Anda di halaman 1dari 11

PENDEKATAN PSIKOLOGI DAN FILSAFAT

Disusun untuk Memenuhi Tugas pada Mata Kuliah Fiksi


Yang Diampu Oleh Dr. Ellyana Hinta, M.Hum

Oleh

MAYA AGUSTINA RAHIM


NIM 311417028
KELAS 2B

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2018

1.1. Pengertian Pendekatan Psikologis

Suatu karya sastra tidak akan dikenal jika tidak ada yang membacanya. Dari sini, seorang
pembaca tidak akan diam saja setelah membaca suatu karya. Melainkan, mereka akan
memberikan kritik terhadap karya tersebut. Maka suatu karya sastra yang akan dikritik,
terlebih dahulu harus dianalisis berdasarkan pendekatan atau teori kritik sastra. Ada berbagai
macam pendekatan dalam karya sastra, dan di sini akan dibahas lebih mendalam tentang
pendekatan psikologis karya sastra.

Pendekatan adalah salah satu prinsip dasar yang digunakan sebagai alat untuk
mengapresiasi karya sastra. Salah satunya ditentukan oleh tujuan dan apa yang hendak
ditentukan lewat teks sastra. Pembaca dapat menggunakan beberapa pendekatan, salah
satunya adalah pendekatan psikologis.

Psikologi adalah sebuah cabang ilmu pengetahuan yang objek pembahasannya adalah
keadaan jiwa manusia. Ilmu ini berusaha memahami perilaku manusia, alasan dan cara
mereka melakukan sesuatu dan juga memahami bagaimana makhluk tersebut berpikir dan
berperasaan.

Karya sastra merupakan hasil ungkapan jiwa seorang pengarang yang di dalamnya
melukiskan suasana kejiwaan pengarang, baik suasana sakit maupun emosi (Asrori, 2011). Di
dalam karya sastra terdapat hasil kreatifitas dari pengarang tersebut. Mungkin dari
pengalaman pribadi pengarang atau bukan pengalaman pribadi yang tentunya pernah
disaksikan oleh pengarang.

Pendekatan psikologi sastra adalah suatu cara analisis berdasarkan sudut pandang
psikologi dan bertolak dari asumsi bahwa karya sastra selalu saja membahas tentang
peristiwa kehidupan manusia yang merupakan pancaran dalam menghayati dan menyikapi
kehidupan (Harjana dalam kutipan Sartika, 2011). Jadi, pendekatan psikologi ini adalah
analisis atau kritik terhadap suatu karya sastra yang menitik beratkan pada keadaan jiwa
manusia, baik terhadap pengarang, karya sastra, maupun pembaca.

1.2. Metode Psikoanalisis

Ada tiga sasaran dalam menganalisis karya sastra menggunakan pendekatan psikologi.
Ketiga sasaran tersebut yaitu, analisis terhadap psikologi pengarang, psikologi karya sastra
dan efek karya sastra pada pembaca.

Psikologi pengarang lebih menekankan bagaimana keadaan kejiwaan pengarang tersebut


berbeda dengan orang yang bukan pengarang. Dalam hal ini, ada dua cara untuk mengkaji
psikologis pengarang.
(1) Terlebih dahulu mempelajari karya sastra tertentu. Dari situ dapat ditarik kesimpulan
tentang kepribadian pengarang yang menciptakan karya tersebut. Selanjutnya, kepribadian
pengarang dapat dijadikan acuan untuk menganalisis karya sastra lain dari pengarang
tersebut.

(2) Melacak riwayat hidup pengarang (perang batin, harapan, pertentangan jiwa,
kekecewaan). Kemudian, kesimpulannya dapat digunakan untuk menganalisis karya sastra
pengarang tersebut. Karena, keadaan batin pengarang banyak yang dimasukkan dalam karya
sastranya.

Suwignyo (2008:137) mengatakan bahwa dari hasil analisis psikologi pengarang, muncul
banyak anggapan tentang diri pengarang. Anggapan itu misalnya sastrawan adalah orang
jenius, kejeniusan dianggap disebabkan oleh semacam kegilaan.

Analisis psikologi terhadap karya sastra didasarkan pada anggapan bahwa di dalam
karya sastra terdapat tokoh-tokoh atau pribadi-pribadi yang secara kejiwaan memiliki
karakteristik yang khas yang dapat dipahami melalui teori psikologi (Suwignyo, 2008: 137).
Karya sastra ini merupakan bahan analisis dari  segi instrinsik, karena menekankan pada
penokohan, perwatakan, dan konflik yang sangat cocok didekati dengan psikoanalisis.

