Anda di halaman 1dari 14

REVIEW MATA KULIAH PSIKOLOGI SASTRA

a. Pengertian Psikologi

Dalam Pengantar Psikologi Umum, Walgito (2004:10) mengemukakan


bahwa psikologi merupakan suatu ilmu yang meneliti serta mempelajari tentang
perilaku atau aktivitas-aktivitas yang dipandang sebagai manifestasi dari
kehidupan psikis manusia. Dalam psikologi, perilaku atau aktivitas yang ada pada
individu atau organisme dianggap tidak muncul dengan sendirinya, tetapi sebagai
akibat dari adanya stimulus atau rangsang yang mengenai individu atau organisme
itu. Dalam hal ini perilaku atau aktivitas dianggap sebagai jawaban atau respon
terhadap stimulus yang mengenainya. Dalam psikologi perilaku manusia
dibedakan menjadi dua, yaitu perilaku yang refleksif dan nonrefleksif. Perilaku
yang refleksif terjadi secara spontan, misalnya kedipan mata bila kena sinar, gerak
lutut jika kena sentuhan palu, menarik jari jika terkena api, dan sebagainya.
Perilaku refleksif terjadi dengan sendirinya. Dalam hal ini stimulus yang diterima
oleh individu tidak sampai ke pusat susunan syaraf atau otak, sebagai pusat
kesadaran atau pusat pengendalian perilaku manusia. Kondisinya berbeda dengan
perilaku nonrefleksif yang dikendalikan atau diatur oleh pusat kedasaran atau
otak. Setelah stimulus diterima oleh reseptor, kemudian diteruskan ke otak
sebagai pusat syaraf, pusat kesadaran, baru kemudian terjadi respon yang disebut
proses psikologis. Perilaku atau aktivitas atas dasar proses psikologis inilah yang
disebut aktivitas psikologis atau perilaku psikologis (Wiyatmi, 2011: 7).
Dalam perkembangannya, psikologi sebagai sebuah ilmu mengalami
berkembangan sesuai dengan ruang lingkup kajiannya. Walgito (2004:23-24)
membedakan berbagai cabang psikologi menjadi psikologi umum dan psikologi
khusus. Psikologi umum meneliti dan pempelajari kegiatan-kegiatan atau
aktivitas-aktivitas manusia yang tercermin dalam perilaku pada umumnya yang
dewasa, yang normal, dan yang berkultur. Psikologi umum memandang manusia
seakan-seakan terlepas dari hubungannya dengan manusia lainnya. Psikologi
khusus meneliti dan mempelajari segi-segi kekhususan dari aktivitas-aktivitas
psikis manusia. Sesuai dengan kekhususan kajiannya, dalam psikologi khusus
selanjutnya dibedakan beberapa subjenis, yaitu: (1) psikologi perkembangan, yang
membicarakan perkembangan psikis manusia dari masa bayi sampai tua, yang
mencakup (a) psikologi anak (mencakup masa bayi), (b) psikologi remaja, (c)
psikologi orang dewasa, (d) psikologi orang tua. (2) Psikologi sosial, yang
membicarakan perilaku atau aktivitas manusia dalam hubungannya dengan situasi
sosial, (3) Psikologi pendidikan, yang khusus menguraikan kegiatan-kegiatan dan
aktivitas manusia dalam hubungannya dengan situasi pendidikan, misalnya
bagaimana cara menarik perhatian agar pelajaran dapat dengan mudah diterima,
bagaimana cara belajar, dan sebagainya. (4) Psikologi kepribadian, yang secara
khusus menguraikan tentang pribadi manusia, beserta tipe-tipe kepribadian
manusia. (5) Psikopatologi, yang secara khusus menguraikan keadaan psikis yang
tidak normal (abnormal). (6) Psikologi kriminal, yang secara khusus berhubungan
dengan soal kejahatan atau kriminalitas. (7) Psikologi perusahaan, yang
berhubungan dengan persoalan perusahaan. Di samping dibedakan berdasarkan
ruang lingkup, berdasarkan teori yang digunakannya juga dikenal berbagai jenis
psikologi, yaitu (1) psikologi fungsional, 2) psikologi behaviorisme, (3) psikologi
gestalt, (4) psikoanalisis, (5) psikologi humanistik, dan (7) psikologi kognitif.
(Walgito, 2004:64-82)

b. Pengertian Sastra

Banyak para ahli berusaha mendefinisikan “sastra itu apa”? dari berbagai
pendekatan yang berbeda-beda. Akan tetapi pengertian tersebut juga banyak
ditentang oleh para ahli sastra yang lain. Alasannya adalah :

1. Definisi yang satu yang menekankan pada aspek yang satu tetapi tidak
menekankan pada aspek yang lain. Pengertiannya tidak menyeluruh.
2. Definisinya terlalu luas sehingga mencakup banyak hal yang seharusnya
bukan wilayah sastra.
3. Orang sering melupakan tentang perbedaan definisi deskriptif (yang
memberi jawaban atas “sastra itu apa?” dan definisi evaluative (yang
menilai apakah sebuah karya sastra masuk dalam sastra atau tidak)

Walaupun banyak defisi tentang sastra akan tetapi dapat dikatakan bahwa
masing-masing mereka memiliki alasan sehingga pengertian sastra adalah seperti
apa yang mereka sampaikan. Berikut ini akan disampaikan tentang beberapa
pengertian tentang sastra dari para ahli.

1. Menurut kaum Romantik ( Sangidu, 2004 : 33)

Pengertian sastra pada zaman ini memiliki ciri. Yaitu:

a. Sastra merupakan suatu ciptaan, kreasi, dan bukan sebuah imitasi.


Sang seniman menciptakan dunia yang baru, meneruskan pencitaan di
alam semesta dan bahkan menyempurnakannya.
b. Sastra bersifat otonom, tidak mengacu pada yang lain.
c. Sastra yang bersifat otonom itu bercirikan koherensi
d. Sastra menyajikan sintesa antara hal-hal yang bertentangan.
e. Sastra mengungkapkan sesuatu yang tidak dapat diungkapkan
(dirasakan tetapi tak terkatakan).
2. Kaum Formalis

Menurut kaum ini sastra bukanlah suatu hal yang statis karena teks
sastra diubah dan disulap oleh pengarang sehingga efeknya mengasingkan dan
melepaskan diri dari otomatisasi bagi pencerapan kita. Selain itu juga sastra
juga merupakan teks-teks yang mengandung unsur fiksionalitas karena
mengacu pada dunia yang besifat rekaan.

3. Emerson
Menurut Emerson bahwa sastra adalah rajutan pemikiran-pemikiran
seseorang yang terbaik.
4. Stopford Brook
Menurutnya bahwa sastra adalah ungkapan yang detil, indah dan
mendalam yang diungkapkan dari kenyataan – kenyataan sastrawi dan
perasaan-perasaan kemanusiaan.
5. A Teeuw
Bahwa sastra adalah semua hal yang berbentuk tulisan.

Berbagai macam terkait definisi sastra, oleh karena itu semakin banyak
seseorang membaca karya sastra maka semakin banyak pula ia mengetahui
masalah-masalah kesastraan. Oleh karena itu sastra adalah abstraksi dari seluruh
aspek kehidupan manusia yang telah dijabarkan di dalam unsur-unsur karya
sastra.

c. Pengertian Psikologi Sastra

Psikologi Sastra adalah suatu disiplin yang memandang karya sastra


sebagai suatu karya yang memuat peristiwa-peristiwa kehidupan manusia yang
diperankan oleh tokoh-tokoh imajiner yang ada di dalamnya atau mungkin juga
diperankan oleh tokoh-tokoh faktual. Hal ini merangsang untuk melakukan
penjelajahan ke dalam batin atau kejiwaan untuk mengetahui lebih jauh tentang
seluk-beluk manusia yang beraneka ragam (Semi, 1993: 76). Dengan perkataan
lain, psikologi sastra adalah suatu disiplin yang menganggap bahwa memuat
unsur-unsur psikologis. Sementara Sayyid Quthub (1980 :182) berpendapat
bahwa pendekatan psikologi terhadap sastra adalah suatu pendekatan yang
menggambarkan perasaan dan emosi pengarangnya. Untuk menganalisis teks
sastra yang mengandung perasaan dan emosi pengarang diperlukan bantuan ilmu
psikologi. Dengan demikian, untuk mengungkap unsur-unsur psikologis dalam
karya sastra diperlukan bantuan teori-teori psikologi (Wright, 1998: 9)

Pendekatan psikologi dalam penelitian terhadap karya sastra dapat


berpijak pada psikologi kepribadian yang dikembangkan oleh Sigmund Freud
ataupun teori-teori psikologi lainnya bergantung pada karya sastra yang diteliti.
d. Teori-Teori Psikologi Sastra
1. Psikoanalisis oleh Sigmund Freud

Psikoanalisis adalah teori yang menjelaskan bahwa kesadaran


dipengaruhi oleh daerah ketidaksadaran yang di dalamnya ditemukan
dorongan-dorongan, nafsu-nafsu, ide-ide dan perasaan yang ditekan oleh
suatu dunia bawah yang besar berisi kekuatan-kekuatan vital dan tidak
kasat mata yang melaksanakan control penting dan pikiran-pikiran dan
perbuatan-perbuatan sadar individu. Di akhir teorinya, beliau menarik
sebuah garis besar bahwa kepribadian dibagi menjadi 3 sistem pokok,
yakni id, ego, dan superego. Meskipun masing-masing bagian dari
kepribadian total ini mempunyai fungsi, sifat, komponen, prinsip kerja,
dinamisme, dan mekanismenya sendiri-sendiri. Akan tetapi, mereka
berinteraksi begitu erat satu sama lain sehingga sulit (tidak mungkin)
untuk memisah-misahkan pengaruhnya dan menilai sumbangan relatifnya
terhadap tingkah laku manusia. Tingkah laku selalu merupakan produk
dari interaksi di antara ke tiga system tersebut, jarang salah satu system
berjalan terlepas dari kedua system lainnya (Hall, 1993; 63).

a. Id

Id adalah system kepribadian yang asli: id merupakan Rahim tempat ego


dan superego berkembang. Id berisikan segala sesuatu yang secara
psikologis diwariskan dan telah ada sejak lahir, termasuk insting-insting.
Id merupakan revoir energi psikis dan menyediakan seluruh daya untuk
menjalankan kedua sistem yang lain. Id berhubungan erat dengan proses-
proses jasmaniah dari mana id mendapatkan energinya (Hall, 1993: 64).

Id tidak menanggulangi peningkatan energi yang dialaminya sebagai


keadaan-keadaan tegangan yang tidak menyenangkan. Karena itu, apabila
tingkat ketegangan organisme meningkat, entah sebagai akibat stimulasi
dari luar atau rangsangan-rangsangan yang timbul dari dalam, maka id
akan bekerja sedemikian rupa untuk segera menghentikan tegangan dan
mengembalikan organisme pada tingkat energi rendah dan konstan serta
menyenangkan. Prinsip reduksi tegangan yang merupakan ciri kerja id ini
disebut prinsip kenikmatan.

Untuk menghindari rasa sakit dan mendapatkan kenikmatan, id memiliki


dua proses. Kedua proses tersebut adalah tindakan refleks dan proses
primer. Tindakan-tindakan refleks adalah reaksi-reaksi otomatik dan
bawaan seperti bersin dan berkedip; tindakan-tindakan refleks itu biasanya
segera mereduksikan tegangan. Organisme dilengkapi dengan sejumlah
refleks semacam itu untuk menghadapi bentuk-bentuk rangsangan relative
sederhana. Proses primer menyangkut suatu reaksi psikologi yang sedikit
lebih rumit. Ia berusaha menghentikan tegangan dengan membentuk
khayalan tentang objek yang dapat menghilangkan tegangan tersebut.
Pengalaman hulusinatorik dimana objek-objek yang diinginkan ini hadir
dalam bentuk gambaran ingatan disebut pemenuhan hasrat (fulfillment).
Contoh proses primer yang paling baik pada orang normal ialah mimpi di
malam hari. Pikiran austik atau angan-angan sangat diwarnai oleh
pengaruh proses primer ini gambaran-gambaran mentah yang bersifat
memenuhi hasrat ini merupakan satu-satunya kenyataan yang dikenal id
(Hall, 1993:64-65).

b. Ego

Ego timbul karena kebutuhan-kebutuhan organisme memerlukan


transaksi-transaksi yang sesuai dengan dunia kenyataan objektif.
Perbedaan pokok antara id dan ego ialah bahwa id hanya mengenal
kenyataan subjektif-jiwa, sedangkan ego membedakan antara hal-hal yang
terdapat dalam batin dan hal-hal yang terdapat dalam dunia luar (Hall,
1993: 65).

Ego dikatakan mengikuti prinsip kenyataan, dan beroperasi menurut


proses sekunder. Tujuan prinsip kenyataan adalah mencegah terjadinya
tegangan sampai ditemukan suatu objek yang cocok untuk pemuasan
kebutuhan. Proses sekunder adalah berpikir realistis. Dengan proses
sekunder, ego menyusun rencana untuk memuaskan kebutuhan dan
kemudian menguji rencana ini, biasanya melalui tindakan untuk melihat
apakah rencana itu berhasil atau tidak. Orang yang lapar berpikir dimana
ia dapat menemukan makanan daan kemudian pergi ke tempat itu. Ini
disebut pengujian terhadap kenyataan (reality testing). Untuk melakukan
peranannya secara efisien, ego, mengontrol semua fungsi kognitif dan
intelektual: proses-prose jiwa ini dipakai untuk melayani proses sekunder
(Hall, 1993: 65).

c. Superego
Superego adalah wewenang moral dari kepribadian; ia mmencerminkan
yang ideal dan bukan yang real; dan memperjuangkan kesempurnaan dan
bukan kenikmatan. Perhatiannya yang utama adalah memutuskan apakah
sesuatu itu benar atau salah dengan demikian ia dapat bertindak sesuai
dengan norma-norma moral yang diakui oleh wakil-wakil masyarakat
(Hall, 1993: 67).
Fungsi-fungsi pokok superego adalah (1) meerintangi impuls-impuls id,
terutama impuls-impuls seksual dan agresif, karena inilah impuls-impuls
yang pernyataanya sangat dikutuk oleh masyarakat, (2) mendorong ego
untuk menggantikan tujuan-tujuan realistis dengan tujuan-tujuan
moralitas; (3) mengejar kesempurnaan. Jadi, superego cenderung untuk
menentang baik id maupun ego, dan membuat dunia menurut
gambarannya sendiri (Hall, 1993 :67-68).

Apabila ketiga komponen tersebut yakni id, ego, dan superego tidak
berjalan dengan seimbang maka individu akan mengalami berbagai masalah
psikologi. Seperti kecemasan, kegelisahan, ketakutandan kebingungan. Pada
dasarnya, munculnya kecemasan pada diri indvidu memiliki arti penting karena
fungsinya membantu individu agar mengetahui adanya bahaya yang sedang
mengancamnya (Koswara, 1991: 45). Akan tetapi, jika kecemasan tersebut
berlebihan maka ego akan menjalankan mekanisme pertahanan. Freud sendiri
mengartikan mekanisme pertahanan ego sebagai strategi yang digunakan individu
untuk mecegah kemunculan terbuka dari dorongan-dorongan id maupun untuk
menghadapi tekanan superego atas ego dengan tujuan agar ego kecemasan bisa
dikurangi atau diredakan.

Menurut Freud mekanisme pertahanan ego itu adalah mekanisme yang


rumit dan banyak macamnya. Berikut ini akan kita uraikan tujuah macam
mekanisme pertahanan ego yang enurut Freud umum dijumpai.

a. Represi

Yang dimaksud dengan represi adalah mekanisme yang dilakukan oleh


ego untuk meredakan kecemasan dengan jalan menekan dorongan-
dorongan atau keinginan-keinginan yang menjadi penyebab kecemasan
tersebut ke dalam tak sadar. Contohnya: sabar

b. Sublimasi

Sublimasi adalah mekanisme pertahanan ego yang ditujukan untuk


mencegah dan atau meredakan kecemasan dengan cara mengubah dan
menyesuaikan dorongan primitive id yang menjadi penyebab
kecemasan ke dalam bentuk (tingkah laku) yang bisa diterima dan,
bahkan dihargai oleh masyarakat. Contoh: orang yang cerai karena
suaminya memiliki perempuan lain, maka ketika si mantan istri
mengalihkan segala kekesalannya dengan tambah mempercantik diri,
berkarya dengan karya terbaiknya dll.

c. Proyeksi
Proyeksi adalah pengalihan dorongan, sikap, atau tingkah laku yang
menimbulkan kecemasan kepada orang lain. Contoh: seorang siswa
yang malas dan kemudian tidak lulus ujian mengatakan kepada orang
tuanya, bahwa dia tidak lulus bukan karena malas, melainkan karena
guru yang sentiment kepadanya. Prasangka-prasangka social atau
mengakambinghitamkan atau individu dan kelompok lain (biasanya
minoritas) juga merupakan bentuk proyeksi.

d. Displasemen

Displasemen adalah pengungkapan dorongan yang menimbulkan


kecemasan kepada objek atau individu yang kurang berbahaya atau
yang mengancam disbanding objek atau individu semula. Contoh:
seorang siswa yang dihukum oleh gurunya, kemudian melampiaskan
keinginannya untuk melakukan pembalasan dengan merusak perabotan
sekolahnya. Atau, seorang anak dipukul oleh ayahnya dan ingin
membalas kepada sang ayah. Tetapi karena takut, si anak kemudian
memukul adiknya.

e. Rasionalisasi
Rasionalisasi merujuk kepada upaya individu menyelewengkan atau
memutarbalikkan kenyataan, dalam hal ini kenyataan yang
mengancam ego, melalui dalih atau alasan tertentu yang seakan-akan
masuk akal, sehingga kenyataan tersebut tidak lagi mengancam ego
individu yang bersangkutan. Contoh: Seorang pemuda yang menyukai
seorang gadis dan dia sudah memberitakan kepada teman-temannya
tentang perasaannya. Akan tetapi setelah dia menyatakan cintanya lalu
dia ditolak maka ketika ditanya oleh teman-temannya dia mengatakan
bahwa gadis itu ternyata tidak secantik hatinya, sifatnya jelek dan lain-
lain.
f. Rekasi Formasi
Reaksi Formasi adalah suatu mekanisme pertahanan dimana ego bisa
mengendalikan dorongan-dorongan primitive agartidak muncul sambal
secara sadar mengungkapkan tingkah laku sebaliknya. Contoh: seorang
perempuan diperkosa lalu dia memiliki anak. Dia sebetulnya tidak
menyayangi anaknya karena sering mengingat peristiwa memilukan itu
akan tetapi karena seorang ibu tidak boleh memberi anaknya maka dia
menyayangi anaknya secara berlebihan.
g. Regresi
Regresi adalah suatu mekanisme yang diaman individu, untuk
menghindarkan diri dari kenyataan yang mengancam, kembali kepada
taraf perkembangan yang lebih rendah serta bertingkah laku seperti
ketika dia berada dalam taraf yang lebih rendah itu. Contoh : seorang
gadis yang ditinggal pacarnya lalu menangis meraung-raung layaknya
seperti anak kecil.

e. Metode Penelitian Psikologi sastra

Menurut Scott (Sangidu, 2004: 30), jika yang dimanfaatkan dalam analisis
karya sastra adalah teori psikologi sastra maka metodenya pun bersifat psikologi
sastra. Oleh karena itu, secara umum, metode psikologi sastra ada tiga macam.
Pertama, menguraikan hubungan ketidaksengajaan antara pengarang dan
pembaca. Kedua, menguraikan kehidupan pengarang untuk memahami karyanya.
Ketiga, menguraikan karakter para tokoh yang ada dalam karya yang akan diteliti.
Ketiga metode ini dapat diterapkan semuanya dalam analisis suatu karya sastra
maupun hanya dimanfaatkan salah satu saja tergantung pada objek material (karya
sastra) yang diteliti.

Selain sistem kepribadian yang dibahas oleh Sigmund Freud ada beberapa
perkembangan manusia yang juga menjadi bahan kajiannya. Menurutnya manusia
memiliki tahapan perkembangan, yaitu :

1. Tahap oral (lahir – 1 tahun)

Fase oral adalah fase perkembangan yang berlangsung pada tahun pertama
dari kehidupan individu. Pada fase oral ini, daerah erogen yang paling
penting dan peka adalah mulut, yakni berkaitan dengan pemuasan
kebutuhan dasar akan makanan atau air.

2. Tahap Anal (usia 1 – 3 tahun)


Fase anal dimulai dari tahun kedua sampai tahun ketiga dari kehidupan
pada fase oral ini, focus dari energi libidal dialihkan dari mulut ke daerah
dubur, serta kesenangan atau kepuasan diperoleh dalam kaitannya dengan
tindakan mempermainkan atau menahan faeces (kotoran). Pada fase ini
anak mulai diperkenalkan kepada aturan-aturan kebersihan oleh orang
tuanya melalui toilet training, yakni latihan mengenai bagaimana dan
dimana seharusnya seorang anak membuang kotorannya. Melalui toilet
training ini seorang anak mulai belajar mengendalikan diri. Dan dalam
kenyataanya, menurut Freud, kendali-kendali diri yang dimiliki oleh orang
dewasa berasal dari fase anal sebagai hasil dari toilet training ini.

3. Tahap Phalik ( usia 3 – 5 tahun)

Fase Falik berlangsung pada tahun keempat atau kelima, yakni suatu fase
ketika energi libido sasarannya dari daerah dubur ke daerah alat kelamin.
Pada fase falik ini anak mulai tertarik kepada alat kelaminnya sendiri, dan
mempermainkannya dengan maksud memperoleh kepuasan.

Pada fase ini dijumpai apa yang oleh Freud disebut Oedipus Complex (
pada anak perempuan disebut Electra Complex).

4. Tahap Latensi (5 – awal pubertas)

Masa ini adalah periode dimana dorongan-dorongan seks (libido/syahwat)


agresif masih tertahan. Selama masa ini, maka anak mengembangkan
kemampuannya bersublimasi, diantaranya mengerjakan tugas-tugas se
kolah, bermain, berolahraga, serta melakukan berbagai kegiatan lainnya.

5. Tahap Genital (masa remaja)


Pada tahap ini sifat manusia yaitu sifat sifat cinta diri mulai terbentuk. Ini
berarti individu mendapatkan kepuasan dari stimulus dan manipulasi
tubuhnya sendiri.
Membahas tentang narsisisme (paham cinta diri) maka di bawah ini akan
dijelaskan secara singkat tentang hal tersebut.

Narsisisme

Narsisisme berawal dari cermin, dari seorang ibu yang bercermin melihat
anaknya. Gagasan-gagasan psikoanalitis bisa dibagi menjadi 3 bagian yang
berbeda.

1. Narsisisme Libidal
Narsisisme Libidal adalah keadaan dimana seseorang menarik energi
psikis ke dalam dirinya sendiri. Orang yang mengalami narsisisme libidal
ini seringnya disebut luka narsisistik yaitu seseorang yang merasa tidak
mampu mencintai dirinya karena pernah tersakiti.
2. Narsisisme Destruktif adalah narsisis yang bersifat patologis merasa iri
hati, benci, dan secara aktif berusaha menghancurkan objek sasarannya,
yaitu orang lain. Hanya dirinya sendiri yang diperbolehkan ada.
3. Narsisisme yang Sehat adalah narsisis yang normal.

Narsisisme juga mengalami perkembangan mengikuti perkembangan


manusia. Menurut Freud (2006: 577) tahap-tahap perkembangan itu adalah

1. Tahun pertama kehidupan, tahap dimana seseorang rasa aman dari diri
yang kreatif dalam kaitannya dengan diri lain yang responsive. Pada tahap
ini seorang anak sedang menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Dengan dia mendapatkan kasih saying orang tuanya maka anaki ini akan
merasa dirirnya dikhususkan, unik, dan sebagai pusat perhatian.
2. Tahun kedua kehidupan, investasi narsistik dalam tubuh dan
perkembangan kekuatannya. Pada tahap ini seorang anak sudah mulai
merasa bangga terhadap dirinya dari orang yang melihatnya seiring
dengan pertumbuhannya.
3. Tahun ketiga kehidupan, awal dari frustasi optimal. Hal ini disebabkan
karena seorang anak tidak lagi berada dalam lingkungan ibunya tetapi juga
masuk dalam lingkungan ayahnya yang secara otomatis dia juga bagian
dari umat manusia sehingga dari narsisisme individu mulai mengarah
kepada narsisisme social. Artinya bahwa ketika dia menjadi bagian dari
masyarakat maka narsisisnya sudah mulai terbatasi (terkontrol oleh nilai-
nilai yang ada di masyarakat).
4. Masa remaja, cita-cita dan ambisi. Pada masa ini seseorang telah memiliki
pahlawan, harapan, ambisi, keyakinan, dan mimpi-mimpi rahasia. Pada
tahap ini bagi seseorang yang mengalami narsisistik terluka akan selalu
berada adalam keputusasan dan tertekan sehingga dia cenderung
menyendiri. Tubuhnya menjadi sumber kenikmatan dan kebanggaannya.
Pada tahap ini juga mulai muncul sikap-sikap destruktif atau memberontak
karena keinginannya tidak tercapai.
5. Masa dewasa, transfer narsisisme pada generasi selanjutnya. Pada tahap ini
sikap kemahakuasaan semakin surut. Seseorang yang dewasa sudah mulai
memahami keterbatasan dirinya. Mereka sudah puas dengan apa yang
mereka alami sekarang. Akan tetapi sisfat narsisistiknya diinvestasikan
kepada anak-anaknya. Cita-cita yang gagal diganti dengan kecintaan akan
kebenaran. Kegagalan dihadapi dengan penerimaan. Bagi yang narsisis
yang tidak sehat maka maka dia akan membangkitkan iri hati atau merusak
hubungannya dengan orang lain.
6. Periode selanjutnya, memperoleh kebijakan. Pada tahap ini narsistik
seseorang akan mengarahkan menuju kemampuan uuntuk melihat dunia
sebagaimana adanya, menerima kenyataan tentang kematian memercayai
intuisi dan empati, menemukan sumber kreatifitas dan humor, dan
akhirnya mencapai kebijakan. Akan tetapi jika pada orang tidak
mengalami perubahan-perubahan tersebut maka orang tersebut mengalami
kegagalan narsistik. Hal ini akan berbentuk pada sifat tirani dimana
kekuatan mendominasi yang telah terbentuk dengan orang lain.
DAFTAR REFERENSI

Freud, Sigmund. 2006. Pengantar Umum Psikoanalisis, Terjemahan. Pustaka


Belajar: Yogyakarta.
Hall, Calvin & Lindzey . 2005. Teori-Teori Psikodinamik (Klinis). Kanisius:
Yogyakarta.
Irawan, Eka Nova. 2015. Buku Pintar Pemikiran Tokoh-Tokoh Psikologi Dari
Klasik Sampai Modern. IRCiSoD: Yogyakarta.
Koswara, E. 1991. Teori-Teori Kepribadian. PT Eresco. Bandung.

Sangidu, 2004. Penelitian Sastra, Pendekatan, Teori, Meotde, Teknik, dan Kiat.
Unit Penerbitan Sastra Asia Barat: Yogyakarta.
Wiyatmi, 2011. Psikologi Sastra, Teori dan Aplikasinya. Kanwa Publisher.
Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai