Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH TEORI SASTRA

HUBUNGAN ANTARA SOSIOLOGI SASTRA, ANTROPOLOGI SASTRA


DAN PSIKOLOGI SASTRA

DISUSUN OLEH :
MIRI YATI RUMAIN

YAYASAN NAFIRI UKAR SENGAN


SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
TAHUN 2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala
limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hidayahnya Sehingga saya dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya
yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan
sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca
dalam pendidikan dalam profesi keguruan.

STKIP-ITA WOTU NUSA

Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena


pengalaman yang saya miliki masih kurang. Oleh karena itu saya
harapkan para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang
bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................
DAFTAR ISI.......................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...................................................................

i
ii
1

A. LATAR BELAKANG..........................................................
B. RUMUSAN MASALAH......................................................
C. TUJUAN PENULISAN.......................................................
BAB II PEMBAHSAN.......................................................................
A. KAJIAN PSIKOLOGI SASTRA.............................................
B. APA KAJIAN ANTROPOLOGI SASTRA...............................
C. APA KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA.....................................
D. ANALISIS PSIKOLOGI SASTRA, SOSIOLOGI SASTRA
DAN ANTROPOLOGI SASTRA..........................................

1
1
2
3
3
14
20

BAB III PENUTUP............................................................................

25

A. KESIMPULAN..................................................................

25

DAFTAR PUSTAKA............................................................................

23

iii

STKIP-ITA WOTU NUSA

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Sastra
juga cabang ilmu pengetahuan. Studi sastra memiliki metode-metode
yang absah dan ilmiah, walau tidak selalu sama dengan metode ilmuilmu alam. Bedanya hanya saja ilmu-ilmu alam berbeda dengan tujuan
ilmu-ilmu

budaya.

Ilmu-ilmu

alam

mempelajari

fakta-fakta

yang

berulang, sedangkan sejarah mengkaji fakta-fakta yang silih berganti.


Karya sastra pada dasarnya bersifat umum dan sekaligus bersifat
khusus, atau lebih tepat lagi : individual dan umum sekaligus. Studi
sastra adalah sebuah cabang ilmu pengetahuan yang berkembang
terus-menerus.
Dengan berkembangannya ilmu tentang sastra maka bukan
hanya unsur-unsur yang terdapat didalam sebuah karya sastra saja
yang dapat dikaji atau analisis tetapi pada saat ini sastra juga dapat
dikaji berdasarkan faktor-faktor yang berasal dari luar sastra itu. Faktorfaktor dari luar karya sastra yaitu sosiologi sastra, psikologi sastra serta
antropologi sastra. Sosiologi sastra dianalisis dalam kaitannya dengan
masyarakat yang menghasilkannya sebagai latar belakang sosialnya.
Antropologi sastra, dibangun atas dasar asumsi-asumsi genesis, dalam
kaitannya dengan asal usul sastra.
Psikologi Sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan
relevansi dan peranan studi psikologis. Artinya, psikologi turut berperan
penting dalam penganalisisan sebuah karya sastra dengan bekerja dari
STKIP-ITA WOTU NUSA

sudut kejiwaan karya sastra tersebut baik dari unsur pengarang, tokoh,
maupun pembacanya. Dengan dipusatkannya perhatian pada tokohtokoh, maka akan dapat dianalisis konflik batin yang terkandung dalam
karya sastra.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
2.
3.
4.

Apa kajian psikologi sastra ?


Apa kajian antropologi sastra ?
Apa kajian sosiologi sastra ?
Analisis Psikologi Sastra, Sosiologi Sastra dan Antropologi Sastra ?

C. TUJUAN PENULISAN
1.
2.
3.
4.

Untuk
Untuk
Untuk
Untuk

mengetahui kajian psikologi sastra ?


mengetahui antropologi sastra ?
mengetahui sosiologi sastra ?
mengetahui analisis Psikologi Sastra, Sosiologi Sastra dan

Antropologi Sastra ?

BAB II
STKIP-ITA WOTU NUSA

PEMBAHASAN
A. KAJIAN PSIKOLOGI SASTRA
Psikologi secara sempit dapat diartikan sebagai ilmu tentang jiwa.
Sedangkan sastra adalah ilmu tentang karya seni dengan tulis-menulis.
Maka jika diartikan secara keseluruhan, psikologi sastra merupakan ilmu
yang mengkaji karya sastra dari sudut kejiwaannya. Menurut Wellek dan
Austin

(1989:90),

kemungkinan

Istilah

pengertian.

psikologi
Yang

sastra

pertama

mempunyai

adalah

studi

empat
psikologi

pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Yang kedua adalah studi
proses kreatif. Yang ketiga studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang
diterapkan pada karya sastra. Dan yang keempat mempelajari dampak
sastra pada pembaca (psikologi pembaca). Pendapat Wellek dan Austin
tersebut memberikan pemahaman akan begitu luasnya cakupan ilmu
psikologi sastra. Psikologi sastra tidak hanya berperan dalam satu unsur
saja yang membangun sebuah karya sastra. Mereka juga menyebutkan,
Dalam sebuah karya sastra yang berhasil, psikologi sudah menyatu
menjadi

karya

seni,

oleh

karena

itu,

tugas

peneliti

adalah

menguraikannya kembali sehingga menjadi jelas dan nyata apa yang


dilakukan oleh karya tersebut
Menurut Ratna (2004:350), Psikologi Sastra adalah analisis teks
dengan mempertimbangkan relevansi dan peranan studi psikologis.
Artinya, psikologi turut berperan penting dalam penganalisisan sebuah
karya sastra dengan bekerja dari sudut kejiwaan karya sastra tersebut
baik dari unsur pengarang, tokoh, maupun pembacanya. Dengan
dipusatkannya perhatian pada tokoh-tokoh, maka akan dapat dianalisis
konflik batin yang terkandung dalam karya sastra.. Secara umum dapat
disimpulkan bahwa hubungan antara sastra dan psikologi sangat erat
hingga melebur dan melahirkan ilmu baru yang disebut dengan
Psikologi Sastra. Artinya, dengan meneliti sebuah karya sastra melalui
pendekatan

Psikologi

Sastra,

secara

tidak

langsung

kita

telah

membicarakan psikologi karena dunia sastra tidak dapat dipisahkan


dengan nilai kejiwaan yang mungkin tersirat dalam karya sastra
tersebut.
Penelitian Psikologi Sastra
STKIP-ITA WOTU NUSA

Harus kita akui, bahwa di indonesia analisis tentang psikologi


sastra sangat lambat perkembangannya hal ini disebabkan karena : a).
Psikologi satra seolah-olah hanya berkaitan dengan manusia sebagai
individu, kurang memberikan peranan terhadap subjek transindividual,
sehingga analisis dianggap sempit, b). Dikaitkan dengan tradisi
intelektual, teori-teori psikologis sangat terbatas, sehingga para sarjana
sastra kurang kurang memiliki pemahaman terhadap bidang psikologin
sastra, c). Berkaitan dengan masalah yang pertama dan kedua ,
relevansi analisis psikologi pada gilirannya kurang menarik minat,
khususnya dikalangan mahasiswa, yang dapat dibuktikan dengan
sedikitnya skripsi dan karya tulis yang lain yang memanfaatkan
pendekatan psikologi sastra.
Sebenarnya didalam karya sastra memiliki aspek-aspek kejiwaan
yang sangat kaya, maka analisis psikologi harus dimotifasi dan
dikembangkan secara lebih serius lagi. Tujuan psikologi sastra adalah
memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya
sastra. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa analisis psikologi
sastra sama sekali terlepas denga kebutuhan masyarakat. Sesuai
dengan hakikatnya, karya sastra memberikan pemahaman terhadap
masyarakat secara tidak langsung. Misalnya melalu pemahaman
terhadap tokoh-tokohnya , misalnya, masyarakat dapat memahami
perubahan, kontradiksi, dan penyimpangan-pemyimpangan lain yang
terjadi didalam masyarakat, khususnya dalam kaitannya dengan psike.
Menurut Wellek dan Warren ( 1962: 81 ) membedakan analisis
psikologis menjadi dua macam yaitu studi psikologi yang semata-mata
berkaitan

dengan

berhubungan

pengarang.

dengan

inspirasi,

Sedangkan
ilham,

studi

dan

yang

kedua

kekuatan-kekuatan

supranatural lainnya. Pada dasarnya psikologi sastra memberikan


perhatian pada masalah yang kedua, yaitu pembicaraan dalam
kaitannya dengan unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung
didalam karya sastra. Pada umumnya aspek-aspek kemanusiaan yang
merupakan objek utama didalam psikologi sastra, sebab semata-mata
dalam diri manusia itulah, sebagai tokoh-tokoh , aspek kejiwaan
dicangkokkan dan diinvestasikan.
STKIP-ITA WOTU NUSA

Dengan penjelasan diatas maka penelitian psikologi sastra dapat


dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama, melalui pemahaman teoriteori psikologi kemudian dilakukan analisis terhadap suatu karya sastra.
Kedua, dengan terlebih dahulu menentukan sebuah karya sastra
sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan teori-teori psikologi yang
dianggap relevan untuk melakukan analisis. Pada umumnya metodologi
penelitian yang pertama memiliki kecenderungan untuk menempatkan
karya satra sebagai gejala sekunder sebab cara-cara penelitian yang
dimaksudkan menganggap karya sastra sebagai gejala yang pasif, atau
semata-mata sebgai objek untuk mengaplikasikan teori.
Psikologi sastra sebagaimana dimaksudkan dalam pembicaraan
ini adalah cara-cara penelitian yang dilakukan dengan menempatkan
karya sastra sebagai gejala yang dinamis. Karya sastralah yang
menentukan teori, bukan sebaliknya. Dengan mengambil analogi
hubungan antara psikolog dengan pasien diatas pada dasarnya sudah
menjadi keseimbangan antara karya sastra dengan teori.
Konsep umum Psikoanalisis Dalam Sastra
Psikoanalisis pertama kali dimunculkan oleh Bapak Psikoanalisis
terkenal Sigmund Freud yang berasal dari Austria. Psikoanalisis adalah
istilah

khusus

dalam

penelitian

psikologi

sastra

(Endraswara,

2008:196). Artinya, psikoanalisis ini banyak diterapkan dalam setiap


penelitian

sastra

yang

mempergunakan

pendekatan

psikologis.

Umumnya, dalam setiap pelaksanaan pendekatan psikologis terhadap


penelitian sastra, yang diambil dari teori psikoanalisis ini hanyalah
bagian-bagian yang berguna dan sesuai saja, terutama yang berkaitan
dengan pembahasan sifat dan perwatakan manusia. Pembahasan sifat
dan perwatakan manusia tersebut meliputi cakupan yang relatif luas
karena manusia senantiasa menunjukkan keadaan jiwa yang berbedabeda.
Psikoanalisis juga menguraikan kelainan atau gangguan jiwa,
Namun dapat dipastikan bahwa Psikoanalisis bukanlah merupakan
keseluruhan dari ilmu jiwa, tetapi merupakan suatu cabang dan
mungkin malahan dasar dari keseluruhan ilmu jiwa (Calvin, 1995:24).
Berdasarkan pernyataan tersebut secara umum dapat disimpulkan
STKIP-ITA WOTU NUSA

bahwa psikoanalisis merupakan tombak dasar penelitian kejiwaan


dalam mencapai tahap penelitian yang lebih serius, khususnya karya
sastra dalam hal ini. Psikoanalisis dalam karya sastra berguna untuk
menganalisis tokoh-tokoh dalam drama atau novel secara psikologis.
Tokoh-tokoh tersebut umumnya merupakan imajinasi atau khayalan
pengarang yang berada dalam kondisi jiwa yang sehat maupun
terganggu, lalu dituangkan menjadi sebuah karya yang indah. Keadaan
jiwa yang sehat dan terganggu inilah yang menjadi cermin lahirnya
karya dengan tokoh berjiwa sehat maupun terganggu.
Konsep Freud yang paling mendasar adalah teorinya tentang
ketidaksadaran. Pada awalnya, Freud membagi taraf kesadaran manusia
menjadi tiga lapis, yakni lapisan unconscious (taksadar), lapisan
preconscious (prasadar), dan lapisan conscious (sadar). Di antara tiga
lapisan itu, taksadar adalah bagian terbesar yang memengaruhi
perilaku manusia. Freud menganalogikannya dengan fenomena gunung
es di lautan, di mana bagian paling atas yang tampak di permukaan laut
mewakili lapisan sadar. Prasadar adalah bagian yang turun-naik di
bawah dan di atas permukaan. Sedangkan bagian terbesar justru yang
berada di bawah laut, mewakili taksadar.
Dalam buku-bukunya yang lebih mutakhir, Freud meninggalkan
pembagian lapisan kesadaran di atas, dan menggantinya dengan
konsep yang lebih teknis. Tetapi basis konsepnya tetap mengenai
ketidaksadaran, yaitu bahwa tingkah laku manusia lebih banyak
digerakkan oleh aspek-aspek tak sadar dalam dirinya. Pembagian itu
dikenal dengan sebutan struktur kepribadian manusia, dan tetap terdiri
atas tiga unsur, yaitu
1. Id
Id adalah satu-satunya komponen kepribadian yang hadir sejak
lahir. Aspek kepribadian sepenuhnya sadar dan termasuk dari perilaku
naluriah dan primitif. Menurut Freud, id adalah sumber segala energi
psikis, sehingga komponen utama kepribadian. Id didorong oleh prinsip
kesenangan, yang berusaha untuk kepuasan segera dari semua
keinginan, keinginan, dan kebutuhan. Jika kebutuhan ini tidak puas
langsung, hasilnya adalah kecemasan negara atau ketegangan. Sebagai
STKIP-ITA WOTU NUSA

contoh, peningkatan rasa lapar atau haus harus menghasilkan upaya


segera untuk makan atau minum. id ini sangat penting awal dalam
hidup, karena itu memastikan bahwa kebutuhan bayi terpenuhi. Jika
bayi lapar atau tidak nyaman, ia akan menangis sampai tuntutan id
terpenuhi.
Namun, segera memuaskan kebutuhan ini tidak selalu realistis
atau bahkan mungkin. Jika kita diperintah seluruhnya oleh prinsip
kesenangan, kita mungkin menemukan diri kita meraih hal-hal yang kita
inginkan dari tangan orang lain untuk memuaskan keinginan kita
sendiri. Perilaku semacam ini akan baik mengganggu dan sosial tidak
dapat diterima. Menurut Freud, id mencoba untuk menyelesaikan
ketegangan yang diciptakan oleh prinsip kesenangan melalui proses
utama, yang melibatkan pembentukan citra mental dari objek yang
diinginkan sebagai cara untuk memuaskan kebutuhan.
2. Ego
Ego adalah komponen kepribadian yang bertanggung jawab untuk
menangani dengan realitas. Menurut Freud, ego berkembang dari id dan
memastikan bahwa dorongan dari id dapat dinyatakan dalam cara yang
dapat diterima di dunia nyata. Fungsi ego baik di pikiran sadar,
prasadar, dan tidak sadar.
Ego bekerja berdasarkan prinsip realitas, yang berusaha untuk
memuaskan keinginan id dengan cara-cara yang realistis dan sosial
yang sesuai. Prinsip realitas beratnya biaya dan manfaat dari suatu
tindakan

sebelum

memutuskan

untuk

bertindak

atas

atau

meninggalkan impuls. Dalam banyak kasus, impuls id itu dapat dipenuhi


melalui

proses

menunda

kepuasan

ego

pada

akhirnya

akan

memungkinkan perilaku, tetapi hanya dalam waktu yang tepat dan


tempat.
Ego juga pelepasan ketegangan yang diciptakan oleh impuls yang
tidak terpenuhi melalui proses sekunder, di mana ego mencoba untuk
menemukan objek di dunia nyata yang cocok dengan gambaran mental
yang diciptakan oleh proses primer ids.
3. Superego

STKIP-ITA WOTU NUSA

Komponen terakhir untuk mengembangkan kepribadian adalah


superego. superego adalah aspek kepribadian yang menampung semua
standar internalisasi moral dan cita-cita yang kita peroleh dari kedua
orang tua dan masyarakat kami rasa benar dan salah. Superego
memberikan pedoman untuk membuat penilaian. Yang ideal ego
mencakup aturan dan standar untuk perilaku yang baik. Perilaku ini
termasuk orang yang disetujui oleh figur otoritas orang tua dan lainnya.
Mematuhi aturan-aturan ini menyebabkan perasaan kebanggaan, nilai
dan prestasi.
Hati nurani mencakup informasi tentang hal-hal yang dianggap
buruk oleh orang tua dan masyarakat. Perilaku ini sering dilarang dan
menyebabkan buruk, konsekuensi atau hukuman perasaan bersalah dan
penyesalan.

Superego

bertindak

untuk

menyempurnakan

dan

membudayakan perilaku kita. Ia bekerja untuk menekan semua yang


tidak dapat diterima mendesak dari id dan perjuangan untuk membuat
tindakan ego atas standar idealis lebih karena pada prinsip-prinsip
realistis. Superego hadir dalam sadar, prasadar dan tidak sadar.Maka
dari itu timbullah interaksi dari ketiga unsur unsur diatas yaitu dengan
kekuatan bersaing begitu banyak, mudah untuk melihat bagaimana
konflik

mungkin

timbul

antara

ego,

id

dan

superego.

Freud

menggunakan kekuatan ego istilah untuk merujuk kepada kemampuan


ego berfungsi meskipun kekuatan-kekuatan duel. Seseorang dengan
kekuatan ego yang baik dapat secara efektif mengelola tekanan ini,
sedangkan mereka dengan kekuatan ego terlalu banyak atau terlalu
sedikit dapat menjadi terlalu keras hati atau terlalu mengganggu.
Banyak pendapat mengatakan bahwa teori Freud hanya berhasil
untuk mengungkapkan genesis karya sastra , jadi, sangat dekat dengan
penelitian proses kreatif. Relevansi teori Freud dianggap sangat terbatas
dalam rangka memahami sebuah karya sastra. Meskipun demikian,
menurut Milner ( 1992:xiii ) , peran teori freud tidak terbatas
sebagaimana dinyatakan sebelumnya. Menurutnya, teori Freud memiliki
inplikasi

yang

sangat

luas

tergantung

bagaimana

cara

pengoprasiaannya. Disatu pihak , hubungan psikologi dengan sastra


didasarkan atas pemahaman, bahwa sebagaimana bahasa pasien,
STKIP-ITA WOTU NUSA

sastra secara langsung menampilkan ketaksadaran bahasa. Dipihak lain


menyatakan bahwa psikologi Freud memanfaatkan mimpi, fantasi, dan
mite, sedangkan ketiga hal tersebut merupakan masalah pokok didalam
sastra.
Hubungan yang erat antara psikoanalisis khususnya teori-teori
Freud dengan sastra juga ditunjukkan melalui penelitiannya yang
bertumpu

pada

karya

sastra.

Teori

Freud

dimanfaatkan

untuk

mengungkapkan berbagai gejala psikologis dibalik gejala bahasa. Oleh


karena itu, keberhasilan penelitian tergantung dari kemampuan dalam
mengungkapkan kekhasan bahasa yang digunakan oelh pengarang.
Bagi Freud, asas psikologi adalah alam bawah sadar, yang didasari
secara samar-samar oelh individu yang bersangkutan. Menurutnya,
ketaksadaran justru merupakan bagian yang paling besar dan paling
aktif dalam diri setiap orang.
Kegunaan psikoanalisis sastra
Psikologi atau psikoanalisis dapat mengklasifikasikan pengarang
berdasar tipe psikologi dan tipe fisiologisnya. Psikoanalasisis dapat pula
menguraikan kelainan jiwa bahkan alam bawah sadarnya. Bukti-bukti itu
diambil dari dokumen di luar karya sastra atau dari karya sastra itu
sendiri.

Untuk

menginteprestasikan

karya

sastra

sebagai

bukti

psikologis, psikolog perlu mencocokannya dengan dokumen-dokumen


diluar karya sastra.
Psikoanalisis dapat digunakan untuk menilai karya sastra karena
psikologi
pengarang

dapat

menjelaskan

merevisi

dan

proses

menulis

kreatif.

kembali

Misalnya,
karyanya.

kebiasaan
Yang

lebih

bermanfaat dalam psikoanalisis adalah studi mengenai perbaikan


naskah, koreksi, dan seterusnya. Hal itu, berguna karena jika dipakai
dengan tepat dapat membantu kita melihat keretakan ( fissure ),
ketidakteraturan, perubahan, dan distorsi yang sangat penting dalam
suatu karya sastra.Psikoanalisis dalam karya sastra berguna untuk
menganalisis secara psikologis tokoh-tokoh dalam drama dan novel.
Terkadang pengarang secara tidak sadar maupun secara sadar dapat
memasukan teori psikologi yang dianutnya. Psikoanalisis juga dapat
menganalisis jiwa pengarang lewat karya sastranya.
Penerapan Psikoanalisis dalam Sastra
STKIP-ITA WOTU NUSA

Penerapan psikoanalisis dalam bidang seni, juga sastra, sudah


dimulai

oleh

Freud

sendiri.

Karya-karya

Sigmund

Freud

yang

menyinggung bidang seni antara lain:


1. Linterpretation des Reves (Interpretasi Mimpi), terbit pertama kali
tahun 1899. Ini adalah sebuah buku klasik yang menguraikan tafsir
mimpi. Buku ini merupakan landasan teoretis paling mendasar
mengenai hubungan antara psikoanalisis dan sastra. Tulisan Freud
yang sering dipakai sebagai landasan teoretis adalah Trois Essais sur
la Theorie de la Sexualite (Tiga Esai tentang Teori Seksualitas), terbit
tahun 1962.
2. Delire et Reves dana la Gradiva de Jensen (Delir dan Mimpi dalam
La Gradiva Karya Jensen. Terbit tahun 1906. Ini adalah karya paling
jelas mengenai penerapan teori-teori psikoanalisis dalam karya
sastra. Di sini Freud melakukan penelitian pada sebuah cerpen
berjudul La Gradiva karya Jensen dan menemukan bahwa kepribadian
tokoh-tokoh dan kejadian-kejadian dalam cerpen itu sangat sesuai
dengan teori-teorinya sendiri mengenai kepribadian manusia.
3. La Creation Litteraire et le reve Eveille (Penciptaan Sastra dan Mimpi
dengan Mata Terbuka), sebuah esai yang terbit pada tahun 1908. Di
sini Freud menemukan kemiripan antara proses penciptaan karya
sastra pada sastrawan dengan kesenangan yang diperoleh anak-anak
dalam permainan. Menurut Freud, Penyair bertindak seperti anakanak

yang

bermain,

dan

menciptakan

dunia

imajiner

yang

diperlakukannya dengan sangat serius, dalam arti bahwa penyair


melengkapinya dengan sejumlah besar pengaruh, seraya tetap
membedakannya dengan tegas dari realitas. (footnote)
4. Un Souvenir denfance de Leonardo de Vinci (Kenangan Masa Kanakkanak

Leonardo

da

Vinci),

terbit

pada

1910.

Di

sini

Freud

menganalisis kepribadian Leonardo da Vinci dari biografi dan karyakarya seninya, termasuk menguraikan rahasia senyuman Monna Lisa.
Dalam buku ini pula Freud memerkenalkan sebuah konsep penting
yang berpengaruh dalam teori kebudayaan, yaitu konsep sublimasi.
5. Das Unheimliche (Keanehan yang Mencemaskan), terbit tahun 1919.
Di sini Freud mengangkat sebuah efek atau kesan yang kerap
STKIP-ITA WOTU NUSA

dirasakan pembaca ketika menikmati karya sastra tertentu yang


bersifat tragik atau horor, yaitu perasaan cemas, takut, atau ngeri.
Meskipun

perasaan

yang

mencemaskan

itu

muncul,

anehnya

pembaca tetap menyenangi dan menikmati karya sastra demikian.


1. Namun penerapan dan perkembangan teori psikoanalisis dalam
bidang sastra secara lebih mendalam dilakukan oleh para ahli sastra,
misalnya Charles Mauron dan Max Milner. Charles Mauron, kritikus
sastra asal Prancis, mengembangkan suatu metode kritik sastra yang
disebutnya psikokritik. Max Milner, seorang sarjana Jerman, telah
menyusun buku yang mengelaborasi teori-teori Freud yang berkaitan
dengan sastra, berjudul Freud et Linterpretation de la litterature
(Freud dan Interpretasi Sastra).
Kesejajaran Pola dalam Mimpi dan Karya Sastra
Mengapa psikoanalisis bisa digunakan untuk menganalisis karya
seni, khususnya sastra? Psikonalisis lahir dari penelitian tentang mimpi.
Ketika menganalisis mimpi-mimpi pasiennya, Freud menemukan bahwa
mimpi bekerja melalui mekanisme atau cara kerja tertentu, dan
ternyata mekanisme mimpi itu mirip dengan pola yang terdapat dalam
karya sastra.
Mekanisme-mekanisme mimpi berikut analoginya dengan seni adalah:
1. Kondensasi
Kondensasi adalah penggabungan atau penumpukan beberapa
pikiran tersembunyi ke dalam satu imaji tunggal, atau peleburan
beberapa tokoh atau hal-hal yang bersifat umum ke dalam satu gambar
atau kata.
Analoginya dengan sastra, misalnya dalam penciptaan tokoh
dalam

novel.

Ketika

seorang

pengarang

menciptakan

tokoh,

ia

mengkondensasi (menggabungkan) raut muka dan sosok dari beberapa


orang yang dikenalnya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga menjadi
seorang tokoh yang khayali atau fiksi. Begitu juga ketika pengarang itu
menciptakan latar tempat, ia menggabungkan beberapa tempat yang
ditemuinya dalam realitas ke dalam novel, sehingga menjadi suatu
tempat tersendiri yang bersifat fiktif, dan akan sia-sia jika kita
mencarinya dalam kenyataan.
2. Pemindahan (displacement)
STKIP-ITA WOTU NUSA

Pemindahan adalah mimpi yang menonjolkan sesuatu yang sama


sekali tidak berhubungan dengan isi mimpi yang harus diwujudkan.
Mimpi tersebut merupakan rincian yang tidak berarti dan kadangkadang bahkan merupakan kebalikan pikiran yang tersembunyi, seakanakan ingin menghindari mimpi itu bisa ditafsirkan. Pemindahan juga
berarti menampilkan gambaran mimpi yang kurang berarti dan
menyimpang dari isi mimpi yang pokok. Freud mencontohkan: ia
bermimpi tentang seorang wanita yang berusaha mendekatinya, dan
wanita itu berseru betapa indah kedua matanya. Konon, wanita itu
adalah putri seseorang yang memberi utang pada Freud. Setelah
menganalisis mimpinya, Freud sadar bahwa komentar atas kedua
matanya mengungkapkan situasi yang terbalik, sebab ayah wanita
tersebut bukan orang yang menolong untuk mata anda yang indah
(ungkapan Jerman untuk mengatakan menolong tanpa pamrih).
Artinya, Freud merasa dikejar-kejar utang pada ayah wanita tersebut.
Dalam puisi dan retorika ada yang disebut metonimi, yaitu proses
penggantian suatu ujaran dengan penanda lain dalam satu arti
berdampingan.

Misalnya,

menyebutkan

sebagian

sebagai

ganti

keseluruhan (layar untuk menyebut kapal), atau menyebutkan bahan


sebagai ganti benda (sutera untuk menyebut pakaian wanita).
3. Simbolisasi
Simbolisasi adalah mimpi yang muncul dalam bentuk simbol
tertentu dalam hubungan analogis. Menurut Freud, setiap objek yang
panjang (tongkat, batang pohon, payung, senjata, pisau) mewakili alat
kelamin laki-laki. Sedangkan setiap objek yang berbentuk lubang dan
lebar (kotak, peti, lemari, penggorengan, gua, perahu) mewakili alat
kelamin perempuan.
Simbolisasi dapat disamakan dengan metafora dalam puisi, yaitu
mengganti sebuah ujaran dengan penanda lain yang memunyai
kemiripan analogi. Misalnya menyebut bunga untuk melambangkan
cinta, putih sebagai lambang kesucian, atau penggunaan gaya bahasa
lain. Bahasa puisi itu sendiri adalah bahasa yang penuh dengan
metafora.

STKIP-ITA WOTU NUSA

4. Figurasi
Figurasi adalah transformasi pikiran ke dalam gambar. Misalnya
ketika di waktu sadar kita menginginkan suatu benda, gambaran benda
itu akan muncul dalam mimpi.
Analogi figurasi dalam seni paling jelas tampak dalam seni lukis
atau seni rupa yang lain. Tetapi dalam sastra pun banyak terkandung
unsur figurasi.
Proses Kreatif Sastra
Psikoanalisis menyimpulkan proses kreatif (proses terciptanya)
karya sastra ke dalam dua cara.
1. Sublimasi
Konsep sublimasi terkait

dengan

konsep

ketidaksadaran.

Sebagaimana telah diuraikan di atas, dalam lapisan taksadar manusia


terdapat id yang selalu menginginkan pemuasan dan kesenangan.
Seringkali keinginan id itu bertentangan dengan superego maupun
norma-norma

yang

berlaku

dalam

masyarakat,

dan

karenanya

keinginan itu tidak mungkin direalisasikan, kecuali orang tersebut mau


dianggap tidak sopan, jahat, cabul, dsb.
Tetapi dorongan-dorongan tersebut tetap harus dipuaskan. Tetapi
agar dapat diterima oleh norma masyarakat, dorongan-dorongan itu lalu
dialihkan ke dalam bentuk lain yang berbeda sama sekali, misalnya
dalam bentuk karya seni, ilmu, atau aktivitas olah raga. Proses
pengalihan dorongan id ke dalam bentuk yang dapat diterima
masyarakat itu disebut sublimasi.
Menurut Freud, sublimasi

inilah

yang

menjadi

akar

dari

kebudayaan manusia. Dalam sublimasi, terkandung kreativitas atau


kemampuan menghasilkan sesuatu yang baru. Puisi, novel, lukisan,
teori keilmuan, aktivitas olah raga, pembuatan peralatan teknik, bahkan
agama, sebenarnya merupakan bentuk lain dari dorongan-dorongan id
yang telah dimodifikasi.
2. Asosiasi
Di samping tafsir mimpi, teknik terapi yang dikembangkan Freud
dalam

psikoanalisisnya

adalah

asosiasi

bebas

(free

association).

Asosiasi bebas adalah pengungkapan atau pelaporan mengenai hal


apapun yang masuk dalam ingatan seseorang yang tengah dianalisis,
tanpa menghiraukan betapa hal tersebut akan menyakitkan hati atau
STKIP-ITA WOTU NUSA

memalukan. Dalam situasi terapi, biasanya pasien berada dalam posisi


berbaring santai di atas ranjang, dan terapis duduk di sampingnya.
Terapis memerintahkan pasien untuk mengucapkan hal apapun yang
terlintas dalam pikirannya. Jika pasien agak sulit mengatakan sesuatu,
terapis bisa membantu merangsang asosiasi pada pikiran pasien
dengan mengucapkan kata-kata tertentu.
Asosiasi bebas, atau asosiasi saja, sebenarnya merupakan suatu
teknik yang sudah lama dipraktikkan oleh para seniman dan pengarang
untuk memeroleh ilham. Ketika proses penulisan dimulai, pengarang
yang menggunakan teknik asosiasi akan menuliskan apa saja yang
masuk ke dalam pikirannya. Setelah ilhamnya habis, barulah ia
memeriksa tulisannya dan mengedit, menambah atau mengurangi, dan
menentukan sentuhan akhir. Seringkali dalam melakukan asosiasi ini,
pengarang mengingat-ingat segala kejadian yang pernah dialaminya,
khususnya kejadian di masa anak-anak, atau memunculkan kembali
pikiran-pikiran dan imajinasinya yang paling liar. Itulah dorongan id
yang sedang dipanggil kembali.
Pada sebagian pengarang, asosiasi itu dibantu pemunculannya
dengan melakukan ritual tertentu, atau memilih waktu-waktu dan
tempat tertentu, yang khas bagi pengarang itu sehingga ide atau
ilhamnya mudah mengalir. Wellek dan Warren memberikan contohcontoh menarik dari kebiasaan aneh para pengarang. Schiller suka
menaruh apel busuk di atas meja kerjanya. Balzac menulis sambil
memakai baju biarawan. Marcel Proust dan Mark Twain menulis sambil
berbaring di ranjang. Sementara pengarang di negeri kita, misalnya
Emha Ainun Najib suka menulis dengan menggunakan kertas warnawarni. Sewaktu di Bloomington, Budi Darma senang berjalan-jalan tak
tentu arah dan tujuan, sekadar menikmati pemandangan yang ada di
sekelilingnya. Ada pengarang yang lebih terinspirasi kalau menulis di
malam hari, ada juga yang lebih suka menulis di pagi hari atau senja
hari. Ada yang hanya bisa menulis di tempat sepi, ada juga yang
menulis di tempat ramai seperti di kafe. Itu semua bergantung pada
kebiasaan pengarang yang bersangkutan.

STKIP-ITA WOTU NUSA

Itulah

di

antaranya

konsep-konsep

psikoanalisis

yang

dapat

dihubungkan dengan seni sastra. Berdasarkan teori Freud, sedikit dapat


disimpulkan bahwa sumber ide karya seni adalah id yang berada dalam
ketidaksadaran kita, dan sebagian dari kesadaran. Sedangkan proses
munculnya ide itu dalam pikiran adalah melalui sublimasi dan asosiasi.

B. KAJIAN ANTROPOLOGI SASTRA


Antropologi sastra terdiri atas dua kata yaitu antropologi dan
sastra. Menurut Ratna (2011: 6), antropologi sastra adalah analisis
terhadap karya sastra yang di dalamnya terkandung unsur-unsur
antropologi. Dalam hubungan ini jelas karya sastra menduduki posisi
dominan, sebaliknya unsur-unsur antropologi sebagai pelengkap. Oleh
karena disiplin antropologi sangat luas, maka kaitannya dengan sastra
dibatasi pada unsure budaya yang ada dalam karya sastra. Hal ini
sesuai dengan hakikat sastra itu sendiri yaitu sastra sebagai hasil
aktivitas kultural. Pendapat lain dikemukakan oleh Koentjaraningrat,
antropologi sastra adalah analisi dan pemahaman terhadap karya sastra
dalam kaitannya dengan kebudayaan.
Pentingnya analisis unsur kebudayaan

dalam

karya

sastra

dikemukakan oleh Sudikan, antropologi sastra mutlak diperlukan


dikarenakan, pertama sebagai perbandingan terhadap psikologi sastra
dan sosiologi sastra. Kedua, antropologi sastra diperlukan dengan
pertimbangan kekayaan kebudayaan seperti diwariskan oleh nenek
moyang.
Analisis

antropologi

sastra

adalah

usaha

untuk

mencoba

memberikan identitas terhadap karya sastra dengan menganggapnya


sebagai

mengandung

aspek

tertentu

yaitu

hubungan

ciri-ciri

kebudayaannya. Cara yang dimaksudkan tentunya mengacu pada


defenisi antropologi sastra. Ciri-cirinya seperti; memiliki kecenderungan
kemasa lampau, citra primordial, citra arketipe. Ciri-ciri lain, misalnya;
mengandung

aspek-aspek

kearifan

lokal

dengan

fungsi

dan

kedudukannya masing-masing, berbicara mengenai suku-suku bangsa


dengan

subkategorinya,

seperti;

trah,

klen

dan

kasta.

Bentuk

STKIP-ITA WOTU NUSA

kecenderungan yang dimaksudkan juga muncul sebagai peguyuban


tertentu, seperti; masyarakat pecinaan, pesantren. Daerah-daerah
tertentu; kampung Bali, Minangkabau, Jawa, Mandar, Bugis, Papua.
Kelompok-kelompok tertentu; priayi, santri, abangan, atau bangsawan.
Fungsi Pendekatan Antropologi Sastra
Sebagai sebuah pendekatan baru dalam dunia sastra, maka
antropologi

sastra

memiliki

tugas

yang

sangat

penting

untuk

mengungkapkan aspek-aspek kebudayaan, khususnya kebudayaan


masyarakat tertentu. Karya sastra, dalam bentuk apapun, termasuk
karya-karya yang dikategorikan sebagai bersifat realis tidak pernah
secara

eksplisit

mengemukakan

muatan-muatan

yang

akan

ditampilkan, ciri-ciri antropologi yang terkandung di dalamnya. Sematamata kemampuan penelitilah yang dapat menunjukkan suatu karya
sastra sebagai mengandungbdan dengan demikian didominasi oleh
aspek

tertentu;

tema,

pesan

atau

pandangan

dunia

menurut

pemahaman lain.
Sebagai sebuah pendekatan, maka yang dinilai adalah unsurunsur itu juga bagaimana pengarang menceritakan, menarasikan,
sehingga kerinduan terhadap kebudayaan maupun adat-adat tertentu
dapat terwujud dengan baik. Oleh karena itu, ada pendapat bahwa
dalam beberapa hal analisis memiliki persamaan dengan karya sastra,
seperti kualitas kreatifitas, rekonstruksi imajinatif, alur penalaran, dan
dengan

sendirinya

kecenderungan

penggunaan

terhadap

bahasa.

beberapa

ciri

Analisis

selanjutnya,

antropologi

dengan

mengungkapkan dimensi-dimensi yang ditampilkan, seperti kehidupan


orang Jawa, Sunda, Mandar, Bugis, Bali Minangkabau dan sebagainya.
Bagian terakhir yang menjadi perhatian adalah penjelasan ciri-ciri
tersembunyi berbagai gejala yang diungkapkan dalam karya. Bagian
terakhir ini merupakan bagaian tersulit sebab penelitian harus ditopang
oleh sejumlah ilmu bantu yang relevan. Seperti halnya karya sastra
merupakan dunia dalam kata, dunia miniatur dengan unsur-unsur
penyajian yang terbatas, sehingga banyak ruang kosong yang harus
diisi dan dijelaskan. Dalam sebuah novel misalnya, diceritakan bahwa
orang Bali tidak suka merantau, berbeda dengan orang Minangkabau
STKIP-ITA WOTU NUSA

atau orang Bugis, maka tugas peneliti adalah menjelaskan perbedaan


tersebut secara objektif ilmiah sehingga menjadi masuk akal. Hakikat
karya sastra adalah kreatif imajinatif sedangkan hakikat karya ilmiah
adalah objektif verifikatif. Begitu pula dengan ciri-ciri yang tampak jelas
pada sebuah karya sastra, seperti; ngaben (pembakaran mayat dalam
agama Hindu Bali), khitan (pemotongan kulup dalam agama Islam),
katoba dan kankilo (khitan di Sulawesi Tenggara), sekaten (upacara
ritual dalam kesultanan Yogyakarta).
Menurut Ratna (2011: 68) antropologi sastra berfungsi untuk; 1)
melengkapi analisis ekstrinsik di samping sosiologi sastra dan psikologi
sastra,

2)

mengantisipasi

dan

mewadahi

kecenderungan-

kecenderungan baru hasil karya sastra yang di dalamnya banyak


dikemukakan masalah-masalah kearifan local, 3) diperlukan dalam
kaitannya

dengan

keberadaan

bangsa

Indonesia,

di

dalamnya

terkandung beraneka ragam adat kebiasaan seperti; mantra, pepatah,


motto, pantun, yang sebagian besar juga dikemukakan secara estetis
dalm bentuk sastra, 4) wadah yang sangat tepat bagi tradisi dan sastra
lisan yang selama ini menjadi wilayah perbatasan disiplin antropologi
sastra,

5)

mengantisipasi

kecenderungan

kontemporer

yaitu

perkembangan multidisiplin baru.


Hal yang harus dipahami dalam menggabungan antropologi dan
sastra yaitu dasar kedua disiplin ini, hakikat dari antropologi adalah
fakta empiris sedangkan sastra adalah kreatifitas imajinatif. Oleh karena
itu, karya sastra tidak dapat digunakan sebagai tolok ukur suatu
peristiwa tertentu. Karya sastra hanyalah refleksi, cermin, representasi
menurut pemahaman teori sastra. Hal ini juga yang menjadi dasar
karya sastra tidak dapat diadili atau dilarang penerbitannya misalnya,
dengan tuduhan sebagai mewakili ideologi tertentu seperti karya-karya
Pramoedya

Ananta

Toer,

tokoh-tokoh

seperti

Bima

dan

Arjuna,

Jayaprana dan Layonsari, Sitti Nurbaya dan Datuk Maringgih, Dracula,


Nyi Rara Kidul. Tokoh-tokoh ini haruslah dipandang sebagai hanya
perwakilan sifat-sifat manusia tertentu dalam masyarakat.
Beberapa Karya Sastra

STKIP-ITA WOTU NUSA

Beberapa karya sastra yang bercirikan dalam antopologi sastra


seperti; Sitti Nurbaya yang menampilkan masalah pokok mengenai adat
istiadat, terpaksa kawin dalam kaitannya dengan adat minangkabau,
Salah Asuhan mengenai kawin campuran antara bangsa Barat dengan
pribumi, Layar Terkembang mengenai emansipasi perempuan, Bumi
Manusia dalam kaitannya dengan residu kolonialisme, Lontara Rindu
mengenai perbedaan kepercayaan dan beberapa kepercayaan orang
Bugis, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang menceritakan tentang
adat istiadat orang Minangkabau dalam pernikahan.
Analisis Antropologi Sastra
Analisis ekstrinsik jelas dilakukan melalui petunjuk, indikator, ciri-ciri
yang terkandung di dalam objek penelitian seperti antropologi sastra
yang banyak mengandung unsur-unsur kebudayaan dalam karya sastra.
Seperti Layar Terkembang dan Belenggu, di dalamnya masing-masing
pengarang

dengan

sengaja

menampilkan

modernisasi

dan

pada

gilirannya juga didukung oleh sejumlah kritikus, tetapi ternyata sarat


dengan masalah-masalah lampau, sebagai citra primordial (kerinduan
ke masa lampau, sebagai ketaksadaran kolektif).
Dalam
menganalisis
unsur
kebudayaan

dalam

sastra,

Koentjaraningrat (1992) membatasi unsur kebudayaan menjadi tujuh


bagian yaitu: pertama, peralatan kehidupan manusia seperti; rumah,
pakaian, alat-alat rumah tangga, dan berbagai peralatan yang dikaitkan
dengan kebutuhan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, mata
pencaharian seperti; pertanian, peternakan, perikanan dengan sistem
ekonomi dan produksinya masing-masing. Ketiga, kesenian dengan
berbagai jenisnya seperti; seni rupa, seni suara, seni gerak. Keempat,
sistem religi berbagai bentuk pengalaman manusia dalam kaitannya
dengan subjektivitas, keyakinan, dan berbagai kepercayaan.
Peralatan Kehidupan Manusia
Secara objektif antropologis perkembangan peralatan manusia
demikian juga perkiraan awal terjadinya jelas berbeda. Rumah sebagai
tempat berlindung dari sinar matahari, dan hujan yang diakibatkan dari
gejala alam itulah dibuat rumah atau pakaian, diikuti dengan peralatan
lain yang dianggap perlu. Sesudah melewali proses yang sangat
panjang akhirnya manusia tiba pada zaman kontemporer, zaman
STKIP-ITA WOTU NUSA

komputer, zaman ruang angkasa. Manusia menciptakan berbagai alat


bantu seperti robot dan alat-alat bedah dalam dunia kedokteran,
sehingga memunginkan untuk operasi plastik. Pemusnahan etnis seperti
dilakukan terhadap orang Yahudi pada perang dunia II dan etnis lain di
Afrika.
Dalam
manusia

karya

tidak

sastra

dilukiskan

masalah-masalah
secara

peralatan

kronologis,

kehidupan

melainkan

struktur

pencitraannya. Ceritalah yang menjadi masalah utama, di dalamnya


berbagai bentuk peralatan menjadi pelengkap. Semata-mata penelitilah
yang merakitnya, menjelaskan sehingga menjadi masuk akal sebagai
analisis antropologis.
Orang Bali tidak mengenal sampiran pantun //berakit-rakit ke
hulu, berenang-renang ketepian//, sebab di Bali tidak ada sungai yang
cukup lebar untuk mengoperasikan rakit. Dengan memperhatikan
sejumpah cerita, senjata yang digunakan oleh tokoh berbeda-beda
sesuai dengan tokoh yang diacunya. Menjadi rancu jika dalam cerita
Jayaprana Layonsari adalah samurai, celurit, bedil badik. Chairil
Anwar dalam karyanya menggunakan berbagai senjata, pedang dan
keris dalam puisi Diponegoro, peluru dalam puisi Aku. Dalam
Cintaku Jauh Di Pulau menggunakan istilah perahu. Dengan singkat,
peralatan persenjataan, baik tradisional maupun modern dominan
dalam karya sastra.
Karya yang baik

menunjukkan

dengan

jelas

penggunaan

peralatan, sehingga sesuai dengan situasi dan kondisi, latar secara


keseluruhan. Dalam Belenggu baru ditemukan telepon dan dengan
sendirinya belum ada handphone, media elektronik yang popular yaitu
radio sehingga dengan sendirinya belum ada televisi. Putu Wijaya
(1977), menggunakan istilah Telegram pada judul bukunya. Pakaian
tokoh perempuan dalam Layar Terkembang berupa kain sutera, Jusuf
menggunakan kendaraan sepeda untuk kulih. Tokoh Sitti Nurbaya
(Marah Rusli) menggunakan pedati. Tamin dalam Pulang (Mochtar)
menggunakan bajak dan sapi untuk mengerjakan sawah. Banyaknya
peralatan justru mengarahkan karya sastra menjadi sejarah tertentu.
Mata Pencaharian
STKIP-ITA WOTU NUSA

Dalam seluruh kehidupan manusia mata pencaharin merupakan


penunjuk terhadap peradaban tertentu atau masa periode tertentu.
Pertanian dan perburuan dianggap sebagai mata pencaharian pertama
yang dikenal oleh manusia, Kemudian pada zaman modern ditopang
oleh

perkembangan

melahirkan

pegawai

teknologi
negeri,

dan

terjadi

lahirnya
jual

beli

industri.

Birokrasi

intelektualitas

dan

kemampuan pikiran.
Dalam Layar Terkembang, Tokoh Ratna berhenti sebagai pegawai
negeri memilih menjadi seorang petani, tokoh Tamin

dalam Pulang

setelah lama merantau Kemudian kembali menjadi petani. Dalam


masyarakat Bali, mata pencaharian dengan cara mendirikan warung
dan

berbagai

bentuk

berjualan

di

pinggir

jalan.

Warung

yang

dimaksudkan mungkin berbentuk secara relatif permanen tetapi ada


juga yang sederhana. Dalam Sukreni Gadis Bali karya Panji Trisna yang
melukiskan warung Men Negara.
Dalam periodisasi dan mata

pencaharian

tertentu

dapat

menunjukkan kebiasaan masyarakat. Seperti orang Sinderang Rappang


dalam Lontara Rindu yang menunjukkan kebiasaan masyarakat bugis
yang tinggal di pegunungan Pakka Salo yang mayoritas bekerja menjadi
petani jambu mente. Antropologi sastra jelas berkaitan dengan masalah
kebudayaan seperti, mitos, dan berbagai bentuk kearifan lokal, tetapi
bentuk-bentuk yang dimaksudkan dibicarakan dalam kaitannya dengan
kondisi masyarakat tertentu.
Kesenian dengan Berbagai Jenisnya
Berbagai kesenian yang timbul di masyarakat adalah manifestasi
dari estetika yang ada dalam diri mereka. Kesenian dalam berbagai
jenisnya
misalnya;

juga

menunjukkan

orang

Bali

yang

kebiasaan
mayoritas

dari

masyarakat

beragama

tertentu,

Hindu

yang

menggunakan seni tari, seni musik, seni suara maupun patung-patung


tertentu sebagai pemujaan. Begitupun dengan orang Jawa yang
menggunakan gong, gamelan, seruling yang digunakan untuk beberapa
acara penting yang diselanggaran.
Karya Oka Rusmini (2000), Tarian Bumi secara keseluruhan
bercerita mengenai kehidupan tokoh sebagai penari. Kenyataan ini jelas
berkaitan erat dengan latar belakang novel yaitu Bali yang memang
STKIP-ITA WOTU NUSA

merupakan pulau seni khususnya tarian. begitupun dengan Nur Sutan


Iskandar (1946) dan Andjar Asmara (1949) melalui Jangir Bali dan Nusa
Penida yang mencoba mengangkat tentang tari jangir (jangger).
Dalam Trilogi Dukuh Paruk (Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang
Kemukus Dini Hari,

dan Jentera Bianglala) karya Ahmad Tohari,

menceritakan kehidupan tokoh utama Srintil sebagai penari ronggeng.


Dalam mitologi Jawa, ronggeng adalah seni sekaligus mitos pelacuran.
Trilogi novel ini menceritakan tradisi seseorang bukan hanya mejadi
penari tetapi juga melayani nafsu seksual laki-laki, sebelum menjadi
ronggeng yang sesungguhnya seseorang harus melalui sejumlah
upacara ritual dan diakiri dengan upacara terakhir yaitu bukak-kalmbu.
Sistem Religi
Istilah religi diturunkan dari akar religio berkaitan dengan
kepercayaan,

keyakinan.

dibandingkan

dengan

kepercayaan,

pada

Pengertian

agama.

umumnya

religi

Religi
berlaku

dianggap

meliputi
dalam

lebih

seluruh

luas

sistem

kelompok-kelompok

terbatas sedangkan agama mengacu hanya pada agama formal atau


mendapat pengakuan secara hukum.
Menyadari adanya keberagaman kebudayaan yang ada dalam
masyarakat

Indonesia,

Rampan

(1976)

dalam

novel

Upacara

mengangkat upacara ruwatan yang terjadi di kalangan suku Dayak di


pedalaman Kalimantan. Upacara menyajikan berbagai bentuk upacara,
situasi magis dengan istilah-istilah lokal seperti; lumut (surga), balian
(dukun) dan pelulung (upacara perkawinan). Karya Achdiat K. Miharja
yang

berjudul

keberadaan

Ateis

Tuhan.

menunjukkan

yang
Dalam

kepercayaan

mengangkat
Lontara

masyarakat

dan

Rindu

mempertanyakan

karya

Sidenreng

Mappangewa

Rappang

yaitu

Tolotang dengan mempercayai Lontara sebagi kitab suci dan acara


ritual ke makan I Pabbere setiap akhir Januari disetiap tahunnya yang
ditentukan oleh para Uwa (petuah adat Tolotang).
C. TEORI SOSIOLOGI SASTRA
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sastra
merupakan pencerminan masyarakat. Melalui karya sastra, seorang
pengarang

mengungkapkan

problema

kehidupan.

Karya

sastra

STKIP-ITA WOTU NUSA

menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi


pengaruh terhadap masyarakat. Sosiologi dapat diartikan sebagai ilmu
atau pengetahuan yang sistematis tentang kehidupan berkelompok
manusia dalam hubungannya dengan manusia-manusia lainnya yang
secara umum disebut masyarakat.
Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertitik tolak
dengan orientasi kepada pengarang. Abrams via internet (1981 :178)
mengatakan sosiologi sastra dikenakan pada tulisan-tulisan para kritikus
dan ahli sejarah sastra yang
seseorang

pengarang

utamanya ditujukan pada cara-cara

dipengaruhi

oleh

status

kelasnya, ideologi

masyarakat, keadaan-keadaan ekonomi yang berhubungan dengan


pekerjaannya,

dan

jenis

pembaca

yang

dituju.

Kesemuanya

itu

terangkum dalam aspek yang membangun sebuah cipta sastra, salah


satu

aspek

yang

membangun

keutuhan

sebuah

cerita

adalah

menyangkut perwatakan tokoh-tokohnya. Ciri-ciri perwatakan seorang


tokoh selalu berkaitan dengan pengarang dan lingkungan di mana ia
hidup. Demikian juga menyangkut tipe orang atau tokohnya. Biasanya
dalam setiap cerita selalu terdapat beberapa tokoh, dalam hal inilah
pengetahuan sosiologi berperan

mengungkapkan isi sebuah karya

sastra.
Konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra
ditulis oleh seorang pengarang, dan pengarang merupakan a salient
being, makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan
empirik masyarakatnya. Dengan demikian, sastra juga dibentuk oleh
masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan sistem dan nilai dalam
masyarakatnya. Dari kesadaran ini muncul pemahaman bahwa sastra
memiliki

keterkaitan

timbal-balik

dalam

derajat

tertentu

dengan

masyarakatnya; dan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan


antara

sastra

dengan

kenyataan

masyarakat

dalam

berbagai

dimensinya.
Sosiologi sastra berkembang dengan pesat sejak penelitianpenelitian

dengan

memanfaatkan

teori

strukturalisme

dianggap

mengalami kemunduran, stagnasi, bahkan dianggap sebagai involusi.


Analisis strukturalisme dianggap mengabaikan relevansi masyarakat
STKIP-ITA WOTU NUSA

yang merupakan asal-usulnya. Rahmat Djoko Pradopo (1993:34)


menyatakan bahwa tujuan studi sosiologis dalam kesusastraan adalah
untuk mendapatkan gambaran utuh mengenai hubungan antara
pengarang, karya sastra, dan masyarakat. Ratna via Sutri (2006: 332333) mengemukakan bahwa sastra memiliki kaitan erat dengan
masyarakat sebagai berikut:
1.
Karya sastra ditulis oleh
cerita,
2.

pengarang, diceritakan oleh tukang

disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut

adalah anggota masyarakat.


Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek
kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga

3.

difungsikan oleh masyarakat.


Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui
kompetansi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung

4.

masalah-masalah kemasyarakatan.
Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-istiadat, dan
tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etik,
bahkan logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap

ketiga aspek tersebut.


5.
Sama dengan masyarakat,

karya

sastra

dalah

hakikat

intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu


karya.
Sosiologi Sastra tidak hanya membicarakan karya sastra itu
sendiri melainkan hubungan masyarakat dan lingkungannya serta
kebudayaan yang menghasilkannya. Atmazaki via Sutri (1990: 7)
menyatakan bahwa pendekatan Sosiologi Sastra mempunyai tiga unsur
di dalamnya. Unsur-unsur tersebut antara lain sebagai berikut:
1.
Konteks sosial pengarang
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengarang dalam menciptakan
karya sastra. Faktor-faktor tersebut antara lain mata pencaharian,
profesi kepegawaian, dan masyarakat lingkungan pengarang.
2. Sastra sebagai cerminan masyarakat
karya sastra mengungkapkan gejala sosial masyarakat dimana
karya itu tercipta dalam sastra akan terkandung nilai moral, politik,
pendidikan, dan agama dalam sebuah masyarakat.
3. Fungsi sastra

STKIP-ITA WOTU NUSA

Fungsi sastra dalam hal ini adalah nilai seni dengan masyarakat,
apakah

di

antara

unsur

tersebut

ada

keterkaitan

atau

saling

berpengaruh.
Sosiologi sebagai Pendekatan Sastra
Pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan saat ini
menaruh perhatian yang besar terhadap aspek dokumenter sastra dan
landasannya

adalah

gagasan

bahwa

sastra

merupakan

cermin

zamannya. Dalam hal itu tugas sosiologi sastra adalah menghubungkan


pengalaman tokoh-tokoh khayal dan situasi ciptaan pengarang itu
dengan keadaan sejarah yang merupakan asal usulnya.
Pedekatan yang dilakukan terhadap karya sastra pada dasarnya
ada dua, yaitu pendekatan intrinsik dan pendekatan ekstrinsik. Unsurunsur merupakan unsur-unsur dalam yang diangkat dari isi karya sastra,
seperti tema, alur atau plot, perwatakan, gaya bahasa dan penokohan.
Sedangkan unsur-unsur ekstrinsik berupa pengaruh dari luar yang
terdapat dalam karya sastra itu diantaranya sosiologi, politik, filsafat,
antropologi dan lain-lain. Ilmu-ilmu ini merupakan pendukung dalam
pengembangan karya sastra, dengan demikian ilmu-ilmu tersebut erat
hubungannya dengan karya sastra. Analisis aspek ekstrinsik karya
sastra ialah analisis karya sastra itu sendiri dari segi isinya, dan
sepanjang mungkin melihat kaitannya dengan kenyataan-kenyataan
dari luar karya sastra itu sendiri.
Pendekatan sosiologis atau

pendekatan

ekstrinsik

biasanya

mempermasalahkan sesuatu diseputar sastra dan masyarakat bersifat


sempit dan eksternal. Yang dipersoalkan biasanya mengenai hubungan
sastra dan situasi sosial tertentu, sistem ekonomi, sosial, adat istiadat,
dan

politik.

Dapat

dipahami

bahwa

bilamana

seseorang

ingin

mengetahui keadaan sosiologis dari suatu masa karya tertentu ditulis,


kita memang belum tentu dapat mengenal tata kemasyarakatan yang
ada pada waktu itu, tetapi setidak-tidaknya kita dapat mengenal tema
mana yang kira-kira dominan pada waktu itu melalui pendekatan
sosiologis.

STKIP-ITA WOTU NUSA

Suatu hal yang perlu dipahami dalam melakukan pendekatan


sosiologi ini adalah bahwa walaupun seorang pengarang melukiskan
kondisi sosial yang berada di lingkungannya, namun ia belum tentu
menyuarakan keinginan masyarakatnya. Dari arti ia tidaklah mewakili
atau menyalurkan keinginan-keinginan kelompok masyarakat tertentu,
yang pasti pengarang menyalurkan atau mewakili hati nuraninya
sendiri, dan bila ia kebetulan mengucapkan sesuatu yang bergejolak
dimasyarakat, hal ini merupakan suatu kebetulan ketajaman batinnya
dapat menangkap isyarat-isyarat tersebut. Dari berbagai pandangan di
atas dapat disimpulkan bahwa analisis sosiologi sastra bertujuan untuk
memaparkan dengan cermat fungsi dan keterkaitan antarunsur yang
membangun

sebuah

karya

sastra

dari

aspek

kemasyarakatan

pengarang, pembaca, dan gejala sosial yang ada.


Metode Analisis
Metode penelitian adalah cara kerja untuk memahami objek yang
menjadi

sasaran penelitian. Langkah-langkah dalam menganalisis

menggunakan metode sosiologi sastra pertama yaitu menganalisis


unsur intrinsiknya. Analisis karya sastra dengan pendekatan apapun
tidak boleh melupakan analisis unsure intrinsiknya. Setelah dijabarkan
unsure-unsur

intrinsiknya,

dikaitkan

permasalahan

dengan

menggunakan teori sosiologi, misalnya hubungan antar individu,


perubahan social dan kondisi masyarakat sosial.
D.PSIKOLOGI SASTRA, SOSIOLOGI SASTRA DAN ANTROPOLOGI
SASTRA
Hal terpenting dalam menentukan atau mengategorikan sebuah
karya sastra, apakah termasuk dalam sosiologi sastra, psikologi sastra
ataupun antropologi sastra yaitu dengan ciri-ciri yang lebih kuat yang
muncul dalam pembahasan isi karya sastra itu sendiri. Secara definitif
apabila sebuah karya lebih banyak mengungkapkan berbagai peristiwa,
maka karya tersebut dapat dikategorikan berciri sosiologi sastra. Karya
yang banyak mengemukakan masalah konflik batin tokoh-tokohnya,
dapat dikategorikan bercirikan psikologi sastra. Sedangkan apabila
suatu karya didominasi oleh masalah-masalah kebudayaan, khususnya

STKIP-ITA WOTU NUSA

kerinduan

ke

masa

lampau

termasuk

sebagai

memiliki

ciri-ciri

antropologi sastra.
Sebagai interdisiplin, dalam rangka menopang eksistensi karya
sastra, psikologi sastra, sosiologi sastra dan antropologi sastra dianggap
telah mewakili keseluruhan aspek ekstrinsiknya. Seperti di atas,
psikologi sastra menganalisisnya dari segi kejiwaan, sosiologi sastra
menganalisis dari segi masyarakatnya, sedangkan antropologi sastra
dari segi kebudayaan. Perbedaaan dilakukan semata-mata sebagai
salah satu cara untuk menentukan bahwa suatu objek didominasi oleh
salah satu ciri sehingga pantas dianalisis dari pendekatan tersebut.
Psiokologi sastra, misalnya, baik dilakukan pada karya yang banyak
mengandung konflik batin. Sosiologi sastra terhadap karya sastra yang
banyak bercerita mengenai berbagai peristiwa dalam masyarakat.
Sedangkan antropologi sastra pada karya yang mengandung tema,
pesan,

pandangan

dunia,

dan

nilai-nilai

kehidupan

manusia,

kebudayaan pada umumnya, khususnya yang berkaitan dengan mas


lampau.
Pendapat lain dikemukakan oleh Sahril Anwar (2013), dalam
mengategorikan sebuah karya sastra ciri-ciri dominan yang muncul
dalam karya sastra itulah yang nantinya menjadi dasar dalam
menganalisis. Sosiologi sastra dengan sendirinya berkaitan dengan
masyarakat, intensitas rangkaian peristiwa dan kejadian, psikologi
sastra berhubungan dengan unsur-unsur kejiwaan dalam hubungan ini
tokoh dan penokohan, sedangkan antropologi sastra berkaitan dengan
tradisi, adat istiadat, mitos, dan peristiwa kebudayaan pada umumnya,
yang biasanya berkaitan dengan peristiwa-peristiwa masa lampau.

STKIP-ITA WOTU NUSA

BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Adapun kesimpulan

yang

dapat

kami

ambil

berdasarkan

pembahasan diatas yaitu : Menurut Ratna (2004:350), Psikologi Sastra


adalah analisis teks dengan mempertimbangkan relevansi dan peranan
studi psikologis. Artinya, psikologi turut berperan penting dalam
penganalisisan sebuah karya sastra dengan bekerja dari sudut kejiwaan
karya sastra tersebut baik dari unsur pengarang, tokoh, maupun
pembacanya.
Penelitian psikologi sastra dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
pertama, melalui pemahaman teori-teori psikologi kemudian dilakukan
analisis terhadap suatu karya sastra. Kedua, dengan terlebih dahulu
menentukan sebuah karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian
ditentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk melakukan
analisis.
Psikoanalisis dalam karya sastra berguna untuk menganalisis
tokoh-tokoh dalam drama atau novel secara psikologis. Tokoh-tokoh
tersebut umumnya merupakan imajinasi atau khayalan pengarang yang
berada dalam kondisi jiwa yang sehat maupun terganggu, lalu
dituangkan menjadi sebuah karya yang indah.
Konsep Freud yang paling mendasar adalah teorinya tentang
ketidaksadaran. Pada awalnya, Freud membagi taraf kesadaran manusia
menjadi tiga lapis, yakni lapisan unconscious (taksadar), lapisan
preconscious (prasadar), dan lapisan conscious (sadar). Namun Dalam
buku-bukunya yang lebih mutakhir, Freud meninggalkan pembagian
STKIP-ITA WOTU NUSA

lapisan kesadaran di atas, dan menggantinya dengan konsep yang lebih


teknis. Tetapi basis konsepnya tetap mengenai ketidaksadaran, yaitu
bahwa tingkah laku manusia lebih banyak digerakkan oleh aspek-aspek
tak sadar dalam dirinya. Pembagian itu dikenal dengan sebutan struktur
kepribadian manusia, dan tetap terdiri atas tiga unsur, yaitu id, ego, dan
superego.
Analisis antropologi sastra adalah usaha untuk mencoba memberikan identitas
terhadap karya sastra dengan menganggapnya sebagai mengandung aspek tertentu yaitu
hubungan ciri-ciri kebudayaannya. Cara yang dimaksudkan tentunya mengacu pada
defenisi antropologi sastra. Ciri-cirinya seperti; memiliki kecenderungan kemasa lampau,
citra primordial, citra arketipe. Ciri-ciri lain, misalnya; mengandung aspek-aspek kearifan
lokal dengan fungsi dan kedudukannya masing-masing, berbicara mengenai suku-suku
bangsa dengan subkategorinya, seperti; trah, klen dan kasta. Bentuk kecenderungan yang
dimaksudkan juga muncul sebagai peguyuban tertentu, seperti; masyarakat pecinaan,
pesantren. Daerah-daerah tertentu; kampung Bali, Minangkabau, Jawa, Mandar, Bugis,
Papua. Kelompok-kelompok tertentu; priayi, santri, abangan, atau bangsawan.
Sosiologi sastra berorientasi mimetik, memandang karya sastra
sebagai cerminan masyarakat, yang perhatiannya berpusat pada
struktur kemasyarakatan dalam karya sastra. Pendekatan sosiologi
sastra bertujuan untuk memaparkan dengan cermat fungsi dan
keterkaitan antarunsur yang membangun sebuah karya sastra dari
aspek kemasyarakatan pengarang, pembaca, dan gejala sosial yang
ada.

STKIP-ITA WOTU NUSA

DAFTAR PUSTAKA
Ratna Nyoman Kutha. 2011. Antropologi Sastra: Peranan Unsur-unsur Kebudayaan
dalam Proses Kreatif. Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar.
Anwar

Sahril.

2013.

Analisis

Antropologi

Sastra,

(Online),

http://sahrilanwar.wordpress.com/makalah-2/, diakses 28 Oktober 2014.


Ajeng.

2014.

Kajian

Antropologi

Sastra,

(Online),

http://ajengbgt.blogspot.com/2012/04/apresisasi-sastra-kajianantropologi.html, diakses 29 Oktober 2014.


Sumber Online :

Psikoanalisis dan Sastra Sekolah Berpikir dan Menulis.htm

Id, Ego, dan Superego Oleh Sigmund Freud _ BELAJAR

PSIKOLOGI.htm
Blog Archive FREUD, Id-Ego-Superego.htm
Pendekatan-Dalam-Penelitian-Sastra.htm
penerapan-teori-psikoanalisis-dalam.html
Hardjana, Andre.1981. Kritik Sastra Sebuah Pengantar.Jakarta :

Gramedia
Endraswara

Suwardi.2008.Metode

Penelitian

Psikologi

Sastra.Yogyakarta : Azza grafika.

STKIP-ITA WOTU NUSA

Anda mungkin juga menyukai