Anda di halaman 1dari 11

TUGAS MAKALAH

PENGERTIAN RESEPSI DALAM ILMU SASTRA


Dosen pengampu : Nur Hidayah,Lc.,M.A

DisusunOleh :

Fatin Afiyati 225551020

Muhammad Zaelani 225551015

Program Studi Islam Interdisipliner

FakultasDirosah Islamiyah

Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta


BAB 1

PENDAHULUAN

1.Latar Belakang

Kritik sastra memiliki peran yang besar dalam perkembangan teorisastra dan salah satu
salah satu teori tersebut adalah resepsi sastra. Oleh karena itu, resepsi sastra adalah bagian
yang tak terpisahkan dari kritik sastra. Kritik sastra sendiri berasal dari bahasa Yunani
krites yang berarti hakim. Kata benda krites berasal dari kata kerja krinein yang berarti
menghakimi. Kata krinein merupakan pangkal dari kata benda kriterion yang berarti
dasar penghakiman. Lalu timbul kata kritikos yang berarti hakim karya sastra (Suyitno,
2009:1).

Dalam kritik sastra dikenal beberapa pendekatan-pendekatan untuk melakukan penelitian


karya sastra. Pendekatan-pendekatan itu adalah pendekatan sosiologis,
pendekatan psikologis, pendekatan historis, pendekatanan tropologis, pendekatan
ekspresif, pendekatan mimesis, pendekatan pragmatis dan pendekatan objektif. Selanjutnya,
Ratna (2008:71) mengemukakan bahwa pendekatan pragmatislah yang memberikan
perhatian utama terhadap peranan pembaca. Pendekatan ini berhubungan dengan salah satu
teori modern yang mengalami perkembangan modern yang mengalami perkembangan yang
sangat pesa yang sangat pesat, yaitu teori resepsi sastra.

Menurut Junus (1985:1), resepsi sastra dimaksudkan bagaimana „pembaca‟ memberikan


makna terbadap karya sastra yang dibacanya, sehingga dapat memberikan reaksi atau
tanggapan terhadapnya. Tanggapan itu mungkin bersifatpasif. Bagaimana seorang pembaca
dapat memahami karya itu, atau dapat melihat hakikat estetika, yang ada di dalamnya, atau
mungkin juga bersifat aktif yaitu bagaimana ia merealisasikannya. Karena itu, pengertian
resepsi sastra mempunyai lapangan yang luas, dengan berbagai kemungkinan penggunaan.

2.Rumusan Masalah

1. Apa artinya resepsi?


2. Bagaimana dasar-dasar teori resepsi?
3. Siapakah tokoh dalam rsepsi sastra?
4. Apa tujuan resepsi dalam ilmu sastra?
5. Bagaimana penerapan metode penelitian resepsi sastra
BAB II

PEMBAHASAN

1.PengertianResepsi

Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meneliti teks sastra dengan
mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan. Dalam memberikan
sambutan dan tanggapan tentunya dipengaruhi oleh faktor ruang, waktu, dan golongan sosia
waktu, dan golongan.

Secara etimologis, resepsi sastra berarti tanggapan terhadap karya sastra.Kata resepsi
berasal dari recipere (Latin) lalu reception (Inggris) yang diartikan sebagai penerimaan atau
penyambutan pembaca (Ratna, 2004:165). Dalam artinya yang luas, resepsi sastra berarti
pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya sastra sehingga dapat
memberikan tanggapan terhadapnya. Tanggapan yang dimaksud tidak hanya dilakukan antara
karya dengan seorang pembaca, tetapi juga pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam
periode tertentu.

Resepsi sastra muncul sejak tahun 1970-an sebagai bentuk: (1) jalan keluar guna mengatasi
strukturalisme yang dianggap hanya memberikan perhatian atas unsur-unsur karya sastra, (2)
timbulnya kesadaran untuk membangkitkan kembali nilai-nilai kemanusiaan, dalam rangka
kesadaran humanisme universal, (3) kesadaran bahwa nilai-nilai karya sastra dapat
dikembangkan hanya melalui kompetensi pembaca, (4) kesadaran bahwa keabadian nilai
karya seni disebabkan oleh pembaca, dan (5) kesadaran bahwa makna terkandung dalam
hubungan ambiguitas antara karya sastra dengan pembaca. Resepsi sastra merupakan aliran
sastra yang meneliti teks sastra dengan mempertimbangkan pembaca selaku pemberi
sambutan atau tanggapan.Dalam memberikan sambutan dan tanggapan tentunya dipengaruhi
oleh faktor ruang, waktu, dan golongan sosial.

