Anda di halaman 1dari 18

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas izin-Nyalah sehingga kita penulis dapat
menyelesaikan sebuah tugas makalah sederhana dengan judul Menganalisis Unsur Sastra
dalam Cerita Rakyat sebagai salah satu persyaratan untuk mendapatkan nilai yang baik dan
memuaskan.

Ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah membantudalam
penyusunan makalah sederhana ini terutama bagi keluarga, dosen dan teman-teman.

Sebagai manusia biasa yang tak lepas dari kesalahan, penulis menyadari bahwa tugas
makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran dari berbagai pihak demi kesempurnaan makalah ini.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca khususnya penulis. Amin..

27 November 2017

Intan Sari
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di Indonesia tumbuh berbagai cerita rakyat daerah dengan corak dan budaya yang berbeda
beda. Cerita rakyat itu ada yang berupa cerita binatang (fabel), asal usul suatu tempat
(legenda), dan cerita tentang makhluk halus (mite).

Cerita rakyat adalah cerita yang berkembang di suatu daerah dan dianggap sebagai karya
kolektif (milik bersama) masyarakat daerah itu. Pasti kita perna mendengar cerita Malin
Kundang, Si Pahit Lidah, Roro Jonggrang, Jaka Tarub, semua cerita itu termasuk dalam
cerita rakyat.

Banyak manfaat yang kita akan dapatkan dengan mendengarkan cerita rakyat. Salah satunya,
kita akan memperoleh pengalaman berharga dari cerita tersebut, melalui peristiwa-
peristiwayang dialami tokoh-tokohnya. Di dalam cerita rakyat terkandung pesan moral yang
berguna bagi pembacanya. Pesan (amanat)dalam cerita kadang diungkapkan secara langsung,
tetapi kadang diungkapkan secara tidak langsung melalui tingkah laku tokoh-tokohnya.

B. Tujuan penulisan
1. Menjelaskan pengertian cerita rakyat.
2. Menjelaskan unsur-unsur apa saja yang terdapat di cerita rakyat.

C. Rumusan masalah
1. Apa pengertian dari cerita rakyat ?
2. Contoh contoh cerita rakyak,
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Cerita Rakyat


Cerita rakyat adalah cerita yang berkembang disetiap daerah dan menceritakan asal usul atau
legenda yang terjadi disuatu daerah; cerita yang berasal dari masyarakat dan berkembang
dalam masyarakat. Cerita rakyat merupakan bagian dari dongeng. Ciri-ciri cerita rakyat, yaitu
:
1. Cerita rakyat disampaikan secara lisan
2. Disampaikan secara turun-temurun
3. Tidak diketahiu siapa pertama kali membuatnya
4. Kaya nilai-nilai luhur
5. Bersifat tradisional
6. Memiliki banyak versi dan variasi
7. Mempunyai bentuk-bentuk klise dalam susunan atau cara pengungkapannya.

B. Unsur-Unsur Cerita Rakyat

Setiap karya sastra memiliki unsur-unsur pembangun/unsur sastra, begitu pula dengan cerita
rakyat. Unsur sastra dalam cerita rakyat adalah sebagai berikut :

1. Unsur Instrinsik
Unsur instrinsik adalah unsur yang membangun cerita dari dalam. Unsur-unsur instrinsik
cerita rakyat, yaitu :
a. Tema
Adalah pokok pikiran yang dipakai sebagai dasar pengarang; pokok pikiran pengarang; ide
pokok permasalahan.
b. Alur
Adalah jalannya cerita; rangkaian peristiwa yang membentuk cerita dengan dasar hubungan
sebab akibat. Pada umumnya alur ada tiga macam, yaitu :
Alur maju
Merupakan peristiwa-peristiwa yang disajikan secara berurutan dari peristiwa pertama ke
peristiwa selanjutnya.
Alur mundur
Merupakan peristiwa yang diceritakan kembali.
Alur gabungan/ zik-zak
Merupakan gabungan dari alur maju dan alur mundur.

C. Latar
Keterangan tentang tempat, waktu dan suasana; tempat/waktu terjadinya peristiwa. Latar ada
tiga macam, yaitu :
Latar tempat
Lokasi atau bangunan fisik lain yang menjadi tempat terjadinya peristiwa-peristiwa dalam
cerita.
Latar waktu
Waktu (masa) tertentu ketika peristiwa cerita itu terjadi.
Latar suasana
Salah satu unsur instrinsik yang berkaitan dengan keadaan psikologis yang timbul dengan
sendirinya bersamman dengan jalannya cerita. Suatu cerita menjadi menarik karena
berlangsung dalam suasana tertentu.

