Anda di halaman 1dari 8

SINOPSIS NOVEL PARA PRIYAYI

KARANGAN UMAR KAYAM


Berawal dari sebuah Kota Wanagalih Kabupaten Kota, hadir sejak Abad 19 di usianya yang
tua tidak memberinya kesempatan untuk tumbuh dan berkembang. Pasar di kota itu telah
digincu sederetan kios-kios yang melingkari pasar tersebut rumah-rumah lama masih disana
tanah di Wanagalih hitam pecah-pecah disana-sini berbongkah-bongkah. Pemerintahan
Kolonial dahulu melarang mendirikan bangunan bertembok.
Lama-kelamaan banyak rumah yang bertembok, Hutan yang terkenal angker ada seorang
dukun yang bernama Kyai Jogosimo beliau memiliki wibawa itu karena konon memiliki
kesaktian dapat berbicara dengan hewan dan tumbuhan maupun batu-batuan.
Pendopo Wanagalih konon tidak ada yang bisa menandingi kehebatan Soko dan Tiangnya,
beringin kembar ditengah-tengah Alun-alun kelihatan besar rimbun dan agung menandakan
pemeliharaan yang baik dan tekun. Alun-alun yang luas diseluruh Jawa Timur, suasana damai
Alun-alun juga bersimbah darah menjadi ajang pemberontakan PKI Muso di Madiun, Kota
Wanagalih juga sempat juga dilewati prahara itu. Para algojo PKI bergantian jadwal dengan
algojo Siliwangi. Wanagalih sebuah Kota yang berarti Huntan dan Galih bagian terdalam dan
keras dari kayu.
Wage alias Lantip adalah seorang anak dari Ngadiyem penjual tempe di Wanalawas yang
tinggal bersama simbok Soemo ibu dari Ngadiyem. Diberikan nama Wage karena ia lahir hari
Sabtu wage, nama lantip diberikan ketika tinggal di rumah Sastrodarsono di jalan setenan di
Kota Wanagalih. Wanalawas adalah desa cikal bakal desa asal Wanagalih. Sastrodarsono
adalah anak dari mas Atmokasan tinggal di Kedungsimo, orangtua nya seorang petani ayah
Sastrodarsono mendapat kesempatan menggarap sawah Ndoro Seten hubungan mereka
sangat akrab dahulu nama sastorodarsono sebernarnya Sudarsono, yang diganti oleh Ndoro
Seten karena nama Sastro lebih bagus dibandingkan Sudar, ia disekolahkan di Seolah desa
lima tahun, dicarikan pekerjaan menjadi guru bantu di Karangdompol dan tinggal di
Wanagalih. Sastrodarsono dijodohkan dengan Sti Aisyah alias Ngaisyah purti pamanya ,
Ngaisah ternyata manis dan berpendidikan bisa Bahasa Belanda Sarodarsono sangat takjub
dengan Ngaisyah mereka menikah dan tinggal di Kdungsimo hanya 1 tahun di Ploso,
usul dari Ndoro Seten ia naik pangkat menjadi guru di Karangdompol kemudian pindah ke
Wnagalih. Dari pernikahanya dengan Ngaisah dikaruniai anak tiga antara lain
Noegroho,Hardojo dan Soemini dan mereka di sekolahkan di HIS Sekolah priyayi. Kemudian

ia menggantikan as martoatmojo menjadi Kepala Sekolah, keluarga Sastrodarsono gagal


mendidik dalam bidang Kesenian dan Agama, walaupun mereka beragama Islam tetapi tidak
pernah sembahyang layaknya orang Islam. Anak nuya mengaji dengan H.mansoer,
Soemini anaknya sudah mapan dan bekerja di Yogya, Hardojo ingin menikah akan tetapi
dengan Maria Magdalena Sri Moerniah alias Nunuk akan tetapi tidak jadi karena Nunuk
beragama Katolik. Sastrodarsono mendirikan sekolah di Wanalawas atas keinginan Pak
Dukuh setempat , akan tetapi sekolah itu tidak berjalan lama Ndoro School Opziener
melarang adanya Sekolah liar itu (menurutnya) dan karena Ulah keponakan Sastrodarsono
yang menghamili Ngadiyem anak dari mbok Soemo dan membawa kabur tabungan mbok
Soemo sastrodarsono marah kemudian mencari Soenandar keponakanya yang ternyata ia
menjadi gerombolan perampok yang kabur, setelah diketahui tempat persembunyianya di
bakar oleh Polisi dan Warga, Soedarsono sangat sedih mengingat nasib Soenandar yang telah
mati, mbok Soemo dan Ngadiyem hanya bisa sabar , setelah anak dari Ngadiyem telah lahir
yaitu Wage , setelah wage umur 6 tahun disuruh tinggal di rumah Sastrodarsono . ndoro putri
sangat menyukai keprigelanya dalam mengerjakan tugas nama wage diganti menjadi lantip,
lantip disekolahkan oleh Sastrodarsono, disekolah itu lantip di ejek karena ia adalah budak
Ndoro guru. Lantip hanya bisa bersabar berkat pesan dari ibunya, Lantip lulus dari Sekolah
desa Karangdompol dan mendapat kesempatan meneruskan Sekolah ke Schakel School.
Suatu ketika Pak dukuh mengabarkan bahwa Ngadiyem embok dari lantip meninggal karena
keracunan jamur, ketika itu pula Lantip memberanikan diri bertanya siapa bapaknya dan
ternyata bapaknya adalah Soedarsono yang tidak bertanggung jawab meninggalkan
Ngadiyem. Setelah Lantip tahu siapa bapaknya dan mengerti apa yang terjadi dahulu kala,
ketika Sastrodarsono mengumpatnya dengan kata-kata anak maling, ia tidak tersinggung
karena memang itu benar adanya malah di jadikanya motivasi, semangat dan sangat
berterimakasih kepada Ndoro kakung. Suatu saat ditutup sementara dari pemerintahan
Gupermen menjadi pemerintahan Nipong, Ndoro kakung memutuskan untuk pensiun, Ndoro
kakung berpesan kepada anaknya yang sudah Priyayi agar tetap terpandang di masyarakat,
terus menimba ilmu dengan laku dan untuk Hari dan Lantip disuruh prihatin, Lantip
kemudian dititpkan ditempat Hardojo.
dahulu ketika Hardojo tidak jadi menikah dengan Nunuk, hardojotidak ingin menghianati
Agamanaya, ia sempat mengajar di HIS Wonogiri selama 2tahun , berawal dari menolong
Sumarti seorang gadis sederhana manis,dan memberikan les kepadanya mereka memutuskan
untuk menikah dan mempunyai anak bernama Harimurti yang tumbuh menjadi anak yang

sehat peka dan cerdas, kemudian Hardojo menjadi abdi dalem mangkunegaran dan lantip
juga sudah tinggal bersamanya.
Noegroho bekerja di sekolah rakyat pemerintahan jepang. Ia mempunyai istri bernama
susanti, dan mempunyai anak bernama Toni, Marie dan Tommi, pemerintahan Jepang dirasa
gajinya kurang cukup, berbeda ketika dalam Pemerintahan Belanda dahulu. Nugroho
memutuskan untuk menjadi Opsir PETA dan tinggal di daidan Bantul. Jepang kalah perang
dan Opsir PETA dilucuti senjata mereka. Nugroho kemudian tinggal di rumah ibunya Sus.
Zaman Revolusi adalah kepanjangan dari penderitaan zaman jepang, Pak Martokebo yang
dulunya baik menjadi PKI, keluarga Sastrodarsono selamat. Belanda kembali menyerbu
Yogya, mengebom Maguwo dan ketika itu anak Nugroho yaitu toni meninggal.
Tahun 1962 Soemini pulang karena suaminya selingkuh dengan penyanyi orkes, itu karena
soemini sibuk dengan organisasinya. Tak lama Harjono menusul Soemini ke tempat orangtua
Soemini dan ia mau pulang, masalah juga ada lagi dari Sus istri Noegroho, anak perempuan
satu-satunya merrie hamil dengan temanya yang bernama maridjan, , ketika lantip ke Jakarta
simbah putri meninggal, simbah kakung terlihat sedih akan tetapi kesedihan itu hanya
sementara, ia berpesan jangan terlalu larut dalam kesedihan, biarlah Simbah Putri pergi
dengan tenang. Setelah pulang ke jakarta ternyata maridjan sudah mempunyai istri dan anak,
ia menceraikanya kemudian menikah dengan Merrie, berkat lantip masalah sudah
terselesaikan mereka mnikah dengan pesta yang sangat meriah.
Harimurti adalah anak yang sudah menganggap Lantip sebagai kakaknya, pada tahun 1964 ia
bertemu dengan Retno Dumilah alias Gadis sesosok wanita yang polos menyampaikan
pandangan-pandanganya. Hari jatuh cinta kepadanya mereka sering jalan berdua, ketika di
suatu malam yang dingin Hari mengantar Gadis pulang ke Pemondokanya waktu itu sepi
tidak ada orang, awalnya gadis hanya mengajak masuk kamar akan tetapi kejadian yang tak
terduga terjadi mereka bercinta dikamar tersebut, bahkan di waktu-waktu sepi ada
kesempatan mereka mengulanginya lagi, suatu ketika gadis sebulan tidak datang bulan.gadis
juga pernah mengajak hari ke tempatnya di Wates , hari sangat akrab dengan orangtua Gadis
dan adik angkat Gadis yang agak rusak otaknya yang bernama Kentus.
Orangtua hari ingin hari cepat menikah dan cepat bekerja.
Lantip mau bertunangan dengan Halimah wanita pilihanya yang berasal dari Sumatera Barat
diadakan pesta keci-kecilan, semua datang kecuali Embah Kakung yang tidak mungkin
datang karena badanya sudah tidak kuat untuk berpergian.
Kejadian terjadi pada Harimurti , ia ditangkap dan dipenjara selama 4bulan dan setelah 4
bulan diperbolehkan pulang akan tetapi hanya sebagai tahanan rumah, harimurti memikirkan

nasib mas naryo dan gadis , tedengarlah kabar dari lantip bahwa mas naryo sudah tertangkap
dan di esekuisi mati di Boko, Prambanan , dan Gadis sudah tertangkap di dekat magelang
ditahan di Plantungan.
Setelah mendengar Gadis di tahan hari menceritakan tentang hubunganya dengan Gadis yang
sudah terlalu dalam ,sehingga Gadis hamil benih nya. Lantip menyusul ke Plantungan untuk
menemui gadis dan ke Wates tempat keluarga Gadis untuk mengabarkan keadaan Gadis.
Berkat Pakde Nugroho Gadis keluar dari tahanan dan menjadi tahanan rumah . akan tetapi
malangnya si gadis ketika Lantip dan keluarga mau menjemput Gadis, tenyata Gadis sudah
meninggal karena melahirkan lebih awal. Hari sangatlah sedih dengan kabar tersebut, tak
lama kemudian Lantip dan hari ke tempat simbah Sastrodarsono. Hari sekarang menjadi
tahanan kota yang boleh keluar dari rumah , Eyang Kakung ternyata sudah rapuh keadaanya
dan sudah gawat, kemudian Lantip menghubungi semua keluarga kalau Simbah sedang sakit,
kemudian simbah Sastrodarsono meninggal dunia. Mereka sudah merelakan kepergianya
Lantip sangat berterimakasih atas kebaikan simbah Sastodarsono bahkkan ia menjadi wakil
pidato terakhir untuk melepas kepergian simbah Sastodarsono.

Unsur Intrinsik Novel Para Priyayi


Tema

: Kebijaksanaan akan mendatangkan Kewibawaan

Fakta Cerita
Plot

: susunan dari artistik dari peristiwa yaitu Alur gabungan karena ceritanya maju

dan mundur
Plot awal

pengenalan ibukota kabupaten yang bernama Wanagalih

Plot Tengah Konflik-konflik yang terjadi dalam keluarga Sastrodarsono


Plot Akhir

berakhir dengan kebahagiaan

Penyelesaianya yaitu Open Plot (Alur Terbuka)


Tokoh dan Penokohan
Tokoh Utama

: Lantip (Wage) anak dari Soenandar dan Ngadiyem yang


berwatak bijaksana,cerdas dan mampu menyelesaikan
masalah yang ada.

Tokoh Tambahan Utama

: Sastrodarsono yaitu seorang anak tani yang nasib nya

sangat baik menjadikan ia priyayi


Tokoh Tambahan Tidak utama :
Ngaisah

: Istri dari sastrodarsono yang setia mendampingi

suaminya

ketika susah maupun senang


Ngadiyem

: Seorang wanita desa yang malang nasibnya di hamili


oleh soenandar, ia orang yang sabar menghadapi
masalahnya

Mbok Soemo

Noegroho

: Ibu dari ngadiyem

: Anak pertama yang menjadi tentara peta yang berwatak tegas

Hardojo

: Anak ke dua Sastrodarsono yang bekerja di Mangkunegara

Soemini

: Anak ke tiga Sastrodarsono yang berwatak manja dan keras

Susanti

: Istri Noegroho yang sangat menyayangi anaknya, apapun yang


diminta anaknya pasti ia penuhi

Sumarti

: Istri hardojo orang yang sederhana dan manis

Harjono

: Suami dari soemini yang menjadi kepala jawatan di

dalam negeri

kementrian

Tommi

: Anak ke tiga nugroho yang cuek orangnya

Marrie

: Anak noegroho yang manja

Toni

: Anak yang ingin berjuang pada negara akan tetapi gugur di


dalam perjuanganya

Haji mansoer

: Tetangga yang mengajari ngaji anak sastrodarsono

Harimurti

: Anak hardojo yang cerdas, peka akan tetapi mudah

terhasut,

dan mencintai kesenian


Pran

: Sepupu nunuk yang tidak mempunyai toleransi beragama

Ngadimi

: Keponakan soedarsono

Mas atmokasan

: Bapak dari sastrodarsono

Ndoro Seten

: orang yang baik mengantarkan sastrodarsono menjadi priyayi

Mas Martoatmojo : Baik perhatian


Nunuk

:calon istri hardojo yang tidak jadi menikah karena


perbedaan agama

Broto dinomo

: orangtua sumarti

Latar
Latar Tempat

: Wanagalih, Wanalawas, Solo, Yogyakarta, Wonogiri, Wates, Jakarta

Kotabaru, Plentungan, Maguwoharjo.


Latar Waktu

: Penjajahan belanda , penjajahan jepang awal kemerdekaan dan


pemberontakan PKI 1920-an sampai 1965. pagi, siang, sore, malam

Latar Lingkungan : Sosial Budaya Jawa contohnya seperti pewayangan yang

diceritakan

dalam novel ini, penulisanya dengan Bahasa Indonesia dan tentu


Bahasa Indonesia. Adat Jawa sangat dominan di novel Para Priyayi
karena latar nya juga di Jawa.
Sarana Cerita
Sudut Pandang

: Orang Pertama terlihat dari episode nya banyak oleh pengarang


diceritakan tokoh per episode, pengarang menjadi tokoh dalam
10 episode tersebut.

Gaya Bahasa

: Bahasa yang di pakai ada yang Bahasa Jawa karena latar tempatnya di
Jawa, sedikit kosa kata Bahasa Belanda , kosa kata Bahasa Jepang dan
Bahasa Indonesia terdapat dalam novel ini. Ada pula pemajasan antara

lain :

Majas Personifikasi : kodok-kodok disawah milai menyanyi memanggil sahutan kawankawanya


Majas Personifikasi : nama pena yang lebih berpihak kepada kaum petani
Majas Simile

: anak se kecil itu kamu enteng-enteng kemana-mana

Majas Perbandingan : rumah gebyok yang terlalu besar dan bagus dengan rumah yang
terbuat dari anyaman bambu

Judul

1. Kehidupan seorang Priyayi


Lapis adat Jawa
2. Menunjang alur kehidupan para Priyayi dengan Pribumi
3. Menunjang latar yang dominan di Wanagalih
Waktu abad 19
4. Penokohan yang bernama Lantip seorang pribumi yang dibesarkan dalam keluarga Priyayi
Ageng
5. Sosial budaya Jawa
6. Memprovokasi pembaca agar penasaran dengan judul Para Priyayi bagaimana isinya
7. Judul nya simbolis

Unsur Ekstrinsik
Sosial Budaya

: Banyak masalah yang dihadapi , dengan bijaksana menghadapinya


menceritakan mengenai sosial budaya jawa yang sangat mendalam.

Ekonomi

: Perekonomian yang awalnya hanya seorang petani menjadikan


seseorang priyayi yang berwibawa
Krisis bahan pangan karena Pemerintahan Jepang ( Nipong )

Agama

: Agama yang bertoleransi, dan setia pada Agamanya

Politik

Moral

: Walaupun orang yang sudah menjadi priyayi akan tetapi tetap

Adanya ancaman karena membuka Sekolah desa


menghargai orang yang dibawah

Tanggapan :
Novel ini sangat mengagumkan bagi pembacanya, pembaca diajak

untuk menyelami

keadaan yang terjadi dalam peristiwa adanya konflik-konflik yang begitu banyak seolah-olah
pembaca menjadi tokoh yang berperan di dalam Novel Para Priyayi ini, dihadapinya dengan
bijaksana diselesaikan dengan baik-baik tanpa merugikan orang lain.
Walaupun jadi Priyayi dalam novel ini Priyayi tersebut tidaklah sombong, tetap mengayomi
orang yang di bawah.

Jangan asal terpengaruh dengan yang dapat menjerumuskan dalam

sesuatu yang tidak baik


Jika ingin mencapai yang di inginkan haruslah berusaha. Nilai positif yang terkandung dalam
Novel Para Priyayi patut untuk dicontoh dalam kehidupan nyata. Bahasa yang digunakan
mudah dipahami

Anda mungkin juga menyukai