(Proposal ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah al-Adab al-Muqarran)
Dosen Pengampu :
Siti Amsariah, M.Ag
Disusun oleh:
Ramda Riana
11150210000012
Sastra dalam bahasa arab disebut adab. Secara leksikal, kata adab bukan
hanya berarti sastra tetapi juga etika (sopan santun), tata cara, filologi,
kemanusiaan, kultur, dan ilmu humaniora. Begitupun dengan kata adab menurut
bahasa Indonesia yang berarti sopan santun, budi bahasa, dan kebudayaan. Makna
adab yang berkembang dari waktu ke waktu mengalami perubahan, sehingga kata
adab yang berarti akhlak baik/etika, juga dapat berarti mengajak makan. Makna
adab dalam arti mengajak makan ini jika ditinjau dari aspek akhlak yang baik/etika,
maka makna ajakan makan itu merupakan kebudayaan yang mencerminkan sikap
Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya
Sastra sebagai karya kreatif yang mengandung emosi, imajinasi, dan budi (moral).
hidupnya. Maka antara karya sastra dengan menusia memiliki hubungan yang tidak
perasaan, imajinasi serta spekualiasasi mengenai manusia itu sendiri. Sastra sebagai
1
Prof. Dr. Sukron Kamil, M.A, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada), 2012, hlm. 3-4
2
Prof. Drs. M. Atar Semi, Kritik Sastra, (Bandung: Angkasa), 2006, hlm.3
produk kehidupan mengandung nilai-nilai sosial, etika, estetika, religius, budaya,
filosofis, dan sebagainya. Nilai-nilai tersebut ada yang bertolak dari pengekspresian
karya sastra. Karya-karya yang dapat dikategorikan sebagai karya sastra harus
memiliki unsur-unsur pembangun karya sastra, antara lain yaitu: dalam segi makna,
ada 3 bentuk penilaian atau unsur sebuah karya sastra. Pertama gagasan, karya
sastra harus memiliki maksud dan tujuan kenapa si pengarang membuat karya
tersebut. Pengarang berupaya agar dapat menyampaikan maksud dan tujuan dari
bukan dari segi hiburan melainkan harus memiliki nilai pendidikan dan pengajaran
pengarang dapat menciptakan rasa ketertarikan akan karya sastra itu. Kebanyakan
sehingga karya itu dapat tersalurkan dan menyentuh hati pembaca/penikmat. Ketiga
imajinasi, pada unsur ini, ide-ide atau konsep dari hasil pemikiran pengarang
dituangkan dalam karyanya agar karya tersebut menjadi sebuah karya sastra yang
terkemuka.
Bentuk atau keindahan. Suatu karya sastra harus memiliki bentuk estetika
yang menarik, baik dari segi bahasa maupun susunan kalimatnya. Bahasa yang
digunakan dalam sebuah karya sastra itu harus indah dan bermakna agar menarik
maupun karya lisan, salah satu karya tersebut dinamakan karya sastra yang
diciptakan oleh pengarang sebagai sarana untuk menuangkan ide dan aspirasinya
melalui alat bahasa. Penulisan dan pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya
dengan unsur kesejarahannya, sehingga memberi makna secara lebih lengkap jika
dikaitkan dengan unsur kesejarahan.3 Ketika sebuah karya sastra telah di ciptakan
maka untuk hal lain dari penyempurnaan karya tersebut harus di amati dan dinilai
supaya menjadi karya yang baik, pernyataan tersebut disebut kritik. Kritik sastra
adalah analisa terhadap suatu karya sastra untuk mengamati atau menilai baik
Istilah ”kritik” (sastra) berasal dari bahasa Yunani yaitu krites yang berarti
”hakim”. Krites sendiri berasal dari krinein ”menghakimi”; kriterion yang berarti
salah satu objek studi sastra (cabang ilmu sastra) yang melakukan analisis,
penerangan, dan penilaian karya sastra. Dimana dalam kajian kritik sastra
mencakup: (a) Menjelaskan karya sastra itu sendiri, (b) Meluruskan kekeliruan
3
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Puisi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press), 1995.
karya sastra dari kaidah-kaidah bahasa, logika, moral, teori sastra, dan kekeliruan
Sebuah karya sastra, baik puisi maupun prosa mempunyai hubungan sejarah
antara karya sezaman, yang mendahuluinya atau yang kemudian. Hubungan sejarah
ini baik berupa persamaan atau pertentangan. Dengan hal demikian ini, sebaiknya
penuh dalam hubungannya dengan karya sastra lain, baik dalam hal persamaan
dalam wilayah hipogram. Menurut Riffatere, hipogram adalah modal utama dalam
sebuah teks transformasi dengan hipogramnya (karya sastra yang menjadi latar
penciptaan karya lain), dengan tujuan untuk memberikan makna secara lebih penuh
4
Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Sastra, dan Penerapannya, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar), 1995.
5
A. Teeuw dalam Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Puisi, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press), 1995.
peristiwa, plot, penokohan, dan gaya bahasa di antara teks-teks yang dikaji. Secara
aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya dan pada karya
membuat karya tersebut dan bagaimana pembaca menafsirkannya. Dalam hal ini,
menulis dan membaca suatu ‘interteks’ menurut tradisi budaya, sosial dan sastra
yang tertuang dalam teks-teks. Setiap teks bertumpu pada konvensi sastra dan
Kajian intertekstual didasarkan pada asumsi bahwa kapan pun karya ditulis,
ia tidak mungkin lahir dari kekosongan budaya. Semua konvensi dan tradisi di
kesastraan yang ditulis sebelumnya. Dalam hal ini penulisan prosa dan seterusnya
terdapat kaitan mata rantai antara penulisan karya sastra dengan unsur
kesejarahannya.
Karya sastra yang ditulis biasanya mendasar pada karya-karya lain yang
telah ada sebelumnya baik secara langsung maupun tidak langsung, baik dengan
yang sesuai dari teks lain berdasarkan tanggapannya yang kemudian diolah
kembali dalam karyanya. Dengan kata lain, setiap teks dari suatu karya sastra
biasanya mengambil bentuk, intisari atau pokok-pokok yang baik dari teks lain
Dalam menganalisis suatu karya sastra, kritikus secara aktif memberi makna
pada unsur-unsur dan keseluruhan karya sastra. Pemberian makna ini berdasarkan
sistem tanda. Preminger dkk (dalam Pradopo, 1995) secara khusus menyebutnya
maka tidak boleh lepas dari konteks sejarah dan konteks sosial budaya. Dalam hal
ini karya sastra diciptakan berdasarkan konvensi sastra yang ada, di samping sifat
hakiki sastra, yaitu sifat kreativitas. Karya sastra yang timbul kemudian itu
diciptakan menyimpang dari ciri-ciri dan konsep estetik sastra yang ada. Selalu ada
Sebuah karya sastra baik prosa maupun puisi, mempunyai hubungan sejarah
antara karya sezaman, yang mendahuluinya atau yang kemudian. Hubungan sejarah
6
A. Teeuw, Ilmu Sastra Umum dan Ilmu Sastra Malindo, (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada),
1980.
ini memiliki persamaan ataupun pertentangan. Dalam hubungan sejarah antarteks,
Pradopo, 1995) bahwa sajak baru bermakna penuh jika berhubungan dengan sajak
lainnya. Hubungan inilah yang menjadi titik focus apakah itu berupa persamaan
ataupun pertentangan. Karena tidak ada karya sastra yang lahir itu mencontoh atau
tersebut.
memberikan makna antar karya yang bersangkutan. Karya itu diprediksikan sebagai
bagaimana kita memperoleh makna sebuah karya secara penuh dalam kontrasnya
dengan karya lain yang menjadi hipogramnya, baik berupa teks fiksi maupun
nonfiksi.
dasarnya pembacalah yang menentukan ada atau tidaknya kaitan antara teks yang
satu dengan teks yang lain. Berikut hubungan intertekstualitas puisi “Kerinduan
(cinta)” karya Ibnu Arabi dengan puisi “Mahabbah (cinta)” karya Rabiah al
Atau binasa
أنت روح الفؤاد أنت رجائي كم بدت ِمنة وكم لك عندي
كن يف السواد
ُ َُأنت مىن ُم
bahasanya yang indah, pilihan kata (diksi) yang menyentuh hati pembaca, dan
gelisahnya yang amat tak tertahankan kepada dia yang dipikirkan si pengarang.
Kesedihan akan pilu ingin berada disisi seseorang dan mencapai tempat tujuan
belakang antara dua puisi tersebut yaitu kepada siapa puisi itu diutarakan. Pada
puisi “kerinduan” oleh Ibnu Arabi, dia melantunkan syairnya untuk seorang wanita
yang dijumpainya ketika melakukan pertapaan. Rasa cinta yang amat dalam
ketuhanan.
hati yang selalu dipanjatkannya kepada Tuhannya, kecintaan yang amat dalam
yang amat dalam akan seseorang nampak pada setiap untaian kata-kata yang
dilantunkan, ungkapan hati penuh kerinduan dan kegelisahan jika tak berjumpa
sehingga jika mendalami maknanya maka akan sangat menyentuh dan memesona
bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Kamil, Prof. Dr. Sukron. 2012. Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern.
University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa teori sastra, metode sastra, dan
Teeuw, A. 1980. Ilmu sastra umum dan ilmu sastra malindo. Yogyakarta: