Anda di halaman 1dari 7

Psikologi Sastra

(Muhammad Lutfi)

Hakikat Psikologi Sastra

Sebelum membahas hubungan antara sastra dan psikologi atau yang biasa disebut
psikologi sastra. Sebagian pakar menyatakan, sastra dapat didefinisikan menjadi karya tulis
yang bersifat imajinasi yang artinya bukan suatu karya tulis yang berisi sesuatu yang nyata
(fakta). 
Sastra sebagai suatu karya imajinatif  yang disampaikan  malalui  bahasa dan gaya
bahasa yang unik, indah serta mengandung ajaran tentang nilai-nilai kehidupan. Adapula
yang mendefinisikan karya sastra dapat membentuk esai yang berisi pemikiran atau gagasan
pengarang yang disampaikan melalui  bahasa dan gaya bahasa yang unik, indah serta
mengandung ajaran tentang nilai-nilai kehidupan.
Terdapat beberapa pandangan yang menyatakan perkembangan psikologi sastra agak
lamban dikarenakan beberapa sebab. Penyebabnya antara lain: pertama, psikologi sastra
seolah-olah hanya berkaitan dengan manusia sebagai individu, kurang memberikan peranan
terhadap subjek transindividual, sehingga analisis dianggap sempit.
Kedua, dikaitkan dengan tradisi intelektual, teori-teori psikologi sangat terbatas
sehingga para sarjana sastra kurang memiliki pemahaman terhadap bidang psikologi sastra.
Alasan itu yang membuat psikologi sastra kurang diminati untuk diteliti Ratna (2003:341)
dalam Minderop (2011:54).
Kendala lain yang menghambat perkembangan psikologi sastra adalah antusiasme
yang berlebihan ketika peneliti menerapkan pendekatan ini, artinya pembahasan terlalu
terfokus pada segi psikologi sedangkan hakikat sastra kerap kali ditinggalkan.
Kendala lainnya ialah ketidakmampuan para pengajar sastra memahami konsep-
konsep psikologi yang harus digunakan dlam telaah sastra. Oleh karena itu para pengajar
sastra perlu memahami dan mendalami teori, konsep dan definisi yang terkait dengan karya-
karya sastra Minderop (2011:53)
Ada tiga cara yang dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi dengan
sastra, yaitu:
 a) memahami unsur-unsur  kejiwaan pengarang sebagai penulis,
b) memahami unsur-unsur  kejiwaan para tokoh fiksional dalam karya sastra, dan
c) memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca.

Pada dasarnya psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah kejiwaan para tokoh
fiksinal yang terkandung dalam karya sastra (Ratna, 2003:343) dalam Minderop, A
(2011:54).
Selain itu kita perlu memahami sastra sebagai cerminan kepribadian, sastra dan teori
Sigmund Freud, metode telaah perwatakan, penelitian psikologi sastra, psikoanalisis
sastra, konsep umum mengenai psikoanalisis dalam sastra, dan kegunaan psikoanalisis sastra.

Pengertian Psikologi Sastra

Psikologi secara sempit dapat diartikan sebagai ilmu tentang jiwa. Sedangkan sastra
adalah ilmu tentang karya seni dengan tulis-menulis. Maka jika diartikan secara keseluruhan,
psikologi sastra merupakan ilmu yang mengkaji karya sastra dari sudut kejiwaannya.
Menurut Wellek dan Austin (1989:90) dalam analis Oeniwahyunie. Istilah psikologi
sastra mempunyai empat kemungkinan pengertian. Yang pertama adalah studi psikologi
pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Yang kedua adalah studi proses kreatif. Yang
ketiga studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Dan yang
keempat mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca). Pendapat Wellek
dan Austin tersebut memberikan pemahaman akan begitu luasnya cakupan ilmu psikologi
sastra.
Psikologi sastra tidak hanya berperan dalam satu unsur saja yang membangun sebuah
karya sastra. Mereka juga menyebutkan, “Dalam sebuah karya sastra yang berhasil, psikologi
sudah menyatu menjadi karya seni, oleh karena itu, tugas peneliti adalah menguraikannya
kembali sehingga menjadi jelas dan nyata apa yang dilakukan oleh karya tersebut”. Menurut
Ratna (2004:350) dalam analis Oeniwahyunie, “Psikologi Sastra adalah analisis teks dengan
mempertimbangkan relevansi dan peranan studi psikologis”.
Artinya, psikologi turut berperan penting dalam penganalisisan sebuah karya sastra
dengan bekerja dari sudut kejiwaan karya sastra tersebut baik dari unsur pengarang, tokoh,
maupun pembacanya.
Dengan dipusatkannya perhatian pada tokoh-tokoh, maka akan dapat dianalisis
konflik batin yang terkandung dalam karya sastra.. Secara umum dapat disimpulkan bahwa
hubungan antara sastra dan psikologi sangat erat hingga melebur dan melahirkan ilmu baru
yang disebut dengan “Psikologi Sastra”.
Artinya, dengan meneliti sebuah karya sastra melalui pendekatan Psikologi Sastra,
secara tidak langsung kita telah membicarakan psikologi karena dunia sastra tidak dapat
dipisahkan dengan nilai kejiwaan yang mungkin tersirat dalam karya sastra tersebut.
Psikologi sastra adalah sebuah interdisiplin antara psikologi dan sastra Endraswara
(2008:16) dalam Minderop (2011:59) daya tarik psikologi satra ialah pada masalah manusia
yang melukiskan potret jiwa. Tidak hanya jiwa sendiri yang muncul dalam sastra, tetapi juga
bisa mewakili jiwa orang lain.

Langkah dalam Memahami Psikologi Sastra

Setiap pengarang kerap menambahkan pengalaman sendiri dalam karyanya dan


pengalaman pengalaman itu sering pula dialami oleh orang lain.
Ada tiga langkah untuk pemahaman teori psikologi sastra:
a)  Melalui pemahaman teori-teori psikologi kemudian dilakukan analisis  terhadap suatu
karya sastra.
b) Dengan terlebih dahulu menentukan sebuah karya sastra sebagai objek penelitian,
kemudian detentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk digunakan.
c)  Secara simultan menemukan teori dan objek penelitian Endraswara (2008:89) dalam
Minderop (2011:59).

Sastra sebagai Cerminan Kepribadian

Sebelum dilakukan telaah bagainmana hubungan antara kepribadian dan karya sastra,
terdapat beberapa unsur yang perlu diketahui.
a)  Kita perlu mengamati si pengarang untuk menjelaskan karyanya. Telaah dilakukan
terhadap eksponen yang memisahkan dan menjelaskan kualitas khusus suatu karya
sastra  melalui referensi kualitas nalar, kehidupan, dan lingkungan si pengarang.
b) Kita perlu memahami isi si pengarang terlepas dari karyanya; caranya kita amati biografi
pengarang untuk merekonstruksi si pengarang dari sisi kehidupan dan perwatakan.
c) Kita perlu membaca suatu karya sastra untuk menemukan cerminan kepribadian si
pengarang di dalam karya tersebut Abrams (1979:227) dalam Minderop (2011:61).

Dalam Minderop (2011:61) terkait dengan antara sastra dan psikologi, terdapat beberapa
faktor yang perlu diperhatikan.
a)   Suatu karya sastra harus merefleksikan kekuatan, kekaryaan dan kepakaran penciptanya
sebagaimana dinyatakan oleh Christopher Marlowe.
b)   Karya sastra harus memiliki keistimewaan dalam hal gaya dan masalah bahasa sebagai
alat untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan pegarang.
c)  Masalah gaya, struktur dan tema karya sastra harus saling terkait de-ngan elemen-elemen
yang mencerminkan pikiran dan perasaan individu, tercakup didalamnya: pesan uta-ma,
peminatan, gelora jiwa, kesenangan dan ketidaksenangan yang memberikan kesinambungan
dan koherensi terhadap kepribadian.

Sebelum dilakukan telaah bagaimana hubungan antara kepribadian dan karya sastra,
terdapat beberapa unsur yang perlu diketahui.
a) Kita perlu mengamati si pengarang untuk menjelaskan karyanya. Telaah dilakukan
terhadap eksponen yang memisahkan dan menjelaskan kualitas khusus suatu karya
sastra  melalui referensi kualitas nalar, kehidupan, dan lingkungan si pengarang.
b)  Kita perlu memahami isi si pengarang terlepas dari karyanya; caranya kita amati biografi
pengarang untuk merekonstruksi si pengarang dari sisi kehidupan dan perwatakan.
c) Kita perlu membaca suatu karya sastra untuk menemukan cerminan kepribadian si
pengarang di dalam karya tersebut Abrams (1979:227) dalam Minderop (2011:61).

Dalam Minderop (2011:61) terkait dengan antara sastra dan psikologi, terdapat beberapa
faktor yang perlu diperhatikan.
a)   Suatu karya sastra harus merefleksikan kekuatan, kekaryaan dan kepakaran penciptanya
sebagaimana dinyatakan oleh Christopher Marlowe.
b)   Karya sastra harus memiliki keistimewaan dalam hal gaya dan masalah bahasa sebagai
alat untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan pegarang.
c)  Masalah gaya, struktur dan tema karya sastra harus saling terkait de-ngan elemen-elemen
yang mencerminkan pikiran dan perasaan individu, tercakup didalamnya: pesan uta-ma,
peminatan, gelora jiwa, kesenangan dan ketidaksenangan yang memberikan kesinambungan
dan koherensi terhadap kepribadian.
Tokoh biasa terdapat dalam karya prosa dan drama; mereka muncul untuk
membangun suatu objek dan secara psikologi merupakan wakil sastrawan. Pesan sastrawan
tampil melalui para tokoh Endraswara (2008:189) dalam Minderop (2011:62).
Tokoh yang menjadi tumpuan penelitian biasanya  tokoh utama; sedangkan tokoh
bawahan, walaupun tidak terlalu dominan tetapi mereka memiliki peran penting dalam
mendukung dan memperjelas watak tokoh utama.
a.    Cerminan Perilaku Baik
Dapat dipahami bahwa kehidupan seorang penulis bijak akan tampak di dalm karya-
karyanya yang dapat dilihat melalui temperamen, tingkah laku, pola pikir yang gelora
perasaan yang walaupun tersamar setidaknya akan terlihat. Walaupun seorang seniman,
penyair, atau pengarang, sejatinya menyampaikan ajaran tentang kebaikan, dalam
penyampaian kisah diperlukan berbagi karakter tokoh yang juga dapat menampilkan tingkah
laku yang selalu dapat diambil contoh.
Bila kita membaca karya-karya sastra yang terkait dengan kepribadian kita harus
memperhatikan, bahwa tiap pengarang memiliki keunikan yang membedakan dengannya
dengan pengarang lain. Selanjutnya tidak hanya gaya, tetapi juga para tokoh dan kisahan
yang disampaikan pengarang harus merupakan ekspresi kepribadian pengarang. Karya
orisinil mampu mengekspresikan dinamika temperamen individu melalui membaca kreatif.
Minderop (2011:62).
b.    Hasrat dan Karya
Interpretasi psikoanalisis tidak membuat hal misterius dan rumit menjadi jelas dan
sederhana sebagaimana anggapan orang selama ini. Membahas karya sastra melalui
pendekatan psikoanalisis tidak menghasilkan segalanya menjadi jelas, melainkan membuka
suatu wilayah tak pasti, yakni wilayah hasrat taksadar melalui arti yang mungkin jelas dan
terungkap dalam karya budaya.
Mengatakan bahwa suatu karya sebagai perwujudan taksadar atau perwujudan mimpi
bukan berarti menerjemahkan apa yang diwujudkannya tetapi memehami apa yang
dilakukannya dalam hubungan psikis dan hasilnya sama sekali tak akan terjangkau secara
langsung.
Keunggulannya ialah bahwa karya seni atau sastra dapat menampung seluas mungkin
kecenderungan psikis, karena tidak ada-nya penghalang atau sensor dalam penumpang, jadi
mirip dengan suatu permainan.
Dalam kehidupannya hal ini tidak selalu demikian karena adanya penghalang.
Sebagai suatu permainan, seni mendekatkan seorang seniman dengan kondisi infantil;
sedangkan orang yang berhayal sekedar melepaskan represi. Cara hasrat terungkap dalam
seni adalah dengan penghayatan, kondensasi, dan simbolisasi pada bahasa seniman
sebagaiman diterapkannya pada gambaran mimpinya. Semua ini tampil dalam seluruh tataran
bahasa yang dapat dikaji sebagai bahasa taksadar bila selalu muncul sebagaiman penghayatan
interpretasi mimpi.
Dalam karya seni atau sastra, hasrat tidak hanya mempermainkan kekangan represi
melainkan juga membentuk proses sublimasi bersama represi. Sublimasi menawarkan jalan
keluar bagi hasrat yang terlepas dari represi karena adanya sublimasi.
Sublimasi sendiri memusatkan hasrat pada objek-objek non-seksual dan mengandung nilai
sosial. Seni menawarkan wilayah yang sangat luas bagi antara seorang seniman dan
sastrawan dengan seorang neurosis atau penghayal yang semata membentuk dunia fantasme
untuk memuaskan hasrat dan diri sendiri. Sementara itu ada pula karna seni yang
mengandung narsisme yakni hasrat seniman yang hanya terpukau pada bentuk, gambar-
gambar dab bahasa yang dihargai masyarakat.
Menurut Richard Hard, selaras dengan pragmatik sastra, ia menekankan pada
kenikmatan; baginya sastra merupakan jalan agar seseorang lebih mencapai kesenangan dan
kegembiraan. Berdasarkan pendapat ini dapat disimpulkan bahwa pendekatan psikopragmatik
dalam penelitian sastra memiliki ciri-ciri: pertama, penelitian memperhatikan aspek
kehidupan psikis yang terungkap dalam karya; kedua, penelitian seharusnya mampu
menangkan apakah karya tersebut memuakkan, menggembirakan, nikmat, menghibur dan
indah, atau sebaliknya; ketiga, penelitian hendaknya memperhatikan kegunaan sastra dalam
kehidupan psikis, apakah karya itu merangsangkejiwaan, memberikan jawaban mental dan
seterusnya; keempat penelitian dapat memengaruhi, menggelorakan keinginan apresiator dan
mengundang tawa dan sebagainya. Singkatnya, pendekatan psikopragmatik penelitian sastra
adalah arah yang menekankan fungsi sastra dalam kehidupan psikis.
Daftar Rujukan
Aminudin. 2011. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Malang: Sinar Baru AlGensindo
Minderop, A. 2011. Psikologi Sastra. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo.
Wellek, R. & Werren, A. 1990. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai