Dosen Pengampu:
Dr. Sutardi S. S. M. Pd
Disusun oleh:
TAHUN 2022/2023
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah kami sampaikan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan
hidayahNya sehingga penulisan makalah ini dapat saya selesaikan sesuai dengan rencana,
dengan judul “Penelitian psikologi Sastra ”.
Tak lupa marilah kita sampaikan shalawat beserta salam kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam kebodohan kepala alam yang penuh
dengan ilmu pengetahuan.
Dan terima kasih kepada Bapak Dosen Dr. Sutardi S. S. M. Pd. Selaku pembimbing mata
kuliah penelitian sastra yang telah membimbing kami dalam penyusunan makalah ini. Kami
menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami dengan senang hati
menerima kritik dan saran yang dimaksud untk menyempurnakan makalah ini yang bersifat
membangun.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. Latar Belakang..........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................................2
C. Tujuan.......................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................3
A. Landasan Pijak Psikologi Sastra.............................................................................3
B. Pendekatan Psikologi Sastra....................................................................................7
1) Beberapa Kemungkinan Kajian........................................................................7
2) Kajian Estetika Eksperimental..........................................................................8
C. Psikoanalisa............................................................................................................10
1) Hubungan Sastra dan Psikoanalisa...................................................................10
2) Alam Bawah Sadar.........................................................................................14
D. Langkah dan proses analisis...................................................................................16
A. Kesimpulan...............................................................................................................19
B. Saran.........................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................20
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Analisis Teori Psikologi Sastra yang dilanjutkan dengan Teori Psikoanalisis dan
diaplikasikan dengan meminjam teori kepribadian ahli psikologi terkenal Sigmund
Freud. Dengan meletakkan teori Freud sebagai dasar penganalisisan, maka pemecahan
masalah akan gangguan kejiwaan tokoh utama akan dapat dijembatani secara bertahap.
Didalam makalah ini akan dikaji secara terperinci tentang psikologi sastra dan
pengaplikasiannya.
1
B. Rumusan Masalah
1 Apa defenisi Psikologi Sastra?
2
2 Apa hubungan sastra dan pesikoanalisa?
3 Apa saja langkah-langkah dan proses analisis?
C. Tujuan Penulisan
1 Mengetahui defenisi Psikologi Sastra?
2 Mengetahui hubungan sastra dan pesikoanalisa?
3 Mengetahui langkah-langkah dan proses analisis?
3
BAB II
PEMBAHASAN
Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai aktivitas
kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karya dalam berkarya. Begitu
pula pembaca, dalam menanggapi karya juga tak akan lepas dari kejiwaan masing-
masing. Bahkan, sebagaimana sosiologi refleksi, psikologi sastra pun mengenal karya
sastra sebagai pantulan kejiwaan. Pengarang akan menangkap gejala jiwa kemudian
diolah ke dalam teks dan dilengkapi dengan kejiwaannya. Proyeksi pengalaman sendiri
dan pengalaman hidup di sekitar pe ngarang, akan terproyeksi secara imajiner ke dalam
teks sastra.
Wellek dan Austin (1989), Psikologi secara sempit dapat diartikan sebagai ilmu
tentang jiwa. Sedangkan sastra adalah ilmu tentang karya seni dengan tulis-menulis.
Maka jika diartikan secara keseluruhan, psikologi sastra merupakan ilmu yang mengkaji
karya sastra dari sudut kejiwaannya. Ratna (2004:340)
Dari beberapa pendapat para ahli mengenai psikologi sastra, dapat ditarik benang
merah mengenai definisi psikologis satra yaitu kajian teori konsep psikologi yang
diterapkan pada karya sastra pada pengarang dan penokohan. Namun dalam terapannya
psikologis sastra lebih memberikan pada unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional
yang terkandung dalam karya sastra.
Semula memang ada keraguan bahwa aspek psikologi bisa masuk ke alam teks
sastra. Hal ini pernah dilontarkan Derrida: "what is a text, and when the psyche be if it
can be represented by a text?", Karaguan ini cukup menggoda, karena peneliti harus
mampu mencermati aspek-aspek psikologis yang tersimpan dalam teks. Padahal, aspek-
aspek tersebut sangat abstrak. Me sulit disangkal bahwa pemahaman teks sastra
membutuhkan ilmu bantu kologi karena karya sastra menyangkut aspek kejiwaan
manusia pula, na mang mun ini sering menjadi problem rumit.
Lebih rumit lagi, kalau psikologi sastra tadi telah menjangkau ihwal psi Ioanalisis
tentu menjadi persoalan yang tidak Penelitian ke arah ke aksadaran dalam sastra dan
terutama menyangkut psikologi bawah sadar tentu membutuhkan kecermatan. Dan yang
lebih penting lagi, tentu penelitian psiko bgi sastra perlu ekstra hati-hati, agar jangan
sampai
5
peneliti hanya terjebak pada penokohan pada genre novel atau cerpen. Psikologi sastra
tentu lebih luas dari itu semua, sekurang-kurangnya akan menyangkut aspek kesadaran,
ketak adaran, penalaran, dan imajinasi.
Psikoanalisis dapat digunakan untuk menilai karya sastra karena psikologi dapat
menjelaskan proses kreatif. Misalnya, kebiasaan pengarang merevisi dan menulis kembali
karyanya. Yang lebih bermanfaat dalam psikoanalisis adalah studi mengenai perbaikan
naskah, koreksi, dan seterusnya. Hal itu, berguna karena jika dipakai dengan tepat dapat
membantu kita melihat keretakan ( fissure ), ketidakteraturan, perubahan, dan distorsi
yang sangat penting dalam suatu karya sastra.
1. Sublimasi
Menurut Freud, sublimasi inilah yang menjadi akar dari kebudayaan manusia.
Dalam sublimasi, terkandung kreativitas atau kemampuan menghasilkan sesuatu yang
baru. Puisi, novel, lukisan, teori keilmuan, aktivitas olah raga, pembuatan peralatan
6
teknik,
7
bahkan agama, sebenarnya merupakan bentuk lain dari dorongan-dorongan id yang telah
dimodifikasi.
2. Asosiasi
Asosiasi bebas, atau “asosiasi” saja, sebenarnya merupakan suatu teknik yang
sudah lama dipraktikkan oleh para seniman dan pengarang untuk memeroleh ilham.
Ketika proses penulisan dimulai, pengarang yang menggunakan teknik asosiasi akan
menuliskan apa saja yang masuk ke dalam pikirannya. Setelah ilhamnya habis, barulah ia
memeriksa tulisannya dan mengedit, menambah atau mengurangi, dan menentukan
sentuhan akhir. Seringkali dalam melakukan asosiasi ini, pengarang mengingat-ingat
segala kejadian yang pernah dialaminya, khususnya kejadian di masa anak-anak, atau
memunculkan kembali pikiran- pikiran dan imajinasinya yang paling liar. Itulah dorongan
id yang sedang dipanggil kembali.
Pada dasarnya, psikologi sastra akan ditopang oleh tiga pendekatan se kaligus.
Pertama, pendekatan tekstual, yang mengkaji aspek psikologis toko dalam karya
sastra. Kedua, pendekatan reseptif-pragmatik, yang mengkaji aspek psikologis
pembaca sebagai penikmat karya sastra yang terbentuk dari pngaruh karya yang
dibacanya, serta proses resepsi pembaca dalam menikma karya sastra. Ketiga,
pendekatan ekspresif, yang mengkaji aspek psikologis sang penulis ketika melakukan
proses kreatif yang terproyeksi lewat karyanya, baik penulis sebagai pribadi maupun
wakil masyarakatnya (Roekhan, 1990:88).
Penelitian psikologi sastra dari aspek tekstual, semula memang tak bis lepas
dari prinsip-prinsip Freud tentang psikologi dalam. Buku Freud t interpretasi mimpi
dalam teks sastra, telah banyak mengilhami para peneliti p kologi teks. Apalagi, buku
ini belakangan telah diterjemahkan ke dalam bahas Indonesia, tentu lebih mudah
dipahami oleh ilmuwan kita.
Yang lebih penting lagi, peneliti psikologi sastra hendaknya mamp menggali
sistem berpikir, logika, angan-angan, dan cita-cita hidup yang ekspre sif dan tidak
sekedar sebuah rasionalisasi hidup. Perasaan takut, phobi, wa was, histeris, aman, dan
sebagainya juga menjadi obyek kajian psikologi sastra yang amat pelik. Apalagi,
kalau teks sastra telah melonjak ke gambaran Freud tentang illution yang sulit
dikendalikan dan dikontrol, peneliti sering mengalami kebingungan. Untuk itu
sebenarnya Holland (Fananie, 2001:181) memeberikan landasan psikoanalisis sebagai
berikut:
Berbagai hal ini merupakan obyek garap psikoanalisis yang akan ter ungkap
dalam teks sastra. Dari sini peneliti dituntut untuk mengungkap apakah teks sastra,
melalui pelaku-pelakunya dapat merefleksikan unsur di atas atau ti dak. Dari situ pula
akan muncul hal-hal yang menyebabkan faktor kejiwaan dominan dalam sebuah teks
sastra. Peneliti juga seharusnya tidak terpaku pada kajian narasi dalam substansi
karakter tokoh saja, melainkan perlu mencermat apakah hal tersebut berhubungan
dengan realitas atau tidak. Sejauhmana pe ngarang mampu menghadirkan unsur-unsur
di atas sebagai fenomena indiv dual atau sosial.
Dalam pandangan Wellek dan Warren (1990) dan Hardjana (1985: 60 61),
psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan penelitian. Pertama, pe nelitian
terhadap psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Studi ini ini
cenderung ke arah psikologi seni. Peneliti berusaha menangkap kondis kejiwaan
seorang pengarang pada saat menelorkan karya sastra. Kedua, peneli tian proses
kreatif dalam kaitannya dengan kejiwaan. Studi ini berhubungan pula dengan
psikologi proses kreatif. Bagaimana langkah-langkah psikologis ke tika
9
mengekspresikan karya sastra
1
menjadi fokus. Ketiga, penelitian hukum hukum psikologi yang diterapkan pada karya
sastra. Dalam kaitan ini studi da pat diarahkan pada teori-teori psikologi, misalnya
psikoanalisis ke dalam se buah teks sastra. Asumsi dari kajian ini bahwa pengarang
sering menggunakan teori psikologi tertentu dalam penciptaan. Studi ini yang benar-
benar meng angkat teks sastra sebagai wilayah kajian. Keempat, penelitian dampak
psikologis teks sastra kepada pembaca. Studi ini lebih cenderung ke arah aspek-aspek
pragmatik psikologis teks sastra terhadap pembacanya.
Dengan kata lain, tugas penelitian estetika eksperimental psikologi sastr tak
semata-mata menilai karya sastra bermutu "rendah" dan "tinggi". Namur peneliti
sebaiknya lebih ke arah menemukan alasan-alasan tertentu mengar pembaca A
menilai semacam itu atau menyenangi itu. Lebih lanjut, Berly memberikan empat
rumusan untuk meneliti estetik eksperimental, yaitu: (1) s bagian besar rencana
penelitian telah dioperasikan dengan putusan verbal, dengan mencatat secara
psikologis, dengan mengukur perubahan aktivitas of ketika seseorang menonton atau
membaca teks sastra,
(3) mengukur non-ver overt behaviour (perilaku non verbal), untuk mengetahui
mengapa subyek milih karya tertentu dan berapa waktu yang digunakan untuk
memilih, nencoba menganalisis secara statistik tentang artefak atau artistik, dengan
nasatan pada isi.
1
mengenalkan suatu dokumentasi baru kepada mereka yang te pada budaya
kontemporer, (b) untuk memberikan teknik baru kepada mahasiswa siswa agar
memperoleh pengetchauan yang mereka pikirkan dan rasakan tang puisi, (c)
menyiapkan metode edukasional yang lebih efesien untuk ngembangkan daya
pemahaman terhadap puisi. Hasil penelitian Richards te but telah berhasil mencapai
tiga tujuan tersebut. Di samping itu ia juga berh nyata "imaji" menjadi menjadi
sumber kekacauan dari penyimpangan-peny memperoleh kategori kesan mahasiswa
terhadap puisi. Dari penelitian dia pangan kritikal. Imaji yang digerakkan oleh baris,
setting, ternyata tidak terk dengan imaji yang ada dalam benak penyair. Lepas dari
kekurangan Richards, sebenarnya telahmembuka baru dalam penelitian puisi secara
psikologi sastra. Beberapa kekurangan pete wac litiannya, antara lain:
Dari hasil-hasil penelitian estetika eskperimental di atas tampak bahwa ada "jarak"
tertentu pengarang dengan pembaca. "Jarak" ini harus dilalui pem baca dengan
membuat penafsiran yang tepat terhadap teks sastra. Atas dasar it secara psikologis
Hansson (Segers, 2000:78) sempat membuat dua kategori sastra (puisi), yaitu puisi
pengarang dan puisi pembaca. Puisi pengarang merupa kan rekonstruksi proses kreatif
yang memuat tujuan, motivasi, dan pikiran fra Sedangkan puisi pembaca adalah
1
sebuah rekonstruksi pikiran dan ga gasan yang diperoleh setelah proses pembacaan.
1
C. PSIKOANALISA
1) Hubungan Sastra Dan Psikoanalisa
Psikoanalisa adalah wilayah kajian psikologi sastra. Model kajian ini pertama
kali dimunculkan oleh Sigmund Freud (Milner, 1992:43), seorang dok rmuda dari
Wina. Ia mengemukakan gagasannya bahwa kesadaran merupa kan sebagian kecil dari
kehidupan mental sedangkan bagian besarnya adalah ter ketaksadaran atau tak sadar.
Ketaksadaran ini dapat menyublim ke dalam pro s kreatif pengarang. Ketika
pengarang menciptakan tokoh, kadang "bermim Dispi" seperti halnya realitas.
Semakin jauh lagi, pengarang juga sering "gila", SCS sehingga yang dikespresikan
seakan-akan lahir bukan dari kesadarannya.
Id adalah aspek kepribadian yang "gelap" dalam bawah sadar manusia berisi
insting dan nafsu-nafsu tak kenal nilai dan agaknya berupa "energi yang buta". Dalam
perkembangannya tumbuhlah ego yang perilakunya didasarkan atas prinsip kenyataan.
Sementara super ego berkembang mengontrol dorongan dorongan "buta" Id tersebut.
Hal ini berarti ego (das ich) merupakan sistem ke pribadian yang bertindak sebagai
pengarah individu kepada dunia obyek dari kenyataan, dan menjalan fungsinya
berdasarkan prinsip kenyataan. Ego adalah kepribadian implementatif, yaitu berupa
kontak dengan dunia luar. Adapun su per ego (das ueber ich) adalah sistem
kepribadian yang berisi nilai-nilai atau aturan yang bersifat evaluatif (menyangkut baik
buruk).
Dari uraian demikian, dapat diketahui bahwa ada hubungan antara sas tra
dengan psikoanalisa. Hubungan tersebut, menurut Milner (1992:32) ada dua hal,
pertama ada kesamaan antara hasrat-hasrat yang tersembunyi pada setiap manusia
yang menyebabkan kehadiran karya sastra yang mampu menyentu perasaan kita,
karena karya sastra itu memberikan jalan keluar terhadap has hasrat rahasia tersebut.
Kedua, ada kesejajaran antara mimpi dan sastra, dalam hal ini kita menghubungkan
elaborasi karya sastra dengan proses elabor mimpi, yang oleh Freud disebut "pekerjaan
mimpi". Baginya, mimpi s tulisan, yaitu sistem tanda yang menunjuk pada sesuatu
yang berbeda dengan sepen tanda-tanda itu sendiri. Keadaan orang yang bermimpi
adalah seperti penulisyang menyembunyikan pikira pikirannya.
1
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa proses kreativitas pem dalam
menciptakan karyanya sangat dipengaruhi oleh sistem sensor intern y mendorongnya
untuk menyembunyikan atau memutarbalikkan hal-hal penting yang ingin dikatakan
dan mendorongnya untuk mengatakan dalam bentuk ta langsung atau telah diubah.
Jadi karya sastra merupakan ungkapan kejiwaan pengarang, yang menggambarkan
emosi dan pemikirannya. Karya sastra lahir dari endapan pengalaman yang telah
dimasak dalam jiwanya.
Menurut Ratna (2004:343) Terdapat tiga cara yang dapat dilakukan untuk
memahami hubungan antara psikologis dengan sastra. Pertama , memahami unsur
kejiwaan pengarang sebagai penulis, kedua memahami unsur kejiwaan tokoh fiksional
sastra. Ketiga memahami kejiwaan pembaca. Walaupun lebih menyoroti pada tokoh
fiksional dalam penerapanya karena pengaruh analisi struktualisme dimana terjadi
penolakan terhadap objek manusia, unsur-unsur yang berkaitan dengan pengarang
dianggap sebagai kekeliruan biografis. Menurut struktualisme analisis karya sastra
adalah analisis sastra secara otonom, karya sastra dianggap sebagai entitas yatim piatu.
