Anda di halaman 1dari 4

TIURMAIDA

Karya : Hasan Al Banna


Sutradara : Afrion – Ha Khairani,S.Pd.,m.Hum
Pemain : - Tiurmaida sebagai tokoh utama istri Marsius

- Marsius sebagai suami dari Tiurmaida

-Marahmuda sebagai anak tiurmaida dan Marsius

-Togu sebagai adek Tiurmaida

-Nangboru

-Warga kampung

Orientasi :
Tiurmaida adalah sebuah drama yang diangkat dari cerpen Hasan Al Banna. Drama
teater ini disutradarai oleh Afrion melalui karya Hasan Al Banna .

Kajian Nilai Cerpen Triumaida


Jika kita lihat peristiwa-peristiwa yang diangkat oleh Hasan Al Banna dalam cerpen ini
tidak ada bedanya dari kehidupan nyata. Banyak dialami oleh pemuda-pemudi yang menjalin
cinta tapi tidak disetujui oleh orang tua, dan peristiwa ini dari sejak dulu sampai sekarang pasti
ada yang terjadi. Sebagai orang tua pasti ingin melakukan yang terbaik untuk masa depan
anaknya yaitu dengan cara anak harus mengikuti semua hal mulai dari menentukan pekerjaan
sampai pada jodoh bagi anak-anak dalam perkawinan.
.
Akhirnya Tiurmaida dan Marsius nekat untuk kawin lari dan mengalami banyak
masalah, tak sedikit cobaan yang mereka hadapi ketika tak mematuhi aturan adat dan orangtua.
Tiurmaida dan Marsius seolah mendapat kutukan leluhur, sehingga anak yang mereka idam-
idamkan meninggal, Marsius jadi gila, dan Tiurmaida musti membanting tulang menjadi buruh
kasar pemecah batu untuk menghidupi keluarganya.
Cinta Tiurmaida kepada Marsius tampaknya sudah mengakar dalam. Demi cintanya,
Tiurmaida tetap merawat Marsius yang sudah tak bisa apa-apa lagi selain bertingkah aneh di
pasungan. Tiurmaida menolak keinginan orang tuanya agar mangidolong (cerai) dengan
Marius dan menikah dengan anak dari saudara Baginda Parahuman. Ia tak mau, meski
keinginan untuk sering terlintas di benaknya. Tiurmaida menolak rencana itu bukan karena
lelaki bernama Ali Tukma itu duda beranak tiga, tapi karena ia masih tulus mencintai Marsius.
Cerita yang disuguhkan oleh pengarang sangat menarik jika tidak dikatakan memukau.
Penggunaan gaya bahasa yang tidak membosankan, pengaturan alur campuran yang sempurna
sehingga tidak ada satu klimaks yang dominan - memancing rasa ingin tahu pembaca
bagaimana akhir ceritanya, gaya penulisan yang lain dari kebanyakan novel angkatan 45 atau
66 - sedikit “memaksakan" pembaca untuk lebih menajamkan analisis dan imajinasi untuk
menemukan sebab akibat dalam cerita.
Jika fenomena ini kita baca dalam sebuah harian, katakanlah Jawa Pos atau Radar
Surabaya, tidak akan memunyai arti apa-apa, sambil lalu saja kita membacanya tanpa berpikir
lebih jauh lagi. Apalagi kalau itu berita kriminal yang disertai gambar kepala manusia yang
pecah atau tubuh anak kecil yang dipotong, kita akan merasa ngeri dan takut. Setelah dibaca,
dibuang begitu saja atau dijadikan tempat membungkus kacang. Mengapa? sebab menurut
Luxemburg, dkk., (1989:19) bahwa seorang wartawan melaporkan apa yang menurut
pengamatannya terjadi dalam kenyataan. Ia menampilkan laporannya sebagai sesuatu yang
sungguh terjadi dan demikian juga tanggapan pembaca. Kita dapat mengecek apakah tulisan
wartawan itu benar atau tidak, karena laporannya juga dapat dicek oleh orang lain. Jika
laporannya tidak sesuai dengan kenyataan pembaca dapat menuduhnya sebagai pemerkosa
kenyataan.
Dalam novel Tiurmaida, kita menemukan permasalahan yang juga terjadi dalam
kehidupan masyarakat. Tapi apakah kita dapat mengecek kebenarannya, tokoh-tokohnya, atau
tempat-tempat kejadiannya. Apa benar ada orang yang namanya Tiurmaida yang menjadi
buruh kasar pemecah batu yang memunyai suami untuk Marsius yang mengalami ganguan
jiwa. Semua itu hanyalah tokoh rekaan saja yang sengaja diciptakan oleh Hasan Al Banna
untuk membawa misinya. Dengan demikian tokoh-tokoh itu diberi tugas dan peran oleh Hasan
Al Banna dalam menyampaikan tema yang diusungnya. Jadi jelaslah apa yang dikatakan oleh
Desmont McCarty, Meredith, Conrad, Henry James, dan Hardy dalam Wellek dan Warren
(1989:279) Semuanya telah meniup gelembung-gelembung yang besar dan bercahaya. Di
dalamnya semua manusia yang digambarkannya, meskipun bisa disamakan dengan orang-
orang dalam kehidupan nyata, hanya bersifat nyata dalam dunia yang diciptakan untuk mereka.
Dalam novel Tiurmaida pembaca dapat saja mengidentikan dirinya dengan tokoh
Tiurmaida dan Marsisus. Atau dengan permasalahan yang dihadapi oleh salah satu di antara
mereka. Dengan membaca cerpen ini kita dapat membuat perenungan yang mendalam tentang
“makna” sebuah cinta sejati. Kemampuan Hasan Al Banna untuk membawa pembaca masuk
ke dalam “dunia” yang diciptakannya lewat tokoh-tokoh cerita menjadikan cerpen ini enak
dibaca sekalipun sedikit mengerutkan dahi untuk mengerti jalan ceritanya.
Penulis (Hasan Al Banna) mampu membuat jarak estetis atau distansi estetis dalam
novel ini sehingga permasalahan yang tadinya dapat dianggap sudah “usang” menjadi sesuatu
yang enak untuk dinikmati. Penulis seakan membuat sebuah “sejarah kasus” baru yang patut
dibaca berulang-ulang.
Benarlah apa yang dikemukakan oleh Wellek dan Warren (1995:278) memang, semua
karya sastra membuat distansi estetis, membentuk dan membuat artikulasi. Dengan cara itu
karya sastra menggubah hal-hal yang pahit dan sakit jika dialami atau dilihat dalam kehidupan
nyata, menjadi menyenangkan untuk direnungkan dalam karya sastra. Sedangkan Aristoteles
dalam Luxemburg., (1989:19) mengatakan, bahwa seorang pengarang justru karena daya cipta
artistik-nya mampu menampilkan perbuatan manusia yang universal.
Dalam cerpen Tiurmaida karya Hasan Al Banna, penulis melihatnya dari unsur jarak
estetis atau distansi estetis karena dengan membaca cerpen ini kita dapat membuat perenungan
yang mendalam tentang makna sebuah cinta sejati. Dengan begitu, kemampuan Hasan Al
Banna untuk membawa pembaca masuk ke dalam dunia yang diciptakannya lewat tokoh-tokoh
cerita menjadikan cerpen ini enak dibaca sekalipun sedikit mengerutkan dahi untuk mengerti
jalan ceritanya (Sapulette, 2009).

Amang oi! Kontan ia melonjak setengah berteriak. Induk jarinya pecah bercucur
darah. Sambil menggendong tangan kirinya yang kebas, ia bergegas turun ke bawah. Mencari
daun pagapaga untuk dikunyah, sesegera mungkin dilumurkan ke jarinya yang terbelah.

Sinopsis diatas dapat sedikit memperjelas bagaimana psikologis Tiurmaida sebagai tokoh
utama dalam cerpen tersebut. Setelah kehilangan amak semata wayang Marsius yang menjadi
suami dari Tiurmaida merasa terpukul.

Marahmuda adalah nama dari anak mereka. Setiap kali, Marsius melihat anak seumuran
Marahmuda maka ia akan merampas meskipin dari gendongan Ibunya. Hal itu yang membuat
warga selalu menjadikannya sebagai bulan-bulanan.

Tiurmaida yang tidak ingin kehilangan Marsius dan mencintai dengan sepenuh hati. Masih
akan terus menjaga dan merawat. Tak jarang Tiurmaida harus mendapatkan seluka lebam
akibat hantaman Marsius.

Bahkan lebab di dadd kiri masih berbekas selama berhari-hari. Tiurmaida terpaksa memasung
suaminya. Agar tidak menjadi masalah lagi bagi warga kampung.

Pskologis Tiurmaida juga terguncang.


Setelah kematian anaknya, suaminya juga mengalami gangguan kejiwaan. Hal-hal itu yang
menjadi beban pikiran Tiurmaida. Menurut Minderop ada beberapa aspek yang mejadi media
atau jembatan untuk menjadi titik temu dalam menelusuri jejak psikologisnya: Naluri,
Kecemasan, Depresi, Kesabaran, Ketakutan.

Evaluasi :
Kelebihan : Drama teater ini memiliki kelebihan di para pemerannya yang benar-
benar menjalani perannya dengan sangat baik, para pemerannya benar menghanyati setiap
adegan.Mimik, gestur, vocal, artikulasi dan tempo nya sesuai dengan tokoh dalam drama,
seperti tokoh Marsius seperti orang yang benar sudah gila karna kehilangan anak tunggal nya
Marahmuda.

Kekurangan : ada kekurangan yang mengurangi estetika film ini, akhir cerita teater
nya kurang jelas, teater nya tidak menjelaskan apa yang akan terjadi pada Marsius setelah
tiurmaida istri nya meninggal dunia.

Rangkuman :
Cerita Tiurmaida ini sangat bangus , dimana sifat tokoh Tiurmaida yang tetap setia
dan cinta kepada suami nya meskipun suami nya sudah gila karna kehilangan anak mereka,
dan meskipun keluarga Tiurmaida selalu memaksa agar meninggalkan suami nya yang tidak
berguna dan hanya bisa buat susah dirinya dan warga.Tiurmaida juga harus bekerja keras
untuk kebutuhan mereka. Sifat itu lah yang patut kita teladani, dimana kita harus tetap setia
kepada suami kita dan dalam hidup kita juga harus tetap kuat,semangat, dan gigih dalam
menjalani hidup ini. Tiurmaida tidak pantang menyerah meski di olong-olong oleh warga
tentang suaminya, dia tetap tegar dan tetap setia dengan suaminya.

Anda mungkin juga menyukai