Anda di halaman 1dari 5

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Salah satu bentuk dari ekspresi seni yang berkembang di Indonesia adalah seni tari.
Setiap suku di Indonesia memiliki seni tari yang spesifik yang berkembang pada
masing-masing suku. Tari atau tarian merupakan salah satu jenis ekspresi jiwa seni
manusia yang diungkapkan melalui gerak-gerak dan ritme yang indah. Maksud
indah disini adalah bukan hanya berarti bagus, tetapi indah yang memberikan
kepuasan pada orang lain. Gerak-gerak dan ritme yang indah itu sebenarnya
merupakan pancaran jiwa manusia dan jiwa itu bisa berupa akal, kehendak dan
emosi.1
Tari Topeng Cirebon merupakan kesenian asli daerah Cirebon, kota yang terletak
di pesisir utara pulau Jawa yang biasa disebut jalur pantura. Cirebon adalah salah
satu kota yang berada di provinsi Jawa Barat. Tari ini dinamakan Tari Topeng
karena ketika beraksi sang penari memakai topeng. Tari Topeng tersebut banyak
sekali ragamnya, dan mengalami perkembangan dalam hal gerak, cerita, kostum,
maupun fungsi yang ingin disampaikan. Tari Topeng dapat dimainkan oleh seorang
penari, bisa juga dimainkan oleh beberapa orang penari.

Batasan Masalah
Yang menjadi batasan masalah dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai
berikut:

Maksud dan Tujuan

BAB II
MATERI PEMBAHASAN

Sejarah Tari Topeng


Jauh sebelum Tari Topeng masuk Cirebon, tarian tersebut telah tumbuh dan
berkembang sejak abad ke 10-16 M di Jawa Timur. Pada saat kerajaan Jenggala
berkuasa, yakni pada masa pemerintahan Prabu Amiluhur atau Prabu Panji Dewa,
melalui seniman jalanan (pengamen) seni Tari Topeng akhirnya masuk ke Cirebon
dan kemudian mengalami perpaduan dengan kesenian setempat. Hasil dari
perpaduan tersebut yang kemudian dinamakan Tari Topeng Cirebon.
Cirebon merupakan salah satu wilayah bagi pintu masuknya Islam di Jawa. Hal itu
tentu membawa dampak bagi perkembangan seni tradisi yang telah bercokol

1
Soedarsono, Jawa dan Bali, Dua Pusat Perkembangan Drama Tari Tradisional di Indonesia
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1972), hlm. 5.
sebelumnya. Masuknya Islam di Cirebon pada abad 15 M yaitu pada tahun 1470,
disebarkan oleh Syarif Hidayatullah yang bergelar Syekh Sunan Gunung Jati.2 Pada
tahun 1479, ketika Sunan Gunung Jati berkuasa di Cirebon, terjadilah serangan oleh
Pangeran Welang dari Karawang. Pangeran ini sangat sakti karena memiliki pedang
yang diberi nama Curug Sewu. Melihat kesaktian sang pangeran tersebut, Sunan
Gunung Jati tidak bisa menandinginya walaupun telah dibantu oleh Sunan Kalijaga
dan Pangeran Cakrabuana. Akhirnya sultan Cirebon memutuskan untuk melawan
kesaktian Pangeran Welang itu dengan cara
diplomasi kesenian.
Berawal dari keputusan itulah kemudian terbentuk kelompok tari, dengan Nyi Mas
Gandasari sebagai penarinya. Setelah kesenian itu terkenal, akhirnya Pangeran
Welang jatuh cinta pada penari itu, dan menyerahkan pedang Curug Sewu itu
sebagai pertanda cintanya. Bersamaan dengan penyerahan pedang itulah, akhirnya
Pangeran Welang kehilangan kesaktiannya dan kemudian menyerah pada Sunan
Gunung Jati. Pangeran itupun berjanji akan menjadi pengikut setia Sunan Gunung
Jati yang ditandai dengan bergantinya nama Pangeran Welang menjadi Pangeran
Graksan. Seiring dengan berjalannya waktu, tarian inipun kemudian lebih dikenal
dengan nama Tari Topeng Cirebon dan masih eksist hingga sekarang, baik di
wilayah Cirebon maupun lingkup yang lebih luas.

Perkembangan Tari Topeng


Dalam perkembangannya, Tari Topeng Cirebon kemudian memperoleh dan
memiliki bentuk serta penyajian yang spesifik. Selanjutnya dikenal beberapa
macam Tari Topeng Cirebon yaitu Tari Topeng Klana, Tari Topeng Tumenggung,
Tari Topeng Rumyang,Tari Topeng Samba/Pamindo dan Tari Topeng Panji.
Semua Tarian tersebut menggunakan topeng sebagai penutup muka dengan 5 jenis
topeng yang kemudian dikenal sebagai Panca Wanda (berarti lima wanda atau lima
rupa), yakni Panji, Samba/Pamindo, Rumyang, Tumenggung, dan Klana.
Sebagai hasil kebudayaan, Tari Topeng Cirebon mempunyai nilai hiburan yang
mengandung pesanpesan terselubung, karena unsurunsur yang terkandung
didalamnya mempunyai arti simbolik yang bila diterjemahkan sangat menyentuh
berbagai aspek kehidupan, sehingga juga mempunyai nilai pendidikan. Variasinya
dapat meliputi beberapa aspek kehidupan manusia seperti kepribadian,
kebijaksanaan, kepemimpinan, cinta bahkan angkara murka serta menggambarkan
perjalanan hidup manusia sejak dilahirkan hingga menginjak dewasa.

