Anda di halaman 1dari 15

SASTRA DAN ETIKA

Makalah

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Sastra Klasik

Oleh:

 M. Farid Ramdhani
 M. Rifqi Nuroni
 Sela Mutmainah

Dosen pengampu:

Reza Sukma Nugraha, M. Hum

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2017
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ SASTRA dan
ETIKA”, makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Teori Sastra
Klasik.

Dalam perkembangan teori sastra muncul dua teori yang dikenal dengan
teori sastra klasik dan teori sastra modern, dimana kita harus memahami mengenai
sastra dan etika yang menjadi inti pembahasan dalam makalah ini.

Dalam penulisan makalah ini penulis banyak mendapatkan bantuan dari


berbagai pihak, untuk itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Reza Sukma Nugraha, M. Hum selaku dosen pengampu Mata Kuliah


Teori Sastra Klasik.
2. Rekan-rekan seperjuangan yang telah memberikan motivasi dan
memberikan masukan untuk pembuatan makalah ini.
3. Serta pihak-pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.

Penulis menyadari, bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak


kekurangan bahkan jauh dari kesempurnaan, baik dalam hal isi maupun
sistematika penulisan. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya, semoga makalah ini
bermanfaat baik bagi penulis maupun bagi pembaca.

Bandung, 12 Feb 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB I.................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
1.1. LATAR BELAKANG........................................................................................1
1.2. RUMUSAN MASALAH...................................................................................1
1.3. TUJUAN PENULISAN.....................................................................................1
BAB II...............................................................................................................................2
PEMBAHASAN................................................................................................................2
2.1. Sastra dan Etika..................................................................................................2
2.2. Mimesis..............................................................................................................3
2.3. Drama dan Semesta............................................................................................7
2.4. Perbedaan Tragedi dan komedi..........................................................................8
BAB III............................................................................................................................11
PENUTUP.......................................................................................................................11
3.1. KESIMPULAN................................................................................................11
3.2. SARAN............................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................12

ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Dalam menganalisis suatu karya sastra, seorang peneliti tidak hanya
membutuhkan kemampuan ilmu sastra, daya kreativitas, wawasan, imajinasi, dan
intuisi yang mendukung suatu studi sastra, tetapi juga membutuhkan teori yang
berfungsi sebagai alat yang menentukan cara kerja dalam menganalisis suatu
karya sastra tersebut.
Teori mimesis (mimetik) merupakan teori yang paling klasik dalam teori
sastra, yang ,mencoba menjelaskan hubungan antara karya sastra dengan
kenyataan. Teori ini menjelaskan hubungan karya sastra sebagai imitasi dari
lingkungan/semesta/kenyataan (universe).
1.2. RUMUSAN MASALAH
1.2.1. Apa itu mimesis?
1.2.2. Apa itu drama dan semesta?
1.2.3. Apa perbedaan antara tragedi dan komedi?
1.3. TUJUAN PENULISAN
1.3.1. Mengetahui apa itu mimesis
1.3.2. Mengetahui apa itu drama dan semesta
1.3.3. Mengetahui apa perbedaan antara tragedi dan komedi

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Sastra dan Etika


Usul-usul untuk mendefinisikan sastra tak terbilang jumlahnya, tetapi usul-
usul yang memuaskan tidak banyak. Adapun alasan-alasannya sebagai berikut:

1. sering orang ingin mendefinisikan terlalu banyak sekaligus.


2. Sering orang mencari sebuah definisi ontologis mengenai sastra.
3. Sering anggapan mengenai sastra terlalu ditentukan oleh contoh sastra
barat, khususnya sejak zaman renaissance tanpa menghiraukan bentuk-
bentuk sastra yang khas seperti terdapat dalam lingkungan kebudayaan
diluar Eropa.
4. Pernah diberikan definisi-definisi yang kurang lebih memuaskan berkaitan
dengan sejumlah jenis sastra, tetapi yang kurang relevan kalau diterapkan
pada sastra pada umumnya.

Pengertian sastra yang berlaku pada zaman romantic tidak merupakan suatu
kesatuan. Tidak semua tokoh romantic mempunyai pendapat yang sama mengenai
sastra. Sekalipun demikian kita dapat menyebut beberapa ciri yang selalu muncul
kembali. Pengertian tersebt diantaranya:

a. sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan pertama-tama


sebuah imitasi.
b. Sastra bersifat otonom, tidak mengacu kepada sesuatu yang lain; sastra
tidak bersifat komunikatif.
c. Karya sastra yang otonom itu bercirikan suatu koherensi.
d. Sastra menghidangkan sebuah sintesa antara hal-hal yang saling
bertentangan.

2
e. Sastra mengungkapkan yang tak terungkapkan.1

2.2. Mimesis
Semenjak orang mempelajari sastra secara kritis timbul pertanyaan, sejauh
mana sastra mencerminkan kenyataan. Sering dikatakan, bahwa sastra memang
mencerminkan kenyataan, sering juga dituntut dari sastra agar mencerminkan
kenyataan. Kedua pendapat ini disebut penafsiran mimetik mengenai sastra.
Pengertian mimesis (Yunani: perwujudan atau jiplakan) pertama-tama
dipergunakan dalam teori-teori tentang seni seperti diutarakan oleh Plato (428-
348) dan Aristoteles (384-322) dan dari abad ke abad sangat mempengaruhi teori-
teori mengenai seni dan sastra di Eropa.2

Mimesis yang berarti tiruan, dalam hubungannya dengan kritik sastra


mimesis diartikan sebagai sebuah pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra
selalu berupaya untuk mengaitkan karya sastra dengan realitas atau kenyataan.
Perbedaan pandangan Plato dengan Aristoteles menjadi sangat menarik karena
keduanya merupakan awal filsafat alam, merekalah yang menghubungkan antara
persoalan filsafat dengan kehidupan.

Jelas bahwa teks sastra memang tidak lepas dari dunia nyata, tapi teks sastra
tersebut adalah dunia ‘baru’ yang telah dikreasi melalui konvensi dan inovasi oleh
pengarangnya. Dunia empirik tidak mewakili kenyataan yang sungguh-sungguh,
hanya dapat mendekati lewat mimesis, peneladanan, pembayangan atau peniruan.

Diawali dengan dialog yang dilakukan oleh Plato dalam bukunya Republic,
yang mencoba dalam salah satu bagiannya mengkonsepkan teori seni bahwa
sastra sebagai imitasi atau tiruan dari kenyataan. Pemikiran Plato tentang seni
kemudian ditentang oleh muridnya yakni Aristoteles yang tidak lagi meletakkan
karya sastra semata-mata sebagai tiruan. Ia menganggap bahwa dalam proses
imitasi itu terdapat kreativitas (berupa gagasan, renungan, imajinasi, dan
sebagainya). Penciptanya (artist/authors), sehingga perlu diinterpretasi lebih jauh.

1
Jan Van Luxemburg, dkk. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT Gramedia. 1982. Hlm. 3-6.
2
Jan Van Luxemburg, dkk. Ibid. Hlm. 15

3
Dalam buku M. H. Abrams (1958:6) dinyatakan bahwa ada empat elemen
situasi total karya sastra (four elements in the total situation of a work of art),
yakni: the work (karya sastra); the artist/authors (pengarang); universe (semesta/
alam/ lingkungan/ kenyataan); dan the audience (pembaca).

Sebagai hasil kreasi manusia, puisi mampu memaparkan realitas diluar diri
manusia persis apa adanya. Karya sastra, seperti halnya puisi, adalah semacam
cermin yang menjadi perepresentasi dari realitas itu sendiri (Plato).3
Perkembangan berikutnya, pandangan Plato tersebut sangat mempengaruhi
pikiran dasar realisme di Rusia.

Berdasarkan pandangan Plato mengenai konsep Idea, Plato sangat


memandang rendah seniman dan penyair dalam bukunya yang berjudul Republic
bagian kesepuluh. Bahkan ia mengusir seniman dan sastrawan dari negerinya.
Karena menganggap seniman dan sastrawan tidak berguna bagi Athena, mereka
dianggap hanya akan meninggikan nafsu dan emosi saja. Menurut pendapat filsuf
Yunani seni hanya menyajikan suatu ilusi (khayalan) tentang kenyataan dan tetap
jauh dari “kebenaran”.4

