Anda di halaman 1dari 60

BAB II

STRUKTUR NOVEL HARIMAU! HARIMAU! KARYA MOCHTAR

LUBIS

2.1 Pengantar

Pada bab sebelumnya telah disinggung beberapa teori yang akan digunakan

dalam penelitian ini. Salah satu teori yang digunakan adalah teori struktural

Robert Stanton. Teori ini digunakan untuk mengetahui unsur-unsur apa saja yang

terdapat dalam sebuah teks sastra kemudian menemukan relasinya dalam

kaitannya untuk menemukan kesatuan yang utuh.

Dalam penelitian ini, analisis struktur novel Harimau! Harimau! meliputi

analisistema, alur, karakter, latar, sudut pandang, dan simbolisme. Hal ini karena

masing-masing unsur tersebut memiliki peran dalam kaitannya dengan

pemaknaan teks secara keseluruhan. Pada pembahasan di bawah ini, peneliti akan

menganalisis alur dari novel Harimau! Harimau! untuk memahami peristiwa

yang terjadi dalam novel.

2.2 Tema

Menurut Stanton (2007: 36) tema merupakan aspek cerita yang sejajar

dengan “makna” dalam pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan suatu

pengalaman begitu diingat. Novel Harimau! Harimau! mengangkat tema tentang

takhayul. Hal ini dapat dibuktikan pertama, adanya sosok dukun.Masyarakat

kampung dalam novel ini sangat percaya kepada ilmu sihir yang dimiliki oleh

134
dukun sehingga dukun menjadi sosok yang dihormati bahkan ditakuti.Jimat-jimat

dan mantera-mantera yang dibuat dukun dipercaya dapat melindungi dari

marabahaya dan dapat menyelesaikan perkara-perkara sulit.Contohnya adalah

ketujuh pendamar mempercayakan Wak Katok yang merupakan seorang dukun

untuk melindungi mereka den menjadi pemimpin dalam perjalanan di

hutan.Mereka juga sangat hormat dan takut kepada Wak Hitam, seorang dukun

yang dulunya guru dari Wak Katok.Dikisahkan bahwa mereka memiliki ilmu

yang hebat sehingga para pendamar tersebut hormat kepada mereka.

Wak Katok dihormati, disegani, dan malahan agak ditakuti,


karena termashurahli pencak, dan mahir sebagai dukun. (Lubis, 2013:
5)

Kedua, tema takhayul juga terlihat dari adanya unsur mitos dan mistis.Hal

tersebut dilihat dari suasana gaib yang timbul dalam novel ini.Diceritakan bahwa

karakter pendamar percaya bahwa harimau yang memburu mereka adalah harimau

siluman yang datang untuk menghukum dosa-dosa mereka.Hal tersebut

terpikirkan oleh pendamar karena mereka percaya bahwa harimau siluman itu ada.

2.3 Alur

Alur didefinisikan sebagai tulang punggung cerita. Sebuah cerita tidak akan

pernah seutuhnya dimengerti tanpa adanya pemahaman terhadap peristiwa-

peristiwa yang mempertautkan alur, hubungan kausalitas, dan

keberpengaruhannya (Stanton, terjemahan Sugihastuti, 2007: 28).

Dalam novel Harimau! Harimau!, peristiwa-peristiwa yang terjadi dibagi

menjadi tujuh bagian atau bab. Untuk mengetahui peristiwa-peristiwa yang


membangun cerita tersebut, maka urutan kejadian akan diuraikan sebagai berikut.

Pada Bab 1 novel Harimau! Harimau! menceritakan tentang perkenalan

kepada karakter-karakter utama dalam novel ini, yaitu tujuh pencari damar; Pak

Haji, Wak Katok, Sutan, Talib, Sanip, Buyung, dan Pak Balam. Perkenalan

karakter pada bab 1 bertujuan untuk memberikan pemahaman awal kepada

pembaca terhadap watak-watak karakter utama tadi. Pembaca diarahkan untuk

berpikir bahwa mereka semua adalah orang-orang baik di mata penduduk

kampung. Hal ini ditegaskan dalam paragraf-paragraf terakhir bab 1:

Mereka orang-orang wajar seperti sebagian terbesar orang di


kampung. Mereka baik dalam pergaulan, pergi sembahyang ke
mesjid, duduk mengobrol di kedai kopi seperti orang lain, mereka
ikut bekerja besama-sama ketika ada orang membangun rumah,
memperbaiki jalan-jalan, bandar atau pun menyelenggarakan
perhelatan. Mereka adalah ayah, suami, saudara dan kawan yang
baik. Mereka tertawa, mereka menangis, mereka mimpi, mereka
berharap, mereka marah, kesal, sedih seperti juga orang lain di
kampung. Mereka tak berbeda dari orang lain.
Mereka adalah manusia biasa.
Dan kini mereka bekerja di dalam hutan raya. Mencari nafkah
untuk keluarga. (Lubis, 2013:6)

Bab 2 menceritakan tentang perkenalan lebih lanjut tentang karakter ketujuh

pendamar. Pada bab ini, dijelaskan mengapa karakter-karakter tujuh pendamar

tadi merupakan orang-orang baik di kampungnya. Diceritakan bahwa Wak Katok

adalah dukun dan guru silat yang sangat dihormati oleh penduduk kampung. Wak

Katok juga memiliki senapan lantak kesayangannya sendiri dan mahir

menggunakannya untuk memburu. Buyung adalah murid silat dan sihir Wak

Katok yang paling muda (19 tahun) dan masih lugu. Kemahiran menembaknya

hampir menandingi Wak Katok. Ia jatuh cinta, atau lebih tepatnya memiliki obsesi

kepada Zaitun, seorang gadis muda yang cantik dari kampungnya. Namun cinta
Buyung tidak pernah dibalas oleh Zaitun. Sutan dikenal oleh Buyung sebagai

orang yang pandai bergaul dengan wanita dan pandai pula mencari uang. Sanip

adalah seorang yang lucu dan periang. Sedangkan Talib adalah seorang yang

pendiam, pesimis, namun pemberani. Anggota pendamar lain yang lebih tua ialah

Pak Haji. Ia suka bercerita tentang tentang pengalamannya waktu mengembara

dulu. Anggota terakhir adalah Pak Balam, namun dalam bab ini tidak ada

karakterisasi lebih lanjut mengenai karakter tersebut.

Bab 2 juga menceritakan tentang pekerjaan mereka selama dua minggu di

hutan. Mereka menginap di pondok dalam huma milik Wak Hitam, seorang dukun

tua yang misterius dan sangat ditakuti dan dihormati oleh orang-orang termasuk

para pendamar tersebut karena ilmu gaibnya. Wak Hitam memiliki istri muda dan

cantik bernama Siti Rubiyah. Ketujuh pendamar tersebut sangat suka kepada Siti

Rubiyah karena kecantikannya. Terkadang, mereka suka membicarakan hal-hal

vulgar tentang Siti Rubiyah ketika sedang tidak ada Wak Hitam. Hal ini terlihat

pada kutipan berikut:

Aduh, merah padam muka Buyung malu.Mereka pun tahu sudah


tentang cintanya yang tak berbalas terhadap Zaitun.Melihat muka
Buyung merah padam karena malu, maka mereka tertawa lebih hebat
lagi.
"Tapi sebelum dengan Zaitun, lebih baik kau belajar dulu dengan
Siti Rubiyah," kata Talib.
Dan mereka tertawa kembali.
Kemudian mereka beralih kembali membicarakan kemungkinan-
kemungkinan Siti Rubiyah di tempat tidur.Atau tak usah di tempat
tidur pun boleh tidur, seperti dikatakan oleh Sutan, yang
menimbulkan tertawa mereka yang hebat kembali.(Lubis, 2013:33)

Kisah dalam bab 2 berlanjut kepada peristiwa para pendamar diramal oleh

seorang juru ramal yang kebetulan berkunjung ke huma Wak Hitam. Mereka

diperingatkan tentang bahaya yang akan datang. Keesokan harinya, Wak Katok
yang didorong oleh hawa nafsunya meniduri Siti Rubiyah di dalam semak-semak

setelah ia memberi Siti Rubiyah manik-manik.

"Aduh, terkejut aku, kusangka beruang atau apa," serunya,


menjerit kecil.
Wak Katok tertawa menentramkannya.
"Aku kelupaan rokok di rumah, dan kembali mengambilnya.
Bagaimana Wak Hitam?" "Masih panas sekali badannya." "Siti, aku
bawakan Siti manik yang Siti minta dulu." "Aduh, Wak, ada?"
"Marilah," dan Wak Katok memegang tangan Siti dan menariknya
masuk ke dalam belukar. (Lubis, 2013:42-43)

Di hari berikutnya, Buyung dan Siti Rubiyah bertemu secara tidak sengaja

di sungai dan kemudian berbincang-bincang. Di sini, tumbuh hubungan emosional

antara Buyung dan Siti Rubiyah. Setelah itu, di hari yang sama Buyung bertemu

dengan Talib di hutan. Mereka melihat enam burung gagak terbang di atas mereka

dan menganggapnya sebagai pertanda sial.

Bab 3 terfokus pada perkembangan hubungan Buyung dan Siti Rubiyah. Di

tepi sungai, Siti Rubiyah menceritakan tentang kekejaman Wak Hitam kepadanya.

Pada peristiwa ini, diungkapkan oleh Siti Rubiyah bahwa gosip-gosip tentang

Wak Hitam yang suka menyiksa perempuan untuk memperpanjang umurnya

adalah benar. Buyung merasa iba dengan cerita Siti Rubiyah dan merasa kalau

dirinya harus menyelamatkannya dari Wak Hitam. Mereka terhanyut dalam

pelukan, dan hubungan intim terjadi tanpa terkendali.

Napas Buyung terasa sesak, dan mengencang. Belum pernah dia


merasa apa yang dirasanya ketika badannya menempel pada badan Siti
Rubiyah. Bunyi air sungai, pohon- pohon di sekelilingnya, bunyi-
bunyi hutan di waktu pagi, semuanya menghilang dari kesadarannya.
Dia hanya tahu dia memeluk seorang perempuan muda, seluruh
tubuhnya dipanasi oleh darahnya yang mengalir kencang dan kuat.
Dan perempuan muda yang telah berpengalaman itu menolong tangan
Buyung menemukan yang dicari-carinya dengan kekakuan kebujangan
letakinya, dan mendorong kepalanya ke bawah, dan membawa
mulutnya mencari-cari buah dada yang muda, yang mengeras di antara
kedua bibirnya, dan Buyung mengerang dan kemudian mereka
dihempaskan tinggi ke atas oleh ledakan yang besar yang memenuhi
seluruh tubuh mereka ....(Lubis, 2013:70)

Buyung kembali ke rombongannya, dan mereka bermalam di hutan hendak

pulang ke kampung mereka. Buyung merasakan konflik batin dalam dirinya.

Buyung tidak mengetahui apa yang dilakukannya terhadap Siti Rubiyah benar

atau salah, namun hatinya merasa yakin bahwa ia telah mengkhianati cintanya

kepada Zaitun. Di malam harinya, Buyung bermimpi meninggalkan Zaitun.

Konflik mulai muncul pada bab 4 setelah peristiwa Buyung dengan Siti

Rubiyah, yaitu dimulainya serangan harimau. Diceritakan bahwa harimau yang

menyerang mereka tersebut adalah seekor harimau tua yang sedang sangat

kelaparan. Mangsanya, seekor rusa jantan, mati ditembak oleh Buyung yang

sedang berburu bersama Wak Katok dan Sutan. Harimau mengikuti mereka

hingga malam. Pak Balam diterkam oleh Harimau itu, namun ia berhasil

diselamatkan oleh rombongan. Dalam ketakutannya, Pak Balam menceritakan

mimpi buruknya sebelum mereka berangkat ke hutan. Ia juga menceritakan

perbuatan dosanya bersama Wak Katok pada saat penjajahan Belanda. Dari sini,

kita bisa melihat karakterisasi lebih lanjut mengenai Pak Balam yang tidak ada di

bab 2. Sejak saat itu, Pak Balam menyuruh teman-temannya agar mengakui segala

dosa-dosanya dan bertobat, harimau tersebut adalah harimau utusan Tuhan untuk

menghukum mereka.

"Awaslah, harimau itu dikirim oleh Tuhan untuk menghukum kita


yang berdosa — awaslah harimau — dikirim Allah — awaslah
harimau -akuilah dosa-dosa kalian - akuilah dosa-dosa kalian." (Lubis,
2013:104)

Wak Katok kemudian merasa pengakuan dosa Pak Balam yang melibatkan

dirinya merendahkan kedudukannya sebagai pemimpin dalam rombongan. Lalu


Pak Haji meminta Wak Katok memeriksa apakah harimau yang menyerang

mereka adalah harimau siluman atau harimau biasa. Untuk membuktikan bahwa

Pak Balam salah dan mengembalikan respect kawan-kawannya terhadapnya, Wak

Katok akhirnya melakukan ritual dan membuktikan bahwa harimau itu hanya

harimau biasa, bukan harimau siluman. Kawan-kawannya lega mendengarnya.

Wak Katok kemudian merasakan bahwa kekuasaan kembali kepadanya.

Wak Katok pun merasa senang dengan putusannya.


Kini pimpinan direbutnya lebih tegas di tangannya. Ada saat ketika
Pak Balam bercerita, seakan anak-anak muda yang lain hendak
memindahkan hormat, segan dan pimpinan mereka ke tangan Pak Haji.
Akan tetapi kini, Wak Katok dapat melihat pada air muka mereka, juga
dalam cahaya mata Pak Haji, bahwa mereka semua berterimakasih
padanya atas ucapannya, dan sejak saat itu, mereka akan menerima
pimpinannya tanpa bertanya-tanya. (Lubis, 2013:113)

Namun pada bab 5, keesokan harinya harimau memangsa Talib. Talib

berhasil direbut, dan ia masih sempat mengakui dosanya mencuri kerbau di

kampung sebelum akhirnya ia meninggal dunia. Mereka akhirnya percaya pada

perkataan Pak Balam. Wak Katok menodong kawan-kawannya dengan senjatanya

untuk mengakui dosa mereka. Sanip yang tak kuat mentalnya akhirnya ikut

mengakui mencuri kerbau itu bersama Talib dan Sutan. Sutan marah kepada Sanip

karena telah membongkar dosa Sutan sendiri. Sanip mulai teringat kepada dosa-

dosanya sendiri, namun ia takut dan malu untuk mengakuinya.

Akan diceritakan semua ini? Akan tetapi jika diceritakannya, apa


lagi yang tinggal dari dirinya. Dia akan tinggal telanjang! Dirinya akan
kehilangan lapisan pelindungnya selama ini, yang membuat diri serupa
dengan orang lain. Kulit rahasia yang melapisi pribadi setiap
orangyang melindungi seseorang dari orang lain. Jika diceritakannya
semua, jika dilepaskannya lapis pelindungnya ini, maka dia akan tak
berdaya menghadapi orang lain. (Lubis, 2013:131-132)

Akhirnya berkat todongan senapan Wak Katok, Sanip mulai mengakui

semua dosa-dosanya. Hatinya merasa lega setelah melakukannya, namun teman-


temnnya yang lain masih tidak mau mengakui dosanya karena alasannya masing-

masing.

Pada bab 6, bercerita tentang perburuan harimau. Yang diburu memburu

sang pemburu. Esok paginya usai menyembahyangkan dan mengubur mayat

Talib, Buyung meminta rombongan untuk memburu harimau itu. Wak Katok

menyetujuinya dengan enggan. Akhirnya, Wak Katok, Sanip, dan Buyung pergi

untuk berburu harimau. Sedangkan Pak Haji, dan Sutan tinggal di pondok yang

mereka buat untuk menjaga Pak Balam. Dalam perburuan itu, Wak Katok

merasakan mentalnya teruji dan akan runtuh karena sebenarnya dalam hati

sebenarnya ia penakut. Namun Wak katok mencoba mempertahankan

keberaniannya dengan terus memegang senapannya.

Orang mengatakan dia tukang silat yang ulung, pemburu yang


mahir, dukun yang tinggi ilmunya, akan tetapi dalam hatinya dia
selalu merasa takut, sejak dahulu, sejak waktu mudanya. Apa yang
dilakukannya adalah untuk menyembunyikan ketakutannya. (Lubis,
2013:150)

Sejak bahaya mengancam, tak pernah dia melepaskan senapan


dari tangannya lagi, jika tak amat perlu sekali.Dia mendapatkan
sesuatu perasaan aman dari besi laras senapannya.Senapannya itulah
yang memberikan padanya kedudukan pimpinan dan kekuasaan
antara mereka kini.Tanpa senapannya dia tak punya arti.(Lubis,
2013:152-153)

Sementara itu, Pak Balam dalam keadaannya yang semakin melemah

menyuruh teman-temannya untuk mengakui dosa-dosanya. Hal itu membuat

Sutan teringat akan dosa-dosanya yang tidak mau dia akui.

Dalam hatinya Sutan sekali-sekali ingin melihat Pak Balam cepat


saja mati, supaya jangan lagi telinganya mendengar seruan-seruan Pak
Balam agar mereka mengakui dosadosanya.Jika igauan Pak Balam
sedang menjadi-jadi, maka Sutan menutup telinganya, membutakan
hati dan pikirannya.Dia merasa seakan dalam dirinya sesuatu meronta-
ronta merenggut-renggut minta dibukakan pintu.
Sutan tahu, bahwa dia tak boleh membuka pintu dalam hatinya
untuk yang merenggut-renggut dan meronta-ronta itu.Pintu harus
ditutupnya sekeras-kerasnya.
....
Dia tak hendak mengakui dosanya. Selama-lamanya tidak.
Mengingatnya saja pun dia tak mau, apalagi untuk mengakuinya
kepada orang lain. (Lubis, 2013:140)

Sutan yang memiliki banyak dosa marah dengan Pak Balam dan hendak

membunuhnya. Ia lalu berlari menyusul Wak Katok, Buyung, dan Sanip yang

sedang memburu harimau, tanpa menghiraukan panggilan Pak Haji.

Akhirnya, Sutan mati dimangsa oleh harimau. Ia tidak dapat diselamatkan

oleh kawan-kawannya.Esok paginya, Pak Balam meninggal dunia. Buyung,

didorong rasa amarahnya, ingin sekali lagi mencoba memburu harimau itu. Wak

Katok sebenarnya ingin menolak, namun demi menjaga kewibawaan dan

keberaniannya sebagai pemimpin, ia akhirnya setuju. Namun sebenarnya Wak

Katok memiliki rencana lain.

Pada bab terakhir, yaitu bab 7, menceritakan tentang matinya harimau.

Anggota pendamar yang tersisa –Pak Haji, Sanip, Buyung, dan Wak Katok–

memburu harimau kembali. Wak Katok yang memimpin jalan sengaja membuat

rombongan tersesat karena ingin menghindari bertemu harimau tersebut. Pak Haji

dapat melihat perubahan sikap dalam diri Wak Katok namun ia tidak ingin

membahasnya dengan kawan-kawan yang lain karena itu bukan urusannya. Pak

Haji telah kehilangan rasa percayanya kepada kebaikan manusia dan Tuhan akibat

pengembaraannya yang penuh pengalaman pahit. Kemudian, Buyung

menyelamatkan Pak Haji yang sedang melamun dari serangan ular berbisa. Hal itu

kemudian mengubah pandangan Pak Haji. Ia berterima kasih kepada Buyung.

Keegoisannya hilang dan kepercayaannya pada manusia datang kembali. Pak Haji
akhirnya mengakui dosa-dosanya.

Puncak atau klimaks dari konflik ini berada pada pertengahan bab 7. Cerita

dilanjutkan dengan terungkapnya sifat asli Wak Katok. Wak Katok sangat

ketakutan akibat serangan harimau dan tidak bisa menahannya lagi. Sanip marah

dan menyalahkan teror harimau tersebut kepada Wak Katok. Terjadi pertengkaran

antara Wak Katok melawan Buyung, Sanip, dan Pak Haji. Pak Haji tertembak

oleh Wak Katok, kemudian Wak katok pingsan karena dipukul kepalanya oleh

Sanip. Pak Haji memberi pesan terakhir kepada Sanip dan Buyung sebelum

akhirnya dia meninggal dunia.

“...Orang yang membenci tidak saja hendak merusak manusia


lain, tetapi pertama sekali merusak manusia dirinya sendiri... kasihani
Wak Katok ... Orang yang berkuasa, jika dihinggapi ketakutan, selalu
berbuat zalim... ingatlah hidup orang lain adalah hidup kalian juga ...
sebelum kalian membunuh harimau yang buas itu, bunuhlah lebih
dahulu harimau dalam hatimu sendiri ... mengertikah kalian...
percayalah pada Tuhan ... Tuhan ada... manusia perlu
bertuhan...Ashaduala ilaha Mallah, wa asyhadu amia
Muhammadarrosulullah ... ampuni dosa-dosaku, Ya Tuhanku ...
Engkau tak dapat hidup sendiri... cintailah manusia... bunuhlah
harimau dalam hatimu..." dan tiba-tiba kepalanya terkulai, dan
sesuatu seakan bergerak dalam dadanya, darah mengalir ke luar dari
mulutnya... Pak Haji pun telah meninggalkan mereka. (Lubis,
2013:199-200)

Kematian Pak Haji membuat Sanip dan Buyung marah kepada Wak Katok

dan berniat ingin menghukumnya. Pesan terakhir Pak Haji memberikan pengaruh

kepada mereka, terutama kepada Buyung karena pesan Pak Haji berpengaruh

kepada pilihan Buyung dalam bagaimana perlakuan sikapnya terhadap Wak

Katok nanti.

Resolusi atau penyelesaian masalah akhirnya dimulai.Esok paginya, setelah

menguburkan mayat Pak Haji, Buyung dan Sanip menjadikan Wak Katok sebagai
umpan harimau sekaligus untuk menghukumnya dengan cara mengikat tangan

dan badannya di bawah pohon di tempat yang agak terbuka. Harimau datang. Wak

Katok ketakutan sampai menangis dan terkencing-kencing. Buyung bisa saja

membiarkan sang harimau memakan Wak Katok terlebih dahulu baru ia

membunuhnya. Namun ia tidak melakukannya karena teringat pesan Pak Haji.

Dengan siap tanpa gemetar, Buyung menembakkan senapannya tepat di antara

mata harimau. Sang Harimau akhirnya mati. Buyung merasa saat membunuh

harimau itu ia juga membunuh ‘harimau’ dalam dirinya. Buyung dan Sanip

merasa lega dan. Buyung merasa setelah peristiwa beberapa hari ini

kepribadiannya menjadi lebih baik dan ia berniat ingin melamar Zaitun setelah

pulang ke kampung.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konflik yang terjadi

dalam novel Harimau! Harimau! adalah konflik eksternal dan konflik internal. Di

satu dimensi, yaitu dimensi eksternal, para karakter-karakter dalam novel

berusaha untuk bertahan hidup dari ancaman di luar dirinya. Pada karakter

rombongan pendamar, hal ini terlihat pada usaha mereka untuk selamat dari

kejaran harimau, sedangkan pada Siti Rubiyah terlihat bahwa ia tersiksa karena

dianiaya oleh Wak Hitam. Di dimensi lainnya, yaitu dimensi internal, para

pendamar mengalami refleksi diri dimana mereka diingatkan kembali dengan

dosa-dosa yang pernah mereka buat. Hal itu menjadikan nyawa mereka sebagai

taruhannya karena ancama harimau yang memburu mereka tanpa henti. Mereka

harus memilih antara nyawa atau ego mereka sehingga membawa kepada konflik

internal. Dari peristiwa tersebut akhirnya terungkaplah sifat asli serta kekuatan
mental dan nilai-nilai kebajikan yang dimiliki oleh mereka.

Selain itu, dilihat dari urutan alur dalam novel Harimau! Harimau! secara

keseluruhan pengarang menggunakan alur maju. Meskipun terdapat beberapa

bagian yang menceritakan latar belakang atau dosa-dosa yang pernah dilakukan

karakter seperti Pak Haji, Sanip, dan Sutan di masa lalu, hal itu tidak mengubah

alur menjadi mundur. Pengndalian alur ini berhubungan dengan penggunaan sudut

pandang yang akan dibahas nanti. Terlebih dahulu, peneliti akan membahas

tentang karakter dan latar dalam novel.

2.4 Karakter

Seperti yang telah dijelaskan oleh Stanton, karakter biasanya dipakai dalam

dua konteks. Konteks pertama, karakter merujuk pada individu-individu yang

muncul dalam cerita. Konteks kedua, karakter merujuk pada berbagai

percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari

individu-individu tersebut (terjemahan Sugihastuti, 2007:33). Merunut dari

kutipan tersebut karakter-karakter dalam novel Harimau! Harimau! terdiri dari:

Tujuh Pencari Damar (Pak Haji, Wak Katok, Buyung, Sutan Sanip, Talib, Pak

Balam), Wak Hitam, Siti Rubiyah, Zaitun, Peramal, enam orang berpakaian

hitam, Tukang Cerita, dan Orang Tua Buyung.Terkait dengan kebutuhan

penelitian ini, maka diambil beberapa karakter yang dianggap mewakili

keseluruhan isi teks. Karakter-karakter tersebut meliputi: Buyung sebagai karakter

utama protagonis, Wak Katok sebagai karakter utama antagonis, dan karakter-

karakter pendukung seperti Pak Haji, Sutan, Sanip, Talib, Pak Balam, Wak Hitam
dan Siti Rubiyah.

2.4.1 Buyung

Buyung adalah karakter utama protagonis dalam novel Harimau!

Harimau!. Ia adalah anggota termuda dalam kelompok pendamar tersebut.

Buyung berumur 19 tahun dan masih lajang. Ia pandai menembak dan merupakan

murid silat dan ilmu sihir dari Wak Katok.

Buyung bangga benar dengan kepandaiannya menembakkan


senapan lantak. Jarang benar dia meleset. Hampir selalu kena
sasarannya.
....
Wak Katok sendiri pernah memujinya, ketika dalam berburu babi
ramai-ramai dengan orang kampung.(Lubis, 2013:8)

Buyung jatuh cinta kepada Zaitun, seorang gadis cantik di kampungnya.

Namun, cintanya tidak pernah dibalas oleh Zaitun. Baginya jatuh cinta sepihak

saja belum cukup untuk mendapatkannya. Zaitun sendiri juga harus cinta

kepadanya dan memilihnya sebagai pendamping hidup. Sebagai murid sihir Wak

Katok, ia ingin sekali mendapatkan mantera yang bisa dipakai untuk mendapatkan

Zaitun.

Buyung dan kawan-kawannya selalu bermimpi akan diberi


pelajaran oleh Wak Katok ilmu sihir yang dahsyat. Dia terutama
sekali ingin dapat belajar mantera pemikat hati gadis. Dia telah jatuh
cinta benar pada si Zaitun, anak Wak Hamdani, Pak Lebai di
kampung, akan tetapi sang gadis seakan acuh tak acuh saja.
....
Buyung dan kawan-kawannya juga amat ingin mendapat ilmu
menghilang. Dia telah bermimpi tentang hal-hal yang dapat
dilakukannya, jika dapat ilmu demikian, alangkah mudahnya dia
mengintip Zaitun lagi tidur, atau lagi mandi ... darahnya berdebar
teringat pada kemungkinan ini, dan alangkah mudahnya dia menjadi
kaya jika dia punya ilmu serupa itu ....(Lubis, 2013:10)

Dari kutipan-kutipan di atas, kita bisa melihat bagaimana perasaan Buyung


terhadap Zaitun. Perasaannya cenderung lebih ke obsesi untuk memiliki Zaitun

daripada cinta secara tulus. Ia putus asa karena Zaitun tidak bisa didekati sampai-

sampai ia berpikir memerlukan bantuan ilmu sihir untuk mendapatkannya.

Buyung adalah orang yang naif. Ia menganggap dirinya telah dewasa

karena ia sudah berumur 19 tahun dan sudah khatam Al-Qur’an dua kali. Watak

naif Buyung didukung pula dengan pendapat orang tua dan kawan-kawannya.

"Entahlah si Buyung itu," kata ibu Buyung. Di mata ibunya, dia


masih tetap saja seorang anak kecil yang belum dewasa.
Sedang Buyung menganggap dirinya telah dewasa. Dia telah
berumur sembilan belas tahun, dia telah tamat sekolah rakyat, dia
telah tamat Qur'an sampai dua kali, dan dia pun sudah pandai
mencari nafkah sendiri. (Lubis, 2013:12)

"Memang Buyung mesti lekas kawin, supaya dia mengerti hidup


sedikit," kata Sanip.
Muka Buyung tambah merah, dan sekali ini Sutan melihat air
mukanya. Sutan tertawa lebih besar lagi dan menunjuk kepada
Buyung sambil berkata: "Lihat si Buyung. Merah mukanya. Engkau
masih perawan ya?" katanya menggangu. (Lubis, 2013:72-73)

Buyung menghadapi komplikasi dalam percintaannya dengan Zaitun.

Ketika menginap di huma Wak Hitam di hutan, Buyung bertemu dengan Siti

Rubiyah, istri muda Wak Hitam. Buyung kerap kali bernafsu kepada Siti Rubiyah.

"Engkau lihat bahagian atas buah dadanya, jika dia membungkuk


meniup kayu di tungku? Tadi pagi aku tolong dia memasang api," kata
Buyung. (Lubis, 2013:31)

Pada suatu hari, Buyung menjalin hubungan pertemanan dengan Siti

Rubiyah. Ia mengetahui bahwa Siti Rubiyah tidak bahagia menikah dengan Wak

Hitam dan berniat ingin membantunya pergi dari huma Wak Hitam untuk

membebaskan Siti Rubiyah dari penderitaanya. Di bawah pengaruh rasa empati

yang sangat dalam, mereka melakukan hubungan seksual yang terlarang tetapi hal

tersebut membawa konflik batin kepada Buyung. Di satu sisi, Buyung merasa
harus menolong Siti Rubiyah. Di sisi lain ia merasa hal itu adalah perbuatan dosa

karena Buyung baru saja berzinah dengannya. Buyung juga merasa mengkhianati

perasaannya kepada Zaitun. Buyung dihadapkan dengan pilihan sulit, entah ia

harus tetap setia pada Zaitun, atau membiarkan Siti Rubiyah berada dalam

kesusahan. Meskipun begitu, rasa kemanusiaanya yang lebih besar masih

mendorongnya untuk tetap menolong Siti Rubiyah.

Berdosakan dia? Ya, dia telah berdosa. Terang dalam pelajaran


agamanya mengatakan, bahwa apa yang telah dilakukannya adalah
dosa. Dia telah berzinah.Dosa besar, yang hukumannya adalah
neraka.Akan tetapi anehnya, dalam dirinya dia tak merasa terlalu
berdosa.
....
Perasaan tidak berdosanya diperkuat pula oleh cerita Siti Rubiyah
tentang kejahatan-kejahatan Wak Hitam.(Lubis, 2013:73-74)

Tiba-tiba dia teringat pada Zaitun. Ah, berat juga perasaannya.


Apa yang telah dilakukannya, tak dapat dibantahnya adalah
mengkhianati cintanya terhadap diri Zaitun.(Lubis, 2013:75)

Kemudian, harimau menyerang rombongan pendamar tersebut di hutan.

Selama itu, Buyung mengalami bermacam-macam peristiwa emosional. Teman-

temannya banyak yang mati diterkam harimau. Dosa-dosa teman-temannya pun

terbongkar satu persatu sehingga mengubah pandangannya terhadap teman-

temannya. Walau Bagaimanapun, Buyung enggan mengakui dosanya, yaitu

meniduri Siti Rubiyah. Lebih baik ia mati daripada mencoreng nama baiknya. Hal

ini terlihat pada kutipan berikut:

Dalam hatinya Buyung mengambil tekad tidak akan menceritakan


apa yang terjadi antara dirinya dengan Siti Rubiyah, biarlah dia mati,
ditembak oleh Wak Katok atau diterkam harimau sama saja.
Orang mati hanya sekali, pikirnya, tetapi noda yang tergores di
kening dibawa seumur hidup! (Lubis, 2013:134)

Buyung kemudian mengusulkan kepada rombongannya untuk diburu saja

harimau itu. Rasa kemanusiaan Buyung kembali terlihat ketika Pak Haji
menanyakan apa alasan Buyung ingin memburu harimau. Buyung menjawab:

"Untuk menuntut bela, karena harimau telah bersalah membunuh


kawan-kawan kita," jawab Buyung kemudian, "dan jika tak kita buru
kini, maka harimau akan datang ke kampung, menyerang ternak.
Akan habis lembu dan kambing, dan siapa tahu orang kampung pun
akan jadi korbannya.”
"Tetapi tidakkah itu menjadi urusan orang sekampung nanti?"
kata Pak Haji, "mengapa kita saja yang memikul tugas
membunuhnya?"
"Tak sampai ke sana pikiranku," kata Buyung, "menurut rasa
hatiku, di mana kita bertemu dengan yang jahat, dan hendak merusak
kita, atau merusak orang lain, merusak orang banyak, maka kita yang
paling dekat wajib melawannya. Masa harus kita tunggu dulu diri
kita yang kena bala maka baru kita bangkit melawannya? Masa kita
berdiam diri selama diri kita yang tak kena?" (Lubis, 2013:181-182)

Dialog tersebut memberikan kita informasi tentang bagaimana pola pikir

Buyung, yaitu ia tidak ingin orang lain merasakan kerugian yang mereka alami. Ia

rela berkorban demi kepentingan yang lebih besar. Dialog tersebut juga memberi

kita petunjuk tentang sumber moralitasnya, yaitu dari hatinya sendiri. Terlihat dari

diksi yang dipakai dalam kalimat Buyung, yaitu “menurut rasa hatiku”.

Ketika serangan harimau berikutnya, sifat asli Wak Katok terbongkar.

Buyung kehilangan rasa hormat kepada Wak Katok. Wak Katok mengakui bahwa

ia pernah berzinah dengan Siti Rubiyah. Buyung kaget mendengarnya. Akhirnya,

Buyung juga kehilangan rasa ibanya kepada Siti Rubiyah. Terlihat pada kutipan

berikut:

Buyung tak tahu apa yang dirasakannya. Rasa kecewa, bercampur


dengan rasa lega. Bukan dia sendiri ... akan tetapi entah bagaimana,
dia merasa seakan kehilangan sesuatu, sesuatu yang bersih ... (Lubis,
2013:193)

Dia tahu benar kini, mereka esok akan pulang ke kampung dan
tahu, dia tak akan kembali memenuhi janjinya pada Siti Rubiyah.
Apa yang terjadi antara Siti Rubiyah dengan dia adalah sebagai air
sungai yang telah mengalir jauh di belakang -telah tertutup, telah
habis - dia kini tahu bahwa hidup manusia tak semudah yang
disangkanya.(Lubis, 2013:211)
Kutipan di atas menyiratkan bahwa selama ini Buyung salah mengira

tentang Siti Rubiyah. Ternyata Siti Rubiyah tidak selemah yang ia kira. Buyung

merasa menyesal telah bertekad ingin menolongnya. Ia akhirnya menghapus

perasaannya kepada Siti Rubiyah dan melupakannya.

Pada peristiwa selanjutnya terlihat bahwa Buyung mengalami perubahan

kepercayaan. Ia akhirnya tidak percaya lagi dengan ilmu sihir. Hal itu disebabkan

karena terungkapnya watak asli Wak Katok sebagai dukun mereka yang ternyata

palsu. Pak Haji yang sekarat karena tertembak oleh Wak Katok memberikan pesan

terakhir kepada Buyung dan Sanip. Ia berpesan kepada mereka untuk memaafkan

kejahatan Wak Katok dan lebih percaya kepada Tuhan.

Wak Katok terdiam. Dia merasa takut, dan dirangsang oleh


ketakutannya, dia berbuat pura-pura lebih kuat dan lebih keramat
lagi.
....
...mereka (Buyung dan Sanip) ingat kata Pak Haji––percayalah
pada adanya Tuhan, dan Buyung membalas.
“Kami sudah tidak percaya lagi pada mantera dan jimat dan sihir
Wak Katok. Takhyul yang palsu saja.” (Lubis, 2013: 202-203)

Akhirnya, mereka mengumpankan Wak Katok kepada harimau yang

memburu merekauntuk menghukum Wak Katok sekaligus membunuh harimau

tersebut. Berikut adalah kutipan peristiwanya:

Sepanjang hari hatinya selalu bertanya-tanya, dan dia merasa


khawatir, apakah dia tidak akan ketakutan dan tak kuasa membidik,
tangannya dan seluruh badannya akan gemetar jika melihat harimau.
Akan tetapi kini dia merasa seluruh badan dan pikirannya tenang.
....
Kemudian melintas dalam kepalanya, dia dapat juga membiarkan
hariamau menerkam Wak Katok dahulu, biarlah Wak Katok dibunuh
harimau, dan kemudian baru dia menembak ... Hatinya tertarik pada
pikiran ini ... tetapi dia seakan mendengar bisikan Pak Haji -
bunuhlah dahulu harimau dalam hatimu sendiri ... Buyung membidik
hati-hati, memberatkan jari telunjuknya pada pelatuk senapan,
menunggu ... dan ketika harimau membuka mulutnya mengaum yang
dahsyat berkumandang bergelombang di dalam hutan, bercampur
dengan pekik erang sang harimau, dan mereka melihat seakan
harimau ditahan oleh sebuah tangan raksasa yang maha kuat di udara,
dan harimau terhempas di tanah satu meter dari tempatnya melompat,
meronta-ronta sebentar di tanah, dan kemudian diam, mati
terbujur.(Lubis, 2013:209)

Dari adegan di atas, dapat disimpulkan bahwa akhirnya Buyung mengalami

perubahan sikap yang tadinya goyah dan lemah menjadi kuat dan teguh. Ia

mengampuni Wak Katok dengan menembak harimau tersebut sebelum

menerkamnya.Maka dari itu, Buyung juga memiliki sifat pemaaf.

Ia juga akhirnya belajar untuk mencintai manusia dengan setulus hati dan

hendak melamar Zaitun. Terlihat pada kutipan berikut:

Untuk membina kemanusiaan perlulah mencinta, orang sendiri tak


dapat hidup sebagai manusia... ya, dia akan mencintai manusia, dia
akan mulai mencintai Zaitun ... dia akan belajar dan berusaha jadi
manusia yang hidup dengan manusia lain ....
Buyung tersenyum, dan berpaling pada Sanip, dan berkata :
"Sanip, ada yang aku sayangkan kita membuang jimat-jimat Wak
Katok ke dalam api."
"Mengapa?" tanya Sanip heran.
"Karena di antara batu-batu jimat itu, ada sebuah batu yang
sebenarnya baik dibuat cincin, diikat dengan suasa, warnanya merah
hati ayam, bagus sekali kalau digosok."
Sanip tertawa:
"Jika engkau ingin batu cincin, esok kita cari di
sungai..." (Lubis, 2013:212)

Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa Buyung adalah orang yang baik

dan suka menolong sesama manusia. Dia tetap menolong orang lain, walaupun

membahayakan keselamatannya dan membuatnya berdosa. Karena peristiwa teror

harimau tersebut Buyung mengalami perubahan-perubahan sikap yang

membawanya menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Ia berubah dari

orang yang percaya takhayul menjadi percaya pada Tuhan. Dari pemuda yang

bernafsu melihat perempuan menjadi orang yang bisa mencintai perempuan

dengan tulus. Buyung sempat berpikir untuk membiarkan Wak Katok mati
diterkam harimau, ia ingat untuk menjadi seorang yang pemaaf dan membunuh

harimau sebelum menerkam Wak Katok. Dengan demikian, Buyung

mencerminkan seorang melalui proses pendewasaan. Seseorang yang dulunya naif

berubah menjadi orang yang berkepribadian lebih bijaksana.

2.4.2 Wak Katok

Wak Katok merupakan tokoh utama antagonis. Wak Katok berumur lima

puluh tahun. Ia digambarkan memiliki perawakan yang kukuh dan keras,

rambutnya masih hitam, kumisnya panjang dan lebat, otot-otot tangan dan

kakinya bergumpalan. Pada masa penjajahan Belanda dahulu bersama Pak Balam,

ia pernah membunuh seorang prajurit bernama Sarip, seorang kawanya sendiri

yang terluka parah akibat tembakan tentara Belanda. Wak Katok membunuh Sarip

agar ia tidak memperlambat Wak Katok dan Pak Balam untuk kabur dari kejaran

tentara Belanda.

Wak Katok dianggap ahli pencak silat dan dukun besar oleh masyarakat

kampung dan kawan-kawan pendamarnya. Karena keahliannya tersebut, orang-

orang hormat kepadanya dan memandangnya sebagai pemimpin. Wak Katok juga

adalah orang yang pandai berburu, membuat mantra, dan jimat. Hal tersebut

dijelaskan dalam novel ini melalui penjelasan cerita orang-orang kampung tentang

kehebatannya:

Karena menurut cerita orang di kampung, tak seorang juga yang


dapat menandingi Wak Katok perkara menembak dan berburu.
(Lubis, 2013: 8)

Menurut cerita orang, jika bersilat, Wak Katok dapat membunuh


lawannya, tanpa tangan, kaki atau pisau mengenai lawannya. Cukup
dengan gerak tangan atau kaki saja yang ditujukan ke arah kepala,
perut atau ulu hati lawan, dan lawannya pasti akan jatuh, mati
terhampar di tanah. Sebagai dukun dia terkenal ke kampung lain. Dia
pandai mengobati penyakit biasa, akan tetapi juga dapat mengobati
perempuan atau lelaki yang kena guna-guna; dia punya ilmu yang
dapat membuat seseorang sakit perut sampai mati, dia pandai
membuat jimat yang ampuh... (Lubis, 2013:9)

Dan tentang ilmu sihirnya.... orang hanya berani berbisik-bisik


saja tentang ini. Kata orang dia dapat bertemu dengan hantu dan jin.
(Lubis, 2013:5)

Dilihat dari kutipan-kutipan paragraf di atas, terlihat bahwa kehebatan-

kehebatan Wak Katok diceritakan menurut perspektif orang lain. Terlihat di setiap

awal paragraf terdapat frasa “menurut cerita orang” dan “kata orang”. Di bagian-

bagian lain novel yang juga menceritakan tentang ilmu-ilmu gaib Wak Katok,

narator menggunakan frasa “diceritakan” atau “menurut cerita”. Karena itu pada

bagian ini, kemampuan dan kehebatan Wak Katok tersebut belum terbukti

kebenarannya. Pembaca belum dapat mengetahui hal-hal tersebut benar atau cuma

tipu dayanya saja.

“Kemampuan” dan “kehebatan” Wak Katok di mata orang kampung

membuat Wak Katok menjadi orang yang angkuh dan gila hormat.

Keangkuhannya digunakan untuk menutupi kelemahan dan sifat aslinya.

Seraya cerita berjalan, sifat-sifat asli Wak Katok mulai diungkapkan kepada

pembaca. Salah satunya ialah bahwa Wak Katok adalah orang yang mudah

mengikuti hawa nafsunya. Hal itu dapat dilihat pada peristiwa di bab 2 novel.

Wak Katok mengintip Siti Rubiyah, istri Wak Hitam, sedang mandi di sungai. Ia

bernafsu ketika melihat tubuh Siti Rubiyah yang telanjang.Setelah itu, dengan

tidak diketahui kawan-kawannya ia berzinah dengan Siti Rubiyah di dalam

semak-semak. Wak Katok membayar Siti Rubiah dengan manik agar ia bisa
berhubungan seks dengannya.

"Aduh, terkejut aku, kusangka beruang atau apa," serunya,


menjerit kecil.
Wak Katok tertawa menentramkannya.
"Aku kelupaan rokok di rumah, dan kembali mengambilnya.
Bagaimana Wak Hitam?" "Masih panas sekali badannya." "Siti, aku
bawakan Siti manik yang Siti minta dulu." "Aduh, Wak, ada?"
"Marilah," dan Wak Katok memegang tangan Siti dan menariknya
masuk ke dalam belukar. (Lubis, 2013:42-43)

Ketika Pak Balam diterkam harimau, Pak Balam mulai mengakui dosa-dosa

yang pernah dilakukannya bersama Wak Katok ketika masa perang melawan

Belanda. Dosa Wak Katok dijelskan melalui cerita Pak Balam. Berikut adalah

kutipannya:

Bagaimana Sarip, tanyaku, dan Wak Katok menjawab 'serahkan


padaku.' Aku tak berpikir panjang lagi, dan ketika Wak Katok berkata,
'pergilah engkau dahulu, aku segera menyusul maka aku pun terus
berangkat, tanpa kembali lagi melihat Sarip di dalam pondok.
Tak lama kemudian Wak Katok menyusul aku dan kami berangkat
ke tempat persembunyian. Aku tak pernah menanyakan kepada Wak
Katok apa yang terjadi dengan Sarip. Aku tahu apa yang terjadi. Wak
Katok kembali ke pondok dan membunuh mati Sarip dan melemparkan
Sarip ke dalam sumur.Ini aku ketahui kemudian, setelah
pemberontakan dikalahkan oleh Belanda.Tetapi aku tak pernah
membicarakannya dengan Wak Katok.Sejak hari itu hingga saat ini,
barulah kini aku menceritakan hal ini. (Lubis, 2013:100-101)

Namun Wak Katok enggan mengakui dosa-dosanya yang lainnya yang ia

sembunyikan. Teror harimau terus berlanjut hingga jatuh korban-korban lainnya

dari anggota pendamar. Disini, ketakutan Wak Katok mulai terlihat. Ia merasa

dalam hatinya ketakutan yang amat sangat. Untuk menguatkan dirinya dari

ketakutannya tersebut, ia terus menerus memegang senjata lantaknya. Hal ini

terlihat pada kutipan berikut:

Sejak bahaya mengancam, tak pernah dia melepaskan senapan


dari tangannya lagi, jika tak amat perlu sekali.Dia mendapatkan
sesuatu perasaan aman dari besi laras senapannya.Senapannya itulah
yang memberikan padanya kedudukan pimpinan dan kekuasaan
antara mereka kini.Tanpa senapannya dia tak punya arti.(Lubis,
2013:152-153)

Pada kutipan di atas, kita bisa melihat bagaimana kekuatan seseorang

sebenarnya hanya bisa diukur dari posesinya saja. Wak Katok hanya memiliki

senapan itu untuk melindungi diri dari harimau dan menetapkan statusnya sebagai

pemimpin. Karena itu, Wak Katok merasa tidak memiliki arti jika tidak punya

senapan itu.

Ketakutan Wak Katok sendiri yaitu ia takut jika kelemahan-kelemahannya

yang terbongkar akan membuat kawan-kawannya mengetahui bahwa ia

sebenarnya penakut, yang mengakibatkan hilangnya rasa hormat orang-orang

kampung, termasuk kawan-kawannya. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya

bahwa Wak Katok adalah orang yang gila hormat. Maka dari itu, ketakutan

terbesarnya adalah kehilangan rasa hormat itu. Hal ini dijelaskan pada kutipan

berikut:

Beberapa kali hatinya berdebar-debar amat kerasnya mendengar


bunyi berkeresekan di antara belukar gelap di luar cahaya api
unggun, dan timbul hasratnya untuk membangunkan Pak Haji, atau
Buyung, atau membangunkan mereka semua. Akan tetapi ditahannya
dirinya. Takut dia akan merasa malu, mereka akan tahu, bahwa dia
merasa takut. Karena bukankah dia adalah Wak Katok, orang yang
paling berani di kampungnya, yang tidak takut pada setan, jin atau
iblis, seorang dukun yang amat tinggi ilmunya, yang dapat mengobati
segala penyakit, yang dapat memanggil angin dan hujan,
menundukkan api, menundukkan racun dan guna-guna, seorang
pemburu yang merajai semua rimba, guru silat yang tak ada
tandingannya? (Lubis, 2013:162)

Berkali-kali citranya sebagai pemimpin yang sakti dan pemberani hampir

runtuh karena sebenarnya ia adalah orang yang penakut. Namun pada akhirnya

Wak Katok dengan sendirinya memperlihatkan jati dirinya yang sebenarnya.

Secara ironis, kelemahannya tersebut akhirnya terbongkar ketika harimau hendak


menyerang untuk yang keempat kalinya. Wak Katok punya kesempatan untuk

membunuh harimau itu namun tidak bisa karena mesiu senjatanya basah.

Meskipun akhirnya harimau berhasil diusir oleh kawan-kawannya, Wak Katok

yang terlanjur sangat ketakutan menjatuhkan senjatanya dan lalu menjatuhkan

dirinya sendiri, ia meringkuk ketakutan.

Alangkah terperanjatnya mereka melihat senapan terlempar ke


tanah dan Wak Katok menggulungkan badannya di dalam pondok,
seakan seorang yang ingin menyembunyikan dirinya ke dalam perut
bumi, jauh dari segala ancaman dan bahaya di atas dunia.
Dalam sekejap mata, Buyung, Sanip dan Pak Haji insyaf, bahwa
Wak Katok amat ketakutan.
Sanip tiba-tiba melompat dan menarik Wak Katok berdiri, dan
menyerangnya. Suara Sanip penuh amarah, benci.
"Inikah Wak Katok yang gagah perkasa itu, guru paling besar,
dukun paling besar, guru silat yang paling pandai, pemimpin yang
paling besar. Mengapa Wak Katok kini hendak bersembunyi ke
dalam tanah? Engkau guru palsu. Lihat ini ..." Dia membuka ikatan
jimat-jimat di pinggangnya, dan dilemparkannya ke tanah. "Jimat-
jimatmu palsu, mantera- manteramu palsu. Inilah jimat-jimat yang
dipakai juga oleh Pak Balam, oleh Talib, oleh Sutan, lihatlah, di
mana mereka kini, karena mempercayai engkau... mereka telah mati,
telah binasa.”(Lubis, 2013:191-192)

Lewat peristiwa ini, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya Wak Katok

tidak mempunyai ilmu sihir seperti yang orang-orang katakan. Buktinya adalah

jimat-jimatnya tidak mempan melindungi kawan-kawannya. Itu hanyalah tipu

daya Wak katok sendiri. Ia bahkan takut ketika dihadapkan dengan sang harimau.

Buyung dan Sanip yang marah kepada Wak Katok mengumpan dia kepada

harimau dengan maksud untuk membunuh harimau tersebut dan menghukum

Wak Katok atas kejahatannya. Sifat asli Wak Katok semakin terlihat pada kutipan

di bawah ketika ia terikat pada batang pohon menunggu sang harimau datang

kepadanya.

Wak Katok tak lagi dapat menahan dirinya, dan berteriak sekeras-
kerasnya, teriak manusia yang dicekik kengerian dan ketakutan hati,
teriak manusia primitip ketika melihat maut hendak datang hinggap
di bahunya.
"Buyuuuuuuuuung dimana engkauuuuuuuuu???? Aduuuuuuuuuh,
tolooooooong!!!! Tolooooooooooong!!! Kalian tinggalkan aku
sendiriiiiiiiii! Bohong kalian, kalian lari meninggalkan akuuuuuuuu!
Buyuuuuuuuung!!! Toloooooooooong!!"
Lama dia berteriak dan menjerit demikian, hingga suaranya serak,
dan setelah dia letih berteriak, maka dia menangis terisak-isak, dan
lalu menjanjikan uang, sawah dan rumah kepada Buyung dan Sanip,
dan ketika ini juga tak berhasil, lalu dia mencoba mengadu Sanip
melawan Buyung, menjanjikan Sanip uang, ilmu, harta, asal Sanip
mau melepaskannya. (Lubis, 2013:207)

Dari uraian tentang karakter Wak Katok, dapat disimpulkan bahwa Wak

Katok adalah sosok pemimpin yang lemah, tidak bisa melindungi orang-orang

disekitarnya dan tidak bertanggung jawab, yang memakai nama besar dan

keagungannya untuk kepentingannya sendiri. Ia dapat melakukan apa saja untuk

membuat orang-orang hormat kepadanya. Wak Katok memiliki watak penakut,

licik, dan bermuka dua.

2.4.3 Pak Haji Rakhmad

Pak Haji Rakhmad atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pak Haji

digambarkan sebagai seorang tua berumur 60 tahun namun badannya masih sehat

dan kuat untuk bekerja. Ia adalah salah seorang anggota pendamar.Diceritakan

bahwa ia suka bercerita-cerita tentang masa pengembaraanya ke luar negeri

kepada teman-teman pendamarnya. Latar belakang Pak Haji adalah seorang yang

pernah mengembara jauh ke berbagai tempat. Sejak usianya 19 tahun, Pak Haji

telah mengembara ke berbagai negara sepertiIndia, Jepang, Cina, Afrika, dan

Arab. Ia juga pernah menjadi pekerja di kapal, anggota sirkus keliling Cina, dan

asisten seorang pesulap dari Afghanistan. Pengembaraanya berujung pada


dilaksanakannya ibadah haji di Mekkah. Tidak dijelaskan dalam cerita alasan

mengapa Pak Haji melakukan pengembaraan tersebut. Namun dapat dilihat bahwa

meskipun Pak Haji telah mengembara, ia tetap memilih kembali ke kampungnya

dan menjadi pendamar. Ini dikarenakan Pak Haji memiliki rasa apresiasi yang

besar terhadap hutan di tempat asalnya.

Pak Haji juga adalah seorang yang dihormati di kampung karena umurnya

dan hajinya. Namun sejak Pak Haji pulang dari pengembaraanya, ia mengucilkan

diri dari masyarakat kampungnya. Pak Haji juga tidak suka mencampuri urusan

orang lain dan meskipun ia memiliki gelar ‘haji’, ia tidak percaya kepada Tuhan

dan kebaikan manusia. Karakter Pak Haji tersebut dipengaruhi oleh latar

belakangnya yang dulu pernah mengembara. Dari pengembaraan Pak Haji,

iabanyak menemui pengalaman-pengalaman pahit. Dalam pengembaraanya ia

telah ditipu, ditindas, dan dihina sehingga ia kehilangan kepercayaan kepada

kebaikan manusia.

Selama umurnya yang telah enam puluh tahun, dari berbagai


pengalamannya yang pahit-pahit, dia sejak lama telah mengambil
kesimpulan untuk tidak hendak mencampuri urusan orang lain.
Dia tidak percaya adanya manusia yang berjuang dan memikirkan
dan malahan sampai memberikan jiwanya untuk kepentingan umum
yang lebih besar, untuk kebahagiaan manusia-manusia lain yang
lebih banyak.(Lubis, 2013:171)

Dalam pengembaraanya juga, Pak Haji pernah memiliki seorang istri dan

seorang anak perempuan yang masih kecil. Namun, istri dan anaknya tersebut

meninggal karena penyakit sehingga menyebabkan Pak Haji kehilangan

kepercayaan kepada Tuhan.

Dalam putus asanya dia mendoa kepada Tuhan supaya Tuhan


menolong anaknya — hanya Engkau saja lagi yang tinggal, yang
dapat menolong anak hamba, serunya dalam hatinya. Akan tetapi
esok harinya anaknya mati. Sejak itu kepercayaannya kepada Tuhan
tergoncang sekali. Dan ketika enam bulan kemudian istrinya
meninggal pula akibat sakit disentri, maka dia pun meneruskan
pengembaraannya. (Lubis, 2013:173)

Berkali-kali dia mengalami yang serupa itu sejak waktu mudanya.


Bukan saja dia telah kehilangan kepercayaannya terhadap sesama
manusia, akan tetapi kepercayaannya terhadap Tuhan pun sebenarnya
telah hilang dari hatinya. Dia memang telah naik haji, telah
menunaikan rukun Islam yang kelima. Dia memang berpuasa dan
bersembahyang, akan tetapi semua ini dilakukannya supaya dia
jangan kelihatan berbeda dengan orang lain. Dia melakukannya
karena hal ini perlu dilakukannya untuk dapat hidup damai dengan
orang lain di kampung. (Lubis, 2013:171)

Berdasarkan latar belakang Pak Haji tersebut, karakter Pak Haji yang tidak

percaya kepada kebaikan manusia dan Tuhan menunjukan karakter Pak Haji

sebagai seorang yang munafik. Hajinya hanya sebatas namanya saja. Ia

melaksanakan kewajiban-kewajiban agama hanya untuk menghidupi namanya

yang sudah dikenal oleh masyarakat kampung, yaitu sebagai haji.

Namun akhirnya terjadilah peristiwa yang mengubah pandangan Pak Haji.

Buyung menyelamatkan Pak Haji dari serangan seekor ular berbisa. Pak Haji

heran dengan perlakuan Buyung tersebut.

Untuk pertama kalinya Pak Haji merasakan sesuatu yang ganjil di


dalam hidupnya. Ada orang yang telah menolongnya. Malahan telah
menyelamatkan jiwanya. Dan orang itu tidak meminta sesuatu dari
dia. Pertolongan diberikan padanya tanpa diminta dan dengan cepat
sekali, tanpa memperhitungkan bahaya terhadap dirinya sendiri.
(Lubis, 2013:179-180)

Peristiwa ini menjadi titik balik bagi Pak Haji untuk melakukan rangkaian

tindakan kebaikan. Pada akhirnya, dipicu oleh todongan senjata dari Wak Katok,

Pak Haji mengakui dosa-dosa yang telah ia perbuat.

“Aku sudah menipu, aku sudah berzinah, aku sudah merampok,


aku sudah berdusta, aku sudah membunuh, aku sudah mendengki,
aku sudah khianat, dan aku pun sudah ditipu, sudah dirampok, sudah
didustai, sudah didengki, sudah dikhianati orang. Di dunia ini dosa-
dosa yang telah aku lakukan dan yang dilakukan orang terhadap
diriku telah bayar-membayar.Karena itu aku menyendiri, karena itu
aku tak hendak mencampuri soal orang lain, orang banyak, orang
sekampung, karena itu aku ingin dibiarkan hidup sendiri saja, jangan
diganggu karena aku sudah kehilangan kepercayaanku pada manusia.
Orang hanya dapat hidup untuk dirinya sendiri saja, itulah
kepercayaanku selama ini. Nah itulah supaya Wak Katok tahu, dan
jangan aku diganggu lagi." (Lubis, 2013:188-189)

Pada dialog Pak Haji ini, akhirnya semua telah jelas terungkap. Pak Haji

sebenarnya trauma dengan masa lalunya. Ia tidak ingin lagi merasakan

penderitaan akibat berinteraksi dengan manusia lagi. Disini kita juga bisa melihat

tindakan nyata Pak Haji yang telah mengalami perubahan sikap. Ia yang tadinya

enggan mencampuri urusan orang akhirnya menjadi orang yang ingin

membantu.Namun, meskipun ia telah mengakui dosanya, Pak Haji tetap

meninggal karena tertembak senjata Wak Katok. Pak Haji pun menyampaikan

pesan terakhirnya pada Buyung dan Sanip. Pak Haji berpesan tentang pentingnya

menjalin hubungan berlandaskan cinta kasih dengan manusia lain, memaafkan

kesalahan-kesalahan manusia karena manusia memang tidak sempurna, dan

percaya kepada Tuhan. Berikut adalah kutipannya:

"Kalian masih muda, ambillah pelajaran dari apa yang terjadi...


aku pun kini sadar ... kita tak hidup sendiri di dunia ... manusia
sendiri-sendiri tak dapat hidup sempurna, dan tak mungkin hidup
sebagai manusia, tak mungkin lengkap manusianya. Manusia yang
mau hidup sendiri tak mungkin mengembangkan
kemanusiaannya.Manusia perlu manusia lain.”
....
“...Wak Katok jangan dibenci. Maafkan dia. Ampuni dia. Kita
harus selalu bersedia mengampuni dan memaafkan kesalahan dan
dosa-dosa orang lain. Juga kita harus selalu memaafkan dan
mengampuni orang-orang yang berdosa terhadap diri kita sendiri ...
Ingatlah ucapan Bismillahhirrokhmanirrokhiim... Tuhan adalah yang
Maha Pemurah dan Pengampun. Di sinilah kunci kemanusiaannya
manusia yang diturunkan Tuhan kepada manusia.”
....
“...percayalah pada Tuhan ... Tuhan ada... manusia perlu
bertuhan...Ashaduala ilaha Mallah, wa asyhadu amia
Muhammadarrosulullah ... ampuni dosa-dosaku, Ya Tuhanku ...
Engkau tak dapat hidup sendiri... cintailah manusia... bunuhlah
harimau dalam hatimu..." dan tiba-tiba kepalanya terkulai, dan
sesuatu seakan bergerak dalam dadanya, darah mengalir ke luar dari
mulutnya... Pak Haji pun telah meninggalkan mereka.
(Lubis, 2013:198-200)

Uraian mengenai karakter Pak Haji menunjukan bahwa individu tersebut

merupakan seorang yang agamistetapi tindakan dan wataknya tidak sesuai dengan

gelarnya. Namun Pak Haji juga orang yang dapat mengambil pelajaran hidup dari

peristiwa yang dialaminya. Hal itu terlihat pada perubahan sifat yang terjadi pada

Pak Haji ketika ia ditolong Buyung, dan kemudian ia membalas budi dengan

menolong Buyung balik dan bertobat serta menyampaikan pelajaran yang

didapatnya kepada Buyung dan Sanip. Kepercayaannya kepada kebaikan manusia

dan kepercayaanya kepada Tuhan akhirnya kembali. Pak Haji telah berubah dari

orang yang egois menjadi orang yang peduli.

2.4.4 Sanip

Sanip berumur dua puluh luma tahun dan sudah mempunyai istri dan anak.

Sanip dideksripsikan sebagai seorang yang periang dan tubuhnya gendut. Ia

senang bermain musik dan melawak. Hal itu dilakukannya untuk menghibur hati

kawan-kawannya.

Sanip penggembira sekali. Sanip selalu membawa sebuah dangung-


dangung dalam saku bajunya. (Lubis, 2013:16)

Sanip juga seorang pelawak. Jika timbul hatinya hendak bergembira,


maka dangung-dangung disuruh menyanyi gembira, dan ia pun akan ikut
menyanyi dengan suaranya yang agak serak, dan dia akan berdiri dan
menari, sehingga anak-anak muda yang lain tak dapat menahan diri, ikut
berdiri, menari dan menyanyi. (Lubis, 2013:17)

Sanip juga dideskripsikan sebagai orang yang optimis. Disaat keadaan


sedang tidak mengenakan, atau kawan-kawannya sedang muram hati, ia selalu

berkata hal-hal baik.

Kalau umpamanya mereka sedang menempuh hutan, dan turun hujan


yang lebat, hingga jalan menjadi licin dan badan mereka basah kuyup,
maka Sanip dengan gembira akan berseru "... jangan susah hati, habis
hujan datanglah terang!" (Lubis, 2013:17)

Namun, di bawah semua kelebihan itu, Sanip ia memiliki mental yang

lemah. Harimau menyerang Pak Balam, Pak balam mengatakan bahwa harimau

itu dikirim oleh Tuhan untuk menghukum dosa-dosa mereka. Sanip telah

tersugesti oleh kata-kata Pak Balam. Lalu ketika Talib mati diterkam harimau,

Sanip yang telah tersugesti dan ditodong oleh senjata Wak Katok akhirnya tidak

bisa menahan diri dan segera mengakui dosa-dosanya.Namun ia segera

mendapatkan kepuasan batin dari melakukannya. Hatinya lega karena ia sudah

mengakui dosanya.

Daya Sanip menguasai dirinya patah di bawah ancaman Wak Katok.


Dia lalu bercerita. Semuanya diceritakannya. Tak ada satu pun yang
ditahan-lahannya. Dan dalam bercerita mulai pula terasa kelegaan dalam
hatinya. Akhirnya dia pun terlepas pula dari tekanan dosa-dosa yang
selama ini melekat di jiwanya. (Lubis, 2013:134)

Dari deskripsi tentang karakter Sanip, dapat diketahui bahwa Sanip adalah

orang yang periang namun bermental lemah. Dia pernah melakukan banyak dosa,

namun telah diakuinya di depan kawan-kawan pencari damar.Setelah Sanip

mengakui dosa-dosanya, hatinya merasa lega dan ia tidak menjadi korban

terkaman harimau.

2.4.5 Sutan

Sutan berumur dua puluh dua tahun. Sutan memiliki karakter pekerja
keras. Ia bekerja di sawah, mencari rotan dan damar, dan berdagang. Sutan juga

seorang yang pandai bergaul dengan perempuan.Diceritakan bahwa Sutan pernah

memperkosa seorang gadis remaja bernama Siti Nurbaiti. Ia sedang mengintip

gadis itu di ladang dang tidak tahan melihat buah dadanya yang kelihatan.

Siti Nurbaiti anak yatim piatu di kampung, dan dia tinggal dengan
neneknya yang sudah tua.Dialah yang bekerja mencari sayuran atau kayu
bakar. Bagaimana terjadi apa yang terjadi kemudian, kini pun tak jelas
dapat diingat oleh Sutan. Mungkin hawa nafsu iblisnya terbangun melihat
buah dada anak gadis itu yang kelihatan, karena pakaian yang dipakainya
sudah koyak bagian depannya. (Lubis, 2013:142)

Dalam novel terdapat bagian dimana disana dijelaskan rangkuman seluruh

sifat-sifat Sutan, yaitu pada saat Sutan diramal di huma Wak Hitam. Peristiwa

tersebut terjadi seperti berikut:

Pada Sutan dia berkata, supaya Sutan hati-hati terhadap hatinya


sendiri, karena dia mudah tergoda oleh perempuan. Dia tidak boleh
menurut kata hatinya, akan tetapi selalu harus berpikir dahulu baik-
baik sebelum dia berbuat sesuatu apa. Katanya, Sutan mudah
berteman dengan orang, akan tetapi mudah pula lepas. Selanjutnya
dikatakannya pula bahwa Sutan akan kawin sampai enam kali.
Dan Sutan bukannya malu mendengar itu, melainkan mukanya
penuh bangga. Akan tetapi mendengar ucapannya kemudian, Sutan
terdiam dan mukanya agak pucat, karena orang tua itu berkata:
"Orang muda mesti hati-hati sekali. Bahaya besar menanti orang
muda di waktu dekat yang datang. Janganlah turut nafsu hati."
Buyung merasa seakan ini sindiran terhadap Sutan supaya jangan
mengganggu Siti Rubiyah.(Lubis, 2013:38-39)

Pada kutipan di atas terlihat bahwa Sutan memiliki kebanggaan tersendiri

terhadap obsesinya dengan wanita. Namun sebenarnya obsesi tersebut akan

berakibat buruk pada dirinya sendiri. Peramal tersebut memperingatkan Sutan

akan bahaya yang akan mengancam dirinya akibat sifatnya tersebut.

Ketika bahaya datang, yaitu serangan harimau, Pak Balam yang telah

menjadi korban terus mengigau tentang dosa-dosa, membuat Sutan teringat terus

kepada dosanya sendiri. Di masa lalu ia sering sekali melakukan perbuatan dosa.
Seperti makan dan merokok ketika puasa, berbohong, mencuri, dan memperkosa.

Namun perbuatan-perbuatan dosa tersebut tidak mengganggu hati nuraninya sama

sekali.

Dan teringat pada ini, hatinya tak terganggu sama sekali. Dia juga
dapat ingat pada pencurian kerbau yang mereka lakukan.Dan ini pun
tak terlalu menggangu hatinuraninya.(Lubis, 2013:141)

Sutan senang merasa seperti orang yang pemberani, contohnya dengan cara

menjadi penyamun. Perbuatan mencuri dianggap gagah dan berani di kalangan

penyamun. Pendapat sutan tersebut terlihat pada kutipan berikut:

Perbuatan penyamunan demikian, malahan dianggap sebagai


perbuatan berani dan gagah, dan bukan dosa dan kejahatan.(Lubis,
2013:141)

Hal tersebut menunjukan motivasi Sutan untuk berbuat demikian yaitu

untuk kepuasan diri, bukan karena kebutuhan materi.Igauan Pak Balam mengetuk

lubuk hati Sutan untuk mengakui bahwa itu adalah perbuatan dosa dan harus

diakui namun Sutan tidak ingin.Ia merasa marah kepada Pak Balam dan hendak

membunuhnya namun digagalkan oleh Pak Haji.Setelah itu, ia kabur masuk ke

tengah hutan dan mati diterkam sang harimau. Sisa-sisa jasad Sutan ditemukan

keesokan harinya oleh rombongan.

Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa watak Sutan

adalah senang berbuat jahat. Ia mendapat kepuasan diri dari perbuatan yang

melanggar norma dan aturan. Kepribadian Sutan mencerminkan penyimpangan

perilaku sosial yang cenderung untuk melanggar, bukan mematuhi karena terdapat

keseruan di dalamnya.

2.4.6 Talib
Talib berumur dua puluh tujuh tahun. Talib diceritakan memiliki latar

belakang yang suram. Diceritakan melalui cerita orang-orang kampung bahwa ia

sering dimarahi oleh istrinya. Pamannya yang sudah mati dulu pernah dibuang ke

Pulau Nusakambangan karena membunuh enam orang di pasar dengan cara

menikamnya.

Menurut cerita orang kampung, ini karena isterinya tak putus-


putusnya mengomeli dan memarahinya.(Lubis, 2013:18-19)

Pamannya yang sudah mati dulu pernah dibuang ke Pulau


Nusakambangan, karena mengamuk di pasar dan menikam sampai
enam orang, dan empat orang sampai mati.Darah keluarganya darah
gelap juga.(Lubis, 2013:107)

Berkebalikan dengan Sanip, Talib dideskripsikan sebagai orang yang

pendiam, kurus jangkung, dan pesimis.

Pada suatu kali mereka mengumpulkan damar amat banyaknya.


Beban damar yang harus mereka pikul pulang amat berat, dan Sanip
berseru gembira:
"Aduh, ini dua kali lebih banyak dari yang biasa kita bawa
pulang. Untung besar kita!"
Sedang Talib berkata dengan suara sayu:
"Aduh, asal jangan hanyut saja kita nanti di sungai, menyeberang
dengan beban seberat ini!" (Lubis, 2013:19)

Namun biarpun ia pendiam dan pesimis, Talib juga adalah seorang yang

berani. Ia pernah menolong seorang pemburu dari serangan babi liar.

Sama seperti teman-temannya yang lain, ia juga kerap bernafsu ketika

melihat perempuan cantik seperti Siti Rubiyah. Ketika Pak Balam diterkam

harimau,Talib pun jadi teringat dan kasihan akan Siti Nurbaiti, gadis remaja yang

diperkosa dan dibunuh dua tahun yang lalu. Talib tidak tahu siapa yang

memperkosa dan membunuhnya namun ia mengakui pada diri sendiri bahwa ia

juga bernafsu jika melihat anak gadis tersebut.

Dia merasa ikut berdosa juga, karena bukan sekali saja timbul rasa
berahinya melihat gadis umur tiga belas yang badannya lekas
menjadi dewasa itu, dengan buah dada yang besar dan kencang
mendorong baju kurungnya, raut mukanya yang manis, dan cahaya
matanya yang berani dan penuh tantangan. Kemudian dia menutup
pikiran dan menahan hati nuraninya, ketika pikiran-pikiran serupa itu
membawanya terlalu dekat pada dosa-dosanya sendiri. (Lubis,
2013:114)

Kemudian Talib diterkam oleh harimau. Ia pingsan namun di saat-saat

terakhirnya, ia sempat mengakui dosa-dosanya biarpun hanya sekejap.

Tak ubahnya seakan Talib dapat mendengar kata-kata Wak Katok,


karena ketika itu dia membuka matanya, dan bibirnya bergerak
seakan hendak berkata. Mereka mendekatkan diri, membungkuk di
atas kepalanya hendak mendengarkan apa katanya.
"... dosa ... aku berdosa ... mencuri ... curiiiii, ampun Tuhan.... la
ilaha illl ..." tiba-tiba napasnya terhenti, badannya mengejang,
matanya seakan terbalik, dan Talib lalu berhenti hidup. Dia telah
mati.(Lubis, 2013:128)

Setelah Talib mati, dosanya diperjelas lagi oleh pengakuan Sanip. Talib

bersama Sanip dan Sutan mencuri empat ekor kerbau dan Talib menikam

pemiliknya namun tidak sampai mati. Dari sini, jelaslah kejahatan apa yang

dilakukan Talib sehingga ia pantas diterkam oleh harimau.

Dari deskripsi di atas, dapat disimpulkan bahwa Talib memiliki watak

pemberani namun pesimis. Ia pernah melakukan kejahatan, yaitu mencuri kerbau

dan menikam pemiliknya. Hal ini mungkin disebabkan oleh keturunan dari

ayahnya yang juga pernah membunuh orang dengan pisau. Namun, Talib berhasil

bertobat sebelum meninggal sehingga dosa-dosanya terbayarkan oleh

kematiannya.

2.4.7 Pak Balam

Pak balam adalah seorang tua yang baik dan pendiam. Badannya kurus,
akan tetapi kuat bekerja. Ia pernah ikut melakukan perlawanan terhadap

pemerintah Belanda di waktu apa yang dinamakan pemberontakan komunis di

tahun 1926 dan pernah dibuang ke Tanah Merah dimana istrinya, Khadijah –yang

ikut dibuang bersamanya– menderita penyakit malaria dan meninggal disana.

Namun meskipun begitu Pak balam bukan seorang komunis. Pak Balam ikut

pemberontakan karena ia tidak suka dengan pemerintah Belanda yang penindas.

Pak Balam juga dihormati orang di kampung, yang


menganggapnya sebagai seorang pahlawan, yang telah berani ikut
mengangkat senjata melawan Belanda. Orang kampung tahu, bahwa
Pak Balam bukan seorang komunis. Dia seorang yang saleh
beragama dan pasti bukan orang komunis. Karena orang komunis
tidak mengakui adanya Tuhan, dan tidak percaya pada agama. Pak
Balam dan kawan-kawannya dahulu bangkit melawan Belanda,
karena Belanda terlalu menekan rakyat, memaksa rakyat membayar
macam-macam pajak baru, dan rakyat tidak lagi merasa hidup bebas
dan merdeka. (Lubis, 2013:5)

Pak Balam adalah korban harimau yang pertama. Karena tahu ia sedang

sekarat, Pak Balam akhirnya menceritakan pertanda sial yang mengganggunya

sebelum ia pergi ke hutan, yaitu mimpi buruk sebanyak dua kali. Ia juga

menceritakan dosa-dosanya dulu dengan Wak Katok waktu pemberontakan 1926.

Ia tahu bahwa Wak Katok membunuh temannya, Sarip. Namun Pak Balam hanya

diam saja. Setelah diterkam harimau, ia sadar mengapa ia melakukannya dan ikut

merasa bersalah dan berdosa juga.

Aku ikut bersalah. Aku berdosa. Barangkali aku yang lebih


bersalah lagi dari Wak Katok. Karena dalam hatiku aku telah tahu
apa yang hendak dilakukan oleh Wak Katok, ketika dia membawa
aku pergi ke sumur. Tetapi hatiku begitu cinta pada hidup diriku,
hingga aku rela untuk membayar apa saja agar aku dapat hidup terus.
Biarlah Sarip yang mati, asal aku dapat hidup.Aku amat pengecut
sekali, aku takut mati, aku tak mau mati.(Lubis, 2013:101)

Pak Balam merasa menyesal karena dia tidak pernah mampu menghentikan

orang yang ingin berbuat jahat, walaupun dia melihat sendiri perbuatan orang
tersebut. Setelah mengakui dosanya Pak Balam mendapatkan kepuasan hati. Ia

mulai menyuruh teman-temannya untuk mengakui dosa-dosa mereka agar tidak

tertimpa musibah seperti dirinya. Sifat kebajikannya mulai timbul. Pada akhirnya,

dua hari kemudian setelah diserang harimau, Pak Balam meninggal dunia.

"Aku merasa ringan kini aku sudah menceritakan pada kalian di


depan Wak Katok beban dosa yang selama ini menghimpit hatiku
dan kepalaku. Aku sudah mengakui dosa-dosaku, dan tolonglah
doakan supaya Tuhan suka kiranya mengampuni segala dosaku, dan
juga mengampuni dosa-dosa Wak Katok.” Pak Balam mendekatkan
kedua belah telapak tangannya seperti orang mendoa, dan mulutnya
komat-kamit. Pak Haji bertakbir, perlahan-lahan: "AllahuAkbar,
AllahuAkbar, Allahu Akbar!"
....
"Akuilah dosa-dosamu, Wak Katok, dan sujudlah ke hadirat
Tuhan, mintalah ampun kepada Tuhan Yang Maha Penyayang dan
Maha Pengampun, akuilah dosa-dosa kalian, juga kalian yang lain,
supaya kalian dapat selamat ke luar dari rimba ini, terjauh dari
bahaya yang dibawa harimau ... biarlah aku seorang yang jadi
korban” (Lubis, 2013:102-103)

Deskripsi di atas, dapat disimpulkan bahwa dulu Pak Balam lemah dan

egois karena ia tidak berani dan tidak mau menghentikan Wak Katok dari

perbuatan jahatnya. Ia hanya memikirkan nyawanya sendiri.Namun Pak Balam

adalah orang yang sebenarnya baik hati. Ia memiliki kualitas pada dirinya, yaitu

peduli terhadap teman-temannya.

2.4.8 Wak Hitam

Wak Hitam adalah dukun tua yang misterius. Ia selalu memakai pakaian

serba hitam. Wak Hitam memiliki ilmu magis yang sangat tinggi. Terdapat

banyak cerita tentang kehebatan dan kesaktian Wak Hitam. Sama seperti Wak

Katok kehebatannya hanya dideskripsikan melalui perspektif orang-orang

kampung. Sebuah cerita mengatakan bahwa Wak Hitam pernah lari dari penjara
tentara Belanda dengan cara menghilang. Terdapat cerita juga bahwa ia bersekutu

dengan jin dan memelihara harimau siluman, juga katanya ia memiliki tambang

emas rahasia

Cerita orang macam-macam tentang ilmu Wak Hitam. Wak Katok


mengakui dia sebagai gurunya dalam ilmu silat dan ilmu gaib.
Anak-anak muda, seperti Sutan.Talib, Sanip dan Buyung dalam hati
takut padanya, meskipun tak pernah mereka perlihatkan. Karena ada
cerita yang mengatakan, bahwa Wak Hitam bersekutu dengan iblis,
setan dan jin, dan dia memelihara seekor harimau siluman. Kalau dia
hendak ke mana-mana, maka dia selalu mengendarai harimaunya.(Lubis,
2013:27)

Terlihat dari kutipan di atas bagaimana pengaruh cerita tersebut kepada

orang-orang muda seperti Buyung, Sanip, Sutan, dan Talib yang tidak tahu apa-

apa. Hal itu mempengaruhi cara pandang orang-orang terhadapnya. Bahkan Wak

Katok mengakui bahwa Wak Hitam adalah guru silatnya. Semua kehebatan dan

kesaktian Wak Hitam hanya kabar burung yang belum terbukti kebenarannya,

sama seperti kehebatan Wak Katok. Namun itu saja sudah cukup membuat

kelompok pendamar tersebut ketakutan dan hormat kepada Wak Hitam.

Wak Hitam sudah ratusan kali berganti-ganti istri. Istrinya yang sekarang

adalah Siti Rubiyah. Ia adalah istri Wak Hitam yang paling muda dan cantik.

Keadaan Wak Hitam sekarang sedang sakit. Siti Rubiyahlah yang selalu

merawatnya. Namun Wak Hitam mengakui bahwa sekarang istrinya kurang

memperhatikan dia. Ia mengeluh kepada Buyung.

"Aduh, beginilah kalau sudah tua dan sakit-sakit, tak ada lagi
yang mengurus awak," keluhnya, "di mana Siti Rubiyah?"
"Di sungai, mencuci," sahut Buyung.
"Ohhhh," katanya, kehilangan perhatiannya, dan kemudian timbul
kembali kekesalannya dan iba hatinya pada dirinya sendiri. "Di
sungai saja kerjanya. Beginilah Buyung," katanya kembali, "kalau
sudah tua dan sakit-sakit. Bini sendiri pun tidak lagi memperdulikan
kita, apalagi anak-anak atau keluarga yang lain. Mereka malahan
menunggu dan mendoakan supaya kita lekas saja mati, biar mereka
dapat membagi-bagi harta yang kita tinggalkan." (Lubis, 2013:51)

Dalam dialog ini kita bisa melihat sisi lain dari Wak Hitam, yaitu bahwa

Wak hitam juga merupakan orang biasa yang tua dan lemah. Kita juga dapat

melihat permasalahan perkawinan dalam hubungan Wak Hitam dan Siti Rubiyah.

Terlihat dari prasangka Wak Hitam bahwa bininya sudah tidak peduli lagi

dengannya dan hanya menginginkan harta bendanya setelah ia mati.

Namun kita akhirnya mengetahui sifat asli Wak Hitam dari Siti Rubyiah.

Hal ini terdapat pada adegan Siti Rubiyah menceritakan kepada Buyung tentang

penyiksaan Wak Hitam terhadapnya. Wak Hitam juga menyuruhnya tidur

telanjang sambil memeluknya. Katanya agar kesehatan Siti Rubiyah masuk ke

dalam tubuh Wak Hitam. Ia telah melakukan itu terhadap bini-bininya

sebelumnya. Siti Rubiyah kemudian memperlihatkan bekas cakaran dan gigitan

Wak Hitam pada seluruh badannya. Itu adalah bukti kekejaman Wak Hitam

terhadap Siti Rubiyah.

"....Dia bukan manusia lagi kak, dia sudah seperti binatang, seperti
setan saja...”(Lubis, 2013:66)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Wak Hitam adalah orang yang

gila ilmu gaib dan kejam terhadap perempuan. Ia mengawini banyak perempuan

untuk memperpanjang hidupnya saja. Dengan kepercayaan tersebut, tidak terlihat

bahwa Wak Hitam mengawini perempuan karena ada perasaan cinta, namun

karena keserakahan dirinya. Ia mencerminkan hawa nafsu laki-laki yang haus

akan harta benda dan dominasi terhadap wanita.

2.4.9 Siti Rubiyah


Siti Rubiyah adalah istri dari Wak Hitam. Ia dideskripsikan sebagai

seorang yang muda –seumuran dengan Buyung– dan juga cantik. Tidak seperti

para karakter laki-laki di atas yang penggambarannya kuat pada ciri mental,

penggambaran karakter Siti Rubiyah sangat kuat pada penggambaran ciri fisik.

Siti Rubiyah digambarkan sebagai perempuan yang amat cantiknya hingga dapat

membakar birahi laki-laki.

...tak masuk dalam ingatan Buyung sesuatu pikiran tak baik


terhadap perempuan itu. Meskipun Buyung harus mengakui, bahwa
badannya langsing dan bagus bentuknya, buah dadanya, meskipun
kecil tetapi kuat dan cantik, dan parasnya dengan hidungnya yang
mancung dan mulutnya yang terdiri dari dua buah bibir yang penuh
dan merah dan selalu basah, dan matanya yang bundar dan terang
bercahaya, ditambah lagi dengan rambutnya yang hitam, dan panjang
hingga sampai ke ujung pantatnya. Sering Buyung melihat rambul
nya terurai jatuh ke bawah, tebal dan hitam, sedang dia bekerja di
kebun dan jika dia sedang bekerja di kebun di siang hari, maka sinar
matahari yang terik memerahkan pipinya, dan semakin cantik saja dia
kelihatan. (Lubis, 2013:31)

Mereka semua suka pada Siti Rubiyah. Dia masih muda benar.
Orangnya pun cantik. Jika Buyung tak tergila-gila pada Zaitun, maka
dia akan mudah jatuh cinta padanya. (Lubis, 2013:30-31)

Kecantikan Siti Rubiyah sampai membuat Wak Katok tidak bisa menahan

hawa nafsunya hingga suatu hari ia mengintip Siti Rubiyah mandi. Setelah itu Wak

Katok memberinya manik dan mengajaknya ke balik semak-semak. Diceritakan

pula bahwa Siti Rubiyah pandai memasak. Masakan Siti Rubiyah adalah salah satu

hal yang membuat para pendamar senang tinggal di pondok Wak Hitam.

Namun Siti Rubiyah memiliki kisah latar belakang yang memilukan. Siti

Rubiyah menceritakan kisahnya kepada Buyung. Ia dipaksa kawin dengan Wak

Hitam oleh kedua orang tuanya. Siti Rubiyah pernah hampir bunuh diri dibuatnya.

Namun karena ia patuh kepada orang tuanya, maka ia menurutinya. Ia pun tidak
bahagia kawin dengan Wak Hitam karena mereka tinggal hanya berdua di dalam

hutan. Hal itu membuat Siti Rubiyah merasa kesepian karena tidak mempunyai

teman.

Di pertemuannya yang kedua dengan Buyung, Siti Rubiyah menangis dan

mencurahkan seluruh kesedihannya pada Buyung. Ia tidak tahan dengan siksaan

yang dilakukan oleh Wak Hitam kepadanya dan meminta Buyung untuk

membawanya pergi dari huma Wak Hitam.

aku tak tahan lagi, tiap kali aku harus berbuat demikian, tiap kali
terasa tambah berat di hatiku. -- Hatiku tambah segan dan takut —
tolonglah aku kak, aku hendak lari saja, hendak pulang ke kampung.
Bawalah aku pulang ke kampung, kak — atau ke mana saja sungguh
aku tak tahan lagi, aku tersiksa — itu kalau dia lagi sakit — kalau dia
tak sakit... aku lebih disiksanya lagi.(Lubis, 2013:66)

Setelah itu, Siti Rubiyah melakukan hubungan seks dengan Buyung.

Peristiwa ini seperti menggambarkan kebahagiaan yang sudah lama tidak ia

rasakan. Terlihat bahwa Siti Rubiyah sangat menikmati hubungan seksual dengan

Buyung itu.

Dan perempuan muda yang telah berpengalaman itu menolong


tangan Buyung menemukan yang dicari-carinya dengan kekakuan
kebujangan letakinya, dan mendorong kepalanya ke bawah, dan
membawa mulutnya mencari-cari buah dada yang muda, yang
mengeras di antara kedua bibirnya, dan Buyung mengerang dan
kemudian mereka dihempaskan tinggi ke atas oleh ledakan yang
besar yang memenuhi seluruh tubuh mereka ....(Lubis, 2013:70)

Namun pada bab 7 akhirnya diungkapkan bahwa Siti Rubiyah sebelumnya

juga pernah bercinta dengan Wak Katok di semak-semak. Hal ini dilihat dari

dialog antara Sanip dan Wak Katok tentang Siti Rubiyah. Siti Rubiyah rela

melakukannya dengan siapa saja asal laki-laki tersebut memberikan imbalan

kepadanya.
"Ya, kalian mungkin tak percaya, tetapi aku lihat dengan mata
kepalaku sendiri. Pangkal celaka kita tak lain adalah Wak Katok
sendiri. Harimau yang datang menyerang kita adalah harimau Wak
Hitam. Karena Wak Katok telah memaksa istri Wak Hitam, aku lihat,
di pinggir sungai..."
"Berhenti engkau berbicara, bangsat!" serunya, "oh, engkau lihat,
ya? Tapi matamu tak cukup tajam. Aku tak paksa dia. Engkau tahu,
aku bayar dia. Dan dia pun akan mau tidur dengan siapa saja yang
mau memberinya uang atau membelikannya baju.“(Lubis, 2013:193)

Dari uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa Siti Rubiyah adalah

karakter perempuan yang sederhana dan penurut. Namun pengaruh buruk dari

perkawinan paksanya membuatnya hancur dan kesepian sehingga ia rela berbuat

apa saja untuk memuaskan dirinya, termasuk dalam hal seks.

2.5 Latar

Abrams (dalam Nurgiantoro, 2002: 216) menyatakan bahwa latar atau

setting disebut juga sebagai landas tumpu, mengarah pada pengertian tempat,

hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa

yang diceritakan

Secara umum cerita dalam novel Harimau! Harimau! berlangsung di

dalam sebuah hutan. Hutan pun terbagi lagi menjadi tempat-tempat yang lebih

kecil dan spesifik, yaitu huma Wak Hitam dan Sungai Air Putih.Terdapat

deskripsi mengenai letak Kampung Air Jernih tempat pada pendamar tersebut

berasal.Namun itu hanya sebatas informasi tentang letaknya saja, bukan menjadi

latar tempat dimana kisah utama terjadi.Pencerita juga menceritakan latar

belakang karakter-karakter dalam novel tersebut di Kampung Air Jernih. Pada

karakter Pak Haji, diceritakan latar belakangnya ketika ia pergi mengembara ke

Sima, Bangkok, India, Cina, Jepang, dan Mekkah. Namun sekali lagi tempat-
tempat tersebut bukan latar tempat kisah utama terjadi dan hanya menjadi bagian

dari informasi tentang latar belakang karakter-karakternya saja.

Deskripsi mengenai hutan dapat dilihat pada bab 1. Pada bab ini diceritakan

tentang pemandangan sebuah hutan raya yang begitu luas dan kaya.

Hutan Raya terhampar di seluruh pulau, dari tepi pantai tempat


ombak-ombak samudera yang terentang hingga ke Kutub Selatan
menghempaskan diri setelah perjalanan yang amat jauhnya hingga ke
puncak-puncak gunung yang menjulang tinggi dan setiap hari
diselimuti awan tebal. Hutan raya berubah-ubah wajahnya. (Lubis,
2013:1)

Latar tempat kemudian mengerucut menjadi huma Wak Hitam tempat para

pendamar menghabiskan waktu selama seminggu disana.

Mereka beruntung, karena tak berapa jauh dari hutan damar, ada
sebuah huma kepunyaan Wak Hitam.Di sebuah pondok di ladang
Wak Hitamlah mereka selalu bermalam selama berada di hutan
damar. (Lubis, 2013:25)

Peristiwa-peristiwa dalam novel ini juga terjadi di seputaran sungai Air

Putih. Peristiwa yang terjadi di latar tempat ini terhitung banyak. Salah satunya

adalah ketika Wak katok mengintip Siti Rubiyah sedang mandi sesaat sebelum ia

mengajaknya berzinah di semak-semak.

Wak Katok mengendap masuk ke dalam semak-


semak.Merangkak-rangkak mendekati pinggir sungai, dan
bersembunyi di dalam belukar tebal yang tumbuh di pinggir sungai.
Matanya tak putus-putusnya mengikuti gerak-gerik Siti
Rubiyah.Perempuan muda itu yang menyangka dirinya seorang diri
di pinggir sungai dengan tenang membuka pakaiannya.Dia
membuka kebaya tuanya dan meletakkan di atas batu besar.Dia
tidak memakai kutang. (Lubis, 2013:41)

Pada latar waktu, tidak dijelaskan kapan atau pada tahun berapa cerita dalam

novel terjadi, seakan-akan kisah dalam novel ini tidak berpatokan pada suatu

jaman atau peristiwa tertentu dalam sejarah. Peristiwa-peristiwa yang berlangsung

dalam novel ini terjadi selama beberapa hari dimulai ketika mereka mencari damar
di hutan dan menginap di pondok Wak Hitam, hingga diakhiri saat harimau yang

memburu mereka mati. Rentang waktu tersebut dihitung sepanjang hari dari pagi

hingga malam selama beberapa hari hingga cerita berakhir. Terlihat pada kutipan

berikut.

Sepanjang pagi mereka berjalan secepat mungkin, tanpa banyak


berkata-kata.Jalan pun agak licin karena rupanya kemarin hujan.Baru
lewat lengah hari, mereka mulai merasa agak lega dalam hati, selelah
sepanjang hari tidak melihat tanda-tanda harimau mengikuti mereka.
....
Mereka tiba di sana jam selengah lima petang. Dengan cepat
mereka membuat pondok bermalam.
Hari telah hampir jam enam ketika mereka siap. Talib telah
menanak nasi.Mereka lalu mengambil air sembahyang.Bunyibunyi
hutan yang biasa terdengar di waktu senja kini memenuhi udara senja
seperti biasa.
Mereka sembahyang magrib bersama-sama dekat api unggun.
Merasa aman di dalam panas dan terang api unggun semakin lama
udara di atas mereka semakin kabur. Langit di sebelah Barai kuning
kemerah-merahan dan di bahagian langit yang lebih tinggi tersebar
warna ungu tua, dan kemudian tibatiba seluruh langit menjadi gelap
dan malam pun turun. Tinggallah hanya api unggun yang kuning dan
merah membakar tinggi dan besar, menerangi lingkaran di depan
pondok tempat mereka tidur, merupakan sebuah pulau berisi manusia
di tengah rimba belantara yang gelap dan penuh rahasia. (Lubis,
2013:89)

Untuk latar sosial, novel ini mengambil keadaan sosial masyarakat yang

masih belum modern dan bergantung kepada alam untuk bekerja. Hal ini

direpresentasikandengan ketujuh karakter pendamar. Sesuai namanya, profesi

mereka adalah mencari damar di hutan. Dengan kata lain, mereka masih

bergantung kepada alam untuk menyambung hidup mereka.

Masyarakat ini memiliki kepercayaan kepada hal-hal gaib seperti seperti

jimat dan mantera. Mereka juga percaya akan pertanda-pertanda sial seperti

burung gagak dan penerawangan masa depan seperti ramalan dan mimpi. Dalam

masyrakat modern hal-hal semacam ini dikenal dengan istilah takhayul. Berikut
adalah kutipan-kutipan yang berisi unsur-unsur takhayul yang telah disebutkan

sebelumnya secara berurutan:

Buyung ingat akan cerita-cerita tentang ilmunya yang hebat, dan


bukan tak mungkin ilmu firasatnya begitu hebat, hingga dia dapat
mengetahui apa yang terjadi jauh dari dirinya. Buyung menguatkan
dirinya, dan membaca mantera penjaga diri yang diajarkan Wak
Katok padanya dan dia melangkah dengan tenang ke dalam kamar
tidur Wak Hitam. (Lubis, 2013:50)

"Aduh senang juga hatiku, esok kita akan pulang ke kampung,"


kala Talib. "Sudah terlalu lama...." tiba-tiba dia berhenti berkata, dan
menengok ke atas. Enam ekor burung gagak kelihatan terbang
melintas di atas hutan tempat mereka bekerja, berbunyi-bunyi: gaak-
gaak-gaak!
Talib agak berubah air mukanya Dia mengucap
Astagafirullah...dan kemudian berkata: "Aduh, alamat tak baik itu.
Moga-moga Tuhan melindungi kita dan menyelamatkan perjalanan
kita pulang." (Lubis, 2013:53)

Setelah habis makan malam, ketika mereka bercakap- cakap, lalu


orang tua itu memegang tangan Buyung sambil berkata:
"Anak kelihatannya yang termuda di sini. Mari aku baca
tanganmu."
Lalu dia memperhatikan garis-garis tangan Buyung.
"Anak akan banyak mengalami pengalaman yang hebat. Anak
harus sabar dan tabah menghadapi percobaan-percobaan hidup,"
katanya, dan menambahkan, "tetapi akhirnya anak akan mendapat
juga apa yang anak inginkan sekali”
....
Setelah dia membaca garis tangan Buyung, maka yang lain pun
minta tangannya dibaca. (Lubis, 2013:38-39)

"Tidak, dengarkan kataku," kata Pak Balam menguatkan hatinya,


"aku telah dapat firasat dan dapat mimpi. Sebelum kita berangkat dari
kampung, dua malam sebelumnya, dan malam kita akan
meninggalkan huma Wak Hitam. Tetapi ketika itu aku masih
berharap Tuhan akan mengampuni dosaku, dan melindungi kita
semua. Tidak aku seorang saja. Akan tetapi semua kita akan
mendapat celaka dalam perjalanan, yaitu tiap kita yang melakukan
dosa besar..."
Wak Katok berkata: "Apa mimpi awak, Pak Balam? Coba
ceritakan, barangkali masih dapat kita elakkan bala yang hendak
menimpa kita.Mengapa tak awak ceritakan dahulu di kampung? Aku
'kan dapat membacakan mantera atau membuat jimat untuk kita
semua?" (Lubis, 2013:94)

Selain hal-hal di atas, takhayul terlihat dari karakter para pendamar yang
memiliki kepercayaan tinggi kepada mitos adanya harimau siluman. Mereka

menyebut harimau dengan sebutan lain, yaitu ‘nenek’. Penyebutan harimau

sebagai ‘nenek’ dapat dilihat dalam kutipan berikut:

Mereka mendengar auman harimau untuk pertama kalinya, ketika


mereka telah tiba membawa rusa di tempat bermalam dan rusa telah
digantungkan kepada sebuah cabang pohon yang kuat, dan Wak
Katok baru saja selesai mengulitinya.
....
Wajah mereka membayangkan rasa terkejut yang mereka rasakan.
Sutan yang mula-mula memecahkan kesunyian, dengan berkata:
"Aduh, ada nenek dekat di sini."
Ucapan Sutan seakan melepaskan mereka dari kekuatan gaib yang
memukau mereka. (Lubis, 2013:86)

Takhayul demikian sangat dipercaya sehingga menimbulkan rasa takut dan

rasa hormat masyarakat terhadap hal-hal yang dianggap mistis. Hal ini dibuktikan

dari sikap para pendamar kepada Wak Katok dan Wak Hitam yang merupakan

dukun. Harimau pun karena dipercaya sebagai makhluk gaib yang berdimensi

lebih tinggi dari manusia, maka harimau memiliki nilai kesakralan, yaitu harus

dihormati. Menyebut nama ‘nenek’ tidak bisa dilakukan sembarangan di dalam

hutan. Hal ini terlihat pada kutipan berikut.