Karya sastra tentunya memiliki daya tarik tersendiri bagi pembacanya. Hal itulah
yang menimbulkan efek bagi pembaca dan bagaimana respon pembaca terhadap karya
tersebut. Suwignyo (2008: 36) mengatakan bahwa kritikus berusaha menemukan bagaimana
caranya pengalaman pribadi pembawa dibawa memasuki karya sastra. juga responsi serta
bagaimana pengidentifikasian diri pembaca terhadap karya sastra yang dibaca.

1.3. Analisis Karya Sastra Menggunakan Pendekatan Psikologi


a. SINOPSIS
Sinopsis adalah sebuah ringkasan cerita dari suatu novel ataupun gambaran isi suatu
cerita secara garis besarnya. Ringkasan novel adalah bentuk pemendekan dari sebuah
novel dengan tetap memperhatikan unsur-unsur intrinsik novel tersebut.

b. ANALISIS
Menurut komarrudin, analisis merupakan suatu kegiatan berfikir untuk menguraikan
suatu keseluruhan menjadi komponen sehingga dapat mengenal tanda-tanda dari
setiap komponen, hubungan satu sama lain dan fungsi masing-masing dalam suatu
keseluruhan yang terpadu.

1.4. Analisis Psikologi Pengarang


Psikologi pengarang merupakan salah satu wilayah psikologi kesenian yang
membahasa aspek kejiwaan pengarang sebagai suatutipe maupun sebagai seorang pribadi.
Wellek & Werren (2011:30) Dalam kajian ini yang menjadi fokus adalah aspek kejiwaan
pengarang yang memiliki hubungan dengan proses lahirnya karya sastra.

1.5. Analisis Psikologi Pembaca


Psikologi pembaca merupakan salah satu jenis kajian psikologi sastra yang
memfokuskan pada pembaca, yang ketika membaca dan menginterpretasikan karya sastra
yang dibacanya, pembaca akan mengadakan interaksi antara dialog dengan karya sastra
yang dibacanya.

Pendekatan psikologis menekankan pada karya sastra sebagai salah satu gejala kejiwaan.
Karya sastra dianggap sebagai hasil aktivitas penyair yang sering dikaitkan dengan gejala-
gejala kejiwaan seperti obsesi, kontemplasi, kompensasi, sublimasi dan neurosis. Pelopor
analisis dengan pendekatan psikologis adalah Sigmund Freud (1856-1939).

Berikut ini contoh analisis psikologis dari puisi “Doa” karya Chairil Anwar.

Doa

Kepada pemeluk teguh

Tuhanku

Dalam termenung

Aku masih menyebut nama-Mu

Biar susah sungguh

Mengingat Kau penuh seluruh


Caya-Mu panas suci

Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

Aku hilang bentuk

Remuk

Tuhanku

Aku mengembara di negeri asing

Tuhanku

Di Pintu-Mu aku mengetuk

Aku tidak bisa berpaling

Dalam puisi di atas, terkandung nilai-nilai religi si penyair. Melalui puisi doa Chairil
Anwar menyampaiakan kondisi mentalnya yang merasa sebagai manusia yang penuh dosa
dengan lirik “Tuhanku, Aku hilang bentuk, Remuk”.

Bahwa penyair selaku manusia biasa banyak melakukan kesalahan, sehingga ia


menyadari bahwa hanya kepada Tuhanlah tempat ia kembali, hanya Tuhanlah yang menjadi
tempat mengadu dan meminta pertolongan dalam keadaan susah dan senang.

1.6. Pengertian Pendekatan Filsafat


Fiilsafat adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai
haikikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya.
Filsafat, atau dalam Bahasa Inggris disebut philosophy, berasal dari Bahasa
Yunani: philosophia, yang terdiri atas dua kata : philos (cinta) atau philia
(persahabatan, tertarik kepada) dan sophos (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan,
ketrampilan, pengalaman praktis, intelegensi). Jadi, secara etimologi, filsafat berarti
cinta kebijaksanaan atau kebenaran (love of wisdom).
Hakikat filsafat sastra yang mengacu pada pendapat Djojosuroto (2007)
Filsafat sastra adalah filsafat yang menganalisis nilai-nilai kehidupan manusia yang
dijabarkan seorang sastrawan dalam karya sastranya; filsafat sastra adalah filsafat
yang menganalisis karya sastra dengan latar belakang sastra merupakan bagian dari
kehidupan manusia, sastra sebagai pranata sosial yang menggambarkan keadaan
masyarakat dan kehidupan budaya pada masa tertentu, dan sastra sebagai refleksi
kehidupan manusia dengan Tuhan; filsafat sastra merupakan wadah falsafah
kehidupan yang menempatkan nilai kemanusiaan dengan semestinya, terutama
ditengah-tengah kehidupan kemajuan sains dan teknologi.
Berdasarkan uraian diatas,dapat dipahami bahwa filsafat sastra adalah filsafat
yang mengupas nilai-nilai kehidupan manusia yang terkandung dalam karya sastra.
Kehidupan manusia tersebut (beberapa diantaranya) meliputi hubungan manusia
dengan manusia (hubungan horizontal), manusia dengan alam (hubungan horizontal),
hingga manusia dengan Tuhan (hubungan vertikal).
Sastra dan filsafat (pemikiran) memiliki hubungan yang erat. Sastra dapat
dimanfaatkan untuk menyampaikan gagasan filsafat. Dengan demikian sastra dapat
mengungkapkan berbagai ide atau gagasan tentang kehidupan. Sejalan dengan
pendapat Wellek & Austin Warren (1989:134-135) yang mengemukakan bahwa
sastra sering dilihat sebagai suatu bentuk filsafat atau sebagai pemikiran yang
terbungkus dalam bentuk khusus. Jadi, sastra dianalisis untuk mengungkapkan
pemikiran-pemikiran hebat.
1.7. Hubungan antara Filsafat dengan Sastra

Sastra dan filsafat merupakan sesuatu yang berdampingan dan saling melengkapi.
Dimana sastra sama-sama mebicarakan dunia manusia. Demikian juga filsafat menekankan
pada usaha untuk mempertanyakan dan hakikat keberadaan manusia. Jika dilihat dua disiplin
ilmu ini memiliki objek yang sama yaitu manusia. filsafat akan bermakna dalam sastra kalau
sastra diisi dengan nilai-nilai, karena filsafat merupakan hasil perenungan manusia untuk
menemukan jatidirinya. Jadi disini sastra berfungsi mengkomunikasikan nilai-nilai tersebut
sedemikian rupa berdasarkan karaker sastra. Sastra mengandung unsur hiburan sehingga
nikmat dibaca. Keuntungan filsafat dengan sastra yaitu pemikiran kefilsafatan jadi tidak
terasa. Sastra tidak menggurui, sangat berbeda dengan filsafat yang murni.
Jika sastra dan filsafat bekerja sama maka keduanya akan mendapat keuntungan jadi
sastra tidak kering dari nilai-nilai kehidupan. Objek dari filsafat realitas kehidupan yang
penuh makna atau pemaknaan terhadap kehidupan itu sendiri. Sastra akan lebih berisi tidak
hanya hasil khayalan tanpa bobot tapi menjadi rekayasa bahasa sehingga mengandung nilai
edukatif yang mengandung nilai kehidupan. Sastra dan filsafat bisa membawa kehidupan
sosial lebih bermakna.

Syarat-syarat sesuatu itu dapat digolongkan menjadi ilmu harus memiliki ontologi,
epistemologi dan aksiologi. Dan dibawah ini akan dipaparkan beberapa penjelasan mengenai
hal tersebut.

a. Ontologi Sastra
Cabang Ontologi, yaitu berada dalam wilayah ada. Kata Ontologi berasal dari
Yunani, yaitu onto yang artinya ada dan logos yang artinya ilmu. Dengan demikian,
ontologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang keberadaan. Pertanyaan yang
menyangkut wilayah ini antara lain: apakah objek yang ditelaah ilmu?
Bagaimanakah hakikat dari objek itu? Bagaimanakah hubungan antara objek tadi
dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan dan ilmu?
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan
berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat
konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis ialah
seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum
membedakan antara penampakan dengan kenyataan. Dan pendekatan ontologi
dalam filsafat mencullah beberapa paham, yaitu: (1) Paham monisme yang terpecah
menjadi idealisme atau spiritualisme; (2) Paham dualisme, dan (3) pluralisme
dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologik.

Secara ontologis, tulisan baik itu puisi, prosa, cerpen, essay, novel dan lainya
bertolak dari titik berangkat pengalaman personal penulisnya. Tulisan mempunyai
bentuk sebagai sebuah teks yang penuh dengan berbagai macam kompleksitas dari
sebuah pemaknaan personal penulisnya. Tulisan yang pada akhirnya mempunyai
bentuk sebagai sebuah karya sastra adalah salah satu bentuk seni dari seorang penulis
yang bermaksud menyampaikan seperangkat pesan kepada pembacanya dengan
bertolak dari titik berangkat ontologis. Semua karya sastra yang berbentuk teks pada
dasarnya dapat dikaji pada tingkat tanda, struktur, gaya, hingga maknanya. Gejala
penggunaan tanda dan atau lambang dalam karya sastra dikaji melalui semiotika.
Gejala struktur dalam karya sastra dikaji melalui analisis alur ataupun analisis
struktur. Gejala gaya bahasa dalam sastra dikaji melalui Stilistika, sedangkan gejala
makna dalam karya sastra dikaji melalui Hermeneutika dan analisis teks. Telaah
tersebut dapat dijadikan sebagai sebuah landasan yang membuktikan fakta keilmuan
sebuah tulisan atau karya sastra karena dapat dikaji secara ilmiah.

Secara ontology, sastra menurut S. Brahmana mempunyai lima dasar yang


dapat dikaji dalam berbagai perspektif. Di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Sastra sebagai bahasa

2. Sastra sebagai seni

3. Sastra sebagai komunikasi

4. Sastra sebagai simbol

5. Sastra sebagai hiburan

Sastra atau tulisan adalah sebuah ilmu yang dapat dipertanggungjawabkan.

b. Epistemologi Sastra
Epistemologi, yaitu berada dalam wilayah pengetahuan. Kata Epistemologi
berasal dari Yunani, yaitu episteme yang artinya cara dan logos yang artinya ilmu.
Dengan demikian, epistemologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang bagaimana
seorang ilmuwan akan membangun ilmunya. Pertanyaan yang menyangkut wilayah
ini antara lain: bagaimanakah proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan
menjadi ilmu? Bagaimanakah prosedurnya? Untuk hal ini, kita akan mengarah ke
cabang fisafat metodologi.
Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah: 1) Apakah pengetahuan itu?;
2) Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu?; 3) Darimana pengetahuan itu
dapat diperoleh ?; 4) Bagaimanakah validitas pengetahuan itu dapat dinitai ?; 5) Apa
perbedaan antara pengetahuan a priori (pengetahuan pra-pengalaman) dengan
pengetahuan a posteriori (pengetahuan puma pengalaman)?; 6) Apa perbedaan di
antara: kepercayaan, pengetahuan, pendapat, fakta, kenyataan, kesalahan, bayangan,
gagasan, kebenaran, kebolehjadian, kepastian ?
Berdasarkan lima ontologi sastra tersebut, maka epistemologi sastra itu
bergantung dari ontologi yang dipahami. Ambil contoh misalkan sastra sebagai seni,
maka epistemologi dari ontologi tersebut yaitu ilmu-ilmu kesenian. Begitupun
dengan ontologi sastra sebagai bahasa, maka epistemologinya adalah ilmu-ilmu
kebahasaan seperti semantik, morfologi, syntax dan sebagainya. Sastra sebagai alat
komunikasi maka epistemologinya yaitu ilmu-ilmu komunikasi yaitu ilmu
komunikasi. Sastra sebagai simbol maka epistemologinya yaitu ilmu-ilmu tentang
simbol seperti semiotik, dan yang terakhir yaitu sastra sebagai hiburan maka
epistemologinya yaitu kajian kebudayaan populer.

Kombinasi dari kelima ontologi tersebut melahirkan epistemologi sastra yang


sudah sering kita gunakan selama ini seperti strukturalisme, mimesis, pragmatik dan
lainnya.

Maka dari itu sastra dapat dikatakan sebagai ilmu karena mempunyai ontologi
yang telah dijelaskan diatas. Ada beberapa point yang penulis susun untuk
menjelaskan bahwa sastra dapat dikatakan sebagai ilmu bila memiliki syarat, yang ke

(1). Karya sastra harus mencerminkan estetika,

(2) Sastra harus mampu membimbing peradaban manusia kearah yang lebih baik,

(3) Sastra harus mampu memberi solusi terhadap persoalan-persoalan masyarakat,

(4) Sastra mampu memberikan hiburan kepada penikmatnya.

Seperti contoh, puisi. Puisi menggunakan bahasa konotatif untuk memberikan


estetika di dalam isi puisi tersebut. Selain itu dalam setiap puisi biasanya menyimpat
pesan tersembunyi yang ditujukan biasanya untuk sosial ataupun hal lain. Karena
seperti yang telah dijelaskan tadi bahwa sastra juga harus berkomunikasi untuk
memberikan solusi menuju peradaban yang lebih baik.

