a. Pengertian Psikologi
b. Pengertian Sastra
Banyak para ahli berusaha mendefinisikan “sastra itu apa”? dari berbagai
pendekatan yang berbeda-beda. Akan tetapi pengertian tersebut juga banyak
ditentang oleh para ahli sastra yang lain. Alasannya adalah :
1. Definisi yang satu yang menekankan pada aspek yang satu tetapi tidak
menekankan pada aspek yang lain. Pengertiannya tidak menyeluruh.
2. Definisinya terlalu luas sehingga mencakup banyak hal yang seharusnya
bukan wilayah sastra.
3. Orang sering melupakan tentang perbedaan definisi deskriptif (yang
memberi jawaban atas “sastra itu apa?” dan definisi evaluative (yang
menilai apakah sebuah karya sastra masuk dalam sastra atau tidak)
Walaupun banyak defisi tentang sastra akan tetapi dapat dikatakan bahwa
masing-masing mereka memiliki alasan sehingga pengertian sastra adalah seperti
apa yang mereka sampaikan. Berikut ini akan disampaikan tentang beberapa
pengertian tentang sastra dari para ahli.
Menurut kaum ini sastra bukanlah suatu hal yang statis karena teks
sastra diubah dan disulap oleh pengarang sehingga efeknya mengasingkan dan
melepaskan diri dari otomatisasi bagi pencerapan kita. Selain itu juga sastra
juga merupakan teks-teks yang mengandung unsur fiksionalitas karena
mengacu pada dunia yang besifat rekaan.
3. Emerson
Menurut Emerson bahwa sastra adalah rajutan pemikiran-pemikiran
seseorang yang terbaik.
4. Stopford Brook
Menurutnya bahwa sastra adalah ungkapan yang detil, indah dan
mendalam yang diungkapkan dari kenyataan – kenyataan sastrawi dan
perasaan-perasaan kemanusiaan.
5. A Teeuw
Bahwa sastra adalah semua hal yang berbentuk tulisan.
Berbagai macam terkait definisi sastra, oleh karena itu semakin banyak
seseorang membaca karya sastra maka semakin banyak pula ia mengetahui
masalah-masalah kesastraan. Oleh karena itu sastra adalah abstraksi dari seluruh
aspek kehidupan manusia yang telah dijabarkan di dalam unsur-unsur karya
sastra.
a. Id
b. Ego
c. Superego
Superego adalah wewenang moral dari kepribadian; ia mmencerminkan
yang ideal dan bukan yang real; dan memperjuangkan kesempurnaan dan
bukan kenikmatan. Perhatiannya yang utama adalah memutuskan apakah
sesuatu itu benar atau salah dengan demikian ia dapat bertindak sesuai
dengan norma-norma moral yang diakui oleh wakil-wakil masyarakat
(Hall, 1993: 67).
Fungsi-fungsi pokok superego adalah (1) meerintangi impuls-impuls id,
terutama impuls-impuls seksual dan agresif, karena inilah impuls-impuls
yang pernyataanya sangat dikutuk oleh masyarakat, (2) mendorong ego
untuk menggantikan tujuan-tujuan realistis dengan tujuan-tujuan
moralitas; (3) mengejar kesempurnaan. Jadi, superego cenderung untuk
menentang baik id maupun ego, dan membuat dunia menurut
gambarannya sendiri (Hall, 1993 :67-68).
Apabila ketiga komponen tersebut yakni id, ego, dan superego tidak
berjalan dengan seimbang maka individu akan mengalami berbagai masalah
psikologi. Seperti kecemasan, kegelisahan, ketakutandan kebingungan. Pada
dasarnya, munculnya kecemasan pada diri indvidu memiliki arti penting karena
fungsinya membantu individu agar mengetahui adanya bahaya yang sedang
mengancamnya (Koswara, 1991: 45). Akan tetapi, jika kecemasan tersebut
berlebihan maka ego akan menjalankan mekanisme pertahanan. Freud sendiri
mengartikan mekanisme pertahanan ego sebagai strategi yang digunakan individu
untuk mecegah kemunculan terbuka dari dorongan-dorongan id maupun untuk
menghadapi tekanan superego atas ego dengan tujuan agar ego kecemasan bisa
dikurangi atau diredakan.
a. Represi
b. Sublimasi
c. Proyeksi
Proyeksi adalah pengalihan dorongan, sikap, atau tingkah laku yang
menimbulkan kecemasan kepada orang lain. Contoh: seorang siswa
yang malas dan kemudian tidak lulus ujian mengatakan kepada orang
tuanya, bahwa dia tidak lulus bukan karena malas, melainkan karena
guru yang sentiment kepadanya. Prasangka-prasangka social atau
mengakambinghitamkan atau individu dan kelompok lain (biasanya
minoritas) juga merupakan bentuk proyeksi.
d. Displasemen
e. Rasionalisasi
Rasionalisasi merujuk kepada upaya individu menyelewengkan atau
memutarbalikkan kenyataan, dalam hal ini kenyataan yang
mengancam ego, melalui dalih atau alasan tertentu yang seakan-akan
masuk akal, sehingga kenyataan tersebut tidak lagi mengancam ego
individu yang bersangkutan. Contoh: Seorang pemuda yang menyukai
seorang gadis dan dia sudah memberitakan kepada teman-temannya
tentang perasaannya. Akan tetapi setelah dia menyatakan cintanya lalu
dia ditolak maka ketika ditanya oleh teman-temannya dia mengatakan
bahwa gadis itu ternyata tidak secantik hatinya, sifatnya jelek dan lain-
lain.
f. Rekasi Formasi
Reaksi Formasi adalah suatu mekanisme pertahanan dimana ego bisa
mengendalikan dorongan-dorongan primitive agartidak muncul sambal
secara sadar mengungkapkan tingkah laku sebaliknya. Contoh: seorang
perempuan diperkosa lalu dia memiliki anak. Dia sebetulnya tidak
menyayangi anaknya karena sering mengingat peristiwa memilukan itu
akan tetapi karena seorang ibu tidak boleh memberi anaknya maka dia
menyayangi anaknya secara berlebihan.
g. Regresi
Regresi adalah suatu mekanisme yang diaman individu, untuk
menghindarkan diri dari kenyataan yang mengancam, kembali kepada
taraf perkembangan yang lebih rendah serta bertingkah laku seperti
ketika dia berada dalam taraf yang lebih rendah itu. Contoh : seorang
gadis yang ditinggal pacarnya lalu menangis meraung-raung layaknya
seperti anak kecil.
Menurut Scott (Sangidu, 2004: 30), jika yang dimanfaatkan dalam analisis
karya sastra adalah teori psikologi sastra maka metodenya pun bersifat psikologi
sastra. Oleh karena itu, secara umum, metode psikologi sastra ada tiga macam.
Pertama, menguraikan hubungan ketidaksengajaan antara pengarang dan
pembaca. Kedua, menguraikan kehidupan pengarang untuk memahami karyanya.
Ketiga, menguraikan karakter para tokoh yang ada dalam karya yang akan diteliti.
Ketiga metode ini dapat diterapkan semuanya dalam analisis suatu karya sastra
maupun hanya dimanfaatkan salah satu saja tergantung pada objek material (karya
sastra) yang diteliti.
Selain sistem kepribadian yang dibahas oleh Sigmund Freud ada beberapa
perkembangan manusia yang juga menjadi bahan kajiannya. Menurutnya manusia
memiliki tahapan perkembangan, yaitu :
Fase oral adalah fase perkembangan yang berlangsung pada tahun pertama
dari kehidupan individu. Pada fase oral ini, daerah erogen yang paling
penting dan peka adalah mulut, yakni berkaitan dengan pemuasan
kebutuhan dasar akan makanan atau air.
Fase Falik berlangsung pada tahun keempat atau kelima, yakni suatu fase
ketika energi libido sasarannya dari daerah dubur ke daerah alat kelamin.
Pada fase falik ini anak mulai tertarik kepada alat kelaminnya sendiri, dan
mempermainkannya dengan maksud memperoleh kepuasan.
Pada fase ini dijumpai apa yang oleh Freud disebut Oedipus Complex (
pada anak perempuan disebut Electra Complex).
Narsisisme
Narsisisme berawal dari cermin, dari seorang ibu yang bercermin melihat
anaknya. Gagasan-gagasan psikoanalitis bisa dibagi menjadi 3 bagian yang
berbeda.
1. Narsisisme Libidal
Narsisisme Libidal adalah keadaan dimana seseorang menarik energi
psikis ke dalam dirinya sendiri. Orang yang mengalami narsisisme libidal
ini seringnya disebut luka narsisistik yaitu seseorang yang merasa tidak
mampu mencintai dirinya karena pernah tersakiti.
2. Narsisisme Destruktif adalah narsisis yang bersifat patologis merasa iri
hati, benci, dan secara aktif berusaha menghancurkan objek sasarannya,
yaitu orang lain. Hanya dirinya sendiri yang diperbolehkan ada.
3. Narsisisme yang Sehat adalah narsisis yang normal.
1. Tahun pertama kehidupan, tahap dimana seseorang rasa aman dari diri
yang kreatif dalam kaitannya dengan diri lain yang responsive. Pada tahap
ini seorang anak sedang menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Dengan dia mendapatkan kasih saying orang tuanya maka anaki ini akan
merasa dirirnya dikhususkan, unik, dan sebagai pusat perhatian.
2. Tahun kedua kehidupan, investasi narsistik dalam tubuh dan
perkembangan kekuatannya. Pada tahap ini seorang anak sudah mulai
merasa bangga terhadap dirinya dari orang yang melihatnya seiring
dengan pertumbuhannya.
3. Tahun ketiga kehidupan, awal dari frustasi optimal. Hal ini disebabkan
karena seorang anak tidak lagi berada dalam lingkungan ibunya tetapi juga
masuk dalam lingkungan ayahnya yang secara otomatis dia juga bagian
dari umat manusia sehingga dari narsisisme individu mulai mengarah
kepada narsisisme social. Artinya bahwa ketika dia menjadi bagian dari
masyarakat maka narsisisnya sudah mulai terbatasi (terkontrol oleh nilai-
nilai yang ada di masyarakat).
4. Masa remaja, cita-cita dan ambisi. Pada masa ini seseorang telah memiliki
pahlawan, harapan, ambisi, keyakinan, dan mimpi-mimpi rahasia. Pada
tahap ini bagi seseorang yang mengalami narsisistik terluka akan selalu
berada adalam keputusasan dan tertekan sehingga dia cenderung
menyendiri. Tubuhnya menjadi sumber kenikmatan dan kebanggaannya.
Pada tahap ini juga mulai muncul sikap-sikap destruktif atau memberontak
karena keinginannya tidak tercapai.
5. Masa dewasa, transfer narsisisme pada generasi selanjutnya. Pada tahap ini
sikap kemahakuasaan semakin surut. Seseorang yang dewasa sudah mulai
memahami keterbatasan dirinya. Mereka sudah puas dengan apa yang
mereka alami sekarang. Akan tetapi sisfat narsisistiknya diinvestasikan
kepada anak-anaknya. Cita-cita yang gagal diganti dengan kecintaan akan
kebenaran. Kegagalan dihadapi dengan penerimaan. Bagi yang narsisis
yang tidak sehat maka maka dia akan membangkitkan iri hati atau merusak
hubungannya dengan orang lain.
6. Periode selanjutnya, memperoleh kebijakan. Pada tahap ini narsistik
seseorang akan mengarahkan menuju kemampuan uuntuk melihat dunia
sebagaimana adanya, menerima kenyataan tentang kematian memercayai
intuisi dan empati, menemukan sumber kreatifitas dan humor, dan
akhirnya mencapai kebijakan. Akan tetapi jika pada orang tidak
mengalami perubahan-perubahan tersebut maka orang tersebut mengalami
kegagalan narsistik. Hal ini akan berbentuk pada sifat tirani dimana
kekuatan mendominasi yang telah terbentuk dengan orang lain.
DAFTAR REFERENSI
Sangidu, 2004. Penelitian Sastra, Pendekatan, Teori, Meotde, Teknik, dan Kiat.
Unit Penerbitan Sastra Asia Barat: Yogyakarta.
Wiyatmi, 2011. Psikologi Sastra, Teori dan Aplikasinya. Kanwa Publisher.
Yogyakarta