Anda di halaman 1dari 6

a Laut Bercerita

a. Instrinsik
- Tema: Persahabatan, Romansa, Politik, Kekeluargaan.
Novel ini berkisah tentang Biru Laut dan teman-temannya yang memperjuangkan
demokrasi indonesia pada masa reformasi 1998. dalam prosesnya, banyak peristiwa
naas dan tragis. namun penulis juga mengangkat kisah cinta dan persahabatan para
tokoh. di novel ini juga ditonjolkan rasa kekeluargaan yang sangat kuat.
- Amanat: -
- Latar:
1. Latar Tempat
Laut bercerita menceritakan berbagai macam gerakan aktivis. oleh karena itu,
latar tempatnya tentu saja bervariasi. antara lain:
a. Sayegan, Yogyakarta
b. Ciputat, Banten
c. Blangguan, Jawa Timur
d. Jakarta
e. New York, Amerika Serikat
2. Latar Waktu
Kisah novel ini diceritakan dalam rentang waktu 1990 an akhir (diceritakan
dalam sudut pandang Biru Laut) sampai awal 2000 an (dalam sudut pandang
Asmara Jati)
3. Latar Suasana
Di awal novel, suasana yang terdapat adalah misterius. karena pembaca belum
tahu seluk beluk kehidupan tokoh utama (Biru Laut) Yang kemudian diikuti
dengan suasana mengerikan juga suram pada scene tenggelamnya Biru Laut.
Pada bab-bab berikutnya, latar suasananya cenderung tegang, sedih dan penuh
ketakutan. Meskipun begitu, penulis juga menyelipkan sedikit suasana
kehangatan keluarga, kekasih dan sahabat di dalamnya.
- Tokoh dan penokohan:
1. Biru Laut : mahasiswa fakultas sastra inggris yang merupakan seorang aktivis
yang memiliki semangat tinggi untuk membela masyarakat kecil. Ia
merupakan anak penuh kasih sayang yang berbakti kepada orang tua.
2. Kinan : Sosok yang tenang, tegas dan realistis.
3. Gusti : Mendukung segala aktivitas organisasi namun ternyata merupakan
pengkhianat.
4. Asmara: Penyayang, kritis, dan realistis.
5. Naratama : Tokoh yang dicurigai merupakan penghianat karena sikapnya yang
menggebu-gebu dan suka mencela.
6. Gala Pranaya: Pemberani, tidak mudah putus asa, dan bijaksana.
7. Empat sekelompok penjahat: Kejam dan licik.

- Sudut pandang: orang pertama


pada bagian pertama novel ini, Biru Laut menceritakan perjalanan hidupnya selama
menjadi mahasiswa sekaligus aktivis dengan sudut pandang orang pertama, pelaku
utama. Pada bagian kedua, diceritakan proses pencarian aktivis yang diculik dan
disiksa. bagian ini diceritakan oleh Asmara Jati, adik Biru Laut, dengan sudut
pandang orang pertama, pelaku utama.
- Alur : Novel yang ditulis oleh Leila S. Chudori ini memiliki alur campuran. Terdapat
alur maju dan juga alur mundur.

b. Ekstrinsik
- Biografi pengarang: Leila Salikha Chudori merupakan wanita berkebangsaan
Indonesia yang lahir pada tanggal 12 Desember 1962. Ia terpilih mewakili Indonesia
mendapat beasiswa menempuh pendidikan di Lester B. Pearson College of the
Pacific. Leila merupakan lulusan sarjana Politik Sains di Universitas Trent, Kanada.
Sejak tahun 1989 Leila S. Chudori sudah bekerja sebagai wartawan majalah Tempo.
Selain menjadi wartawan, Ia juga bekerja sebagai penulis dan salah satu karyanya
adalah Laut Bercerita yang terbit tahun 2017. Gaya cerita yang Leila S. Chudori
gunakan di setiap tulisannya bersifat intelektual dan puitis. Dengan cerita yang
mengandung kejujuran, keyakinan, tekad, dan pengorbanan.
- Nilai:
● Nilai Agama : -
● Nilai Sosial : Laut bergabung dalam organisasi Winatra dan Wirasena. Setelah
bergabung, Laut semakin aktif melakukan kegiatan diskusi buku bersama
rekan-rekannya di dalam organisasi. Mereka tidak hanya membahas buku
tetapi juga tentang konsep untuk menentang doktrin pemerintahan negara.
“Benar. Dia Biru Laut. Sekjen Winatra!” (halaman 53).
● Nilai Moral : Laut beserta rekan-rekan organisasinya juga melaksanakan
beberapa aksi atau gerakan untuk membela masyarakat yang haknya sudah
dirampas oleh pemerintah.
“Sang Penyair dan aku sama­sama mengusulkan agar mahasiswa dan aktivis
melawan tentara dengan aksi tanam jagung.” (halaman 116).
● Nilai Budaya : Keluarga Laut memiliki kebiasaan di mana setiap hari Minggu
dikhususkan untuk kumpul dan makan malam bersama. Bagi mereka makan
malam bersama merupakan hal yang paling menarik dan dianggap sebagai
ritual karena mereka bisa merasakan kebahagiaan.
“Malam ini, setelah tiga bulan tak bersua, akhirnya kami semua bersiap
mengelilingi meja makan yang ditata dengan rapi oleh Bapak. Kami
menikmati tengkleng, acar kol dan nanas buatan Ibu, serta buntil buatan Mbak
Mar hingga kami mandi keringat.” (halaman 70).

- Situasi kondisi: Laut Bercerita awalnya menceritakan Indonesia yang seperti tidak
mengenal demokrasi. hal ini berkaitan dengan orde baru dan masa reformasi 1998.
Jika dikaitkan dengan situasi dan kondisi pada masa itu, penulis memandang masa
tersebut dari sisi pandang rakyat yang ingin membawa perubahan karena muak alan
pemerintahan diktator dan represif.

KEBAHASAAN
● Gaya bahasa perbandingan
1. Metafora : “Penampilannya nyaris seperti anak priyayi.” (halaman 31)

● Gaya bahasa perulangan


1. Repetisi : “Deburan pertama. Deburan kedua.” (Halaman 4)

● Gaya bahasa pertautan


1. Epitet : “aku marah pada semua orang termasuk pada kakekku.... Belakangan
aku paham konsep peminjaman pada lintah darat.” (halaman 28)
2. Eponim : “Aku tahu Asmara tak terlalu setuju dengan aktivitasku menjadi
Sisiphus Melayu.” (halaman 153)
● Gaya bahasa pertentangan
1. Antitesis : “tentang Ibu yang pernah mengatakan karakter kami seperti langit
dan bumi meski berasal dari rahim yang sama.” (halaman 21)

● Gaya bahasa penegasan


1. Retorika : “Tidakkah kalian khawatir setiap kali tertangkap aparat?” (halaman
153)

Orang Orang Proyek


a. Instrinsik
- Tema: Politik
- Amanat: Bekerjalah sesuai prosedur agar hasil akhir yang didapatkan memuaskan.
- Latar:
1. Latar Tempat
Penulis mengambil lokasi fiktif sebagai latar tempat ceritanya. Ia hanya
menyebutkan “desa” sebagai lokasi proyek tanpa menulis nama desa secara
spesifik.
2. Latar Waktu
Cerita pada novel ini terjadi pada tahun 1991 hingga Pemilu 1992. (Hal 127)
3. Latar Suasana
Suasana yang ditonjolkan dalam novel ini kuat akan sarat ketegangan karena
adanya perbedaan pandangan antara Kabul dengan idealismenya untuk
membangun jembatan berdasarkan Standar Operasional Prosedur yang
bertujuan membangun jembatan berkualitas. Sedangkan, Dalkijo adalah
pribadi yang membiarkan berbagai penyelewengan proyek untuk kepentingan
petinggi partai GLM, sebab GLM menggunakan proyek jembatan sebagai
bukti kontribusi nyata mereka terhadap masyarakat.
- Tokoh dan penokohan:
Tokoh :
1. Dalkijo (Kepala pemborong proyek)
2. Pak Tarya (bekas wartawan dan pensiunan pegawai negeri)
3. Basar
4. Kabul
Penokohan :
1. Kabul diceritakan menjadi tokoh protagonis yang memiliki sikap, dapat dilihat
saat Ia tidak bisa lagi menahan kegelisahannya karena merasa keinsinyuran
nya dicabik-cabik kepentingan politik, dan kemudian Ia memutuskan untuk
mengambil sikap.
2. Dalkijo diceritakan menganggap korupsi adalah suatu realitas yang tak hanya
bisa dihindari tetapi juga harus dinikmati.
3. Pak Tarya diceritakan bersifat menyerah terhadap realitas korupsi, namun Ia
lebih memilih untuk menikmati hidup, seperti menyendiri dan menyepi.
4. Basar diceritakan merasa tertekan setiap partai berkuasa meminta ini itu
kepadanya. Ia merasa dilema antara menolak tetapi mendapat risiko
disingkirkan dari jabatan, atau menerima tekanan dan bertahan demi warga
kampung.
- Sudut pandang: Sudut pandang orang ketiga
- Alur: Alur maju

b. Ekstrinsik
- Biografi pengarang: Ahmad Tohari adalah sastrawan dan budayawan berkebangsaan
Indonesia. Ia menamatkan SMA di Purwokerto. Karya monumentalnya, Ronggeng
Dukuh Paruk, sudah diterbitkan dalam berbagai bahasa dan diangkat dalam film layar
lebar berjudul Sang Penari. Ia pernah mengenyam bangku kuliah, yakni Fakultas Ilmu
Kedokteran Ibnu Khaldun, Jakarta (1967-1970), Fakultas Ekonomi Universitas
Jenderal Soedirman, Purwokerto (1974-1975), dan Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu
Politik Universitas Jenderal Soedirman (1975-1976). Tulisan-tulisannya berisi
gagasan kebudayaan dimuat di berbagai media massa. Ia juga menjadi pembicara di
berbagai diskusi/seminar kebudayaan.

- Nilai agama:
● Selalu meyakini keberadaan Tuhan dan percaya bahwa Tuhan tetap menyertai
orang-orang tertindas sekalipun. “Dan jangan sampai kita punya kesenangan terhadap
pernik keindahan dunia. Siang-malam kita harus ingat, hidup akan berakhir di ujung
maut” (Tohari, 2007:13). Digambarkan dengan tokoh pak Tarya yang yakin dengan
adanya kuasa Allah terhadap semua yang terjadi di muka bumi ini.

- Nilai moral:
● Rendah hati dan tidak membesar-besarkan diri yang tercermin dalam tokoh Pak
Tarya. “Ya, sampai beberapa hari yang lalu saya hanya tau Tarya tukang mancing tapi
kini saya sudah dapat informasi yang lebih lengkap bahwa sebetulnya pak Tarya
adalah pensiunan pegawai kantor penerangan. Selain itu, pak Tarya ketika muda
pernah lama mengembara ke Jakarta. Iya, kan? “Informasi itu sedikit benarnya, tapi
banyak salahnya” “Tak ada gunanya menutup-nutupi jati dirimu, pak. Malah ada
orang bilang, ketika berada di Jakarta, Pak Tarya pernah bekerja di penerbitan. Jadi
wartawan?” “Ach cuma sebentar”
● Sebagai manusia harus memiliki jiwa yang tangguh dan percaya diri akan
tindakannya yang berada di jalur kebenaran.“Artinya, besi bekar, pasir yang kurang
bermutu, tetap akan dipakai ?” “Ya, dan peresmian jembatan ini tetap akan
dilaksanakan tepat pada HUT GLM. Itulah keputusan yang ada dan Dik Kabul,
kuminta bisa menerimanya.” “Maaf, saya pun tetap berada pada keputusan saya, saya
tak bisa... “Tunggu, dik Kabul. Aku tidak akan lupa dik Kabul dan aku sama-sama
insinyur, lulus dari perguruan tinggi yang sama, hanya beda angkatan. Kita sudah
sekian lama bekerja sama. Dan terus terang, aku sudah menganggap dik Kabul
sebagai adik kandungku. Maka laksanakanlah keputusan itu” “Ma`af, pak Dalkijo,
kalau keputusan anda sudah final, saya pun tak mungkin berubah, saya tetap
mengundurkan diri”
● Praktik korupsi dan politik tidak sehat sebaiknya memang tidak dilanjutkan dengan
kesadaran kita sebagai individu yang harus mulai berani menentang hal tersebut.
“Nah’ dengan demikian kita tinggal menyelesaikan bagian – bagian luar strukur. Bila
kita sedikit menurunkan kualitas di bagian ini, mestinya tidak mengapa. Taruhlah
karena kita menggunakan pasir sungai dan besi bekas lalu lantai jembatan hanya kuat
bertahan satu atau dua tahun, Dik Kabul tak usah risau. Karena struktur jembatan
tidak ada masalah.” “Pak kali ini saya tidak bisa berkompromi,” jawab kabul penuh
percaya diri.

- Nilai sosial:
● Menjaga hubungan persahabatan yang erat dan penuh toleransi, serta selalu berbagi.
“Bapak keluar? Saya ikut. Saya senang punya pengawas yang mau ketawa sama
tukang dan kuli. Yang mau makan sama-sama di warung mak Sumeh”
(Tohari,2007:34). Digambarkan melalui tokoh Kabul dengan para pekerja proyek
yang menjalin tali persahabatan walaupun mereka baru sama-sama mengenal satu
sama lain.
● Saling menghormati tanpa memandang status. “Beberapa penduduk yang berpapasan
mengangguk hormat. Selai karena Basar punya bawaan semanak semedulur, dia
senang menghadapi warganya dengan wajah jernih dan kata-kata yang tulus” (Tohari,
2007:18). Digambarkan pada tokoh Kades Basar dengan sikapnya yang santun, saling
menghormati terhadap warganya. Tidak memperlihatkan perbedaan status.

- Nilai budaya:
● Melestarikan budaya dalam suatu acara kepentingan partai politik. Dibuktikan dengan
menampilkan pertunjukan Gatot Kaca Kembar 3 dan wayang kulit pada saat ulang
tahun Partai GLM. (Halaman 94)

- Situasi kondisi: Di Indonesia, korupsi bukanlah hal asing dalam pemerintahan. Novel
Orang-Orang Proyek memberikan gambaran praktik korupsi yang terjadi pada masa
orde baru dimana pada saat itu Indonesia sedang berkembang pesat dalam berbagai
bidang. Tak hanya itu, Orde Baru yang memiliki posisi sebagai man of desire
memberikan gambaran bahwa penguasa dapat menciptakan dan mengkondisikan
kebenaran sesuai yang dikehendaki. Dengan berlatar waktu menjelang pemilu, novel
Orang-Orang Proyek juga menggambarkan bagaimana kampanye hanya berfungsi
sebagai sarana untuk memproduksi simpati masyarakat.

KEBAHASAAN
● Gaya bahasa perbandingan
1. Metafora : “Gayanya seperti anak usia enam belas, padahal usia Wati sudah
23.” (halaman 27)
● Gaya bahasa perulangan
1. Repetisi : “Apakah yang pertama merupakan manifestasi yang kedua? Apakah
kejujuran dan kesungguhan sejatinya adalah perkara biasa bagi masyarakat
berbudaya, dan harus dipilih karena keduanya hal yang niscaya untuk
mengha­silkan kemaslahatan bersama?” (Halaman 39)
● Gaya bahasa pertautan
1. Antonomasia: “Bahkan wakil dua parpol itu juga orang-orang yang berjiwa
GLM tapi diberi baju hijau dan merah.” (halaman 208)
● Gaya bahasa pertentangan
1. Antitesis : “Yang jelas bagiku kecurangan besar maupun kecil yang ter­jadi di
proyek ini pasti akan mengurangi tingkat kesungguh­an, bahkan mengkhianati
tujuan dasarnya.” (halaman 39)
● Gaya bahasa penegasan
1. Retorika : “Atau, apakah Dik Kabul mau repot menghadapi peme­riksaan
aparat keamanan?” (halaman 229-230)

Anda mungkin juga menyukai