Anda di halaman 1dari 13

ANALISIS NOVEL DI KAKI BUKIT CIBALAK

A. Sinopsis
Novel ini menceritakan mengenai sebuah Desa Tanggir yang
terletak di kaki Bukit Cibalak. Desa yang dulunya sangat berkaitan dengan
alam, kini berubah menjadi jalan setapak modern. Para penduduk Desa
Tanggir sangat menjunjung tinggi kedudukan lurah mereka. Meskipun
begitu, lurah yang terpilih selalu tidak dapat melaksanakan tugasnya
dengan semestinya. Banyak dari mereka yang menggunakan bantuan
kekuatan mistis untuk memenangkan diri mereka sebagai lurah. Pak Dirga
yang populer terpilih menjadi lurah.
Suatu hari, Pambudi, pengurus lumbung Desa Tanggir, kedatangan
Mbok Ralem, salah satu penduduk Desa Tanggir yang sakit-sakitan. Mbok
Ralem meminta pinjaman padi, namun Pak Dirga tidak mengizinkannya.
Singkat cerita, Pambudi mengundurkan diri dari pekerjaannya dan
membawa Mbok Ralem ke Yogya untuk berobat dengan biayanya sendiri.
Pambudi rela menggunakan uang tabungannya, bahkan ia membuat iklan
“Dompet Mbok Ralem” pada harian Kalawarta dengan bantuan kepala
redaksinya, Pak Barkah. Mbok Ralem dapat sembuh dari penyakitnya.
Namun, berita itu meresahkan Pak Dirga yang merasa dirinya menjadi
pihak yang disalahkan. Pak Dirga pun meminta bantuan mistis Eyang
Wira untuk membunuh Pambudi. Di situlah ia tahu bahwa Pambudi
menyukai seorang gadis bernama Sanis.
Pada malam harinya, Bagol, maling ulung di Desa Tanggir, gagal
melaksanakan tugas yang diberikan Pak Dirga untuk melancarkan niatnya.
Di situlah keluarga Pambudi tahu bahwa lurah mereka memusuhi Pambudi.
Pambudi kemudian pergi ke Yogya demi menuruti permintaan ayahnya
untuk meninggalkan desa dan mencari pekerjaan baru. Di sana, ia bertemu
Topo, teman lamanya yang menyarankan untuk melanjutkan studinya
sekaligus mencari pekerjaan untuk membiayai studinya. Saat itulah ia
bertemu dan menjadi dekat dengan Mulyani, anak majikannya. Namun,

1
ketika masa kontraknya habis, maka ia harus berhenti bekerja pada
Nyonya Wibawa, ibu Mulyani.
Pambudi memutuskan untuk kembali ke Desa Tanggir setelah
beberapa bulan menempuh studi. Di sanalah ia mengetahui berita buruk
tentang dirinya yang dikatakan melarikan uang milik lumbung desa.
Pambudi menemui Sanis yang tampak ogah-ogahan padanya karena ia
sudah lebih menyukai Bambang Sumbodo, anak Pak Camat. Setelah itu,
Pambudi kembali ke Yogya dan mendapatkan tawaran bekerja di harian
Kalawarta. Ia menerimanya dan menjadi sukses. Ia menulis rubrik-rubrik
yang berkaitan dengan desanya. Hal ini sampai ke Desa Tanggir. Saat
itulah Pak Camat mengetahui masalah yang terjadi di Desa Tanggir dan
memutuskan untuk memecat Pak Dirga.
Suatu hari, Pambudi mendapat kabar kematian ayahnya dan
memutuskan untuk kembali ke desanya. Desa Tanggir telah memiliki lurah
baru bernama Hadi yang masih muda. Saat itulah Pambudi mengetahui
Sanis yang dulu disukainya telah menjadi janda di usianya yang masih
belia setelah menikah dengan Pak Dirga. Beberapa hari setelahnya,
Mulyani menyusul ke Desa Tanggir untuk menemui dan menyampaikan
bela sungkawanya kepada Pambudi. Setelah mengungkapkan perasaannya,
Pambudi akhirnya memutuskan untuk meninggalkan kaki Bukit Cibalak
menuju Yogya bersama Mulyani, pilihannya.

B. Tema
1) Tema utama dalam novel ini adalah kehidupan sosial. Hal ini
ditunjukkan dengan penjelasan dalam novel mengenai berbagai
masalah pada masyarakat di Desa Tanggir. Sebagai manusia yang
merupakan makhluk sosial, pasti kita membutuhkan bantuan orang
lain dalam menjalani kehidupan. Hal ini disampaikan melalui
peristiwa-peristiwa yang digambarkan dalam novel ini.
2) Tema bawahan dalam novel ini ada beberapa, yaitu:

2
 Romansa, yaitu kisah kasih yang terjadi antara tokoh dalam
cerita. Di dalam novel ini diceritakan kisah percintaan
Pambudi. Awalnya, ia menyukai Sanis. Namun lambat laun
ia menjadi menyukai Mulyani. Dan akhirnya ia memilih
Mulyani sebagai pasangannya.
 Kebudayaan dan adat istiadat, yaitu hal-hal yang telah
menjadi kebiasaan di suatu kalangan masyarakat tertentu.
Di dalam novel ditunjukkan dengan adanya kekuatan ghaib
atau mistis yang kerap dipercayai oleh masyarakat Desa
Tanggir. Selain itu, kebudayaan juga ditunjukkan pada
bagian Bu Runtah yang merias Sanis sesuai dengan adat
istiadat setempat.
 Moral, yaitu suatu hal yang berharga, bermutu, dan berguna
bagi manusia. Dalam hal ini, moral menyangkut tingkah
laku manusia yang berasal dari hati nurani manusia itu
sendiri. Di dalam novel ini ditunjukkan pada tingkah laku
Pambudi yang tulus membantu Mbok Ralem untuk berobat.

C. Tokoh dan Penokohan


1) Tokoh protagonis:
 Pambudi, tokoh ini merupakan tokoh utama yang berwatak
berbelas kasih (Sebuah batu besar terasa jatuh menimpa hati anak
muda itu Sebuah batu besar terasa jatuh menimpa hati anak muda
itu), jujur (Ia merasa telah menuruti suara hati nuraninya untuk
tidak turut melakukan kecurangan bersama Pak Dirga), suka
menolong (Adalah pantas bila aku berbuat sesuatu untuk
menolong perempuan yang sakit itu,…).
 Mulyani, tokoh ini merupakan tokoh utama yang berwatak
pendiam (Mulyani belum pernah sekali pun berbicara dengan
Pambudi), manja dan suka merajuk (Secara samar Pambudi telah
mengetahui adat Mulyani yang selalu merajuk bila kehendaknya

3
tidak dituruti), agresif (Aku benci, benci pada orang yang tidak
bisa menghargai perasaan).
 Sanis, tokoh ini merupakan tokoh pembantu yang berwatak pemalu
(...Sanis yang sejak tadi selalu diam dan menunduk), labil
(ditunjukkan dengan perasaan Sanis yang berubah-ubah dalam
waktu yang singkat).
2) Tokoh antagonis:
 Pak Dirga, tokoh ini merupakan tokoh utama yang berwatak licik
(Senyumnya terkembang, ramah tetapi jelas licik), tidak berbelas
kasih (Pokoknya aku tak bisa memberi pinjaman sebesar yang ia
perlukan), serakah (Jadi apabila uang ganti rugi yang dijanjikan
Pemerintah keluar, kitalah pemiliknya).
 Poyo, tokoh ini merupakan tokoh pembantu yang berwatak ceplas-
ceplos (“Bapak membela diri, bukan” tanya Poyo), patuh pada
atasannya (…Pak Dirga menghendaki perombakan total pada tata
pembukuan koperasi itu,), licik (watak ini tergambarkan dengan
tingkah laku Poyo yang terus mengikuti rencana Pak Dirga).
 Eyang Wira, tokoh ini merupakan tokoh pembantu yang berwatak
mengintimidasi (Eyang Wira mendekatkan muka, dekat sekali,
sehingga istri Lurah Tanggir itu dapat mencium bau busuk yang
tersebar melalui mulut Kakek Dukun) dan mesum (He-he, wong
ayu, upah yang kuminta itu sudah kaubawa).

3) Tokoh tritagonis:
 Topo, tokoh ini merupakan tokoh pembantu, atau lebih tepatnya
tokoh andalan yang berwatak optimis (Jadi aku yakin, kau pun
akan bisa memperoleh apa yang telah kudapat), suka menolong
(Bahkan hanya dengan susah payah, atas bantuan Topo, Pambudi
dapat mengingat kembali kaidah-kaidah bahasa Inggris).
 Mbok Ralem, tokoh ini merupakan tokoh pembantu yang berwatak
penyabar dan pantang menyerah (Aku ingin segera sembuh, Nak),

4
penyayang (Mas Ajeng, saya teringat pada kedua orang anak
saya).
 Pak Barkah, tokoh ini merupakan tokoh pembantu yang berwatak
antusias dan penuh perhatian (Namun kemudian sikapnya berubah
menjadi penuh perhatian setelah Pambudi menerangkan
maksudnya dengan jelas).
 Bambang Sumbodo, tokoh ini merupakan tokoh pembantu yang
berwatak bijaksana (Ia tidak merasa kecewa atas sikap yang
ditunjukkan oleh kedua orangtua Pambudi).

Selain itu, tokoh-tokoh figuran lainnya antara lain :

 Pak Danu yang berwatak sombong.


 Jirah yang berwatak kolot.
 Mbok Sum yang berwatak dermawan dan labil.
 Pak Badi yang berwatak berbudi pekerti dan pekerja keras.
 Bu Runtah yang berwatak egois, pencemburu, dan mudah
dibohongi.

Terdapat beberapa tokoh lataran juga (tokoh yang berfungsi sebagai


pelengkap atau penjelas latar cerita saja), seperti Pak Camat, Nyonya Wibawa,
Kakek, Germo, Si Sopan, Haji X, Bagol, dan Pendi Toba.

D. Alur
I. Tahapan:
1) Pembuka/perkenalan:
Menceritakan mengenai kehidupan Bukit Cibalak pada tahun
1970-an. Di mana tempat tersebut dahulunya merupakan jalan
kerbau yang penuh dengan suara kicauan burung. Seiring
berjalannya waktu, daerah itu berubah menjadi jalan setapak
menuju Desa Tanggir. Di dalam desa tersebut, terdapat seorang
pemuda yang bersikap kritis dan mengutamakan kejujuran bernama
Pambudi.

5
2) Permasalahan :
Permasalahan di dalam cerita diawali dengan keperluan Mbok
Ralem untuk berobat. Pambudi menolongnya dan menimbulkan
rasa tidak suka dari Pak Dirga, sehingga ia merencanakan
penyingkiran Pambudi. Kemudian, Pambudi memutuskan untuk
keluar dari Desa Tanggir dan pindah ke Yogya. Masalah tidak
berhenti sampai di situ, beberapa saat setelahnya, Pambudi dituduh
melarikan uang milik lumbung desa.
3) Menuju klimaks :
Segala permasalahan yang berada di Desa Tanggir dibahas
Pambudi dalam rubriknya di harian Kalawarta. Hal itu sampai
kepada Pak Camat yang akhirnya mulai mencari cara
menindaklanjuti masalah ini.
4) Klimaks :
Setelah melalui berbagai pertimbangan, akhirnya Pak Camat
memutuskan untuk memecat Pak Dirga sebagai lurah Desa Tanggir.
Ia tidak secara terang-terangan memecatnya, melainkan dengan
cara yang sudah ia pikirkan matang-matang.
5) Penutup :
Di akhir cerita, setelah pemecatan Pak Dirga, Pambudi kembali ke
Desa Tanggir untuk mendatangi pengurusan mayat ayahnya.
Mulyani menyusulnya dan kemudian mengajak Pambudi
bersamanya meninggalkan Bukit Cibalak dan segala cerita yang
telah dilaluinya.

II. Jenis
Jenis alur pada novel ini adalah alur maju. Hal ini dikarenakan
penjelasan peristiwa yang terdapat di dalam cerita tersebut runtut dari
awal hingga akhir. Tidak terdapat kilas balik apapun di tengah-tengah
atau akhir cerita. Bukti lainnya yaitu penggunaan konjungsi yang
menyatakan waktu seperti „sebulan setelahnya‟ dan „hari berikutnya‟.

6
E. Sudut Pandang
Sudut pandang atau point of view dalam cerita ini adalah orang ketiga
serba tahu. Sudut pandang orang ketiga dapat dilihat dari penggunaan kata
ganti orang ketiga seperti „ia‟, „dia‟, dan „mereka‟. Sudut pandang orang
ketiga ada dua, yaitu serba tahu dan pengamat. Pada novel ini, jelas bahwa
sudut pandangnya merupakan orang ketiga serba tahu karena penulis dapat
mengetahui apa yang tidak nampak mata dan yang dirasakan oleh tokoh-
tokoh yang ada di dalam cerita.

F. Amanat
1) Menegakkan kejujuran di atas kebohongan. Hal ini ditunjukkan
dengan tindakan Pambudi sebagai tokoh utama yang mengatasi
masalah-masalah yang dihadapinya dengan tetap mengutamakan
kejujuran, meskipun ia dipandang buruk oleh penduduk desa karena
rumor yang beredar.
2) Jangan menyia-nyiakan kesempatan yang ada, kesempatan tidak srlalu
datang dua kali. Hal ini ditunjukkan dengan Sanis yang menyia-
nyiakan cinta Pambudi dan lebih memilih Bambang yang nyatanya
tidak mencintainya. Sayangnya, Sanis sudah terlebih dahulu dinikahi
Pak Dirga. Saat ia sudah menjanda dan ingin kembali pada Pambudi,
ia sudah terlambat karena Pambudi sudah memiliki Mulyani.
3) Usaha dan kerja yang keras tidak akan mengkhianati. Hal ini sesuai
dengan Pambudi yang merupakan seorang pekerja keras. Ia terus
menerus berjuang untuk memperjuangkan kejujuran dan melanjutkan
studinya dengan berusaha keras bekerja demi memenuhi biaya
studinya. Pada akhirnya, ia berhasil meraih kesuksesan dan mendapat
kebahagiaan yang tentu diinginkannya.
4) Kita harus percaya diri dan optimis dalam menjalani kehidupan kita.
Hal ini ditunjukkan dengan dialog dari tokoh Topo yang terus-menerus
memberi semangat pada Pambudi untuk menghadapi masalahnya.

7
Dengan semangat yang diberikan oleh Topo, Pambudi berhasil
melewati segala rintangan dalam hidupnya dengan baik.

G. Nilai-nilai
1) Nilai sosial
Melalui novel ini, penulis ingin menyampaikan nilai-nilai sosial seperti
peduli terhadap orang-orang yang berada di sekitar kita. Manusia tidak
bisa hidup tanpa memberi dan menerima bantuan dari orang lain. Hal
ini sesuai dengan perilaku Pambudi dalam kutipan “Adalah pantas bila
aku berbuat sesuatu untuk menolong perempuan yang sakit itu, tapi
apa pikirnya.”
2) Nilai politik
Melalui novel ini, penulis ingin menyampaikan mengenai bagaimana
politik yang seharusnya. Di dalam novel digambarkan bahwa keadaan
politik yang berada di negara ini masih belum benar karena adanya
kecurangan dan kebohongan dimana-mana. Sebagaimana penulis
menuliskannya dalam kutipan “Setiap calon berusaha menjamu
seluruh warga Desa Tanggir dengan makan-minum yang hampir
tanpa batas… Kecurangan para lurah biasanya bermula dari titik ini.”
dimana para calon lurah sudah melakukan kecurangan semenjak masa
pemilihannya.
3) Nilai religius (ketuhanan)
Penulis novel menyampaikan nilai religius secara tersirat atau tidak
secara langsung. Meskipun hanya sedikit, penulis tetap berusaha
menyampaikan perlunya bantuan tuhan dalam segala urusan kehidupan.
Kutipan yang menunjukkan nilai religius antara lain “Setelah
bersembahyang di atas sehelai koran, Pambudi merebahkan diri
hendak tidur. “ dan “Ia hendak bersembahyang Jumat di surau ayah
Sanis.”.

8
4) Nilai budaya
Melalui novel ini, penulis berusaha menyampaikan betapa pentingnya
budaya dalam kehidupan ini. Terutama budaya yang berlaku di
lingkungan masyarakat sekitar. Karena dengan adanya budaya tersebut,
manusia dapat memahami lebih lanjut mengenai leluhur yang
sebelumnya. Kutipan yang sesuai antara lain “Untaian melati
dijuraikan dari sanggul sampai jatuh ke dada. Selop kulit dikenakan.”
dan “Di halaman samping rumah, Sanis sedang menata ikan asin di
atas tampah.”.

H. Majas atau Gaya Bahasa


Gaya bahasa dalam novel ini mudah dipahami dan menggunakan
beberapa bahasa ilmiah.
Majas yang terdapat dalam novel ini antara lain:
1) Hiperbola : “Pak Dirga sebaliknya, kulit mukanya terasa seperti
dijerang di atas api.”, “Sulit juga memahami kembali pelajaran yang
telah lama membeku di otaknya.”
2) Litotes : “Ada urusan kecil yang harus kami selesaikan lebih dulu.”
Urusan „kecil‟ yang disebutkan dalam kutipan tersebut tidak benar-
benar kecil. Hal ini dikatakan untuk menyangkal lawan dari hal yang
sebenarnya terjadi.
3) Sinekdoke Pars Pro Toto : “Tetapi Pak Barkah boleh kecewa, karena
Pendi Toba angkat kaki ke Jakarta.” Kata “angkat kaki” mewakili
keseluruhan anggota tubuh yang berarti pergi atau meninggalkan
rumah tersebut.
4) Personifikasi : “Sejuk, seolah-olah angin dari Bukit Cibalak meniup
hati Pambudi.”
5) Ironi : “tampunglah aku di kamarmu yang mewah ini… Bilik yang
sempit itu kini dijejali lagi dengan sebuah ransel.”
6) Simile : “kata Sanis yang terdengar bagaikan suara getaran dawai di
telinga Pambudi.”

9
7) Alegori : “Perdagangan suara ini acap kali membuat suasana seperti
dalam perang dingin.”

I. Latar
1) Latar tempat:
 Bukit Cibalak, latar tempat ini dijelaskan pada episode 1 (Para
pemilik kerbau di sekitar kaki Bukit Cibalak tidak
menggembalakan ternak mereka).
 Desa Tanggir, latar tempat ini dijelaskan pada episode 1 (Di Desa
Tanggir kicau burung telah diganti dengan suara motor dan mobil,
radio dan kaset, atau disel penggerak gilingan padi).
 Yogya, latar tempat ini dijelaskan pada episode 6 (Sebuah bus
bermesin disel membawa kedua orang itu ke Yogya).
 Kantor harian Kalawarta, latar tempat ini dijelaskan pada episode 7
(Pambudi segera mengetahui alamat harian yang bernama
Kalawarta itu).
 Pedukuhan Eyang Wira, latar tempat ini dijelaskan pada episode 31
(Begitulah, di pedukuhan kecil sana, pada suatu malam pedupaan
Eyang Wira kembali mengepul).
2) Latar waktu
 Transisi zaman tradisional menuju zaman modern. Latar waktu ini
dijelaskan pada episode 1 (Sekarang terowongan di bawah belukar
puyengan itu lenyap, berubah menjadi jalan setapak. Tak
terdengar lagi suara korakan kerbau karena binatang itu telah
banyak diangkut ke kota, dan di sana akan diolah menjadi daging
goreng atau makanan anjing. Di sekitar kaki Bukit Cibalak, tenaga
kerbau telah digantikan traktor-traktor tangan.).
 Pagi hari
Kutipan : “Pagi hari pada musim tanam ladang. Tegalan yang
telah tercangkul dan berbongkah-bongkah kering, tersiram hujan.
Wanginya tanah. Pada masa yang silam, burung srigunting yang

10
hitam dan berekor panjang akan muncul. Biasanya burung-burung
itu terbang di antara pohon-pohon randu dan baru hinggap bila
sudah ada laron atau belalang di paruhnya. Musim seperti saat itu
amat disukai oleh burung-burung srigunting untuk memamerkan
kicaunya yang khas. Sering kali mereka terbang hanya beberapa
jengkal dari para petani yang sedang menanam bibit.”
 Siang hari
Kutipan : “Suatu siang Pak Danu pulang dari rumah taukenya. Ia
sengaja singgah beberapa kali ke rumah orang-orang yang
dikenalnya.”
 Malam hari
Kutipan : “Malam itu Pambudi menginap di sebuah losmen
lainnya di depan pasar. Para penyewa kamar kebanyakan
pedagang di pasar itu. Dari pembicaraan mereka Pambudi tahu,
mereka adalah penyewa-penyewa tetap. Kalau aku menghendaki
suasana yang tertib, mestinya tak kupilih losmen ini, pikir
Pambudi. Benar, memang keadaan di losmen itu mirip suasana
pasar.”
3) Latar suasana
 Suasana peralihan dari masa tradisional ke masa modern
Kutipan : “Di sekitar kaki Bukit Cibalak, tenaga kerbau telah
digantikan traktor-traktor tangan. Burung-burung kucica yang
telah turun-temurun mendaulat belukar puyengan itu terpaksa
hijrah ke semak-semak kerontang yang menjadi batas antara Bukit
Cibalak dan Desa Tanggir di kakinya.”
 Mencekam, suasana ini digambarkan pada episode 14 ketika Pak
Dirga menghampiri kuburan.
Kutipan : “Suaranya halus, membuat kelengangan makin
mencekam. Ketika laki-laki itu memasuki gerbang pekuburan,
angin bertiup dari selatan. Kembang puring dan dahan kemboja
bergoyang. Di tepi Kuburan Ampeljajar itu, sebuah pelepah