Tanggapan dan efek menjadi kata penting bagi kalangan ahli resepsi sastra.Pembacalah
yang menilai, menikmati, menafsirkan, memahami karya sastra, menentukan nasibnya dan
peranannya dari segi sejarah dan estetik. Jauss memperkenalkan konsep Erwartungshorizont
atau horizon harapan pembaca, setiap pembaca mempunyai horizon harapan yang tercipta
karena pembacaannya yang terdahulu, pengalamannya selaku manusia. Fungsi efek nilai
sebuah karya sastra seorang pembaca tergantung pada relasi struktur, ciri-ciri dan anasir-
anasir karya itu dengan horizon harapan pembaca.Horizon harapan itu ditentukan oleh
pendidikan, pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan dalam menanggapi karya sastra.

Masing-masing orang akan berbeda dalam menanggapi sebuah karya sastra. Masing-
masing periode juga berbeda dalam menanggapi karya sastra tersebut (Teeuw, 1984:196).
Selain adanya perbedaan horizon harapan, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam karya sastra
juga terdapat tempat-tempat terbuka yang mengharuskan para pembaca untuk mengisinya.
Iser (Segers, 2000:39) bahkan mengatakan bahwa semakin banyak tempat-tempat terbuka
atau tempat-tempat 11 kosong itu, maka karya sastra itu semakin bernilai. Meski demikian,
tempat kosong itu tetap ada batasannya. Jika sebuah karya sastra terlalu banyak mempunyai
tempat kosong, hal tersebut menyebabkan pembaca tidak bisa mengisinya

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa resepsi sastra penelitian yang
menfokuskan perhatian kepada pembaca, yaitu bagaimana pembaca memberikan makna
terhadap karya sastra, sehingga memberikan mberikan reaksi terhadap teks tersebut.

2. Tokoh Dalam Teori Resepsi Sastra

Dalam dunia sastra dari zaman ke zaman mengalami perkembangan terutama dalam teori
resepsi sastra, dimana terdapat dua orang tokoh yang paling berperan dalam perkembangan
teori resepsi sastra ini, mereka menunjukkan bahwa karya sastra dapat diteliti secara
empiris.berikut tokoh teori resepsi sastra;

a.) Hans Robert Jauss

Hans Robert Jauss merupakan seorang sejarawan serta profesor kritik sastra filologi
roman di Universitas Constance di jerman, terkenal karena karyanya dalam teori resepsi dan
sastra Prancis abad pertengahan dan modern. Jauss bergerak pada teori sastra Marxisme dan
Formalisme yang mana Jauss berusaha untuk menjembatani kedua teori sastra tersebut, yaitu
menggabungkan antara sejarah dan nilai estetik sastra. Dengan kata lain, karya sastra
dianggap sebagai objek estetik yang memiliki implikasi estetik dan implikasi histories.
Implikasi estetik timbul apabila teks dinilai dalam perbandingan dengan karya-karya lain
yang telah dibaca, dan implikasi historis muncul karena perbandingan historis dengan
rangkaian penerimaan atau resepsi sebelumnya.

Dari konsep ini kemudian diturunkan sebuah hubungan segitiga antara pengarang, karya,
dan pembaca. Apabila pada teori Marxisme dan Formalisme pembaca dianggap sebagai
obyek pasif, maka sebaliknya, pembaca dipandang sebagai obyek aktif yang dapat
menginterpretasi karya (Jauss, 1982; 19).

