Anda di halaman 1dari 23

http://contoh.

in

KAJIAN SEMIOTIK DALAM KARYA SASTRA


ROMAN

BUMI MANUSIA
KARYA
PRAMOEDYA ANANTA TOER

OLEH:
Mochammad Ilcham
Mohamad Sahril
Ninin Herlina

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

http://contoh.in

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah swt yang telah melimpahkan berkat dan rahmat-Nya
kepada sekalian makhluk. Selanjutnya Shalawat dan salam turut penulis sanjungkan
kepada Nabi Muhammad saw, dengan perjuangan dan kasih sayangnya membawa umat
manusia menuju kehidupan yang memiliki peradaban.
Penulis memanjatkan syukur yang sedalamnya karena telah menyelesaikm
makalah sederhana tentang suatu kajian budaya yakni merupakan bagian dari beragam
pendekatan dalam penelitian sastra. Penulis memandang penting untuk mengkaji
pendekatan penelitian sastra guna pengembangan dan pemaknaan yang lebih sistematis
terhadap sebuah karya sastra. Dalam hal ini pendekatan penelitian sastra yang
digunakan adalah pendekatan semiotik. Pendekatan semiotik ini digunakan dalam
menganalisis konsep sastra dalam sebuah Roman Bumi Manusia karya Pramoedya
Ananta Toer.
Namun, penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan baik dalam
penyajian teori bahkan dalam pemaparan analisis yang masih kurang mendalam.
Sehingga penulis berharap adanya sumbangan pemikiran atau tanggapan yang bersifat
konstruktif demi kelengkapan dan kedalaman kajian selanjuntya.
Demikian kami sampaikan ucapan terima kasih kepada dosen Pembimbing yang
telah mengarahkan penulis dalam menemukan konsep kajian dalam penelitian sastra
serta kepada teman-teman dan pembaca sekalian.

Jakarta, 13 Desember 2011


Penulis

http://contoh.in

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..........................................................................................

DAFTAR ISI.........................................................................................................

ii

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................

A..................................................................................................... Latar
Belakang Kajian ...................................................................................

B. .................................................................................................... Fokus
Kajian ...........

C. .................................................................................................... Manfaat
Kajian ...................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................

A..................................................................................................... Kajian
Teori .....................................................................................................

1. ............................................................................................... Hakikat
Semiotika........................................................................................

2. ............................................................................................... Pemikir
an dan Konsep Semiotika ...............................................................

3. ............................................................................................... Semioti
ka dalam Sastra...............................................................................

B. .................................................................................................... Analisis
Semiotik dalam Novel Bumi Manusia .................................................

1. ............................................................................................... Biografi
Pengarang .......................................................................................
3

http://contoh.in

2. ............................................................................................... Sinopsi
s Novel Bumi Manusia ...................................................................

11

3. ............................................................................................... Aplikas
i Semiotik Ketidaklangsungan Ekspresi dalam Novel Bumi Manusia
BAB II PENUTUP................................................................................................

12
16

A. ............................................................................................. Kesimp
ulan................................................................................................

16

B. ............................................................................................. Saran
Daftar Pustaka
Lampiran

16

http://contoh.in

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kajian
Proses kajian sastra memiliki peran penting dalam kehidupan kebahasaan serta
dalam upaya pencarian makna yang lebih dalam tentang sebuah karya sastra. Dalam hal
ini dikenal beberapa macam pendekatan sastra. Adapun pendekatan sastra disini adalah
teknik yang mengarah pada upaya untuk memperngaruhi emosi dan perasaan pembaca.
Sastra sebagai karya imajinatif yang mempergunakan bahasa memiliki
perbedaan dengan karya-karya kebahasaan lainnya yang lebih mementingkan fungsi
referensi bahasa berupa penyampaian pesan. Sebaliknya karya sastra mementingkan
fungsi estetik bahasa sebagai sarana ekspresinya. Dalam karya sastra pengarang
berusaha mendapatkan efek dari penggunaan bahasanya itu, berupa keterkesanan dan
keterpesonaan pembaca, disamping diterimanya nilai-nilai tertentu yang biasanya
bernilai pendidikan oleh pembaca tanpa disadari.
Karya sastra selalu mendapat tanggapan dan pemaknaan yang beraneka ragam
dari pembacanya dan tidak selalu tepat dengan pemaknaan yang dimaksud penulis
sastra itu sendiri. Hal tersebut dikarenakan perbedaan zaman, pengalaman, kemampuan,
pemahaman, dan situasi pembacanya. Dengan kata lain perbedaan pemaknaan tersebut
terjadi karena horizon harapan pembaca yang berbeda, sehingga timbul bermacammacam penafsiran terhadap teks sastra tersebut.
Dalam kaitannya dengan pembahasan di atas, Hirsch dalam Djoko Pradopo
membedakan arti dan makna. Menurutnya, arti yang diberikan oleh pembaca terhadap
teks adalah makna (signifikansi), ia berubah sesuai dengan horizon harapan pembaca
teks sastra tersebut. Arti yang diberikan pengarang bersifat tetap dan tidak berubah,
disebut arti (meaning).1 Dengan demikian muncul masalah manakah yang harus
dipegang? Arti yang diberikan pengarang atau makna yang diberikan pembaca?.
Berdasarkan subjektifitas yang berkemungkinan muncul dalam penafsiran karya sastra,

