Anda di halaman 1dari 6

Prosiding SENASBASA http://research-report.umm.ac.id/index.

php/SENASBASA
(Seminar Nasional Bahasa dan Sastra) Edisi 1 Tahun 2017
Halaman 248-253 E-ISSN 2599-0519

SASTRA LAMA
SEBAGAI WAHANA PEMBELAJARAN MORAL DAN KARAKTER BANGSA

Nasrullah La Madi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Muhammadiyah Malang
nasrullahlamadi668@gmail.com

Abstrak
Perkembangan peradaban suatu bangsa tidak terlepas dari perkembangan sastra yang
dilahirkannya. Fungsi sastra sebagai wahana, dan wadah pembelajaran.Meskipun bukan
sebuah kitap moral dan karakter, citra sastra lama relatif fungsional dan baik sebagai wahana
pembelajaran moral dan karakter bangsa. Sikap hati-hati dan proposional sangat diperlukan
pada waktu memfungsikan sastra lama sebagai wahana pembelajaran moral dan
karakterbangsa. Hal tersebut dimaksudkan agar sastra lama yang tidak proposional pada
pembelajaran moral dan karakter bangsa dapat terseleksi terlebih dahulu sebelum mejadi
sebuah wadah pengembangan pembelajaran sastra. Dengan sikap hati-hati dan proposional,
maka sastra lama dapat memberikan pengalaman moral bagi para pelajar. Lebih lanjut, hal ini
mengimplikasikan bahwa sastra lama dapat diharapkan sebagai salah satu wahana penanaman
moral dan karakter bangsa kepada pelajar. Sayangnya, hal ini dilupakan dan dipinggirkan
dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.

Kata kunci: Sastra lama, wahana pembelajaran, moral dan karakter bangsa

PENDAHULUAN
Kesastraan memiliki pengaruh yang cukup fenomenal karena sastra itu sendiri
menawarkan pengungkapan pengalaman imajinasi yang tidak terbatas sehingga dapat
menampung berbagai pemikiran yang terlintas dalam diri pengarang (Teeuw, 1991:31).
Imajinasi itu sendiri diungkapkan dalam bentuk struktur teks yang juga disusun pengarang
sesuai dengan kreativitas masing-masing. Selain hasil imajinasi dan kreativitas, Segers
(2000:56) menjelaskan bahwa suatu karya sastra merupakan bentuk kritik tidak langsung dari
pengarang terhadap situasi sosial yang terjadi di sekitarnya. Daya imajinasi, kreativitas, dan
kritisme dipercaya telah menyanggupkan kesusastraan untuk masuk menembus jauh kedalam
hakikat nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan.
Kompleksitas sastra selalu berubah atau berkembang secara berkelanjutan seiring
perubahan waktu (Hassanudin, 2015:197). Dengan kedudukan, dan keadaan di dunia
moderen seperti sekarang, sastra lama khususnya teks cipta sastra lama dianggap kuno dan
terbelakang dalam pembelajaran sastra. Sastra lama selalu tersaingi dengan perkembangan
cipta sastra moderen. Hal tersebut disebabkan karena sastra lama dianggap tidak
berkembangan seperti sastra moderen. Lebih lanjut Sutan Takdir, (dalam Amir, 2013:3)
mengatakan bahwa sastra lama lahir dari masyarakat lama yang tidak mementingkan, bahkan
tidak mau ada perubahan.
Berdasarkan penjelasan di atas, Kurniawan (2012:23) menjelaskan bahwa sastra lama
sebagai sarana pedagogis etis-moral oleh pengarangnya. Sastra lama memiliki berbagai
pengakuan budaya lokal, misalnya memang dicipta atas dasar paradigma kedaerahan. Hal
tersebut disebabkan karena sastra lama mempunyai fungsi sosial bagi masyarakatnya, seperti
mengaktifkan fungsi fatik bahasa, mengaktifkan komunikasi antaranggota masyarkatnya,
membagi berita sosial, serta mensosialisasikan nilai sosial kepada anak-anak (Amir, 2013:9).

248 | Halaman
Pembelajaran moral dan karakter bangsa lebih meembutuhkan contoh dan teladan
nyata, faktual, dan empiris, bukan sekedar kata-kata dan contoh yang imajinatif-fungsional.
Pengetahua moral dan karakter mengutamakan dan mengharuskan praksis atau tindakan
nyata dalam kehidupan sehari-hari manusia, bukan pengetahuan dan pemahaman semata
(Abidin, 2013:56). Pembelajaran moral dan karakter bangsa dapat tumbuh dan berkembang
berkat kebiasaan yang berkelanjutan pada setiap pembelajaran sastra. Dalam aktivitas
pembelajaran di kelas, jelas guru sebagai pihak penyampai informasi dan peserta didik
sebagai orang yang menerima informasi. Namun demikian, dalam perkembangan
pembelajaran moral dan karakter saat ini peserta didik belum mampu menghayati,
mengetahui, dan memahami dengan baik ihwal moral dan karakter bangsa yang telah
diajarkan oleh guru. Penumbuhan dan pengembangan moral dan karakter bangsa
membutuhkan pembelajaran yang nyata dalam menyentuh kehidupan peserta didik. Karena
itu, sastra lama dipandang efektif sebagai wahana pembelajaran moral dan karakter bangsa.
Tulisan ini berangkat dari sebuah konsep pentingnya mendayagunakan sastra lama
dalam proses pembelajaran moral dan karakter bangsa. Dengan memperhatikan fungsi sastra
lama yang menekankan pada sisi sosial kultural, maka dipandang tepat jika kemudian dalam
pembelajaran moral dan karakter bangsa sastra lama dijadikan pengaktualiasian moral dan
karakter bangsa.

PEMBAHASAN
Hakikat Sastra
Dalam Kamus Istilah SastraSudjiman (2001:6) dijelaskan sastra adalah karya
lisanatau tertulis yang memiliki berbagai cirri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan,
keindahan dalam isi dan ungkapannya. Lebih lanjut Sumardjo (1994:1) menyatakan sastra
adalah karya sastra dan kegiatan seni yang berhubungan dengan ekspresi dan penciptaan.
Sastra bukanlah ilmu tetapi seni. Dalam seni banyak unsur kemanusiaan yang masuk,
khususnya perasaan; sehingga sulit diterapkan untuk metode keilmuan. Hakikat sastra tidak
bersifat universal dan abadi. Sastra tergantung pada tempat dan waktu. Lebih lanjut Sumardjo
(1994:3) menjelaskan sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman,
pemikiran, perasaan ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang
membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Sementara itu Suhariyanto (2005:14)
berpendapat sastra adalah pengungkapkan hidup dan kehidupan yang dipadu dengan daya
imajinasi dan kreasi seorang pengarang serta dukungan pengalaman dan pengamatannya atas
kehidupan.
Pengertian sastra menurut Fananie (2000:6) yang berpijak pada pendapat Mukarovsky
memberi pengertian sastra berdasarkan aspek estetika bahasa dan esteika makna. Yakni sastra
adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang
mampu mengungkapkan aspek estetik baik yang didasarkan aspek kebahasaan maupun aspek
makna. Adapun pengertian sastra kalau dirunut secara etimologis berasal dari bahasa
Sanskerta, berakar kata sas- yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau
instruksi; dan akhiran –tra yang menunjukkan alat, sarana; sehingga sastra dapat berarti alat
untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran.
Sastra adalah karya seni bermedia bahasa sebagai sarana untuk mengajar atau
memberi petunjuk. Oleh sebab itu, dapat dinyatakan pula bahwa sastra adalah seni bahasa
untuk menyampaikan ajaran. Bahasa yang digunakan sastra untuk menyampaikan ajaran
adalah bahasa yang telah diseleksi, dipilih dan tersusun secara indah. Sastra memberi ajaran-
ajaran kebajikan sekaligus hiburan (Nuryatin, 2010:4). Sastra dapat memberikan kepada
penikmatnya keindahan dan kegunaan. Sastra berfungsi menghibur sekaligus mengajarkan
sesuatu. Secara mendasar, Sastra setidak-tidaknya harus mengungkapkan atau mengandung
tiga aspek utama, yaitu memberikan sesuatu kepada pembaca, memberikan kenikmatan

249 | Halaman
melaui unsur estetik dan mampu menggerakan kreativitas pembaca (Wellek & Warren,
1990:24).

Pengembangan Sastra Lama


Sampai sekarang sudah ada bermacam-macam karakteristik sastra yang dikemukakan
oleh sastrawan, ahli sastra, dan atau ahli kebudayaan. Salah satunya Lubis (1994:42-43)
menyatakan bahwa karakteristik sastra yang penting adalah (1) berada dalam dimensi
simbolis atau pengetahuan maknawi kebudayaan dengan tetap berhubungan tak terpisahkan
dari dimensi sosial dan materi kebudayaan; (2) menekankan simbolisasi dan metafora serta
konotasi baik dalam struktur maupun suprastruktur; (3) sangat mengutamakan dan
menghargai otentisitas, keunikan, partikularitas, dan intersubjektivitas; (4) menekankan
kebebasan keterbukaan, bahkan kemerdekaan tafsir dan penciptaan; (5) merupakan wujud
dari hasil olah intelektual manusia yang sifatnya imajinatif, literal, dan efektif; (6) diciptakan
dengan pandangan, paham, dan sikap tertentu; dan (7) selalu terkait dengan konteks
kehidupan manusia. Beberapa karaktersitik tersebut menjadikan sastra berbeda dengan
wujud, bentuk, dan hasil oleh intelektual manusia lainnya, misalnya filsafat dan ilmu
pengetahuan ilmiah.
Dengan karakteristik tersebut, dalam kehidupan manusia di manapun dan di dalam
kebudayaan apapun, karya sastra selalu memiliki kedudukan dan fungsi tertentu, bahkan
diberi kedudukan dan fungsi oleh manusia baik sebagai makhluk personal maupun makhluk
sosial. Karya sastra bisa jadi memiliki fungsi spiritual, edukatif, etis moral, politis, ekonomis,
rekreatif, dan sebagainya dalamkehidupan manusia secara personal dan atau sosial. Fungsi
yang diemban oleh karya sastra dan bagaimanapun perubahan fungsi karya sastra, manusia
dalam hal ini sastrawan terus-menerus menciptakan karya sastra dan manusia lain dalam hal
ini masyarakat penikmat sastra. Dengan kata lain, kreativitas sastra dan adaptasi sastra terus-
menerus berlangsung dalam kehidupan manusia sejak dulu sekarang dan masa mendatang.
Uraian tersebut mengimplikasikan betapa sangat kompleks kedudukan dan
keberadaan karya sastra. Kompleksitas substansi, karakteristik, dan fungsi tersebut jelas
menimbulkan keanekaragaman karya sastra. Sampai sekarang klasifikasi karya sastra sudah
sangat banyak, sehingga ragam karya sastra sudah banyak sekali. Ada sastra lisan, ada sastra
tulis. Ada sastra serius, ada sastra populer. Ada sastra lokal atau daerah, ada sastra nasional,
dan ada sastra asing. Ada sastra asli, ada sastra terjemahan. Ada sastra bertendens, ada sastra
tidak bertendens. Masing-masing kategorisasi tersebut mengandung sekian banyak paham,
bentuk, jenis, dan versi karya sastra sehingga kenyataannya terdapat banyak sekali wujud dan
hasil karya sastra. Hal ini menunjukan betapa beranekaragam dan majemuknya karya sastra
yang telah ada dalam kehidupa manusia.
Sepajang kehidupannya, karya sastra menjadi kunci utama dalam menggambarkan
moral dan karakter yaitu: (1) karya sastra yang mengandung muatan-muatan moral karakter
secara kental; (2) karya sastra yang berfungsi mengembangkan moral dan karakter; (3) karya
sastra yang berfungsi edukatif; (4) karya sastra yang menjadi wahana perawatan norma-
norma moral dan karakter; dan (5) karya sastra yang relatif efektif sebagai wahana
pembelajaran moral dan karakter. Sastra lisan atau sastra lama terlihat sangat memenuhi hal-
hal tersebut di atas. Misalnya, Mahabrata, Ramayana, Malin Kundang, dan Syair memang
sarat dengan muatan moral dan karakter bangsa Indonesia. Kental fungsi moral dan edukatif
menjadi penyimpan norma moral dan karakter, sehingga karya sastra lama relatif efektif
sebagai wahana atau wadah pembelajaran moral dan karakter bangsa.

Sastra Lama sebagai Wahana Pembelajaran Moral dan Karakter


Tidak ada yang memungkiri bahwa pendidikan moral dan karakter sekarang sangat
dibutuhkan dalam kehidupan. Wacana tentang perlunya pedidikan budi pekerti dan

250 | Halaman
pendidikan karakter bangsa bagi anak-anak muda yang berkembang belakangan ini
merupakan bukti bahwa sekarang kita membutuhkan, bahkan sangat membutuhkan
pendidikan moral dan karakter. Hal yang senada, tentang pentingnya pendidikan moral dan
karakter dikemukakan oleh Franz (2015:245) bahwa pendidikan moral dan karakter telah
dipandang sebagai resep jitu untuk membereskan persoalan atau menyembuhkan penyakit
yang melilit bangsa Indonesia. Di samping itu, moral dan karakter juga dipandang dapat
memperkuat dan memajukan kehidupan bangsa yang bersih dan santun. Lebih lanjut Saifudin
(2014:245) menyatakan bahwa pembelajaran moral dan karakter ini harus mengutamakan
contoh-contoh dan teladan nyata, bukan khotbah dan retorika, agar mencapai sasaran yang
diinginkan, yaitu terbentuknya manusia bermoral dan berkarakter. Untuk itu, pendidikan
khususnya pembelajaran moral dan karakter ini perlu dilaksanakan baik dalam keluarga,
mayarakat, maupun sekolah.
Dalam pelaksanaan pembelajaran moral dan karakter bangsa tidak bisa dikatakan
mudah, terbukti sangat sulit. Kesulitan yang sering dihadapi dalam aplikasi pembelajaran
moral dan karakter bangsa yaitu penguatanya masih berupa teoritis. Lebih lanjut Mukartiasih
(2016:221) menjelaskan bahwa pembelajaran moral dan karakter bangsa membutuhkan
contoh nyata secara masif karena ia lebih merupakan praksis, bukan teori; perilaku nyata
bukan pengetahuan dan pemahaman semata-mata. Penjelasan-penjelasan teoritis yang
normatif sering tidak banya berguna, bahkan sering menjadi indoktrinasi moral dan karakter
semata. Pembelajaran moral dan karakter hanya mungkin dan paling baik disajikan secara
terpadu dengan mata pelajaran lain dan menggunakan starategi yang lebih banyak mendorong
siswa membentuk sikap dan tindakan yang berkarakter dan bermoral. Oleh karena itu,
pembelajaran moral dan karakter tidak dapat disajikan secara terpisah dan tersendiri
meskipun dalam hal tertentu bisa juga, misalnya melalui program pengembangan diri.
Dalam pelaksanaan pembelajaran moral dan karakter bangsa dapat dipadukan dengan
berbagai mata pelajaran yang ada. Salah satunya adalah mata pelajaran sastra Indonesia.
Dalam pembelajara sastra Indonesia, materi-materi moral dan karakter dapat dipadukan
dengan materi sastra. Misalnya sastra lama, dengan materi sastra lama siswa diajak
melakukan apresiasi, refleksi dan kontemplasi persoalan-persoalan moral dan karakter yang
tercermin dalam karya sastra lama yang menjadi materi ajar. Karya sastra adalah tulisan yang
dibuat oleh seseorang berdasarkan pengamatan, pengalaman, dan daya imajinasinya, dengan
menggunakan bahasa yang indah. Berdasarkan jenisnya karya sastra dapat dibedakan atas
puisi, prosa, fiksi (meliputi cerpen, novel, serta roman), dan drama.
Atmazaki (dalam Amir 2013:41) menyatakan bahwa karya sastra lama memberikan
nilai-nilai yang bersifat mendidik, estetis, moral dan sosial. Dengan demikian melalui sastra
lama, para peserta didik diharapkan dapat menemukan nilai-nilai, baik nilai moral,
pendidikan, estetis, sosial, dan manfaat lain yang bersifat mendidik. Selain itu, berdasarkan
tujuan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, seharusnya pengajaran sastra di sekolah
direalisasikan secara tepat, sehingga dapat memberikan manfaat yang besar kepada siswa,
terutama dalam menambah pengetahuan, pengalaman, dan wawasan tentang hidup dan
kehidupan.
Menurut Herfanda (2008:3) ada 3 konsep kemampuan dalam pembelajaran sastra,
yaitu: (1) kemampuan mengapresiasi sastra, meliputi kegiatan mendengarkan, menonton, dan
membaca hasil sastra, (2) kemampuan berekpresi sastra, meliputi: kegiatan melisankan hasil
sastra dan menulis karya sastra, dan (3) kemampuan menelaah hasil sastra, meliputi kegiatan
menilai, meresensi, dan menganalisis hasil sastra. Artinya, apresiasi sebagai sebuah istilah
dalam bidang sastra dan seni pada umumnya sebenarnya lebih mengacu pada aktivitas
memahami, menginterpretasi, menilai, dan pada akhirnya memproduksi sesuatu yang sejenis
dengan karya yang diapresiasikan. Oleh karena itu, kegiatan apresiasi tidak hanya bersifat

251 | Halaman
reseptif tetapi juga bersifat produktif. Artinya, kegiatan apresiasi sastra bukan hanya
menerima sesuatu secara pasif, melainkan juga menghasilkan sesuatu secara aktif.
Materi sastra harus bisa mendorong siswa untuk melakukan refleksi dan kontemplasi
persoalan moral dan karakter. Sastra lama mempunyai bahasan yang cocok dan fungsional
untuk memberikan pengalaman moral dan karakter yang memadai. Selain itu, strategi
pembelajaran diperlukan dalam mengaplikasikan pembelajaran moral dan karakter bangsa.
Strategi pembelajaran berbasis proyek (project based learning), dan pembelajaran berbasis
masalah (problem based learning) dapat dipakai sebagai strategi pembelajaran moral dan
karakter di sekolah dalam pembelajaran bahsa dan sastra Indonesia (Rosita, 2015:253).
Dengan strategi pembelajaran berbasis proyek dan pembelajaran berbasis masalah siswa tidak
diberi materi sastra lama yang bermuatan moral dan karakter semata-mata, tetapi siswa diajak
bersama-sama membuat suatu proyek yang berkenan dengan pengalaman moral dan karakter
bangsa yang tertanam dalam sastra lama.
Dalam prosesnya siswa diajak bersama-sama menghayati, membaca, dan menelaah
suatu karya sastra lama yang memberikan pengalaman moral dan karakter bangsa, misalnya
pantun dan hikayat, kemudian diajak merenungkan dan membantinkan persoalan moral dan
karakter yang ada dalam pantun dan hikayat tersebut, dan selanjutnya diajak menyususn
suatu proyek untuk menerakan pengalaman moral dan karakter yang telah diperolehnya dari
pembelajaran sastra lama tersebut. Setelah itu, siswa diminta membuat laporan tentang
aplikasi moral dan karakter dalam kehidupan sehari-hari dan mendiskusikannya. Dengan cara
seperti ini, sastra lama dapat efektif menjadi wadah dan wahan pembelajaran moral dan
karakter bangsa. Hal ini mengimplikasikan bahwa sastra lama menjadi sebuah wahana
pembelajaran moral dan karakter bangsa asalkan dipilih dan ditetapkan berdasarkan
persyaratan yang sesuai dengan kebutuhan pembelajaran moral dan karakter bangsa di
samping disajikan dan ditanamkan kepada siswa dengan cara yang cocok, tepat dan inovatif.

PENUTUP
Moral dan karakter sangat peting bagi semua orang termasuk para siswa atau siswi,
lebih-lebih sekarang moral dan karakter harus dimiliki dan ditindakan oleh semua orang.
Karena itu, penanaman moral dan karakter perlu dilaksanakan melalui pembelajaran di
sekolah. Hal ini mengimplikasikan betapa pentingnya pembelajaran moral dan karakter
bangsa. Agar pembelajaran moral dan karakter bangsa tidak menjadi mata pelajaran baru dan
bersifat indoktrinatif atau teoritis yang dapat membebani siswa, ia hedaknya diintegrasikan
dengan berbagai materi atau mata pelajaran dalam kompetensi tertentu. Sastra lama dapat
dijadikan wahana, dan wadah pembelajaran moral dan karakter bangsa. Dalam pembelajaran
sastra Indonesia, minimya pengembangan cipta sastra lama dapat dijadikan wahana apresiasi,
refleksi, dan kontemplasi persoalan moral dan karakter bangsa. Hal ini perlu disertai dengan
pengembangan secara cermat agar pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia dapat
terintegrasi pada proses perilaku peserta didik yang tercermin dari moral dan karakter bangsa.
Jadi pemfungsian atau penggunaan sastra lama sebagai wahana, dan wadah pembelajaran
moral dan karakter bangsa dirasa sangat cocok.

DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Yunus. 2013. Pembelajaran Sastra Berbasis Pendidikan Karakter. Bandung: Refika
Aditama.
Amir, Adriyetti. 2013. Sastra Lisan Indonesia. Yogyakarta: ANDI.
Fananie, Zainuddin. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Franz, Mahesa. 2015. Peningkatan Pembelajaran Karakter Demokratis dan Humanis. Jurnal
Humaniora dan Pendidikan. Vol. VI. No 2, 3.

252 | Halaman
Hassanudin, W.S. 2015. Kearifan Lokal dalam Tradisi Lisan Kepercayaan Rakyat Ungkapan
Larangan tentang Kehamilan, Masa Bayi, dan Kanak-Kanak Masyarakat
Minangkabau Wilayah Adat Luhak Nan Tigo. KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa,
Sastra, dan Pengajarannya. Vol. 1 No. 2, 198-204.
Herfanda, A.Y. 2008. Sastra sebagai Agen Perubahan Budaya.Yogyakarta: FBS UNY.
Kurniawan, Heru. 2012. Penulisan Sastra Kreatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Lubis, Mochtar. 1994. Sastra, Budaya, Masyarakat dan Manusia Indonesia. Jakarta: Obor.
Mukartiasih, Arif. 2016. Pelaksanaan Nilai Moral dan Karakter dalam Pembelajaran PAI
SMP dan SMA di Bandung. Jurnal Ilmiah Pendidikan. Vol. VII. No 2, 4.
Nuryatin, Agus. 2010. Sastra sebagai Mata Pelajaran Vokasi dan Media Pendidikan.
Jakarta: Rajawali.
Rosita, Sari. 2015. Kefektifan pembelajaran Menyusun Cerita Pendek dengan Menggunakan
Strategi Pembelajaran pada Siswa SMP. Jurnal Pedidikan Bahasa dan Satra
Indonesia. Vol. III. No 3, 4.
Rusyana, Y. dan M. Suryaman. 2005. Pedoman Penulisan Buku Teks Pelajaran Bahasa
Indonesia SD, SMP, dan SMA. Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas.
Saifudin, F Budi. 2014. Aplikasi pengetahuan Lokal dalam Pendidikan Moral dan Karakter.
Malang: UNISMA-Badan Bahasa Kemendikbud: Makalah.
Segers, Rien T. 2000. Evaluasi Sastra. Terjemahan Suminto A. Sayuti. Yogyakarta: Adicita.
Sudjiman, Panuti. 2001. Kamus Sastra. Jakarta: Gramedia.
Suharyanto, Herlin. 2005. Sastra, Kajian Teori dan Praktik. Jakarta: Gramedia.
Teeuw, A. 1991. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
Wellek, Rene & Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta.
Jakarta: Gramedia.

253 | Halaman

Anda mungkin juga menyukai