Anda di halaman 1dari 9

Unsur Intrinsik

1.      Tema

      Tema dalam novel “Para Priyayi” adalah priyayi yang sesungguhnya adalah orang yang tidak
hanya mengutamakan kedudukan atau jabatan melainkan orang yang juga memikirkan kehidupan
rakyat kecil.

      Tema yang ada dalam novel ini disampaikan oleh pengarang lewat seperngkat tema minor. Tema
dalam novel ini termasuk dalam tema sosial.

2.      Tokoh dan Penokohan

a.       Tokoh Utama        : Wage atau Lantip

      Tokoh Lantip dalam novel ini memiliki watak yang baik, cerdas, penurut, suka menolong orang
lain, terampil, tahu diri, rendah hati, sabar, rajin, taat, ulet, cekatan, dan berbakti kepada orang tua.

      Hal ini tergambar lewat cerita, dimana dalam keluarga Sastrodarsono Lantip selalu menuruti apa
yang diperintahkan oleh Sastrodarsono, selalu membantu memecahakan setiap permasalahan yang
dihadapi keluarga Sastrodarsono. Watak sabar dan bakti Lantip dapat dibuktikan lewat cerita ketika
ia mengetahui bahwa ayahnya adalah seorang yang memiliki kepribadian tidak baik ia tetap
menerimanya dengan lapang dada dan ketika mengetahui ibunya telah tiada ia sering berziarah ke
makam ibunya.

b.      Tokoh Tambahan Utama   : Embah Kakung Sastrodarsono (Soedarsono)

      Tokoh Embah Kakung atau Sastrodarsono dalam novel ini digambarkan memiliki watak yang
setia, berwibawa,  baik hati, rajin, dan suka menasehati.

      Sastrodarsono sebagai orang yang baik hati dan suka menasihati digambarkan lewat cerita
dimana beliau selalu menolong keluarganya yang meminta bantuan kepadanya. Sastrodarsono
bahkan kemudian mengasuh beberapa anak keponakannya seperti Ngadiman, Soenandar, Sri, dan
Darmin. Sastroarsono hingga masa tunya selalu menasehati anak-anak dan keluarganya baik secara
langsung maupun secara tidak langsung lewat tembang-tembang mocopat.

c.       Tokoh Tambahan Tidak Utama    :

1)      Embah Putri Ngaisyah / Siti Aisyah

Embah Putri Ngaisyah atau Siti Aisyah dalam novel memiliki watak yang murah senyum, setia,
pekerja keras, baik hati, sabar, dan menghargai suami.

2)      Noegroho

Noegroho sebagai anak pertama dari keluarga Sastrodarsono digambarkan  sebagai seseorang yang
berwibawa, baik, dan peduli.

3)      Hardojo
Hardojo merupakan anak kedua dari Sastrodarsono. Dalam novel Hardojo digambarkan memiliki
watak ulet, telaten, pantang menyerah, cerdas, sabar.

4)      Soemini

Soemini merupakan adik dari Noegroho dan Harjono. Soemini merupakan anak yang rajin, bandel,
dan keras kepala.

5)      Susanti

Susanti atau sering dipanggil Susi oleh ibunya merupakan istri dari Noegroho, yang memiliki watak
yang mudah khawatir, sering memanjakan anak, dan pemikir.

6)      Harjono Cokrokusumo

Harjono Cokrokusumo merupakan suami dari Soemini. Harjono merupakan seorang yang
berwibawa, mudah terpengaruh, tidak setia tetapi tanggung jawab.

7)      Mbok Ngadiyem

Mbok Ngadiyem merupakan ibu dari Wage atau Lantip. Mbok Ngadiyem berperan sebagai seseorang
yang murah hati, tegas, hemat, sabar, dan telaten.

8)      Embah Wedok atau Mbok Soemo

Embah wedok adalah ibu dari Ngadiyem atau nenek dari Lantip. Embah wedok ini digambarkan
sebagai seorang yang pendiam dan mudah putus asa.

9)      Soenandar

Soenandar dalam novel berperan sebagai ayah kandung Lantip. Berbeda dengan Lantip, Soenandar
memiliki watak yang tidak bertanggung jawab, licik, dan  jahil.

