Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

“PENELITIAN PESIKOLOGI SASTRA”

Dosen Pengampu:

Dr. Sutardi S. S. M. Pd

Disusun oleh:

1. Muhammmad Ali Fauzi (20032047)


2. Riska Maghfiroh Alawiyah (20032048)
3. Pu’ani Anggi Sugiharti (20032103)

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU

PENDIDIKAN PENDIDIKAN BAHASA DAN

SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS ISLAM

DARUL ULUM LAMONGAN

TAHUN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah kami sampaikan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan
hidayahNya sehingga penulisan makalah ini dapat saya selesaikan sesuai dengan rencana,
dengan judul “Penelitian psikologi Sastra ”.

Tak lupa marilah kita sampaikan shalawat beserta salam kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam kebodohan kepala alam yang penuh
dengan ilmu pengetahuan.

Dan terima kasih kepada Bapak Dosen Dr. Sutardi S. S. M. Pd. Selaku pembimbing mata
kuliah penelitian sastra yang telah membimbing kami dalam penyusunan makalah ini. Kami
menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami dengan senang hati
menerima kritik dan saran yang dimaksud untk menyempurnakan makalah ini yang bersifat
membangun.

Lamongan, 9 Januari 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................i

DAFTAR ISI.......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. Latar Belakang..........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................................2
C. Tujuan.......................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................3
A. Landasan Pijak Psikologi Sastra.............................................................................3
B. Pendekatan Psikologi Sastra....................................................................................7
1) Beberapa Kemungkinan Kajian........................................................................7
2) Kajian Estetika Eksperimental..........................................................................8
C. Psikoanalisa............................................................................................................10
1) Hubungan Sastra dan Psikoanalisa...................................................................10
2) Alam Bawah Sadar.........................................................................................14
D. Langkah dan proses analisis...................................................................................16

BAB III PENUTUP.............................................................................................................19

A. Kesimpulan...............................................................................................................19
B. Saran.........................................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................20

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sastra adalah kegiatan kreatif yang menjadi alat mengekspresikan dan


menyampaikan pesan ataupun perasaan manusia. Manusia berinteraksi dan bersosialisasi
,banyak sekali cerita dan inspirasi yang harus diutarakan karena sifat mendasar manusia
sendiri sebagai makhluk sosial. Sehingga munculah karya sastra baik novel, puisi dan
lain- lain yang dijadikan alat mengekspresikan dan mengutarakan pesan tersebut.
Perkembangan sastra pesat sekali berkembang dan timbulah sastra sebagai cabang ilmu
untuk mengkritisi suatu karya sastra, yaitu kritik sastra. Sastra juga cabang ilmu
pengetahuan yang dewasa ini didalami dan dikaji oleh para pakar sastra. Studi sastra
memiliki metode-metode yang absah dan ilmiah, walau tidak selalu sama dengan metode
ilmu-ilmu alam. Hanya saja ilmu-ilmu alam berbeda dengan tujuan ilmu-ilmu budaya.
Ilmu-ilmu alam mempelajari fakta-fakta yang berulang, sedangkan sejarah mengkaji
fakta- fakta yang silih berganti. Karya sastra pada dasarnya bersifat umum dan sekaligus
bersifat khusus, atau lebih tepat lagi : individual dan umum. Studi sastra adalah sebuah
cabang ilmu pengetahuan yang berkembang terus-menerus.

Dengan berkembangannya ilmu tentang sastra maka bukan hanya unsur-unsur


yang terdapat didalam sebuah karya sastra saja yang dapat dikaji atau analisis tetapi pada
saat ini sastra juga dapat dikaji berdasarkan faktor-faktor yang berasal dari luar sastra itu.
Faktor-faktor dari luar karya sastra yaitu sosiologi sastra, psikologi sastra serta
antropologi sastra. Sosiologi sastra dianalisis dalam kaitannya dengan masyarakat yang
menghasilkannya sebagai latar belakang sosialnya. Antropologi sastra, dibangun atas
dasar asumsi-asumsi genesis, dalam kaitannya dengan asal usul sastra.

Psikologi Sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan relevansi dan


peranan studi psikologis. Artinya, psikologi turut berperan penting dalam penganalisisan
sebuah karya sastra dengan bekerja dari sudut kejiwaan karya sastra tersebut baik dari
unsur pengarang, tokoh, maupun pembacanya. Dengan dipusatkannya perhatian pada
tokoh-tokoh, maka akan dapat dianalisis konflik batin yang terkandung dalam karya
sastra. Jadi, Secara umum dapat disimpulkan bahwa hubungan antara sastra dan
psikologi sangat erat hingga melebur dan melahirkan ilmu baru yang disebut dengan
“Psikologi Sastra”.

Analisis Teori Psikologi Sastra yang dilanjutkan dengan Teori Psikoanalisis dan
diaplikasikan dengan meminjam teori kepribadian ahli psikologi terkenal Sigmund
Freud. Dengan meletakkan teori Freud sebagai dasar penganalisisan, maka pemecahan
masalah akan gangguan kejiwaan tokoh utama akan dapat dijembatani secara bertahap.
Didalam makalah ini akan dikaji secara terperinci tentang psikologi sastra dan
pengaplikasiannya.

1
B. Rumusan Masalah
1 Apa defenisi Psikologi Sastra?

2
2 Apa hubungan sastra dan pesikoanalisa?
3 Apa saja langkah-langkah dan proses analisis?
C. Tujuan Penulisan
1 Mengetahui defenisi Psikologi Sastra?
2 Mengetahui hubungan sastra dan pesikoanalisa?
3 Mengetahui langkah-langkah dan proses analisis?

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Landasan Pijak Psikologi Sastra

Asumsi dasar penelitian pesikologi sastra antara laindi pengaruhiolehbeberapa hal


Pertama, adanya anggapan bahwa karya sastra merupakan prodak dari suatu kejiwaan dan
pemikiran pengarang yang berada pada siatuasi setengah sadar atau subconcious setelah
jelas baru dituangkan ke dalam bentuk secara sadar (conscious). Antara sadar dan tak
sadar selalu mewarnai dalam proses imajinasi pengarang. Kekuatan karya sastra dapat
dilihat seberapa jauh pengarang mampu mengungkapkan ekspresi kejiwaan yang tak
sadar itu ke da lam sebuah cipta sastra.

Kedua, kajian psikologi sastra di samping meneliti perwatakan tokoh secara


psikologis juga aspek-aspek pemikiran dan perasaan pengarang ketika menciptakan karya
tersebut. Seberapa jauh pengarang mampu menggambarkan perwatakan tokoh sehingga
karya menjadi semakin hidup. Sentuhan-sentuhan emosi melalui dialog atau pun
pemilihan kata, sebenarnya merupakan gambaran kekalutan dan kejernihan batin
pencipta. Kejujuran batin itulah yang akan me nyebabkan orisinalitas karya.

Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai aktivitas
kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karya dalam berkarya. Begitu
pula pembaca, dalam menanggapi karya juga tak akan lepas dari kejiwaan masing-
masing. Bahkan, sebagaimana sosiologi refleksi, psikologi sastra pun mengenal karya
sastra sebagai pantulan kejiwaan. Pengarang akan menangkap gejala jiwa kemudian
diolah ke dalam teks dan dilengkapi dengan kejiwaannya. Proyeksi pengalaman sendiri
dan pengalaman hidup di sekitar pe ngarang, akan terproyeksi secara imajiner ke dalam
teks sastra.

Wellek dan Austin (1989), Psikologi secara sempit dapat diartikan sebagai ilmu
tentang jiwa. Sedangkan sastra adalah ilmu tentang karya seni dengan tulis-menulis.
Maka jika diartikan secara keseluruhan, psikologi sastra merupakan ilmu yang mengkaji
karya sastra dari sudut kejiwaannya. Ratna (2004:340)

Istilah psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan pengertian. Yang pertama


adalah studi psikologi pengarang . Yang kedua adalah studi proses kreatif. Yang ketiga
studi psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Dan yang keempat mempelajari
dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca). Namun didasarkan pada pendekatan
psikologis lebih dekat dengan pengarang dan karya sastra maka lebih berhubungan pada
tiga gejala utama yaitu, pengarang, karya sastra dan pembaca Ratna (2004:61) .Maka
pendekatan psikologis sastra pada pengarang lebih pada pada pendekatan ekspresif, yaitu
kepengarangan. Pada karya sastra lebih pada pendekatan objektif.

Menurut Ratna (2004:350), “Psikologi Sastra adalah analisis teks dengan


mempertimbangkan relevansi dan peranan studi psikologis”. Artinya, psikologi turut
4
berperan penting dalam menganalisis sebuah karya sastra dengan bekerja dari sudut
kejiwaan karya sastra tersebut baik dari unsur pengarang, tokoh, maupun pembacanya.
Dengan dipusatkannya perhatian pada tokoh-tokoh, maka akan dapat dianalisis konflik
batin yang terkandung dalam karya sastra. Secara umum dapat disimpulkan bahwa
hubungan antara sastra dan psikologi sangat erat hingga melebur dan melahirkan ilmu
baru yang disebut dengan “Psikologi Sastra”. Artinya, dengan meneliti sebuah karya
sastra melalui pendekatan Psikologi Sastra, secara tidak langsung kita telah
membicarakan psikologi karena dunia sastra tidak dapat dipisahkan dengan nilai kejiwaan
yang mungkin tersirat dalam karya sastra tersebut.

Dari beberapa pendapat para ahli mengenai psikologi sastra, dapat ditarik benang
merah mengenai definisi psikologis satra yaitu kajian teori konsep psikologi yang
diterapkan pada karya sastra pada pengarang dan penokohan. Namun dalam terapannya
psikologis sastra lebih memberikan pada unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional
yang terkandung dalam karya sastra.

Psikologis sastra tidak bermaksud untuk memecahkan masalah psikologis praktis


seperti kejiwaan manusia. Namun memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung
dalam suatu karya sastra. Meskipun demikian psikologi sastra tidak terlepas dalam
kebutuhan masyarakat. Secara tidak langsung karya sastra memberikan pemahaman dan
inspirasi terhadap masyarakat.

Karya sastra yang dipandang sebagai fenomena psikologis, akan me nampilkan


aspek-aspek kejiwaan melalui tokoh-tokoh jika kebetulan teks berupa drama maupun
prosa. Sedangkan jika berupa puisi, tentu akan tampil melalui lirik-lirik dan pilihan kata
yang khas. Di samping memang ada puisi lirik atau pis dan atau balada yang memuat
tokoh tertentu, Berarti ada benarnya bila Jaman (1985:165) berpendapat bahwa karya
sastra dan psikologi memang me mk pertautan yang erat, secara tak langsung dan
fungsional. Pertautan tak lang ng, karena baik sastra maupun psikologi memiliki objek
yang sama yaitu ke Japan manusia. Psikologi dan sastra memiliki hubungan fungsional
karena sama-sama untuk mempelajari keadaan kejiwaan orang lain, bedanya dalam psi
ologi gejala tersebut riil, sedangkan dalam sastra bersifat imajinatif.

Semula memang ada keraguan bahwa aspek psikologi bisa masuk ke alam teks
sastra. Hal ini pernah dilontarkan Derrida: "what is a text, and when the psyche be if it
can be represented by a text?", Karaguan ini cukup menggoda, karena peneliti harus
mampu mencermati aspek-aspek psikologis yang tersimpan dalam teks. Padahal, aspek-
aspek tersebut sangat abstrak. Me sulit disangkal bahwa pemahaman teks sastra
membutuhkan ilmu bantu kologi karena karya sastra menyangkut aspek kejiwaan
manusia pula, na mang mun ini sering menjadi problem rumit.

Lebih rumit lagi, kalau psikologi sastra tadi telah menjangkau ihwal psi Ioanalisis
tentu menjadi persoalan yang tidak Penelitian ke arah ke aksadaran dalam sastra dan
terutama menyangkut psikologi bawah sadar tentu membutuhkan kecermatan. Dan yang
lebih penting lagi, tentu penelitian psiko bgi sastra perlu ekstra hati-hati, agar jangan
sampai

5
peneliti hanya terjebak pada penokohan pada genre novel atau cerpen. Psikologi sastra
tentu lebih luas dari itu semua, sekurang-kurangnya akan menyangkut aspek kesadaran,
ketak adaran, penalaran, dan imajinasi.

Penelitian psikologi sastra, lama-kelamaan menunjukkan kecemerlangan di


beberapa perguruan tinggi sastra. Hal ini disebabkan oleh ketidakpuasan pe elitian
sebelumnya, yaitu penelitian sosiologi sastra atau yang lain yang di anggap kurang
memperhatikan aspek pesikologis. Padahal, karya sastra meru pakan cerminan psikologis
pengarang dan sekaligus memiliki daya psikologis terhadap pembaca.

(Kegunaan atau fungsi psikologi sastra)

Psikologi atau psikoanalisis dapat mengklasifikasikan pengarang berdasar tipe


psikologi dan tipe fisiologisnya. Psikoanalasisis dapat pula menguraikan kelainan jiwa
bahkan alam bawah sadarnya. Bukti-bukti itu diambil dari dokumen di luar karya sastra
atau dari karya sastra itu sendiri. Untuk menginteprestasikan karya sastra sebagai bukti
psikologis, psikolog perlu mencocokannya dengan dokumen-dokumen diluar karya sastra.

Psikoanalisis dapat digunakan untuk menilai karya sastra karena psikologi dapat
menjelaskan proses kreatif. Misalnya, kebiasaan pengarang merevisi dan menulis kembali
karyanya. Yang lebih bermanfaat dalam psikoanalisis adalah studi mengenai perbaikan
naskah, koreksi, dan seterusnya. Hal itu, berguna karena jika dipakai dengan tepat dapat
membantu kita melihat keretakan ( fissure ), ketidakteraturan, perubahan, dan distorsi
yang sangat penting dalam suatu karya sastra.

(Proses Kreatif Sastra dalam psikoanalisis)

Psikoanalisis menyimpulkan proses kreatif (proses terciptanya) karya sastra ke


dalam dua cara.

1. Sublimasi

Konsep sublimasi terkait dengan konsep ketidaksadaran. Sebagaimana telah


diuraikan di atas, dalam lapisan taksadar manusia terdapat id yang selalu menginginkan
pemuasan dan kesenangan. Seringkali keinginan id itu bertentangan dengan superego
maupun norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, dan karenanya keinginan itu tidak
mungkin direalisasikan, kecuali orang tersebut mau dianggap tidak sopan, jahat, cabul,
dsb.

Tetapi dorongan-dorongan tersebut tetap harus dipuaskan. Tetapi agar dapat


diterima oleh norma masyarakat, dorongan-dorongan itu lalu dialihkan ke dalam bentuk
lain yang berbeda sama sekali, misalnya dalam bentuk karya seni, ilmu, atau aktivitas
olah raga. Proses pengalihan dorongan id ke dalam bentuk yang dapat diterima
masyarakat itu disebut sublimasi.

Menurut Freud, sublimasi inilah yang menjadi akar dari kebudayaan manusia.
Dalam sublimasi, terkandung kreativitas atau kemampuan menghasilkan sesuatu yang
baru. Puisi, novel, lukisan, teori keilmuan, aktivitas olah raga, pembuatan peralatan

6
teknik,

7
bahkan agama, sebenarnya merupakan bentuk lain dari dorongan-dorongan id yang telah
dimodifikasi.

2. Asosiasi

Di samping tafsir mimpi, teknik terapi yang dikembangkan Freud dalam


psikoanalisisnya adalah asosiasi bebas (free association). Asosiasi bebas adalah
pengungkapan atau pelaporan mengenai hal apapun yang masuk dalam ingatan seseorang
yang tengah dianalisis, tanpa menghiraukan betapa hal tersebut akan menyakitkan hati
atau memalukan. Dalam situasi terapi, biasanya pasien berada dalam posisi berbaring
santai di atas ranjang, dan terapis duduk di sampingnya. Terapis memerintahkan pasien
untuk mengucapkan hal apapun yang terlintas dalam pikirannya. Jika pasien agak sulit
mengatakan sesuatu, terapis bisa membantu merangsang asosiasi pada pikiran pasien
dengan mengucapkan kata-kata tertentu.

Asosiasi bebas, atau “asosiasi” saja, sebenarnya merupakan suatu teknik yang
sudah lama dipraktikkan oleh para seniman dan pengarang untuk memeroleh ilham.
Ketika proses penulisan dimulai, pengarang yang menggunakan teknik asosiasi akan
menuliskan apa saja yang masuk ke dalam pikirannya. Setelah ilhamnya habis, barulah ia
memeriksa tulisannya dan mengedit, menambah atau mengurangi, dan menentukan
sentuhan akhir. Seringkali dalam melakukan asosiasi ini, pengarang mengingat-ingat
segala kejadian yang pernah dialaminya, khususnya kejadian di masa anak-anak, atau
memunculkan kembali pikiran- pikiran dan imajinasinya yang paling liar. Itulah dorongan
id yang sedang dipanggil kembali.

Pada sebagian pengarang, asosiasi itu dibantu pemunculannya dengan melakukan


“ritual” tertentu, atau memilih waktu-waktu dan tempat tertentu, yang khas bagi
pengarang itu sehingga ide atau ilhamnya mudah mengalir. Wellek dan Warren
memberikan contoh- contoh menarik dari kebiasaan aneh para pengarang. Schiller suka
menaruh apel busuk di atas meja kerjanya. Balzac menulis sambil memakai baju
biarawan. Marcel Proust dan Mark Twain menulis sambil berbaring di ranjang.
Sementara pengarang di negeri kita, misalnya Emha Ainun Najib suka menulis dengan
menggunakan kertas warna-warni. Sewaktu di Bloomington, Budi Darma senang
berjalan-jalan tak tentu arah dan tujuan, sekadar menikmati pemandangan yang ada di
sekelilingnya. Ada pengarang yang lebih terinspirasi kalau menulis di malam hari, ada
juga yang lebih suka menulis di pagi hari atau senja hari. Ada yang hanya bisa menulis di
tempat sepi, ada juga yang menulis di tempat ramai seperti di kafe. Itu semua bergantung
pada kebiasaan pengarang yang bersangkutan.

Itulah di antaranya konsep-konsep psikoanalisis yang dapat dihubungkan dengan


seni sastra. Berdasarkan teori Freud, sedikit dapat disimpulkan bahwa sumber ide karya
seni adalah id yang berada dalam ketidaksadaran kita, dan sebagian dari kesadaran.
Sedangkan proses munculnya ide itu dalam pikiran adalah melalui sublimasi dan asosiasi.

B. Pendekatan Psikologi Sastra


8
1. Beberapa Kemungkinan Kajian

Pada dasarnya, psikologi sastra akan ditopang oleh tiga pendekatan se kaligus.
Pertama, pendekatan tekstual, yang mengkaji aspek psikologis toko dalam karya
sastra. Kedua, pendekatan reseptif-pragmatik, yang mengkaji aspek psikologis
pembaca sebagai penikmat karya sastra yang terbentuk dari pngaruh karya yang
dibacanya, serta proses resepsi pembaca dalam menikma karya sastra. Ketiga,
pendekatan ekspresif, yang mengkaji aspek psikologis sang penulis ketika melakukan
proses kreatif yang terproyeksi lewat karyanya, baik penulis sebagai pribadi maupun
wakil masyarakatnya (Roekhan, 1990:88).

Penelitian psikologi sastra dari aspek tekstual, semula memang tak bis lepas
dari prinsip-prinsip Freud tentang psikologi dalam. Buku Freud t interpretasi mimpi
dalam teks sastra, telah banyak mengilhami para peneliti p kologi teks. Apalagi, buku
ini belakangan telah diterjemahkan ke dalam bahas Indonesia, tentu lebih mudah
dipahami oleh ilmuwan kita.

Yang lebih penting lagi, peneliti psikologi sastra hendaknya mamp menggali
sistem berpikir, logika, angan-angan, dan cita-cita hidup yang ekspre sif dan tidak
sekedar sebuah rasionalisasi hidup. Perasaan takut, phobi, wa was, histeris, aman, dan
sebagainya juga menjadi obyek kajian psikologi sastra yang amat pelik. Apalagi,
kalau teks sastra telah melonjak ke gambaran Freud tentang illution yang sulit
dikendalikan dan dikontrol, peneliti sering mengalami kebingungan. Untuk itu
sebenarnya Holland (Fananie, 2001:181) memeberikan landasan psikoanalisis sebagai
berikut:

1) histeri, manic, dan schizophrenic,


2) Freud dan pengikutnya menambah dengan tipe perilaku birahi, seperti
anal, phallic oral, genital, dan urethral,
3) defence, expectation, fantasy, tranformation.

Berbagai hal ini merupakan obyek garap psikoanalisis yang akan ter ungkap
dalam teks sastra. Dari sini peneliti dituntut untuk mengungkap apakah teks sastra,
melalui pelaku-pelakunya dapat merefleksikan unsur di atas atau ti dak. Dari situ pula
akan muncul hal-hal yang menyebabkan faktor kejiwaan dominan dalam sebuah teks
sastra. Peneliti juga seharusnya tidak terpaku pada kajian narasi dalam substansi
karakter tokoh saja, melainkan perlu mencermat apakah hal tersebut berhubungan
dengan realitas atau tidak. Sejauhmana pe ngarang mampu menghadirkan unsur-unsur
di atas sebagai fenomena indiv dual atau sosial.

Dalam pandangan Wellek dan Warren (1990) dan Hardjana (1985: 60 61),
psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan penelitian. Pertama, pe nelitian
terhadap psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Studi ini ini
cenderung ke arah psikologi seni. Peneliti berusaha menangkap kondis kejiwaan
seorang pengarang pada saat menelorkan karya sastra. Kedua, peneli tian proses
kreatif dalam kaitannya dengan kejiwaan. Studi ini berhubungan pula dengan
psikologi proses kreatif. Bagaimana langkah-langkah psikologis ke tika
9
mengekspresikan karya sastra

1
menjadi fokus. Ketiga, penelitian hukum hukum psikologi yang diterapkan pada karya
sastra. Dalam kaitan ini studi da pat diarahkan pada teori-teori psikologi, misalnya
psikoanalisis ke dalam se buah teks sastra. Asumsi dari kajian ini bahwa pengarang
sering menggunakan teori psikologi tertentu dalam penciptaan. Studi ini yang benar-
benar meng angkat teks sastra sebagai wilayah kajian. Keempat, penelitian dampak
psikologis teks sastra kepada pembaca. Studi ini lebih cenderung ke arah aspek-aspek
pragmatik psikologis teks sastra terhadap pembacanya.

Penelitian psikologi sastra memang memiliki landasan pijak yang ko toh


Karena, baik sastra maupun psikologi sama-sama mempelajari hidup ma Bedanya,
kalau sastra mempelajari manusia sebagai ciptaan imajinasi pe g sedangkan psikologi
mempelajari manusia sebagai ciptaan Illahi se cara nil. Namun, sifat-sifat manusia
dalam psikologi maupun sastra sering me unjukkan kemiripan, sehingga psikologi
sastra memang tepat dilakukan. Mes pun karya sastra bersifat kreatif dan imajiner,
pencipta tetap sering memanfa kan hukum-hukum psikologi untuk menghidupkan
karakter tokoh-tokohnya. Pencipta sadar atau tidak telah menerapkan teori psikologi
secara diam-diam.

2. Kajian Estetika Eksperimental

Penelitian psikologi sastra lebih menitikberatkan pada aspek funtioning and


mind 'pikiran manusia' (Segers, 2000:73). Fungsi termaksud akan ber bungan dengan
istilah Berlyne tentang experimental esthetics. Yakni, peneliti akan menggunakan
responden kurang lebih 25-an, jauh lebih kecil dari peneli san sosiologi sastra resepsi.
Peneliti akan mengaitkan estetika eksperimental se bagai studi pengaruh efek-efek
motivasional dari teks sastra pada penerimanya. Efek motivasional ini akan tampak
melalui aspek kolatif, yaitu sebuah stimulus yang muncul dalam teks sastra. Aspek
kolatif merupakan bagian teks yang da membangkitkan perasaan, misalnya kebaruan
(novelty), surprising (keterke a) complexity (kemajemukan), ambiguity (ambiguitas),
dan puzzlingnes eterteka-tekian).

Dengan kata lain, tugas penelitian estetika eksperimental psikologi sastr tak
semata-mata menilai karya sastra bermutu "rendah" dan "tinggi". Namur peneliti
sebaiknya lebih ke arah menemukan alasan-alasan tertentu mengar pembaca A
menilai semacam itu atau menyenangi itu. Lebih lanjut, Berly memberikan empat
rumusan untuk meneliti estetik eksperimental, yaitu: (1) s bagian besar rencana
penelitian telah dioperasikan dengan putusan verbal, dengan mencatat secara
psikologis, dengan mengukur perubahan aktivitas of ketika seseorang menonton atau
membaca teks sastra,
(3) mengukur non-ver overt behaviour (perilaku non verbal), untuk mengetahui
mengapa subyek milih karya tertentu dan berapa waktu yang digunakan untuk
memilih, nencoba menganalisis secara statistik tentang artefak atau artistik, dengan
nasatan pada isi.

Penerapan eksperimintal dalam psikologi sastra, pernah dilakukan Richards


(1929) khususnya pada mahasiswa di Inggris. Penelitian itu bertu (a) untuk

1
mengenalkan suatu dokumentasi baru kepada mereka yang te pada budaya
kontemporer, (b) untuk memberikan teknik baru kepada mahasiswa siswa agar
memperoleh pengetchauan yang mereka pikirkan dan rasakan tang puisi, (c)
menyiapkan metode edukasional yang lebih efesien untuk ngembangkan daya
pemahaman terhadap puisi. Hasil penelitian Richards te but telah berhasil mencapai
tiga tujuan tersebut. Di samping itu ia juga berh nyata "imaji" menjadi menjadi
sumber kekacauan dari penyimpangan-peny memperoleh kategori kesan mahasiswa
terhadap puisi. Dari penelitian dia pangan kritikal. Imaji yang digerakkan oleh baris,
setting, ternyata tidak terk dengan imaji yang ada dalam benak penyair. Lepas dari
kekurangan Richards, sebenarnya telahmembuka baru dalam penelitian puisi secara
psikologi sastra. Beberapa kekurangan pete wac litiannya, antara lain:

1) tidak mempergunakan teknik statistik yang cangg bahkan terkesan agak


subyektif, ketika memanfaatkan analisis konten.
2) tampak mereduksi behaviuristik terhadap puisi. Bahkan, Wellek dan Warre
dengan seksama mengamati bahwa tulisan Richards tampak perbedaan
estetika dan emosi-emosi dihilangkan. Bahkan puisi terpaksa dikurangi
fungsinya sebe gai sarana untuk memolakan impuls-impuls kita serta menjadi
alat terapi metal.
3) pemilihan responden mahasiswa tingkat I-II, dianggap kurang signifika jika
harus melaporkan hasil pengalaman pembacaan puisi yang diharapkan Oleh
karena, mereka tentu baru sedikit memiliki pengalaman pembacaan puisi.

Dari kekurangan demikian, tampak bahwa penelitian psikologi sastra memang


membutuhkan kecermatan beberapa hal, yaitu pemilihan metode an lisis, hubungan
puisi dengan tingkah laku, dan pemilihan responden. Kecer matan berbagai hal ini,
jika dapat dikurangi tentu akan menambah bobot has penelitian. Itulah sebabnya
James R Squire mencoba mengurangi beberapa ke salahan Richards di atas dengan
cara mengadakan penelitian eksperimen terha dap 52 siswa. Jumlah responden sekian
ini, tampaknya juga jauh lebih mewa kili subyek penelitian. Bahan yang digunakan
adalah cerpen yang telah terse leksi, yaitu memuat perkembangan personal. Dengan
analisis isi, penelitian in dapat mengumpulkan tujuh kategori reaksi responden, yaitu:
putusan nilai, reaksi interpretatif, reaksi naratif, asosiasi psikologis, reaksi yang
menyangkut keterlibatan, reaksi preskriptif, dan keanekaragaman reaksi yang lain.
Hasil ter penting dari penelitian ini adalah: (a) perbedaan jenis kelamin bukan faktor
pe nentu dalam reaksi, (b) ada korelasi antara keterlibatan pembaca dengan nilai
sastrawi cerita, (c) hanya sebagian kecil siswa yang menghubungkan antara ce rita
dengan kehidupan sehari-hari, (d) inteligensi tidak dapat untuk meramal kan hasil
interpretasi.

Dari hasil-hasil penelitian estetika eskperimental di atas tampak bahwa ada "jarak"
tertentu pengarang dengan pembaca. "Jarak" ini harus dilalui pem baca dengan
membuat penafsiran yang tepat terhadap teks sastra. Atas dasar it secara psikologis
Hansson (Segers, 2000:78) sempat membuat dua kategori sastra (puisi), yaitu puisi
pengarang dan puisi pembaca. Puisi pengarang merupa kan rekonstruksi proses kreatif
yang memuat tujuan, motivasi, dan pikiran fra Sedangkan puisi pembaca adalah
1
sebuah rekonstruksi pikiran dan ga gasan yang diperoleh setelah proses pembacaan.

1
C. PSIKOANALISA
1) Hubungan Sastra Dan Psikoanalisa

Psikoanalisa adalah wilayah kajian psikologi sastra. Model kajian ini pertama
kali dimunculkan oleh Sigmund Freud (Milner, 1992:43), seorang dok rmuda dari
Wina. Ia mengemukakan gagasannya bahwa kesadaran merupa kan sebagian kecil dari
kehidupan mental sedangkan bagian besarnya adalah ter ketaksadaran atau tak sadar.
Ketaksadaran ini dapat menyublim ke dalam pro s kreatif pengarang. Ketika
pengarang menciptakan tokoh, kadang "bermim Dispi" seperti halnya realitas.
Semakin jauh lagi, pengarang juga sering "gila", SCS sehingga yang dikespresikan
seakan-akan lahir bukan dari kesadarannya.

Dalam kajian psikologi sastra, akan berusaha mengungkap psikoanalisa


kepribadian yang dipandang meliputi tiga unsur kejiwaan, yaitu: id, ego, dan super
ego. Ketiga sistem kepribadian ini satu sama lain saling berkaitan serta membentuk
totalitas, dan tingkah laku manusia yang tak lain merupakan prduk interaksi ketiganya.
Id (das es) adalah sistem kepribadian manusia yang paling dasar. Dalam pandangan
Atmaja (1988:231) Id merupakan acuan pen ting untuk memahami mengapa
seniman/sastrawan menjadi kreatif. Melalui Id pula sastrawan mampu menciptakan
simbol-simbol tertentu dalam karyanya. Jadi apa yang kemudian dinamakan novel
psikologis misalnya ternyata meru pakan karya yang dikerjakan berdasarkan
interpretasi psikologis yang sebelum aya telah menerima perkembangan watak untuk
kepentingan struktur plot.

Id adalah aspek kepribadian yang "gelap" dalam bawah sadar manusia berisi
insting dan nafsu-nafsu tak kenal nilai dan agaknya berupa "energi yang buta". Dalam
perkembangannya tumbuhlah ego yang perilakunya didasarkan atas prinsip kenyataan.
Sementara super ego berkembang mengontrol dorongan dorongan "buta" Id tersebut.
Hal ini berarti ego (das ich) merupakan sistem ke pribadian yang bertindak sebagai
pengarah individu kepada dunia obyek dari kenyataan, dan menjalan fungsinya
berdasarkan prinsip kenyataan. Ego adalah kepribadian implementatif, yaitu berupa
kontak dengan dunia luar. Adapun su per ego (das ueber ich) adalah sistem
kepribadian yang berisi nilai-nilai atau aturan yang bersifat evaluatif (menyangkut baik
buruk).

Dari uraian demikian, dapat diketahui bahwa ada hubungan antara sas tra
dengan psikoanalisa. Hubungan tersebut, menurut Milner (1992:32) ada dua hal,
pertama ada kesamaan antara hasrat-hasrat yang tersembunyi pada setiap manusia
yang menyebabkan kehadiran karya sastra yang mampu menyentu perasaan kita,
karena karya sastra itu memberikan jalan keluar terhadap has hasrat rahasia tersebut.
Kedua, ada kesejajaran antara mimpi dan sastra, dalam hal ini kita menghubungkan
elaborasi karya sastra dengan proses elabor mimpi, yang oleh Freud disebut "pekerjaan
mimpi". Baginya, mimpi s tulisan, yaitu sistem tanda yang menunjuk pada sesuatu
yang berbeda dengan sepen tanda-tanda itu sendiri. Keadaan orang yang bermimpi
adalah seperti penulisyang menyembunyikan pikira pikirannya.

1
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa proses kreativitas pem dalam
menciptakan karyanya sangat dipengaruhi oleh sistem sensor intern y mendorongnya
untuk menyembunyikan atau memutarbalikkan hal-hal penting yang ingin dikatakan
dan mendorongnya untuk mengatakan dalam bentuk ta langsung atau telah diubah.
Jadi karya sastra merupakan ungkapan kejiwaan pengarang, yang menggambarkan
emosi dan pemikirannya. Karya sastra lahir dari endapan pengalaman yang telah
dimasak dalam jiwanya.

(Hubungan Psikologis dengan Sastra)

Menurut Ratna (2004:343) Terdapat tiga cara yang dapat dilakukan untuk
memahami hubungan antara psikologis dengan sastra. Pertama , memahami unsur
kejiwaan pengarang sebagai penulis, kedua memahami unsur kejiwaan tokoh fiksional
sastra. Ketiga memahami kejiwaan pembaca. Walaupun lebih menyoroti pada tokoh
fiksional dalam penerapanya karena pengaruh analisi struktualisme dimana terjadi
penolakan terhadap objek manusia, unsur-unsur yang berkaitan dengan pengarang
dianggap sebagai kekeliruan biografis. Menurut struktualisme analisis karya sastra
adalah analisis sastra secara otonom, karya sastra dianggap sebagai entitas yatim piatu.

Dengan penjelasan tersebut jelas bahwa hubungan psikologi dan sastra sangat
erat didalam menganalisis karya sastra. Namun psikologi sastra lebih mengacu pada
sastra bukan pada psikologi praktis. Pada penerapanya sastra atau karya sastra-lah
yang menetukan teori, bukan teori yang menentukan sastra. Sehingga dalam penelitian
dipilih dahulu objek karya sastra barulah kemudian menentukan kajian teori psikologis
praktis yang relevan untuk menganalisis.

(Teori dalam Psikologis menurut Freud)

Konsep Freud yang paling mendasar adalah teorinya tentang ketidaksadaran.


Pada awalnya, Freud membagi taraf kesadaran manusia menjadi tiga lapis, yakni
lapisan unconscious (taksadar), lapisan preconscious (prasadar), dan lapisan conscious
(sadar). Di antara tiga lapisan itu, taksadar adalah bagian terbesar yang memengaruhi
perilaku manusia. Freud menganalogikannya dengan fenomena gunung es di lautan, di
mana bagian paling atas yang tampak di permukaan laut mewakili lapisan sadar.
Prasadar adalah bagian yang turun-naik di bawah dan di atas permukaan. Sedangkan
bagian terbesar justru yang berada di bawah laut, mewakili taksadar.

Dalam buku-bukunya yang lebih mutakhir, Freud meninggalkan pembagian


lapisan kesadaran di atas, dan menggantinya dengan konsep yang lebih teknis. Tetapi
basis konsepnya tetap mengenai ketidaksadaran, yaitu bahwa tingkah laku manusia
lebih banyak digerakkan oleh aspek-aspek tak sadar dalam dirinya. Pembagian itu
dikenal dengan sebutan struktur kepribadian manusia, dan tetap terdiri atas tiga unsur,
yaitu

1. Id

Id adalah satu-satunya komponen kepribadian yang hadir sejak lahir. Aspek

1
kepribadian sepenuhnya sadar dan termasuk dari perilaku naluriah dan primitif.
Menurut

1
Freud, id adalah sumber segala energi psikis, sehingga komponen utama kepribadian.
Id didorong oleh prinsip kesenangan, yang berusaha untuk kepuasan segera dari semua
keinginan, keinginan, dan kebutuhan. Jika kebutuhan ini tidak puas langsung, hasilnya
adalah kecemasan atau ketegangan.

Sebagai contoh, peningkatan rasa lapar atau haus harus menghasilkan upaya
segera untuk makan atau minum. id ini sangat penting awal dalam hidup, karena itu
memastikan bahwa kebutuhan bayi terpenuhi. Jika bayi lapar atau tidak nyaman, ia
akan menangis sampai tuntutan id terpenuhi.

Namun, segera memuaskan kebutuhan ini tidak selalu realistis atau bahkan
mungkin. Jika kita diperintah seluruhnya oleh prinsip kesenangan, kita mungkin
menemukan diri kita meraih hal-hal yang kita inginkan dari tangan orang lain untuk
memuaskan keinginan kita sendiri. Perilaku semacam ini akan baik mengganggu dan
sosial tidak dapat diterima. Menurut Freud, id mencoba untuk menyelesaikan
ketegangan yang diciptakan oleh prinsip kesenangan melalui proses utama, yang
melibatkan pembentukan citra mental dari objek yang diinginkan sebagai cara untuk
memuaskan kebutuhan.

2. Ego

Ego adalah komponen kepribadian yang bertanggung jawab untuk menangani


dengan realitas. Menurut Freud, ego berkembang dari id dan memastikan bahwa
dorongan dari id dapat dinyatakan dalam cara yang dapat diterima di dunia nyata.
Fungsi ego baik di pikiran sadar, prasadar, dan tidak sadar.

Ego bekerja berdasarkan prinsip realitas, yang berusaha untuk memuaskan


keinginan id dengan cara-cara yang realistis dan sosial yang sesuai. Prinsip realitas
beratnya biaya dan manfaat dari suatu tindakan sebelum memutuskan untuk bertindak
atas atau meninggalkan impuls. Dalam banyak kasus, impuls id itu dapat dipenuhi
melalui proses menunda kepuasan – ego pada akhirnya akan memungkinkan perilaku,
tetapi hanya dalam waktu yang tepat dan tempat.

Ego juga pelepasan ketegangan yang diciptakan oleh impuls yang tidak
terpenuhi melalui proses sekunder, di mana ego mencoba untuk menemukan objek di
dunia nyata yang cocok dengan gambaran mental yang diciptakan oleh proses primer
id’s.

3. Superego

Komponen terakhir untuk mengembangkan kepribadian adalah superego.


superego adalah aspek kepribadian yang menampung semua standar internalisasi
moral dan cita-cita yang kita peroleh dari kedua orang tua dan masyarakat – kami rasa
benar dan salah. Superego memberikan pedoman untuk membuat penilaian. Yang ideal
ego mencakup aturan dan standar untuk perilaku yang baik. Perilaku ini termasuk
orang yang disetujui oleh figur otoritas orang tua dan lainnya. Mematuhi aturan-aturan
ini menyebabkan perasaan kebanggaan, nilai dan prestasi.

1
Hati nurani mencakup informasi tentang hal-hal yang dianggap buruk oleh
orang tua dan masyarakat. Perilaku ini sering dilarang dan menyebabkan buruk,
konsekuensi atau hukuman perasaan bersalah dan penyesalan. Superego bertindak
untuk menyempurnakan dan membudayakan perilaku kita. Ia bekerja untuk menekan
semua yang tidak dapat diterima mendesak dari id dan perjuangan untuk membuat
tindakan ego atas standar idealis lebih karena pada prinsip-prinsip realistis. Superego
hadir dalam sadar, prasadar dan tidak sadar.Maka dari itu timbullah interaksi dari
ketiga unsur unsur diatas yaitu dengan kekuatan bersaing begitu banyak, mudah untuk
melihat bagaimana konflik mungkin timbul antara ego, id dan superego. Freud
menggunakan kekuatan ego istilah untuk merujuk kepada kemampuan ego berfungsi
meskipun kekuatan-kekuatan duel. Seseorang dengan kekuatan ego yang baik dapat
secara efektif mengelola tekanan ini, sedangkan mereka dengan kekuatan ego terlalu
banyak atau terlalu sedikit dapat menjadi terlalu keras hati atau terlalu mengganggu.

Banyak pendapat mengatakan bahwa teori Freud hanya berhasil untuk


mengungkapkan genesis karya sastra , jadi, sangat dekat dengan penelitian proses
kreatif. Relevansi teori Freud dianggap sangat terbatas dalam rangka memahami
sebuah karya sastra. Meskipun demikian, menurut Milner ( 1992:xiii ) , peran teori
freud tidak terbatas sebagaimana dinyatakan sebelumnya. Menurutnya, teori Freud
memiliki inplikasi yang sangat luas tergantung bagaimana cara pengoprasiaannya.
Disatu pihak , hubungan psikologi dengan sastra didasarkan atas pemahaman, bahwa
sebagaimana bahasa pasien, sastra secara langsung menampilkan ketaksadaran bahasa.
Dipihak lain menyatakan bahwa psikologi Freud memanfaatkan mimpi, fantasi, dan
mite, sedangkan ketiga hal tersebut merupakan masalah pokok didalam sastra.

Hubungan yang erat antara psikoanalisis khususnya teori-teori Freud dengan


sastra juga ditunjukkan melalui penelitiannya yang bertumpu pada karya sastra. Teori
Freud dimanfaatkan untuk mengungkapkan berbagai gejala psikologis dibalik gejala
bahasa. Oleh karena itu, keberhasilan penelitian tergantung dari kemampuan dalam
mengungkapkan kekhasan bahasa yang digunakan oelh pengarang. Bagi Freud, asas
psikologi adalah alam bawah sadar, yang didasari secara samar-samar oelh individu
yang bersangkutan. Menurutnya, ketaksadaran justru merupakan bagian yang paling
besar dan paling aktif dalam diri setiap orang.

Psikologis sastra menetapkan karya sastra sebagai posisi yang lebih dominan.
Atas dasar karya sastra yang sangat luas, dengan tradisi berbeda-beda, unsur psikologis
pun menampilkan aspek yang berbeda-beda. Novel tidak menlukiskan tokoh-tokoh
dari semestaan yang sama, dari pihak novel yang lain. Novel juga tidak menampilkan
tokoh secara individual. Pada dasarnya karakterisasi merupakan multikultural.

Dengan demikian maka jelas maka psikologi sastra bukanlah menganalisis


kebenaran psikologis namun lebih mempertimbangkan kerelevansian dan peran studi
psikologi. Dengan memusatkan perhatian pada tokoh maka dapat dianalisi konflik
batin, yang mungkin saja bertentangan dengan teori psikologis. Dalam hal tersebut
tentulah

1
tidak begitu saja terlihat dengan kasat mata , namun dengan meneliti sastra dengan teori
psikologis yang relevan.

2) Alam Bawah Sadar

Penerapan penelitian psikologi sastra dalam kajian pernah dilakukan olch M.S.
Hutagalung dalam novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis dan Zainuddin
Fananic (2001) dalam novel Nyali karya Putu Wijaya. Kedua penelitian tersebut
menggunakan teori psikoanalisis Freud untuk membedah novel. Jadi, keduanya jelas
penelitian psikologi sastra yang berpijak pada teks sastra. Asumsi peneliti bahwa
pencipta kedua novel tersebut menerapkan teori psikoanalisis ke dalam karya.

Dari penelitian tersebut, ternyata MS. Hutagalung mampu mengung kapkan


bahwa tokoh Isa pada novel Jalan Tak Ada Ujung memiliki perilaku yang terpengaruh
pandangan Freud tentang lapisan tak sadar dari jiwa manu sia. Misalkan, Mochtar
Lubis bercerita tentang Guru Isa: "ia menutup muka nya dengan kedua tangannya, dan
mengerang perlahan-lahan. Dia tidak tahu. Tapi yang dirasakannya sekarang ialah
reaksi yang lambat yang sekarang tim bul dan perasaan yang tertekan tadi.".

Pelukisan Mochtar Lubis demikian sesuai dengan pandangan Freud, bahwa


alam bawah sadar adalah sumber neurosis atau sakit syaraf, karena indi vidu mencoba
membuang ke daerah ia kenang-kenangannya yang ia tak sukai dan harapan-harapan
yang berakhir dengan kekecewaan. Yang lebih tajam lagi, tampak pada lukisan Guru
Isa yang hendak memeluk isterinya tetapi keinginan itu ia tahan. Di tempat lain, ia
akan mengadakan konfrontasi mengenai cinta dengan isterinya tetapi ia tekan juga
perasaannya.

Hal senada juga tampak pada kajian novel Nyali, khususnya mengenai tokoh
utama bernama Kropos. Ia adalah prajurit yang patuh. Maka, ketika di tugasi harus
menyusup ke gerombolan yang kejam bernama Zabaza, Kropos tidak menolak. Dari
situ tokoh ini harus berubah karakter secara tak sadar khat stimulus lingkungan. Pada
saat itu, tokoh Kropos jelas mengalamai teror mental antara kata hati dan harus
melaksanakan kewajiban. Dengan demikian, secara tak sadar tokoh Kropos telah
mengalami perubahan psikologis dalam hi paya Perubahan itu seringkali berada di
alam bawah sadar, sehingga keha dirannya amat cepat dan tidak sadar.

Dengan kata lain, alam bawah sadar yang ditawarkan Freud memang penting
bagi pembahasan psikologi sastra. Psikologi dalam (psikoanalisis) ini memang dapat
mempengaruhi kejiwaan siapa saja termasuk tokoh-tokoh sas Psikoanalisis juga sering
merangsang kepada "keadaan jiwa" pencipta se hingga muncul ide teks sastra. Bahkan
Wordswoth menyebut istilah semacam 02 mi sebagai "genetik" kelahiran sastra
(puisi). Untuk menulis puisi yang baik, penyair harus berada pada keadaan jiwa
tertentu. Hal ini berarti memang benar pernyataan Freud bahwa penyair kadang-
kadang menjadi seorang "pelamun" yang lari dari kenyataan hidup. Baginya,
kreativitas adalah sebuah pelarian (es capism). Keadaan serupa yang mengarahkan
pada studi psikologi sastra terha dap proses kreatif pengarang.

1
Jika memang benar bahwa pencipta sering bersembunyi secara diam dam di
balik karyanya, berarti psikologi sastra dapat mempelajari karya-karya secara
psikologis. Kepribadian seorang pengarang akan tampak juga dalam ke jwaan
karyanya. Karya sastra menjadi "obyek" ekspresi kejiwaan seorang pe ngarang untuk
meluapkan isi hatinya. Gerakan jiwa menjadi pendorong lahir nya sebuah karya sastra.
Di samping itu, peneliti juga dapat memfokuskan diri pada berbagai hal yang
menyangkut kejiwaan seorang pengarang sebagai pribadi. Catatan-catatan pribadi,
peristiwa hidup yang sangat mengesan, kekecewaan, neurosis, phobia, dan sebagainya
seharusnya diteliti lebih jauh oleh peneliti.

Jika Dickens (Hardjana, 1985:64-65) dapat membeberkan seluruh ke nangan


hidup semaca kecil, kesulitan-kesulitan, kejutan-kejutan, berarti karya sastra memang
hasil khayalan pengarang yang mengalami keadaan jiwa tertentu. Khayalan ini,
misalnya terjadi ketika Shakespeare melukiskan Hamlet sebagai tokoh yang
mengalami kejiwaan tertentu. Dalam hal ini, pengarang ingin me nampilkan "citra
manusia yang seadil-adilnya" artinya sesuai kodratnya.

Peneliti psikologi sastra pada akhirnya juga dapat meneliti rentetan psiko logi
pembaca. Karya sastra merupakan "teror kejiwaan" yang dapat mempe ngaruhi
kejiwaan pembaca. Teks merupakan rangsangan bawah sadar pada pembaca.
Penelitian semacam ini mau tidak mau harus berhubungan dengan proses komunikasi
kejiwaan. Semakin tinggi tingkat daya rangsang sebuah teks dapat mempengaruhi jiwa
pembaca, berarti semakin berkualitas pula karya ter sebut. Misalkan saja, jika peneliti
mengkaji sebuah mitos Nyi Lara Kidul yang bagi orang Jawa dianggap sakral, jika
karya ini mampu menggerakkan at dar dan bawah sadar penikmat berarti ada titik
keberhasilan. Begitu pula ket orang Jawa memahami mitos Ki Ageng Sela, seakan-
akan jiwa mereka telah terbawa arus kejiwaan karya tersebut.

Baik psikologi sastra maupun penulis, menurut (Junus, 1985:95-96) aka


terbawa arus kejiwaan karya tersebut. nggakan ton pro la akan mengaktifkan
pemikirannya berda kan segala kemungkinan bahasa yang dikuasainya. Scoang
pengarang keti mencipta akan menggunakan konstruksi yang dianggap tepat
menampung ko sep. Begitu pula pembaca, akan memanfaatkan kemampuan kejiawaan
untu pemaknaan dan kadang- kadang ditolong oleh konteks.

Kehadiran psikologi sastra memang bukan tanpa tantangan. Dari Welle dan
Warren (1990) sendiri, sebenarnya telah ada peringatan khusus terhada peneliti la
memberikan pernyataan pengarang berhasil membuat tokoh-tokoh nya berlaku sesuai
dengan "kebenaran psikologis" perlu dipertanyakan apakah kebenaran itu bernilai
artistik? Sebab banyak karya besar yang menyimpang dari standar psikologi sezaman
atau sesudahnya. Karya sastra kadang-kadang manyajikan sesuatu yang tidak masuk
akal, fantastis, dan bahkan ada upaya mendramatisasi cukup dominan kehadirannya.

D. Langkah dan Proses Analisis

2
Langkah yang perlu dilakukan oleh peneliti psikologi sastra, tidak akan lepas dari
sasaran penelitian. Apakah peneliti sekedar menitikberatkan pada psikologi tokoh dan
atau sampai proses kreativitas pengarang. Yang penting ha rus dilakukan dari sasaran
penelitian tentang psikologi tokoh ada beberapa pro ses, yaitu: Pertama, pendekatan
psikologi sastra menekankan kajian keseluruh an baik berupa unsur instrinsik maupun
ekstrinsik. Namun, tekanan pada unsurinstrinsik, yaitu tentang penokohan dan
perwatakannya.

Kedua, di samping tokoh dan watak, perlu dikaji pula masalah tema karya.
Analisis tokoh seharusnya ditekankan pada nalar perilaku tokoh. Tokoh yang disoroti tak
hanya terfokus pada tokoh utama, baik protagonis maupun antagonis. Tokoh-tokoh
bawahan yang dianggap tak penting pun harus diung kap. Yang lebih penting, peneliti
harus memiliki alasan yang masuk akal ten tang watak tokoh, mengapa oleh pengarang
diberi perwatakan demikian.

Ketiga, konflik perwatakan tokoh perlu dikaitkan dengan alur cerita.Misalkan


saja, ada tokoh yang phobi, neurosis, halusinasi, gila, dan sebagainya harus dihubungkan
dengan jalan cerita secara struktural. Itulah sebabnya, struktur karya harus tetap menjadi
pegangan dari awal sampai akhir Hal ini untuk menghindari agar peneliti tidak terjebak
hanya pada penggunaan teori psikologi. Jika yang terakhir ini sampai terjadi, berarti ini
menjadi wilayah penelitian psikologi, bukan penelitian psikologi sastra. penelitian. Jika
sasaran penelitian pada aspek kreativitas, peneliti dapat melakukan a langkah. Pertama,
aspek ekstrinsik perlu dibahas, yang meliputi cita-cita, pirasi, keinginan, falsafah hidup,
obsesi, dan tuntutan-tuntutan personal. Da bkaitan ini, perlu dicari riwayat hidup
pengarang sejak kecil sampai dewasa. Dengan cara ini, peneliti akan mengetahui endapan
pengalaman pribadi yang diekspresikan dalam karyanya.

Kedua, proses penciptaan perlu digali yaitu tentang motif pencitaan. Misalkan,
mengapa NH. Dini menciptakan novel Pada Sebuah Kapal, Tamsir AS menciptakan
novel Wong Wadon Dinarsih, SH. Mitardja mencipta cerita bersambung Api di Bukit
Menoreh dan sebagainya. Dari sini akan terungkap pakah pengarang memang
mengungkapkan pengalaman batin yang menda ham, atau sekedar ada tekanan tertentu,
misalkan ada tekanan politik. Apakah pengarang sekedar ingin meluapkan rasa kecewa
terhadap pemerintahan, atau ada motif lain.

Ketiga, peneliti dapat pula mengaitkan dengan dampak psikologis karya sebut
terhadap pembaca. Apakah pembaca menjadi paham dengan gambaran psikologis tokoh
atau tidak. Peneliti perlu memasuki wilayah ini agar diketahui seberapa jauh pengaruh
psikologis karya tersebut.

Dari dua sasaran yang memiliki langkah-langkah demikian, tampak bahwa


penelitian perwatakan tokoh dapat disebut sebagai kajian tekstual. Yaitu kajian yang
harus sampai membahas isi dan makna perwatakan dalam kaitan adaya dengan struktur
alur secara keseluruhan. Sedangkan sasaran penelitian kre hivitas, hanya bisa ditempuh
melalui studi dokumen, misalnya biografi penga prang dan atau wawancara kepada
pengarang (jika masih hidup).

2
Langkah-langkah demikian, sebaiknya dibantu dengan menggunakan lartu-kartu
data sebagai instrumen praktis. Melalui kartu data itu, sebelum pe neliti menuangkan hasil
penelitian, telah mampu membuat kategori-kategori mdata, Gambaran secara keseluruhan
akan segera tampak melalui kartu data ter co sebut.

Oleh karena pengarang adalah seorang "pelamun" dan kadang-kadang juga "gila",
peneliti harus pandai menyelam di dalamnya. Itulah sebabnya, pe neliti perlu sampai pada
titik analisis yang ditunjukkan Nietzsche (Wellek dan Warren, 1989:96) bahwa ada dua
tipe imajinasi sastrawan, yaitu: (1) tipe "plas tis" dan (2) tipa diffluent (cair). Pengarang
tipe "plastis" biasanya mampu 32 membuat citraan visual yang tajam, yang dirangsang
oleh penginderaan dari luar dirinya. Pengarang tipe diffluent yaitu memulai imajinasinya
dari emosi, lalu menungkan melalui irama dan pencitraan.

Sedikit berbeda dengan tipe pengarang yang dikemukakan L Rusu, yaitu: (1) tipe
sympathique (riang, gembira, spontan, kreatif), (2) demoniaque anarchi que, yaitu
pengarang yang agresif dan bersikap menyerang sesuatu, (3) demo nique que ya
pengarang yang mampu perang melawan iblis dan be akhir dengan kemenangan Dari tiga
tipe tersebut, peneliti diharapkan matt menshuni karya yang dihadapi tergolong pada tipe
mana, begitu pula peng nagya Dengan mengetahui tipe tersebut, peneliti akan mampu
menghakin seorang pengarang tertentu mange atau tidak mengekspresikan pengalama

Kajan psikologi sastra jaga dapat menitikberatkankan pada pengan karya tersebut
secara psikologis Dalam kaitan ini, kalau kita membagi katego sastra menjadi tiga
segmen, yaitu sastra anak-anak, sastra remaja dan sastra dewasa-peneliti dapat mengkaji
masing masing segmen lebih mendalam. Ka jan dapat mempergunakan gabungan
pendekatan spikologi dengan resepsi ata pragmatik sastra. Melalui kajian semacam ini,
karya sastra benar-benar akan sampai atau tidak kepada sasarannya.

Pada saat mengkaji psikologi sastra anak, remaja, dewasa, peneliti da pat
mengungkap berbagai hal, antara lain: (1) bagaimana pengaruh karya it terhadap
perkembangan bahasanya. Dari aspek psikologis bahasa seseorang akan dipengaruhi oleh
apa saja yang mereka baca. Jika yang dibaca adalah sas tra yang indah, tentu saja akan
mempengaruhi keindahan bahasanya; (2) pene liti juga perlu mengungkap seberapa jauh
sastra tersebut dapat mempengaruhi aspek-aspek kognitif, konasi (keinginan) anak, dan
emosi (perasaan). Hal ini dapat dibayangkan ketika anak-anak suntuk menonton film
anak- anak di tele visi, ternyata mereka mudah bergerak jiwanya, bahkan satu dua anak
ada yang mencoba meniru-niru gerakan anak dalam film tersebut. Pada saat remaja me
nonton dan membaca cerita romantik, seringkali tergerak jiwanya ingin berbuat seperti
yang ada dalam cerita. Begitu pula orang dewa seringkali terbakar jiwa nya setelah
membaca atau menonton pertunjukan sastra.

Di samping itu, dalam kaitannya dengan aspek pragmatik, kajian psikologi sastra
dapat diarahkan pada perubahan kepribadian seseorang setelah menikinati karya sastra.
Manakala seseorang menjadi lebih arif ketika membaca sastra, berarti secara psikologis
telah terpengaruh oleh karya tersebut. Hal ini dapat dipahami ketika masyarakat Jawa

2
membaca karya-karya klasik, misalkan Serat Tripama, Serat Wedatama, Serat Centhini,
dan sebagainya - sering terpe ngaruh sehingga ingin menyontoh kepribadian yang
dipesankan oleh pujangga.

BAB III

PENUTUP

A. kesimpulan

Asumsi dasar penelitian pesikologi sastra antara laindi pengaruhiolehbeberapa hal


Pertama, adanya anggapan bahwa karya sastra merupakan prodak dari suatu kejiwaan dan
pemikiran pengarang yang berada pada siatuasi setengah sadar atau subconcious setelah
jelas baru dituangkan ke dalam bentuk secara sadar (conscious). Antara sadar dan tak
sadar selalu mewarnai dalam proses imajinasi pengarang. Kekuatan karya sastra dapat
dilihat seberapa jauh pengarang mampu mengungkapkan ekspresi kejiwaan yang tak
sadar itu ke da lam sebuah cipta sastra.

Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai aktivitas
kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karya dalam berkarya. Begitu
pula pembaca, dalam menanggapi karya juga tak akan lepas dari kejiwaan masing-
masing. Bahkan, sebagaimana sosiologi refleksi, psikologi sastra pun mengenal karya
sastra sebagai pantulan kejiwaan. Pengarang akan menangkap gejala jiwa kemudian
2
diolah ke dalam teks

2
dan dilengkapi dengan kejiwaannya. Proyeksi pengalaman sendiri dan pengalaman hidup
di sekitar pe ngarang, akan terproyeksi secara imajiner ke dalam teks sastra.

Dalam kajian psikologi sastra, akan berusaha mengungkap psikoanalisa


kepribadian yang dipandang meliputi tiga unsur kejiwaan, yaitu: id, ego, dan super ego.
Ketiga sistem kepribadian ini satu sama lain saling berkaitan serta membentuk totalitas,
dan tingkah laku manusia yang tak lain merupakan prduk interaksi ketiganya.Di samping
itu, dalam kaitannya dengan aspek pragmatik, kajian psikologi sastra dapat diarahkan
pada perubahan kepribadian seseorang setelah menikinati karya sastra. Manakala
seseorang menjadi lebih arif ketika membaca sastra, berarti secara psikologis telah
terpengaruh oleh karya tersebut.

B. Saran

Adapun saran yang dapat penyusun sampaikan yaitu kita sebagai seorang
mahasiswa harus selalu menggali potensi yang ada pada diri kita. Cara menggali potensi
dapat dilakukan salah satunya dengan cara mempelajari makalah ini. Tulisan ini dapat
digunakan sebagai pengayaan untuk menambah pengetahuan dan mendapatkan informasi
tentang apa yang telahdidiskusikan dan menggunakan informasi tersebut bermanfaat
untuk menambah pengetahuan bagi kami khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Mudah- mudahan makalah ini dapatbermanfaatuntukkitakedepannya.

Amin...

DAFTAR PUSTAKA

Atmaja, Jiwa. 1988. "Psikologi Versus Sastra". Yogyakarta: Basis, Juni, No.XXXVII.
Hardjana, Andre. 1985. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Milner, Max. 1992. Freud dan Interpretasi Sastra. Jakarta: Intermassa.
Segers, Rien, T. 2000. Evaluasi Teks Sastra. Terjemahan Suminto A Sayur
Yogyakarta: Adicita.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusasteraan Terjemahan Me lani
Budianto. Jakarta: Gramedia.
Wiyono, Harun. 1974. Hubungan Antara Sastra dan Masyarakat. Yogyakarta
Pidato Pengukuhan Lektor Kepala, tanggal 20 Juli.

Anda mungkin juga menyukai