Anda di halaman 1dari 16

SOSIOLOGI SASTRA DAN PSIKOLOGI SASTRA

Disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Teori Sastra

Dosen Pengampu:
Sangaji Niken Hapsari, M.Pd.

Disusun Oleh:

1. Alya Diva Ramadhan (202221500001)


2. Putri Nur Fathonah (202221500038)
3. Nabilah Anindya Putri (202221500057)
4 Tri Nova Eliza (202221500058)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI
JAKARTA
2023
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat serta karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas makalah ini tepat pada waktunya. Guna memenuhi tugas kelompok untuk
mata kuliah ‘Teori Sastra’ dengan tema “Sosiologi Sastra dan Psikologi Sastra”.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Sangaji Niken Hapsari, M.Pd.
selaku dosen pada mata kuliah ‘Teori Sastra’ yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi pembaca dan juga bagi
penulis, serta kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan
makalah ini.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami
miliki. Oleh karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran dan kritik yang
membangun dari berbagai pihak. Akhirnya, kami berharap semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi dunia pendidikan.

Jakarta, 10 November 2023

Kelompok 7

DAFTAR ISI

SAMPUL

ii
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................2
C. Tujuan...........................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................4
A. Pengertian Sosiologi Sastra...........................................................................4
B. Sasaran Penelitian Sosiologi Sastra..............................................................5
C. Sastra dan Masyarakat..................................................................................6
D. Pengertian Psikologi Sastra...........................................................................7
E. Teori Psikologi Sastra menurut Sigmund Freud...........................................8
F. Teori Psikologi Sastra menurut Abraham Maslow.....................................10
BAB III PENUTUP..............................................................................................12
A. Simpulan.....................................................................................................12
B. Saran............................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................13

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karya sastra sebagai cermin masyarakat pada suatu zaman bisa
juga dianggap sebagai dokumen sosial budaya, meskipun unsur-unsur
imajinasi tidak bisa dilepaskan begitu saja, sebab tidak mungkin seorang
pengarang dapat berimajinasi jika tidak ada kenyataan yang melandasinya.
Karya sastra juga bisa menjadi media untuk menyampaikan gagasan atau
ide-ide penulis. Pencetus teori sastra yang pertama kali yaitu Georg
Lukacs dengan bukunya The Theory of Novel, pertama kali diterbitkan
dalam bahasa Jerman pada tahun 1916 yang kemudian melahirkan teori
sosiologi sastra. Di dalam negeri sendiri yaitu Umar Junus yang
mengemukakan, bahwa yang menjadi pembicaraan dalam telaah sosiologi
sastra adalah karya sastra dilihat sebagai dokumen sosial budaya.
Sedangkan menurut Damono, sastra menampilkan gambaran kehidupan,
dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian
ini, kehidupan mencakup hubungan antar masyarakat, antar masyarakat
dengan orang-seorang, antar manusia, dan antar peristiwa yang terjadi
dalam batin seseorang (2003:1).
Sosiologi sastra adalah karya sastra para kritikus dan sejahrawan
yang pertama mengungkapkan pengarang yang dipengaruhi oleh status
lapisan masyarakat tempat yang berasal, idiologi politik dan sosialnya,
kondisi ekonomi serta khalayak yang ditujunya. Teori-teori sosiologi
sastra mempersoalkan kaitan antara karya sastra dan 'kenyataan’.
Sebenarnya teori sosiologi sastra inilah yang paling tua usianya dalam
sejarah kritik sastra. Dalam kenyataannya, teori yang sudah dirintis oleh
filsafat Plato (Abad 4-3 SM) tentang 'mimesis' itu baru mulai
dikembangkan pada abad 17-18 yakni zaman positivisme ilmiah oleh
Hippolite Taine dan berkembang pesat pada awal abad ke-19 dengan
dicanangkannya doktrin Manifesto Komunis oleh Marx dan Engels. Studi-
studi sosiologis terhadap sastra menghasilkan pandangan bahwa karya
sastra dalam taraf tertentu merupakan ekspresi masyarakat dan bagian dari
suatu masyarakat. Kenyataan inilah yang menarik perhatian para teoretisi
sosiologi sastra untuk mencoba menjelaskan pola dan model hubungan
resiprokal itu. Penjelasan Taine dengan menggunakan metode-metode
ilmu pasti menarik perhatian, namun ciri positivistis dalam teorinya
menimbulkan permasalahan yang rumit mengenai hakikat karya sastra
sebagai 'karya fiksi'. Teori-teori Marxisme, yang memandang seni (sastra)
sebagai 'alat perjuangan politik' terlalu menekankan aspek pragmatis sastra
dan dalam banyak hal mengabaikan struktur karya sastra. Pemikir-pemikir

1
Neomarxis memanfaatkan filsafat dialektika materialisme Marx untuk
mendefinisikan aspek ideologi, politik, dan hubungan ekonomi suatu
masyarakat.
Terkait dengan psikologi, psikologi sastra adalah cabang ilmu
sastra yang digunakan untuk mendekati (mengkaji) suatu karya sastra dari
sudut pandang psikologi (Noor, 2004:92). Psikologi dan sastra merupakan
dua disipilin ilmu yang berbeda, tetapi keduanya memiliki titik kesamaan
yaitu berbicara tentang manusia dan saling berinteraksi. Hal ini
dikarenakan karya sastra dianggap sebagai hasil kreatifitas dan ekspresi
pengarang, sedangkan psikologi dianggap dapat membantu seorang
pengarang dalam hal mengentalkan kepekaan pada kenyataan,
mempertajam kemampuan pengamatan, dan memberi kesempatan untuk
menjajaki pola-pola yang belum terjamah sebelumnya. Ini berarti
psikologi dapat digunakan oleh pengarang untuk memilih karakter tokoh
serta kejiwaan tokoh dalam cerita yang dikisahkan, karakter yang
ditampilkan mampu mendukung jalannya cerita.
Pemahaman tentang dunia psikologi yang bisa ditemukan dalam
sastra juga sangat banyak. Bahkan, psikolog pun belajar tentang psikologi
juga dari konteks kesastraan. Hal tersebut tampak pada pemikiran
Sigmund Freud, Abraham Maslow, Cael Gustav Jung, Erich Fromm, yang
mempelajari psikologi dan juga mempelajari karya sastra. Ide mereka juga
beberapa didapat dari studi terhadap karya sastra, baik karya sastra klasik
ataupun modern. Karena itu, muncul beberapa teori psikologi yang
diangkat dari konteks sastra, misal dia oedipus kompleks dan elektra
kompleks. Seorang pembaca sastra bisa mengenal istilah psikologi juga
bisa melalui sastra, misal saja dejavu, dejamais vu, delusi, ilusi, dan istilah
psikologi lainnya. Hubungan antara karya sastra dengan aspek kejiwaan
yang muncul di dalamnya perlu untuk dicermati. Sastrawan
memperlakukan kenyataan dan dunia dengan tig acara, yakni
manipulative, artifisial, dan interpretatif (Siswanto, 2008:46).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka
rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari sosiologi sastra?
2. Hal-hal apa saja yang termasuk sasaran penelitian sosiologi sastra?
3. Bagaimana hubungan antara sastra dan masyarakat?
4. Apa pengertian dari psikologi sastra?
5. Bagaimana teori psikologi sastra menurut Sigmund Freud?
6. Bagaimana teori psikologi sastra menurut Abraham Maslow?

2
C. Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai pada penulisan makalah ini,
guna menyelesaikan tugas mata kuliah “Teori Sastra” dan untuk
mengetahui apa pengertian sosiologi sastra, hal-hal yang termasuk sasaran
penelitian sosiologi sastra, hubungan antara sastra dan masyarakat,
pengertian psikologi sastra, teori psikologi sastra menurut Sigmund Freud,
dan teori psikologi sastra menurut Abraham Maslow. Makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan bagi pembaca dan penulis.

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi
berasal dari kata sos (Yunani) yang berarti bersama, bersatu, kawan,
teman, dan logi (logos) berarti sabda, perkataan, perumpamaan. Sastra dari
akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajarkan, memberi
petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Merujuk dari
definisi tersebut, keduanya memiliki objek yang sama yaitu manusia dan
masyarakat. Meskipun demikian, hakikat sosiologi dan sastra sangat
berbeda bahkan bertentangan secara dianetral.
Sosiologi adalah ilmu objektf kategoris, membatasi diri pada apa
yang terjadi dewasa ini (das sain) bukan apa yang seharusnya terjadi (das
solen). Sebaliknya karya sastra bersifat evaluatif, subjektif, dan imajinatif.
Sosiologi sastra adalah suatu telaah yang objektif dan ilmiah tentang
manusia dalam masyarakat dan tentang sosial serta proses sosial. Sosiologi
menelaah tentang bagaimana masyarakat itu tumbuh dan berkembang.
Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan masalah-masalah
perekonomian, keagamaan, politik, dan lain-lain. (Atar Semi: 52).
Pandangan Atar Sami mendeskripsikan kajian sosiologi sastra
tidak jauh beda dengan unsur-unsur ekstrinsik karya sastra. Sosiologi
sastra ingin mengaitkan penciptaan karya sastra, keberadaan karya sastra,
serta peranan karya sastra dengan realitas sosial (Ratna, 2009:164). Lebih
jauh Wolf (Faruk dalam Endraswara, 2004:77) memberikan defiinisi
bahwa sosiologi sastra merupakan disiplin yang tanpa bentuk, tidak
terdefinisikan dengan baik, terdiri dari studi, studi empiris dan berbagai
percobaan pada teori yang agak lebih general, yang masing-masingnya
hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan
dengan hubungan sastra dengan masyarakat.
Generalisasi dari berbagai pendapat tentang sosiologi sastra di atas,
sosiologi sastra merupakan telaah terhadap suatu karya sastra dalam
kaitannya dengan pengaruh sosial-budaya yang ikut mempengaruhi cerita
dalam karya sastra. Telaah sosiologis itu mempunyai tiga klasifikasi
(Wellek dan Werren dalam Atar Semi: 53) yaitu:
1. Sosiologi pengarang, yakni yang mempermasalahkan tentang status
sosial, idiologi politik, dan lain-lain yang menyangkut status
pengarang.

4
2. Sosiologi karya sastra, yakni mempermasalahkan tenatang suatu karya
sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak
disampaikannya
3. Sosiologi sastra, yakni mempermasalahkan tentang pembaca dan
pengaruh sosialnya terhadap masyarakat Pada prinsipnya, menurut
Lauren dan Swingewood (Endraswara, 2004:79), terdapat tiga
perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra yaitu;
(1) Penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial
yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut
diciptakan,
(2) Penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial
penulisnya,
(3) Penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa
sejarah dan keadaan sosial budaya.

B. Sasaran Penelitian Sosiologi Sastra


1. Konteks Sosial Pengarang
Konteks sosial sastrawan ada hubungannya dengan posisi sosial
sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat
pembaca. Dalam bidang pokok ini termasuk juga faktor-faktor sosial
yang dapat mempengaruhi karya sastranya. Oleh karena itu, yang
terutama diteliti adalah sebagai berikut.
1) Bagaimana sastrawan mendapatkan mata pencaharian; apakah ia
menerima bantuan dari pengayom atau dari masyarakat secara
langsung atau bekerja rangkap.
2) Profesionalisme dalam kepengarangan membahasa sejauh mana
sastrawan menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi.
3) Masyarakat yang dituju oleh sastrawan. Dalam hal ini, kaitannya
antara sastrawan dan masyarakat sangat penting sebab seringkali
didapati bahwa macam masyarakat yang dituju itu menentukan
bentuk dan isi karya sastra mereka (Damono, 1979: 3-4).
2. Sastra sebagai Cermin Masyarakat
Sastra sebagai cermin masyarakat membahas sejauh mana sastra
dianggap sebagai mencerminkan keadaan masyarakatnya. Kata
“cermin” di sini dapat menimbulkan gambaran yang kabur, dan oleh
karenanya sering disalahartikan dan disalahgunakan. Dalam hubungan
ini, terutama harus mendapatkan perhatian adalah:
1) Sastra mungkin dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada
waktu ia ditulis, sebab banyak ciri masyarakat yang ditampilkan

5
dalam karya sastra itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia
ditulis.
2) Sifat “lain dari yang lain” seorang sastrawan sering mempengaruhi
pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya.
3) Genre sastra sering merupakan sifat sosial suatu kelompok tertentu,
dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat.
4) Sastra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat yang
secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa dipercaya atau
diterima sebagai cermin masyarakat. Demikian juga sebaliknya,
karya sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk
menggambarkan keadaan masyarakat secara teliti barangkali masih
dapat dipercaya sebagai bahan untuk mengetahui keadaan
masyarakat. Pandangan sosial sastrawan harus diperhatikan apabila
sastra akan dinilai sebagai cermin masyarakat (Damono, 1979:4).
3. Fungsi Sosial Sastra
Pendekatan sosiologi berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan
seperti “sampai berapa jauh nilai sastra berkaita dengan nilai sosial?”,
dan “sampai berapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial?”, ada tiga
hal yang harus diperhatikan.
1) Sudut pandang yang menganggap bahwa sastra sama
derajatnya dengan karya pendeta atau nabi.
2) Sudut pandang lain yang menganggap bahwa sastra bertugas
sebagai penghibur belaka.
3) Sudut pandang kompromistis. (Damono, 1978).
Hal ini dkan digunakan untuk menjelaskan sejauh mana pengarang
dapat mewakili dan menggambarkan seluruh
masyarakat dalam karyanya.

C. Sastra dan Masyarakat


Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus
mampu memberi pengaruh terhadapa masyarakat (Semi, 1990: 73). Sastra
dapat dikatakan sebagai cerminan masyarakat, tetapi tidak berarti
masyarakat seluruhnya tergambarkan dalam sastra, yang didapat di
dalamnya adalah gambaran masalah masyarakat secara umum ditinjau dari
sudut lingkungan tertentu yang terbatas dan berperan sebagai
mikrokosmos sosial, seperti lingkungan bangsawan, penguasa,
gelandangan, rakyat jelata, dan sebagainya.
Sastra sebagai cerminan kehidupan masyarakat, sebenarnya erat
kaitannya dengan kedudukan pengarang sebagai anggota masyarakat.
Sehingga secara langsung atau tidak langsung daya khayalnya dipengaruhi

6
oleh pengalaman manusiawinya dalam lingkungan hidup. Pengarang hidup
dan berelasi dengan orang lain di dalam komunitas masyarakatnya, maka
tidaklah heran apabila terjadi interaksi dan interelasi antara pengarang dan
masyarakat.
Lebih lanjut dikatakan bahwa hubungan antara sastra dan
masyarakat dapat diteliti dengan cara:
1) Faktor – faktor di luar teks, gejala kontek sastra, teks itu tidak ditinjau.
Penelitian ini menfokuskan pada kedudukan pengarang dalam
masyarakat, pembaca, penerbitan dan seterusnya. Faktor-faktor
konteks ini dipelajari oleh sosiologi sastra empiris yang tidak
dipelajari, yang tidak menggunakan pendekatan ilmu sastra.
2) Hal-hal yang bersangkutan dengan sastra diberi aturan dengan jelas,
tetapi diteliti dengan metode-metode dari ilmu sosiologi. Tentu saja
ilmu sastra dapat mempergunakan hasil sosiologi sastra, khususnya
bila ingin meniti persepsi para pembaca.
3) Hubungan antara (aspek-aspek) teks sastra dan susunan masyarakat
sejauh mana sistem masyarakat serta jaringan sosial dan karyanya,
melainkan juga menilai pandangan pengarang.