Epistemologi suatu karya sastra itu sangat bergantung dari ontologi yang kita
pahami. Bila kita menganggap sastra sebagai bahasa, maka epistemologinya adalah
ilmu-ilmu kebahasaaan. Bila kita menganggap sastra sebagai seni, maka
epistemologinya adalah ilmu-ilmu kesenian. Bila kita menganggap sastra sebagai
komunikasi, maka epistemologinya adalah ilmu komunikasi. Bila kita menganggap
sastra sebagai simbol, maka epistemologinya adalah ilmu-ilmu tentang simbol. Bila
kita menganggap sastra sebagai hiburan, maka epistemologinya adalah ilmu-ilmu
kebudayaan populer.

Dari segi epistemolgi melahirkan banyak metode pengkajian sastra. Misalnya,


strukturalisme, semiotik, hermeneutika, sosiosastra (sosiologi sastra), intertektualitas,
psikologi sastra, dekonstruksi, simbolisme, postrukturalis, posmoderenis, analisis
wacana, realisme, mimesis, pragmatik, ekspresi, obyektif, parafrastis, emotif, analitis,
historis, sosiopsikologis, didaktis, semantik, tradisional, intensional, eksistensional,
general, partikular, komparatif, doktrin, sekuensi, tematik, evaluatif, judisial,
induktif,impresionistik, sosiokultural, mitopeik, relativistik, tekstual, lingusitik,
elusidatori, politik/ideologi, dan sebagainya (S. Brahmana, “Sastra Sebagai Sebuah
Disiplin Ilmu”).

c. Aksiologi Sastra

Aksiologi berasal dari kata axios yakni dari bahasa Yunani yang berarti nilai
dan logos yang berarti teori. Dengan demikian maka aksiologi adalah “teori tentang
nilai” (Amsal Bakhtiar, 2004: 162). Aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang
berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh (Jujun S.
Suriasumantri, 2000: 105).

Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: untuk apa pengetahuan
ilmu itu digunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaannya dengan kaidah-
kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan
moral? Bagaimana kaitan metode ilmiah yang digunakan dengan norma-norma moral
dan profesional? Dengan begitu , kita akan mengarah ke cabang fisafat Etika.

Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa aksiologi disamakan


dengan value dan valuation. Ada tiga bentuk value dan valuation, yaitu: 1) Nilai,
sebagai suatu kata benda abstrak; 2) Nilai sebagai kata benda konkret; 3) Nilai juga
digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai.

Aksiologi dipahami sebagai teori nilai dalam perkembangannya melahirkan


sebuah polemik tentang kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa disebut
sebagai netralitas pengetahuan (value free). Sebaliknya, ada jenis pengetahuan yang
didasarkan pada keterikatan nilai atau yang lebih dikenal sebagai value bound.
Sekarang mana yang lebih unggul antara netralitas pengetahuan dan pengetahuan
yang didasarkan pada keterikatan nilai.

Dilihat dari sudut aksiologi, sastra harus mempunyai nilai-nilai etis sebagai berikut:

1) Karya Sastra harus mencerminkan dan memupuk rasa keindahan.

2) Karya Sastra harus membimbing peradapan dan keutuhan bangsa.

3) Karya Sastra harus menuntun ke arah pembangunan rohani bangsa.

4) Karya Sastra harus memberikan penerangan bagi persoalan-persoalan dalam masyarakat.

5) Karya Sastra harus menciptakan ide-ide dan gagasan-gagasan baru.

6) Karya Sastra harus mampu memberikan hiburan bagi rakyat (penikmatnya). Maka yang
menjadi aksiologi sastra adalah keenam unsur di atas.

Soal apakah keenam unsur ini terdapat di dalam sebuah karya sastra atau tidak, menjadi
masalah lain.

Secara aksiologis sebuah tulisan atau karya sastra memiliki nilai-nilai etis bagi penulisnya
sendiri sebagi penciptanya yang memang secara sadar menempatkan nilai-nilai etis dalam
nilai-nilai estetika yang termaktub di dalam sebuah tulisan atau karya sastra tersebut. Hal
tersebut secara aksiologis telah mengesahkan sebuah tulisan atau karya sastra sebagai salah
satu karya yang dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan.

DAFTAR PUSTAKA

Semi, M. Atar. 1993. Metodologi Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa Gramedia Press

Iskandarwassid dan Dadang Sunendar.2008.Strategi Pembelajaran Bahasa.Bandung:PT


Remaja Rosdakarya

Bakhtiar, Amsal.2004. Filsafat Ilmu (edisi revisi).Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Ali, M. dan Asrori.2011.Psikologi Remaja-Perkembangan Peserta Didik.Cetakan


ketujuh.Jakarta:PT. Bumi Aksara

Anda mungkin juga menyukai