Disusun Oleh :
Alhamdulillah, segala puji serta syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang
senantiasa memberikan curahan kasih rahmat-Nya kepada hamba-Nya, yang benar-benar
ingin mencari ridha serta inayah-Nya. Tidak lupa pula shalawat serta salam kita
sampaikan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw. Akhirnya atas izin Allah SWT
makalah ini dapat diselesaikan.
Makalah ini penulis tujukan kepada dosen mata kuliah Kajian Prosa.
Penulis memohon kepada dosen khususnya, umumnya para pembaca barang kali menemukan
kesalahan atau kekurangan dalam makalah ini baik dari segi bahasan maupun isinya harap
dimaklumkan.
Selain itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun kepada
semua pembaca.
Penyusun,
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karya sastra secara obyektif dapat didefinisikan sebagai karya seni yang otonom,
berdiri sendiri, bebas dari pengarang, realitas, maupun pembaca (Abrams, 1981). Karya sastra
mengungkapkan yang tak terungkapkan, karena karya sastra mampu menghadirkan aneka
macam asosiasi dan konotasi yang dalam bahasa sehari-hari yang jarang kita temukan. Teks-
teks yang dipakai dalam sebuah karya sastra tak lain untuk suatu tujuan komunikatif yang
praktis dan hanya berlangsung untuk sementara waktu saja dalam situasi komunikasi antara
pengarang dengan pembaca.
Sastra menurut Wellek dan Warren dalam Wiyatmi (2006) dalam hal ini, kriteria yang
dipakai adalah segi estetis atau nilai estetis dikombinasikan dengan nilai ilmiah. Sastra
diterapkan pada seni sastra, yaitu dipandang sebagai karya imajinatif. Istilah “sastra
imajinatif” (imaginative literature) memiliki kaitan dengan istilah belles letters (‘tulisan yang
indah dan sopan”, berasal dari bahasa Perancis), kurang lebih menyerupai pengertian
etimologis kata susastra.
Luxemburg (1989) mengemukakan beberapa ciri sastra, pertama: sastra adalah sebuah
ciptaan, sebuah kreasi, bukan pertama-tama sebuah imitasi. Seorang sastrawan menciptakan
dunia baru, meneruskan proses penciptaan di dalam semesta alam, bahkan
menyempurnakannya. Kedua: sastra merupakan luapan emosi yang spontan. Sastra hanya
mencari keselarasan di dalam karyanya sendiri. Dalam pengertian ini, apa yang pernah
diucapkan Sartre pada tahun 1948, seorang filsuf Perancis, bahwa kata-kata dalam puisi tidak
merupakan “tanda-tanda”, melainkan “benda-benda” (mots-choses) menemukan relevansi
pemahamannya. Keempat: otonomi sastra itu bercirikan suatu koherensi atau keselarasan
antara bentuk dan isi. Selain itu, koherensi dimaksud juga menunjuk hubungan timbal balik
antara yang bagian dengan keseluruhan dan sebaliknya. Kelima: sastra menghidangkan
sebuah sintesa antara hal-hal yang bertentangan. Keenam: sastra mengungkapkan yang tak
terungkapkan. Sastra mampu menghadirkan aneka macam asosiasi dan konotasi yang dalam
bahasa sehari-hari jarang kita temukan.
Pengkajian karya sastra didefinisikan sebagai proses, cara, perbuatan mengkaji,
penyelidikan (pelajaran yang mendalam), penelaahan. Dengan demikian pengkajian sastra
diartikan sebagai proses atau perbuatan mengkaji, menyelidiki, dan menelaah objek material
yang bernama sastra.
Berdasarkan teori mimetik, karya sastra dianggap sebagai tiruan alam atau kehidupan.
Berdasarkan teori ekspresif karya sastra dipandang sebagai ekspresi sastrawan, sebagai
curahan perasaan, luapan perasaan dan pikiran sastrawan yang bekerja dengan persepsi-
persepsi, pikiran-pikiran atau perasaan-perasaannya. Sementara itu berdasarkan teori
pragmatik karya sastra dipandang sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu,
misalnya nilai-nilai atau ajaran kepada pembaca. Dalam kamus sosiologi kata pragmatik
(pragmatics) diartikan sebagai telaah terhadap hubungan antara tanda-tanda dengan
penggunaannya, sedangkan pragmatisme (pragmatism) diartikan sebagai suatu ajaran yang
menyatakan bahwa arti suatu proposisi tergantung pada akibat-akibat praktisnya. Pendekatan
pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk
menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Dalam hal ini tujuan tersebut dapat berupa
tujuan politik, pendidikan, moral, agama maupun tujuan yang lain. Dalam praktiknya
pendekatan ini cenderung menilai karya sastra menurut keberhasilannya dalam mencapai
tujuan tertentu bagi pembacanya (Pradopo, 1994).
Pendapat Horatius yang ditulis dalam bukunya Ars Poetica pada tahun 14 SM
menyatakan bahwa tolak ukur sastra ialah utile ‘bermanfaat’ dan dulce ‘nikmat’. Hubungan
antara karya sastra dengan pembaca tampak pada skema berikut: Karya sastra Pembaca
Dalam praktiknya, mengkaji dan memahami karya sastra berdasarkan fungsinya untuk
memberikan pendidikan (ajaran) moral, agama, maupun fungsi sosial lainnya. Semakin
banyak nilai pendidikan moral atau agama yang terdapat dalam karya sastra dan berguna bagi
pembacanya, maka makin tinggi nilai karya sastra tersebut.
Cerpen “Juru Masak” karya Damhuri Muhammad, dalam buku Antalogi Cerpen Juru
Masak yang diterbitkan pada tahun 2013 merupakan salah satu cerpen yang dapat dianalisis
dengan menggunakan Pendekatan Pragmatik Teori Abrams. Dengan menggunakan
pendekatan ini, pembaca dapat memperoleh keuntungan dan kenikmatan, karena pembaca
dapat menemukan nilai sosial, nilai pendidikan, nilai budaya dan nilai moral dalam cerita
tersebut ketika berada di kehidupan yang sesungguhnya. Oleh karena itu, kelompok kami
ingin menyampaikan nilai-nilai yang terkandung dalam cerpen Juru Masak Karya Damhuri
Muhammad tersebut.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari makalah ini ialah, agar kita mengetahui apa itu pendekatan pragmatik
dalam analisis sebuah cerita pendek dan mengetahui apa saja aspek-aspek yang dapat
ditangkap setelah membaca cerpen yang berjudul Juru Masak karya Damhuri Muhammad ini.
Namun, terlepas dari itu semua, bukan hanya sekedar untuk mengetahui saja, tetapi juga
dapat membuka wawasan kita untuk dapat menganalisis cerita pendek dengan menggunakan
pendekatan pragmatik.
D. Manfaat
Makalah ini di buat agar bermanfaat bagi siapapun yang membaca, dan terutama bagi
pemakalah sendiri, agar dapat digunakan sebaik mungkin dalam menganalisis sebuah cerita
pendek. Dapat memberikan pengalaman kepada para pembaca agar lebih mengerti tentang
karya sastra. Dapat memberikan motivasi kepada pembaca untuk lebih mengenal karya
sastra.
BAB III
PEMBAHASAN
Sinopsis
“Di sebuah desa yang bernama Lareh Panjang, dikenal Makaji sebagai juru masak
terbaik yang selalu membuat kenduri istimewa dengan masakannya berupa gulai.”
“Setelah setengah seluruh umurnya dihabiskan membuat gulai untuk kenduri, Makaji
ditawari putranya Azrial untuk menjadi juru masak di Rumah Makan miliknya sendiri di
Jakarta. Tabiat orangtua pada dasarnya akan menimbang matang ajakan anaknya, Makaji
meminta kesempatan di kendurinya Mangkudun.”
Mangkudun adalah ayah dari Ronggogeni, gadis yang amat dicintai oleh Azrial
ketika masih di Lareh Panjang. Perbedaan drajat anatara Azrial dan Ronggogeni, menjadi
alasan Mangkudun tidak merestui hubungan mereka. “Bahkan bila ia jadi kepala desa pun,
tak sudi saya punya menantu anak juru masak!” jawaban dari Mangkudun kepada
Ronggogeni yang ingin meyakinkan ayahnya.
Nilai moral
a. Baik
Dalam membantu seseorang, kita tidak boleh pandang bulu,
“Makaji tak pernah keberatan membantu keluarga mana saja yang hendak
menggelar pesta, tak peduli apakah ruan rumah hajatan itu orang terpandang atau orang
biasa yang hanya sanggup menggelar syukuran seadanya”
b. Buruk
Dalam perkawinan, masyarakat Lareh Panjang masih meributkan perbedaan latar
belakang hingga derajat keluarga.hal itu dapat dilihat dari cinta antara Azrial dengan
Renggogeni yang tidak disetujui Ayah Renggogeni. Dapat dilihat dalam kutipan berikut.
“Apa kau bilang? Jodoh? Saya tidak rela kau berjodoh dengan Azrial. Akan saya carikan
kau jodoh yang bermartabat!”
Nilai sosial
Nilai sosial yang dapat diperoleh pembaca setelah membaca cerpen Juru Masak karya
Damhuri Muhammad berupa kritik social yang ditujukan pada daerah Sumatera Barat yang
masyarakatnya sering menggunjing dan mencemooh atau tidak menghargai tuan rumah yang
mengadakan kenduri hanya karena masakan yang dihidangkan tidak sesuai selera lidah
mereka.
Dalam perhelatan perjamuan makan untuk memeringati peristiwa atau disebut kenduri.
Masyarakat desa di Sumatera jarang memerhatikan tujuan kenduri, akan tetapi lebih
memerhatikan makanan dalam kenduri. Enak tidaknya makanan menjadi aspek penilaian
keberhasilan diadakannya kenduri. Jika hidangan yang disajikan dalam kenduri kurang
memuaskan, seringkali masyarakat menggunjing orang yang mengadakan kenduri tersebut.
Bukan masyarakat umum saja, dari keluarga mempelai pria juga menilai sebuah baik
tidaknya penyambutan dari makanan di kenduri. Dapatdilihat darikutipan berikut.
“Akibatnya, berseraklah gunjing dan cela yang mesti ditanggung tuan rumah, bukan
karena kenduri kurang meriah, tidak pula karena pelaminan tempat bersandingnya pasangan
pengantin tak sedap dipandang mata, tapi karena macam-macam hidangan yang tersuguh
tak menggugah selera. Nasi banyak gulai melimpah, tapi helat tak bikin kenyang. Ini
celakanya bila Makaji, juru masak handal itu tak dilibatkan.”
Nilai budaya
Dari penggambaran budaya masyarakat di Sumatera oleh penulis, menciptakan
sebuah pemahaman bahwa masyarakat disana sensitif terhadap cita rasa sebuah makanan,
apalagi dalam kenduri, kenduri yang berhasil dinilai dari keberhasilan makanannya. Tidak
menutup kemungkinan, penulis ingin menkritisi budaya yang terlalu mementingkan urusan
lidah dan perut daripada urusan silaturahmi. Dapat ditemukan dalam kutipan berikut.
“Beberapa tahun lalu, pesta perkawinan Gentasari dengan Rustamadji yang digelar
dengan menyembelih tigabelas ekor kambing dan berlangsung selama tiga hari, tak berjalan
mulus, bahkan hampir saja batal. Keluarga mempelai pria merasa dibohongi oleh keluarga
mempelai wanita yang semula sudah berjanji bahwa semua urusan masak-memasak selama
kenduri berlangsung akan dipercayakan pada Makaji, juru masak nomor satu di Lareh
Panjang ini. Tapi, di hari pertama perhelatan, ketika rombongan keluarga mempelai pria
tiba, Gulai Kambing, Gulai Nangka, Gulai Kentang, Gulai Rebung dan aneka hidangan yang
tersaji ternyata bukan masakan Makaji. Mana mungkin keluarga calon besan itu bisa
dibohongi? Lidah mereka sudah sangat terbiasa dengan masakan Makaji.”
“Kalau besok Gulai Nangka masih sehambar hari ini, kenduri tak usah dilanjutkan!”
ancam Sutan Basabatuah, penghulu tinggi dari keluarga Rustamadji.”
“Percuma bikin helat besar-besaran bila menu yang terhidang hanya bikin malu.”
Budaya masyarakat Sumatera, bila mengadakan kenduri bisa dibilang sangat meriah
dan mewah ketika orang yang mengadakan kenduri tersebut merupakan orang tersohor
dalammasyarakatnya tersebut. Dan pusaka peninggalan sesepuh adat tidak ikeluarkan
bilayang mengadakan perhelatan bukan orang berpengaruh di desa tersebut. Dapat dilihat
dalam kutipan berikut.
“Dua kali meriam ditembakkan ke langit, pertanda dimulainya perhelatan agung. Tak
biasanya pusaka peninggalan sesepuh adat Lareh Panjang itu dikeluarkan. Bila yang
menggelar kenduri bukan orang berpengaruh seperti Mangkudun, tentu tak sembarang
dipertontonkan.”
Amanat
Amanat yang ditemukan pembaca setelah membaca cerpen Juru Masak yaitu :
1. Jangan suka memandang orang lain dari status sosialnya. Jika kita suka menolong
orang lain tanpa memandang siapapun orang itu, maka orang lain juga akan senang
dengan kita.
2. Pantang menyerah dalam menjalani hidup. Segala sesuatu yang kita alami pasti ada
hikmahnya, dengan bekerja keras kita akan menjadi sukses.
3. Kesombongan hanya akan membawa kita pada penderitaan.
4. Memaksakan keinginan tanpa memikirkan perasaan orang lain hanya akan
menimbulkan penyesalan.
5. Tepatilah janji, karena janji adalah hutang.
6. Sudah seharusnya,orang tua pada masasenjanya hidup berdampingan dengan anaknya.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
B. Saran
Meskipun makalah ini jauh dari kesempurnaan, semoga makalah ini bermanfaat bagi
penulis maupun pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.rijalhabibulloh.com/2014/11/analisis-cerpen-tinjauan-pragmatik.html
http://awandankawan.blogspot.co.id/2014/01/analisis-novel-menggunakan-pendekatan.html
https://andriasetiawan.wordpress.com/2014/09/09/cerpen-juru-masak-karya-damhuri-
muhammad/