Teori Psikoanalisis
Dalam sastra Indonesia pendekatan psikologi berkembang sejak tahun enam puluhan,
antara lain oleh Hutagalung dan Oemarjati dalam buku pembahasan masing-masing atas
Jalan Tak Ada Ujung dan Atheis. Pendekatan ini bertujuan untuk memberikan
pertolongan agar dapat membaca drama atau novel secara benar.
a. Sigmund Freud, seorang yang sangat berbudaya dan beliau mendapatkan dasar
pendidikan Austria yang menghargai karya Yunani dan Jerman Klasik.
b. T.S Elliot
c. Carl.G.Jung.
d. Ribot, psikolog Perancis
e. L.Russu
f. Wordsworth yang menggunakan psikologi sebagai uraian genetik tentang puisi.
g. Tatengkeng, Pujangga Baru. Menyatakan bahwa untuk menulis puisi yang baik
penyair harus dalam keadaan jiwa tertentu pula.
B. Teori Struktural
Secara definitif strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu
sendiri, dengan mekanisme antar hubungannya, di satu pihak antarhubungan unsur yang
satu dengan unsur lainnya, di pihak yang lain hubungan antara unsur (unsur) dengan
totalitasnya. Hubungan tersebut tidak semata-mata bersifat positif, seperti keselarasan,
kesesuaian, dan kesepahaman, tetapi juga negatif, seperti konflik dan pertentangan. Istilah
struktur sering dikacaukan dengan sistem. Definisi dan ciri-ciri sruktur sering disamakan
dengan definisi dan ciri-ciri sistem. Secara etimologis struktur berasal dari kata structura
(Latin), berati bentuk, bangunan, sedangkan sistem berasal dari kata systema (Latin),
berarti cara. Struktur dengan demikian menunjuk pada kata benda, sedangkan sistem
menunjuk pada kata kerja. Pengertian-pengertian struktur yang telah digunakan untuk
menunjuk unsur-unsur yang membentuk totalitas pada dasarnya telah mengimplikasikan
keterlibatan sistem. Artinya, cara kerja sebagaimana ditunjukan oleh mekanisme antar
hubungan sehingga terbentuk totalitas adalah sistem. Dengan kalimat lain, tanpa
keterlibatan sistem maka unsur-unsur hanyalah agregasi.
Studi sastra struktural pada mulanya dikembangkan dari ilmu bahasa (linguistik)
struktural yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure. Ilmu bahasa ini mencoba menemukan
sistem bahasa (langue) yang mengatur setiap ujaran tertentu (parole) yang diucapkan
manusia. Objek kajian dalam sastra struktural yaitu sistem sastra yang melandasi setiap
karya sastra yang ada. Sistem sastra adalah seperangkat aturan, kaidah, atau konvensi
yang abstrak dan bersifat umum, yang mengatur hubungan berbagai unsur sastra. Unsur
tersebut saling berkaitan dalam membentuk keseluruhan makna yang utuh. Hubungan
antarstruktur di dalam karya sastra terjalin secara logis dan kronologis.
Pendekatan sastra struktural berawal dari pendekatan objektif yang tertuang dalam
tulisan M.H. Abrams pada buku The Mirror and the Lamp, sebagai suatu pendekatan
sastra secara tradisional. Pendekatan tersebut berkembang menjadi pendekatan struktural
dalam sastra yang dipelopori oleh Formalisme Rusia (Roman Jacobson) dan
Strukturalisme Praha-Ceko (Jan Mukarovsky). Kaum formalis Rusia dianggap sebegai
peletak dasar ilmu sastra modern.
Apabila pendekatan objektif melihat karya sastra sebagai karya kreatif yang otonom
dari unsur intrinsik saja, maka struktural mulai diperkuat oleh unsur di luar karya sastra
atau unsur ekstrinsik. Kedua unsur inilah yang bersama-sama membangun struktur cerita
dalam karya sastra. Struktural berpendapat bahwa mutu karya sastra ditentukan oleh
kemampuan penyair atau pengarangnya dalam menjalin hubungan antarkomponen yang
terdapat dalam unsur tersebut. Sedangkan kebulatan makna cerita ditentukan oleh
pengkaji atau pembacanya, dengan cara menghubung-hubungkan dan menginterpretasi
antarunsur tersebut.
Teori strukturalisme memiliki latar belakang sejarah evolusi yangcukup panjang dan
berkembang secara dinamis. Dalam perkembangan itu terdapat banyak konsep dan istilah
yang berbeda-beda, bahkan saling bertentangan. Misalnya, strukturalisme di Perancis
tidak memiliki kaitan erat dengan strukturalisme ajaran Boas, Sapir, dan Whorf di
Amerika. Akan tetapi semua pemikiran strukturalisme dapat dipersatukan dengan adanya
pembaruan dalam ilmu bahasa yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure.
Menurut Saussure prinsip dasar linguistik adalah adanya perbedaan yang jelas antara
signifiant (bentuk, tanda, lambang) dan signifie (yang ditandakan), antara parole (tuturan)
dan langue (bahasa), dan antara sinkronis dan diakronis. Dengan klasifikasi yang tegas
dan jelas ini ilmu bahasa dimungkinkan berkembang menjadi ilmu yang otonom, di mana
fenomena bahasa dapat dijelaskan dan dianalisis tanpa mendasarkan diri atas apa pun
yang letaknya di luar bahasa. Saussure membawa perputaran perspektif yang radikal dari
pendekatan diakronik ke pendekatan sinkronik. Sistem dan metode linguistik mulai
berkembang secara ilmiah dan menghasilkan teori-teori yang segera dapat diterima secara
luas. Karena itu, pengertian struktur tidak hanya terbatas pada struktur (structure), tetapi
sekaligus mencakup pengertian proses menstruktur (structurant) (Peaget dalam Sangidu,
2004: 16). Dengan demikian, teori struktural adalah suatu disiplin yang memandang
karya sastra sebagai suatu struktur yang terdiri atas beberapa unsur yang saling berkaitan
antara yang satu dengan yang lainnya.
Kelemahan dari strukturalisme adalah sifatnya yang sinkronistis. Sebuah karya sastra
dianggap sebagai sebuah dunia tersendiri yang terlepas dari dunia lainnya. Padahal,
sebuah karya sastra adalah cermin zamannya. Artinya, karya sastra yang dihasilkan
seorang pengarang pada suatu kurun waktu tertentu merupakan gambaran dari kondisi
kehidupan yang terdapat dalam kurun waktu tersebut. Di dalamnya terdapat gambaran
tentang situasi sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan dari kurun waktu (zaman)
tersebut. Strukturalisme mengabaikan semua itu. Strukturalisme hanya "bermain-main"
dengan bangunan bentuk dari sebuah karya sastra semata-mata. Aspek-aspek kesejarahan
dari sebuah karya sastra tidak dibenarkan untuk dijadikan acuan dalam melakukan
analisis. Dapatlah dipahami jika teori strukturalisme diposisikan sebagai teori sastra yang
a-historis. Seorang pengarang tidaklah menulis dalam sebuah ruang kosong. Ia menulis
dalam sebuah ruang yang di dalamnya penuh dengan berbagai persoalan kehidupan.
Persoalan-persoalan itu tentulah mempengaruhi alam pikiran pengarang ketika membuat
karangannya.
Sesuai dengan penjelasan di atas, dapat dipandang sebagai teori yang ilmiah
mengingat terpenuhinya tiga ciri ilmiah.
C. Teori Feminimisme
Secara etimologis, feminisme berasal dari kata Femme (woman), perempuan (tunggal)
yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak) sebagai kelas
sosial.Feminisme adalah paham perempuan yang berupaya memperjuangkan hak-haknya
sebagai kelas sosial.Adapun dalam hubungan ini perlu dibedakan antara male dan female
(sebagai aspek perbedaanbiologis dan hakikat alamiah), masculine dan feminine (sebagai
aspek perbedaan psikologis dan cultural). Sementara itu,masculine–feminine mengacu
kepada jenis kelamin atau gender sehingga he dan she (Selden dalam Sugihastuti,
2000:32)
Para feminis mengakui bahwa gerakan feminisme merupakan gerakan yang berakar
pada kesadaran kaum perempuan.Perempuan sering berada dalam keadaan ditindas dan
dieksploitasi sehingga penindasan dan eksploitasi terhadap kaum perempuan harus
diakhiri.Selain itu, gerakan feminisme bertujuan untuk memperjuangkan kesetaraan dan
kedudukan martabat perempuan dengan laki-laki, serta kebebasan untuk mengontrol raga
dan kehidupan mereka sendiri baik di dalam maupun di luar rumah. Harsono dalam
Mustaqim (2008:84) mengatakan bahwa feminisme sebenarnya merupakan konsep yang
timbul dalam kaitannya dengan perubahan sosial (social change), teori-teori
pembangunan, kesadaran politik perempuan dan gerakan pembebasan kaum perempuan,
termasuk pemikiran kembali institusi keluarga dalam konteks masyarakat modern dewasa
ini. Mustaqim (2008:85) mengatakan bahwa feminisme merupakan paham yang ingin
menghormati perempuan sehingga hak-hak dan peranan mereka lebih optimal dan setara,
tidak ada diskriminasi, marginalisasi dan subordinasi. Sejalan dengan pendapat tersebut,
Bashin dan Khan dalam Mustaqim (2008:4) mangatakan bahwa feminisme didefinisikan
sebagai suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam
masyarakat, di tempat kerja dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh
perempuanmaupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut sehingga terjadi suatu
kondisi kehidupan harmoni antara laki-laki dan perempuan, bebas dari segala bentuk
subordinasi, marginalisasi, dan diskriminasi.