D. Tokoh dan Penokohan


Penokohan dalah lukisan watak pelaku; cara pengarang menggambarkan watak tokoh. Istilah
tokoh menunjukkan pada orangnya, pelaku cerita, sedangkan pekonokohan menunjukkan
pada sikap kualitas pribadi tokoh.
Dilihat dari fungsi penampilan tokoh dalam cerita, tokoh dibedakan atas dua, yaitu :
1. Protagonist adalah tokoh yang berfungsi memberikan simpati, empati, melibatkan diri
secara emosional terhadap tokoh tersebut. Tokoh yang disikapi demikian disebut tokoh
protagonist.
2. Antagonis adalah tokoh yang berfungsi menimbulkan konflik dan berposisi dengan tokoh
protagonist.

E. Sudut Pandang
Kedudukan pengarang dalam cerita; cara pandang pengarang. Setiap pengarang memiliki
sudut pandang penceritaan yang berbeda. Ada yang menggunakan sudut pandang penceritaan
orang pertama (aku atau saya); ada yang menggunakan sudut pandang penceritaan orang
kedua (kamu atau kau); dan ada juga yang menggunakan sudut pandang orang ketiga (ia, dia
atau nama orang).
F. Amanat
Adalah amanat yang disampaikan pengarang.

2. Unsur Ekstrinsik
Adalah unsur yang berada di luar karya sastra atau cerita namun turut menetukan bentuk dan
isi suatu karya/cerita. Unsur-unsur eksttrinsik cerita rakyat, yaitu : agama, politik, moral,
aliran pengarang, psikologi, sejarah, sosial budaya, dan lain-lain.

Contoh :

1. ASAL USUL NAMA SURABAYA


Pada zaman dahulu, di lautan luas sering terjadi perkelahian antara ikan hiu yang dikenal
dengan nama Ikan Sura dan Buaya. Mereka berkelahi hanya karena berebut mangsa.
Keduanya sama-sama kuatnya, sama-sama tangkasnya, sama-sama cerdiknya, sama-sama
ganasnya, sama-sama rakusnya. Selama mereka berkelahi, belum pernah ada yang menang
ataupun kalah. Oleh karena itu, mereka kemudian jemu untuk terus berkelahi .
Aku bosan terus-terusan berkelahi, Buaya,
Aku juga Sura.lalu, apa yang harus kita lakukan agar kita tidak lagi berkelahi? tang Buaya.
Ikan Hiu Sura yang sudah memiliki rencana untuk menghenti perkelahiannya dengan Buaya,
memang telah memiliki satu cara.
Untuk mancegah perkelaian di antara kita, sebaiknya kita membagidaerah kekuasaan
menjadi dua. Aku berkuasa sepenuhnya di dalam air dan harus mencari mangsa di dalam air,
sedangkan kamu berkuasa di daratan dan mangsamu harus yang berada di daratan. Sebagai
batasan antara daratan dan air, kita tentukan batasnya, yaitu tempat yang dicapai oleh airlaut
pada waktu pasang surut. Bagaiman, Buaya?
Baiklah aku terima usulmu yang bagus itu! jawab Buaya.
Pembagian daerah kekuasaan itu ternyata memang telah membuat perkelahian antara Ikan
Sura dan Buaya sudah tak terjadi lagi. Mereka menghormati daerah kekuasaannya masing-
masing. Selama mereka mematuhi kesepakatan yang telah mereka buat bersama, keadaan
aman dan damai.
Akan tetapi, pada suatu hari, Ikan Sura mencari mangsa di sungai. Hal itu dilakukan dengan
sembunyi-sembunyi agar buaya tidak mengetahui. Akan teapi, Buaya memergoki perbuatan
Ikan Sura itu. Tentu saja Buaya sangat marah melihat Ikan Sura melanggar janjinya. Buaya
segera menghampiri Ikan Sura yang sedang menikmati mangsanya di sebuah sungai.
Hai, Sura, mengapa kamu melanggar peraturan yang telah kita sepakati berdua? mengapa
kamu berani memasuki sungai yang merupakan bagian dari wilayah kekuasaanku? tanya
Buaya. Ikan Sura yang tak merasa bersalah tenang-tenang saja.
Aku melanggar kesepakatan? Bukankah sungau ini berair. Bukankah aku sudah bilang
bahwa aku adalah penguasa air? Nah ini, kan, ada airnya, jadi termasuk juga daerah
kekuasaanku, kata Ikan Sura.
Apa? Sungai itu, kan, tempatnya di darat,sedangkan daerah kekuasaanmu ada di laut, berarti
sungai itu adalah daerah kekuasaannku! Buaya ngotot.
Tidak bisa, aku, kan, tidak perna bilang kalau di air hanya air laut, tetapi juga air sungai,
jawab Ikan Sura.
Kalau begitu kamu mau membohongiku lagi? Baiklah kita buktikan siapa yang memiliki
kekuatan yang paling hebat, dialah yang akan menjadi penguasa tunggal! kata Buaya.
Mereka berdua terus cekcok, masing masing berusaha mengemukakan alasan-alasanny,
masing-masing pun saling menolak dan saling ngotot mempertahankan kebenaran-kebenaran
dari alasan-alasannya sendiri. Akhirnya mereka berkelahi lagi.
Pertarungan sengit antara Ikan Sura dan Buaya terjadi lagi. Pertarungan kali ini makin seru
dan dahsyat. Mereka saling menerjang dan menerkam, saling menggigit dan memukul.
Dalam waktu sekejap, air di sekitarnya menjadi merah oleh darah yang keluar dari luka-luka
kedua binatang itu. Kedua binatang raksasa itu tanpa istirahat terus bertarung mati-matian.
Dalam pertarungan sengit itu, Buaya mendapat gigitan Ika Sura di pangkal ekornya sebelah
kanan. Selanjutnya, ekornya itu terpaksa selalu membengkok ke kiri. Akan tetapi, Buaya puas
karena telah dapat mempertahankan daerahnya. Ikan Sura telah kembali lagi ke lautan.
Peristiwa pertarungan antara ikan Sura dan Buaya itu mendapat tempat tersendiri di hati
masyarakat Surabaya. Oleh karena itu, nama Surabaya selalu dikait-kaitkan dengan peristiwa
itu. Lambang Ikan Sura dan Buaya bahkan dipakai sebagai lambang Kota Madya Surabaya.
2. Legenda Kelekup Gangsa Ular Naga di Danau Ranau
Pada zaman dahulu kala, awal mula adanya penduduk yang mendiami Pekon Way
Mengaku sekitar keturunan yang ke III (anak-anak dari Sebuay). Sebagaimana dalam sejarah
bahwa suami dari Sebuay adalah seorang laki-laki dari Gunung Aji Ranau yang datang ke
Pekon Way Mengaku dan menemukan jodohnya pada Sebuay dalam bahasa Lampung
"Bakas Semanda". Yaitu seorang perempuan yang mengambil seorang laki-laki dan dalam
hidupnya sehari-hari, kegiatan keluarga laki-laki secara utuh mengikuti pihak istri. Bahkan
akan terus mengikuti kegiatan secara utuh hingga akhir hayatnya.
Dari perkawinan tersebut lahir 7 (tujuh) orang anak semuanya laki-laki yang masing-
masing punya panggilan atau pengurau, yaitu Umpu Suat, Se Bebigor, Se Batin Balak, Se
Mandi Walay, Se Jambi dan Se Gundang Caring atau Sekutu Ni way.
Ketujuh orang anak-anak dari Sebuay tersebut, bagi warga yang masih anak
keturunan memanggilnya dengan nama panggilan "Tian Pitu Jong". Mereka berpencar untuk
meneruskan kehidupan di luar Pekon Way Mengaku ke seluruh penjuru Daerah Provinsi
Lampung bahkan sampai Provinsi Banten. Hingga kini yang masih terlacak dan di ketahui
keberadaannya dari 6 (enam) keturunan yang lain dari adik-adiknya, yaitu berada di :

