Anda di halaman 1dari 11

Identitas Penulis

Nama : Ajhie Kurnia Wiratama

No. absen : 01

Kelas : 12 MIPA 7

Judul Buku : Tiga Sandera Terakhir

Pengarang : Brahmanto Anindito

Penerbit : Noura Books

Cetakan ke/ Tahun terbit : Ke - 1/Mei 2015

Tebal buku : 309 Halaman

ISBN : 978-602-0989-47-1
A. Sinopsis
Penyanderaan brutal terjadi di sebuah desa di Papua. Korbannya lima orang
yang terdiri dari warga negara Indonesia, Australia, dan Perancis. Semua telunjuk
segera mengarah ke OPM, Organisasi Papua Merdeka. Namun, OPM sendiri
menyangkalnya. Mereka menegaskan bahwa pihaknya sudah lama tidak
menggunakan cara-cara ekstrem seperti itu, demi perjuangan kemerdekaan Papua
Barat.
Lantas, siapa dalang penyanderaan itu? TNI enggan berteka-teki terlalu lama.
Satuan Antiteror Kopassus di bawah pimpinan Kolonel Larung Nusa segera
diturunkan ke Bumi Cenderawasih. Tapi, malang tak bisa ditolak. Korban malah
berjatuhan, baik di pihak sandera maupun anggota Kopassus. Salah seorang anggota
bahkan dinyatakan hilang secara misterius di belantara Papua.
Kolonel Nusa mulai menyadari bahwa lawannya ini bukan sekadar milisi
OPM. Melainkan pasukan khusus seperti dirinya.
B. Unsur Intrinsik
 Tema
Novel ini bertemakan sejarah yang diselingi dengan aksi – aksi
sosial dan petualangan. Meskipun novel ini bertema sejarah yang
termasuk ke dalam novel non fiksi, namun ada sedikit hal yang berbau
fiktif dalam novel ini. Yaitu tentang keberadaan “Pasukan Hantu”,
yang dimana itu hanya lah karangan dari penulis.
 Tokoh dan Penokohan
- Akilas
Pimpinan OPM yang kejam.
- Mikael
Sifatnya kasar, namun sangat menyayangi keluarganya.
- Kolonel Larung Nusa
Suka membantu, berwibawa, dan hebat dalam berkelahi.
- Ambo Rawallangi
Suka berdebat dan berpikir kritis.
- Ni Komang Ambarwati
Sifatnya sopan, baik, dan ramah.
- Joanne Charvier
Acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitarnya.
- Jerome Perrinet
Mudah marah dan cuek.
- Roman White
Tak suka mencari masalah dan selalu bersikap tenang.
- Thomas Enkaeri
Suka meremehkan, sadis, dan penuh dendanm.
- Kresna Sonar
Suka berburu, mengoleksi senjata tajam, dan berpetualang.
- Mayjen Deddy Lestaluhu
Tergesa – gesa dan suka mencibir.
- Mayjen Abassia
Konsekuen dan suka menyindir.
- Nona Gwijangge
Cantik, pandai berakting, dan pandai dalam bidang militer.
- Tafiaro Wenda
Memiliki inisiatif yang tinggi dan juga suka berhutang.
- Witir Femilio
Rela berkorban dan romantis.
- Sertu Anam
Cerdik dan bersahabat.
 Sudut Pandang
Novel ini menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu,
karena banyak menggunakan kata ganti orang ketiga.
 Latar
- Latar Tempat
1. Di dalam ruangan
2. Di hutan
3. Di pinggir sungai
dll.
- Latar Waktu
1. Pagi hari
2. Sore hari
3. Malam hari
dll.
- Latar Suasana
1. Hampa / suram
2. Penuh canda tawa
3. Tegang
dll.
 Alur
Novel ini menggunakan alur maju, karena dalam cerita novel ini
tidak menceritakan masa lalu dan selalu berjalan maju.
- Pengenalan / Awal Cerita
Awal cerita dalam novel ini didahului oleh pengenalan sebuah
tokoh yang akan memimpin gerakan kelompok separatis OPM yang akan
menyerang dan menyandera beberapa turis di penginapan Mama Kasih.
- Munculnya Konflik
Awal munculnya permasalahan ditunjukan ketika kelompok
