Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

TEORI, KRITIK, DAN SEJARAH SASTRA

Disusun guna memenuhi tugas

Mata Kuliah: Konsep Dasar Bahasa Indonesia

Dosen Pengampu: Achmad Muchammad Kamil, M.Pd

Disusun oleh:

1. Lu’luil Maknun (2203096001)


2. M. Habib Ja’far (2203096003)
3. Ema Magfiroh (2203096006)
4. Wirda Sahroh (2203096011)
5. Desy Safilatul Safitri (2203096012)
6. Alifa Lutfiatul Hanna (2203096014)
7. Futihatur Rukhama Zulfah (2203096021)

PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERIWALISONGO SEMARANG

2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan Rahmat, hidayah, serta inayah-Nya sehingga makalah yang berjudul
“Teori, Kritik dan Sejarah Sastra” ini dapat tersusun dan terselesaikan dengan baik.
Tidak lupa shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
yang kita harapkan syafaatnya kelak di hari akhir.

Bersama dengan ini kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Achmad
Muchammad Kamil, M.Pd. yang telah memberikan kesempatan kepada kelompok
kami untuk Menyusun makalah ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada
teman atau pihak yang telah bekerja keras dalam penyusunan makalah ini. Kami
menyadari bahwa kemampuan kami dalam Menyusun makalah ini masih banyak
kekurangan. Oleh sebab itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari pembaca. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun
dan pembaca.

Semarang, 27 April 2023

Penyusun

DAFTAR ISI

ii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................ 1
C. Tujuan .................................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 2

A. Menjelaskan dan Memberi Contoh Teori Sastra………………....2 - 12


B. Menjelaskan Pengertian Kritik Sastra…………………………..12 - 14
C. Menjelaskan Sejarah Sastra……………………………………..14 - 20

BAB III PENUTUP………………………………………………………….21

A. Kesimpulan…………………………………………………………..21
B. Saran…………………………………………………………………21

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..22

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sastra merupakan cabang dari seni yang merupakan unsur integral
dari kebudayaan usianya sudah cukup tua. Kajian ilmu sastra meliputi 3
aspek atau disiplin ilmu, yaitu Teori Sastra, Kritik Sastra, dan Sejarah
Sastra. Ketiga disiplin ilmu tersebut saling berkaitan dalam pengkajian
karya sastra.
Teori sastra adalah teori yang mengkaji prinsip-prinsip, hukum,
kategori, kriteria karya sastra yang membedakanya dengan karya yang
bukan karya sastra. Kritik sastra menurut H.B. Jassin (dalam Pradopo: 2021)
Kritik sastra merupakan pertimbangan baik buruknya karya sastra,
penerangan dan penghakiman karya sastra. Sedangkan sejarah sastra ialah
ilmu yang mempelajari perkembangan sastra dari masa ke masa baik sastra
daerah, sastra nasional, maupun sastra mancanegara. Untuk mengkritik
suatu karya sastra pastinya menggunakan teori sastra, maka dari itu kajian
ilmu sastra tersebut saling keterkaitan.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu teori sastra?
2. Apa pengertian dari kritik sastra?
3. Bagaimana sejarah sastra?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui dan memahami tentang teori sastra
2. Untuk mengetahui dan memahami pengertian kritik sastra
3. Untuk mengetahui sejarah sastra

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. TEORI SASTRA

Pada dasarnya ilmu sastra terbagi menjadi tiga bagian, yakni: (1) teori
sastra, (2) sejarah sastra, dan (3) kritik sastra. Ketika kita berbincang tentang
sastra maka tidak akan lepas dari bagian-bagian ilmu sastra tersebut. Teori
sastra merupakan bidang ilmu sastra yang mempelajari tentang konsep-
konsep dasar yang ada pada sastra. Teori sastra ialah cabang ilmu sastra
yang mempelajari tentang prinsip-prinsip, hukum, kategori, kriteria karya
yang membedakannya dengan yang bukan sastra1. Secara umum yang
dimaksud dengan teori adalah suatu sistem ilmiah atau pengetahuan
sistematik yang menerapkan pola hubungan antara gejala-gejala yang
diamati. Teori berisi konsep/uraian tentang hukum-hukum umum suatu
objek ilmu pengetahuan dari suatu titik pandang tertentu.

Teori sastra membahas secara rinci aspek-apek yang ada di dalam karya
sastra, baik konvensi bahasa yang meliputi makna, gaya, struktur, pilihan
kata, maupun konvensi sastra yang meliputi tema, tokoh, penokohan, alur,
latar dan lainnya yang membangun keutuhan sebuah karya sastra.

Definisi mengenai hakikat fungsi dan tugas teori sastra menurut para ahli
sebagai berikut:

1. Wiryamartana. 1992 (dalam Suarta dan Kadek. 2014)


Menyatakan bahwa antara teori dan ilmu sastra belum memiliki
batasan yang nyata, sehingga sastra menjadi ilmu yang banyak
menghadapi hambatan-hambatan.2
2. Wellek dan Warren. 2014 (dalam Suarta dan Kadek. 2014)

1
Hawa, Masnuatul. 2017. TEORI SASTRA. Yogyakarta: CV BUDI UTAMA
2
Suarta, Made dan Kadek Adhi Dwipayana. 2014. TEORI SASTRA. Depok: PT RAJAGRAFINDO
PERSADA