Makna dalam Tari Topeng

1. Makna Ekpresi
Pada intinya ekpresi muka penari sebelum menggunakan kedok adalah sesuai
karakter dari masing-masing cerita, namun tetap ekpresi muka harus serius karena
penari harus bisa menghayati setiap ekpresi tari. Pada dasarnya tarian topeng

2
Sanggupri Bochari dkk, Sejarah Tradisional Kerajaan Cirebon (Jakarta: CV. Sukorejo
Bersinar, 2001), hlm. 18.
Cirebon mempunyai 5 karakter, karakter panji, Samba dan Rumyang mempunyai
makna yang hampir sama hanya yang membedakan adalah latar belakang dari
cerita masing-masing dan warna dari kedok. Warna pada panji memberikan arti
sebagai bayi yang baru lahir dan tidak mempunyai dosa, Samba mempunyai arti
sebagai Remaja yang serba ingin tahu, Rumyang jika dicontohkan sebagai
kehidupan manusia adalah dewasa. Kedok tumenggung mempunyai karakter yang
gagah dan digambarkan sebagai orang tua, Kelana digambarkan sebagai orang
yang berusia senja.
2. Makna
Sesuai dengan perkembangannya Busana pada tari topeng menggunakan badog,
(tidak boleh serakah), Dasi (harus selalu memegang syareat Islam), Kaos Kaki
(menghindar dari najis), Sobrah (senantiasa menjaga kehormatan), Ules (bersifat
jujur), Topeng atau kedok (menggambarkan perwatakan manusia yang
mengajarkan kebaikan dan keburukan.
3. Makna Gerakan
Serangkaian gerak pada kelima karakter tari topeng Cirebon seluruhnya
mengandung nilai-nilai islam, kebaikan dan ibadah, terdapat Sembilan gerakan
pokok yang menjadi inti dari keseluruhan gerak, yaitu, adeg-adeg (iman islam),
pasangan (tolong menolong), capang (tolong menolong) banting tangan (bekerja
keras), jangkungilo (mengukur keinginan dengan kemampuan), godeg (tidak
melakukan perbuatan yang tidak baik), gendut ( tidak boleh rakus), kenyut
(senantiasa menyukai hal-hal yang disukai Allah), dan nindak (selalu bertindak
pada jalannya.
4. Makna Ruang/Tempat
Pertunjukan tari topeng sering diadakan dibelandongan, emperan darurat atau
bangunan tambahan atau kadang juga diatas panggung, dengan atau tidak pakai
layar. tarian topeng Cirebon bukan saja menunjukan tariannya dijalan-jalan,
bahkan untuk orang yang sedang hajatan bisa juga mengundang penari Cirebon.
Hanya perlu syarat jika pementasan topeng Cirebon, tarian sesuai dengan urutan.
5. Makna Waktu
Ada tiga jenis penyelenggaraan Pertunjukan topeng berdasarkan motivasi
penampilan perayaan upacara perorangan (anggota masyarakat yang mengundang)
misalnya tanggapan perayaan hajatan, sunatan atau pernikahan, upacara, upacara
komunal (kelompok masyarakat yang menyelenggarakan, barangan (seniman
sendiri yang mengadakan). Namun sebenarnya tari topeng merupakan kesenian
yang sakral sesuai dengan perkembangan zaman akhirnya tari topeng bisa ditarikan
kapan saja, namun harus sesuai dengan urutannya karena itu merupakan awal mula
kehidupan manusia hingga akhir

Pertunjukan Tari Topeng


Pertunjukan topeng yang ada di Cirebon sebenarnya memperlihatkan gabungan
unsur campuran budaya, yaitu yang berifat mistis-magis sebagai serapan
kebudayaan Jawa, serta serapan nilai-nilai filosofis agama Islam. Salah satu
bentuknya adalah waktu penyelenggaraan hajat sering dipilih waktu berdasarkan
penanggalan hitungan bulan-bulan Jawa, biasanya diselenggarakan pada bulan
Mulud sesudah tanggal 12, Syawal Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab,
Ruwah, Syawal dan Rayagung, sedangkan sisi bulan lainnya dianggap sebagai
waktu larangan atau waktu pantangan untuk melaksanakan pertunjukan ini.
Hal ini adalah sebuah refleksi atas kekuatan-kekuatan yang ada di alam, bentuk
kepatuhan pada adat serta keyakinan pada agama yang dianutnya. Tidak heran bila
pertunjukan topeng diyakini oleh masyarakat Cirebon sebagai sarana tradisi dalam
pemujaan kepada leluhur.
Dalam perkembangannya pertunjukan topeng mengalami dinamika sosial dan
budaya, walaupun dalam penyelenggaraannya tetap memiliki dua fungsi, yaitu
untuk kepentingan sakral atau keagamaan dan profan bernilai keduniawian.
Pertunjukan ini dapat juga berperan sebagai simbol atau representasi dari komunitas
pendukungnya, seperti pada acara-acara perayaan yang bernuansa ritual untuk
meminta berkah atau keselamatan desa.
Berikut penyelenggaraan tari topeng yang sering digunakan untuk kegiatan ritual
tradisi atau hajatan dalam masyarakat tradisi di Cirebon :
1. Mapag Sri - Sedekah Bumi, dilaksanakan sebelum memasuki masa panen dan
Sedekah Bumi dilakukan setelah masa panen usai. Acara ini dilakukan sebagai
ungkapan terimakasih pada Dewi Sri.
2. Mitni, adalah upacara yang dilakukan untuk wanita yang sedang hamil tujuh
bulan, tujuannya adalah meminta berkah keselamatan agar anak yang dikandung
sehat saat kelahiran, dalam ritualnya si pedalang atau penari topeng turut
memandikan si pemilik hajat dengan air kembang disertai doa-doa, karena pada
umumnya pedalang di Cirebon sering dianggap juga sebagai orang yang pintar
dan mampu mengobati.
3. Ngarot, penyelenggaraannya dilakukan satu tahun sekali sebelum musim tanam.
Asal kata dari ngaruat itu sendiri adalah meruwat yang artinya melawan,
menghindari, meniadakan pengaruh yang merugikan yang bersifat ghaib dan tak
dapat dilihat orang, terkadang didalamnya dilakukan acara menari bersama para
pedalang, khusus untuk kegiatan ini pedalangnya adalah laki-laki, dan kegiatan
menari bersama pedalang adalah simbol dari sebuah pengharapan bahwa kelak si
anak gadis akan mendapatkan jodohnya. Istilah ngarot sebenarnya memiliki dua
pengertian, dalam bahasa Sunda berarti minum sedangkan istilah lainnya berasal
dari kata ngaruat yang artinya pembebasan dosa. Dan umumnya
diselenggarakan pada hari rabu sekitar bulan November-Desember. Berkait dengan
ritual pencarian jodoh, dimana pada penyelenggaraan ngarot terdapat juga acara
inisiasi bagi para remaja yang dianggap telah memasuki usia dewasa dan dipandang
siap berumah tangga yang disebut Kasinoman. Upacara ngarot selama ini dikaitkan
dengan latar belakang kepercayan masyarakat setempat dengan kepercayaan dan
mitos Dewi Sri atau dewi padi.
4. Ngunjung, berasal dari istilah kata kunjung, yang berarti datang. Dilaksanakan
untuk menghormati para arwah nenek moyang yang telah meninggal, dan mereka
berdoa untuk memohon berkah dan keselamatan, dengan mendatangi makam-
makam yang dikeramatkan oleh masyarakat setempat. Menurut K.T Preusz,
kegiatan ini dipandang sebagai naluri emosi mistikal yang bersifat keagamaan
manusia, dan mendorongnya untuk berbakti pada kekuatan tertinggi yang olehnya
atau manusia tampak nyata di sekitarnya, dalam keteraturan dari alam, proses
pergantian musim, dan kedahsyatan alam dalam hubungannya dengan masalah
hidup dan maut. Pada kegiatan ini pementasan topeng dilakukan di tempat yang
berbeda dengan daerah asal di pedalang dan hal tersebut harus ditaati, walaupun
sebenarnya setiap desa memiliki tata cara yang dianutnya sendiri-sendiri, namun
pokoknya hampir sama, biasanya diawali dengan membersihkan makam-makan
tersebut lantas dipimpin oleh sesepuh desa untuk melaksanakan tahlil bersama.
5. Upacara Hajatan, biasanya berupa hajatan yang dilaksanakan dalam rangka
pernikahan sunatan dan acara kaulan atau nadzar yaitu janji ketika satu keinginan
telah tercapai. Sebenarnya kegiatan ini lebih menekankan pada aspek sosial, dimana
berkumpulnya sanak saudara untuk menjalin silahturahmi dan diselenggarakan
selama satu harian atau dinaan.
6. Bebarang, dikenal pula dengan istilah mengamen, yang diartikan sebagai
pertunjukan keliling dari satu desa ke desa yang lainnya.Mengamen umumnya
dilakukan sat musim paceklik atau kemarau panjang dan mereka juga menjadikan
kegiatan ini menjadi salah satu upaya untuk menambah penghasilan, namun
kegiatan ini akhirnya dihentikan oleh pemerintah pada tahun 1970-an, karena
dianggap memalukan.

DAFTAR PUSTAKA

Soedarsono, Jawa dan Bali, Dua Pusat Perkembangan Drama Tari Tradisional di
Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1972), hlm.5.
Sanggupri Bochari dkk, Sejarah Tradisional Kerajaan Cirebon (Jakarta: CV.
Sukorejo Bersinar, 2001), hlm. 18.

Anda mungkin juga menyukai