Selain itu kontribusi Jauss adalah mengenalkan konsep resepsi dan tujuh tesis tentang horizon
harapan pembaca sebagai berikut :

1) Karya sastra tidak bisa dipandang sebagai objek tunggal dan bermakna sama, seperti
anggapan tradisional mengenai objektivitas sejarah sebagai deskripsi yang tertutup.
Pembaca berhak untuk memberikan penilaian terhadap karya sastra sesuai dengan
pengalaman pembacaan masing-masing pembaca. Koherensi karya sastra sebagai sebuah
peristiwa terutama dijembatani oleh horizon-horizon harapan, pengalaman kesastraan
dan horizon harapan pembaca, kritikus, dan pengarang.

2) Sistem horizon harapan pembaca timbul sebagai akibat adanya momen histories karya
sastra, yang meliputi suatu prapemahaman mengenai genre, bentuk, dan tema dalam
karya yang sudah diakrabi, dan dari pemahaman mengenai oposisi antara bahasa puitis
dan bahasa sehari-hari.
3) Horizon harapan memungkinkan pembaca mengenali ciri artistic dari sebuah karya
sastra. Jika ternyata masih ada jarak estetik antara horizon harapan dengan wujud sebuah
karya sastra yang baru, maka proses penerimaan dapat mengubah harapan itu baik
melalui penyangkalan terhadap pengalaman estetik yang sudah dikenal atau melalui
kesadaran bahwa sudah muncul suatu pengalaman estetik yang baru.

4) Rekonstruksi horizon harapan terhadap karya sastra sejak diciptakan diterima pada masa
lampau akan menghasilkan berbagai varian resepsi dengan semangat jaman yang
berbeda. Dengan demikian, pandangan platonis mengenai makna karya sastra yang
objektif, tunggal, dan abadi untuk semua penafsir perlu ditolak.

5) Teori penerimaan estetik tidak hanya sekedar memahami makna dan bentuk karya sastra
menurut pemahaman historis, tetapi juga menuntut pembaca agar memasukkan karya
individual ke dalam rangkaian sastra agar lebih dikenal posisi dan arti historisnya dalam
konteks pengalaman sastra.

6) Apabila pemahaman dan pemaknaan sebuah karya sastra menurut resepsi historis tidak
dapat dilakukan karena adanya perubahan sikap estetik, maka seseorang dapat
menggunakan perpektif sinkronis untuk menggambarkan persamaan, perbedaan,
pertentangan, ataupun hubungan antara sistem seni sejaman dengan sistem seni dalam
masa lampau. Sebuah sejarah sastra akan lebih mantap dalam pertemuan perspektif
sinkronis dan diakronis. Jadi, sistem sinkronis tetap harus membuat masa lampau sebagai
elemen struktural yang tak dapat dipisahkan.

7) selain menampilkan sistem-sistem karya sastra secara sinkronis dan diakronis, tugas
sejarah sastra adalah mengaitkannya dengan sejarah umum. Fungsi sosial dari karya
sastra dapat terwujud dengan pengalaman sastra pembaca masuk ke dalam horison
harapan mengenai kehidupannya yang praktis, membuat pembaca semakin memahami
dunianya, dan akhirnya memberi pengaruh pada tingkah laku sosialnya.

b.)Wolfgang Iser

Iser merupakan seorang sarjana sastra Jerman, Ia belajar sastra di Univesitas Leipzig dan
Tubingen ia kemudian mengemukakan teori resepsinya dalam bukunya The Act of Reading: a
Theory of Aesthetic Response (1978). Iser juga termasuk salah seorang penganut Mazhab
Konstanz. Tetapi berbeda dari Jausz yang memperkenalkan model sejarah resepsi, Iser
menganggap karya sastra sebagai suatu bentuk komunikasi. Dalam hal ini estetika tanggapan
dianalisis dalam hubungan dialektika antara teks, pembaca, dan interaksi antara keduanya.
Iser lebih memfokuskan perhatiannya kepada hubungan individual antara teks dan pembaca
(estetika pengolahan).