Dengan penjelasan tersebut jelas bahwa hubungan psikologi dan sastra sangat
erat didalam menganalisis karya sastra. Namun psikologi sastra lebih mengacu pada
sastra bukan pada psikologi praktis. Pada penerapanya sastra atau karya sastra-lah
yang menetukan teori, bukan teori yang menentukan sastra. Sehingga dalam penelitian
dipilih dahulu objek karya sastra barulah kemudian menentukan kajian teori psikologis
praktis yang relevan untuk menganalisis.
1. Id
1
kepribadian sepenuhnya sadar dan termasuk dari perilaku naluriah dan primitif.
Menurut
1
Freud, id adalah sumber segala energi psikis, sehingga komponen utama kepribadian.
Id didorong oleh prinsip kesenangan, yang berusaha untuk kepuasan segera dari semua
keinginan, keinginan, dan kebutuhan. Jika kebutuhan ini tidak puas langsung, hasilnya
adalah kecemasan atau ketegangan.
Sebagai contoh, peningkatan rasa lapar atau haus harus menghasilkan upaya
segera untuk makan atau minum. id ini sangat penting awal dalam hidup, karena itu
memastikan bahwa kebutuhan bayi terpenuhi. Jika bayi lapar atau tidak nyaman, ia
akan menangis sampai tuntutan id terpenuhi.
Namun, segera memuaskan kebutuhan ini tidak selalu realistis atau bahkan
mungkin. Jika kita diperintah seluruhnya oleh prinsip kesenangan, kita mungkin
menemukan diri kita meraih hal-hal yang kita inginkan dari tangan orang lain untuk
memuaskan keinginan kita sendiri. Perilaku semacam ini akan baik mengganggu dan
sosial tidak dapat diterima. Menurut Freud, id mencoba untuk menyelesaikan
ketegangan yang diciptakan oleh prinsip kesenangan melalui proses utama, yang
melibatkan pembentukan citra mental dari objek yang diinginkan sebagai cara untuk
memuaskan kebutuhan.
2. Ego
Ego juga pelepasan ketegangan yang diciptakan oleh impuls yang tidak
terpenuhi melalui proses sekunder, di mana ego mencoba untuk menemukan objek di
dunia nyata yang cocok dengan gambaran mental yang diciptakan oleh proses primer
id’s.
3. Superego
1
Hati nurani mencakup informasi tentang hal-hal yang dianggap buruk oleh
orang tua dan masyarakat. Perilaku ini sering dilarang dan menyebabkan buruk,
konsekuensi atau hukuman perasaan bersalah dan penyesalan. Superego bertindak
untuk menyempurnakan dan membudayakan perilaku kita. Ia bekerja untuk menekan
semua yang tidak dapat diterima mendesak dari id dan perjuangan untuk membuat
tindakan ego atas standar idealis lebih karena pada prinsip-prinsip realistis. Superego
hadir dalam sadar, prasadar dan tidak sadar.Maka dari itu timbullah interaksi dari
ketiga unsur unsur diatas yaitu dengan kekuatan bersaing begitu banyak, mudah untuk
melihat bagaimana konflik mungkin timbul antara ego, id dan superego. Freud
menggunakan kekuatan ego istilah untuk merujuk kepada kemampuan ego berfungsi
meskipun kekuatan-kekuatan duel. Seseorang dengan kekuatan ego yang baik dapat
secara efektif mengelola tekanan ini, sedangkan mereka dengan kekuatan ego terlalu
banyak atau terlalu sedikit dapat menjadi terlalu keras hati atau terlalu mengganggu.
Psikologis sastra menetapkan karya sastra sebagai posisi yang lebih dominan.
Atas dasar karya sastra yang sangat luas, dengan tradisi berbeda-beda, unsur psikologis
pun menampilkan aspek yang berbeda-beda. Novel tidak menlukiskan tokoh-tokoh
dari semestaan yang sama, dari pihak novel yang lain. Novel juga tidak menampilkan
tokoh secara individual. Pada dasarnya karakterisasi merupakan multikultural.
1
tidak begitu saja terlihat dengan kasat mata , namun dengan meneliti sastra dengan teori
psikologis yang relevan.
Penerapan penelitian psikologi sastra dalam kajian pernah dilakukan olch M.S.
Hutagalung dalam novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis dan Zainuddin
Fananic (2001) dalam novel Nyali karya Putu Wijaya. Kedua penelitian tersebut
menggunakan teori psikoanalisis Freud untuk membedah novel. Jadi, keduanya jelas
penelitian psikologi sastra yang berpijak pada teks sastra. Asumsi peneliti bahwa
pencipta kedua novel tersebut menerapkan teori psikoanalisis ke dalam karya.
Hal senada juga tampak pada kajian novel Nyali, khususnya mengenai tokoh
utama bernama Kropos. Ia adalah prajurit yang patuh. Maka, ketika di tugasi harus
menyusup ke gerombolan yang kejam bernama Zabaza, Kropos tidak menolak. Dari
situ tokoh ini harus berubah karakter secara tak sadar khat stimulus lingkungan. Pada
saat itu, tokoh Kropos jelas mengalamai teror mental antara kata hati dan harus
melaksanakan kewajiban. Dengan demikian, secara tak sadar tokoh Kropos telah
mengalami perubahan psikologis dalam hi paya Perubahan itu seringkali berada di
alam bawah sadar, sehingga keha dirannya amat cepat dan tidak sadar.
Dengan kata lain, alam bawah sadar yang ditawarkan Freud memang penting
bagi pembahasan psikologi sastra. Psikologi dalam (psikoanalisis) ini memang dapat
mempengaruhi kejiwaan siapa saja termasuk tokoh-tokoh sas Psikoanalisis juga sering
merangsang kepada "keadaan jiwa" pencipta se hingga muncul ide teks sastra. Bahkan
Wordswoth menyebut istilah semacam 02 mi sebagai "genetik" kelahiran sastra
(puisi). Untuk menulis puisi yang baik, penyair harus berada pada keadaan jiwa
tertentu. Hal ini berarti memang benar pernyataan Freud bahwa penyair kadang-
kadang menjadi seorang "pelamun" yang lari dari kenyataan hidup. Baginya,
kreativitas adalah sebuah pelarian (es capism). Keadaan serupa yang mengarahkan
pada studi psikologi sastra terha dap proses kreatif pengarang.
1
Jika memang benar bahwa pencipta sering bersembunyi secara diam dam di
balik karyanya, berarti psikologi sastra dapat mempelajari karya-karya secara
psikologis. Kepribadian seorang pengarang akan tampak juga dalam ke jwaan
karyanya. Karya sastra menjadi "obyek" ekspresi kejiwaan seorang pe ngarang untuk
meluapkan isi hatinya. Gerakan jiwa menjadi pendorong lahir nya sebuah karya sastra.
Di samping itu, peneliti juga dapat memfokuskan diri pada berbagai hal yang
menyangkut kejiwaan seorang pengarang sebagai pribadi. Catatan-catatan pribadi,
peristiwa hidup yang sangat mengesan, kekecewaan, neurosis, phobia, dan sebagainya
seharusnya diteliti lebih jauh oleh peneliti.
Peneliti psikologi sastra pada akhirnya juga dapat meneliti rentetan psiko logi
pembaca. Karya sastra merupakan "teror kejiwaan" yang dapat mempe ngaruhi
kejiwaan pembaca. Teks merupakan rangsangan bawah sadar pada pembaca.
Penelitian semacam ini mau tidak mau harus berhubungan dengan proses komunikasi
kejiwaan. Semakin tinggi tingkat daya rangsang sebuah teks dapat mempengaruhi jiwa
pembaca, berarti semakin berkualitas pula karya ter sebut. Misalkan saja, jika peneliti
mengkaji sebuah mitos Nyi Lara Kidul yang bagi orang Jawa dianggap sakral, jika
karya ini mampu menggerakkan at dar dan bawah sadar penikmat berarti ada titik
keberhasilan. Begitu pula ket orang Jawa memahami mitos Ki Ageng Sela, seakan-
akan jiwa mereka telah terbawa arus kejiwaan karya tersebut.