10)  Ngadiman

Dalam novel Ngadiman digambarkan memiliki watak yang pemalu, penakut, penurut, jujur, rajin, dan
bertanggung jawab.

11)   Sri dan Darmin

Sri dan Darmin dalam novel berperan sebagai kakak dan adik. Kedua anak ini memiliki watak yang
baik, rajin sembahyang, dan baik hati. Namun, karena hidup dikalangan priyayi abangan seperti
keluarga Sastrodarsono kedua anak ini berubah menjadi anak yang malas untuk melaksanakan
sholat lima waktu.

12)  Suhartono

Suhartono atau biasa dipanggil Toni adalah anak pertama dari Noegroho. Suhartono tumbuh sebagai
anak yang patuh, rajin, dan tahu tata krama. Selain itu, Suhartono merupakan anak yang pemberani.

13)   Sri Sumaryati

Sri Sumaryati atau biasa dipanggil Marie merupakan anak kedua dari Noegroho ini memiliki watak
sombong, keras kepala, dan pembangkang tetapi ia memiliki watak peduli.

14)  Sutomo
Sutomo atau biasa dipanggil Tommi ini merupakan anak bungsu dari Noegroho. Anak ini memiliki
watak masa bodoh, dan pilih kasih.

15)  Sumarti

Sumarti adalah suami sah dari Hardojo memliki sifat yang keibuan, baik hati, sopan, dan telaten.

16)  Harimurti

Harimurti merupakan anak tunggal dari pasangan Hardojo dan Sumarti. Anak ini memiliki watak yang
baik, namun labil, dan mudah terpengaruh.

17)  Retno Dumilah atau Gadis

Gadis merupakan calon istri Harimurti. Gadis memiliki watak yang rajin, cerdas, kurang sopan, dan
emosional.

18)  Halimah

Halimah merupakan calon istri dari Lantip. Halimah dalam novel digambarkan sebagai seorang yang
baik, murah hati, dan peduli.

19)  Maridjan

Maridjan adalah anak pondok yang berasal dari Gunung Kidul. Anak ini kemudian menjadi suami dari
Marie, anak perempuan Noegroho. Maridjan dalam novel berperan sebagai seseorang yang kurang
sopan, nakal, namun tanggung jawab.

20)  Ndoro Seten

Ndoro Seten adalah seorang priyayi yang menjadikan Sastrodarsono tumbuh menjadi seorang
priyayi. Ndoro Seten memiliki watak baik hati, peduli, dan berwibawa.

21)  Maria Magdalena Sri Moerniati

Maria ini sering dipanggil dengan nama Nunuk. Dia adalah seorang gadis yang beragama Katholik
yang pernah menjadi kekasih Harimurti. Anak ini memiliki watak penurut, lapang dada, dan teguh
keyakinan.

22)  Soeminah

Soeminah merupakan bude dari Harimurti yang tinggal di Solo. Beliau adalah orang yang baik hati,
humoris, dan peduli terhadap sesama.

23)  Atmokasan

Atmokasan adalah ayah dari Sastrodarsono. Beliau adalah orang yang baik hati dan berwibawa.

24)  Franciscus Xaverius Suharsono

Fran adalah keponakan dari Nunuk. Ia memiliki watak yang sinis, dan tidak sopan.

25)  Kentus

Kentus adalah adik tiri dari Gadis. Kentus hidup kurang sempurna dari manusia lain, dia memiliki
penyakit yang sulit untuk diobati dan mengharuskan Kentus hidup dalam kekurangan. Namun itu
tidak menghalangi semangatnya untuk tetap hidup. Kentus tumbuh menjadi anak yang baik, rajin,
berkeinginan kuat, dan pantang menyerah.

26)  Kang Man, Kang Trimo, Mbok Nem, dan Lik Paerah

Mereka adalah orang-orang yang membantu menyelesaikan pekerjaan keluarga Sastrodarsono.


Mereka memiliki watak penurut, sopan, telaten.

27)  Martoadmodjo

Pak Martoadmodjo ini adalah mantan kepala sekolah yang kemudian diasingkan dibeberapa tempat
karena diketahui menyimpang dari aturan yang berlaku saat itu. Dia diketahui memiliki selir. Beliau
memiliki watak yang baik hati, tabah, peduli, dan cerdas.