Pembaca yang dimaksud oleh Iser adalah pembaca implisit, bukan pembaca konkret
individual. Pembaca implisit adalah suatu instansi di dalam teks yang memungkinkan
terjadinya komunikasi antara teks dan pembacanya. Dengan kata lain, pembaca yang
diciptakan oleh teks-teks itu sendiri, yang memungkinkan kita membaca teks itu dengan cara
tertentu.
Iser mementingkan pelaksanaan teorinya pada soal kesan (wirkung). Iser menghendaki
pembaca “melakukan” sesuatu dalam membaca suatu teks atau karya sastra. Dengan kata
lain, kita sebagai pembaca diajak untuk menginterpretasikan sendiri makna-makna dalam
karya, membentuk dunia sendiri sesuai dengan imajinasi kita masing-masing, menjadi tokoh-
tokoh di dalamnya, dan merasakan sendiri apa yang dirasakan oleh tokoh-tokoh dalam karya
tersebut. Melalui proses membaca ini, pembaca akan menciptakan kesan (wirkung), pembaca
dapat menyatakan sikapnya, apakah ia berada di pihak pro atau kontra, sedih atau gembira,
suka atau benci, dll.

Pendekatan Iser berbeda dari pendekatan Jausz, meskipun keduanya sama-sama


menumpukkan perhatian kepada keaktifan pembaca dan kesanggupan pembaca menggunakan
imainasinya, pada Iser, hal itu lebih terbatas kepada pembacaan yang berkesan tanpa
pembaca perlu mengatakannya secara aktif. Berbeda dengan Jausz yang menghendaki adanya
pembicaraan tentang berbagai pembaca dan horizon harapan mereka. Pada Iser, peranan
karya cukup besar; bahkan kesan yang ada pada pembaca ditentukan oleh karya itu sendiri.
Pada Jausz, peranan itu tidak penting, yang penting ialah aktivitas pembacanya sendiri.

3. Dasar-Dasar Teori Resepsi Sastra

Dasar-Dasar Teori Resepsi Sastra Resepsi sastra dapat melahirkan tanggapan, reaksi atau
respon terhadap sebuah karya sastra dikemukakan oleh pembaca sejak dulu hingga sekarang
akan berbeda-beda antara pembaca yang satu dengan yang lain. Begitu juga dengan tiap
periode berbeda dengan periode lainnya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cakrawala
harapan (verwachtings horizon atau horizon of expectation). Cakrawala harapan ini adalah
harapan-harapan seorang pembaca terhadap karya sastra (Pradopo, 2007:207)

Cakrawa lain sebagai konsep awal yang dimiliki pembaca terhadap karya sastra ketika
membaca terhadap karya sastra. Harapan itu adalah karya sastra yang dibacanya sejalan
dengan konsep tenatang sastra yang dimiliki pembaca. Oleh karena itu, konsep sastra antara
seorang pembaca dengan pembaca lain tentu akan berbeda-beda. Hal ini dikarenakan
cakrawala harapan seseorang itu ditentukan oleh pendidikan, pengalaman, pengetahuan, dan
kemampuan dalam menanggapi karya sastra.

Teori resepsi dikembangkan oleh RT Segers (1978:36) dalam bukunya Receptie Esthetika
(1978) Buku Receptie Esthetika diawali dengan dasar-dasar resepsi sastra ditentukan ada tiga
dasar faktor cakrawala harapan yang dibangun pembaca:

1. norma-norma yang terpancardariteks-teks yang telah dibaca oleh pembaca

2. pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya.

3. pertentangan antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk


memahami, baik secara horison “sempit” dari harapan-harapan sastra maupun dalam
horison “luas” dari pengetahuannya tentang kehidupan

Selanjutnya, Pradopo (2007:208) mengemukakan bahwa dalam karya sastra ada tempat-
tempat terbuka (open plek ) yang “mengharuskan” para pembaca mengisinya. Hal ini
berhubungan dengan sifatkarya sastra yang multi tafsir. Oleh karena itu, tugas pembacalah
untuk memberi tanggapan estetik dalam mengisi kekosongan dalam teks tersebut. Pengisian
tempat terbuka ini dilakukan melalui proses konkretisasi (hasil pembacaan) dari pembaca.
Jika pembaca memiliki pengetahuan yang luas tentang kehidupan, pastilah konkretisasinya
akan “sempurna” dalam mengisi tempat-tempat terbuka (open plak )dengan baik.

3.Tujuan Resepsi dalam Imu Sasrta

TujuanTeori resepsi tidak hanya memahami bentuk karya sastra dalam bentangan historis
berkenan deangan pemahahamannya.teori menuntut bahwa sesuatu karya individu menjadi
bagian rangkaian karya lain untuk mengetahui arti dan kedudukan historisnya dalam konteks
pengalaman kesastrannya. Pada dalam konteks pengalaman kesastrannya. Pada tahapan-
tahapan sejarah resepsi karya sastra terhadap sejarah sastra sangat penting, yang terakhir
memanifestasikan dirinya sebagai proses resepsipasif yang merupakan bagian dari
pengarang. Pemahaman berikutnya dapat memecahkan bentuk dan permasalahan moral yang
ditinggalkan oleh karya sebelumnya dan pada gilirannya menyajikan permasalahan baru.

Pengalaman pembaca yang dimaksud mengindikasikan bahwa teks karya sastra


menawarkan efek yang bermacam-macam kepada pembaca, yang bermacam-macam pula
dari sisi pengalamannya pada setiap periode atau zaman pembacaannya. Pembacaan yang
beragam dalam periode waktu yang berbeda akan menunjukkan efek yang berbeda pula.
Pengalaman pembaca akan mewujudkan orkestrasi yang padu antara tanggapan baru
pembacanya dengan teks yang membawanya hadir dalam aktivitas pembacaan pembacanya.
Dalam hal ini, kesejarahan sastra tidak bergantung pada organisasi fakta-fakta tetapi
dibangun oleh pengalaman kesastraan yang dimiliki pembaca atas pengalaman sebelumnya.

4.Penerapan Penelitian Resepsi Sastra

Penelitian resepsi sastra pada penerapannya mengacu pada proses pengolahan tanggapan
pembaca atas karya sastra yang dibacanya. Metode resepsi sastra mendasarkan diri pada teori
bahwa karya sastra itu sejak terbit selalu mendapatkan tanggapan dari pembacanya. Menurut
Jauss (dalam Pradopo 2007: 209) apresiasi pembaca pertama akan dilanjutkan dan diperkaya
melalui tanggapan yang lebih lanjut dari generasi ke generasi.

Menurut Endraswara (2008:126) proses kerja penelitian resepsi sastra secara sinkronis atau
penelitian secara eksperimental, minimal menempuh dua langkah sebagai berikut:

a) Setiap pembaca perorangan maupun kelompok yang telah ditentukan, disajikan sebuah
karya sastra. Pembaca tersebut lalu diberi pertanyaan baik lisan maupun tertulis. Jawaban
yang diperoleh dari pembaca tersebut kemudian dianalisis menurut bentuk pertanyaan
yang diberikan. Jika menggunakan angket, data penelitian secara tertulis dapat
dibulasikan. Sedangkan data hasil penelitian, jika menggukan metode wawancara, dapat
dianalisis secara kualitatif.

b) Setelah memberikan pertanyaan kepada pembaca, kemudian pembaca tersebut diminta


untuk menginterpretasikan karya sastra yang dibacanya. Hasil interpretasi pembaca ini
dianalisis menggunakan metode kualitatif.
Dalam penelitian diakronis, untuk melihat penerimaan sejarah resepsi, digunakan strategi
dokumenter melalui kepuasan media massa. Hasil kupasan tersebut yang nantinya akan dikaji
oleh peneliti.

Menurut Abdullah (dalam Jabrohim 2001:119), penelitian resepsi secara sinkronis dan
diakronis, dimasukan ke dalam kelompok penelitian resepsi menggunakan kritik teks sastra.
Dalam penelitian resepsi sastra, Abdullah membagi tiga pendekatan, yaitu (1) penelitian
resepsi sastra secara eksperimental, (2) penelitian resepsi lewat kritik sastra, dan (3)
penelitian resepsi intertekstualitas. Secara umum, dari tiga pendekatan ini dapat dimasukkan
ke dalam penelitian sinkronis dan diakronis, tidak hanya pada penelitian melalui
kritik sastra saja.