Tujuan pokok dari teori feminisme adalah memahami penindasan perempuan secara
ras, gender, kelas dan pilihan seksual, serta bagaimana mengubahnya.Teori feminisme
mengungkap nilai-nilai penting individu perempuan beserta pengalaman-pengalaman
yang dialami bersama dan perjuangan yang mereka lakukan.Feminisme menganalisis
bagaimana perbedaan seksual dibangun dalam dunia sosial dan intelektual, serta
bagaimana feminisme membuat penjelasan mengenai pengalaman dari berbagai
perbedaan tersebut.
D. Aliran Feminimisme
1. Femenisme Radikal
Struktur dasar feminisme radikal adalah bahwa tidak ada perbedaan antara tujuan
personal dengan politik.Artinya unsur-unsur biologi dan seks sebagai rangkaian kegiatan
manusia yang alamiah yang sebenarnya bentuk dari sexual politics. Ketidakadilan gender
yang tidak dialami oleh kaum perempuan disebabkan oleh masalah yang berakar pada
kaum laki-laki itu sendiri beserta ideologi patriarkinya. Keadaan biologis kaum laki-
lakilah yang membuat meraka lebih tinggi kedudukannya dibandingkan kaum perempuan.
Gerakan mengadopsi sifat-sifat maskulin dianggap sebagai kaum perempuan untuk
sejajar dengan kaum laki-laki (Fakih, 2007:83:86). Menurut feminisme radikal, kekuatan
laki-laki memaksa melalui lembaga personal, seperti fungsi produksi, pekerjaan rumah
tangga, perkawinan, dan sebagainya. Kekuasaan laki-laki terhadap perempuan tidak
pernah disadari dan hal itu dianggap sebagai bentuk dasar penindasan terhadap
perempuan.
2. Feminisme Liberal
Feminisme liberal berawal dari teori politik liberal yang menghendaki manusia secara
individu dijunjung tinggi, termasuk di dalamnya nilai otonomi, nilai persamaan, dan nilai
moral yang tidak boleh dipaksa, tidak diindoktrinasikan dan bebas memiliki penilaian
sendiri. Feminism liberal sebagai turunan dari teori politik liberal.Pada mulanya
Feminism liberal menentang diskriminasi perempuan dalam perundang-undangan.
Mereka menuntut adanya persamaan dalam hak pilih, perceraian, dan kepemilikan harta
benda.Feminis liberal menekankan kesamaan antara perempuan dan laki-laki.Asumsi
dasar feminisme liberal adalah bahwa kebebasan dan keseimbangan berakar pada
rasionalisme.Pada dasarnya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Feminisme adalah menuntut kesempatan dan hak yang sama bagi setiap individu
termasuk perempuan atas dasar kesamaan keberadaanyasebagai mahluk rasional.
(Muslikhati, 2004:32).
3. Feminisme Marxis
Akibat dari hal itu adalah terjadi pembagian kerja secara seksual, yaitu laki-laki
bekerja di sektor publik yang bersifat produktif dan bernilai ekonomis, sedangkan
perempuan bekerja di sektor domestik yang tidak produktif dan tidak bernilai ekonomis.
Karena kepemilikan materi menentukan nilai eksistensi seseorang, sebagai
konsekuensinya perempuan yang berada di sektor domestik dan tidak produktif dinilai
lebih rendah daripada laki-laki. Dengan demikian, salah satu cara untuk membebaskan
perempuan dari ketidakadilan keluarga adalah perempuan harus masuk ke sektor publik
yang dapat menghasilkan nilai ekonomi sehingga konsep pekerjaan domestik perempuan
tidak lagi ada.
4. Feminisme Sosialis
DAFTAR RUJUKAN
https://salimudinzuhdi.wordpress.com/2014/01/09/teori-strukturalisme-dalam-
sastra/(05Oktober 2019).