Rachmat Djoko Paradopo, Kritik Sastra Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h. 40

http://contoh.in

maka pembatasan yang lebih relevan adalah memahami beragam pendekatan analisis
yang ada sebagai upaya menganalisis sebuah karya sastra secara lebih sistematis dan
menyamai alur makna yang dimaksud penulis itu sendiri.
Dengan demikian mengenal salah satu pendekatan kajian sastra dalam makalah
ini adalah suatu keharusan guna memahami konsep kerkaryaan yang lebih utuh.
Selanjutnya, pendekatan yang menjadi bahasan dalam makalah ini adalah pendekatan
semiotik, yakni suatu kajian tentang tanda, makna dan arti. Semiotik sebagai ilmu
tentang tanda lahir pada awal abad 20. Teori dan metode semiotik tidak dapat
dipisahkan dari teori strukturalisme karena ia merupakan kelanjutannya.
B. Fokus Kajian
Berdasarkan latar belakang kajian, maka sekiranya penting menentukan fokus
kajian, mengingat aka nada banyak criteria kajian yang menarik untuk dibahas. Dalam
hal ini penulis menentukan fokus kajian yakni dalam menganalisis Bagaimana
memahami konsep kajian Novel Bumi Manusia dengan menggunakan pendekatan
semiotik?.
C. Manfaat Kajian
Secara sederhana kajian sastra dalam pendekatan semiotik memiliki manfaat
yang cukup signifikan terhadap proses pemaknaan sebuah karya sastra. Dalam hal ini
penulis berusaha mengungkapkan bahwa pendekatan semiotik ini memiliki potensi
dalam penganalisisan dan penginterpretasian sebuah novel yang sarat unsur pendidikan
dan budaya. Seperti halnya dalam novel Bumi Manusia yang memunculkan banyak
tafsiran dan pemaknaan model kehidupan yang holistik.

http://contoh.in

BAB II
PEMBAHASAN
A. Kajian Teori
1. Hakikat Semiotika
Banyak definisi dan pengertian yang diberikan para ahli terhadap semiotik,
Mansur Pateda menuliskan bahwa semiotik adalah teoeri tentang sistem tanda. Nama
lain semitiok adalah semiologi dari bahasa Yunani semeion yang bermakna tanda,
mirip dengan istilah semiotik.2 Alex Sobur menganggap semiotik sebagai suatu model
ilmu social yang memahami dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar
yang disebut tanda.3
Semiotik sebagaimana disimpulkan oleh Burhan adalah ilmu atau metode
analisis untuk mengkaji tanda. Tand adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain
yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain.4 Perintis awal
semiotik adalah Plato (428-348 SM), ia memeriksa asal-muasal bahasa dalam bukunya
Cratylus, juga Aristoteles yang mencermati kata benda dalam bukunya Poetics dan On
Interpretation. Keterangan tersebut menunjukkan bahwa sejak awal telah disadari
bahwa sistem penandaan memiliki pengaruh yang besar, bahkan sejak dulu tanda
menjadi sumber perdebatan. Meskipun konsen terhadap sistem tanda-tanda yang ada di
sekitar manusia telah ada sejak lama, tetapi dasar penelusuran tentang tanda baru
diletakkan pada abad pertengahan dalam ajaran St. Augustinus (345-430 M).5
2. Pemikiran dan Konsep Semiotika
Disamping tokoh-tokoh yang disebutkan di atas, dalam kajian semiotik tentu
kita tidak terlepas dari teori Saurrese. Kajian semiotik adalah pengenalan atas tandatanda yang terdapat pada unsure atau bagian dari kebudayaan. Saussure (1915)

Mansur Pateda, Semantik Leksikal, (Jakarta: Rioneka Cipta, 2001), hal. 28


Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001), hal. 87
4
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1998), hal.
40
5
Paul Cobley, Semiotika for Beginners, (Bandung: MIzan, 2002)., hal. 6
3

http://contoh.in

menyebutkan bahwa tanda terdiri atas dua muka yang tak terpisahkan, yakni signifiant
dan signifi. Untuk memahami semiotik dalam kebudayaan, Barthes dalam bukunya
yang terkenal Mythologies (1957) telah mendefinisikan. Ia bertolak dari teori Saussure
yang melihat semua gejala dalam kebudayaan sebagai tanda yang terdiri atas significant
(penanda), yaitu gejala yang tercerap secara mental oleh manusia sebagai citra
akustik, dan signifi (petanda), yaitu makna atau konsep yang ditangkap dari signifiant
tersebut.
Dalam kebudayaan Prancis, Barthes menggambarkan pemahaman significant
pada signifi-nya sebagai suatu proses dua tahap. Karena significant adalah gejala yang
selain diperhatikan oleh kognisi manusia juga diproduksi, maka ditinjau dari
pemroduksi tanda, significant disebutnya expression (E) (ekspresi, pengungkapan),
signifi sebagai contenu (isi atau konsep).
Menurut Barthes, hubungan (R) antara E dan C terjadi terjadi pada manusia
dalam lebih dari satu tahap. Tahap pertama adalah dasar (primer) yang terjadi pada saat
tanda dipahami untuk pertama kalinya, yang kemudian diklasifikasikan dengan R1
antara E1 dan C1. Namun pemaknaan tanda tidak pernah terjadi hanya pada pemaknaan
primer. Prosesnya akan berlanjut dengan pengembangannya pada system sekunder,
yakni R2 antara E2 dan C2. Sistem sekunder adalah lanjutan yang mengembangkan baik
system E maupun C.
Aliran yang lain dalam semiotik juga dikemukakan Charles Sanders Peirce. Ia
beranggapan bahwa jagat raya terdiri atas tanda-tanda. Ini merupakan pandangan
pansemiotok tentang jagat raya kita.
Peirce melihat tanda bukan sebagai sebuah struktur, namun berupa suatu pemaknaan
tiga tahap. Model Peirce adalah suatu model triadic. Manusia membari makna pada
tanda melalui sebuah proses pemaknaan tanda yang disebutnya semiosis. Semiosis
merupakan suatu proses tiga tahap, yakni:
Tahap 1:

pencerapan representamen (R), yaitu wajah luar tanda yang berkaitan


dengan manusia secara langsung (ini sering disamakan dengan
pengertian tanda)
8

http://contoh.in

Tahap 2:

perujukan representamen pada obyek (O), yakni yang merupakan konsep


yang dikenal oleh pemakai tanda berkaitan dengan representamen
tersebut.

Tahap 3:

penafsiran lanjut oleh pemakai tanda, yang disebut interpretan (I)


setelah representamen dikaitkan dengan objek.

Beberapa contoh yang bisa dikemukakan terhadap teori tersebut dalam


penafsiran setengah jalan.
Contoh 1:

cahaya yang kita lihat menyembur di ufuk timur ketika pagi hari (R)
dipresepsikan dan dirujuk pada suatu peristiwa terbitnya matahari (O).

Contoh 2:

kata badik yang dituliskan dalam sebuah cerita (R) dipresepsikan dan
dirujuk pada sesuatu yang berkaitan dengan suku Bugis, Makassar atau
suku lain di Sulawesi Selatan.

Contoh 3:

lampu hijau pada rambu-rambu lalu lintas (R) kita rujuk makna/konsep
jalan terus (O)

Ketiga contoh tersebut merupakan proses semiosis setengah jalan (R

O).

Contoh 1 memperlihatkan R yang berkaitan langsung dengan atau bagian dari O


(cahaya dengan matahari), yang disebut indeks. Contoh 2 memperlihatkan R yang
mewakili identitas O (Bandik dengn suku Bugis, Makassar dan suku-suku di Sulawesi
Selatan), yang disebut ikon. Contoh 3 memperlihatkan R yang perujukkannya pada O
bersifat konvensional (disepakati oleh masyarakat). Lampu rambu lalu lintas berwarnah
hijau (R) memiliki O yang disepakati, yakni jalan terus atau dipersilahkan, yang
disebut lambang.
Proses dari ketiga contoh di atas masih separuh jalan karena sebenarnya masih
akan berlanjut pada proses penafsiran yang disebut interpretan.
Seperti pada contoh 1 penafsiran yang mungkin adalah misalnya (ada cahaya)
menyembur di bagian timur Jakarta
berkokok
masing-masing,

mungkin daerah Rawamangun

para penduduk terbangun dan menyibukkan diri dengan aktifitasnya


kenderaan mulai lalu lalang di jalanan

berangkat ke sekolah, dan seterusnya.


9

ayam

anak-anak mulai

http://contoh.in

Contoh 2 (badik) interpretan yang mungkin adalah alat bukti yang didapatkan polisi
pada sebuah peristiwa pembunuhan

yang berlatarbelakang dendam lama

kejadian terjadi di sebuah terminal bus di Makassar, dan seterusnya.


Contoh 3 (lampu hijau) dapat ditafsirkan waktunya jalan terus
justeru akan melanggar

alau tidak jalan

atau sebuah kesempatan bagi seseorang untuk mendapatkan

sesuatu.
Sementara teori Peirce mengatakan bahwa sesuatu itu dapat disebut sebagai
tanda jika ia mewakili sesuatu yang lain. Sebuah tanda haruslah mengacu/mewakili
sesuatu yang yang disebut obyek/acuan (denotatum/referent). Tanda tersebut harus
ditangkap dan dipahami dalam perespektif kesaling hubungan antara tanda itu sendiri,
ground atau sebuah tata acuan atau konvensi yang mendasari pemahaman tanda,
denotatum yaitu suatu kelas dari acuan yang ditunjuknya,6 dan pemahaman makna yang
timbul dalam kognisi lewat interpretasi yang disebut interpretant.7
Pierce membedakan hubungan antara tanda dengan acuannya dalam tiga jenis
hubungan yaitu: (1) ikon, jika ia berupa hubungan kemiripan. Foto, peta geografis,
penyebutan atan penempatan di bagian awal atau depan (sebagai tanda bahwa sesuatu
itu dipentingkan) merupakan contoh ikon, (2) indeks, jika ia berupa hubungan
kedekatan eksistensi, misalnya asap hitam sebagai pertanda adanya kebakaran, wajah
muram sebagai tanda hati yang gundah dan sedih, dan (3) symbol, jika ia berupa
hubungan yang sudah terbentuk secara konvensi, mislanya morse dari bahasa.8
Selanjutnya menurut Eco ketika seseorang menuturkan kata (image) maka ia
terlibat dalam sebuah proses produksi tanda, ia mempekerjakan tanda-tanda (memilih,
menyeleksi, menata, dan mengkombinasikan dengan cara dan aturan main tertentu).9

Uki Sukiman, Ikonitas dalam Novel Hamamah Salam Karya Najib al-Kailani dalam Jurnal Adabiyat
vol. 1. No. 2, Maret 2003 (Yogyakarta: Jurusan BSA Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga, 2003), hal.
114
7
Nurgiyantoro, Op. Cit, hal. 41
8
Tommy Christomy, Semiotika Budaya, (Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, UI: Depok,
2004), hal. 17
9
Alex Sabour, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2003), hal. xiv

10

http://contoh.in

3. Semiotika dalam Sastra


Karya Sastra memiliki watak otonom dan komunikatif, dengan demikian karya
sastra dapat ditinjau dalam ancangan semiotik secara structural (signifikansi) dan
komunikatif (ekstrinsik). Secara otonom pengkajian sastra dapat menggunakan pokokpokok pikiran Charles Morris (1971), menurutnya ada empat macam yang dikaji secara
semiotik: (1) hubungan antar lambing, (2) penafsiran lambing, (3) maksud lambing, (4)
cara pemakaian lambang.10 Pengkajian semiotika secara otonom cukup menggunakan
pokok-pokok pikiran Morris. Tetapi secara komunikatif itu tidak cukup, hal ini
disebabkan bahwa setiap tanda tentu memiliki tataran kebahasaan dan tataran mitis.
Sudah barang tentu untuk pengkajian sastra kita harus menghubungkannya dengan
sesuatu tanda yang ada di luar konteksnya, misalnya latar sejarah atau faktor-faktor
ekstern lainnya.11
Sesungguhnya pembaca dalam tataran semiotiok akan mengalami transfer
semiotik dari tanda yang satu ke tanda yang lain, karena pembaca berkedudukan
sebagai subyek/obeyk. Sebagai subyek pembaca adalah pemberi makna, perebut
amanant dan pemberi nilai terhadap karya sastra yang ditelaahnya. Sebaliknya sebagai
obyek pembaca selalu terkena bermacam pengaruh dan kekuatan social budaya yang
melingkupinya.
B. Analisis Semiotik dalam Novel Bumi Manusia
1. Biografi Pengarang
Pramoedya dilahirkan di Blora, di jantung Pulau Jawa, pada 1925 sebagai anak
sulung dalam keluarganya. Ayahnya ialah guru dan ibunya ialah pedagang nasi. Ia
meneruskan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya dan bekerja sebagai juru ketik
untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia. Pada masa
kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan seringkali
ditempatkan di Jakarta di akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen dan buku

10
11

Puji Santosa, Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra, (Bandung: Angkasa, 1993), hal. 20
Ibid, hal. 22

11

http://contoh.in

sepanjang karir militernya dan dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada
1950-an ia sanggup tinggal di Belanda sebagai bagian program pertukaran budaya, dan
saat kembalinya ia menjadi anggota Lekra, organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya
penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya
Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Ini
menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno.
Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa
Indonesia, dan pada saat yang sama mulai berhubungan erat dengan para penulis di
China. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat menyurat dengan penulis Tionghoa
yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia
merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan
dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa
mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena
pandangan pro-Komunis Chinanya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan
tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau-pulau
di sebeluah timur Indonesia.
Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa
Orde Lama, selama masa Orde Baru Pramoedya merasakan 14 tahun ditahan sebagai
tahanan politik tanpa proses pengadilan: 13 Oktober 1965 - Juli 1969, Juli 1969 - 16
Agustus 1969 di Pulau Nusakambangan, Agustus 1969 - 12 November 1979 di Pulau
Buru, November - 21 Desember 1979 di Magelang.
Ia dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap
mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, serial 4
kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanaya Minke, bangsawan kecil
Jawa, dicerminkan pada pengalamannya sendiri. Jilid pertamanya dibawakan secara
oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk
dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan
Indonesia.

12

http://contoh.in

Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan


surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S, tapi masih
dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan
negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur
selama kurang lebih 2 tahun. Selama masa itu ia menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi
lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi
Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya
namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995).
Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsasay Award, 1995, diberitakan
sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat 'protes' ke yayasan Ramon Magsasay.
Mereka tidak setuju, Pramoedya yang dituding sebagai "jubir sekaligus algojo Lekra
paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang" di masa
demokrasi terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan
penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya.
Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsa, meralat
pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut 'pencabutan', tetapi mengingatkan 'siapa
Pramoedya itu'. Katanya, banyak orang tidak mengetahui 'reputasi gelap' Pram dulu.
Dan pemberian penghargaan Magsasay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di
pihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam mengembalikan hadiah Magsasay yang
dianugerahkan padanya di tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang
sama. Lubis juga mengatakan, HB Yassin pun akan mengembalikan hadiah Magsasay
yang pernah diterimanya. Tetapi, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Yassin
malah mengatakan yang lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis.
Dalam berbagai opini-opininya di media, para penandatangan petisi 26 ini
merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut pertanggungan
jawab Pram, untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran 'tidak terpuji' pada
'masa paling gelap bagi kreativitas' pada jaman demokrasi terpimpin. Pram, kata
Mochtar Lubis, memimpin penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya.
Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya di masa pra-1965 itu
13

http://contoh.in

tidak lebih dari 'golongan polemik biasa' yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal
terlibat dalam pelbagai aksi yang 'kelewat jauh'. Dia juga merasa difitnah, ketika
dituduh ikut membakar buku segala. Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa
ke pengadilan saja jika memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum
terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri,
tambahnya. Semenjak Orde Baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat
kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan
dikeroyok secara terbuka di koran.
Pramoedya telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik
pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman
Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang
dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa
ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di
sana daripada kembali ke Jawa. Pramoedya membuat perkenalannya saat ia sendiri
merupakan tahanan politik di Pulau Buru selama masa 1970-an.
Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda,
kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga
semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai
penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Hadiah Ramon Magsaysay untuk Jurnalisme,
Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah
Nobel Sastra. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada
2004 Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia
menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memenangkan hadiah dari
Universitas Michigan.
Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun
akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia
dikabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan
sedang dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak
napas dan jantungnya melemah. Pada 6 Februari 2006 di Teater Kecil Taman Ismail
14

http://contoh.in

Marzuki diadakan pameran khusus tentang sampul buku dari karya Pramoedya.
Pameran ini sekaligus hadiah ulang tahun ke-81 untuk Pramoedya. Pameran bertajuk
Pram, Buku dan Angkatan Muda menghadirkan sampul-sampul buku yang pernah
diterbitkan di mancanegara. Ada sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke
berbagai bahasa dunia.
2. Sinopsis Novel Bumi Manusia
Roman Bumi Manusia sesungguhnya roman sejarah yang menggambarkan
perlawanan. Perlawanan kaum pribumi terdidik terhadap penjajah, dan kaum pribumi
sendiri yang mempunyai kekuasaan: para kaum priyai.

Perlawanan tersebut

ditunjukkan oleh tokoh perempuan, Nyai Ontosoroh yang didukung oleh tokoh utama,
Mingke, pada beberapa peristiwa yang digambarkan dalam cerita, terutama terhadap
suaminya sendiri yang notabene adalah seorang Belanda, pejabat VOC.
Mingke sendiri adalah anak seorang bupati, yang mendapat kesempatan
bersekolah di sekolah Belanda, sekolah HBS di Surabaya. Dengan pendidikan yang ia
dapatkan, perilaku dan gaya berpikirnya pun ikut kebarat-baratan. Selain kepada
suaminya,

Nyai

Ontosoro

juga

melawan

orangtuanya,

yang

telah

tega

mempersembahkan dirinya kepada seorang pejabat VOC (suaminya) untuk menjadi


gundik.
Dalam situasi tersebut, sang Nyai berlaku keras memutuskan tali silaturahmi
dengan kedua orangtuanya. Ia tak mengakui lagi kedua orangtuanya. Sementara
Mingke, juga diam-diam melawan tradisi Jawa yang ia anggap tidak memanusiakan
manusia. Menciptakan kelas sosial, dan cenderung merendahkan martabat perempuan.
Keduanya terlibat dalam sebuah perjuangan, setelah Mingke resmi menikah dengan
putri Nyai Ontosoroh, Annelies. Perjuangan mereka dimulai setelah suami Nyai
Ontosoroh, Tuan Herman Mellema, meniggal dunia dalam kondisi mengenaskan di
sebuah rumah bordir milik baba Ahong, yang juga adalah tetangga mereka sendiri.
Insinyur Maurits Mellema yang merupakan anak Herman Mellema dengan isteri
pertamanya di Nederland tiba-tiba kembali menghantui keluarga Nyai Otosoroh.

15

http://contoh.in

Sebagai anak pertama dari isteri pertama, ia keberatan dan menggugat. Ia


menginginkan semua harta benda ayahnya sebagai warisan yang hanya untuknya.
Mauritus berkeras karena ia adalah anak sah tuan Mellema dari hubungan yang sah
pula. Bukan seperti kedua saudara tirinya, yang lahir dari hubungan suami isteri yang
tiak sah menurut negara dan agama. Gugatan yang dilayangkan Mauritus melalui
pengadilan putih ketika itu bukan hanya berbuntut pada harta warisan, tapi juga
menghendaki Annalies untuk dibawah ke Nederland. Perlawanan atas gugatan Mauritus
tersebut disambut hangat oleh media cetak.
Sebagai seorang siswa HBS yang tulisannya sudah menghiasi halaman-halaman
koran, Mingke menggunakan tulisan-tulisannya sebagai alat perjuangan, untuk
mempropaganda. Dalam tulisan-tulisannya, Minke mencoba membangun opini publik
bahwa perjuangan mereka melawan Mauritus di pengadilan, bukan hanya perjuangan
perebutan harta gono-gini dalam sebuah keluarga, tapi juga adalah sebuah perlawanan
atas kuasa bangsa penjajah. Perjuangan yang penuh suka cita itu tak berbuntut baik.
Orang-orang yang bersimpati untuk membantu Nyai Ontosoroh dan Mingke tak mampu
berbuat banyak. Akhirnya, pengadilan putih memutuskan kemenangan Mauritus
sebagai penggugat. Ia menguasai semua harta ayahnya dan membawa adik tirinya,
Annalies ke Nederland. Berikut ini adalah dialog terakhir antara Mingke dan ibu
mertuanya.
Kita kala, Ma,
Kita telah melawan Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya,
3. Ketidaklangsungan Ekspresi dalam Novel Bumi Manusia
Dalam kajian semiotik Novel BM banyak terdapat ungkapan-ungkapan yang
secara tidak langsung dinyatakan. Ungkapan-ungkapan tersebut merupakan suatu
sistem tanda yang menunjukkan sistem budaya pada saat itu. Sehingga, beragam kata
yang ditemukan dalam novel tersebut merupakan kekhasan bahasa Pramoedya dan juga
suatu model ungkapan yang memunculkan banyak makna, dengan demikian semakin
jelas dimana posisi semiotic memiliki peranan penting dalam menginterpretasikan
16

http://contoh.in

tanda-tanda atau ungkapan-ungkapan yang dinyatakan secara tidak langsung, bahkan


melalui symbol-simbol kehidupan sekalipun.
Selanjutnya, dalam menganalisis unsur semiotik dalam suatu karya sastra, maka
juga perlu adanya penafsiran dari setiap kata atau dikenal dengan istilah Heuristik, atau
disebut semiotik tingkat pertama, dan juga penafsiran secara totalitas yakni dikenal
dengan istilah Hermeunitik, atau disebut juga dengan semiotic tingkat kedua. Adapun
contoh pengenalan kedua unsure semiotic tersebut adalah sebagai berikut:
1. Nyai
Secara heuristik (semiotik tingkat pertama), kata Nyai sudah dapat
diinterpretasikan sebagai simbol ketercelaan dalam masyarakat Jawa yang dilekatkan
pada perempuan simpanan, atau mereka yang dijadikan gundik bagi kaum priyai atau
oleh petinggi VOC. Tanda atau simbol tersebut hidup di masyarakat Jawa pada zaman
kolonial. Secara hermeunitik (semiotic tingkat kedua), kita dapat menafsirkan
keberadaan Nyai tersebut menunjukkan tanda kehidupan perempuan pribumi yang
dipandang rendah oleh bangsawan kolonial, sehingga tahapan pemaknaan secara
totalitas melekat pada Nyai Ontosoroh sebagai perempuan pribumi yang menjadi
gundik pada masa kolonial. Nyai Ontosoroh merupakan mertua Mingke, tokoh utama
dalam roman Bumi Manusia.
2. Pada jam lima sore Surabaya telah ada di bawah roda kereta.
Tahapan proses pemaknaan semiotiknya adalah: Telah ada di bawah roda kereta
(Representamen), yang menjelaskan tempat (Objek) yaitu Surabaya. Sehingga analisis
semiotik menunjukkan bahwa pemaknaan akan keberadaan kereta di suatu tempat atu
daerah.
Disamping itu, jelas juga tergambarkan model pengungkapan yang secara tidak
langsung mencirikan karakter perbedaan atau status budaya dalam tafsiran Pramoedya,
antara lain sebagai berikut:
1. Produk Jawa yang dibesarkan di Eropa
17

http://contoh.in

Seorang Minke yang merupakan keturunan Jawa digambarkan oleh Pramoedya


sebagai pribumi yang berilmu pengetahuan Eropa, dimana pada akhirnya dialah yang
dihadapkan pada dua hasil bandingan baik atau buruk budaya Jawa dan Eropa. Ini dapat
dilihat pada:
Ilmu dan pengetahuan, yang kudapatkan dari sekolah dan kusaksikan sendiri
pernyataannya dalam hidup, telah membikin pribadiku menjadi agak berbeda dari
sebangsaku pada umumnya. Menyalahi wujudku sebagai orang Jawa atau tidak aku
pun tidak tahu(hal. 2)
Juga pada:
Jelas aku keturunan satria Jawa maka sendiri seorang satria Jawa pula.
Hanya mengapa justru bukan orang Jawa yang membikin aku jadi begini gagah ? dan
ganteng ? mengapa orang Eropa ?......(hal. 128).
Hal yang sama juga terjadi pada Nyai Ontosoroh yang dalam hal ini adalah
seorang pribumi namun karena menjadi gundik Herman Mellema, maka secara tidak
langsung budaya Eropa tertanam dalam dirinya, terlihat ketika dia membiarkan putrinya
tidur sekamar dengan lelaki yang bukan suaminya (Minke) meski dalam budaya Jawa
hal itu tidak diperkenankan.
2. Malu hanya milik orang Jawa dengan segala kerendahannya
Jangan sekali-kali bicara soal malu tentang Eropa. Mereka hanya tahu
mencapai maksud-maksudnya. Jangan kau lupa, Nak, Nyo(hal 330)
Penggalan tersebut menunjukkan bagaimana Eropa yang tidak pernah tahu
malu, berbeda dengan orang Jawa yang selalu memegang teguh kehormatannya meski
untuk melindungi kehormatannya itu mereka selalu merendah, pasrah dan tak jarang
melatah. Ini karena rasa malu yang dimiliki oleh orang Jawa, takut seandainya
pandangan orang lain atas dirinya jatuh.
3. Ilmu pengetahuan dan hukum Eropa yang buta
Ilmu pengetahuan semakin banyak melahirkan keajaiban. Dongengan leluhur
sampai pada malu tersipu. Tak perlu lagi orang bertapa bertahun untuk dapat bicara
dengan seseorang di seberang lautan(hal. 316)
18

http://contoh.in

Ilmu pengetahuanlah sebenarnya yang membuat Eropa begitu kuat dan


berkuasa, sedang orang jawa yang selamanya selalu hanya menunggu hasil cipta bangsa
Eropa masih terlihat kebudak-budakan, seperti di bawah ini :
Minke, kalau kau bersikap begitu terus, artinya mengambil sikap Eropa, tidak
kebudak-budakan seperti orang Jawa seumumnya, mungkin kelak kau bisa jadi orang
penting(hal 143).
Sedangkan untuk hukum yang mengatur dan mengikat, seakan tidak ada nurani
dalam hukum itu sendiri. Apa yang telah diputuskan maka itulah yang harus dijalankan.
Dengan akan dilaksanakannya perampasan terhadap istriku daripadaku
sesuai dengan keputusan Pengadilan, bertanyalah aku pada nurani Eropa: Adakah
perbudakan terkutuk ini akan dihidupkan kembali ? (hal.336).
Sampai pada akhirnya Minke harus kehilangan seorang istri yang telah dinikahi
secara syah, dan kalah pada keputusan pengadilan yang mencoba menginventariskan
manusia.
Dari beberapa uraian diatas tergambar jelas bagaimana seorang Minke dalam
menghadapi dua budaya sesungguhnya dia lebih menerima cara pandang Eropa yang
terbuka untuk maju daripada cara pandang orang Jawa yang selalu merendah,
sedangkan untuk hukum, dia lebih menerima hukum jawa yang didasarkan pada etika
dan nilai kemanusiaan daripada hukum Eropa yang buta. Semua bahasa atau ungkapanungkapan yang dimunculkan menunjukkan polemik tanda kehidupan yang sarat
dilemma.
Unsure-unsur ketidaklangsungan ekspresi dalam roman tersebut menjadi cirri
penulis dalam menawarkan makna kehidupan melalui tanda-tanda budaya yang melekat
pada saat itu, sehingga kekhasan pengungkapan menjadi milik sepenuhnya pengarang
dan pembaca juga merupakan subyek utuh dalam menafsirkan makna tanda dengan
senantiasa memahami latar belakang serta alur kehidupan pada masa itu. Jadi,
ketidaklangsungan ekspresi akan turut dipahami pembaca melalui kedalaman berfikir
dan memperhatikan pengaruh-pengaruh ekspresi secara menyeluruh.

19

http://contoh.in

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Karya sastra adalah cermin kehidupan sosial. Ia merupakan kristalisasi nilai dan
pengalaman hidup. Sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan adalah
kenyataan budaya. Kehidupan mencakup hubungan antar manusia, hubungan antar
masyarakat, dan antar peristiwa yang terjadi dalam batin manusia. Paparan tersebut
menunjukkan bahwa karya sastra tidak berangkat dari ketiadaan budaya. Kode budaya
dalam sastra memberi pengertian bahwa karya sastra merupakan wujud hasil budaya
yang di dalamnya jelas terepresentasikan nilai-nilai budaya masyarakat. Seperti yang
ditunjukkan Pramoedya dalam novel bumi manusia ini, budaya barat yang berkembang
dengan cepat dihadapkan pada budaya timur khususnya budaya Jawa.
Pentingnya mnganalisis makna dalam sebuah karya sastra menjadi keharusan
manakala pembaca ingin memahami secara mendalam keindahan dan unsure etik dalam
suatu karya sastra, sehingga beragam pendekatan yang ada merupakan jalan yang tepat
digunakan untuk menganalisis sebuah karya sastra. Semiotik adalah salah satu
pendekatan yang kerap digunakan dalam menganalisis karya sastra dengan tinjauan dan
pemberian makna terhadap beragam tanda yang muncul.

B. Saran
Dalam kajian sastra ini, penulis memaparkan konsep pendekatan semiotik yang
cukup sederhana bila ditinjau dari konsep analisis yang sebenarnya, dalam arti penulis
masih menginterpretasikan kedalaman pendekatan semiotik dengan singkat, dengan
demikian penulis berharap adanya kelayakan dan tinjauan yang lebih dalam terhadap

20

http://contoh.in

proses aplikasi dan telaah sebuah sastra dalam pendekatan semiotik demi kelengkapan
dan pengembangan pengetahuan selanjutnya.

Lampiran:
Berikut beberapa kutipan dalam Novel Bumi Manusia yang Dianalisis secara
Semiotik
No. Uraian dalam Cerita
1

5.

Analisis Semiotik

Memang keluarga teka-teki,


setiap orang menduduki peran
dalam sandiwara seram. (hal.
68)

Sandiwara seram yang dimaksud adalah


ketidakpastian pada setiap anggota keluarga
Mellema atas statusnya masing-masing,
sehingga menimbulkan misteri atas apa yang
akan terjadi berikutnya.
..., rasanya lebih dari pada
Daya
sihirnya
mencekam
bermaksud
menggambarkan bagaimana pengaruh Nyai
kepada ibuku sendiri, dan
kembali kurasai daya sihirnya Ontosoroh kepada Mingke begitu luar biasa
mencekam. (hal. 70)
seakan membuat Mingke untuk selalu saja
berbuat apa yang Nyai mau.
Mengapa kalian pada diam
Sepasang anak kucing kehujanan adalah
seperti sepasang anak kucing bentuk perumpamaan untuk dua orang yang
kehujanan? (hal. 71)
diam membisu tiada kata yang mengalir dari
lisan masing-masing seakan-akan terdiam
karena kedinginan.
...ayahmu menjadi rusak
Ia berubah menjadi hewan yang tak kenal anak
binasa karena kejadian yang
dan istri lagi merupakan sebuah simbol yang
satu itu. Ia berubah jadi hewan menggambarkan bagaimana perilaku tokoh
yang tak kenal anak dan istri Tuan Mellema (ayah Annalies) yang tidak lagi
lagi. (hal. 78)
bersopan
santun
dan
berbudi
baik
sebagaimana yanng dikenal oleh istri dan
anaknya terdahulu.
...Mereka telah buat aku jadi
Sekalipun hanya sebagai Nyai adalah simbol
Nyai begini maka aku harus jadi pengungkapan
yang
menggambarkan
21

http://contoh.in

Nyai, jadi budak belian...aku


harus lebih berharga daripada
mereka, sekalipun hanya
sebagai Nyai.
6.

...Tak bisa begitu, aku seorang


Raden Mas, tak bisa
diperlakukan asal saja begini,
aku punya Forum
Privilegiatum . (hal. 125)

7.

Jangan sentuh ini, siapa kasih


kau hak membukanya? Tutur
Mingke. Memang sudah bukan
Jawa lagi. Sela Abang
Mingke. Apa guna jadi Jawa
kalau hanya untuk dilanggar
hak-haknya sahut mingke.
(hal. 139)

bagaimana konteks sosial masyarakat ketika


itu sangat merendahkan derajat Nyai (gundik)
yang tugas mereka ketika itu hanyalah sebagai
pemuas nafsu para pemegang kekuasaan saja
tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah.
Forum Privilegiatum adalah sebuah forum
sederajat di depan pengadilan dengan orang
Eropa untuk bangsawan pribumi sampai
seorang bergelar Raden Mas sampai ke anak
cucu bupati. Ini menggambarkan konteks
sosial yang sangat timpang antara seorang
pribumi totok dengan oranng Eropa dan para
banngsawan di depan hukum.
Jawa pada dialog Mingke dan Abangnya
adalah sebuah simbol adat dan adab mengenai
bagaimana seharusnya seoranng Jawa
(pribumi) bertindak, bersikap dan berbudi
pekerti.

22

http://contoh.in

DAFTAR PUSTAKA

Christomy, Tommy, Semiotika Budaya, (Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, UI:
Depok, 2004)

Cobley, Paul, Semiotika for Beginners, (Bandung: Mizan, 2002)


Djoko Pradopo, Rachmat Kritik Sastra Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gama
Media, 2002)
Nurgiyantoro, Burhan, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1998)
Pateda, Mansur, Semantik Leksikal, (Jakarta: Rioneka Cipta, 2001),
Sobur, Alex, Semiotika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2003)
----------------, Analisis Teks Media, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001),

Uki Sukiman, Ikonitas dalam Novel Hamamah Salam Karya Najib al-Kailani
dalam Jurnal Adabiyat vol. 1. No. 2, Maret 2003 (Yogyakarta: Jurusan BSA
Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga, 2003), hal. 114

23

Anda mungkin juga menyukai