Maka tugas resepsi adalah meneliti tanggapan pembaca yang berbentuk interpretasi,
konkretisasi, maupun kritik atas karya sastra yang dibaca. Tanggapan-tanggapan pembaca
atas karya sastra yang dibacanya, dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain latar
belakang sosial budaya, tingkat pendidikan pembacam tingkat pengalaman,
dan usia pembaca.

a.Penerapan Metode Resepsi Sinkronis

Penelitian resepsi dengan metode sinkronis adalah penelitian resepsi sastra yang
menggunakan tanggapan pembaca sezaman, artinya pembaca yang digunakan sebagai
responden berada dalam satu periode waktu. Penelitian resepsi dengan metode ini dapat
dilakukan dengan cara menganalisis tanggapan pembaca sezaman dengan menggunakan
teknik wawancara maupun teknik-teknik teknik kuasioner. Oleh karena itu, .penelitian resepsi
sinkronis ini dapat digolongkan menjadi penelitian eksperimental.

Dalam meneliti karya sastra disetiap metodenya terdapat kelebian dan kekurangannya
seperti berikut:

 Kelebihan Sinkronis

1) reponden dapat ditentukan tanpa harus mencari artikel kritik sastranya terlebih dahulu.

2) penelitian resepsi sinkronis dapat dilakukan secara langsung tanpa menunggu kemunculan
kritik atau ulasan mengenai karya sastra.

3) dapat dilakukan pada karya sastra populer. Pada penelitian resepsi diakronis, peneliti dapat
melakukan penelitian atas hasil-hasil intertekstual, penyalinan, penyaduran, maupun
penerjemahan, yang berupa karya sastra turunan. Biasanya penelitian dengan menggunakan
karya sastra turunan dapat berupa karya sastra turunan dari karya sastra lama, karya sastra
tradisional, maupun karya sastra dunia.

 Kekurangan Sinkronis
Menurut beberapa ahli, penelitian sinkronis mempunyai beberapa kelemahan dari segi
proses kerjanya, karena termasuk penelitian eksperimental. Menurut Abdullah (dalam
Jabrohim 2001: 119) penelitian yang tergolong eksperimental dapat mengalami beberapa
kendala saat pelaksaannya di lapangan. Penelitian eksperimental dinilai sangat rumit,
khususnya dalam pemilihan responden, pemilihan teks sastra, dan penentuan teori.

Selain itu, penelitian sinkronis hanya dapat digunakan untuk mengetahui tanggapan
pemabaca pada satu kurun waktu. Sehingga apabila diterapkan untuk karya sastra yang terbit
beberapa tahun yang lalu, akan sulit membedakan antara tanggapan yang dulu dan masa
sekarang, karena terbentur masalah waktu.

b.Penerapan Metode Resepsi Diakronis

Penelitian resepsi sastra dengan metode diakronis merupakan penelitian resepsi sastra yang
dilakukan terhadap tanggapan-tanggapan pembaca dalam beberapa periode. Tetapi periode
waktu yang dimaksud masih berada dalam satu rentang waktu. Penelitian resepsi diakronis
ini dilakukan atas tanggapan-tanggapan pembaca dalam beberapa periode yang berupa kritik
sastra atas karya sastra yang dibacanya, maupun dari teks-teks yang muncul setelah karya
sastra yang dimaksud. Umumnya penelitian resepsi idiakronis dilakukan atas tanggapan
pembaca yang berupa kritik sastra, baik yang termuat dalam media massa maupun dalam
jurnal ilmiah.

Penelitian resepsi diakronis yang melihat bentuk fisik teks yang muncul sesudahnya dapat
dilakukan melalui hasil intertekstual, penyalinan, penyaduran, maupun penerjemahan.
Intertekstual merupakan fenomena resepsi pengarang dengan melibatkan teks yang pernah
dibacanya dalam karya sastranya. Hasil intertekstual, penyalinan, penyaduran, maupun
penerjemahan ini dapat dilakukan atas teks sastra lama maupun sastra modern.(Chamamah
dalam Jabrohim 2001: 162-163).

Berikut merupakan kelebihan dan kekurangan dalam metode penelitian diakronis:

 Kelebihaan Diakronis

1) Peneliti dapat menerapkan teori lain, seperti teori intertekstualitas, teori sastra bandingan,
teori filologi, dan beberapa teori lain yang mendukung penelitian resepsi diakronis. Hal
ini umumnya diterapkan dalam penelitian karya sastra turunan.

2) Kemudahan peneliti dalam mencari data, yaitu tanggapan pembaca ideal terhadap suatu
karya sastra. Sehingga peneliti tidak harus bersusah payah mencari data dengan teknik
wawancara maupun kuasioner pada responden.

 Kekurangan Diakronis

Kelemahan penelitian resepsi diakronis akan dirasakan oleh para peneliti pemula. Umumnya
peneliti pemula akan mengalami kesulitan dalam menentukan karya sastra yang dijadikan
objek penelitian. Karena umumnya karya sastra yang dikenal banyak orang telah diteliti
resepsinya oleh peneliti-peneliti terdahulu.Selain itu, dalam penelitian terhadap karya sastra
turunan, khususnya hasil intertekstual, peneliti akan kesulitan dalam menemukan teks asal
dari karya sastra turunan tersebut.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Resepsi sastra beorientasi pada pendekatan pragmatik yang memberikan perhatian utama
terhadap peranan pembaca dalam karya sastra. Tanggapan pembaca terhadap sebuah karya
sastra sejak dari dulu hingga sekarang akan berbeda-beda antara pembaca yang satu dengan
yang lain. Begitu juga dengan tiap periode berbeda dengan periode lainnya. Hal ini
disebabkan oleh perbedaan cakrawala harapannya.

Dalam menganalisis karya sastra yang menggunakan teori resepsi sebagai landasannya,
maka bisa dilakukan dengan menggunakan dua cara yaitu dengan metode sinkronik dan
diakronik. Di mana sinkronik merupakan penelitian terhadap karya sastra dalam kurun waktu
yang sama atau era yang sama, dan biasanya karya sastra yang diteliti yaitu karya sastra yang
lagi meledak atau buming pada saat itu dan peelitian ini tergolong penelitian eksperimental
dimana tidak ada bukti tertulis mengenai respon dari pembaca.

Sedangkan metode diakronik yaitu sebuah metode penelitian terhadap karya sastra dalam
beberapa periode. Periode yang dimaksud di sini yakni dalam perjalanan waktu. Metode
diakronik ini bisa diterapkan pada karya sastra yang memiliki sejarah. Umumnya penelitian
resepsi diakronis dilakukan atas tanggapan pembaca yang berupa kritik sastra, baik yang
termuat dalam media massa maupun dalam jurnal ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA

astriyani, Siti Hariti Sastriyani, Karya Sastra Perancis Abad ke-19 M Abad ke-19 Madame
Bovary dan Resepsinya di I ndonesia. Dalam Jurnal Humaniora, Vol umaniora, Vol ume XI I
I , No. 3/2 , No. 3/2001 , Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2001. H. 253

Dini Eka Rahmawati, Resepsi Cerita Rakyat.Skripsi. Semarang: Fakultas Bahasa dan Seni,
Universitas Negeri Semarang. 2008. H. 22

Rachmat Djoko Pradopo. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya .
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007. H. 211

Abdullah, Imran T. "Resepsi Sastra: Teori dan Penerapannya." Humaniora 2 (1994).

Rokib, Mohammad. "Teori Resepsi Mazhab Konstanz dalam Studi Sastra." JILSA (Jurnal
Ilmu Linguistik dan Sastra Arab) 7.1 (2023): 83-98.

HARYATI, ISTI, S. U. Faruk, and GR Lono Lastoro Simatupang. "Riantiarno: Kajian


Estetika Resepsi Hans Robert Jauss."

Pradopo, Rachmat Djoko. Beberapa teori sastra metode kritik dan penerapannya. UGM
PRESS, 2021.

Nuryanti, Melia, and Teti Sobari. "Analisis Kajian Psikologi Sastra Pada Novel “Pulang”
Karya Leila S. Chudori." Parole: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2.4 (2019):
501-506.

Suwardi Endraswara. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Media


Pressindo. 2008. H. 127

Rachmat Djoko Pradopo. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007. H. 211

Anda mungkin juga menyukai