Pandangan tersebut muncul karena mimesis yang dilakukan oleh seniman


dan sastrawan hanya akan menghasilkan khayalan tentang kenyataan dan tetap
jauh dari ‘kebenaran’. Seluruh barang yang dihasilkan manusia menurut Plato
hanya merupakan copy dari Idea, sehingga barang tersebut tidak akan pernah
sesempurna bentuk aslinya (dalam Idea-Idea mengenai barang tersebut).
Sekalipun begitu bagi Plato seorang tukang lebih mulia dari pada seniman atau
penyair. Seorang tukang yang membuat kursi, meja, lemari dan lain sebagainya
mampu menghadirkan Idea ke dalam bentuk yang dapat disentuh panca indra.
Sedangkan penyair dan seniman hanya menjiplak kenyataan yang dapat disentuh
panca indra (seperti yang dihasilkan tukang), mereka oleh Plato hanya dianggap
menjiplak dari jiplakan (Luxemberg:16).

3
Aminuddin. Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo. 2013. Hlm. 115.
4
Jan Van Luxemburg, dkk. Op. Cit. Hlm. 16

4
Menurut Plato mimesis hanya terikat pada ide pendekatan. Tidak pernah
menghasilkan kopi sungguhan, mimesis hanya mampu menyarankan tataran yang
lebih tinggi. Mimesis yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan tidak mungkin
mengacu secara langsung terhadap dunia ideal.  (Teew.1984:220). Hal itu
disebabkan pandangan Plato bahwa seni dan sastra hanya mengacu kepada
sesuatu yang ada secara faktual seperti yang telah disebutkan di muka. Plato
mengatakan bila seni hanya menimbulkan nafsu karena cenderung menghimbau
emosi, bukan rasio (Teew. 1984:221).

Aristoteles mengoper pengertian tentang mimesis itu dari Plato, yakni seni
meluksikan kenyataan, tetapi karena pendapat Aristoteles tentang kenyataan
menyimpang dari pengertian Plato, maka teori mimesis ala Aristoteles juga lain
daripada teori mimesis ala Plato.

Menurut Aristoteles, penampakan kenyataan dan ide-ide tidak lepas yang


satu dari yang lain; dalam setiap obyek yang kita alami didalam kenyataan
terkandung idenya dan itu tak dapat dilepaskan dari obyek itu.5 Bagi Aristoteles,
mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan melainkan merupakan sebuah
proses kreatif; penyair, sambil bertitik pangkal pada kenyataan, menciptakan
sesuatu yang baru. Dengan bermimesis, penyair menciptakan kembali kenyataan,
adapun bahannya ialah barang-barang seperti adanya, atau barang-barang seperti
pernah ada, atau seperti kita bayangkan, atau seperti ada menurut pendapat orang,
atau seperti seharusnya ada, yaitu fakta dari masa kini atau masa silam, keyakinan,
cita-cita.

Dalam bukunya yang berjudul Poetica (via Luxemberg.1989:17),


Aristoteles mengemukakakan bahwa sastra bukan copy (sebagaimana uraian
Plato) melainkan suatu ungkapan mengenai “universalia” (konsep-konsep umum).
Dari kenyataan yang menampakkan diri kacau balau seorang seniman atau
penyair memilih beberapa unsur untuk kemudian diciptakan kembali menjadi
‘kodrat manusia yang abadi’, kebenaran yang universal. Itulah yang membuat

5
Jan Van Luxemburg, dkk. Ibid. Hlm. 17.

5
Aristoteles dengan keras berpendapat bahwa seniman dan sastrawan jauh lebih
tingi dari tukang kayu dan tukang-tukang lainnya.

Pandangan positif Aristoteles terhadap seni dan mimesis dipengaruhi oleh


pemikirannya terhadap ‘ada’ dan Idea-Idea. Aristoteles menganggap Idea-idea
manusia bukan sebagai kenyataan. Jika Plato beranggapan bahwa hanya idea-lah
yang tidak dapat berubah, Aristoteles justru mengatakan bahwa yang tidak dapat
berubah (tetap) adalah benda-benda jasmani itu sendiri. Benda jasmani oleh
Aristoteles diklasifikasikan ke dalam dua kategori, bentuk dan kategori. Bentuk
adalah wujud suatu hal sedangkan materi adalah bahan untuk membuat bentuk
tersebut, dengan kata lain bentuk dan materi adalah suatu kesatuan (Bertens.1979:
13).

