Anda di halaman 1dari 8

Revitalisasi Pengajaran Sastra di SD,

Memanusiakan Manusia di Era Digital


Seni Apriliya
Universitas Pendidikan Indonesia
seni_apriliya@upi.edu

Abstrak
Revitalisasi pengajaran sastra dalam perspektif pendidikan di era digital, khususnya di SD perlu
dilandasi kesadaran pengajar akan fungsi sastra. Pada tataran fungsi esensi yang membebaskan
pengarang dan pembaca; juga pada fungsi eksesinya. Fungsi karya sastra di atas direalisasikan untuk
mencapai tujuan pengajaran sastra dalam perspektif pendidikan, yakni memanusiakan manusia dengan
cara menginternalisasikan nilai-nilai kemanusian. Pengajaran sastra diselenggarakan di SD selayaknya
memperhatikan beberapa hal berikut; (1) dilandasi kesadaran guru dan peserta didik akan manfaat
sastra; (2) menjadikan peserta didik sebagai fokus utama; serta (3) diorientasikan pada kekinian
(kontekstual).
Kata kunci: revitalisasi pengajaran sastra, pengajaran sastra di SD, era digital.

Abstract
Revitalization of Literature Teaching in Elementary Schools,
Humanize a Human Being in the Digital Age
Revitalization of teaching literature in the perspective of education in the digital age, especially in
elementary schools needs to be based on the teacher's awareness of the function of literature. At the
level of the essential functions that liberate the author and the reader; also on the function of its
excesses. The function of the above literary works is realized to achieve the objectives of teaching
literature in an educational perspective, which is to humanize humans by internalizing human values.
Literature teaching held in elementary school should pay attention to the following points; (1) based on
teacher and student awareness of the benefits of literature; (2) making students the main focus; and (3)
oriented to the present (contextual).
Keywords: revitalization of literary teaching, teaching of literature in elementary school, digital era.

Pendahuluan
Sastra sebagai salah satu moda pengajaran kerap dikeluhkan banyak kalangan.
Seorang praktisi pendidikan sastra, Mukhlis A. Hamid (2007: 1) menyatakan bahwa
pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal dari hari ke hari semakin sarat
dengan berbagai persoalan, keluhan-keluhan para guru, peserta didik, dan
sastrawan menjadi bukti konkret adanya sesuatu yang tidak beres dalam pengajaran
sastra. Ketika sastra terisolasi dari dunia manusia, sastra jauh dari kehidupan
manusia, termasuk peserta didik di dalamnya, sastrawan Putu Wijaya (2007: 1)
dengan pasti menilai pastilah ada sesuatu yang telah “sesat”, termasuk di antaranya
kesesatan dalam mengajarkan sastra.
Sejumlah alasan yang menjadi kendala tersesatnya pengajaran sastra pun
mengemuka. Mulai dari persoalan klasik seperti halnya kompetensi guru yang
dinilai tidak atau kurang mumpuni, sarana dan prasara pengajaran sastra yang
terbatas, dan rendahnya minat peserta didik; sampai persoalan mendasar tentang
esensi tujuan pengajaran sastra itu sendiri, dan proses pengajaran sastra sebagai
implikasinya.

