Anda di halaman 1dari 4

Kisah Kopassus Bebaskan Sandera di Papua

Oleh Ayuning Sinchitta

Novel Tiga Sandera Terakhir ditulis oleh Brahmanto Anindito, seorang ghostwriter
profesional lulusan S1 komunikasi Universitas Airlangga. Ia pernah menjadi wartawan,
editor, dan sekarang menjadi penulis purnawaktu. Ia membuat novel Tiga Sandera Terakhir
ini untuk menyegarkan pikiran kita pada kasus penyanderaan yang terjadi di
Mapenduma pada tahun 1996, serta membuat pembaca melihat dari sudut pandang
berbeda mengenai penyanderaaan brutal di Papua.

Novel yang diangkat dari kisah nyata ini…. Terjadi pada…. Kala itu koran
ramai memberitakan….. Kasus ini tidak diselesaikan….

Cerita berawal dari …. Tiba-tiba tersiar kabar bahwa telah terjadi penyanderaan brutal
di Papua. Korbannya adalah dua warga Indonesia, dua turis asal Prancis, dan satu turis asal
Australia. Semua pihak langsung menuding OPM (Organisasi Papua Merdeka) sebagai
pelakunya. Namun, mereka tidak mau bertanggung jawab. OPM menegaskan bahwa tidak
pernah lagi menggunakan cara kekerasan, dan juga mengutuk adanya kasus tersebut.

Atas perintah TNI, Komandan Gultor Kopassus, Kolonel Inf. Larung Nusa, segera
membawa pasukan terbaiknya dari Satuan 81/Penanggulangan Teror (Sat-81/Gultor) ke
Jayapura. Nusa sendiri adalah seorang perwira yang dipandang sebelah mata. Banyak orang
yang menganggap, bahwa pangkat yang ia sandang pada usia ke 38 itu adalah berkat
statusnya sebagai menantu menteri pertahanan RI. Kasus penyanderaan ini adalah
kesempatan emas bagi Nusa untuk menunjukkan kemampuannya sebagai prajurit profesional.

Namun, ini kasus yang cukup rumit. para penyandera tidak akan segan-segan
membunuh sanderanya jika TNI dan Polri melakukan serangan. Selama prosesnya pun,
Kopassus banyak mengalami kendala. Selain kurang menguasai medan di tengah hutan yang
dipenuhi bukit dan tebing, skala pada peta yang mereka miliki pun kurang memadai untuk
mendeteksi lokasi para sandera. Konflik pun semakin panas ketika operasi militer
dilaksanakan, dan korban mulai berjatuhan.

Penulis memang sangat berani mengambil tema militer, tema yang masih jarang
disentuh oleh novelis Indonesia. Konflik yang diangkat pun terbilang sensitif, pernah terjadi
di dunia nyata, bahkan cukup memanas. Sebagaimana yang diungkapkan penulis dalam
pengantarnya, novel ini bertujuan untuk menyegarkan ingatan kita pada kasus penyanderaan
yang terjadi di Mapenduma pada tahun 1996. Seperti dalam kutipan halaman 83, “Mereka
ingin Indonesia mengakui kemerdekaan Papua Barat. Itu satu-satunya jalan untuk
membebaskan sandera hidup-hidup. Jakarta takkan mau meluluskan permintaan itu. NKRI
harga mati di sini, merdeka harga mati di sana. Ah ....!” (Anindito, 2001:83)

Cerita lebih fokus kepada aksi penyelamatan yang dilakukan oleh Larung Nusa dan
pasukannya. Tapi, pembaca harus sedikit bersabar pada sepertiga pertama. Penulis lebih dulu
menyampaikan latar belakang konflik di Papua; tentang asal-usul nama Irian Jaya, lalu
berubah menjadi Papua; tentang kondisi Papua ketika berada di tangan Belanda, lalu
bergabung dengan Indonesia, hingga akhinya terbentuklah OPM. Sebenarnya, bagian ini
lumayan membosankan. Tapi, minimal kita bisa tahu mengapa TNI dan OPM tidak pernah
sejalan. Saya sendiri menganggap keputusan TNI maupun OPM sama-sama wajar, meskipun
kekerasan bukanlah cara yang tepat.

Bukan hanya sejarah, lokalitas Papua juga terasa kental meskipun masih ada deskripsi
yang kurang detail. Pembaca seperti dibawa masuk ke sana, mengenal rumah adat Papua, lalu
hutannya, sampai pulau-pulau terpencil di dalamnya. Sempat disinggung juga beberapa
tradisinya, yaitu tusuk hidung dan mumifikasi (jenazah manusia yang dijadikan mumi) yang
jika dibayangkan sangatlah mengerikan.

Beberapa tokohnya pun berbicara menggunakan bahasa Papua. Meskipun tidak


dicantumkan terjemahan, kita masih bisa meraba-raba artinya. Karena novel ini juga, saya
jadi tertarik untuk mencari tahu tentang salah satu lagu daerah Papua, yang saya yakin semua
orang pernah mendengarnya, tapi mungkin tidak banyak yang tahu maknanya, karena
bertolak belakang dengan irama lagunya.

Namun, ada satu hal yang kurang mengenai Papua, yaitu kekayaan alamnya. Di sini,
tokohnya berulang kali mengungkapkan bahwa Papua sudah memiliki segalanya. Tapi,
penulis tidak memberikan gambaran yang jelas tentang apa saja dan seberapa banyak
kekayaan yang ada di Papua, yang lebih banyak dibawa ke Pulau Jawa, dan juga digerus oleh
negara asing, dan berapa persen yang benar-benar bisa dinikmati oleh penduduk aslinya.

"Semakin pemberani seseorang, semakin ceroboh dia." (hal. 138)


Selain Papua, sesuai temanya, novel ini memperkenalkan pembaca kepada dunia
militer. Saya sempat bingung dengan berbagai kesatuan yang ada dalam TNI beserta pangkat-
pangkatnya, ditambah lagi ada istilah-istilah yang tidak saya kenal. Tapi untungnya, penulis
menyajikan kegiatan para anggota militer dengan menarik. Kita bisa mengetahui bagaimana
cara mereka menyusun strategi, cara berlatih di lapangan, kode di medan perang, dan cara
mereka menggunakan sandi-sandi. Di sinilah, pada sepertiga kedua, cerita mulai memikat,
terutama ketika TNI dan OPM saling menyerang.

Novel ini juga sedikit mengubah pandangan pembacanya yang selama ini
menganggap bahwa anggota militer itu kaku dan selalu serius. Faktanya, mereka juga tetap
manusia biasa yang bisa tertawa. Di sini digambarkan kalau mereka sesekali bergurau di
tengah rapat dan saat latihan. Apalagi Tim Hantu, mereka bahkan bisa bergurau di tengah
perang. Jadi, ketika suasana semakin tegang, tingkah tokohnya juga semakin lucu.

Dan tentu saja, novel ini juga menyuguhkan aktivitas yang sangat identik dengan
militer, yaitu aksi tembak-tembakan. Semakin ke belakang, adegan baku tembak dan baku
hantam yang digambarkan semakin detail. Apalagi, lawan yang dihadapi oleh Kopassus itu
sangat sulit dikalahkan. Membuat jalan cerita menjadi semakin mencekam sekaligus semakin
menarik, dan saya semakin sulit untuk melepas buku ini sebelum tamat.

Keseruan dan suasana mencekam memang baru benar-benar terasa pada sepertiga
terakhir. Di sini bahkan penulis berhasil memberikan daya kejut saat pembaca mulai lengah.
Setelah beberapa waktu dibuat tertawa, lalu penulis menghadirkan adegan yang membuat
pembaca menjadi panas-dingin, yaitu saat kedok salah satu personil Tim Hantu terbongkar,
dan kehadiran polisi di tengah perjalanan. Menurut saya, itu ide yang cerdas.

"Kita sewaktu-waktu bisa terbunuh. Tapi, sebelum kita mati, ya kita buat sebanyak
mungkin lawan mati duluan." (hal. 257)

Jika dibandingkan dengan novel thriller karya Brahmanto sebelumnya, novel inilah
yang paling berkesan bagi saya. Mungkin, karena di sini penulis hanya fokus pada satu topik,
sehingga cerita tergali lebih dalam. Lokalitas Papua, operasi militer, dan balutan thriller,
ketiganya terasa seimbang, tidak ada yang dominan, juga tidak ada yang terkesan hanya
tempelan. Saya juga tidak lagi menemukan kesan menggurui. Semua informasi disampaikan
melalui dialog, sehingga terasa mengalir. Saya pun suka dengan penyelesaian konfliknya,
tidak terlalu mudah, tapi juga tidak terlalu berbelit-belit. Selipan humornya juga terasa pas.
Untuk tokohnya, saya suka semua personil Tim Hantu, mereka sangat berkarakter.
Menariknya, mereka saling menyapa menggunakan nama klub sepak bola dari daerah
masing-masing. Ide ini pun tidak terkesan memaksa, apalagi aneh. Saya paling suka dengan
pemain Persebaya, dia gokil, tapi terlihat jantan saat di medan perang. Saya juga suka dengan
sahabatnya, si Tuan Takur. Tapi, yang paling saya idolakan tetaplah pemain Persija,
komandan yang bisa bersikap santai tanpa melunturkan wibawanya.

Sementara itu, saya kesal dengan ending-nya yang sangat singkat. Saya bahkan tidak
percaya kalau novel ini sudah tamat. Kasus penyanderaan memang tuntas, tapi setelah itu
tidak ada kejelasan mengenai orang-orang yang terlibat di dalamnya. Saya masih penasaran
dengan riwayat pemain Persiwa. Saya juga ingin tahu bagaimana kelanjutan karier personil
Tim Hantu, terutama Larung Nusa. Padahal, di awal sudah banyak disinggung mengenai
keluarga Larung Nusa dan jabatannya. Pembaca juga sempat diperkenalkan dengan riwayat
para personil Tim Hantu. Jadi, ketika kasus ditutup dan cerita pun selesai, rasanya seperti
masih ada yang menggantung.

Satu hal yang sangat disayangkan dari novel ini, menurut saya, sinopsisnya bercerita
terlalu jauh. Memang tidak detail, tapi cukup mengurangi ketegangan dan unsur misteri
dalam novel ini. Tapi, novel ini tetap mampu membuat saya penasaran dengan dalang di balik
drama penyanderaan tersebut, serta siapa saja yang dimaksud dengan tiga sandera terakhir.
Saya salut pada riset yang dilakukan oleh penulis. Pasti tidak mudah. Saya pun berharap agar
Mas Brahmanto tetap di jalur thriller, dan menjadikan kekayaan alam Indonesia sebagai
inspirasinya.

Meskipun masih terdapat kekurangan, novel ini amat sangat layak dibaca oleh kalian
para penggemar thriller, ataupun kalian yang ingin mengenal tanah Papua secara lebih dekat,
dan juga ingin menambah wawasan tentang dunia militer.

Anda mungkin juga menyukai