Anda di halaman 1dari 2

Nama : Mega Monalisa

Nim : F1011161074
Mata Kuliah : Membaca Sastra
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Chairil Effendy, M.s.

Membuat penilaian terhadap Novel yang berjudul Asmaraloka.

Danarto, penulis fiksi bergaya sufi, kembali menyajikan cerita yang unik, membuat
pembaca sesaat mengeryutkan dahi. Jalan cerita, tokoh, dan gaya bahasanya memang khas
sufistik. semua bisa dilakonkan, semua bisa berbicara seperti manusia. Menghantam logika
umum, dan itu memang perlu demi mengingatkan kembali bahwa selain manusia, makhluk pun
bisa berbicara. Sekaligus menegaskan, logika bukanlah satu-satunya jalan manusia memperoleh
pengetahuan. Hadir dengan Novel Asmaraloka. Entah mengapa judulnya harus Asmaraloka.
Sebab, Asmarolaka mengajak kita pada tema “ Asmara “ . Memang dalam novel ini terjadi
pergulatan Asmara. Perjuangan cinta Arum pada Suaminya, Busro, yang telah meninggal. Ada
Firdaus Muhammad, santri kecil, yang berjuang mencari jatidirinya. Fir, sebutan santri kecil ini,
harus turun ke medan laga, medan perang yang selayaknya tak dijamah anak kecil. Namun, garis
takdir harus berkata lain.
Asmaraloka ini bercerita tentang Arum yang mencari jazad suaminya yang dibawa malaikat
maut, yang membawanya hingga ke perang fatamorgana, yang mati tak lama setelah keduanya
menikah. Tragis, memang. Arum menguber-uber malaikat maut yang kemana-mana menenteng
tubuh suaminya. Apakah ia, Arum, mendapatkannya? Tidak, sampai cerita berakhir Arum tak
pernah membawa suaminya. Arum juga bertemu Fir (Firdaus Muhammad), seorang santri yang
terobsesi dengan perang dan Kyai Mahfudz pemilik pondok pesantren tempat Fir menimba ilmu.
Dikisahkan dalam perang fatamorgana ini bukan hanya tentara/serdadu saja yang berperang, tapi
juga pasukan setan dan malaikat yang ikut bertikai, yang pada akhirnya hanya sia-sia belaka.
Namun, Arum menemukan belahan hati lain, yakni anak kembarnya yang lahir di kancang
peperangan. Dan, itu lebih berharga daripada ia harus mengejar malaikat maut.
Fir, Santri baru menginjak masa balig itu pun sebenarnya jatuh cinta pada Arum yang bertaut
umur 10 tahun. Sayang, kebersamaan mereka hanya bumbu cerita, dan bukan itu sepertinya yang
ingin ditekan dalam novel ini. Fir, yang digadang menjadi penerus pesantrennya ternyata tidak
mau. Dia memilih ke medan perang yang konon lebih mengajarkan arti kehidupan. Fir Bertemu
Ibunya, Soba, yang telah diangkat menjadi ratu kalangan setan. Dan, Fir, diangkat menjadi anak
mahkota. Meski Awalnya ia menolak dan mengajak ibunya pulang ke kampung halaman. Akhir
cerita, Fir menyesal telah menuruti bujuk setan. Fir mempunyai ekor di pantatnya, pertanda dia
salah satu kalangan setan. Ia menangis sejadi-jadinya. Menyesal dan mati terkubur lumpur beras.
Novel ini mengambil tempat: dunia dan alam kedamaian. Mungkin sesuatu yang tak
lumrah. Danarto seakan pandai melirik dan mengangkat alam-alam menjadi latar cerita yang
menarik. Ia pun mahir menghadirkan gambaran-gambaran malaikat yang mengharuskan
pembaca berhenti sesuai porsi yang dituliskan dan diterima kalangan umum. Seperti dalam
cerpen-cerpennya, dalam novel ini pun Danarto menggunakan alur penceritaan yang cukup unik.
Tokoh-tokohnya tidak hanya manusia, tetapi juga malaikat, setan, angin, bahkan benda-benda
mati yang bisa bergerak dan berkomunikasi seperti dongeng. Juga tokoh-tokoh yang bersifat roh,
pikiran, gagasan, yang bisa membangun beragam aktivitas di luar ”kewajaran” dan logika.
Dengan yakin ia melenturkan fakta-fakta, bahkan menggabungkan realitas faktual dengan
realitas imajiner. Realitas dalam karya Danarto haruslah dipahami sebagai realitas yang berlapis-
lapis. Itu sebabnya, pembaca selalu dihadapkan pada multi-interpretasi. Jelas, novel ini tidak
hanya mengunggulkan cinta semata. Ada yang lain jadi sorotan Danarto, yakni perang. Perang
yang telah berlangsung beribu tahun, mungkin semenjak Adam dan Hawa memadu kasih. Dan,
ini mungkin amanat tersiratnya, manusia tidak pernah berhenti berperang dari waktu ke waktu,
ada saja pergulatan besar dengan dirinya sendiri, yaitu nafsu.
Bagi saya ketika saya membaca novel ini, saya sangat membutuhkan konsentrasi penuh agar
cerita yang ada dalam novel ini dapat saya pahami dan amanat yang ada dalam novel ini juga
dapat tersampaikan dengan jelas pada pemahaman saya. Harus betul-betul meluangkan waktu
untuk hanya membaca novel ini saja. Memang saya akui alur cerita dalam novel ini sangat
berbelit-belit sehingga jika kita tidak membacanya dengan penuh konsentrasi maka kita tidak
dapat memahami alur cerita ini dengan benar. Ya inilah sebuah karya sastra, memang berbelit
dan sulit dipahami. Akan tetapi, sebuah karya sastra selalu memberikan amanat untuk kita si
penikmat karya sastra.
Akhirnya setelah cukup lama terkatung-katung buku ini selesai juga saya baca. Meski
agak kecewa dengan endingnya yang menurut saya terlalu dipaksakan, karena sebagai akibatnya
endingnya dipenggal begitu saja, tidak jelas bagaimana nasib tokoh-tokoh selanjutnya. Baiklah
mungkin ini saja penilaian atau tanggapan saya terhadap novel asmaraloka. Selamat membaca
bagi anda yang baru ingin membacanya.

Anda mungkin juga menyukai