1
Sastra sebagai Karya dan Fungsinya
Sastra sebagai karya menurut Yus Rusyana (1984: 311) adalah kegiatan kreatif
manusia sebagai hasil proses pengamatan, tanggapan, fantasi, perasaan, pikiran, dan
kehendak yang bersatu padu serta diwujudkan dalam medium bahasa. Sastra dalam
pemahaman Putu Wijaya (2007: 1) adalah segala bentuk ekspresi dengan memakai
bahasa sebagai basisnya.
Dalam tataran fungsi, sejarah estetika mencatat bahwa sastra memiliki peran ganda,
yakni dulce dan utile, menyenangkan dan berguna, indah sekaligus bermanfaat,
menghibur sekaligus mengajarkan nilai-nilai (Horace dalam Wellek & Warren, 1995:
25). Peran dulce muncul karena saratnya sastra akan nilai keindahan sehingga
menghibur dan menyenangkan.
Sastra tidak berhenti pada fungsinya yang memberikan kesenangan. Sastra melesak
lebih mendalam melalui fungsi utile-nya pada dua tataran manfaat. Pertama fungsi
esensi, yakni membebaskan manusia, baik sebagai pengarang maupun sebagai
pembaca, dari tekanan emosi, kecamuk batin dan gejolak perasaan sebagaimana
dikemukakan Semi (1993: 15). Kedua, fungsi eksesi, di antaranya meningkatkan
keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan
cipta dan rasa, serta menunjang pembentukan watak manusia (Rahmanto, 1988:
16). Selain itu, meningkatkan minat baca, mengembangkan kemampuan berpikir
kritis, serta menumbuhkembangkan gagasan kreatif juga merupakan fungsi eksesi
sastra.
Fungsi esensi sastra memungkinkan manusia untuk beroleh kelapangan jiwa,
ketenangan batin, sekaligus kelegaan intelektual. Emosi dan kecamuk batin selama
mengandung ide kreatif dan gagasan intelektual merupakan benih yang belum
diejawantahkan, kandungan yang menunggu proses persalinan. Ketika ide dan
gagasan tersebut diekspresikan, maka pada saat yang sama sang pemilik ide beroleh
kepuasan batin dan kelegaan intelektual karena ide kreatifnya telah dilahirkan.
Demikian halnya pada sisi pembaca. Pada saat karya kreatif atau ide intelektual
seseorang bersinggungan dengan pengetahuan dan pengalamannya. Hal tersebut
dapat berkontribusi pada pencerahan intelektual yang melegakan jiwa dan
menstabilkan emosi. Selain bernilai dalam hal perkembangan ilmu pengetahuan dan
nilai-nilai kemanusiaan tentunya.
Sebagaimana fungsi esensi, fungsi eksesi sastra juga penting artinya dalam
meningkatkan pengetahuan, sikap, dan kemampuan manusia. Pertama, sastra
meningkatkan keterampilan berbahasa. Sebagai karya, sastra memuat tiga sistem
tanda, yakni kode bahasa, kode budaya, dan kode sastra itu sendiri. Kode bahasa
adalah sistem tanda pertama sebagai media dan perwujudan paling konkret sebuah
karya sastra. Oleh karenanya, sastra memiliki kekayaan bahasa yang luar biasa.
Dampaknya sastra berperan signifikan dalam pengembangan pemakaian bahasa dan
dalam meningkatkan kemampuan berbahasa para pembacanya. Selain itu, dengan
adanya keragaman intensitas dan eksperimentasi bahasa, karya sastra
mengeksplorasi kekayaan bahasa sedemikian rupa. Memungkinkan pembacanya
berinteraksi dengan kedalaman dan keragaman bahasa yang berbeda-beda. Kata-
katanya beragam baik jenis maupun bentuknya. Selain kosa kata, karya sastra juga
kaya akan bentuk-bentuk bahasa, seperti idiom, ungkapan, dan peribahasa.
Penggunaan atau pemilihan bahasa-kosa kata pun telah tertata sedemikian rupa
sehingga pembaca-peserta didik memiliki kompetensi berbahasa yang kaya dari
teks sastra, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya.

2
Fungsi eksesi sastra yang kedua, yakni sastra meningkatkan pengetahuan budaya.
Pada tahap ini wawasan dan pengetahuan pembaca distimulasi oleh keragaman
budaya yang terkandung dalam setiap karya sastra. Mengingat kode sastra dimuati
kode budaya penulisnya. Setiap unsur dalam karya sastra membawa nafas budaya
tertentu. Roman Siti Nurbaya membawa budaya Minang dalam setiap gerak alur
ceritanya. Novel Bumi Manusia merepresentasikan budaya masyarakat pada masa
kebangkitan nasional saat itu. Kehidupan sosial terkotak-kotak sedemikian rupa,
antara penjajah dan yang dijajah disekati kelas sosial yang kasat mata namun
efeknya terasa dimana-mana. Novel Laskar Pelangi menyiratkan bagaimana anak-
anak dalam konteks budaya Melayu Bangka Belitung berjuang menempuh
pendidikan.
Fungsi eksesi sastra yang ketiga, yaitu mengembangkan cipta, rasa, dan karsa.
Pergulatan tokoh sastra dengan segala problematika yang dihadapinya turut
melibatkan imajinasi, emosi, pemikiran, dan bahkan sikap pribadi para pembacanya.
Pemikiran, perasaan, kesedihan, kebahagiaan, harapan, motivasi, perjuangan, dan
keputusan yang yang diambil para tokoh cerita dalam karya sastra mempengaruhi,
menginspirasi, juga pada kesempatan tertentu sampai pada taraf membesarkan hati
para pembaca. Bahkan pada tingkatan tertentu sastra berpotensi untuk
mempengaruhi sikap dan tindakan para pembacanya.
Fungsi eksesi sastra yang keempat, yakni menunjang pembentukan watak. Fungsi
ini sesungguhnya merupakan kelanjutan dari fungsi sebelumnya. Ketika suatu karya
sastra menimbulkan tumbuh-kembang cipta, rasa, dan karsa sedemikian rupa pada
diri pembaca, maka secara sadar atau tidak, watak dan karakternya akan turut
terbangun karenanya. Meminjam istilah Lickona,dalam hal ini teks sastra berperan
untuk menjadikan moral knowing bertumbuh menjadi moral feeling, yang kemudian
mewujud dalam bentuk moral action pada diri seseorang.
Peran sastra dalam pembentukan watak manusia merupakan perpaduan antara
pemahaman, sikap, dan apresiasi seseorang terhadap makna dan nilai-nilai yang
terkandung dalam karya sastra; yang kemudian dihayati dan diterima oleh pembaca.
Di antaranya sebagaimana yang diungkapkan Apriliya (2005) bahwa “Sastra
mengajari kita mengapa hidup harus berliku dan banyak warna; bagaimana seorang
manusia berpikir dan bertindak; dan menjawab pertanyaan mengapa arti impian
dan harga diri bagi satu dan lain orang berbeda, bahkan kadang bertentangan.”
Fungsi eksesi sastra yang kelima, yakni menumbuhkembangkan minat baca.
Membaca sastra adalah membaca cerita manusia, yang menimbulkan rasa ingin
tahu, menumbuhkan kebutuhan untuk menuntaskan cerita. Menuntut jawaban atas
pertanyaan mengapa dan bagaimana. Semuanya itu hanya dapat diperoleh melalui
interaksi yang intens dan konsisten antara pembaca dan teks sastra. Teks sastra
yang satu kemudian menuntun pembaca pada teks berikutnya. Demikian
seterusnya.
Fungsi eksesi sastra yang keenam adalah meningkatkan kemampuan berpikir kritis.
Membaca sastra merupakan kegiatan memahami cerita. Pemahaman didasarkan
pada penerimaan. Keberterimaan terhadap sastra dilandastumpukan pada peranan
logika. Pengolahan mental ketika mencermati dan berinteraksi dengan karya sastra
menuntut pemikiran dan sikap kritis sang pembaca. Oleh karenanya, intensitas yang
tinggi atau interaksi yang massif dengan teks sastra akan menumbuhkembangkan
kemampuan berpikir dan bersikap kritis pembaca.
Fungsi eksesi sastra yang ketujuh adalam menumbuhkembangkan gagasan kreatif.
Sastra merupakan satu bentuk karya kreatif. Pada saat karya tersebut diapresiasi

3
akan menimbulkan respons dan resepsi yang beragam dari para pembacanya. Di sisi
lain, apresiasi yang paling tinggi adalah kreasi. Dengan demikian, apresiasi terhadap
suatu teks sastra dapat menumbuhkan banyak kreasi baru, memunculkan karya
kreatif dalam bentuk yang sama ataupun berbeda. Tak terhitung banyaknya puisi-
puisi besar yang menjadikan pembacanya melahirkan puisi baru. Puisi yang
diparafrasekan. Puisi yang dimusikalisasi. Puisi yang dideklamasikan dengan
beragam gaya dan cara. Kreativitas itu bertumbuh dan berkembang melahirkan
karya-karya baru.

Pengajaran Sastra dalam Perspektif Pendidikan di Era Digital


Di tengah kilau dan canggihnya dunia digital yang menjadikan segala sesuatu
menjadi lebih mudah dan terkesan instan, dalam perspektif pendidikan, tujuan
pengajaran sastra merupakan bagian dari tujuan pendidikan secara keseluruhan
(Rusyana, 1984: 313). Di titik ini, kita sampai pada satu pertanyaan mendasar,
pendidikan yang bagaimanakah yang menjadi landasan pendidikan-baca:
pengajaran- sastra? Freire dalam Suyatno (2004: 3) meletakkan adagium
memanusiakan manusia sebagai paradigma pendidikan, yang mengandung
konsekuensi bahwa pendidikan mestilah menyertakan kesadaran kritis dan
berorientasi pada pengenalan realitas manusia. Bukan hanya mengejar kecepatan,
ataupun kemudahan; akan tetapi melibatkan kesadaran. Di dalam hal ini pengajaran
sastra, pada kerangka besar internalisasi nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai
humanisme, yang mampu mengangkat manusia menjadi lebih manusiawi, di satu
sisi. Sekaligus merupakan singgungan utama tujuan pendidikan dengan fungsi sastra
yang disebut sebagai katarsis oleh Aristoteles (Teeuw, 1988: 222), yakni sarana
pengetahuan yang khas, cara yang unik untuk menginternalisasi nilai-nilai manusia,
di sisi yang lain.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana sastra menuntun manusia menuju
kemanusiaannya? Sementara seperti yang dikemukakan pada bagian pendahuluan,
pengajaran sastra itu sendiri kerap dikeluhkan. Bambang Sugiharto (2008: 378),
seorang Guru Besar Filsafat berpendapat bahwa ilmu pengetahuan berharga bukan
hanya sebagai olah kecerdasan dan akumulasi informasi, melainkan sebagai jalan
menuju nilai yang lebih tinggi. Dalam rangka itu, olah nilai dalam perbuatan dan
pengalaman nyata mesti lebih diprioritaskan daripada ilmu pengetahuan.
Dengan demikian pengajaran sastra haruslah direformulasi sedemikian rupa
sebagaimana pendapat Prof. Dr. Suwarsih Madya (2005) dalam harian Galamedia
bahwa pengajaran sastra dapat memberikan andil yang signifikan terhadap
keberhasilan pengembangan manusia utuh yang diharapkan apabila dilaksanakan
dengan pendekatan yang tepat, yaitu pendekatan yang dapat merangsang terjadinya
olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga para peserta didik.
Oleh karena itu, revitalisasi mendasar pengajaran sastra di era digital seperti
sekarang, berimplikasi pada proses pengajaran sastra dalam konteks interaksi kelas
yang nyata. Dalam hal ini, sosok pendidik memiliki peran yang sangat besar dalam
mewujudkan tujuan pendidikan secara umum melalui pengajaran sastra.
Pengetahuan, perlakuan, sikap, dan teladan pendidik terhadap peserta didik dan
materi sastra disinyalir menjadi pilar-pilar utama tercapainya tujuan pengajaran.
Dengan kata lain, sebagai implikasi revitalisasi ini, reformulasi proses belajar
mengajar sastra menjadi hal yang sangat penting. Perlu kejelasan rumusan dan
tindakan mengenai bagaimana peserta didik diperlakukan, bagaimana materi sastra
dipilih, ditentukan, untuk kemudian disampaikan.

4
Membumikan Sastra di Dunia Manusia-Peserta didik
Dengan realitas pengajaran sastra yang masih cenderung menggunakan paradigma
konvensional, upaya membumikan sastra di dunia manusia, khususnya dunia
peserta didik, senantiasa jauh panggang dari api. Diharapkan melalui paradigma dan
spirit memanusiakan manusia, proses pengajaran sastra menjadi lebih terjangkau,
mungkin tidak mudah, tetapi juga bukan suatu hal yang mustahil.
Reformulasi pengajaran sastra dalam upaya membumikan sastra dapat dilakukan
ketika guru mampu menyelaraskan proses pengajaran sastra dengan karakteristik
peserta didik. Adalah suatu hal yang sangat logis dan rasional apabila proses
pengajaran sastra dalam kerangka memanusiakan manusia dilandaskan pada
manusia yang akan menginternalisasinya, dalam hal ini peserta didik.
Tawaran untuk mengimplementasikan formulasi ini merupakan jalan keluar awal
untuk mengakhiri mati suri-nya pengajaran sastra selama ini. Bagaimana guru
menafsirkan konsep tersebut dan bagaimana pula mewujudkannya dalam kegiatan
pembelajaran sastra di sekolah sehingga pelajaran sastra menjadi menarik dan
mendapat tempat di hati peserta didik. Hal-hal yang dapat dilakukan, antara lain
menumbuhkan kesadaran akan manfaat sastra, menempatkan peserta didik sebagai
fokus utama, dan berorientasi pada realitas dan kekinian.
1. Bermula dari Manfaat Sastra
Kesadaran mengenai manfaat sastra merupakan langkah awal yang perlu
dtumbuhkan dan diyakinkan kepada peserta didik. Mengapa demikian, pakar
pendidikan kontemporer DePorter (2001: 10) berpendapat bahwa kesadaran
mengenai manfaat materi ajar akan menumbuhkembangkan minat peserta didik.
Ilustrasi yang dikutip dari DePorter (2001: 90) berikut dapat dijadikan rujukan. (a)
Hari ini kita akan membaca cerita pendek mengenai seorang peserta didik di Papua.
(b) Di akhir jam pelajaran ini, kita akan sudah berkelana ke suatu tempat, bertemu
dengan peserta didik pemberani seperti kalian, dan belajar cara menghadapi
tantangan dan rasa takut. Kalimat a menyampaikan hal yang sama dengan b.
Namun, kalimat b dimuati dengan afirmasi, mengundang, memikat, dan mengikat
karena menyebutkan manfaat secara eksplisit. Dengan kata lain, kesadaran ini
menjadi konteks yang kuat bagi peserta didik.
Pengajaran sastra tidak hanya menawarkan hiburan sesaat, tetapi juga
mengandung berbagai manfaat bagi peserta didik. Pengajaran sastra secara
langsung ataupun tidak akan membantu peserta didik dalam mengembangkan
wawasan terhadap tradisi dalam kehidupan manusia, menambah kepekaan
terhadap berbagai problema personal dan masyarakat manusia. Bahkan menambah
pengetahuan peserta didik terhadap berbagai konsep teknologi dan sains.
Penikmatan yang apresiatif terhadap puisi, prosa fiksi, drama dalam berbagai genre
akan membuktikan kemanfaatan tersebut pada peserta didik.
Sosok gurulah yang bertanggung jawab untuk membimbing peserta didik
agar sampai pada tahap menyadari manfaat mendasar dari sastra. Guru hendaknya
dapat menunjukkan bahwa apa yang diajarkannya bermanfaat. Tanpa melihat
kemanfaatan dari apa yang dipelajari, tanpa menyadari kaitannya dengan realita,
maka pengajaran sastra akan jatuh kembali pada paradigma konvensional yang
meletakkan peserta didik sebagai gelas kosong yang harus diisi, dijejali dengan teori
dan hafalan yang kering dan jauh dari realitas dan lebih berpeluang untuk membuat
peserta didik tertekan daripada nyaman belajar.

5
Guru memposisikan diri dengan mengajak anak didiknya untuk melihat dan
menyadari manfaat sastra bagi dirinya. Memposisikan sastra sedemikian rupa pada
tempatnya yang tepat sehingga jelas relevansinya dengan kehidupan mereka.
Dengan lain kata, seorang guru sberdiri di depan kelas untuk menunjukkan -bukan
mengkhotbahkan- bahwa sastra adalah ilmu yang berguna, bahwa sastra relevan
dan terkait dengan kehidupan setiap orang.
2. Peserta didik sebagai Fokus Utama
Ketika minat dan sikap positif peserta didik terhadap sastra telah terbentuk,
langkah selanjutnya adalah reformulasi pengajaran sastra dalam segi konten, yakni
menempatkan peserta didik sebagai fokus utama dalam pengajaran sastra. Dalam
hal ini, Wijaya (2007: 4) mengemukakan pendapatnya bahwa yang sangat penting
dalam pengajaran sastra ialah siapa yang diajar (peserta didik). Lingkungan, latar
belakang sosial, ekonomi, budaya, dan kebutuhan peserta didik tidak boleh kalah
penting dari karya-karya sastra yang akan mereka pelajari itu. Pelajaran sastra
harus hidup dalam diri peserta didik. Oleh karena itu, karya sastra harus
diorientasikan dan bersenyawa dengan karakteristik peserta didik. Pengajaran
sastra penting didasari dan dimulai dari apa yang ada pada diri dan kehidupan
peserta didik.
Dalam hal ini, selayaknya peserta didik diajak untuk menjelajah dan
menggauli keagungan nilai yang terkandung dalam sastra, tidak sekadar diceramahi
dengan pengetahuan-pengetahuan tentang sastra yang bercorak teoretis dan
hafalan karena belajar sastra pada hakikatnya adalah belajar tentang hidup dan
kehidupan. Melalui karya sastra, manusia akan memperoleh gizi batin, sehingga sisi-
sisi gelap dalam hidup dan kehidupannya bisa tercerahkan lewat kristalisasi nilai
yang terkandung dalam karya sastra. Sastra tak ubahnya sebagai layar tempat
diproyeksikan pengalaman psikis manusia.
Dengan menempatkan peserta didik sebagai fokus utama, optimalisasi sastra
sebagai karya yang dipelajari dapat direalisasi karena peserta didiklah yang
berperan ketika menggali arti dan menemukan makna dibalik kata-kata. Apa yang
akan menjadi pengetahuan peserta didik dan bagaimana membimbing peserta didik
berpengetahuan, itulah yang menjadi prioritas dan agenda utama. Berbagai genre
sastra, seperti drama, novel, cerpen, dan puisi hanyalah sarana.
Karya sastra tidak membungkam dan mereduksi peserta didik sebagai
penikmat sastra, tetapi justru menawarkan diri agar peserta didik mampu
mengembangkan apresiasi dan interpretasinya. Dengan demikian sastra memenuhi
fungsinya dalam menggelorakan kehidupan pikir dan imajinasi peserta didik. Proses
inilah yang akan membuat pengajaran sastra menjadi menarik dan asyik untuk
dikunyah intuisi, kognisi, dan imajinasi peserta didik. Perhatian dan pengenalan
yang optimal terhadap latar belakang peserta didik pun akan menjadi landasan
utama bagi peserta didik dalam memahami realitas sastra yang dipelajarinya. Hal
tersebut akan memungkinkan peserta didik mengambil jarak dalam
memproyeksikan pengalaman dan realitas kehidupan yang dialaminya.
3. Berorientasi pada Kekinian
Hal yang tak kalah penting dalam revitalisasi pengajaran sastra ialah
pemilihan materi sastra bagi peserta didik yang bernafaskan kontekstualitas dan
aktualitas. Sastra lahir dan hadir di sekeliling peserta didik. Sastra bukanlah
pelajaran sejarah yang melulu bicara tentang masa lalu. Oleh karena itu, pengajaran
sastra mestilah diorientasikan pada kekinian, pada konteks yang aktual, dan
merepresentasikan realitas yang dihadapi oleh peserta didik. Hal ini tidak berarti

6
bahwa peserta didik tidak perlu dikenalkan pada karya sastra lama dan sejarah
perkembangan sastra itu sendiri.
Objek pelajaran sastra adalah karya sastra yang baik, dan karya sastra yang
baik adalah abstraksi kehidupan (Darma, 2007: 81). Dengan kata lain, dalam
kehidupan peserta didik, pertama dan utama adalah menyelami karya sastra yang
mengabstraksikan kehidupan peserta didik pada zaman mereka. Pada masa
sekarang ini, pengajaran sastra dapat dimulai dengan Laskar Pelangi-nya Andrea
Hirata, atau Keluarga Cemara-nya; atau yang lebih kontekstual lagi, mengundang
sastrawan itu sendiri ke hadapan peserta didik.
Hal ini pun menggiring para pendidik sastra untuk senantiasa mengikuti riak
kemajuan dan perkembangan dunia sastra kontemporer. Keberadaan kurikulum
yang saat ini diberlakukan dapat dijadikan sebagai peluang bagi guru untuk secara
mendasar membalik kerucut kurikulum sebagai upaya mengedepankan konteks
kekinian dalam pengajaran sastra muncul ke permukaan. Dengan kata lain,
pengajaran sastra tidak lagi dimulai dari Abdullah Bin Abdul Kadir Munsyi, tetapi
dari –misalnya- Fiersa Besari.

Simpulan
Pada dasarnya, revitalisasi pengajaran sastra pada era digital sekarang perlu
dilandasi kesadaran pengajar akan fungsi sastra. Pada tataran fungsi esensi yang
membebaskan pengarang dan pembaca; juga pada fungsi eksesinya. Teori dan
berbagai kajian menunjukkan bahwa sastra mengandung potensi dan energi yang
sangat mengagumkan dalam mencapai tujuan pendidikan, yakni memanusiakan
manusia. Manusia yang kompeten dan terampil dalam berbahasa. Manusia yang
beradab dan berbudaya. Manusia yang mampu mengolah serta
menumbuhkembangkan cipta, dan rasanya. Manusia yang menempa watak dan
karakternya untuk meningkatkan kualitas kemanusiaannya. Manusia yang
senantiasa bertumbuh dan menjadi. Manusia yang melalui teks sastra menjadi lebih
terasah kemampuan berpikir dan sikap kritisnya. Manusia yang kreatif, yang
mampu mengapresiasi sastra untuk kemudian menyerap, memilah, memilih,
mengolahnya menjadi kreasi baru, serta menjadikannya sebentuk kreativitas yang
bernilai dan bermakna.
Di era digital yang serba instan seperti sekarang, fungsi karya sastra
selayaknya direalisasikan untuk mencapai tujuan pendidikan, yakni memanusiakan
manusia dengan cara menginternalisasikan nilai-nilai kemanusian. Sastra
didudukkan bukan hanya sebagai sebentuk pengetahuan, tetapi jalan menuju
tercapainya kualitas kemanusiaan yang lebih tinggi melalui olah perbuatan dan
pengalaman. Dengan demikian, manusia mencapai keutuhan pribadinya.
Adapun reformulasi pengajaran sastra secara praktis, yaitu (1) dilandasi
kesadaran guru dan peserta didik akan manfaat sastra; (2) menjadikan peserta didik
sebagai fokus utama; serta (3) diorientasikan pada kekinian (kontekstual). Seiring
dengan dinamika peradaban manusia, sastra bertumbuh dan berkembang. Di SD,
pengajaran sastra dalam perspektif pendidikan di era digital menjadi suatu hal yang
sangat relevan karena dengan membumikan sastra di dunia manusia, menjadi
upaya nyata agar manusia mencapai nilai-nilai kemanusiannya.

Daftar Pustaka
Apriliya, Seni. 2005. Sastra, Novel, dan Kehidupan dimuat Harian Pikiran Rakyat, 27
Oktober 2005. Bandung.

7
Darma, Budi. 2007. Bahasa, Sastra, dan Budi Darma. Surabaya: JP Books.
DePorter, Bobbi, dkk. 2001. Quantum Teaching. Bandung: Kaifa.
Hamid, Mukhlis A. 2007. Mencari Solusi Pengajaran Sastra. [Online]. Tersedia:
http://gemasastrin.wordpress.com/2007/05/01/mencari-solusi-
pengajaran-sastra-indonesia/ [6 Oktober 2008].
Madya, Suwarsih. 2005. “Pengajaran Sastra dapat Tumbuhkan Kreativitas Peserta
didik”. Galamedia (17 September 2005).
Rahmanto, B. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: CV.
Diponegoro.
Semi, M. Atar. 1993. Anatomi Sastra. Bandung: Angkasa.
Sindhunata, ed. 2000. Membuka Masa Depan Anak-Anak Kita, Mencari Kurikulum
Pendidikan Abad XXI. Yogyakarta: Kanisius.
Sugiharto, Bambang, ed. 2008. Humanisme dan Humaniora, Relevansinya bagi
Pendidikan. Bandung: Jalasutra.
Wijaya, Putu. 2007. Pengajaran Sastra. [Online]. Tersedia:
http://putuwijaya.wordpress.com/2007/11/03/pengajaran-sastra. [6
Oktober 2008].
Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Wellek, Rene., & Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai