggan menjamah sakelar karena setiap kali aku melakukan hal itu tiba-tiba
bayangan ayah muncul dan kudengar keletak-keletik suara tasbihnya.

Linglung. Maka tiba-tiba mulutku nyerocos. Kepada tamu yang bertahlil aku
mengatakan alasan yang sebenarnya mengapa ayahku tidak suka listrik, suatu hal
yang seharusnya tetap kusimpan.

“Ayahku memang tidak suka listrik. Beliau punya keyakinan hidup dengan listrik
akan mengundang keborosan cahaya. Apabila cahaya dihabiskan semasa hidupnya
maka ayahku khawatir tidak ada lagi cahaya bagi beliau di dalam kubur.

Aku siap menerima celoteh dan olok-olok yang mungkin akan dilontarkan para
tamu. Karena aku sendiri pernah menertawakan pikiran ayah yang antik itu. Aneh,
para tamu malah menunduk. Aku juga menunduk, sambil berdoa tanpa sedikitpun
kadar olok-olok. Kiranya ayahnya mendapat cukup cahaya di alam sana.

Hasil Analisis Cerpen :


1. Hasil Analisis Cerpen Rumah Yang Terang Karya Ahmad Tohari
Pendekatan Objektif
A. Tema
Tema adalah pokok pemikiran, ide atau gagasan yang akan
disampaikan oleh penulis dalam tulisannya.
Adapun tema yang terdapat dalam cerpen Rumah Yang Terang
Karya Ahmad Tohari adalah memiliki tema tentang Cerpen Rumah
pendirian kuat yang dimiliki oleh seorang ayah bernama Haji Bakir
yang tidak berkenan menggunakan lampu sebagian alat penerangan

8
di rumahnya dan melibatkan perjuangan hidup, ketahanan keluarga
di tengah cobaan, dan adaptasi terhadap perubahan lingkungan
sosial.
“Ayahku tidak mau pasang listrik. Inilah yang membuat tetangga di
belakang rumah jengkel terus-terusan.”
B. Sudut Pandang
Sudut pandang adalah kedudukan seorang penulis di dalam sebuah
cerita.
Adapun sudut pandang yang digunakan dalam cerpen Rumah Yang
Terang Karya Ahmad Tohari adalah Sudut pandang orang pertama
pelaku pertama, karena menggunakan tokoh “aku” sebagai
pencerita.
C. Alur/Plot
Alur/plot adalah sebuah rangkaian kejadian dalam cerita yang
disusun dalam urutan-urutan cerita secara keseluruhan.
Adapun alur yang dimiliki oleh cerpen Rumah Yang Terang Karya
Ahmad Tohari adalah.
Alur Maju
“Apakah ayah khawatir di rumah sakit nanti ayah akan dirawat
dalam ruang yang diterangi lampu listrik? Bila demikian halnya
maka akan kuusahakan agar mereka menyalakan lilin saja khusus
bagi ayah”.
D. Latar
Latar adalah gambaran situasi mengenai peristiwa yang terjadi
dalam sebuah cerita.
Adapun Latar yang dimiliki oleh cerpen Rumah Yang Terang Karya
Ahmad Tohari adalah sebagai berikut:
Latar tempat
• Rumah aku

9
“Sebuah tiang lampu tertancap di depan rumahku. Seperti
semasa teman-temannya. Sesama tiang listrik yang
membawa perubahan pada rumah yang terdekat.”
• Kampung aku
“Listrik sudah empat tahun masuk kampungku dan sudah
banyak yang dilakukannya.”
Latar Waktu
• Sore Hari
“Sore hari aku tak pernah berbuat apapun sampai ibu yang
menghidupkan lampu.”
• Malam hari
“Di kampungku listrik juga membunuh bulan di langit.
Bulan tidak lagi menarik hati anak-anak.”
Latar Suasana
• Sedih
“Seratus hari sudah kematian ayah orang-orang bertahlil di
rumahku sudah duduk di bawah lampu neon dia puluh
menit.”
E. Tokoh dan Penokohan
Pelaku dalam karya sastra.
• Aku: Penyabar dan berbakti pada orang tua
“ aku siap menerima celoteh dan olok-olok yang mungkin
akan dilontarkan para tamu.”
• Tetangga: Pembohong
“Kampungku yang punya kegemaran berceloteh seperti
mendapat jalan buat berkata seenaknya terhadap ayah.”
• Ayah
“ beliau punya keyakinan hidup dengan listrik akan
mengundang keborosan cahaya.”
F. Gaya Bahasa
Gaya bahasa atau yang biasa dikenal adalah majas.

10
Adapun gaya bahasa yang dipakai oleh Ahmad Tohari adalah:
Gaya bahasa yang sederhana dan mudah dipahami pembaca.
G. Amanat
Amanat adalah pesan penulis yang disampaikan kepada pembaca
melalui karyanya.
Adapun amanat dari cerpen Rumah Yang Terang Karya Ahmad
Tohari adalah:
Kita tidak boleh berprasangka buruk terhadap orang lain dan
berbaktilah kepada orang tua selagi kita masih bisa melakukannya.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Cerpen Rumah Yang Terang karya Ahmad tohari merupakan cerpen


yang sangat menarik untuk dibaca oleh semua umur. Gaya bahasa yang
digunakan dalam cerpen juga sangat baik dan mudah dipahami. Alur cerita
dimulai dari awal peristiwa hingga berakhir pada kisah kematian tokoh ayah
yang akhirnya merubah pandangan negatif warga terhadap tokoh ayah. Setelah
membaca cerpen ini, maka pembaca akan mendapatkan pesan moral yang
sangat berguna dalam kehidupan bermasyarakat, salah satunya yaitu
mengajarkan kepada kita bahwasannya kita tidak boleh menyimpulkan sesuatu
sebelum mengetahui alasan dibaliknya

3.2 Saran

11
Dalam cerpen “Rumah yang Terang” karya Ahmad Tohari, melalui
penggambaran rumah sebagai metafora kehidupan. Deskripsikan dengan
cermat bagaimana cahaya dalam rumah mencerminkan kebahagiaan dan
harapan. Sisipkan konflik kecil yang menguji kestabilan rumah tersebut, dan
pembangunan karakter-karakter dengan latar belakang yang memperkaya
cerita. Akhiri cerpen dengan pesan yang memperkuat makna kebersamaan dan
cahaya sebagai penerang di tengah kegelapan kehidupan.

12
DAFTAR PUSTAKA

imtiyaz,http://imtiyaz-publisher.blogspot.com/ Penerbit Buku Buku Islam.

http://sipeg.unj.ac.id/repository/upload/artikel/9._Refleksi_50_Tahun_Pengaj
aran_Bahasa_dan_Seni_Di_Fakultas_Bahasa_dan_Seni_Universitas_Negeri_
Jakarta_Dr_.Siti_Gomo_Atas,_M_. Hum_.-min_.pdf Di akses pada tanggal 3
Maret 2021.

13

Anda mungkin juga menyukai