11
pinang yang kering luruh ke tanah. Kekuatan terakhir yang
menahannya dikalahkan oleh tiupan angin. Sebutir buah beringin
jatuh ke pundak laki-laki itu. Ia terkejut dan langsung terjungkal
karena kakinya terbentur pada sebuah nisan.”
 Mengharukan, suasana ini digambarkan pada episode 29 ketika
Sanis dilamar oleh Pak Dirga.
Kutipan : “Rasa haru merasuk ke hati Pak Modin ketika
memandang wajah Sanis. Dia berusia lima belas, pantas baginya
menerima lamaran seorang laki-laki, pikir Pak Modin. Aku sering
mendengar kata orang bahwa anakku cantik, tetapi aku tak mau
mengatakan apa-apa karena aku ayahnya.”
 Menyenangkan, suasana ini digambarkan pada episode 34 ketika
Pambudi berhasil menyelesaikan studinya.
Kutipan : “Tahun ketiga, Pambudi lulus ujian sarjana muda. Ia
merasa senang dan bersyukur. Tetapi ia diam saja ketika Mulyani
menciumnya. Pambudi bersiap-siap hendak menengok
orangtuanya di Tanggir sambil menyampaikan kabar bahwa ia
sudah lulus ujian.”
 Menyedihkan, suasana ini digambarkan pada episode 34 ketika
ayah Pambudi meninggal dunia.
Kutipan : “Sampai di rumah, kakak perempuan dan ibunya
menyambutnya dengan tangis. Tetapi Pambudi tetap tenang. Ia
sangat yakin bahwa kematian adalah sekadar proses alami yang
langsung dikendalikan oleh Tuhan dari arasy. Pemuda itu segera
pergi ke sumur lalu bersembahyang di samping jenazah ayahnya.”

J. Keterkaitan Isi Cerita dengan Kehidupan Sehari-hari


Isi cerita novel Di Kaki Bukit Cibalak menceritakan mengenai
seorang pemuda bernama Pambudi yang mengutamakan kejujuran di atas
segalanya, ia juga merupakan seorang pekerja keras. Sifat-sifat yang
dimiliki oleh Pambudi ini sangat cocok bila diterapkan pada seluruh

12
masyarakat. Jika seluruh masyarakat baik dari kalangan bawah maupun
kalangan atas memiliki sifat-sifat ini, tentunya kehidupan bermasyarakat
maupun berbangsa dan bernegara dapat berjalan dengan lebih baik.
Seperti contoh, para pejabat yang mengutamakan kejujuran
tentunya tidak akan serta merta melakukan korupsi terhadap uang rakyat
karena mereka tahu bahwa hal tersebut merupakan hal yang salah. Contoh
lain dapat diambil dari dunia perdagangan. Para penjual atau para pembeli
terkadang belum bisa jujur dalam melakukan transaksi jual beli. Jika baik
penjual maupun pembeli sudah mengutamakan kejujuran, maka tentunya
perdagangan dapat berjalan dengan lebih baik tanpa adanya
kesalahpahaman atau hal-hal buruk lainnya yang tidak diinginkan.
Sifat lainnya yaitu pekerja keras. Seperti yang kita ketahui bahwa
usaha yang keras akan membuahkan hasil pada akhirnya. Sifat pekerja
keras tentunya akan lebih membuahkan hasil yang baik apabila dibarengi
dengan sifat tidak pantang menyerah dan berani mengambil resiko.
Masyarakat perlu memiliki sifat ini guna memajukan kesejahteraan umum.

13

Anda mungkin juga menyukai