gerakan separatis ini mulai melakukan aksinya dengan kejam
menyerang sebuah penginapan.
- Kenaikan Konflik
Kenaikan konflik dalam novel ini ditandai dengan sampainya
laporan aksi penyerangan dan penculikan beberapa turis ke Kodam
Cenderawasih, dan diturunkannya Kopassus Sat-81/Gultor untuk
misi pembebasan sandera.
- Puncak Konflik
Puncak konflik cerita ini terjadi ketika kelompok separatis
OPM mulai bermain dengan api, yaitu mereka mengirim sandera
dengan alih – alih membebaskannya tetapi dalam keadaan tidak
bernyawa sehingga akhirnya Kopassus geram dan memutuskan
untuk melancarkan operasi militer.
Namun, ketika operasi militer dilaksanakan ternyata panglima
tertinggi gerakan tersebut belum tewas, sehingga dibentuklah
“Pasukan Hantu” untuk mengejar panglima tertinggi gerakan
separatis OPM tersebut.
- Antiklimaks
Antiklimaks dalam novel ini adalah ketika “Pasukan Hantu”
telah memasuki markas persembunyian musuh dan mengetahui
bahwa gerakan penyanderaan ini hanyalah batu loncatan kecil
untuk melakukan rencana besar yang telah disusun secara matang,
sehingga “Pasukan Hantu” akhirnya meledakkan seluruh asset
yang ada di persembunyian tersebut.
- Penyelesaian
Cerita ini diakhiri dengan terbunuhnya panglima tertinggi
gerakan separatis tersebut dan diturunkannya pasukan resmi TNI
untuk mengevakuasi pulau tersebut.
 Gaya Bahasa
- Majas Asidenton
Adalah suatu majas pengungkapan frasa, klausa, kalimat, atau
wacana tanpa kata sambung (konjungsi).
Contoh :
“… Saya yakin, Kolonel, anak buah Kolonel, para OPM itu …,
semua juga punya kasih yang mendamaikan.” (Tiga Sandera
Terakhir, 2019: 82 - 83)
- Majas Hiperbola
Adalah suatu majas yang menyatakan sesuatu secara
berlebihan.
Contoh :
Pria itu berbalik. Secepat kilat kembali merangsek tubuh Sertu
Anam. (Tiga Sandera Terakhir, 2019: 179)
- Majas Sinisme
Adalah suatu majas yang digunakan untuk menyindir
seseorang secara terang-terangan.
Contoh :
“… Oh ya, satu lagi ‘prestasi’ pasukan lu. Gue baru dapat laporan,
ada anak buah lu kemarin menembak mati ibu – ibu di lampung
Kakarlak. Warga sipil.” (Tiga Sandera Terakhir, 2019: 169)
 Amanat
1. Sebuah dendam tak akan menyelesaikan sebuah masalah, melainkan
hanya akan menambah masalah lain yang berkepanjangan.
2. Jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah tanpa kecerobohan adalah
memahami situasi tanpa terburu – buru dan menyusun strategi yang
matang.
3. Setiap manusia bisa sangat hebat dalam suatu hal, namun bukan berarti
tak terkalahkan.
C. Unsur Ekstrinsik
 Latar Belakang Penulis
Awalnya, saya benci hal-hal berbau militer. Mau itu model
rambut, kelakuan, seragam doreng, senapan, granat, tank, dan
sebagainya. Tapi seiring berjalannya waktu, saya berubah pikiran.
Saya mulai membayangkan, betapa kacaunya negara seandainya tidak
ada tentara. Menjadi tentara itu pengabdian luar biasa. Jika ada
ancaman atau gangguan terhadap keutuhan bangsa merekalah yang
dimajukan terlebih dahulu. Mereka rela meninggalkan keluarganya
entah untuk sementara atau selamanya demi keamanan warga dan
negara. Saya jadi angkat topi untuk korps doreng. Meskipun tetap tidak
sampai memuja-muja.
apalagi setelah saya mendengar bahwa pendekatan TNI sekarang
sudah lebih humanis, dan bukan lagi mengutamakan kekerasan.
Sampai datanglah email dari Noura Books nawarin buat bikin
novel bertema politik militer. meskipun perspektif saya tentang orang-
orang militer sudah banyak berubah, tetap saja, saya tidak tahu apa-
apa tentang militer. sebagai penulis yang memfokuskan diri pada
genre thriller, saya tahu bahwa menulis tema militer merupakan
sebuah tantangan tersendiri. Saya pernah menulis novel berkaitan
dengan makhluk supranatural, psikopat, juga alien. Lantas, militer?
Kenapa tidak! akhirnya saya terima tantangan tersebut. Hanya saja,
saya minta waktu agak lama untuk belajar dan menambah wawasan
dulu. Apalagi, latar cerita kemudian kami sepakati Papua. Dan
alhamdulillah, akhirnya jadilah novel Tiga Sandera Terakhir ini.
 Latar Belakang Novel
Novel Tiga Sandera Terakhir berangkat dari peristiwa
penyanderaan nyata yang terjadi pada 8 Januari 1996 di Desa
Mapenduma, Jayawijaya, Kecamatan Tiom, Irian Jaya. Pada 8 Januari
1996, Mission Aviation Fellowship cabang Wamena mengirimkan
laporan kepada Komando Distrik Militer Jayawijaya. Laporan tersebut
mengatakan bahwa 26 peneliti dari Tim Ekspedisi Lorentz 95
disandera oleh sayap militer OPM di bawah pimpinan Kelly Kwalik.
Mendapat laporan penyanderaan, pihak berwenang, dalam hal ini
Kodam Jayapura dan Brimob Jayapura segera menjalankan Operasi
Pembebasan Sandera Mapenduma. Pasukan Kopassus juga
diterjunkan, dan akhirnya mengambil alih jalannya misi pembebasan
sandera tersebut.
 Nilai – Nilai yang Terkandung
- Agama
“Anakku, dalam agama apa pun, melakukan kekerasan itu dosa.”
(Tiga Sandera Terakhir, 2019: 82)
- Budaya
Bila orang yang sudah meninggal itu dari keluarga terpandang,
jenazahnya akan dijadikan mumi. (Tiga Sandera Terakhir, 2019:
204)
- Moral
Dari belakang, Tafiaro maju mendukung. Memuntahkan pelurunya
dengan gentar. (Tiga Sandera Terakhir, 2019: 264)
- Sosial
Mereka justru ingin menolong para wisatawan yang sedang apes
itu. (Tiga Sandera Terakhir, 2019: 23)
D. Kritik
Cerita novel ini lebih fokus kepada aksi penyelamatan yang dilakukan
oleh Kolonel Larung Nusa dan pasukannya. Tapi, pembaca harus sedikit
bersabar di sepertiga pertama novel ini, karena Penulis lebih dulu
menyampaikan latar belakang konflik di Papua. Mulai dari asal-usul nama
Irian Jaya, berubah menjadi Papua, dilanjut tentang kondisi Papua ketika
berada di tangan Belanda, lalu bergabung dengan Indonesia, hingga akhinya
terbentuklah OPM. Sebenarnya, bagian ini lumayan membosankan. Tapi,
sedikit banyaknya kita bisa tahu mengapa TNI dan OPM tidak pernah sejalan.
Dalam novel ini tidak hanya sejarah, namun lokalitas Papua juga terasa
kental meskipun masih ada deskripsi yang kurang detail. Pembaca diajak
untuk mengenal rumah adat Papua, lalu hutannya, sampai pulau-pulau
terpencil di dalamnya. Disinggung juga beberapa tradisinya, yaitu tusuk
hidung dan mumifikasi (jenazah manusia yang dijadikan mumi) yang jika
dibayangkan sangatlah mengerikan. Beberapa tokohnya pun berbicara dengan
bahasa Papua. Meskipun tidak dicantumkan terjemahan, tapi kita masih bisa
meraba-raba artinya. Namun, ada yang kurang mengenai Papua, yaitu tentang
kekayaan alamnya. Dalam novel dikatakan bahwa Papua sudah memiliki
segalanya. Tapi, penulis tidak memberikan gambaran yang jelas tentang apa
saja dan seberapa banyak kekayaan yang ada di Papua, yang lebih banyak
dibawa ke Pulau Jawa, dan juga yang digerus oleh negara asing, serta berapa
persen yang benar-benar dinikmati oleh penduduk aslinya. Jadi, masih agak
kurang jelas.
Novel ini juga memperkenalkan pembaca kepada dunia militer. Pada
awalnya saya hanya mengetahui sebagian kecil dari kesatuan yang ada dalam
TNI beserta pangkat-pangkatnya dan sitilah - istilahnya. Tapi dalam novel ini,
penulis menambah sedikit wawasan para pembaca dengan definisi singkat dari
kesatuan, pangkat, dan istilah yang ada dalam novel ini yang diperjelas lagi
dengan kegiatan para anggota militer yang dikemas dengan menarik. Kita bisa
mengetahui bagaimana cara mereka menyusun strategi, cara berlatih di
lapangan, kode di medan perang, dan cara mereka menggunakan sandi-sandi.
Di sinilah, pada sepertiga kedua, cerita mulai memikat, terutama ketika
TNI dan OPM saling menyerang. Dan tentu saja, novel ini juga menyuguhkan
aktivitas yang sangat identik dengan militer, yaitu aksi tembak-tembakan. Tak
hanya itu, adegan baku tembak dan baku hantam yang digambarkanpun
semakin detail hingga terkesan sangat epik. Apalagi, lawan yang dihadapi
oleh Kopassus itu digambarkan seakan – akan sangat sulit dikalahkan.
Membuat jalan cerita menjadi semakin mencekam sekaligus semakin menarik,
dan saya semakin sulit untuk melepas buku ini sebelum tamat.
Keseruan dan suasana mencekam memang baru benar-benar terasa pada
sepertiga terakhir. Di sini bahkan penulis berhasil memberikan daya kejut
ketika beberapa waktu dibuat tertawa, lalu penulis menghadirkan adegan yang
membuat pembaca menjadi panas-dingin, yaitu saat kedok salah satu personil
Tim Hantu terbongkar, dan kehadiran polisi di tengah perjalanan. Menurut
saya, itu ide yang cerdas. Semua informasi dalam novel ini pun disampaikan
melalui dialog, sehingga terasa mengalir. Saya pun suka dengan penyelesaian
konfliknya, tidak terlalu mudah, tapi juga tidak terlalu berbelit-belit. Selipan
humornya juga terasa pas. Menariknya lagi adalah ketika mereka saling
menyapa menggunakan nama klub sepak bola dari daerah masing-masing. Ide
ini pun tidak terkesan memaksa, apalagi aneh tapi lebih terkesan humor
ringan. Sementara itu, saya sedikit kesal dengan ending-nya yang sangat
singkat. Saya bahkan tidak percaya kalau novel ini sudah tamat. Kasus
penyanderaan memang sudah tuntas, tapi setelah itu tidak ada kejelasan
mengenai orang-orang yang terlibat di dalamnya. Khususnya, saya masih
penasaran dengan riwayat pemain Persiwa dan juga ingin tahu bagaimana
kelanjutan karier personil Tim Hantu, terutama Larung Nusa. Padahal, di awal
sudah banyak disinggung mengenai keluarga Larung Nusa dan jabatannya.
Pembaca juga sempat diperkenalkan dengan riwayat para personil Tim Hantu.
Tapi, ketika kasus ditutup dan cerita pun selesai, rasanya seperti masih ada
yang menggantung tanpa kejelasan.
Secara keseluruhan novel ini tetap mampu membuat saya penasaran
dengan dalang di balik drama penyanderaan tersebut, serta siapa saja yang
dimaksud dengan tiga sandera terakhir. Meskipun masih terdapat kekurangan,
novel ini amat sangat layak dibaca oleh kalian yang suka dengan tema thriller
yang berbau petualangan dan ingin menambah wawasan tentang dunia militer.

Anda mungkin juga menyukai