28)  Martokebo

Martokebo adalah seorang blantik yang sangat terkenal di Wanagalih saat itu. Beliau awalnya adalah
seorang yang baik hati,ramah. Namun, sejak adanya PKI,  ia berubah menjadi seorang yang jahat,
dan tidak sopan.

29)  Haji Mansur

Beliau adalah salah satu tokoh agama yang sangat terkenal di Wanagalih. Beliau memiliki watak yang
agamis, baik hati, berwibawa, dan sopan.

30)  Dokter Soedrajat

Dokter ini adalah dokter yang sangat baik, memiliki kepedulian terhadap sesama yang tinggi.

31)  Pak Dukuh

Pak dukuh dalam novel ini digambarkan sebagai seseorang yang baik hati, peduli, dan bertanggung
jawab.

32)  Mukarom

Mukarom adalah ayah dari Siti Aisyah. Mukarom adalah sosok yang baik, peduli, dan penyayang.

33)  Tuan Sato

Beliau sosok seorang yang  jahat,egois, dan tidak sopan.

34)  Pak Naryo

Pak Naryo adalah salah satu anggota dari rombongan ketoprak yang juga dimainkan oleh Harimurti.
Pak Naryo merupakan sosok seorang yang baik hati, jujur, dan senang berdebat.

35)  Suminten

Suminten adalah mantan istri dari Maridjan (suami Marie). Suminten digambarkan sebagai seorang
wanita yang baik,tabah, sabar.

36)  Kyai Jogosimo
Merupakan sesepuh atau dukun di Wanagalih beliau sangat sakti dan ampuh.

37)  Eyang Kusumo Laku Broto

Beliau adalah saudara Sastrodarsono yang memiliki kebiasaan berendam di Kali Wanagalih. Beliau
sangat sakti dan ampuh.

38)  Semin Genjik

Semin Genjik adalah pemimpin dari gerombolan perampok yang juga diikuti oleh ayah Lantip,
Soenandar. Semin Genjik merupakan orang yang sangat jahat, dan tidak berperikemanusiaan.

39)  Keluarga Sumarti dan Keluarga Nunuk

Dalam novel ini kedua keluarga ini adalah keluarga yang baik, peduli, dan penyayang.

40)  Ketua Gapermen

Ketua Gapermen adalah seseorang yang sangat sadis, jahat, dan tidak berperikemanusiaan.

41)  Mener Soedirdjo

Beliau adalah guru Soenandar ketika masoh bersekolah. Beliau adalah guru yang baik, dan murah
hati.

d.      Tokoh Protagonis

Dalam novel ini, tokoh protagonis diperankan oleh keluarga Sastrodarsono, Lantip, Dokter
Soedrajad, Pak Haji Mansur, serta Bude Soeminah.

e.       Tokoh Antagonis

Tokoh antagonis dalam novel ini diperankan oleh ketua Gapermen, Tuan Sato, Semin Genjik, dan
Soenandar.

f.       Tokoh Bulat

Tokoh yang memiliki karakter bulat dalam novel ini adalah Harimurti, Martokebo, Maridjan, dan
Marie.

g.      Tokoh Datar

Tokoh datar dalam novel ini diperankan oleh Lantip, Sastrodarsono, Haji Mansur, Pak Dukuh, dan
Bude Soeminah.

3.      Setting

a.       Tempat :

            Tempat-tempat yang digunakan dalan novel “Para Priyayi” ini adalah Madiun(Wanagalih,
Pasar Wanagalih, Pendapa Kabupaten, Jalan Setenen atau rumah Sastrodarsono, Wanalawas,
Karangelo, Karang Dompol,  Jogorogo, Kedung Simo, Stasiun Paliyan, Taman Sriwedari), Solo,
Yogyakarta (Wonosari Gunung Kidul, Lapangan Maguwo, Jebukan Bantul), Jakarta, serta Plantungan,
Semarang.
b.      Waktu :

            Waktu yang diceritakan pada novel ini adalah sekitar pertengahan abad 19 sampai menjelang
G30S/PKI. Peristiwa dalam cerita terjadi pada pagi, siang, sore, dan malam hari.

c.       Sosial Budaya

            Latar sosial dalam novel ini adalah latar sosial tradisional. Novel ini  mengisahkan kehidupan
sosial budaya masyarakat Jawa yang masih sangat peduli akan tata krama, masih meganut adanya
kelas-kelas sosial. Menggambarkan kebiasaan masyarakat Jawa yang selalu mengganti nama seorang
anak apabila anak tersebut telah berhasil dan memiki status sosial dalam masyarakat. Selain itu,
dalam novel ini diberikan juga kebiasaan masyarakat Jawa yang selalu mengadakan syukuran
(slametan) apabila mereka memiliki hajat, digambarkan pula kebiasaan masyarakat jawa yang masih
percaya akan adanya hal-hal gaib.

