Makalah
Oleh:
M. Farid Ramdhani
M. Rifqi Nuroni
Sela Mutmainah
Dosen pengampu:
BANDUNG
2017
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ SASTRA dan
ETIKA”, makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Teori Sastra
Klasik.
Dalam perkembangan teori sastra muncul dua teori yang dikenal dengan
teori sastra klasik dan teori sastra modern, dimana kita harus memahami mengenai
sastra dan etika yang menjadi inti pembahasan dalam makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB I.................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
1.1. LATAR BELAKANG........................................................................................1
1.2. RUMUSAN MASALAH...................................................................................1
1.3. TUJUAN PENULISAN.....................................................................................1
BAB II...............................................................................................................................2
PEMBAHASAN................................................................................................................2
2.1. Sastra dan Etika..................................................................................................2
2.2. Mimesis..............................................................................................................3
2.3. Drama dan Semesta............................................................................................7
2.4. Perbedaan Tragedi dan komedi..........................................................................8
BAB III............................................................................................................................11
PENUTUP.......................................................................................................................11
3.1. KESIMPULAN................................................................................................11
3.2. SARAN............................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................12
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Dalam menganalisis suatu karya sastra, seorang peneliti tidak hanya
membutuhkan kemampuan ilmu sastra, daya kreativitas, wawasan, imajinasi, dan
intuisi yang mendukung suatu studi sastra, tetapi juga membutuhkan teori yang
berfungsi sebagai alat yang menentukan cara kerja dalam menganalisis suatu
karya sastra tersebut.
Teori mimesis (mimetik) merupakan teori yang paling klasik dalam teori
sastra, yang ,mencoba menjelaskan hubungan antara karya sastra dengan
kenyataan. Teori ini menjelaskan hubungan karya sastra sebagai imitasi dari
lingkungan/semesta/kenyataan (universe).
1.2. RUMUSAN MASALAH
1.2.1. Apa itu mimesis?
1.2.2. Apa itu drama dan semesta?
1.2.3. Apa perbedaan antara tragedi dan komedi?
1.3. TUJUAN PENULISAN
1.3.1. Mengetahui apa itu mimesis
1.3.2. Mengetahui apa itu drama dan semesta
1.3.3. Mengetahui apa perbedaan antara tragedi dan komedi
1
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian sastra yang berlaku pada zaman romantic tidak merupakan suatu
kesatuan. Tidak semua tokoh romantic mempunyai pendapat yang sama mengenai
sastra. Sekalipun demikian kita dapat menyebut beberapa ciri yang selalu muncul
kembali. Pengertian tersebt diantaranya:
2
e. Sastra mengungkapkan yang tak terungkapkan.1
2.2. Mimesis
Semenjak orang mempelajari sastra secara kritis timbul pertanyaan, sejauh
mana sastra mencerminkan kenyataan. Sering dikatakan, bahwa sastra memang
mencerminkan kenyataan, sering juga dituntut dari sastra agar mencerminkan
kenyataan. Kedua pendapat ini disebut penafsiran mimetik mengenai sastra.
Pengertian mimesis (Yunani: perwujudan atau jiplakan) pertama-tama
dipergunakan dalam teori-teori tentang seni seperti diutarakan oleh Plato (428-
348) dan Aristoteles (384-322) dan dari abad ke abad sangat mempengaruhi teori-
teori mengenai seni dan sastra di Eropa.2
Jelas bahwa teks sastra memang tidak lepas dari dunia nyata, tapi teks sastra
tersebut adalah dunia ‘baru’ yang telah dikreasi melalui konvensi dan inovasi oleh
pengarangnya. Dunia empirik tidak mewakili kenyataan yang sungguh-sungguh,
hanya dapat mendekati lewat mimesis, peneladanan, pembayangan atau peniruan.
Diawali dengan dialog yang dilakukan oleh Plato dalam bukunya Republic,
yang mencoba dalam salah satu bagiannya mengkonsepkan teori seni bahwa
sastra sebagai imitasi atau tiruan dari kenyataan. Pemikiran Plato tentang seni
kemudian ditentang oleh muridnya yakni Aristoteles yang tidak lagi meletakkan
karya sastra semata-mata sebagai tiruan. Ia menganggap bahwa dalam proses
imitasi itu terdapat kreativitas (berupa gagasan, renungan, imajinasi, dan
sebagainya). Penciptanya (artist/authors), sehingga perlu diinterpretasi lebih jauh.
1
Jan Van Luxemburg, dkk. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT Gramedia. 1982. Hlm. 3-6.
2
Jan Van Luxemburg, dkk. Ibid. Hlm. 15
3
Dalam buku M. H. Abrams (1958:6) dinyatakan bahwa ada empat elemen
situasi total karya sastra (four elements in the total situation of a work of art),
yakni: the work (karya sastra); the artist/authors (pengarang); universe (semesta/
alam/ lingkungan/ kenyataan); dan the audience (pembaca).
Sebagai hasil kreasi manusia, puisi mampu memaparkan realitas diluar diri
manusia persis apa adanya. Karya sastra, seperti halnya puisi, adalah semacam
cermin yang menjadi perepresentasi dari realitas itu sendiri (Plato).3
Perkembangan berikutnya, pandangan Plato tersebut sangat mempengaruhi
pikiran dasar realisme di Rusia.
3
Aminuddin. Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo. 2013. Hlm. 115.
4
Jan Van Luxemburg, dkk. Op. Cit. Hlm. 16
4
Menurut Plato mimesis hanya terikat pada ide pendekatan. Tidak pernah
menghasilkan kopi sungguhan, mimesis hanya mampu menyarankan tataran yang
lebih tinggi. Mimesis yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan tidak mungkin
mengacu secara langsung terhadap dunia ideal. (Teew.1984:220). Hal itu
disebabkan pandangan Plato bahwa seni dan sastra hanya mengacu kepada
sesuatu yang ada secara faktual seperti yang telah disebutkan di muka. Plato
mengatakan bila seni hanya menimbulkan nafsu karena cenderung menghimbau
emosi, bukan rasio (Teew. 1984:221).
Aristoteles mengoper pengertian tentang mimesis itu dari Plato, yakni seni
meluksikan kenyataan, tetapi karena pendapat Aristoteles tentang kenyataan
menyimpang dari pengertian Plato, maka teori mimesis ala Aristoteles juga lain
daripada teori mimesis ala Plato.
5
Jan Van Luxemburg, dkk. Ibid. Hlm. 17.
5
Aristoteles dengan keras berpendapat bahwa seniman dan sastrawan jauh lebih
tingi dari tukang kayu dan tukang-tukang lainnya.
Apabila dicari kaitan antara creation dan mimesis dari segi bahasa, maka
penganut teori creatio menganggap karya seni sebagai sesuatu yang baru, suatu
ciptaan dalam arti yang sungguh-sungguh. Ini dianut oleh kaum strukturalis yang
6
menganggap karya sastra sebagai dunia kata-kata atau heterokosmos, sesuatu
yang otonom dalam kenyataan.
7
prinsipnya memperhitungkan kesempatan ataupun pembatasan khas, akibat
pementasan. Maka dari itu, teks drama berkiblat pada pementasan.6
Drama berasal dari kata Yunani Kuno, draomai yang berarti bertindak atau
berbuat (mengacu pada salah satu jenis pertunjukan) dan drame yang berasal dari
kata Perancis yang diambil oleh Diderot dan Beaumarchaid untuk menjelaskan
lakon-lakon mereka tentang kehidupan kelas menengah. Dalam istilah yang lebih
ketat berarti lakon serius yang menggarap satu masalah yang punya arti penting
tapi tidak bertujuan mengagungkan tragika atau kematian (Bakdi Soemanto,
20010. Menurut William Froug (1993) drama adalah lakon serius yang
mempunyai segala rangkaian peristiwa yang nampak hidup, mengandung emosi,
konflik, daya tarik memikat serta akhir yang mencolok dan tidak diakhiri oleh
kematian tokoh utamanya.
Drama juga bisa diartikan sebagai suatu kualitas komunikasi, situasi, aksi
dan segala apa saja yang terlihat dalam pentas, baik secara objektif maupun secara
subjektif, nyata atau khayalan yang menimbulkan kehebatan, keterenyuhan dan
ketegangan perasaan para pendengar atau penonton. Bisa juga diartikan sebagai
suatu bentuk cerita konflik sikap dan sifat manusia dalam bentuk dialog, yang
diproyeksikan pada pentas dengan menggunakan percakapan dan gerak dihadapan
pendengar maupun penonton.
2.4. Perbedaan Tragedi dan komedi
Sebelum mengetahui perbedaan antara tragedi dan komedi, kita harus
mengetahui terlebih dahulu pengertian keduanya.
1. Tragedi
Tragedi berasal dari kata tragoidia (bahasa Yunani), tragedy (bahasa
Inggris), tragedie (bahasa Perancis), yaitu penggabungan kata tragos yang berarti
kambing dan kata aediein yang ebrarti nyanyian. Jadi, tragedi adalah nyanyian
yang dinyanyikan untuk mengiringi kambing sebelum dibaringkan di atas altar
untuk dikorbankan. Pengorbanan kambing dilakukan pada saat upacara untuk
menghormati dewa Dionysos yang dianggap sebagai dewa kesuburan. Kata
6
Jan Van Luxemburg. Ibid. Hlm. 158.
8
tersebut bisa juga berarti untuk menyebut kostum kambing yang dikenakan oleh
aktor ketika memainkan lakon satir.
Menurut Aristoteles, lakon tragedi merupakan lakon yang meniru sebuah
aksi yang sempurna dari seorang tokoh besar dengan menggunakan bahasa yang
menyenangkan supaya para penonton merasa belas kasihan dan ngeri, sehingga
mengalami pencucian jiwa atau mencapai katarsis. Jika dikaji lebih lanjut
mengenai definisi tragedi menurut Aristoteles ini ialah bahwa lakon tragdei
memerlukan aksi yang sempurna, sehingga mempunyai daya pikat yang tinggi,
padat, kompleks, dan sublim. Jadi, sebenarnya lakon tragedi bukan lakon yang
bercerita duka cita dan kesedihan, akan tetapi lakon yang bertujuan untuk
menggoncang jiwa penonton sehingga lemas, tergetar, merasa ngeri tetapi
sekaligus juga merasa belas kasihan. Singkatnya, penonton merasa menyadari
betapa kecil dan rapuhnya jiwa manusia didepan kedahsyatan suratan takdir
(Rendra, 1993).
Tujuan utama lakon tragedi ini untuk membuat kita mengalami
pengalaman emosi melalui identifikasi para tokoh dan untuk menguatkan kembali
kepercayaan pada diri sendiri sebagai bagian dari manusia. Tokoh utama dalam
lakon tragedi biasanya tokoh terpandang, raja, kesatria, atau tokoh yang memiliki
pengaruh dimasyarakat dan biasanya di akhir cerita mengalami kesengsaraan dan
kematian yang tragis, jalan yang ditempuh sangat berat, sulit, dan membuatnya
menderita, tetapi sikap ini justru membuatnya tampak mulia dan
berkeprimanusiaan. Sebenarnya, bukan masalah kematian tokoh yang menjadi
penting pada lakon tragedi tetapi tentang apa yang dikatakan dalam lakon tentang
kehidupanlah yang menjadi penting.
Lakon-lakon tragedi Yunani Kuno mengajak manusia untuk mrenungkan
hakikat kehidupan dipandang dari sisi yang menyedihkan karena kehidupan pada
prinsipnya selalu kalah dengan takdir ilahi.
2. Komedi
Komedi berasal dari kata comedia (bahasa latin), commedia (bahasa
Italia), berarti lakon yang berakhir dengan kebahagiaan. Lakon komedi seperti hal
nya lakon tragedi merupakan bagian dari upacara penghormatan terhadap dewa
9
Pallus. Upacara penghormatan ini dilakukan dengan cara melakukan arak-arakan
dan memakai kostum setengah manusia dan setengah kambing. Arak-arakan ini
menyanyi dan melontarkan kata-kata kasar untuk memancing tertawaan penonton.
Menurut Aristoteles, lakon komedi merupakan tiruan dari tingkah laku manusia
biasa atau rakyat jelata. Tingkah laku yang lebih merupakan perwujudan
keburukan manusia ketika menjalankan kehidupan sehingga mampu
menumbuhkan tertawaan dan cemoohan sampai terjadi katarsis atau penyucian
jiwa (Yudiaryani, 2002).
Penciptaan lakon komedi bertitik tolak dari perasaan manusia yang
memiliki kekuatan, namun namun manusia tidak sadar bahwa dirinya memiliki
daya hidup yang dikelilingi alam semesta. Manusia harus mempertahankan
kekuatan dan vitalitas secara utuh terus menerus bahkan harus
menumbuhkembangkan untuk mengatasi perubahan alam, politik, budaya,
maupun ekonomi.
Lakon komedi adalah lakon yang mengungkapkan cacat dan kelamahan
sifat manusia dengan cara yang lucu, sehingga para penonton bisa lebih
menghayati kenyataan hidupnya. Jadi, lakon komedi bukan hanya sekedar
lawakan kosong tetapi harus mampu membukakan mata penonton kepada
kenyataan kehidupan sehari-hari yang lebih dalam (Rendra, 1983). Tokoh dalam
komedi ini biasanya orang-orang yang lemah, tertindas, bodoh, dan lugu, sehingga
iedntifikasi penonton terhadap tokoh tersebut bisa ditertawakan dan dicemoohkan.
10
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang dapat penyusun sampaikan adalah sebagai
berikut:
1. Mimesis merupakan sebuah pendekatan dalam pengkajian karya sastra
yang mengaitkan karya sastra dengan realita atau kenyataan.
2. Drama merupakan salah satu jenis lakon serius dan berisi kisah
kehidupan manusia yang memiliki konflik yang rumit dan penuh daya
emosi tetapi tidak mengagungkan sifat tragedi.
3. Jadi perbedaan antara tragedi dan komedi adalah komedi merupakan
lakon yang bertujuan untuk menggoncang jiwa penonton sehingga
lemas, tergetar, merasa ngeri tetapi sekaligus juga merasa belas kasihan.
Singkatnya, penonton merasa menyadari betapa kecil dan rapuhnya jiwa
manusia didepan kedahsyatan suratan takdir, sedangkan komedi
merupakan lakon yang mengungkapkan cacat dan kelamahan sifat
manusia dengan cara yang lucu, sehingga para penonton bisa lebih
menghayati kenyataan hidupnya.
3.2. SARAN
Sejalan dengan sempulan diatas, penyusun merumuskan saran sebagai
berikut:
11
DAFTAR PUSTAKA
Van Luxemburg, Jan dkk. 1982. Pengantar Ilmu Sastra, PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Aminuddin. 2013. Pengantar Apresiasi Karya Sastra, Sinar Baru
Algensindo, Bandung.
http;//Harifit-fisip.web.unair.ac.id, 11 Februari 2017
https://id.m.wikipedia.org Republik,Plato, 11 Februari 2017
12