Anda di halaman 1dari 32

• Daffa Salsabila Yuanda

• Rozia Elina

Kelas XII ipa 1

Para Priyayi
karya Umar kayam
Tema Unsur Intristik

Latar Amanah

Alur Konjungsi

Tokoh dan
Sudut pandang Majas
Penokohan
Tema

 Tema dalam novel “Para Priyayi” adalah Perjuangan seorang Priyayi dalam
memperjuangkan hak keadilan rakyat kecil dari penindasan pada zaman PKI

Ternyata Lantip dengan dalih menggembala kerbau ke alun-alun, tiap hari pergi untuk melihat
hukuman mati yang dijatuhkan oleh orang-orang PKI pada tahanan mereka (Hal 126)
Latar

Latar Waktu

 Sore
“sore-sore pada waktu udara wanagalih menjadi sedikit teduh dan adem, suasana alun-alun
itu sangatlah seronoknya. (Halaman 4)

 Pagi-pagi
Jam menunjukkan pukul 3 pagi waktu Marman, anak Ngadiman, menjemput saya dengan
dokar.Bapaknya tole belum mau pulang karena masih belum puas main kartu dengan teman-
temannya yang sudah lama tidak bertemu. (Halaman 206)

 Sela-sela hari
Pada waktu hari semakin terang. Iring-iringan penjual berbagai dagangan semakin ramai
menuju pasar, suara cring-cring-cring dari dokar yang ditarik kuda semakin sering dan bising
. (Bab Wanagalih , Halaman 8)
 Malam
Sambil menembus kegelapan malam menujuk ke rumah orang-tua saya , saya
membandingkan Roro Saten dengan mertua saya , Roro dokter, Roro jeksa ,dan
sebagainya itu (Halaman 64)

 Tahun 1910
Waktu itu, sekitar tahun 1910 Masehi, daerah di sekitar desa-desa tersebut boleh
dikata masih lebat hutannya (Halaman 33)

 Tahun 1964
“Gadis, mau mentraktir saya malam itu.Hari itu, saya ingat benar, adalah tanggal 8 Mei
1964, hari Pemimpin Besar Revolusi mengumumkan pelarangan Manifes Kebudayaan
(Halaman 261)”.
Latar Tempat

 Desa Wanalawas
Sebelumnya saya tinggal bersama embok saya di desa Wanalawas yang hanya
beberapa kilometer dari kota Wanagalih (Halaman 9)
 Kota Wanagalih
Nama Lantip itu saya dapat kemudian waktu saya mulai tinggal di rumah keluarga
Sastrodarsono , di Jalan Seteran , di kota Wanagalih (Halaman 9)
 Wonogiri
“Saya hanya sempat mengajar di HIS Wonogiri selama dua tahun (Halaman 149)”.
 Mangkunegara
“Begitulah keputusan itu telah saya buat.Saya pindah bekerja ke
Mangkunegaran.Saya diberi waktu hingga akhir tahun pelajaran “. (Halaman 159)
 Yogyakarta
“Kami pun lantas untuk sementara pindah lagi ke Yogya ke rumah ibu Sus, yang
menetap di Yogya sejak pensiunnya di Semarang.Rumah itu tidak berapa besar, di
bilangan Jetis, tidak jauh dari bekas sekolah dasar, tempat saya mengajar dulu”.
(Halaman189)
Latar Suasana

 Menakutkan
Dan Embah Guru yang penuh humor itu akan seketika berubah menjadi makhluk yang lain
sekali. Menakutkan . “Goblok ! Disuruh minta uang saja tidak bisa . Dasar anak Gento, anak
maling cecrekan ...” begitulah umpat serapah itu. (Halaman 10)

 Duka
Masya Allah Embok yang begitu sehat, kuat, tahan melawan segala cuaca dan kerja berat,
harus mati karena jamur. Saya pun lantas menangis (Halaman 26)

 Menegangkan
Ternyata Lantip dengan dalih menggembala kerbau ke alun-alun, tiap hari pergi untuk melihat
hukuman mati yang dijatuhkan oleh orang-orang PKI pada tahanan mereka (Halaman 196)
 Mencekam
Namun, suasana damai di alun-alun kota sekali peristiwa sempat juga bersimbah darah
menjadi anjang pembantaian manusia. Pada waktu pemberontakan PKI dimadium , kota
Wanagalih sempat juga dilewati prahara itu (Halaman 4)

 Damai dan Menyenangkan


Sore-sore pada waktu udara Wanagalih menjadi sedikit teduh dan adem , suasana alun-alun
itu sangat lah seronok nyaorang-orang , laki , perempuan , suami-istri , anak-anak muda ,
anak-anak kecil pada duduk-duduk menghirup udara segar diatas rumput sambil makan
kacang dan minum wedang . Anak-anak kecil berlarian . Para remaja dudu-duduk saling
berlirikan (Halaman 4)

 Gembira
Tapi, mungkin hatinya sudah terhibur sedikit, sempat melihat goro-goro di mana dalang itu
sempat membuat suasana menjadi gembira karena lucunya dia memainkan tiga punakawan
semar, Gareng dan Petruk. (Halaman 207)

 Serius
“tiba-tiba suasana menjadi serius sekali” (Halaman 35)
Alur

Novel “Para Priyayi“ termasuk dalam alur campuran karena peristiwa yang terjadi
tidak diceritakan secara berurut mulai dari awal hingga akhir melainkan kadang dari
awal hingga akhir namun kadang diceritakan dari akhir ke awal.
Alur maju
 Ketika bagaimana lika-liku kehidupan Sastrodarsono hingga ia menjadi priyayi

Alur mundur
 Pada waktu pemberontakan PKI Muso di Madiun, kota Wanagalih sempat juga
dilewati prahara itu (Halaman 4)
 Pada pertengahan cerita , penulis kembali lagi menceritakan peristiwa pada masa
PKI

Berdasarkan akhir ceritanya juga novel ini termasuk open plot ( alur terbuka )
karena tokoh utamanya, Lantip masih hidup sehingga memungkinkan untuk ceritanya
bisa diteruskan.
Orientasi
Wanagalih merupakan sebuah kota kecil yang menjadi ibukota kabupaten di Madiun.
Kota ini berada diantara Sungai Bengawan Solo dan Sungai Ketangga. Di sana hiduplah
seorang petani kecil bernama Atmokasan. Atmokasan memiliki seorang anak yang bernama
Soedarsono. Atmokasan kemudian menitipkan anaknya kepada seorang priyayi Wanagalih
bernama Ndoro Seten. Atmokasan berharap agar kelak Soedarsono bisa menjadi seorang
priyayi seperti Ndoro Seten. Ketika Soedarsono menjadi bagian dari keluarga Ndoro Seten
namanya pun diganti dengan nama Sastrodarsono. Soedarsono pun akhirnya disekolahkan dan
dididik oleh Ndoro Seten hingga pada akhirnya Soedarsono mempunyai pekerjaan yang
menetap yaitu sebagai seorang guru.
Hingga pada akhirnya Sastrodarsono menikah dengan seorang gadis bernama Siti
Aisyah yang biasa dipanggil Ngaisyah, seorang anak dari mantri penjual candu asal Jogorogo.
Dari pernikahannya Sastrodarsono mempunyai tiga orang anak. Anak yang pertama bernama
Noegroho yang tinggal di Yogya sebagai guru HIS, seklah dasar untuk anak-anak priyayi,
yang kedua Hardojo yang memilih menjadi abdi dalem Mangkunegaran di Solo, dan anak
yang ketiga Soemini yang menikah dengan seorang asisten wedana di Karangelo yang
kemudian tinggal di Jakarta.
Menuju Konflik
Sastrodarsono juga mengangkat beberapa anak dari keluarganya seperti Soenandar,
Ngadiman, Sri, dan Darmin. Dari empat anak yang diasuhnya, Soenandar menjadi anak yang
paling nakal dan susah diatur. Ketika masih sekolah, Soenandar sering membuat ulah bahkan
sering mengambil uang saku temannya. Hingga pada suatu saat Soenandar dikeluarkan dari
sekolah dan diminta oleh Sastrodarsono untuk mengawasi sekolah yang didirikan Sastrodarsono
di Wanalawas dengan harapan agar perilaku Soenandar berubah menjadi lebih baik.

Puncak konflik
Namun semua itu tidak membuat perilaku Soenandar berubah. Soenandar menghamili
seorang gadis bernama Ngadiyem anak seorang janda bernama Mbok Soemo, dan fatalnya lagi
Soenandar tidak bertanggung jawab. Soenandar kabur dari Wanalawas dan bergabung dengan
gerombolan perampok yang dipimpin oleh Semin Genjik. Ketika dicari oleh keluarga,
Soenandar diketahui telah meninggal terbakar bersama dengan gerombolan perampok itu.
Mengetahui hal itu, Ngadiyem sedih memikirkan siapa yang akan bertanggung jawab
terhadap nasib anaknya. Namun, semua kesedihannya hilang setelah Sastrodarsono
mengatakan bahwa ia akan menanggung semua biaya untuk anaknya. Hingga pada suatu hari,
Ngadiyem melahirkan seorang anak laki-laki bernama Wage. Setelah berusia 6 tahun, Wage
diangkat menjadi anak Sastrodarsono dan namanya diganti menjadi Lantip. Lantip tumbuh
menjadi anak yang cerdas, penurut, dan sangat peduli terhadap sesama. Di usia dewasanya
Lantip dapat menjadi anak yang selalu membantu memecahkan masalah yang dihadapi oleh
dirinya dan keluarga Sastrodarsono. Ketika suatu hari, Lantip mengetahui bahwa ibunya
meninggal karena keracunan jamur dan mengetahui bahwa ayahnya adalah seorang perampok
yang mati terbakar bersama segerombolan Semin Genjik, Lantip tetap tabah dan sabar
menghadapi semuanya. Lantip tidak berputus asa, semua itu dijadikan sebagai motivasi bagi
Lantip untuk menatap masa depan yang lebih baik.
Noegroho, anak pertama dari Sastrodarsono menikah dengan seorang gadis bernama
Susanti. Dari pernikahannya dengan Soesanti, Noegroho memiliki 3 orang anak. Anak yang
pertama bernama Suhartono atau Toni, yang kedua Sri Sumaryati atau Marie, dan anak ketiganya
Sutomo atau Tommi. Kehidupan keluarga ini penuh dengan cobaan, pada masa G30S/PKI keluarga
ini harus rela kehilangan Toni, anak pertama mereka karena tertembak oleh para anggota PKI. Tak
hanya itu, belum lama setelah kepergian Toni keluarga ini juga harus menerima cobaan lagi. Marie,
anak perempuan satu-satunya diketahui hamil karena ulahnya bersama dengan Maridjan, anak
pondok yang berasal dari Wonosari, Gunung Kidul.
Penderitaan Marie tak hanya berhenti sampai disitu, setelah diselidiki ternyata Maridjan
sudah memiliki seorang istri bernama Suminten. Suminten juga sedang mengandung anak Maridjan.
Berkat bantuan Lantip akhirnya semua masalah dapat diselesaikan dengan baik. Maridjan akhirnya
menikah dengan Marie cucu dari Sastrodarsono.
Soemini, anak terakhir Sastrodarsono juga mengalami masalah yang sangat berat. Suaminya,
Harjono yang berasal dari Wonosari itu teryata mengkhianati cinta Soemini. Harjono diketahui
berpaling dengan seorang penyayi keroncong bernama Sri Asih ketika usia pernikahannya tidak lagi
seumur jagung. Hingga pada akhirnya Soemini memutuskan untuk menenangkan dirinya di rumah
orang tuanya di Wanagalih. Setelah beberapa lama akhirnya masalah itu dapat dihadapinya, Harjono
menyusul Soemini ke Wanagalih bersama dengan anak dan cucu-cucunya dan kembali pulang ke
Jakarta sebagai satu keluarga yang utuh.
Masalah tidak hanya dialami oleh Noegroho dan Soemini, Hardojo anak kedua
Sastrodarsono juga mengalami masalah yang tidak kalah rumitnya. Diusianya yang tak lagi muda,
Hardojo mengalami gagal menikah dengan seorang gadis bernama Maria Magdalena Sri Moerniati
atau biasa dipanggil Nunuk karena perbedaan keyakinan. Hingga pada akhirnya Hardjo menikah
dengan mantan siswanya bernama Sumarti. Dari pernikahannya, pasangan Hardojo dan Sumarti
hanya dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Harimurti.
Resolusi
Harimurti sangat akrab dengan Lantip, dan karena Hardojo hanya memiliki seorang
anak maka Sastrdarsono meminta agar Lantip diangkat menjadi anak Hardojo. Hardojo pun
menerima permintaan ayahnya, Lantip kini diangkat menjadi kakak Harimurti. Seiring
berjalannya waktu, masalah juga menghampiri Harimurti. Harimurti bertemu dengan seorang
wanita yang sangat cerdas juga cantik, ia bernama Retno Dumilah dan biasa dipanggil Gadis.
Gadis hidup dikalangan keluarga yang berkecukupan, dan ia memiliki seorang adik angkat
bernama Kentus. Benih-benih cinta pun tumbuh diantara Hari dan Gadis, hingga pada suatu
hari mereka tidak dapat menahan nafsu mereka.
Pada suatu hari diketahui Gadis hamil mengandung buah hati Harimurti. Namun,
ketika mereka berniat untuk menikah mereka dipisahkan karena mereka dianggap sebagai
anggota Lekra dan Gerwani. Sehingga mereka dipenjara, Hari ditahan di Yogya dan Gadis
pun juga ditahan di Plantungan, Semarang. Beruntunglah Hari, berkat bantuan Noegroho
pakdenya yang pernah menjadi kolonel, ia berhasil dibebaskan menjadi tahanan rumah.
Kemudian, Hari meminta agar pakdenya juga membebaskan Gadis calon istrinya yang ditahan
di Plantungan. Namun, Tuhan berkata lain, ketika Gadis berusaha ditemui ternyata Gadis telah
meninggal beberapa hari sebelum keluarga Hari menjemputnya. Gadis meninggal ketika
melahirkan anak kembar yang dikandungnya.
Ketika masalah datang bertubi-tubi, kesedihan juga menghampiri Sastrodarsono. Istri
tercintanya harus pergi meninggalkan Sastrodarsono untuk selama-lamanya. Siti Aisyah
meninggal diusia yang tidak lagi muda karena penyakit darah tinggi dan liver. Beberapa hari
sejak kepergian Ngaisyah kondisi kesehatan Sastrodarsono semakin memburuk, dan
Sastrodarsono pun akhirnya meninggalkan anak-anak dan cucu-cucunya juga Lantip untuk
selama-lamanya menyusul Ngaisyah.
Koda
Pada saat upacara penguburan jenazah Sastrodarsono, Lantip calon suami Halimah
diminta oleh keluarga Sastrodarsono untuk menyampaikan pidato mewakili keluarga
Sastrodarsono. Lantip dianggap paling pantas untuk menyampaikan pidato dari pada anak-anak
atau cucu Sastrodarsono karena Lantip telah membantu keluarga besar Sastrodarsono dalam
menghadapi berbagai masalah yang datang
Sudut Pandang

Sudut pandang pengarang dalam novel ini adalah sudut pandang orang
Pertama.Sudut pandang orang pertama ini terlihat pada setiap episode cerita.Pengarang
bertindak sebagai orang pertama yang sedang menuturkan pengalamannya.Sudut
pandang ini menempatkan pengarang sebagai “saya” atau “aku” dalam cerita.Pada
bagian Lantip, pengarang menjadi Lantip, pada bagian Sastrodarsono, pengarang
menjadi Sastrodarsono, dan seterusnya. Ini suatu cara bercerita yang menarik karena
pengarang menjadi beberapa tokoh sekaligus dalam satu rangkaian cerita.

Nama saya Lantip. Ah.tidak. Nama saya yang asli sangatlah dusun, ndeso. Wage. Nama
itu diberikan , Menurut embok saa , karena saya dilahirkan pada hari sabtu Wage.
(Halaman 9)

Saya pun tergopoh mengantar Pak Duuh ke pendapat menyilahkan Pak Dukuh
menunggu di kursi (Halaman 26)
Tokoh dan Penokohan

1. WAGE ALIAS LANTIP


Tindakan tokoh
 Suka menolong
“ maka, disamping harus membantu menyiapkan dangangan tempe , saya pun harus ikut
berjalan disamping dan dibelakangnya” (Halaman 13)

 Sopan
“Akhirnya, tinggal Pakde Soeto dengan saya .Pelan-pelan saya mendekati Pakde Soeto dan
menyilakan Pakde Soeto duduk di kursi yang cuma tiga buah jumlahnya di rumah embok saya
“ (Halaman 115)

Penuturan tokoh lain


 Rendah hati dan tulus
“Sedang Kang Lantip, dialah guru saya. Bukan karena dia banyak mengajari saya , tetapi
karena kerendahan hatinya, ketulusan serta keikhlasan hatinya. Sejak semula saya
mengenalnya di Wanagalih dan Wanalawas saya langsung menyayanginya. Kemelaratan dan
kemiskinan asal usulnya serta kedudukannya sebagai anak pungut di Setena Wanagalih, tidak
pernah membuatnya kecil hati, selalu rendah hati, minder” (Halaman 283)
2.Sastrodarsono
Tindakan tokoh
 Optimis dan Bertekad kuat
“Saya berjanji didalam hati akan dengan sekuat tenaga menyesuaikan diri dengan dunia
priyayi yang lain dengan dunia saya sebelumnya , dunia petani. Rasanya tidak akan susah
(Halaman 38)
Jalan pikiran tokoh
 Pendengar yang baik
“Saya mendengarkan petuah Ndoro Seten itu dengan penuh perhatian.” (Halaman 38)

3.Soenandar
 Nakal
“Den Bagus Saenandar , meskipun cerdas otaknya , tidak maju sekolahnya. Nakal , suka
mengganggu teman perempuan dan suka berkelahi dengan teman laki-laki , dan puncak
darii itu semua dia suka mencuri uang jajan teman-temannya sekelas “ (Halaman 118)

 Licik
“Dan dengan suara terpatah-patah , embahmu menceritakan bahwa Den Bagus Soenandar
telah minggat dengan membawa lari uang tabungan seluruh rumah “ (Halaman 119)
4.Noegroho
Tindakan tokoh
 Perhatian
“saya berkirim surat ke Wanagalih melaporkan kepada orangtua sambil juga menitipkan keluarga
saya untuk diawasi dan dibantu “ (Halaman 179)
Tindakan tokoh
 Baik hati
“Saya seorang obsir tentara republik tidak merasa berkurang kerepublikan saya dengan
mendatangkan barag-barang mewah dari daerah penduduk itu` Saya selalu membagi-bagi barang-
barang mewah itu kepada kawan-kawan saya yang sipil maupun yang tentara dan mereka semua juga
menerimanya dengan senang” (Halaman 201)
Dialog antar tokoh
 Sabar dan tabah
“seorang kurir datang dari kota dan membawa berita bahwa Tom anak saya meninggal ditembak
belanda pada waktu sedang mencoba pulang untuk menengok ibu dan adik-adknya`MasyaAllah!
Innalillahi wa innailahi raji’un . Anakku sulung , anakku lanang mati! Dan alangkah mudanya dia!
Tanpa bisa saya bendung, air mata saya berlelehan` esok harinya , saya menghadap ke markas
mohon pengertian dan izin untuk pulang sebentar kerumah. Rumah saya langsung saya nampak
sebagai rumah duka. Saya dan keluarga kecil saya, istri dan kedua anak saya yang tersisa Marie dan
Tommie berangkulan dan saling mencium di ruang dalam. Kami menangis dalam sedu sedan yang
tertahan .

“Jouw zoon Pak , Jouw zoon! Piye anakmu, Paak” istri saya menangis.

“iya , iya, bu. Sing sabar ya, bu. Ikhlas,Bu, kita ikhlaskan anakkita pergi ya ,Bu. Kalian juga ya,
Marie dan Tommie , ikhlaskan kamas-mu pergi” saya mengghibur istri saya. (Halaman 204)
5.Hardojo
Jalan pikiran tokoh
 Putus asa
“Waktu saya gagalkawin dengan Dik Nunuk , hidup jadi terasa tanpa gairah lagi “ (Halaman 138)

 Sabar Tindakan tokoh


“agak tersirap juga dara saya mendengar itu. Meskipun saya jelas bukan pemeluk agama islam
yang taat, jengkel juga saya bila saya mendengar pemeluk agama lain mengkritik agama
saya.Namun demikian, karna sadar bahwa saya berada di tempat orang-orang yang saya
hormatidan sayangi lagi, saya pilih pun untuk menahan diri dan berusaha menjelaskan dengan nada
yang netral sekali” (Halaman 141)

Penjelasan pengarang
 Suka mengeluh
“Hardojo, misalkan , sebagai pegawai sipil Mangkunegara mengeluh bangaimana berat hidupnya
hingga sering dibantu dengan bahan makanan dari Wanagalih “
(Halaman 188)

 Berusaha teguh dalam agama Jalan pikiran tokoh


“Sebagai orang Islam , saya masih belum benar melaksanakan ajarannya. Saya masih merasa
berutang kepada agama saya. Saya masih akan terus belajar memahami dan mencintainya”
(Halaman 146-147)
6.Harimurti

 Perhatian Jalan pikiran tokoh


“Saya senang Gadis merasa mendapat kemenangan dan mendapat kegairahan yang lebih
besar untuk menulis lebih banyak. Namun, saya masih juga sedikit menyimpan kekhawatiran
tentang semangatnya yang berlebihan untuk mengganyang musuh-musuhnya” (Halaman 264)

Tindakan tokoh
 Romantis
“Di dalam becak, Gadis minta saya rangkul karna kedinginan. Dengan senang hati saya
peluk dia pada belakangnyya. Waktu Gadis masih juga merasa dinngin, saya peluk dia pada
pinggangnya rapat-rapat. Kami terus berpelukan “ ( Halaman 264)

 Patuh Tindakan tokoh


“Lho , jangan salah terima yo, Le . Kalau bapak dan ibumu sudah menyampaikan
pendapat yang begitu, itu tidak berarti kami mau menghalang-halangi pilhan jodohmu.”
saya menggangguk-anggukkan kepala sebagai layaknya anak jawa yang baik. Orang tua
yang begitu baik hati, mana tega saya melawannya .” (Halaman 268-269)
Majas

Metafora :
Yaitu meletakkan sebuah objek yang bersifat sama dengan pesan yang ingin disampaikan
dalam bentuk ungkapan.

 Saya diangkat menjadi kepala sekolah menggantikan Mas Martoatmodjo yang dipindah ke
sekolah desa Gesing. Gesing! Itu adalah suatu daerah yang cengkar, tandus, tanahnya keras,
pecah-pecah, berbongkahbongkah, terpencil di kaki pegunungan Kendeng. Mas
Matoatmodjo disingkirkan ke neraka yang begitu mengenaskan (Halaman 65).

Hiperbola :
Yaitu mengungkapkan sesuatu dengan kesan berlebihan, bahkan hampir tidak
masuk akal.

 Namun suasana damai di alun-alun itu sekali peristiwa sempat juga bersimbah
darah menjadi ajang pembantaian manusia. Pada waktu pemberontakan PKI Muso
di Madiun, kota Wanagalih sempat juga dilewati prahara itu. Para algojo PKI
bergantian jadwal dengan algojo Siliwangi menyembelih mereka yang dianggap
terbukti menjadi tokoh lokal pemerintah atau pengikut PKI Muso.(Halaman 102)
Personifikasi :
Gaya bahasa ini seakan menggantikan fungsi benda mati yang dapat bersikap layaknya
manusia.

 Wanagalih adalah sebuah ibu kota kabupaten. Meskipun kota itu suatu suatu ibu kota lama
yang hadir sejak pertengahan abad ke-19, kota itu nampak kecil dan begitu-begitu saja.
Seakan-akan usianya yang tua itu tidak memberikan kesempatan untuk tumbuh dan
berkembang.Tentu pohon-pohon asem yang besar dan rindang yang berderet sepanjang
jalan raya yang membelah kota itu. (Halaman 1).

Simile :
Hampir sama dengan asosiasi yang menggunakan kata hubungan bak,
bagaikan, ataupun seperti; hanya saja simile bukan membandingkan dua objek yang berbeda,
melainkan menyandingkan sebuah kegiatan dengan ungkapan.

 Sawah-sawah itu jadi kelihatan berombak-ombak seperti satu lautan hijau yang luas
sawah-sawah Pak Lurah, Pak Carik, Pak Jagabaya, Ndoro Seten Kedung simo, barulah
sawah-sawah petanpetani kecil seperti bapak saya (Halaman 31).
Konjungsi Temporal

 Beliau mengerdipkan matanya , kemudian pergi menggandeng anak-anaknya diiringi


istrinya (Halaman 65)
Beliau mengerdipkan matanya
s p O
kemudian
konjungsi
Beliau pergi menggandeng anak-anaknya diiringi istrinya
s p k
 Saya selesaikan dengan selamat, kemudian saya lanjutkan denganbait pertama dari lagu
kinanti dari Wulangreh (Halaman 131)
Saya selesaikan dengan selamat
s p k
kemudian
konjungsi
saya lanjutkan dengan bait pertama dari lagu kinanti dari Wulangreh
s p k
Amanat

Amanat yang dapat diambil setelah membaca novel “Para Priyayi” antara lain:

• Ketika kita telah menjadi seseorang yang berhasil jangan pernah melupakan orang-orang
yang telah membantu kita meraih keberhasilan itu.
• Tidak semena-mena atau memaksakan kehendak kita kepada orang lain.
• Selalu berusaha untuk memecahkan suatu masalah dengan jalan musyawarah.
• Selalu menghargai orang lain.
• Tidak sombong atas kedudukan yang telah kita dapatkan.
• Selalu berusaha untuk selalu berbakti kepada kedua orang tua.
• Tetap sabar dalam menghadapi cobaan yang diberikan Tuhan.
• Selalu berpikir sebelum bertindak.
Unsur
Ekstrinsik
Nilai
Penulisan
ekonomi

Nilai Profil
pendidikan penulis

Nilai Nilai Nilai Nilai


budaya agama psikis politisi
Nilai Yang
Terkandung dalam
Cerpen

 Nilai Ekonomi
Dalam rentang waktuu setahun sudah mulai terasa bagaaimanaa ekonomi perang mulai
menghimpit kehidupan. Barang-barang , dan ituu bukan hanya barang mewah saja ttapi juga
barang keperluan sehari-hari, mulai lenyap dari pasar. Beras pun susah didapat (Halaman
178)

 Nilai Pendidikan
Di sekolah, nyaris dalam waktu semalam guru-guru harus langsung memberi pelajaran
kepada murit-murit dalam bahasa Indonesia . Guru-guru tahu berbahasa Melayu, namun
jarang menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari, apalagi di sekolah. Maka , dengan
adanya peraturan ini, guru-guru menggunakan bahasa Indonesia sambil juga belajar
menguasai bahasa tersebut. Dalam waktu yang dekat, guru dan murid sudah dapat
menggunkan bahasa Indonesia dengan Baik (Halaman 178)
 Nilai Budaya
Dahulu, di Jawa , orang-orang masih mengenal dan memepercayaimantra yang dapat
menghubungkan dirinya dengan kekuatan supranatural jika diucapkan Jik rakyat di suatu
daerah hendak mendiirikan suatu bangunan dari kayu, maka mereka datang berbondong-
bondong ke hutan dengan membawa sesajen dan menyertakan dukun.Nanti dukun yang
dipercayai punya kekuatan sakti itu akan menanyakan pada pohon-pohon dinhutan apakah
mereka bersedia ditebang untuk dibuat bangunan atau tidak. Kemudian pohon-pohon itu
dberikan sesajen. Hal itu dikarenakan masyarakat dahulu sangat percaya bahwa kekuasaan
supranatural ada di mana-mana (Halaman 2-3)

 Nilai Agama
Adanya sikap toleransi, menghargai , dan menghormati sesama umat beragama
(Halaman 14)

Mengedepankan perintah agama dalam setiap hal dan mencoba teguh serta istiqomah
dalam mengaplikasikan ajaran agama (Halaman 146-147)

Kyusyuk dalam melakukan segala bentuk ibadah dengan ikhlas dan menyertakan hati
serta sukma (Halaman 93)
 Nilai Politisi
Wanagalih pernah menjadi saksi bisu pemberontakan PKI Madiun yang hingar-bingar,
terlebih alun-alun kota yang kala itu menjadi tempat penyembelihan danpembantaian tokoh-
tokoh yang terlibat dalam pemberontakan PKI (Halaman 4)

Tanggal 8 Mei 1964, hari Pemimpin Besar Revolusi mengumumkan pelarangan


manifes kebudayaan diakibatkan manifes kebudayaan mengalami kekalahan, kekalahan
manifes kebudayaan (manikebu) sendiri adalah kekalahan penulis-penulis lawan Lekra , salah
satu organisasi budaya milik PKI (Halaman 261)

Jepang kala itu kalah perang dari Indonesia sehingga PETA dbubarkan dan
diluncurkan oleh senjata rakyat Indonesia ( Halaman 189)

 Nilai Psikis
Waktu saya gagal kawin dengan Dik Nunuk, hidup jadi terasa tanpa gairah lagi. Pada
waktu harapan itu masih ada, apalagi pada waktu mula – mula mulai terasa bahwa perasaan
saya kepada Dik Nunuk tidak bertepuk sebelah tangan, alangkah penuh nyala hidup itu.
( Halaman 138)
Profil Penulis
Umar Kayam atau Umar Khayam (lahir di Ngawi, Jawa
Timur, 30 April 1932 – meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002
pada umur 69 tahun adalah seorang sastrawan, sosiolog, dan
seorang guru besar di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta (1988-1997-pensiun). Umar Kayam (dalam konteks
percakapan antar teman biasa disapa UK), lulus sarjana muda di
Fakultas Pedagogik Universitas Gadjah Mada (1955), meraih
M.A. dari Universitas New York, Amerika Serikat (1963), dan
meraih Ph.D. dari Universitas Cornell, Amerika Serikat (1965).
mar Kayam pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Radio,
Televisi, dan Film Departemen Penerangan RI (1966-1969),
Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1969-1972),
Direktur Pusat Latihan Ilmu-ilmu Sosial Universitas
Hasanudin (1975-1976), Ketua Lembaga Pendidikan Kesenian
Jakarta, dan jabatan lainnya. Ia pun pernah menjadi dosen di
Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, dan Sekolah
Tinggi Filsafat Driyarkara.
Karya noveletnya yang terkenal adalah “Bawuk” dan
“Sri Sumarah”. Karya cerpennya “Seribu Kunang-kunang di
Manhattan” mendapat penghargaan dari majalah Horison.
Novel Umar Kayam yang terkenal “Para Priyayi” mendapat
penghargaan dari Yayasan Buku Utama.
Latar Belakang
penulisan
Umar kayam Adalah seseorang yang lahir didaerah Jawa Timur, tepatnya di Ngawi .
Hal ini juga yang melatarbelakangi runtutan cerita’para Priyayi’ yang ia tulis.Beliau sangat
rinci mngalirkan kekentalan Jawa dalam cerita, seperti adanya istiadatnya , gaya bahasa dan
budaya yang terdapat disana. Umar kayam lahir pada tahun 1932 , sehingga suasana
pemerintahan Belanda dan Jepang masih terasa di Ngawi pada saat itu. Sehingga ia
menuturkan bagaimana kondis pada saat itu di dalam cerita.
Pada awal cerita novel ,Umar kayam menuliskan bab yang berisi tentang deskripsi
Wanagalih secara keseluruhan. Ketika masuk di bagian Latip barulah dapat diketahui
bagaimana alur dan muncul cerita arus sorot balik nampak dominan. Seperti pada Bab Latip
yang menceritakan bagaimana kemuian disekolahkan .Latip yang awalnya anak desa yang
tidak bersekolah kemudian disekolahkan oleh para priyayo. Setelah menceritakan tentang
Latip . Pada bagian kedua yang menceritakan Sastrodarsono , nampak jelas Umar Kayam
menggunakan alur mundur, karena sebelumnya diceritakan bahwa Sastrodarsono adalah
Priyayi. Tetapi pada bagian kedua Umar Kayam juga menggunakan alur campura. Alur
mundur menceritakan siapa dan berasal darimana Sastrodarsono dan alur maju ketika
bagaimana lika-liku kehidupan Sastrodarsono hingga ia menjadi Priyayi. Setelah
menceritakan tentang Sastrodarsono dan keluarga pada bagian dua , selanjutnya menceritakan
bagaimana kisah hidup masing-masing tokoh , sehingga dapat membuat pembaca mengenal
semua tokoh yang da dalam novel tersebut.
Saran dan masukan

1. Dalam penentuan tema, bahasa yang anda gunakan kurang efektif sebaiknya
diganti dengan perjuangan seorang priyayi
2. Kutipan dalam tema kurang menggambarkan sebaiknya kutipan tersebut dibuat
lebih lengkap lagi sampai menggambarkan isi tema
3. Latar waktu “sela-sela hari” tidak efektif sebaiknya diganti dengan “siang hari”
4. Dalam penentuan latar suasana, suasana yang tergambarkan ada yang kurang
tepat seperti, menakutkan sebaiknya diganti dengan menegangkan, menegangkan
sebaiknya diganti dengan menakutkan , dan serius sebaiknya diganti dengan
mencekam
5. Dalam penentuan alur yang anda gunakan kurang menggambarkan karena tidak
disertai dengan kutipan yang jelas
6. Pendeskripsian tokoh Sastrodarsono melalui jalan pikiran tokoh kurang tepat
sebaiknya diganti dengan tindakan tokoh
7. Pada penokohan tokoh Hardjojo yaitu putus asa terdapat pendeskripsian yang
kurang tepat karena tidak ada kata yang menggambarkan tentang jalan pikiran
tokoh sebaiknya diganti dengan tindakan tokoh.
8. Pendeskripsian tokoh Hardjojo kata penjelasan pengarang sebaiknya diganti dengan
deskripsi langsung.
9. Pada bagian majas metafora dan hiperbola,kurang menggambarkan bagian yang
menunjukkan majas tersebut.

Anda mungkin juga menyukai