Kehadiran psikologi sastra memang bukan tanpa tantangan. Dari Welle dan
Warren (1990) sendiri, sebenarnya telah ada peringatan khusus terhada peneliti la
memberikan pernyataan pengarang berhasil membuat tokoh-tokoh nya berlaku sesuai
dengan "kebenaran psikologis" perlu dipertanyakan apakah kebenaran itu bernilai
artistik? Sebab banyak karya besar yang menyimpang dari standar psikologi sezaman
atau sesudahnya. Karya sastra kadang-kadang manyajikan sesuatu yang tidak masuk
akal, fantastis, dan bahkan ada upaya mendramatisasi cukup dominan kehadirannya.
2
Langkah yang perlu dilakukan oleh peneliti psikologi sastra, tidak akan lepas dari
sasaran penelitian. Apakah peneliti sekedar menitikberatkan pada psikologi tokoh dan
atau sampai proses kreativitas pengarang. Yang penting ha rus dilakukan dari sasaran
penelitian tentang psikologi tokoh ada beberapa pro ses, yaitu: Pertama, pendekatan
psikologi sastra menekankan kajian keseluruh an baik berupa unsur instrinsik maupun
ekstrinsik. Namun, tekanan pada unsurinstrinsik, yaitu tentang penokohan dan
perwatakannya.
Kedua, di samping tokoh dan watak, perlu dikaji pula masalah tema karya.
Analisis tokoh seharusnya ditekankan pada nalar perilaku tokoh. Tokoh yang disoroti tak
hanya terfokus pada tokoh utama, baik protagonis maupun antagonis. Tokoh-tokoh
bawahan yang dianggap tak penting pun harus diung kap. Yang lebih penting, peneliti
harus memiliki alasan yang masuk akal ten tang watak tokoh, mengapa oleh pengarang
diberi perwatakan demikian.
Kedua, proses penciptaan perlu digali yaitu tentang motif pencitaan. Misalkan,
mengapa NH. Dini menciptakan novel Pada Sebuah Kapal, Tamsir AS menciptakan
novel Wong Wadon Dinarsih, SH. Mitardja mencipta cerita bersambung Api di Bukit
Menoreh dan sebagainya. Dari sini akan terungkap pakah pengarang memang
mengungkapkan pengalaman batin yang menda ham, atau sekedar ada tekanan tertentu,
misalkan ada tekanan politik. Apakah pengarang sekedar ingin meluapkan rasa kecewa
terhadap pemerintahan, atau ada motif lain.
Ketiga, peneliti dapat pula mengaitkan dengan dampak psikologis karya sebut
terhadap pembaca. Apakah pembaca menjadi paham dengan gambaran psikologis tokoh
atau tidak. Peneliti perlu memasuki wilayah ini agar diketahui seberapa jauh pengaruh
psikologis karya tersebut.
2
Langkah-langkah demikian, sebaiknya dibantu dengan menggunakan lartu-kartu
data sebagai instrumen praktis. Melalui kartu data itu, sebelum pe neliti menuangkan hasil
penelitian, telah mampu membuat kategori-kategori mdata, Gambaran secara keseluruhan
akan segera tampak melalui kartu data ter co sebut.
Oleh karena pengarang adalah seorang "pelamun" dan kadang-kadang juga "gila",
peneliti harus pandai menyelam di dalamnya. Itulah sebabnya, pe neliti perlu sampai pada
titik analisis yang ditunjukkan Nietzsche (Wellek dan Warren, 1989:96) bahwa ada dua
tipe imajinasi sastrawan, yaitu: (1) tipe "plas tis" dan (2) tipa diffluent (cair). Pengarang
tipe "plastis" biasanya mampu 32 membuat citraan visual yang tajam, yang dirangsang
oleh penginderaan dari luar dirinya. Pengarang tipe diffluent yaitu memulai imajinasinya
dari emosi, lalu menungkan melalui irama dan pencitraan.
Sedikit berbeda dengan tipe pengarang yang dikemukakan L Rusu, yaitu: (1) tipe
sympathique (riang, gembira, spontan, kreatif), (2) demoniaque anarchi que, yaitu
pengarang yang agresif dan bersikap menyerang sesuatu, (3) demo nique que ya
pengarang yang mampu perang melawan iblis dan be akhir dengan kemenangan Dari tiga
tipe tersebut, peneliti diharapkan matt menshuni karya yang dihadapi tergolong pada tipe
mana, begitu pula peng nagya Dengan mengetahui tipe tersebut, peneliti akan mampu
menghakin seorang pengarang tertentu mange atau tidak mengekspresikan pengalama
Kajan psikologi sastra jaga dapat menitikberatkankan pada pengan karya tersebut
secara psikologis Dalam kaitan ini, kalau kita membagi katego sastra menjadi tiga
segmen, yaitu sastra anak-anak, sastra remaja dan sastra dewasa-peneliti dapat mengkaji
masing masing segmen lebih mendalam. Ka jan dapat mempergunakan gabungan
pendekatan spikologi dengan resepsi ata pragmatik sastra. Melalui kajian semacam ini,
karya sastra benar-benar akan sampai atau tidak kepada sasarannya.
Pada saat mengkaji psikologi sastra anak, remaja, dewasa, peneliti da pat
mengungkap berbagai hal, antara lain: (1) bagaimana pengaruh karya it terhadap
perkembangan bahasanya. Dari aspek psikologis bahasa seseorang akan dipengaruhi oleh
apa saja yang mereka baca. Jika yang dibaca adalah sas tra yang indah, tentu saja akan
mempengaruhi keindahan bahasanya; (2) pene liti juga perlu mengungkap seberapa jauh
sastra tersebut dapat mempengaruhi aspek-aspek kognitif, konasi (keinginan) anak, dan
emosi (perasaan). Hal ini dapat dibayangkan ketika anak-anak suntuk menonton film
anak- anak di tele visi, ternyata mereka mudah bergerak jiwanya, bahkan satu dua anak
ada yang mencoba meniru-niru gerakan anak dalam film tersebut. Pada saat remaja me
nonton dan membaca cerita romantik, seringkali tergerak jiwanya ingin berbuat seperti
yang ada dalam cerita. Begitu pula orang dewa seringkali terbakar jiwa nya setelah
membaca atau menonton pertunjukan sastra.
Di samping itu, dalam kaitannya dengan aspek pragmatik, kajian psikologi sastra
dapat diarahkan pada perubahan kepribadian seseorang setelah menikinati karya sastra.
Manakala seseorang menjadi lebih arif ketika membaca sastra, berarti secara psikologis
telah terpengaruh oleh karya tersebut. Hal ini dapat dipahami ketika masyarakat Jawa
2
membaca karya-karya klasik, misalkan Serat Tripama, Serat Wedatama, Serat Centhini,
dan sebagainya - sering terpe ngaruh sehingga ingin menyontoh kepribadian yang
dipesankan oleh pujangga.
BAB III
PENUTUP
A. kesimpulan
Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai aktivitas
kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karya dalam berkarya. Begitu
pula pembaca, dalam menanggapi karya juga tak akan lepas dari kejiwaan masing-
masing. Bahkan, sebagaimana sosiologi refleksi, psikologi sastra pun mengenal karya
sastra sebagai pantulan kejiwaan. Pengarang akan menangkap gejala jiwa kemudian
2
diolah ke dalam teks
2
dan dilengkapi dengan kejiwaannya. Proyeksi pengalaman sendiri dan pengalaman hidup
di sekitar pe ngarang, akan terproyeksi secara imajiner ke dalam teks sastra.
B. Saran
Adapun saran yang dapat penyusun sampaikan yaitu kita sebagai seorang
mahasiswa harus selalu menggali potensi yang ada pada diri kita. Cara menggali potensi
dapat dilakukan salah satunya dengan cara mempelajari makalah ini. Tulisan ini dapat
digunakan sebagai pengayaan untuk menambah pengetahuan dan mendapatkan informasi
tentang apa yang telahdidiskusikan dan menggunakan informasi tersebut bermanfaat
untuk menambah pengetahuan bagi kami khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Mudah- mudahan makalah ini dapatbermanfaatuntukkitakedepannya.
Amin...
DAFTAR PUSTAKA
Atmaja, Jiwa. 1988. "Psikologi Versus Sastra". Yogyakarta: Basis, Juni, No.XXXVII.
Hardjana, Andre. 1985. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Milner, Max. 1992. Freud dan Interpretasi Sastra. Jakarta: Intermassa.
Segers, Rien, T. 2000. Evaluasi Teks Sastra. Terjemahan Suminto A Sayur
Yogyakarta: Adicita.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusasteraan Terjemahan Me lani
Budianto. Jakarta: Gramedia.
Wiyono, Harun. 1974. Hubungan Antara Sastra dan Masyarakat. Yogyakarta
Pidato Pengukuhan Lektor Kepala, tanggal 20 Juli.