Hubungan universe dengan seni dalam pandangan berbagai kebudayaan


boleh dikatakan sejalan. Dalam sejarah kebudayaan barat, hubungan seni dan
alam cukup sentral. Pada abad pertengahan manusia hanya mengambil contoh
ciptaan Tuhan yang mutlak baik dan indah. Juga dalam kebudayaan Arab, penyair
terikat pada ciptaan Tuhan, yang merupakan model sempurna; dalam Al-Quran
kebenaran diberikan melalui pemakaian bahasa yang tidak ada yang dapat
mengunggulinya; dalam puitika Cina umumnya aspek mimetik ditekankan pada
seni. Tata semesta kebenaran kesejarahan dan kemanusiaan harus menjadi teladan
bagi sastra. Ciptaan dalam arti rekaan murni tidak dianggap sebagai seni. Dalam
puisi Jawa kuno, khususnya dalam kakawin, aspek mimetik, yaitu alam sebagai
teladan, bagi penyair sangat kuat pengaruhnya. Penyair mencari ilham dalam
keindahan alam dengan berkelana menelusuri keindahan dan bagian yang paling
puitik dalam arti luas. Kakawin disamakan dengan unio mystica, yaitu persatuan
manusia dengan Tuhan melalui keindahan.

Apabila dicari kaitan antara creation dan mimesis dari segi bahasa, maka
penganut teori creatio menganggap karya seni sebagai sesuatu yang baru, suatu
ciptaan dalam arti yang sungguh-sungguh. Ini dianut oleh kaum strukturalis yang

6
menganggap karya sastra sebagai dunia kata-kata atau heterokosmos, sesuatu
yang otonom dalam kenyataan.

Adapun teori mimesis menganggap karya sastra sebagai pencerminan,


peniruan, atau pembayangan realitas. Pendapat ini kebanyakan dianut oleh peneliti
sastra aliran Marxis - sosiologi sastra - dan - peneliti lain yang menganggap karya
seni sebagai dokumen sosial. Sarana yang terkuat dalam pengarahan manusia pada
penafsiran kenyataan ialah bahasa. Bahasa tidak saja mengintegrasikan berbagai
bidang pengalaman menjadi keseluruhan yang berarti, tetapi juga memungkinkan
mengatasi kenyataan sehari-hari.

Dalam sastra, sebuah roman misalnya, adalah suatu ketangangan antara


kenyatan dan rekaan. Misalnya, dalam setting ‘latar’ sejarahnya cocok dengan
informasi faktual yang kita miliki mengenai waktu. Kenyataan itu diresapi oleh
pemberian makna yang diharapkan pembaca, kemiripan dengan kenyataan; ini
bukanlah suatu tujuan, tetapi sarana untuk menyampaikan sesuatu kepada
pembaca yang mungkin lebih dari kenyataan tetapi justru kenyataan itu yang
memberi makna pada kenyataan atau kenyataan ilmu.
Dari abad ke abad, pandangan Plato dan Aristoteles mengenai mimesis
telah dioper oleh berbagai teori estetika (filsafat mengenai keindahan), entah
menurut bentuk yang asli, entah dalam bentuk yang sedikit diubah. Pengertian
teori mimesis itu mempunyai satu unsur yang sama, perhatian diarahkan kepada
hubungan antara gambar dan apa yang digambarkan. Tolok ukur estetik pertama
ialah sejauh mana gambar itu sesuai dengan kenyataan. Apakah kenyataan itu
merupakan dunia ide, dunia yang universal atau dunia yang khas, itu tidak begitu
penting.
2.3. Drama dan Semesta
Drama berbeda dengan prosa cerita dan puisi karena dimaksudkan untuk
dipentaskan. Pementasan itu memberikan kepada drama sebuah penafsiran kedua.
Sang sutradara dan para pemain menafsirkan teks, sedangkan para penonton
menafsirkan versi yang telah ditafsirkan oleh para pemain. Pembaca yang
membaca teks drama tanpa menyaksikan pementasannya mau tidak mau
membayangkan jalur peristiwa diatas panggung. Pengarang drama pada

7
prinsipnya memperhitungkan kesempatan ataupun pembatasan khas, akibat
pementasan. Maka dari itu, teks drama berkiblat pada pementasan.6