1. Tanjung Heran Sukau;


2. Penggawa Lima Tengah Krui dan Sekuting Liwa;
3. Ngambur Krui;
4. Pangkul, Way Gelang Semaka (Tanggamus);
5. Tanjungan Kalianda (Lampung Selatan) dan
6. Banton atau Provinsi Banten.

Di dalam keluarga tersebut ada sebuah benda pusaka berupa Kentungan atau disebut
dalam bahasa Lampung adalah "Kelekup Gangsa". Kelekup Gangsa tersebut digunakan untuk
memberi tanda-tanda kepada semua anggota keluarga untuk berkumpul ataupun sedang ada
bahaya.

Konon ceritanya, Kelekup Gangsa tersebut bilamana dibunyikan dengan dipukul atau
ditabuh maka bunyinya akan sampai ke Pulau Jawa sekitar daerah Banton/Banten. Karena
itulah sebabnya, ada salah satu keturunan dari Pekon Way Mengaku yang berada di daerah
Banten dan memiliki keturunan hingga kini.
Seiring dengan perkembangan waktu, maka pihak keluarga suami dari Sebuay
mengetahui akan hal ikhwal ini. Keajaiban dari harta pusaka Sebuay berupa Kelekup Gangsa
atau Kentungan, sehingga menimbulkan niat kurang baik dari saudara-saudara pihak keluarga
(suami Sebuay) untuk mencuri Kelekup Gangsa.
Hingga pada suatu hari, sekelompok orang (saudara suami Sebuay) pun benar-benar
mencuri Kelekup Gangsa tersebut. Dan setelah berhasil mencuri Kelekup Gangsa tersebut,
sekelompok pencuri itu berlari meninggalkan desa tetapi mengingat perjalanan yang akan
ditempuh jauh, dengan berjalan kaki, dan melewati hutan belantara. Maka, perjalanan
tersebut baru sampai di Danau Ranau pada waktu sore hari. Dan demi keamanan, Kelekup
Gangsa itu juga dimasukkan ke dalam air Danau Ranau, lalu akan meneruskan perjalanan
pada keesokan harinya.
Pada keesokan harinya, saat akan meneruskan perjalanan, ternyata Kelekup Gangsa
tersebut sudah berubah menjadi Seekor Ular Naga. Itulah sekilas cerita tentang legenda Ular
Naga di Danau Ranau milik Pribumi Way Mengaku. Dan hingga kini masih melegenda pada
masyarakat Pribumi Asli Way Mengaku dan menjadi warahan dari zaman ke zaman karena
tidak ada berupa buku dokumentasi yang mencatat sejarah dan kisah ceritanya. Warahan
sendiri dalam bahasa Lampung memiliki arti cerita zaman dahulu yang disebarkan secara
lisan.
Dan itu pula yang menyebabkan enam keturunan yang lainnya hingga kini masih
menetap di tempat-tempat yang disebutkan diatas. Bahkan telah menyebar luas dan
mempunyai banyak keturunan dimana-mana. Dikarenakan kentungan untuk memanggil
pulang dan mengupulkan mereka berupa Kelekup Gangsa telah berubah menjadi Seekor Ular
Naga di Danau Ranau.
3. Kisah cinta Dewi Sulastri
Kerajaan Mataram diawali dari pembagian wilayah yaitu yang menguasai
wilayah brang wetan dan brang kulon (bahasa Jawa sebelah barat dan sebelah timur)
diantaranya Kadipaten Pucang Kembar yang dipimpin oleh Hadipati Citro Kusumo,
Kadipaten Bulupitu di pimpin oleh Jaka Puring dan Kadipaten Karang Gumelem. Cerita ini
diawali masa kepemimpinan Kanjeng Susuhan Sayidin Panotogomo. Dalam cerita ini yang
menjadi lakon adalah sebagian dari wilayah brang kulon .
Pada waktu itu Hadipati Pucang Kembar mempunyai putri yang cantik jelita bernama
Dewi Sulastri. Hadipati Bulupitu Raden Jaka Puring terkenal sakti mandraguna tetapi belum
punya istri dan dia menderita cacat yaitu bibirnya tebal sebelah (istilah Jawa mengrot) dan
kakinya pincang mendengar bahwa di Kadipaten Pucang Kembar ada seorang putri cantik
anak dari Hadipati Citro Kusumo maka Jaka puring ingin mempersuntingnya sebagai istri.
Dan setelah Raden Jaka Puring melihat kecantikan Dewi Sulastri ia lalu melamarnya
namun belum diterima atau masih ditangguhkan karena Jaka Puring adalah seorang pemuda
yang cacat maka ia disuruh menunggu dan dipersilahkan untuk tinggal sementara di Pucang
Kembar.
Tidak lama kemudian datanglah seorang pemuda tampan dari Kadipaten Karang
Gumelem bernama Raden Jono yang bermaksud hendak melamar pekerjaan di Kadipaten
Pucang Kembar sambil mencari saudara kandungnya yang bernama Raden Wiro Kusumo,
namun Sang Hadipati Citro Kusumo bingung karena tidak ada pekerjaan untuk Raden Jono
bersamaan dengan itu putri Sang Hadipati Citro Kusumo yaitu Dewi Sulastri melihat pemuda
tampan itu maka tertarik hatinya dan mengajukan usul kepada Kanjeng Romonya ( bahasa
Jawa Ayah ) agar Raden Jono diterima bekerja di Kadipaten Pucang Kembar. Akhirnya Sang
Hadipati menerima Raden Jono sebagai juru taman di Kaputren Dewi Sulastri. Karena sering
bertemu antara Raden Jono dan Dewi Sulastri saling jatuh cinta (Pepatah Jawa mengatakan ,
Witeng Tresno Jalaran Soko Kulino ).
Sementara dalam penantiannya Raden Jaka Puring sudah jemu menunggu jawaban
dari Dewi Sulastri. Ia merasa curiga dengan hubungan Dewi Sulastri dan Raden Jono maka
sambil menunggu jawaban dari Dewi Sulastri, Raden Jaka Puring menyuruh Pangeran
Usmono Usmani ( adik Dewi Sulastri ) untuk mengawasi gerak-gerik Dewi Sulastri dan
Raden Jono. Berdasarkan pengamatannya, Pangeran Usmono Usmani melaporkan bahwa
Dewi Sulastri telah menjalin cinta dengan Raden Jono. Mendengar laporan itu Raden Jaka
Puring merasa tersinggung dan mengambil kesimpulan bahwa dirinya ditolak karena Dewi
Sulastri berpacaran dengan Raden Jono. Jaka Puring marah dan terjadilah perang antara
Raden Jono dan Raden Jaka Puring.
Singkat cerita pertempuran yang tidak seimbang itu membuat Raden Jono kalah dan
lari mencari perlindungan ke Pesanggrahan Pring Ori (kelak bernama desa Ori di wilayah
kecamatan Kuwarasan). Raden Jono minta perlindungan pada Kyai Karyadi dan disuruh
sembunyi di dalam lumbung dan di tutup pakai kapuk (kapas), tidak lama kemudian Raden
Jaka Puring sowan pada Kyai Karyadi dan menanyakan keberadaan Raden Jono namun sang
Kyai membohonginya dan mengatakan bahwa Raden Jono tidak berada di pesanggrahan
Pring Ori. Jaka Puring lalu pulang kembali ke Kadipaten Bulu Pitu.
Setelah Jaka Puring pergi maka Raden Jono dikeluarkan dari lumbung dan ditanya
apa sebabnya Raden Jono dikejar-kejar oleh Raden Jaka Puring. Raden Jono menceritakan
pada Kyai bahwa perjalanannya ke Pucang Kembar untuk melamar pekerjaan sambil mencari
saudara kandungnya Pangeran Wiro Kusumo setelah tiba di Pucang Kembar diterima sebagai
juru taman dan dicintai oleh Dewi Sulastri . Tapi karena Dewi Sulastri telah jatuh cinta
kepada Raden Jono akhirnya Raden Jaka Puring cemburu dan terjadi pertarungan antara
Raden Jono dan Raden Jaka Puring sampai akhirnya Raden Jono kalah dan lari ke
Pesanggrahan Pring Ori untuk menimba ilmu di pesanggrahan sehingga bisa mengalahkan
Raden Jaka Puring dan memperistri Dewi Sulastri.
Mendengar jawaban dari Raden Jono sang kyai memberi saran. Untuk mencapai
tujuannya Raden Jono harus bersemedi (bertapa) di bawah pohon besar bernama Wit Benda
(Pohon Benda : bahasa Jawa) dan pohon itu berada di daerah yang angker namun dalam
melakukan semedi itu harus dengan hati yang tulus, suci dan sabar. Pada akhirnya
pertapaannya mendapatkan hasil dari yang Maha Kuasa dengan memperoleh pusaka berupa
Bungkul Kencana (keris : bahasa Jawa).
Dan akhirnya Raden Jono pulang ke Pucang Kembar bertemu dengan Dewi Sulastri
dan ternyata Raden Jaka Puring sudah berada di Pucang Kembar untuk menanyakan jawaban
Dewi Sulastri atas lamarannya Dewi Sulastri menjawab bahwa dia mau dipersunting oleh
siapapun namun ia punya bebana awujud adon-adongiri patembaya (bahasa jawa permintaan
pertarungan) antara Raden Jono dan Jaka Puring. Maka terjadilah pertarungan sengit antar
keduanya yang dimenangkan oleh Raden Jono maka dikawinkanlah Dewi Sulastri dengan
Raden Jono sedang Raden Jaka Puring lari dan pulang ke Bulu Pitu.
Bersamaan dengan itu Hadipati Pucang Kembar mendapat surat mandat (nawala) dari
Susuhunan Sayidin Panatagama ( Raja Mataram ) untuk memberantas gerombolan berandal
di Gunung Tidar. Akhirnya Hadipati Pucang Kembar Citro Kusumo memerintahkan
menantunya sebagai bukti pengabdiannya untuk memberantas berandal di Gunung Tidar atau
sebagai Duta Pamungkas. Mendengar berita bahwa Raden Jono diberi mandat untuk menjadi
Duta Pamungkas Raden Jaka Puring yakin bahwa Raden Jono pasti gugur melawan
gerombolan berandal di Gunung Tidar maka Raden jaka Puring menuju ke Pucang Kembar
untuk menemui dan merebut Dewi Sulastri.
Dalam keadaan Dewi Sulastri sendiri tanpa suami dipaksa oleh Raden Jaka Puring
untuk mengikuti kemauan Raden Jaka Puring menjadi istrinya. Sebagai seorang istri yang
setia kepada suami Dewi Sulastri tidak mau mengkhianati Raden Jono maka akhirnya Raden
Jaka Puring membawa lari dengan paksa Dewi Sulastri keluar dari kaputren. Sementara itu
Raden Jono sampai di Gunung Tidar menjelang malam dan menunggu munculnya
gerombolan berandal. Setelah malam datang akhirnya gerombolan pengacau itu muncul dan
bertarunglah Raden Jono melawan gerombolan yang terkenal bengis dan sakti mandraguna
namun dengan kesaktian dan niat suci pengabdiannya kepada negara dan orang tua serta
berbekal Pusaka Bungkul Kencana akhirnya Raden Jono bisa mengalahkan gerombolan
berandal itu dan membunuh pimpinannya dengan Bungkul Kencana . Dalam keadaan keris
terhunus diperut pimpinan gerombolan itu menyebut-nyebut nama saudara kandungnya.