2
Menyatakan bahwa untuk menentukan wilayah studi sastra, perlu
ditarik sebuah perbedaan antara sastra dengan teori sastra, kritik sastra,
dan sejarah sastra. Pertama-tama yang perlu dipilah adalah perbedaan
sudut pandang yang mendasar, kesusastraan dapat dipandang sebagai
deretan karya yang sejajar atau yang tersusun secara kronologis dan
bagian dari suatu proses sejarah.
Selain itu, sastra dapat dipelajari secara umum (melalui studi prinsip,
kategori, dan kriteria) atau secara khusus (melalui telaah langsung karya
sastra). Wellek dan Warren juga menyatakan bahwa teori sastra bukan
sekedar alat bantu untuk mendukung pemahaman dan apresiasi
perorangan terhadap karya sastra karena teori sastra bukanlah tujuan
sebuah ilmu sistematis. Teori sastra justru diperlukan untuk
mengembangkan ilmu sastra itu sendiri.
Jadi, teori sastra adalah studi prinsip, kategori, dan kriteria.
Sedangkan kritik sastra adalah studi karya-karya konkret (pendekatan
statis) dan sejarah sastra. Kedua istilah tersebut berbeda dan memiliki
lingkup studi masing-masing. Perbedaan pandangan tentang teori sastra,
kritik sastra, dan sejarah sastra sangat jelas dan umumnya dapat
diterima. Tetapi, meskipun berbeda ketiga bidang studi sastra tersebut
tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Tidak mungkin
bila kita ingin menyusun teori sastra tanpa kritik sastra dan sejarah
sastra, kritik sastra tanpa teori sastra dan sejarah sastra, dan sejarah
sastra tanpa teori sastra dan kritik sastra.
Pendekatan dalam Teori Sastra
1. Pendekatan Mimesis
Pendekatan ini memiliki pemikiran bahwa sastra merupakan
pencerminan atau representasi kehidupan nyata. . Sastra merupakan
tiruan atau pemaduan antara kenyataan dan imajinasi-majinasi
pengarang. Bisa juga dikatakan bahwa sastra merupakan hasil imajinasi
pengarang yang bertolak dari suatu kenyataan.

3
Dasar pertimbangan pendekatan mimesis adalah dunia
pengalaman, yaitu karya sastra itu sendiri tidak bisa mewakili
kenyataan yang sesungguhnya melainkan hanya sebagai
peniruan kenyataan (Abrams dalam Rokhmansyah, 2014: 9).3
Kenyataan ini dipakai dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu
segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan diacu oleh
karya sastra, seperti benda-benda yang dapat dilihat dan diraba,
bentuk-bentuk kemasyarakatan, perasaan, pikiran, dan
sebagainya.
Pendekatan mimesis menempatkan karya sastra sebagai: (1)
produk peniruan kenyataan yang diwujudkan secara dinamis, (2)
representasi kenyataan semesta secara fiksional, (3) produk
dinamis yang kenyataan di dalamnya tidak dapat dihadirkan
dalam cakupan yang ideal, dan (4) produk imajinasi yang utama
dengan kesadaran tinggi atas kenyataan.
2. Pendekatan Objektif
Dalam pendekatan ini karya sastra dipandang sebagai suatu
kebulatan makna, akibat perpaduan isi dengan pemanfaatan bahasa
sebagai alatnya. Dengan kata lain, pendekatan ini memandang dan
menelaah sastra dari segi intrinsik yang membangun suatu karya sastra,
yaitu tema, alur, latar, penokohan, dan gaya bahasa. Perpaduan yang
harmonis antara bentuk dan isi merupakan kemungkinan yang kuat
untuk menghasilkan karya sastra yang bermutu. Penelaahan sastra
melalui pendekatan objektif ini menjadi anutan para kritikus kaum
strukturalis.
3. Pendekatan Ekspresif
Pendekatan ekspresif ini tidak semata-mata memberikan perhatian
terhadap bagaimana karya sastra itu diciptakan tetapi bentuk-bentuk apa
yang terjadi dalam karya sastra yang dihasilkan. Wilayah studi

3
Rokhmansyah, Alfian. 2014. Studi dan Pengkajian Sastra (Perkenalan Awal Terhadap Ilmu
Sastra). Yogyakarta. Graha Ilmu

4
pendekatan ini adalah diri pengarang. Pikiran dan perasaan, dan hasil-
hasil karyanya. Pendekatan ini dapat dimanfaatkan untuk menggali ciri-
ciri individualisme, nasionalisme, komunisme, feminisme, dan
sebagainya dalam karya sastra individual maupun karya sastra dalam
kerangka periodisasi.
Pendekatan ekspresif menempatkan karya sastra sebagai: (1) wujud
ekspresi pengarang, (2) produk imajinasi pengarang yang bekerja denga
persepsi-persepsi, pikiran- pikiran, dan perasaan-perasaannya, (3)
produk pandangan dunia pengarang.
4. Pendekatan Pragmatis
Pendekatan pragmatis mempertimbangkan implikasi pembaca
melalui berbagai kompotensinya. Dengan mempertimbangkan indikator
karya sastra dan pembaca, maka masalah-masalah yang dapat
dipecahkan melalui pendekatan pragmatis di antaranya berbagai
tanggapan masyarakat atau penerimaan pembaca tertentu terhadap
sebuah karya sastra.

Teori-teori sastra yang lahir dari pandangan atau pendekatan.Berikut ini


akan dijelaskan secara umum tentang teori-teori objektif dalam sastra:
1. Teori Strukturalisme
Struktural adalah konsep yang memandang sesuatu berdasarkan
unsur-unsurnya (Sutardi, 2011:73 dalam Suarta dan Kadek. 2014). Teori
struktural memandang bahwa karya sastra sebagai sesuatu yang saling
terkait antarunsurnya sehingga menghasilkan makna yang menyeluruh.
Adapun strukturalisme adalah suatu paham yang menitikberatkan
perhatiannya terhadap struktur yang terkandung di dalam teks. Teks,
dalam hal ini, mejadi objek yang dapat diteliti maknanya secara terbuka,
yaitu saling terjalin antara unsur yang satu dengan unsur yang lainnya.
Dengan demikian, teori sastra struktural adalah teori yang menganilisis
unsur-unsur pembangun yang ada di dalam karya sastra itu sendiri
(Sutardi. 2011:73 dalam Suarta dan Kadek. 2014).

5
Unsur-unsur dalam dan luar karya sastra tidak dapat dipisahkan,
karena keduanya sebagai unsur yang menyatukan suatu teks. Unsur-
unsur tersebut meliputi alur, tokoh dan latar:
a. Alur
Alur adalah jalannya suatu cerita. Pandangan mengenai alur
secara esensi yakni ingin mengungkapkan jalinan peristiwa yang
terkandung dalam cerita Jalinan peristiwa tersebut ada yang lurus
(maju), ada yang mundur dan ada yang campuran. Alur dalam karya
sastra ditentukan oleh rangkaian kejadian dari waktu ke waktu.
Susunan alur di dalam karya sastra disusun berdasarkan maknanya
bukan waktunya.
b. Tokoh
Tokoh atau penokohan adalah pemberian nama atau kata
ganti orang yang dipilih oleh pengarang dan tergantung pengarang
dalam menyikapinya. Penokohan dalam suatu karya sastra dapat
dijadikan analisis untuk menentukan ideologi dari suatu masyarakat.
Setiap tokoh merepresentasikan sosio-kultur dari teks. Oleh karena
itu penggambaran pola perilaku dari tokoh juga dengan dasar
karakter masyarakat yang ada.
c. Latar
Latar adalah suatu tempat atau kejadian mengenai suatu
peristiwa. Latar ada tiga macam, yaitu latar tempat, latar waktu, dan
latar sosial. Latar tempat mengungkapkan lokasi terjadinya
peristiwa yang diceritakan dalam karya sastra.
Latar waktu adalah latar yang berhubungan dengan kapan
terjadinya peristiwa- peristiwa yang diceritakan. Latar sosial adalah
latar yang mengungkapkan dengan perilaku kehidupan sosial
masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya sastra.
Teori strukturalisme dapat disimpulkan sebagai teori sastra
yang menganilis karya sastra berdasarkan strukturnya dan

6
menganggap karya sastra itu berdiri sendiri secara otonom yaitu
karya sastra yang terlepas dari pengarang dan pembaca.
2. Teori Psikologi Sastra
Psikologi sastra adalah teori yang menitikberatkan perhatiannya
pada unsur kejiwaan yang ada di dalam karya sastra. Unsur kejiwaan itu
dapat terkait dengan pengarang (ekspresif), unsur kejiwaan yang ada di
dalam karya sastra itu sendiri (tekstual), dan unsur kejiwaan yang dapat
mempengaruhi pembaca (Sutardi, 2011:78 dalam Suarta dan Kadek.
2014).
Sigmud Freud membagi kepribadian manusia menjadi tiga aspek
yaitu id, ego dan superego. Id merupakan kepribadian manusia yang
berhubungan dengan aspek kesenangan, ego merupakan kepribadian
manusia yang berusaha menekan id dengan berpegang kepada
kenyataan, dan superego adalah kepribadian manusia yang lebih
menekankan kesempurnaan di banding kenyataan.
Aktivitas kejiwaan dapat meliputi pada diri pembaca. Orang yang
membaca karya sastra akan tergerak atau tidak perasaannya merupakan
bentuk kejiwaan. Seperti kisah-kisah yang telah dibaca dapat
memberikan inspirasi bagi pembaca untuk melakukan kisah serupa.
Dalam hal ini ada dorongan psikologis dari teks sastra yang bekerja
untuk memunculkan rasa kepada pembaca.
3. Teori Sosiologi Sastra
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia
satu dengan manusia lainnya. Hubungan itu dapat saja berteman dan
bermusuhan, yang semuanya terjalin dimasyarakat. Sosiologi sastra
merupakan gabungan dua ilmu, yaitu ilmu sosial dan ilmu sastra.
Gabungan ilmu ini untuk melihat keterhubungan karya sastra dengan
realitas sosial (Sutardi, 2011:80 dalam Suarta dan Kadek. 2014).
Keterhubungan antara manusia dengan lingkungan sekitarnya
merupakan tiruan dalam karya sastra, artinya kehidupan sosial yang
muncul dalam karya sastra hanya gejala sosial dalam bentuk

7
representatif. Dalam praktiknya, sosiologi sastra meneliti mengenai
konteks sosial pengarang untuk melihat hubungan antara posisi
pengarang dalam realitasnya sebagai bentuk proses kreatif. Sosiologi
sastra juga meneliti adanya fakta-fakta sosial yang terkandung di dalam
teks sastra yang merupakan fakta sosial atau hanya imajinasi pengarang,
dan sosiologi sastra meneliti mengenai penerimaan masyarakat terhadap
teks sastra.
4. Teori Semiotika
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda-tanda di dalam suatu
bahasa. Semiotika membahas segala macam tanda di dalam bahasa
sebagai wacana yang memiliki makna. Secara kaidahnya, semiotika
membahas tentang tanda, yakni antara penanda (signifier) dan petanda
(signified). Sistem semiotika menjadi dua tingkat, yakni tingkat pertama
(1) penanda (2) petanda (3) tanda; dan sistem semiotika tingkat kedua
(1) PENANDA (II) PETANDA (III) TANDA (Sutardi, 2011:83 dalam
Suarta dan Kadek. 2014).
Sesuai dengan konsep tanda itu sendiri, yaitu adanya tanda, penanda
dan petanda (yang menandai) maka lahirlah tiga jenis tanda yaitu:
- Adanya ikon yang merupakan hubungan antara penanda dan petanda
yang bersifat ilmiah contoh: gambar batu menandai bentuk batu
- Adanya indeks yang merupakan suatu landa untuk menandakan
adanya hubungan secara alamiah. Seperti sebab dan akibat. Contoh:
adanya asap pasti ada api
- Simbol tidak bersifat secara alami. Dihasilkan dari teks sastra yang
diciptakan pengarang dalam penandaan secara tak langsung dengan
menggunakan metafora. Contoh: mata keranjang yang berarti laki-
laki yang suka melirak-lirik perempuan.
5. Teori Hermeneutika
Kata hermeneutika berasal dari Yunani dari kata kerja hermeneuein
yang berarti menafsirkan. Oleh Friedrich Schleirmacher, hermeneutika
diartikan sebagai ilmu yang mengenali makna melalui tanda-tanda yang

8
bertujuan untuk menangkap pemikiran seseorang sesuai dengan yang
ditangkapnya. Hermeneutika sebagai mekanisme penafsiran terhadap
teks berusaha menjangkau simbol-simbol secara konteks dan
kontekstualisasi agar dapat merepresentasikan bahasa secara filosofis.
Secara kaidahnya, penafsiran hermeneutika dapat menghasilkan
interpretasi terhadap teks dengan kelengkapan karena memberikan
penalaran dan keyakinan melalui pengalaman indera, batin, dan
pengetahuan (Sutardi, 2011:89 dalam Suarta dan Kadek. 2014).
Cara penggunaan atau metode hermeneutika berbeda dengan ilmu
alam, yang secara manusiawi merujuk dengan metafisika, dari teori ke
ontologi, dari hermeneutika ke fenimenalogi sehingga terdapat tiga
tahapan untuk dapat menafsirkan teks.
- Level Semantik mengedapankan penafsiran pada bahasa sebagai
kajian yang harus dipahami karena teks ditulis berdasarkan
bahasa.
- Level Refleksi dalam praktiknya memahami suatu teks dengan
kontemplasi atas apa yang menjadi hakekat dan unsur secara
konteks.
- Level Ekstensial penafsiran menjangkau pada instingtif yang
dimiliki oleh manusia. Prisipnya yaitu kontekstualisasi dari teks
dan konteks karena pada prinsipnya suatu teks membutuhkan
konteks dan kontekstualisasi.
Hermeneutika pada hakikatnya menginterpretasikan teks
berdasarkan isi kandungan dari teks tersebut. Teks sebagai diskursus
yang dibakukan lewat tulisan memiliki aura sehingga pembaca
dihadapkan pada dunia simbol-simbol, yang harus dipahami secara
konteks dan kontekstualisasi untuk menjangkau arti filosofisnya.
Karena itu penafsiran hermeneutika dapat memberikan kenyakinan
kepada pembaca bahwa fenomena di dalam teks dapat menjadi ilmu
pengetahuan apabila diaplikasikan secara representasi dan logis.
6. Teori Formalisme

9
Istilah formalisme berarti cara pendekatan dalam ilmu dan kritik
sastra yang menyampingkan data biografis, psikologis, ideologis, dan
sosiologis dan mengarahkan perhatian pada bentuk karya sastra itu
sendiri.
Pada umumnya teori formalisme dipandang sebagai titik awal
munculnya ilmu sastra modern. Teori ini pulalah yang mendasari studi
sastra menjadi ilmu, dan memunculkan aliran- aliran lainnya seperti
strukturalisme dam semiotik sastra. Teori sastra formalisme ini adalah
salah satu mazhab dalam teori sastra modern. Kelahiran mazhab ini
dirintis oleh sejumlah ahli linguistik dan ahli sastra Rusia. Hal ini
didasarkan pada keyakinan kaum formalis bahwa studi seperti itu sangat
mungkin dan memang pantas dilakukan. Kaum formalis yakin bahwa
studi- studi mereka akan meningkatkan kemampuan pembaca untuk
membaca teks-teks sastra dengan cara yang tepat. Kaum formalis
cenderung untuk mengkaji teks sastra secara formal, yaitu dalam
kaitannya dengan struktur bahasa.
Selden (1991: 33)4 menyatakan bahwa perbedaan antara "cerita"
dengan "alur" diberi tempat penting dalam teori naratif kaum formalis
Rusia. Mereka menekankan bahwa hanya "alur" (sjuzet) yang sungguh-
sungguh bersifat kesastraan, sedangkan "cerita" (fabula) hanya sebagai
bahan mentah yang menunggu pengolahan dari tangan pengarang.
Sjuzet bukan hanya susunan peristiwa-peristiwa cerita, melainkan juga
semua sarana yang digunakan untuk menyela dan menunda penceritaan,
serta yang ditunjukkan untuk menarik perhatian pembaca terhadap
bentuk prosa tersebut. Penyusunan sjuzet didasarkan pada gagasan
defamiliarisasi yang mencegah pembaca dari cara memandang
peristiwa-peristiwa sebagai hal yang khas dan sudah lazim. Istilah-
istilah teknis yang bermacam-macam diperkenalkan dan digunakan oleh
Shklovsky, Eichenbum, Tynjanov, dan lain-lain untuk membedakan

4
Selden, Raman. 1991. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Terjemah Djoko Pradopo.
Yogyakarta: Universitas Gajah Mada

10
faktor-faktor utama yang konstruktif dalam sebuah karya sastra.
Perbedaan antara konsep "cerita" (fabula) dan "alur" (sjuzet) mendapat
tempat yang sangat penting dalam teori naratif formalis Rusia. Fabula
didefinisikan sebagai deskripsi rangkaian peristiwa, atau lebih tepatnya
sebagai penggambaran rangkaian kejadian dalam tatanan yang urut dan
relasi-relasi kausal. Konsep fabula digunakan sebagai lawan konsep
sjuzet yang biasanya diterjemahkan sebagai "plot" atau struktur naratif
Menurut kaum formalis "alur" (sjuzet) adalah cara penyajian materi
semantik dalam teks tertentu, sedangkan "cerita" (fabula) hanyalah
materi bagi formasi plot (Fokkema dalam Rokhmansyah, 2014:65).
7. Teori New Criticsm
New criticism merupakan aliran kritik sastra di Amerika Serikat
yang berkembang antara tahun 1920-1960. Istilah new criticism pertama
kali dikemukakan oleh Jhon Crowe Ransom dalam bukunya yang
berjudul “The New Criticism” (1940) dan ditopang oleh 1. A. Richard
dan TS Eliot. Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap kritik sastra
sebelumnya yang terlalu terfokus pada aspek-aspek kehidupan dan
psikologi pengarang serta sejarah sastra.
Para new criticism menuduh ilmu dan teknologi menghilangkan
nilai perikemanusiaan dari masyarakat dan menjadikannya berat
sebelah. Menurut mereka ilmu (sains) tidak memadai dalam
mencerminkan kehidupan manusia. Sastra, terutama puisi merupakan
suatu jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan lewat pengalaman. Tugas
kritik sastra adalah memperlihatkan dan memelihara pengetahuan yang
khas, unik dan lengkap seperti yang ditawarkan kepada khalayak oleh
sastra agung (Luxemburg, 1991 dalam Suarta dan Kadek. 2014).
Para new criticism juga menganggap berbagai model kritik yang
berorientasi kepada aspek-aspek di luar karya sastra sebagai suatu
kesalahan besar. Orientasi kepada maksud pengarang disebut sebagai
suatu penalaran yang sesat. Makna sebuah puisi juga jangan dikacaukan
dengan kesan yang diperoleh pembaca karena kita dapat terjerumus ke

11
dalam kritik subjektif dan impresionis. Arti sebuah puisi hendaknya
dicarikan di dalam.
Struktur sintaksis dan semantik. Untuk mengetahui arti itu kita harus
mempergunakan pengetahuan kita mengenai bahasa dan sastra. Sejarah
hidup pengarangnya dapat digunakan sejauh dapat menerangkan makna
kata-kata khusus yang dipergunakan dalam karyanya. Selain itu,
pemahaman terhadap konteks penggunaan bahasa sangat ditekankan.
Menurut kaum new criticism, komponen dasar karya sastra baik
lirik, naratif, maupun dramatik adalah kata-kata, citraan, dan simbol-
simbol, bukan watak, pemikiran ataupun plot. Elemen- elemen
linguistik itu sudah diorganisasikan di seputar sebuah tema sentral dan
mengandung maksud, ironi, dan paradoks dalam strukturnya yang
merupakan muara pertemuan berbagai impuls dan kekuatan-kekuatan
yang berlawanan.
B. PENGERTIAN KRITIK SASTRA
Kritik sastra merupakan cabang ilmu sastra yang berurusan dengan
analisis, meneliti, menghakimi, mengkaji, menelaah, menilai baik dan
buruknya suatu karya sastra. Menurut Wellek (dalam Pradopo: 2021) Kritik
Sastra merupakan studi sastra yang langsung berhadapan dengan karya
sastra, secara langsung membicarakan karya sastra dengan penekanan pada
penilaian. Kritik sastra juga merupakan salah satu studi sastra.
Menurut H.B. Jassin (dalam Pradopo: 2021) Kritik sastra merupakan
pertimbangan baik buruknya karya sastra, penerangan dan penghakiman
karya sastra. Kritikan dilakukan atau dirahkan pada hasil karya seseorang.
kritikan juga dilakukan untuk mendorong tumbuhnya kreatifitas. Selain itu
kritik sastra diperlukan agar kualitas karya sastra semakin baik dan untuk
kepentingan keilmuan sastra. Selaian itu kritik sastra juga biasanya
cenderung membahas tentang kelebihan dan kekurangan dari sebuah karya
sastra.
Untuk membuat kritik yang baik tentunya diperlukan kemampuan
mengapresiasi sastra, pengalaman yang banyak dalam menelaah,

12
menganalisis, mengulas karya sastra, dan tentunya menguasai tentang teori
sastra. Dengan demikian kritik yang diberikan terhadap suatu karya sastra
akan menjadi kritikan yang bermakna bagi pengembangan karya sastra
tersebut.

Fungsi Kritik Sastra


Kritik Karya Sastra berfungsi untuk membuka peluang adanya
kemajuan pada bidang sastra, melalui pikiran-pikiran yang kritis
memungkinkan menumbuhkan karya yang bermutu tinggi. Kritik sastra
sebagai pedoman menyusun perkembangan sejarah sastra, memberikan
peneragan kepada pembaca karya sastra,dan dengan adanya kritik sastra
kesusastraan akan berkembang dari sisi kuantitas maupum kualitas,
singkatnya karya sastra berfungsi untuk menyusun suatu teori baru tentang
kesusastraan, perbaikan kualitas suatu karya , membandingkan suatu karya
dengan karya lain

Tahapan-tahapan Kritik Sastra


Pada kritik sastra terdapat tahapan-tahapan. Adapun tahapannya
dibagi menjadi dua yakni Tahap interprestasi yaitu upaya memberikan
tafsiran berdasarkan sifat-sifat karya sastra, interprestasi adalah usaha untuk
memperjelas karya sastra melalui analisis, dan komentar. Dipusatkan pada
ambiguitas dan kiasan-kiasan.
Tahap analisis adalah penguraian bagian-bagian karya sastra atau
norma-norma kaeya sastra, karya sastra adalah satu struktur yang rumit dan
kompleks itulah sebabnya perlu dilakukan penguraian aspek-aspeknya, atau
bisa disebut penjelasan bagian-bagian yang membangun karya sastra
(novel, latar, tokoh, alur, tema)analisis artinya memahami tubuh karya
sastra.

1. Usaha untuk memperjelas karya sastra melalui


Interpretasi
analisis, paraphase dan komentar

13
Tahap
Kritik
Sastra 2. Interpretasi menafsirkan makna karya sastra
berdasarkan unsur-unsur (aspek-aspek) yang lain

3. Penguraian norma-norma karya sastra

Analisis
4. Memahami tubuh karya sastra

C. SEJARAH SASTRA DAN AWAL KELAHIRANYA


1. Pengertian Sejarah
Sejarah merupakan proses kelahiran dan perkembangan kehidupan
sastra atau proses kelahiran dan perkembangan karya sastra dari zaman
ke zaman. Proses perkembangan sastra pada umumnya ditandai oleh
dua kriteria, yaitu kriteria intrinsik dan kriteria ekstrinsik. Kriteria
intrinsik meliputi unsur penanda formal yang membangun/ membentuk
sastra misalnya bentuk prosa fiksi ditandai oleh adanya tema, latar,
tokoh, alur, sudut pandang, dll. Sedangkan kriteria ekstrinsik ditandai
dengan adanya berbagai pengalaman yang berasal dari luar karya sastra
misalnya pengalaman budaya, pengalaman imajinatif, dan pengalaman
kognitif.

Beberapa pendapat tentang awal kelahiran sastra

a. Menurut Umar junus


Umar junus membicarakan lahirnya kesusastraan Indonesia modern
dalam karanganya yang dimuat dalam majalah Medan ilmu
pengetahuan (1960). Dia berpendapat bahwa: sastra ada sesudah ada.
Sastra x baru ada setelah bahasa x ada, yang berarti bahwa sastra

14
Indonesia baru ada setelah Bahasa Indonesia ada, karena bahasa
Indonesia baru ada tahun 1928 (dengan adanya sumpah pemuda).
Maka Umar junus berpendapat bahwa sastra Indonesia baru ada sejak
28 Oktober 1928.
b. Menurut Slamet Mulyono
Slamet Mulyana melihat kelahiran kesusastraan Indonesia dari sudut
lain. Beliau melihat dari sudut lahirnya sebuah negara Indonesia
adalah sebuah negara diantara banyak negara di dunia. Bangsa
Indonesia merdeka tahun 1945. Pada masa itu lahirlah negara
republik Indonesia. Secara resmi pula Bahasa Indonesia digunakan
sebagai bahasa nasional, bahkan dikukuhkan dalam UUD 45 sebagai
undang-undang dasar negara. Karena itu kesusastraan Indonesia baru
ada pada masa kemerdekaan setelah mempunyai bahasa resmi
sebagai bahasa negara. Kesusastraan sebelum merdeka adalah
kesusastraan Melayu, belum kesusastraan Indonesia.
c. Ajip Rosidi
Pendapat Ajip Rosidi mengenai lahirnya kesusastraan Indonesia
dapat kita baca dalam bukunya “kapankah kesusastraan Indonesia
lahir”. Ajip memang mengakui bahwa sastra tidak mungkin ada
tanpa bahasa. Akan tetap, sebelum sebuah bahasa diakui secara
resmi, tentulah bahasa itu sudah ada sebelumnya sebuah bahasa dan
sudah pula di pergunakan orang. Oleh sebab itu Ajip tidak setuju
diresmikannya suatu bahasa dijadikan patokan lahirnya sebuah
sastra. Disisi lain Ajip berpendapat bahwa kesadaran kebangsaan lah
seharusnya dijadikan patokan. Berdasarkan kebangsaan ini
menetapkan bahwa lahirnya kesusastraan Indonesia modern adalah
tahun 1922. Ajip memilih tahun 1922 karena pada tahun itu terbit
kumpulan sajak Muhammad Yamin yang berjudul tanah air.
Kumpulan sajak ini pun, menurut Ajip, mencerminkan corak/
semangat kebangsaan, yaitu tidak ada atau tampak pengarang-
pengarang sebelumnya

15
2. Peridoisasi Sastra Indonesia :
Perkembangan sastra Indonesia sejak kelahiran sampai saat ini
memperlihatkan kesinambungan sejarah. Hal ini tercermin dari berbagai
pembabakan atau periode sastra yang dikemukakan oleh beberapa
pakar. Tujuan periode sastra adalah untuk memudahkan pengembangan
sejarah sastra, selain itu periode sastra menjadi penting untuk penciptaan
karya sastra baru oleh sastrawan.
1Mengutip dari buku Sejarah Sastra Indonesia karya Ahmad Bahtiar
dan Rosida Erowati perkembangan sastra Indonesia dari kelahirannya
sampai saat ini berdasarkan pembabakan waktu atau periode-periode
sastra secara diakronis dengan mempertimbangkan ciri-ciri khusus
setiap periode baik intrinsik maupun ekstrinsik. Dengan
mempertimbangkan hal tersebut dirasakan akan semakin jelas corak
sastranya dan makin jelas adanya atau eksistansi periode sastra tersebut.
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka penulisan sejarah sastra Indonesia
sebagai berikut:
1. Periode 1850-1933
Karya sastra yang banyak ditulis adalah roman yang beralur
lurus, gaya bahasanya mempergunakan perumpamaan klise dan
peribahasa-peribahasa, tapi menggunakan bahasa percakapan
sehari-hari, banyak digresi, bercorak romantis, dan didaktis.
Roman-roman mempersoalkan adat terutama masalah kawin paksa,
permaduan, pertentangan kaum tua yang mempertahankan adat
dengan kaum muda yang menginginkan kemajuan sesuai paham
kehidupan modern, berlatar daerah, dan kehidupannya.
Termasuk dalam periode ini antara lain sastrawan Marah
Rusli (Siti Nurbaya), Abas St Pamuncak (Pertemuan), Nur Sutan
Iskandar (Katak Hendak Jadi Lembu, Karena Mentua, Salah Pilih,
Hulubalang Raja), Abdul Muis (Salah Asuhan), Hamka
(Tenggelamnya Kapal van der wijck), Panji Tisna (Sukreni Gadis
Bali), Selasih (Kehilangan Mestika).

16
2. Periode 1933-1942
Karya sastra yang banyak ditulis adalah puisi, selain drama,
cerpen, roman yang beraliran romantik, puisi jenis baru dan soneta.
Puisi-puisi tersebut menggunakan kata-kata nan indah, bahasa
perbandingan, gaya sajaknya diafan dan polos, rima merupakan
sarana kepuitisan. Prosa yang ditulis menggunakan watak bulat,
teknik perwatakan tidak analisis langsung, alurnya erat karena tak
ada digresi, mempersoalkan kehidupan masyarakat kota seperti
emansipasi, pemilihan pekerjaan, diwarnai idealisme, dan cita-cita
kebangsaan, serta bersifat didaktis.
Pengarang yang termasuk periode ini adalah Amir Hamzah
(Nyanyian Sunyi, Buah Rindu), Sutan Takdir Alisyahbana (Layar
Terkembang dan Tebaran Mega), J.E. Tatenteng (Rindu Dendam),
Armyn Pane (Belenggu), Sanusi Pane (Sandiyakalaning Majapahit
dan Madah Kelana), Mohammad Yamin (Indonesia Tumpah
Darahku).
3. Periode 1942-1945
Periode ini ditandai dengan banyaknya karya propaganda
dan sarat dengan politik Jepang. Untuk mempengaruhi rakyat
Indonesia membantu Jepang dalam perang Asia Raya, pemerintah
melalui Balai Pustaka (Keimen Bunka Shidosho) menerbitkan
karya-karya baik novel, puisi, dan cerpen yang kebaikan dan
keunggulan Jepang. Selain itu Jepang menggunakan sandiwara
sebagai media proganda. Untuk melengkapi karya-karya proganda,
Jepang mengadakan sayembara penulisan cerita baik cerpen
maupun naskah sandiwara. Salah satu pemenang cerpen adalah
Rosihan Anwar (“Radio Masyarakat”) sedangkan pemenang
sayembara, seperti F.A. Tamboenan (Poesaka Sedjati dari Seorang
Ajah), J. Hoetagalung (Koeli dan Roomusya), dan A.M. Soekma
Rahayoe (Banteng Bererong).

17
Pengarang yang menerbitkan novel proganda lainnya adalah
Nur Sutan Iskandar berjudul Cinta Tanah Air (1944) dan cerita
pendek “Putri Pahlawan Indonesia”. Karim Halim menerbitkan
novel Palawija, ia juga pernah menyadur tonil karangan Henrik
Ibsen berjudul de Kleine Eylof menjadi Djeritan Hidoep Baroe.
Semasa Jepang ia menulis cerpen propanda, salah satu cerita
pendeknyanya berjudul “Aroes Mengalir”.
4. Periode 1945-1961
Puisi, cerpen, novel, dan drama berkembang pesat dengan
mengetengahkan masalah kemanusiaan umum atau humanisme
universal, hak-hak asasi manusia (karena dampak perang), dengan
gaya realitas bahkan sinis ironis, disamping mengekpresikan
kehidupan batin/kejiwaan, dengan mengenakan filsafat
ekstensialisme.
Pada karya sastra puisi menggunakan puisi bebas, dengan
gaya ekpresionisme, simbolik, realis, gaya sajaknya presmatis,
dengan kata-kata yang ambigu dan simbolik, dengan bahasa kiasan
seperti metafora, juga ironi dan sinisme.
Sastrawan-sastrawan yang berkiprah dalam periode ini
adalah Chairil Anwar (Deru Campur Debu, Kerikil Tajam yang
Terempas dan yang Putus). Charil bersama Asrul Sani dan Rivai
Apin menulis Tiga Menguak Takdir. Sastrawan lainnya ialah Idrus
(Dari Ave Maria Jalan Lain ke Roma), Achdiat K. Miharja (Atheis),
Sitor Situmorang (Surat Kertas Hijau dan Dalam Sajak), Pramudya
Ananta Toer (Keluarga Gerilya, Perburuan, dan Mereka yang
dilumpuhkan), Moctar Lubis (Jalan Tak Ada Ujung, Tak Ada Esok,
dan Si Jamal).
5. Periode 1961-1971
Periode ini meneruskan gaya periode sebelumnya terutaama
struktur estetisnya, mempersoalkan masalah kemasyarakatan yang
baru dalam suasana kemerdekaan, dengan berorientasi pada bahan-

18
bahan sastra dari kebudayaan Indonesia sendiri, karena dampak
parta-parta corak sastranya bermacam-macam, ada beride keislaman
(Lesbumi,) Ide kenasionalisan (Lesbumi), ide rakyat (Lekra), dan
ada yang bebas mengabdi kemanusiaan. Banyak ditulis cerpen yang
dimuat di berbagai media massa. Tidak muncul novel-novel besar.
Sastrawan-sastrawan yang muncul pada periode ini W.S. Rendra
(Blues untuk Bonie, Balada Orang-orang Tercinta), Toto Sudarto
Bachtiar (Suara), Nugroho Noto Susanto (Hujan Kepagian dan Tiga
Kota), Ramadhan K.H. (Priangan si Jelita), Trisnoyuwono (Lelaki
dan Mesiu), Toha Mochtar (Pulang), B. Sularto (Domba-domba
Revolusi), dan Subagyo Sastrowardoyo (Simphoni).
6. Periode 1972-1998
Periode selain maraknya karya-karya populer juga
banyaknya bentuk eksperimentasi sastra dalam sastra. Dalam karya
puisi memunculkan 4 jenis gaya puisi yaitu mantera, puisi imajisme,
puisi lugu, dan puisi lirik. Masalah yang diangkat dalam puisi
mempersoalkan masalah sosial, kemiskinan, pengangguran, jurang
kaya dan miskin, menggunakan cerita-cerita dan kepercayaan rakyat
dalam balada. Prosanya umumnya menggambarkan kehidupan
sehari-hari yang kental dengan warna daerah dan pedesaan.
Tokoh-tokoh penting sastrawan periode ini adalah Umar
Kayam (Priyayi, Sri Sumarah, Bawuk), Gunawan Mohamamd
(Asramaradana), Taufiq Ismail (Tirani), Bur Rasuanto (Mereka
Telah Bangkit), Sapardi Djoko Damono (Dukamu Abadi), Abdul
Hadi WM (Meditasi), Sutardji Calzoum Bachri (O, Amuk, Kapak),
Linus Suryadi (Pengakuan Pariyem), Iwan Simatupang (Merahnya
Merah, Ziarah, dan Kering), J.B. Mangun Wijaya (Burung-burung
Manyar), Budi Darma (Olenka), N.H. Dini (Pada Sebuah Kapal dan
Dua Dunia).
7. Periode 1998-sekarang

19
Periode ini ditandai dengan maraknya karya-karya sastra,
puisi, cerpen, maupun novel, yang bertema sosial-politik, khususnya
seputar reformasi. Di rubrik sastra harian Republika misalnya,
selama berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau
sajak-sajak reformasi. Berbagai pentas pembacaan sajak dan
penerbitan buku antologi puisi juga didominasi sajak-sajak bertema
sosial-politik.
Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998
banyak melatarbelakangi kelahiran karya-karya sastra - puisi,
cerpen, dan novel - pada saat itu. Bahkan, penyair-penyair yang
semula jauh dari tema-tema sosial politik, seperti Sutardji Calzoum
Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda, Acep Zamzam Noer, dan Hartono
Benny Hidayat dengan media online: duniasastra(dot)com -nya,
juga ikut meramaikan suasana dengan sajak-sajak sosial-politik
mereka.
Penulis dan karya periode ini antara lain, Ayu Utami (Saman
dan Larung), Seno Gumira Ajidarma (Atas Nama Malam, Sepotong
Senja untuk Pacarku, dan Biola Tak Berdawai), Dewi Lestari
(Supernova 1: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh, Supernova 2.1:
Akar, dan Supernova 2.2: Petir), Raudal Tanjung Banua (Pulau
Cinta di Peta Buta, Ziarah bagi yang Hidup, Parang Tak Berulu, dan
Gugusan Mata Ibu), Habiburahman El Shirazy (Ayat-ayat Cinta, Di
atas Sajadah Cinta, Ketika Cinta Berbuah Surga, Pudarnya Pesona
Cleopatra, Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2, dan Dalam Mihrab
Cinta), Andrea Hirata (Laskah Pelangi, Sang Pemimpi, Maryamah
Karpov, dan Padang Bulan dan Cinta dalam Gelas).

20
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Studi sastra atau ilmu sastra memiliki tiga kajian atau ruang lingkup,
yaitu Teori Sastra, Kritik Sastra, dan Sejaraha Sastra. Pada ketiga ruang
lingkup ini memiliki keterkaitan atau terhubung satu sama lain dan tidak
dapat dipisahkan.
Adapun teori sastra adalah teori yang mengkaji prinsip-prinsip,
hukum, kategori, kriteria karya sastra yang membedakanya dengan karya
yang bukan karya sastra. Kritik sastra merupakan pertimbangan baik
buruknya karya sastra, penerangan dan penghakiman karya sastra.
Sedangkan sejarah sastra ialah ilmu yang mempelajari perkembangan sastra
dari masa ke masa baik sastra daerah, sastra nasional, maupun sastra
mancanegara.
Teori sastra terdiri dari teori struktural, psikologi sastra, sosiologi
sastra, teori hermenutika, teori semiotika, formalisme, dan New Criticsm.
Jika kita mengkrtitik sebuah karya pastinya kita akan membutuhkan teori-
teori tersebut.
B. Saran
Dari pembahasan di atas telah dipaparkan mengenai “Teori, Kritik,
dan Sejarah Sastra”. Tentunya diharapkan pembaca bisa memahami
makalah ini. Pembaca juga diharapkan dapat menerapkan ilmu pengetahuan
yang sudah dipaparkan sebelumnya. Namun, disadari bahwa makalah ini
jauh dari kata sempurna karena sumber pengetahuan yang masih terbatas.
Maka dari itu penulis senantiasa menerima masukan, saran dan kritik dari
pembaca yang bersifat membangun demi perbaikan makalah-makalah
berikutnya.

21
DAFTAR PUSTAKA

Rosida, Erowati. Bahtiar, Ahmad. 2011. Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta.


Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sumarsilah, Siti. 2020. Teori dan Sejarah Sastra. Malang. Media Nusantara
Kreatif.

Pardopo Djoko Rachmat. 2021. Beberapa Teori Sstra dan Metode Penerapanya.
Yogyakarta. UGM Press

Gasong Dina. 2018. Bahan Ajar Mata Kuliah Kritik Sastra. Yogyakarta.
Deepublish.

Suarta, Made dan Kadek Adhi Dwipayana. 2014. TEORI SASTRA. Depok: PT
RAJAGRAFINDO PERSADA

Rokhmansyah, Alfian. 2014. Studi dan Pengkajian Sastra (Perkenalan Awal


Terhadap Ilmu Sastra). Yogyakarta. Graha Ilmu

Selden, Raman. 1991. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Terjemah Djoko
Pradopo. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada

Hawa, Masnuatul. 2017. TEORI SASTRA. Yogyakarta: CV BUDI UTAMA

22

Anda mungkin juga menyukai