Drama berasal dari kata Yunani Kuno, draomai yang berarti bertindak atau
berbuat (mengacu pada salah satu jenis pertunjukan) dan drame yang berasal dari
kata Perancis yang diambil oleh Diderot dan Beaumarchaid untuk menjelaskan
lakon-lakon mereka tentang kehidupan kelas menengah. Dalam istilah yang lebih
ketat berarti lakon serius yang menggarap satu masalah yang punya arti penting
tapi tidak bertujuan mengagungkan tragika atau kematian (Bakdi Soemanto,
20010. Menurut William Froug (1993) drama adalah lakon serius yang
mempunyai segala rangkaian peristiwa yang nampak hidup, mengandung emosi,
konflik, daya tarik memikat serta akhir yang mencolok dan tidak diakhiri oleh
kematian tokoh utamanya.
Drama juga bisa diartikan sebagai suatu kualitas komunikasi, situasi, aksi
dan segala apa saja yang terlihat dalam pentas, baik secara objektif maupun secara
subjektif, nyata atau khayalan yang menimbulkan kehebatan, keterenyuhan dan
ketegangan perasaan para pendengar atau penonton. Bisa juga diartikan sebagai
suatu bentuk cerita konflik sikap dan sifat manusia dalam bentuk dialog, yang
diproyeksikan pada pentas dengan menggunakan percakapan dan gerak dihadapan
pendengar maupun penonton.
2.4. Perbedaan Tragedi dan komedi
Sebelum mengetahui perbedaan antara tragedi dan komedi, kita harus
mengetahui terlebih dahulu pengertian keduanya.
1. Tragedi
Tragedi berasal dari kata tragoidia (bahasa Yunani), tragedy (bahasa
Inggris), tragedie (bahasa Perancis), yaitu penggabungan kata tragos yang berarti
kambing dan kata aediein yang ebrarti nyanyian. Jadi, tragedi adalah nyanyian
yang dinyanyikan untuk mengiringi kambing sebelum dibaringkan di atas altar
untuk dikorbankan. Pengorbanan kambing dilakukan pada saat upacara untuk
menghormati dewa Dionysos yang dianggap sebagai dewa kesuburan. Kata

6
Jan Van Luxemburg. Ibid. Hlm. 158.

8
tersebut bisa juga berarti untuk menyebut kostum kambing yang dikenakan oleh
aktor ketika memainkan lakon satir.
Menurut Aristoteles, lakon tragedi merupakan lakon yang meniru sebuah
aksi yang sempurna dari seorang tokoh besar dengan menggunakan bahasa yang
menyenangkan supaya para penonton merasa belas kasihan dan ngeri, sehingga
mengalami pencucian jiwa atau mencapai katarsis. Jika dikaji lebih lanjut
mengenai definisi tragedi menurut Aristoteles ini ialah bahwa lakon tragdei
memerlukan aksi yang sempurna, sehingga mempunyai daya pikat yang tinggi,
padat, kompleks, dan sublim. Jadi, sebenarnya lakon tragedi bukan lakon yang
bercerita duka cita dan kesedihan, akan tetapi lakon yang bertujuan untuk
menggoncang jiwa penonton sehingga lemas, tergetar, merasa ngeri tetapi
sekaligus juga merasa belas kasihan. Singkatnya, penonton merasa menyadari
betapa kecil dan rapuhnya jiwa manusia didepan kedahsyatan suratan takdir
(Rendra, 1993).
Tujuan utama lakon tragedi ini untuk membuat kita mengalami
pengalaman emosi melalui identifikasi para tokoh dan untuk menguatkan kembali
kepercayaan pada diri sendiri sebagai bagian dari manusia. Tokoh utama dalam
lakon tragedi biasanya tokoh terpandang, raja, kesatria, atau tokoh yang memiliki
pengaruh dimasyarakat dan biasanya di akhir cerita mengalami kesengsaraan dan
kematian yang tragis, jalan yang ditempuh sangat berat, sulit, dan membuatnya
menderita, tetapi sikap ini justru membuatnya tampak mulia dan
berkeprimanusiaan. Sebenarnya, bukan masalah kematian tokoh yang menjadi
penting pada lakon tragedi tetapi tentang apa yang dikatakan dalam lakon tentang
kehidupanlah yang menjadi penting.
Lakon-lakon tragedi Yunani Kuno mengajak manusia untuk mrenungkan
hakikat kehidupan dipandang dari sisi yang menyedihkan karena kehidupan pada
prinsipnya selalu kalah dengan takdir ilahi.
2. Komedi
Komedi berasal dari kata comedia (bahasa latin), commedia (bahasa
Italia), berarti lakon yang berakhir dengan kebahagiaan. Lakon komedi seperti hal
nya lakon tragedi merupakan bagian dari upacara penghormatan terhadap dewa

9
Pallus. Upacara penghormatan ini dilakukan dengan cara melakukan arak-arakan
dan memakai kostum setengah manusia dan setengah kambing. Arak-arakan ini
menyanyi dan melontarkan kata-kata kasar untuk memancing tertawaan penonton.
Menurut Aristoteles, lakon komedi merupakan tiruan dari tingkah laku manusia
biasa atau rakyat jelata. Tingkah laku yang lebih merupakan perwujudan
keburukan manusia ketika menjalankan kehidupan sehingga mampu
menumbuhkan tertawaan dan cemoohan sampai terjadi katarsis atau penyucian
jiwa (Yudiaryani, 2002).
Penciptaan lakon komedi bertitik tolak dari perasaan manusia yang
memiliki kekuatan, namun namun manusia tidak sadar bahwa dirinya memiliki
daya hidup yang dikelilingi alam semesta. Manusia harus mempertahankan
kekuatan dan vitalitas secara utuh terus menerus bahkan harus
menumbuhkembangkan untuk mengatasi perubahan alam, politik, budaya,
maupun ekonomi.
Lakon komedi adalah lakon yang mengungkapkan cacat dan kelamahan
sifat manusia dengan cara yang lucu, sehingga para penonton bisa lebih
menghayati kenyataan hidupnya. Jadi, lakon komedi bukan hanya sekedar
lawakan kosong tetapi harus mampu membukakan mata penonton kepada
kenyataan kehidupan sehari-hari yang lebih dalam (Rendra, 1983). Tokoh dalam
komedi ini biasanya orang-orang yang lemah, tertindas, bodoh, dan lugu, sehingga
iedntifikasi penonton terhadap tokoh tersebut bisa ditertawakan dan dicemoohkan.

10
BAB III

PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang dapat penyusun sampaikan adalah sebagai
berikut:
1. Mimesis merupakan sebuah pendekatan dalam pengkajian karya sastra
yang mengaitkan karya sastra dengan realita atau kenyataan.
2. Drama merupakan salah satu jenis lakon serius dan berisi kisah
kehidupan manusia yang memiliki konflik yang rumit dan penuh daya
emosi tetapi tidak mengagungkan sifat tragedi.
3. Jadi perbedaan antara tragedi dan komedi adalah komedi merupakan
lakon yang bertujuan untuk menggoncang jiwa penonton sehingga
lemas, tergetar, merasa ngeri tetapi sekaligus juga merasa belas kasihan.
Singkatnya, penonton merasa menyadari betapa kecil dan rapuhnya jiwa
manusia didepan kedahsyatan suratan takdir, sedangkan komedi
merupakan lakon yang mengungkapkan cacat dan kelamahan sifat
manusia dengan cara yang lucu, sehingga para penonton bisa lebih
menghayati kenyataan hidupnya.
3.2. SARAN
Sejalan dengan sempulan diatas, penyusun merumuskan saran sebagai
berikut:

1. Dosen hendaknya memberikan pemahaman yang lebih kepada


mahasiswa mengenai sastra dan etika serta penggunaan metode
mimesis.
2. Mahasiswa hendaknya mempelajari lebih mendalam tentang perbedaan
tragedi dan komedi sehingga bisa lebih memahami keduanya.

11
DAFTAR PUSTAKA
 Van Luxemburg, Jan dkk. 1982. Pengantar Ilmu Sastra, PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
 Aminuddin. 2013. Pengantar Apresiasi Karya Sastra, Sinar Baru
Algensindo, Bandung.
 http;//Harifit-fisip.web.unair.ac.id, 11 Februari 2017
 https://id.m.wikipedia.org Republik,Plato, 11 Februari 2017

12

Anda mungkin juga menyukai