Anda di halaman 1dari 13

INTERTEKSTUAL SASTRA

(Proposal ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah al-Adab al-Muqarran)

Dosen Pengampu :
Siti Amsariah, M.Ag

Disusun oleh:

Ramda Riana
11150210000012

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
INTERTEKSTUAL SASTRA (PUISI)

Sastra dalam bahasa arab disebut adab. Secara leksikal, kata adab bukan

hanya berarti sastra tetapi juga etika (sopan santun), tata cara, filologi,

kemanusiaan, kultur, dan ilmu humaniora. Begitupun dengan kata adab menurut

bahasa Indonesia yang berarti sopan santun, budi bahasa, dan kebudayaan. Makna

adab yang berkembang dari waktu ke waktu mengalami perubahan, sehingga kata

adab yang berarti akhlak baik/etika, juga dapat berarti mengajak makan. Makna

adab dalam arti mengajak makan ini jika ditinjau dari aspek akhlak yang baik/etika,

maka makna ajakan makan itu merupakan kebudayaan yang mencerminkan sikap

sopan santun seseorang terhadap orang lain ketika menjamu tamu.1

Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya

manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya.2

Sastra sebagai karya kreatif yang mengandung emosi, imajinasi, dan budi (moral).

Keberadaan sastra di tengah peradaban manusia sebagai realitas sosial dapat

memberi kepuasan estetik dan intelektual bagi masyarakat peminat sastra.

Karya sastra membicarakan manusia dengan segala kompleksitas persoalan

hidupnya. Maka antara karya sastra dengan menusia memiliki hubungan yang tidak

dapat dipisahkan. Sastra merupakan pencerminan dari segi kehidupan manusia

yang didalamnya tersurat sikap, tingkah laku, pemikiran, pengetahuan, tanggapan,

perasaan, imajinasi serta spekualiasasi mengenai manusia itu sendiri. Sastra sebagai

1
Prof. Dr. Sukron Kamil, M.A, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada), 2012, hlm. 3-4
2
Prof. Drs. M. Atar Semi, Kritik Sastra, (Bandung: Angkasa), 2006, hlm.3
produk kehidupan mengandung nilai-nilai sosial, etika, estetika, religius, budaya,

filosofis, dan sebagainya. Nilai-nilai tersebut ada yang bertolak dari pengekspresian

klasik ataupun penyodoran konsep baru.

Sebuah karya memiliki beberapa ukuran tertentu untuk dapat dikatakan

karya sastra. Karya-karya yang dapat dikategorikan sebagai karya sastra harus

memiliki unsur-unsur pembangun karya sastra, antara lain yaitu: dalam segi makna,

ada 3 bentuk penilaian atau unsur sebuah karya sastra. Pertama gagasan, karya

sastra harus memiliki maksud dan tujuan kenapa si pengarang membuat karya

tersebut. Pengarang berupaya agar dapat menyampaikan maksud dan tujuan dari

pemikirannya kepada pembaca/penikmat. Akan tetapi, maksud dan tujuannya

bukan dari segi hiburan melainkan harus memiliki nilai pendidikan dan pengajaran

yang dapat dipetik manfaatnya oleh pembaca/penikmat. Kedua rasa, bagaimana

pengarang dapat menciptakan rasa ketertarikan akan karya sastra itu. Kebanyakan

dari pengarang menuangkan perasaannya ke dalam karya sastra yang dibuatnya,

sehingga karya itu dapat tersalurkan dan menyentuh hati pembaca/penikmat. Ketiga

imajinasi, pada unsur ini, ide-ide atau konsep dari hasil pemikiran pengarang

dituangkan dalam karyanya agar karya tersebut menjadi sebuah karya sastra yang

terkemuka.

Bentuk atau keindahan. Suatu karya sastra harus memiliki bentuk estetika

yang menarik, baik dari segi bahasa maupun susunan kalimatnya. Bahasa yang

digunakan dalam sebuah karya sastra itu harus indah dan bermakna agar menarik

perhatian pembaca/penikmat . Susunan kalimatnya rapi dan sesuai dengan kaidah.


Dari kalimat-kalimat tersebut dapat diciptakan sebuah karya baik karya tulis

maupun karya lisan, salah satu karya tersebut dinamakan karya sastra yang

diciptakan oleh pengarang sebagai sarana untuk menuangkan ide dan aspirasinya

melalui alat bahasa. Penulisan dan pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya

dengan unsur kesejarahannya, sehingga memberi makna secara lebih lengkap jika

dikaitkan dengan unsur kesejarahan.3 Ketika sebuah karya sastra telah di ciptakan

maka untuk hal lain dari penyempurnaan karya tersebut harus di amati dan dinilai

supaya menjadi karya yang baik, pernyataan tersebut disebut kritik. Kritik sastra

adalah analisa terhadap suatu karya sastra untuk mengamati atau menilai baik

buruknya suatu karya secara objektif.

Istilah ”kritik” (sastra) berasal dari bahasa Yunani yaitu krites yang berarti

”hakim”. Krites sendiri berasal dari krinein ”menghakimi”; kriterion yang berarti

”dasar penghakiman” dan kritikos berarti ”hakim kasustraan” (Baribin, 1993).

Pradotokusumo (2005) menguraikan bahwa kritik sastra dapat diartikan sebagai

salah satu objek studi sastra (cabang ilmu sastra) yang melakukan analisis,

penafsiran, dan penilaian terhadap teks sastra sebagai karya seni.

Sementara Abrams dalam Pengkajian sastra (2005) mendeskripsikan bahwa kritik

sastra merupakan cabang ilmu yang berurusan dengan perumusan, klasifikasi,

penerangan, dan penilaian karya sastra. Dimana dalam kajian kritik sastra

mencakup: (a) Menjelaskan karya sastra itu sendiri, (b) Meluruskan kekeliruan

3
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Puisi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press), 1995.
karya sastra dari kaidah-kaidah bahasa, logika, moral, teori sastra, dan kekeliruan

estetikanya, dan (c) Menunjang ilmu sastra.

Sebuah karya sastra, baik puisi maupun prosa mempunyai hubungan sejarah

antara karya sezaman, yang mendahuluinya atau yang kemudian. Hubungan sejarah

ini baik berupa persamaan atau pertentangan. Dengan hal demikian ini, sebaiknya

membicarakan karya sastra itu dalam hubungannya dengan karya sezaman,

sebelum atau sesudahnya.4

Dalam hubungan sejarah antarteks, perlu diperhatikan prinsip-

prinsipintertekstualitas. Prinsip intertekstual yaitu karya sastra baru bermakna

penuh dalam hubungannya dengan karya sastra lain, baik dalam hal persamaan

maupun pertentangan. Kajian sastra perbandingan, pada akhirnya harus masuk ke

dalam wilayah hipogram. Menurut Riffatere, hipogram adalah modal utama dalam

sastra yang akan melahirkan karya berikutnya 5

Intertekstual yaitu membandingkan, mensejajarkan, dan mengontraskan

sebuah teks transformasi dengan hipogramnya (karya sastra yang menjadi latar

penciptaan karya lain), dengan tujuan untuk memberikan makna secara lebih penuh

terhadap karya sastra.

Kajian intertekstual dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks

(teks kesastraan), yang mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu. Misalnya,

untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan,

4
Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Sastra, dan Penerapannya, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar), 1995.
5
A. Teeuw dalam Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Puisi, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press), 1995.
peristiwa, plot, penokohan, dan gaya bahasa di antara teks-teks yang dikaji. Secara

lebih khusus dapat dikatakan bahwa kajian intertekstual berusaha menemukan

aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya dan pada karya

yang muncul kemudian (Nurgiantoro, 1995).

Ada tidaknya hubungan antarteks berkaitan dengan niat pengarang

membuat karya tersebut dan bagaimana pembaca menafsirkannya. Dalam hal ini,

Luxemburg (Nurgiyantoro, 1995), mengartikan intertekstualitas sebagai: “kita

menulis dan membaca suatu ‘interteks’ menurut tradisi budaya, sosial dan sastra

yang tertuang dalam teks-teks. Setiap teks bertumpu pada konvensi sastra dan

bahasa yang dipengaruhi oleh teks-teks sebelumnya”.

Kajian intertekstual didasarkan pada asumsi bahwa kapan pun karya ditulis,

ia tidak mungkin lahir dari kekosongan budaya. Semua konvensi dan tradisi di

masyarakat, dalam wujudnya yang khusus direalisasikan berupa teks-teks

kesastraan yang ditulis sebelumnya. Dalam hal ini penulisan prosa dan seterusnya

terdapat kaitan mata rantai antara penulisan karya sastra dengan unsur

kesejarahannya.

Karya sastra yang ditulis biasanya mendasar pada karya-karya lain yang

telah ada sebelumnya baik secara langsung maupun tidak langsung, baik dengan

cara meneruskan atau menyimpangi (menolak atau memutarbalikan esensi)

konvensi. Menurut Riffaterre mengatakan bahwa karya sastra selalu merupakan


tantangan, tantangan yang terkandung dalam perkembangan sastra sebelumnya,

yang secara konkret berupa sebuah atau sejumlah karya.6

Setiap teks merupakan mosaik kutipan-kutipan dan penyerapan serta

transformasi teks-teks lain. Maksudnya, tiap teks itu mengambil hal-hal

yang sesuai dari teks lain berdasarkan tanggapannya yang kemudian diolah

kembali dalam karyanya. Dengan kata lain, setiap teks dari suatu karya sastra

biasanya mengambil bentuk, intisari atau pokok-pokok yang baik dari teks lain

dengan berlandaskan persepsi yang diolah kembali oleh pengarangnya.

Dalam menganalisis suatu karya sastra, kritikus secara aktif memberi makna

pada unsur-unsur dan keseluruhan karya sastra. Pemberian makna ini berdasarkan

sistem tanda. Preminger dkk (dalam Pradopo, 1995) secara khusus menyebutnya

sebagai konvensi tambahan, di samping konvensi bahasa yang menjadi mediumnya.

Untuk mendapatkan makna sepenuhnya dalam menganalisis karya sastra,

maka tidak boleh lepas dari konteks sejarah dan konteks sosial budaya. Dalam hal

ini karya sastra diciptakan berdasarkan konvensi sastra yang ada, di samping sifat

hakiki sastra, yaitu sifat kreativitas. Karya sastra yang timbul kemudian itu

diciptakan menyimpang dari ciri-ciri dan konsep estetik sastra yang ada. Selalu ada

ketegangan antara kovensi dengan pembaharuan.

Sebuah karya sastra baik prosa maupun puisi, mempunyai hubungan sejarah

antara karya sezaman, yang mendahuluinya atau yang kemudian. Hubungan sejarah

6
A. Teeuw, Ilmu Sastra Umum dan Ilmu Sastra Malindo, (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada),
1980.
ini memiliki persamaan ataupun pertentangan. Dalam hubungan sejarah antarteks,

perlu diperhatikan prinsip-prinsip intertekstualitas. Menurut Riffaterre (dalam

Pradopo, 1995) bahwa sajak baru bermakna penuh jika berhubungan dengan sajak

lainnya. Hubungan inilah yang menjadi titik focus apakah itu berupa persamaan

ataupun pertentangan. Karena tidak ada karya sastra yang lahir itu mencontoh atau

meniru karya sebelumnya yang diserap dan ditransformasikan dalam karya

tersebut.

Adapun prinsip intertektualitas yang utama adalah prinsip memahami dan

memberikan makna antar karya yang bersangkutan. Karya itu diprediksikan sebagai

reaksi, penyerapan, atau tranformasi dari karya-karya yang lain. Masalah

intertekstual tidak hanya sekadar pengaruh, ambilan atau jiplakan, melainkan

bagaimana kita memperoleh makna sebuah karya secara penuh dalam kontrasnya

dengan karya lain yang menjadi hipogramnya, baik berupa teks fiksi maupun

nonfiksi.

Adanya hubungan intertekstual dapat dikaitkan dengan teori resepsi. Pada

dasarnya pembacalah yang menentukan ada atau tidaknya kaitan antara teks yang

satu dengan teks yang lain. Berikut hubungan intertekstualitas puisi “Kerinduan

(cinta)” karya Ibnu Arabi dengan puisi “Mahabbah (cinta)” karya Rabiah al

Adawiyah dapat dilihat sebagai berikut:

Syair kerinduan Ibnu Arabi :

‫ليت شعرى هل دروا أى قلب ملكوا‬

‫وفؤادى لو درى أي شعب سلكوا‬


‫أتراهم سلموا أم تراهم هلكوا‬

‫حار ارابب اهلوى ىف اهلوى وارتبكوا‬

Aduhai, jiwa yang gelisah

Apakah mereka tahu

Hati manakah yang mereka miliki

Oh, relung hatiku

Andai saja engkau tahu

Lorong manakah yang mereka lalui

Apakah engkau tahu

Apakah mereka akan selamat

Atau binasa

Para pecinta bingung akan cintanya sendiri

Dan menangis tersedu-sedu

Syair kerinduan Rabiah al Adawiyah :

‫اي سروري ومنييت وعمادي‬ ‫أنت لوالك اي حيايت وأُنسي‬

‫وأنيسي وعُديت ومرادي‬ ‫تشتت يف فسيح البالد‬


ُ ‫ما‬

‫أنت روح الفؤاد أنت رجائي‬ ‫كم بدت ِمنة وكم لك عندي‬

‫أنت يل مؤنس وشوق كزادي‬ ٍ ‫عطاء‬


‫ونعمة وأايدي‬ ٍ ‫من‬
‫ُحبك اآلن بُغييت ونعيمي‬ ‫علي فإين‬
ّ ً‫إن تكن راضيا‬
‫وجالءُ لعني قليب الصادي‬ ‫اي ُمىن القلب قد بدا إسعادي‬

‫ليس يل عندك ما حييت بر ٍاح‬

‫كن يف السواد‬
ُ َُ‫أنت مىن ُم‬

Hai Riangku, Rinduku, Penyanggaku

Teman, Penolong dan tujuanku

Kaulah ruh hatiku, kaulah harapan

dan karibku, rinduku pada-Mu meneguhkanku

Jika bukan karena Engkau, Oh Nyawa dan Kawanku

Kutakkan berpetualang di dunia yang lapang

Telah banyak karunia, kenikmatan dan bantuan

Kau limpahkan padaku

Namun kini hanya cintaMu yang menjadi tujuan dan nikmatku

Oh Cahaya mata hatiku yang dahaga

tanpa-Mu aku tak bisa hidup dalam pencerahan

Namun bila Kau lemparkan aku dalam kegelapan

Jika Engkau menyambutku, Oh Rindu Hatiku

Sungguh kebahagiaanku telah bermula.


Kedua puisi tersebut memiliki hubungan persamaan dilihat dari gaya

bahasanya yang indah, pilihan kata (diksi) yang menyentuh hati pembaca, dan

kandungan makna yang begitu mendalam akan kerinduan kepada seseorang.

Bagaimana kedua pengarang menyampaikan ungkapan hati dan perasaan

gelisahnya yang amat tak tertahankan kepada dia yang dipikirkan si pengarang.

Kesedihan akan pilu ingin berada disisi seseorang dan mencapai tempat tujuan

walau mengorbankan diri ke arahnya. Hidup dan matinya ia pertaruhkan untuk

mendapatkan ketenangan dan kebahagian hatinya.

Bukan hanya persamaan tapi terdapat pula pertentangan yang bertolak

belakang antara dua puisi tersebut yaitu kepada siapa puisi itu diutarakan. Pada

puisi “kerinduan” oleh Ibnu Arabi, dia melantunkan syairnya untuk seorang wanita

yang dijumpainya ketika melakukan pertapaan. Rasa cinta yang amat dalam

membuatnya merasa rindu akan sosok yang mengganggu pikirannya. Perempuan

itu telah mengalihkan dunianya sehingga menimbulkan kegelisahan dalam hati.

Pertemuannya dengan sosok perempuan yang sangat kaya akan pengetahuan

ketuhanan.

Sedangkan puisi “mahabbah” oleh Rabiah al-Adawiyah berupa ungkapan

hati yang selalu dipanjatkannya kepada Tuhannya, kecintaan yang amat dalam

hingga hidupnya pun sangat ia gantungkan kepada-Nya. Setiap langkah perjalanan

dan kehidupannya bersumber dari cahaya-Nya, kegelapan akan memenuhi dirinya

tanpa kehadiran Tuhannya. Sungguh kebahagian yang hanya tertuju kepada

ketaatan akan Rabbnya.


Dari kedua puisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kedalaman rasa cinta

yang amat dalam akan seseorang nampak pada setiap untaian kata-kata yang

dilantunkan, ungkapan hati penuh kerinduan dan kegelisahan jika tak berjumpa

dengan seseorang, dan kiasan-kiasan yang digunakan penyair sangtlah tersirat

sehingga jika mendalami maknanya maka akan sangat menyentuh dan memesona

bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Kamil, Prof. Dr. Sukron. 2012. Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern.

Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Semi, Prof. Drs. M. Atar. 2006. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori pengkajian puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa teori sastra, metode sastra, dan

penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Teeuw, A. 1980. Ilmu sastra umum dan ilmu sastra malindo. Yogyakarta:

Universitas Gajah Mada.

Anda mungkin juga menyukai