D. Pengertian Psikologi Sastra


Psikologi ialah ilmu yang mempelajari tentang jiwa akan tetapi
dikarenakan jiwa yang berifat abstrak, maka yang bisa diteliti ialah
peristiwa atau kreativitasnya dengan manifestasi atau perjalanan
kehidupan jiwa itu. Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari sebuah
tingkah laku dan aktivitas itu sebagai manifestasi terhadap kejiwaan
walgito (dalam Musaroh 1986: 13). Dengan adanya peristiwa kehidupan
sehari hari seseorang akan diketahui bagaimana keadaan jiwanya karena
sebuah tingkah laku merupakan cerminan jiwa seseorang.
Psikologi sastra memandang bahwa karya sastra sebagai hasil
kreativitas pengarang yang nenggunakan media bahasa dan diabadikan
untuk kepentingan estetik. Psikologi sastra ialah sebuah interdisipliner
anatar psikologi dan sastra (Endarsawara, 2010:59). Psikologi sastra ialah
kajian sastra yang memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan masing-
masing. Psikologi sastra juga mengenal karya sastra sebagai pantulan
kejiwaan. Pengarang akan menangkap gejala jiwa dan dilengkapi dengan
kejiwaaannya kemudian diolah kedalam teks. Psikologi sastra ialah suatu
disiplin yang memandang karya sastra sebagai suatu karya yang memuat
peristiwa-peristiwa kehidupan manusia yang diperankan oleh tokoh-tokoh
faktual (Wellek dan Warren, 1993:90). Psikologi sastra mempelajari
fenomena kejiwaan tertentu yang dialami oleh tokoh utama dalam sebuah

7
karya sastar ketika merespon atau bersaksi terhadap diri dan
lingkungannya, dengan demikian gejala kejiw:aan dapat terungkap lewat
tokoh dalam sebuah karya sastra (Siswantoro, 2010: 32).
Menurut Damono (dalam Musaroh 1981:11) antara sastra dan
psikologi mempunyai hubungan langsung, yang artinya hubungan itu
karena ada sastra atau psikologi yang kebetulan memiliki tempat berangkat
yang sama yaitu kejiwaan manusia. Hal ini sama dengan pendapat Jatman
(1985: 165) bahwa antara psikologi dan sastra mempunyai hubungan lintas
yang bersufat langsung. Artinya hubungan itu ada dikarenakan sastra
mampu untuk menagkap kejiwaan manusia secara sederhana. Psikologi
sastra merupakan gabungan antara antara ilmu psikologi dengan ilmu
sastra, masalah yang dikembangkan dalam sebuha permasalahan psikologi
sastra dimana yang berkaitan dengan manusia ataupun tokoh untuk
pencerminan jiwa. Bukan hanya jiwa itu sendiri yang muncul didalam
sastra akan tetapi juga memiliki jiwa orang lain.
Menurut Endaswara (via Minderop 2010:59) mempelajari tentang
sastra sebenarnya sama dengan mempelajari manusia dari sisi yang dalam.
Bisa jadi aspek “dalam” yang sering kali bersifat subjektif yang membuat
para peneliri sastra menganggap itu berat. Sebenarnya mempelajari
psikologi sastra bisa jadi lebih menyenagkan karena kita bisa memahami
dari sisi dalam jiwa dan yang jelas sangat luas. Jadi belajar melalui
psikologi ssatra sama halnya dengan memahami setiap jiwa yang terdaoat
dalam suatu karya sastra. Namun tidak hanya memahami apa yang
dirasakan oleh tokoh dalam cerita akan tetapi juga memahami pikiran-
pikiran para pelaku yang terdapat didalam certia novel tersebut, salah
satunya ialah kecemasan.

E. Teori Psikologi Sastra menurut Sigmund Freud


Psikologi sastra menurut Sigmund Freud adalah alam bawah sadar.
Sastra adalah proses pembentukan mimpi yang secara tidak langsung
memberi kepuasan bagi pengarang maupun pembaca. Teori Sigmund
Freud ini disebut juga teori psikoanalisis. Teori ini berhubungan dengan
fungsi perkembangan mental manusia. Unsur kejiwaan dalam teori
psikologi sastra menurut Sigmund Freud dibagi menjadi:
1. Id
Id adalah sistem kepribadian yang asli, dibawa sejak lahir. Dari id
ini kemudian akan muncul ego dan superego. Saat dilahirkan, id berisi
semua aspek psikologi yang diturunkan, seperti insting, impuls dan
drives. Id berada dan beroperasi dalam daerah tak sadar, mewakili
subjektivitas yang tidak pernah sisadari sepanjang usia. Id

8
berhubungan erat dengan proses fisik untuk mendapatkan energi psikis
yang digunakan untuk mengoperasikan sistem dari struktur
kepribadian lainnya. Id beroperasi berdasarkan prinsip kenikmatan
(pleasure principle), yaitu berusaha memperoleh kenikmatan dan
menghindari rasa sakit. Plesure principle diproses dengan dua cara :
a. Tindak Refleks (Refleks Actions)
Adalah reaksi otomatis yang dibawa sejak lahir seperti mengejapkan
mata dipakai untuk menangani pemuasan rangsang sederhana dan
biasanya segera dapat dilakukan.
b. Proses Primer (Primery Process)
Adalah reaksi membayangkan/mengkhayal sesuatu yang dapat
mengurangi atau menghilangkan tegangan dipakai untuk menangani
stimulus kompleks, seperti bayi yang lapar membayangkan makanan
atau puting ibunya.
Id hanya mampu membayangkan sesuatu, tanpa mampu
membedakan khayalan itu dengan kenyataan yang benar-benar
memuaskan kebutuhan. Id tidak mampu menilai atau membedakan
benar-benar salah, tidak tahu moral. Alasan inilah yang kemudian
membuat id memunculkan ego.
2. Ego
Ego berkembang dari id agar orang mampu menangani realita
sehingga ego beroperasi mengikuti prinsip realita (reality principle)
usaha memperoleh kepuasan yang dituntut id dengan mencegah
terjadinya tegangan baru atau menunda kenikmatan sampai ditemukan
objek yang nyata-nyata dapat memuaskan kebutuhan.
Ego adalah eksekutif atau pelaksana dari kepribadian, yang
memiliki dua tugas utama ; pertama, memilih stimuli mana yang
hendak direspon dan atau insting mana yang akan dipuaskan sesuai
dengan prioritas kebutuhan. Kedua, menentukan kapan dan bagaimana
kebutuhan itu dipuaskan sesuai dengan tersedianya peluang yang
resikonya minimal. Ego sesungguhnya bekerja untuk memuaskan id,
karena itu ego yang tidak memiliki energi sendiri akan
memperoleh energi dari id.
3. Superego
Superego adalah kekuatan moral dan etik dari kepribadian, yang
beroperasi memakai prinsip idealistik (edialistic principle) sebagai
lawan dari prinsip kepuasan id dan prinsip realistik dari ego. Superego
berkembang dari ego, dan seperti ego, ia tak punya sumber energinya
sendiri. Akan tetapi, superego berbeda dari ego dalam satu hal penting

9
superego tak punya kontak dengan dunia luar sehingga tuntutan
superego akan kesempurnaan pun menjadi tidak realistis.
Prinsip idealistik mempunyai dua sub prinsip yakni suara hati
(conscience) dan ego ideal. Freud tidak membedakan prinsip ini secara
jelas tetapi secara umum, suara hati lahir dari pengalaman-pengalaman
mendapatkan hukuman atas perilaku yang tidak pantas dan mengajari
kita tentang hal-hal yang sebaiknya tidak dilakukan, sedangkan ego
ideal berkembang dari pengalaman mendapatkan imbalan atas perilaku
yang tepat dan mengarahkan kita pada hal-hal yang sebaiknya
dilakukan. Superego bersifat nonrasional dalam menuntut
kesempurnaan, menghukum dengan keras kesalahan ego, baik yang
telah dilakukan maupun baru dalam fikiran. Ada tiga fungsi superego ;
(1) mendorong ego menggantikan tujuan-tujuan realistik dengan tujuan
moralistik, (2) merintangi impuls id terutama impuls seksual dan
agresif yang bertentangan dengan standar nilai masyarakat, (3)
mengejar kesempurnaan.

F. Teori Psikologi Sastra menurut Abraham Maslow


Salah satu cabang psikologi sastra adalah Psikologi Humanistik
yang dikemukakan oleh Abraham Maslow. Dalam psikologi humanistik,
Maslow menyatakan bahwa manusia adalah makhluk kreatif yang tidak
dikendalikan oleh kekuatan bawah sadar tetapi oleh nilai dan pilihan
mereka sendiri. Psikologi humanistik sebagai respon penolakan terhadap
psikologi behavioristik dan psikoanalisis. Psikologi humanistik
dikembangkan oleh Abraham Maslow yang berfokus pada manusia dan
karakteristik keberadaannya. Menurut Maslow dalam psikologi
humanistik, psikologi behaviorisme telah merendahkan manusia karena
gagal berkontribusi dan memahami manusia serta kondisi keberadaannya
(Wiyatmi, 2011:12).
Psikologi humanistik yang dikemukakan oleh Abraham Maslow
(Psikolog asal Amerika Serikat) dikenal sebagai teori hierarki kebutuhan
bertingkat (hierarchy of needs) (Wulandari dkk., 2017). Menurutnya
kebutuhan dibagi menjadi empat tahap diantaranya adalah kebutuhan
fisiologis, kebutuhan keamanan, kebutuhan akan cinta dan kepemilikan,
serta kebutuhan akan penghargaan (Minderop, 2010).
Teori Abraham Maslow dikenal juga sebagai hierarki kebutuhan,
yang mencakup:
1. Kebutuhan Fisiologis (Fisik)
Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan untuk menopang
kehidupan fisik. Kebutuhan ini berkaitan dengan kebutuhan dasar

10
manusia seperti makan, minum, istirahat, minum obat, menghindari
penyakit dan mendapatkan kebutuhan seksual.
2. Kebutuhan akan Rasa Aman
Kebutuhan rasa aman mencakup kebutuhan rasa aman secara fisik,
mental serta perlindungan dan kebebasan dari hal-hal yang
mengancam seperti rasa takut, cemas, bahaya dan keresahan (bahaya
fisik dan emosi).
3. Kebutuhan akan Kasih Sayang dan Rasa Memiliki
Kebutuhan akan kasih sayang adalah kebutuhan terhadap rasa
saling menghormati, menghargai dan saling percaya, dan dari kasih
sayang ini menimbulkan rasa saling memiliki, seperti rasa cinta. Jadi,
hubungan hangat dan akrab, dicintai dan ingin dicintai, serta
kesetiakawanan untuk meningkatkan rasa percaya diri seseorang
4. Kebutuhan akan harga diri
Kebutuhan akan harga diri adalah kebutuhan penghargaan terhadap
diri sendiri (motivasi diri) serta kebutuhan akan dihargai dan mendapat
rasa hormat dari orang lain. Jadi, bisa dikatakan kehidupan masyarakat
berhubungan dengan kedudukan, kekuasaan, kekayaan, dan prestasi.
5. Kebutuhan akulturasi diri
Kebutuhan akulturasi diri ini merupakan kebutuhan yang muncul
setelah kebutuhan lain terpenuhi.

11
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Sosiologi sastra adalah teori sastra yang menganalisis suatu karya
sastra dalam hubungannya dengan masyarakat, terutama masyarakat
sebagai pembaca karya tersebut. Sedangkan psikologi sastra adalah cabang
ilmu sastra yang digunakan untuk mendekati aspek-aspek kejiwaan yang
terkandung dalam suatu karya. Tujuan psikologi sastra bukanlah untuk
memecahkan masalah psikologis, tetapi untuk memahami kejiwaan yang
terkandung dalam karya sastra. Kedua disiplin ini dapat memberikan
pemahaman yang lebih dalam tentang karya sastra, baik dari segi
hubungannya dengan masyarakat maupun aspek-aspek kejiwaan yang
terkandung di dalamnya. Sosiologi sastra dan psikologi sastra dapat
digunakan sebagai pendekatan, teori, teknik penelitian, atau metode dalam
menganalisis karya sastra.

B. Saran
Setelah mengetahui dan memahami tentang sosiologi sastra dan
psikologi sastra, hendaknya kita mempergunakan pengetahuan itu dengan
baik bukan malah kita sia-siakan pengetahuan yang begitu berharga ini.
Dan meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyususnan
makalah ini, akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan
yang perlu kami perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minim pengetahuan.
Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca
sangat diharapkan sebagai bahan evaluasi untuk kedepannya.

12
DAFTAR PUSTAKA
Wulandari, H. (2013). Psikologi dalam Sastra. Skripsi. Purwokerto: Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Ahmadi, A. (2015). Psikologi Sastra. Unesa University Press: Surabaya.
Eagleton. (2007). Teori Sastra. Jakarta: Jalasutra.
Ade, C. (2018). Sosiologi Sastra. Jakarta.
Alwisol. (2009). Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.
Dede, S.A. (2012). Pendekatan Sosiologi Sastra. Makassar.

13

Anda mungkin juga menyukai