Ternyata pimpinan dari gerombolan itu Raden Wiro Kusuma yang merupakan kangmasnya
sendiri.
Betapa sedihnya perasaan Raden Jono memikirkan garis hidupnya yang harus
melaksanakan tugas negara dengan meninggalkan istri tercinta dan ternyata harus membunuh
kakak kandungnya sendiri .
Raden Jono pun pulang ke Pucang Kembar membawa kemenangan berselimut
kesedihan karena harus mengorbankan nyawa saudara kandungnya yang selama ini sedang
dicarinya demi pengabdiannya kepada mertua dan negara. Sesampai di Pucang Kembar
semakin terguncang perasaan Raden Jono mendapati Dewi Sulastri telah dibawa lari oleh
Raden Jaka Puring. Dalam keadaan lelah dan terguncang Raden Jono pun mengembara
mencari keberadaan Dewi Sulastri menjelajah setiap wilayah sampai akhirnya tiba di pesisir
selatan .
Sementara itu pelarian Raden Jaka Puring membawa Dewi Sulastri juga ke pesisir
selatan . Sepanjang perjalanan Raden Jaka Puring senantiasa merayu Dewi Sulastri agar
bersedia malayaninya namun rasa cinta dan kesetiaannya kepada Raden Jono tetap dipegang
teguh oleh Dewi Sulastri sampai akhirnya Raden Jaka Puring kehilangan kesabarannya dan
akhirnya Dewi Sulastri diikat pada sebuah pohon pandan.
Bersamaan dengan itu perjalanan Raden Jono sudah sampai di tempat itu namun
sebelum ia bertemu dengan Dewi Sulastri ternyata Raden Jaka Puring telah lebih dulu
melihat kedatangannya. Dengan sekonyong- konyong Raden Jaka Puring menyerangnya
sehingga terjadi pertempuran yang sengit antara Raden Jono melawan Raden Jaka Puring.
Dalam pertempuran itu Raden Jaka Puring terdesak dan kalah lalu melarikan diri ke arah
utara. Raden Jono lalu menemui Dewi Sulastri yang masih terikat di pohon pandan. Terjadi
suatu keajaiban bahwa pohon pandan tempat mengikat Dewi Sulastri berubah warna menjadi
kuning sedang pohon pandan yang lain tetap berwarna hijau. Maka oleh Raden Jono tempat
itu diberi nama Pandan Kuning (kelak menjadi Pesanggrahan Pandan Kuning).
Keajaiban kembali terjadi, setelah Raden Jono melepas ikatan Dewi Sulastri mereka
lalu ditemui oleh Nyi Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan) dan bidadari dari kayangan Dewi
Nawang Wulan. Oleh Nyi Roro Kidul Dewi Sulastri disuruh pulang ke Pucang Kembar
dengan perlindungan dari Nyi Roro Kidul dan Dewi Nawang Wulan. Sedang Raden Jono
disuruh mengejar Raden Jaka Puring ke arah utara. Perjalanan Raden Jono mengejar Raden
Jaka Puring ke arah utara masuk ke sebuah hutan lebat yang banyak ditumbuhi pohon gadung
penuh duri sebagai tempat persembunyian Raden Jaka Puring. Disetiap langkahnya Raden
Jono kesrimpet-srimpet wit gadung (bahasa Jawa terhalang pohon gadung) hampir di setiap
pori-pori kulitnya terselip duri gadung hingga darah bercucuran maka alas atau hutan itu oleh
Raden Jono dinamakan Karanggadung (kelak menjadi desa Karanggadung). Pertarungan itu
terus berlanjut sampai ke beberapa desa yang di lewati dan memberi nama-nama desa-desa
tersebut.
4. Sejarah Malin Kundang
Malin Kundang adalah kaba yang berasal dari provinsi Sumatra Barat, Indonesia.
Legenda Malin Kundang berkisah tentang seorang anak yang durhaka pada ibunya dan
karena itu dikutuk menjadi batu. Sebentuk batu di pantai Air Manis, Padang, konon
merupakan sisa-sisa kapal Malin Kundang.
Malin termasuk anak yang cerdas tetapi sedikit nakal. Ia sering mengejar ayam dan
memukulnya dengan sapu. Suatu hari ketika Malin sedang mengejar ayam, ia tersandung batu
dan lengan kanannya luka terkena batu. Luka tersebut menjadi berbekas di lengannya dan
tidak bisa hilang. Karena merasa kasihan dengan ibunya yang banting tulang mencari nafkah
untuk membesarkan dirinya. Malin memutuskan untuk pergi merantau agar dapat menjadi
kaya raya setelah kembali ke kampung halaman kelak.
Awalnya Ibu Malin Kundang kurang setuju, mengingat suaminya juga tidak pernah
kembali setelah pergi merantau tetapi Malin tetap bersikeras sehingga akhirnya dia rela
melepas Malin pergi merantau dengan menumpang kapal seorang saudagar. Selama berada di
kapal, Malin Kundang banyak belajar tentang ilmu pelayaran pada anak buah kapal yang
sudah berpengalaman.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin Kundang diserang oleh bajak
laut. Semua barang dagangan para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut.
Bahkan sebagian besar awak kapal dan orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para
bajak laut. Malin Kundang beruntung, dia sempat bersembunyi di sebuah ruang kecil yang
tertutup oleh kayu sehingga tidak dibunuh oleh para bajak laut.

Malin Kundang terkatung-katung di tengah laut, hingga akhirnya kapal yang


ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan tenaga yang tersisa, Malin Kundang
berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai. Desa tempat Malin terdampar adalah desa
yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin lama kelamaan
berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah
yang
jumlahnya lebih dari 100 orang. Setelah menjadi kaya raya, Malin Kundang mempersunting
seorang gadis untuk menjadi istrinya.
Berita Malin Kundang yang telah menjadi kaya raya dan telah menikah sampai juga
kepada ibu Malin Kundang. Ibu Malin Kundang merasa bersyukur dan sangat gembira
anaknya telah berhasil. Sejak saat itu, ibu Malin setiap hari pergi ke dermaga, menantikan
anaknya yang mungkin pulang ke kampung halamannya.
Setelah beberapa lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran disertai anak
buah kapal serta pengawalnya yang banyak. Ibu Malin yang melihat kedatangan kapal itu ke
dermaga melihat ada dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau
yang sedang berdiri itu adalah anaknya Malin Kundang beserta istrinya.
Ibu Malin pun menuju ke arah kapal. Setelah cukup dekat, ibunya melihat belas luka
dilengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin
Kundang. "Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan
kabar?," katanya sambil memeluk Malin Kundang. Tetapi melihat wanita tua yang
berpakaian lusuh dan kotor memeluknya Malin Kundang menjadi marah meskipun ia
mengetahui bahwa wanita tua itu adalah ibunya, karena dia malu bila hal ini diketahui oleh
istrinya dan juga anak buahnya.

Mendapat perlakukan seperti itu dari anaknya ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak
menduga anaknya menjadi anak durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin
menyumpah anaknya "Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah
batu". Tidak berapa lama kemudian Malin Kundang kembali pergi berlayar dan di tengah
perjalanan datang badai dahsyat menghancurkan kapal Malin Kundang. Setelah itu tubuh
Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi
sebuah batu karang. Sampai saat ini Batu Malin Kundang masih dapat dilihat di sebuah
pantai bernama pantai Aia Manih, di selatan kota Padang, Sumatera Barat
5. Hikayat Hang Tuah

Hikayat Hang Tuah adalah sebuah karya sastra Melayu yang termasyhur berbentuk
hikayat yang memuat 28 bab dan ditulis dengan huruf arab berbahasa Melayu. Hikayat ini
ditulis dalam bentuk buku dengan tulisan tangan. Dalam memperbanyak buku Hikayat Hang
Tuah, buku ditulis ulang oleh juru tulis dengan tulisan tangan. Sehingga, Hikayat Hang Tuah
memiliki beberapa versi Sulalatus Salatin yang berbeda. Hingga kini, Hikayat Hang Tuah
telah diterjemahkan ke berbagai tulisan dan bahasa oleh para penerbit modern di Indonesia,
Malaysia, Singapura, dan negara Melayu lainnya.

Seperti pada kebanyakan hikayat, Hikayat Hang Tuah mengambil setting


kerajaan yaitu Kesultanan Melaka di Negeri Bentan pada abad ke-15. Diceritakan ayah Hang
Tuah, Hang Mahmud, mendapat mimpi buruk yang melibatkan Hang Tuah, sehingga mereka
dan ibu Hang Tuah, Dang Merdu Wati, berpindah dan menetap ke Negeri Bentan. Di Negeri
Bentan, Hang Tuah tumbuh besar menjadi anak yang pintar dan berani. Ia juga memiliki 4
sahabat yaitu: Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu. Mereka dikabarkan
selalu bersama.