4.      Alur

a.       Berdasarkan kompleksitasnya, novel “Para Priyayi“ termasuk dalam alur campuran karena
peristiwa yang terjadi tidak diceritakan secara runtut mulai dari awal hingga akhir melainkan kadang
dari awal hingga akhir namun kadang diceritakan dari akhir ke awal.

b.      Berdasarkan akhir ceritanya, novel ini termasuk dalam golongan novel berjenis happy ending
karena ceritanya berakhir dengan bahagia. Terbukti dengan cerita dimana Sastrodarsono mampu
mendidik seluruh anak cucu bahkan keponakan-keponakannya hingga menjadi orang yang berhasil.
Salah satunya adalah Lantip, anak yang lahir dari keluarga yang hanya berprofesi sebagai penjual
tempe bisa berubah menjadi seorang priyayi yang sesungguhnya.

c.       Berdasarkan akhir ceritanya juga novel ini termasuk open plot karena tokoh utamanya, Lantip
masih hidup sehingga memungkinkan untuk ceritanya bisa diteruskan. Misalkan diteruskan dengan
kisah ketika Lantip kemudian mempunyai seorang istri dan mempunyai anak atau dengan cerita lain
yang memungkinkan.

5.      Sudut Pandang

      Sudut pandang yang digunakan oleh pengarang dalam novel ini adalah sudut pandang orang
pertama. Penggambaran tokoh dalam novel menggunakan kataganti orang pertama yaitu “aku”.
Pengarang memposisikan dirinya dalam cerita melalui tokoh dalam cerita yaitu Lantip dan
Sastrodarsono, terutama pada tokoh Lantip.

6.      Gaya Bahasa

      Bahasa yang digunakan pengarang dalam novel ini adalah bahasa campuran antara Bahasa Jawa,
Bahasa Belanda, dan Bahasa Indonesia. Pengarang juga menggunakan beberapa ungkapan-ungkapan
yang mengandung majas maupun peribahasa dalam bahasa Jawa.

Contoh ungkapan-ungkapan itu antara lain :

a.       Langit tidak akan selamanya mendung  (mengandung unsur retorika)

b.      Beberapa pepohonan yang dipilih itu tiba-tiba akan meliuk perlahan ke kiri dan kekanan
bagaikan ronggeng yang sedang menggerakkan tubuhnya (majas perbandingan personifikasi)
c.       Alun-alun itu seakan raksasa gendut yang baik hati yang mengaga mulutnya menelan semua
yang lewat di depannya tanpa pilih bulu, tanpa emosi, kemudian sesudah kenyang mulutnnya
menutup dan menyungging senyum kembali.(majas perbandingan persionifkasi)

d.      Urip iku mung mampir ngombe (peribahasa bahasa jawa)

e.       Kecekel iwake, ojo mgamti butek banyune (paribahasa dalam bahasa jawa)

7.      Amanat

Amanat yang dapat diambil setelah membaca novel “Para Priyayi” antar lain :

a.       Ketika kita telah menjadi seseorang yang berhasil jangan pernah melupakan orang-orang yang
telah membantu kita meraih keberhasilan itu.

b.      Tidak semena-mena atau memaksakan kehendak kita kepada orang lain.

c.       Selalu berusaha untuk memecahkan suatu masalah dengan jalan musyawarah.

d.      Selalu menghargai orang lain.

e.       Tidak sombong atas kedudukan yang telah kita dapatkan.

f.       Selalu berusaha untuk selalu berbakti kepada kedua orang tua.

g.      Tetap sabar dalam menghadapi cobaan yang diberikan Tuhan kepada hambanya karena dibalik
cobaan itu pasti ada hikmah yang Tuhan berikan.

h.      Selalu berpikir sebelum bertindak


Tahap Awal (Perkenalan)
Tahap ini melukiskan latar tempat yang menjadi pusat cerita dalam novel ini, yaitu Wanagalih. Pada
bagian yang berjudul “Wanagalih” (hlm. 1—8) dan “Lantip” (9—28), misalnya, diceritakan perihal yang
bersangkut pula dengan keadaan alam Desa Wanagalih. Yang bertindak sebagai pencerita adalah Lantip yang
sudah dewasa (1—8). Bagian berikutnya, yang bercerita masih tokoh Lantip, tetapi menyangkut diri Lantip yang
masih kanak-kanak hingga ikut keluarga Sastrodarsono.
Tahap Pemunculan Konflik
Pemunculan konflik ini dapat dilihat ketika Sastrodarsono mengalami konflik intern tentang penentuan
sikap kepriyayiannya. Ketika ia bersimpati pada tokoh Martoatmodjo, seorang tokoh pergerakan. Ia harus
melakukan sesuatu. Atas nasihat Martoatmodjolah, ia mendirikan sekolah di Wanalawas yang pada akhirnya
ditutup setelah mendapat teguran School Opziener karena dianggap menghidupkan sistem ”sekolah liar”.
Padahal mendirikan sekolah itu ia sebut sebagai ideologi keluarga. Tetapi yang lebih memalukan adalah karena
ulah Soenandar, Kemenakannya yang ia beri tanggung jawab. Soenandar menghamili Ngadiyem, seorang anak
gadis Desa Wanalawas—tempat didirikanya “sekolah liar”. Selain mencoreng nama keluarga besarnya, hal ini
juga menghancurkan seluruh reputasi kepriyayian Sastrodarsono.
Tahap Klimaks (Penanjakan Konflik)             
            Sastrodarsono ditempeleng Tuan Sato dari kantor pemerintahan daerah. keputusannya pensiun dan tidak
mau membungkukkan badan menghadap ke utara setiap pagi untuk menyembah dewa matahari, Sastrodarsono
dianggap tidak menghormati Jepang,. Padahal bukan itu permasalahannya, Sastrodarsono merasa tidak sanggup
membungkuk karena usianya yang telah senja.
Tahap Peleraian
            Setelah peristiwa penempelengan itu, Ngaisah mengirimkan surat kepada ketiga anaknya untuk pulang
ke Wanagalih. Kedatangan mereka adalah obat yang mujarab bagi Sastrodarsono. Ia merasa lebih baik.
Ketika usia Sastrodarsono delapan puluh tahun, Ngaisah meninggal dunia. Sastrodarsono pun sakit
karena usianya sudah lanjut yakni 83 tahun.
Tahap Penyelesaian
Sasrodarsono mengalami kemunduran pada kesehatannya. Ketika ia ikut menyaksikan pohon nangka
yang merupakan saksi perjalanan hidup keluarga besarnya, ia pingsan hingga akhirnya meninggal dunia setelah
semua keluarganya berkumpul. Di akhir cerita, Lantip berpidato sebagai perwakilan dari keluarga besar
Sastrodarsono.

 Novel ini penuh dengan idiom dan ungkapan serta kata-kata Jawa, yang tentu tidak dapat dihindari oleh penulis
yang berusaha melarutkan diri pada setiap tokoh yang hendak dihidupkannya.[9]
“Dan panjenengan Ndoro Guru Kakung miwah putri. Apa yang dapat saya katakan selain rasa terima kasih saya
yang tulus dan utang budi yang tidak akan mungkin pernah lunas hingga akhir hayat saya. Saya akan kembali ke
Wanagalih, ke dalem Setenan, ke bawah perlindunganmu, berbakti kepada seluruh keluargamu. Umpatanmu
yang sekali-kali kau lontarkan, “anak maling, perampok, gerombolankecu”, tidak akan mungkin menyakiti saya
lagi. Bahkan sebaliknya akan memperkokoh semangat saya untuk menjunjung keluarga Sastrodarsono. Mukul
duwur mendhem jero, menjunjung tinggi-tinggi keharuman nama keluarga, menanam dalam-dalam aib
keluarga ... (2011: 132-133)

Anda mungkin juga menyukai