Pada suatu ketika, kelima sahabat itu telah berhasil membunuh sekelompok
pemberontak yang mencoba memporak-porandakan desa tempat kediaman Hang Tuah.
Sultan Melaka yang takut akan pemberontak itu sontak kagum dengan aksi Hang Tuah dan
kawan-kawan. Hang Tuah dan kawan-kawan kemudian diajak untuk bekerja di istana. Sultan
sangat menyayangi mereka, sampai akhirnya Hang Tuah diberi gelar Laksamana. Hang Tuah
dan kawan-kawan sering diutus oleh Sultan Melaka untuk mengunjungi negara lain.

Salah satu bagian yang terkenal dalam Hikayat Hang Tuah adalah tentang
keris Hang Tuah, keris Taming Sari. Konon keris itu diambil dari seorang petarung bernama
Taming Sari di Kerajaan Majapahit. Keris itu memberikan kekuatan pada pemiliknya menjadi
pandai berkelahi, kebal senjata dan dapat menghilang. Mengetahui hal itu, Hang Tuah
merebut kerisnya dan membunuh Taming Sari. Sehingga keris itu dapat memberikan
kekuatan yang sama pada Hang Tuah.
Pada akhir cerita, Hang Tuah dituduh berzinah dengan pelayan Raja, dan di
dalam keputusan yang cepat, Raja menghukum mati Laksamana yang tidak bersalah. Namun,
hukuman mati tidak pernah dikeluarkan, karena Hang Tuah dikirim ke sebuah tempat yang
jauh untuk bersembunyi oleh Bendahara. Setelah mengetahui bahwa Hang Tuah akan mati,
teman seperjuangan Hang Tuah, Hang Jebat, dengan murka ia membalas dendam melawan
raja, mengakibatkan semua rakyat di situ banyak yang terbunuh dan keaadan menjadi kacau-
balau. Raja menyesal menghukum mati Hang Tuah, karena dialah satu-satunya yang dapat
diandalkan untuk membunuh Hang Jebat yang membuat kerusuhan. Secara tiba-tiba,
Bendahara memanggil kembali Hang Tuah daripada tempat persembunyiannya dan
dibebaskan secara penuh daripada hukumannya oleh raja. Setelah tujuh hari bertarung, Hang
Tuah merebut kembali keris Taming Sarinya dari Hang Jebat, dan membunuhnya di dalam
pertarungannya. Setelah teman seperjuangannya gugur, Hang Tuah menghilang dan tidak
pernah terlihat kembali.

Dalam bahasan cerita di atas, dapat diketahui bahwa Hang Tuah terkenal
karena memiliki watak yang pemberani dan setia pada sultan. Hang Tuah dalam ceritanya
juga merupakan tokoh yang tak bisa ditindas, ia selalu menentang orang-orang yang mencoba
menindasnya. Yang membuat Hikayat Hang Tuah dikenal luas oleh bangsa Melayu salah
satunya adalah sumpahnya yang berbunyi Tak akan Melayu hilang di bumi yang berarti dia
bersumpah bahwa suku Melayu tidak akan punah di bumi ini.
Unsur-unsur yang terkandung dalam cerita rakyat tersebut adalah sebagai berikut :

A. UNSUR INTRINSIK
Unsur intrinsik yang terkandung dalam cerita tersebut, yaitu :
a. Tema
Temanya adalah pertarungan antara Ikan Sura (ikan hiu) dengan Buaya.
b. Alur
Alur yang dipakai dalam cerita itu adalah alur zik-zak.
c. Latar
Latar tempat di lautan luas dan di sungai
Latar waktu zaman dahulu
Latar suasana menegangkan
d. Tokoh dan penokohan
Ikan Sura egois, melanggar perjanjian dan membohongi Buaya
Buaya egois
e. Sudut pandang
Sudut pandang yang dipakai dalam cerita ini adalah sudut pandang orang pertama (aku) dan
sudut pandang orang kedua (kamu).
f. Amanat
Amanat yang dapat didapat dalam cerita itu adalaksh permusuhan tidak akan bisa
menyelesaikan permasalahan yang ada, hendaklah menyelesaikan masalah dengan kepala
dingin.

B. UNSUR EKSTRINSIK
Unsur ekstrinsik yang terkandung dalam cerita tersebut adalah unsur moral, unsur budaya dan
unsur sejarah.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Unsur instrinsik adalah unsur yang membangun cerita dari dalam. Unsur ekstrinsik adalah
unsur yang berada di luar karya sastra atau cerita namun turut menentukan bentuk dan isi
suatu karya/cerita.

B. Saran
Jangan bosan untuk membaca atau mendengarkan cerita rakyat, karena kita bisa mendapat
banyak manfaat dari cerita tersebut.

Anda mungkin juga menyukai