"Tapi itu juga tempat nenek," kala Sutan, "dimana ada rusa ada
nenek." Maksudnya harimau.
"Huss," kata Wak Katok. Jangan disebut-sebut namanya." (Lubis,
2013:82)

Buyung tak dapat menahan dirinya dan berkata: "Apakah


barangkali benar juga Pak Balam, yang sejak tadi berkata, bahwa
harimau itu dikirim oleh Tuhan untuk menghukum kita yang
berdosa?"
"Huusss, jangan sebut-sebut namanya, engkau ingin dia datang
menyerang kita?" kata Sutan cepat.
"Maaf, aku lupa tak boleh menyebut nama nenek di hutan," jawab
Buyung,..” (Lubis, 2013:126-127)

"Sanip, berbicaralah! Aku sebagai pemimpin rombongan


berkewajiban untuk menyelamatkan diri kita semuanya. Menurut
tenunganku harimau itu harimau biasa, akan tetapi mungkin pula
harimau siluman seperti yang dikatakan Pak Balam. Kita tak boleh
lebih memarahkannya. Baiklah engkau mengaku terus terang dosa-
dosamu, dan minta ampun kepada Tuhan." (Lubis, 2013:133)

Selain kepercayaan terhadap tahayul, masyarakat tersebut juga memiliki

keyakinan beragama. Agama yang dianut adalah Islam. Hal ini terlihat pada

kelompok pendamar yang melaksanakan shalat dalam petualangan mereka di

hutan. Berikut adalah kutipannya:

Mereka lebih khusuk lagi mendengarkan seruan Allahu Akbar!


Allahu Akbar! Allahu Akbar! yang diserukan oleh Pak Haji, dan
mereka lebih merasa dengan kesadaran yang amat dalam, penyerahan
dirinya ke bawah lindungan Tuhan Yang Maha Kuasa. Tak pernah
rasanya mereka merasakan nikmat sembahyang seperti pada pagi itu.
Rasanya seakan mereka amat dekat sekali pada Tuhan, seakan ketika
kening mereka tunduk menyentuh tanah, dan membacakan Subhana
rabbial a'laa - Maha Suci Tuhan Kami Yang Agung -- merebahkan
kepala mereka ke atas haribaan Tuhan, dan mendapat pengampunan
dan perlindungan dari Tuhan untuk selama- lamanya. (Lubis,
2013:116)

"Aku merasa ringan kini aku sudah menceritakan pada kalian di


depan Wak Katok beban dosa yang selama ini menghimpit hatiku dan
kepataku. Aku sudah mengakui dosa-dosaku, dan tolonglah doakan
supaya Tuhan suka kiranya mengampuni segala dosaku, dan juga
mengampuni dosa-dosa Wak Katok Pak Balam mendekatkan kedua
belah telapak tangannya seperti orang mendoa, dan mulutnya komat-
kamit. Pak Haji bertakbir, perlahan-lahan: "AllahuAkbar,
AllahuAkbar, Allahu Akbar!" (Lubis, 2013:102)

Dari kedua kutipan di atas, terlihat bahwa para pendamar serius dan khusuk

melaksanakan shalat.Mereka merasa sangat dekat kepada Allah SWT.Dengan

demikian menunjukan kepercayaan penuh mereka kepada Tuhan sebagai

pelindung dan pengampun dosa-dosa mereka.Kepercayaan kuno masyarakat

berupa tahayul tersebut terlihat menyatu dengan agama yang masuk dari luar

masyarakat.Penyatuan antara agama dan takhayul dalam ini terlihat dari

bagaimana para pendamar menganggap bahwa harimau tersebut merupakan

harimau siluman yang dikirim oleh Tuhan untuk membunuh mereka.


"Jika harimau itu harimau siluman, maka darah di pisau akan tetap
tinggal merah setelah dibakar di api," kata Wak Katok menerangkan.
"Akan tetapi lihatlah, darahnya jadi hitam, jadi darah biasa, dan karena
itu darah harimau adalah juga darah biasa, dan dia adalah harimau
biasa."
Terdengar mereka semua menarik napas lega setelah mendengar
kata Wak Katok. Harimau biasa, meskipun menakutkan, akan tetapi
tidak begitu dahsyat menakutkan seperti harimau siluman. Harimau
biasa adalah binatang buas biasa, yang dapat dilawan.Sedang harimau
siluman tak seorang manusia juga yang kuasa melawannya. Orang
merasa tak berdaya dan tak bertenaga sama sekali jika harus
menghadapi harimau jadi-jadian. Apalagi jika harimau siluman
menjadi pesuruh Yang Maha Kuasa untuk menghukum dosadosa
mereka.(Lubis, 2013:112)

Dari uraian mengenai latar sosial tersebut, dapat disimpulkan bahwa cerita

terjadi di lingkungan dimana agama dan kearifan lokal bersatu. Kepercayaan

terhadap tahayul masih kental dalam masyrakat ini namun mereka juga

berkeyakinan penuh terhadap adanya Tuhan. Namun, kepercayaan terhadap

tahayul masih lebih tinggi daripada kepercayaan kepda Tuhan karena unsur

takhayul dalam novel ini lebih banyak daripada unsur agama. Oleh sebab itu,

masyarakat ini memiliki rasa hormat yang tinggi. Mereka berperilaku

menghormati para dukun dan kekuatan-kekuatan gaib yang melebihi mereka.

2.6 Sudut Pandang

Dalam sebuah cerita pengarang menggunakan sudut pandang tertentu dalam

menyampaikan kisahnya.Untuk memperoleh efek cerita yang sesuai, pengarang

menggunakan sudut pandang tertentu. Stanton (terjemahan Sugihastuti, 2007: 53-

54) merumuskan bahwa, sudut pandang terbagi menjadi empat tipe utama yakni:

a. Orang pertama-utama: sang karakter utama bercerita dengan kata-

katanya sendiri.
b. Orang pertama-sampingan: cerita dituturkan oleh satu karakter bukan

utama (sampingan).

c. Orang ketiga-terbatas: pengarang mengacu pada semua karakter dan

memosisikannya sebagai orang ketiga tetapi hanya menggambarkan

apa yang dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh satu orang karakter

saja.

d. Orang ketiga-tidak terbatas: pengarang mengacu pada setiap karakter

dan memosisikannya sebagai orang ketiga. Pengarang juga dapat

membuat beberapa karakter melihat, mendengar, atau berfikir atau

suatu saat ketika tidak ada satu karakter pun hadir.

Novel Harimau! Harimau! hanya menggunakan satu sudut pandang dalam

memaparkan cerita yang dikisahkan oleh pencerita. Secara keseluruhan pengarang

menggunakan sudut pandang ‘orang ketiga-tidak terbatas’. Terlihat pencerita

menyebut karakter utamnya sebagai orang ketiga (‘dia’ dan ‘mereka’) dan juga

sering menyebut nama karakter. Dalam novel Harimau! Harimau! , teknik ini

dipakai dalam menjelaskan ciri-ciri, kondisi fisik, dan kondisi batin dari karakter-

karakternya.

Wak Hitam adalah seorang tua yang umurnya hampir tujuh puluh
tahun.Malahan menurut cerita orang lebih lagi.Ada yang berani
bersumpah dan mengatakan, bahwa umur Wak Hitam lebih dari
seratus tahun.Orangnya kurus, kulitnya amat hitam, seperti orang
Keling, tetapi rambutnya masih hitam. (Lubis, 2013:25)

Dalam cahaya samar-samar dari potongan kayu yang menyala


mereka melihat betapa kaki kiri Pak Balam hancur betisnya kena
gigitan harimau, daging dan otot betis koyak, hingga kelihatan
tulangnya yang putih, dan darah mengalir amat banyak.
Pakaian Pak Balam koyak-koyak, dan seluruh badannya penuh
dengan luka-luka kecil dan gores-gores merah, kena duri, batu dan
kayu ketika dilarikan harimau. Mukanya berdarah. Darah ke luar dari
hidungnya, dari mulutnya. Pak Balam kelihatannya pingsan, tak
sadar diri, dia hanya terbaring di sana mengerang-ngerang. (Lubis,
2013:94)

Buyung dalam hati sebenarnya tak melihat sesuatu halangan


untuk menikah dengan Zaitun. Yang meragukan hanyalah bagaimana
sebenarnya hati Zaitun sendiri terhadap dirinya. Cintakah Zaitun
padanya, seperti dia cinta pada Zaitun.(Lubis, 2013:13)

Teknik ini juga digunakan untuk menggambarkan peristiwa yang terjadi

tanpa kehadiran karakter utama maupun saat ketika tidak ada satu karakter pun

yang hadir.

Wak Katok mengendap masuk ke dalam semak-


semak.Merangkak-rangkak mendekati pinggir sungai, dan
bersembunyi di dalam belukar tebal yang tumbuh di pinggir sungai.
Matanya tak putus-putusnya mengikuti gerak-gerik Siti
Rubiyah.Perempuan muda itu yang menyangka dirinya seorang diri
di pinggir sungai dengan tenang membuka pakaiannya.Dia
membuka kebaya tuanya dan meletakkan di atas batu besar.Dia
tidak memakai kutang.(Lubis, 2013:41)

Pak Balam mendengar bunyi auman harimau, secepat kilat


dalam kepalanya timbul kesadaran, bahwa dialah yang menjadi
sasaran terkaman harimau. Dia melompat berdiri hendak lari, akan
tetapi kakinya tergelincir dan dia terjatuh sepanjang badannya ke
dalam air, dan belum sempat dia hendak bangun dan lari kembali,
sang harimau telah tiba, dan menerkam kakinya. (Lubis, 2013:92)

SANG harimau telah dua hari menderita lapar. Dia telah


tua.Tenaganya tak cukup kuat lagi, dan larinya tak cukup cepat pula
untuk mengejar buruannya yang biasa seperti babi atau rusa.Dia
dahulu sungguh seekor harimau jantan yang gagah perkasa, dan
lama sekali menjadi raja di hutan besar.Sepanjang ingatannya tak
pernah dia menderita kelaparan seperti sekarang.(Lubis, 2013:90-
91)

Penggunaan sudut pandang orang ketiga dalam novel ini juga berperan besar

dalam mengendalikan alur cerita.Secara keseluruhan, alur dalam novel ini ialah

alur maju.Peristiwa demi peristiwa diceritakan oleh orang ketiga sebagai pencerita

menjadi satu kisah yang mengalir.Terdapat beberapa bagian yang menceritakan

latar belakang atau dosa-dosa yang pernah dilakukan karakter seperti Pak Haji,
Sanip, dan Sutan di masa lalu sehingga terlihat seperti alur berjalan mundur.

Namun sebenarnya itu hanyalah sekedar orang ketiga yang sedang menceritakan

apa yang sedang dipikirkan oleh para karakter sehingga terlihat seperti flashback.

Sanip tertegun, dalam hatinya teringat pada rahasianya, ketika dia


berumur sembilan belas tahun, pergi ke kota, dan berkunjung ke
rumah perempuan lacur. (Lubis, 2013:131)

Dia (Sutan) dapat mengingat dosanya seperti di waktu bulan


puasa dia makan sembunyi-sembunyi,..
Dia juga dapat ingat pada pencurian kerbau yang mereka
lakukan.Dan ini pun tak terlalu menggangu hati nuraninya. (Lubis,
2013:141)

Tentang kepercayaan pada Tuhan, terutama sekali disebabkan


oleh pengalaman-pengalamannya sendiri yang pahit. Pernah dia(Pak
Haji) ketika menetap di India, jatuh cinta kepada seorang perempuan
di sana dan mereka menikah. Ketika itu dia berumur tiga puluh
tahun.Inilah cintanya yang pertama, dan dia merasa bahagia sekali.
Dia bekerja sebagai pesuruh sebuah toko, dan gajinya jauh dari
cukup, akan tetapi dia dan istrinya berbahagia dalam kemiskinan
mereka Kemudian istrinya melahirkan anak. (Lubis, 2013:172)

Dari uraian mengenai sudut pandang di atas dapat diketahui bahwa, dalam

cerita ini pencerita bertindak sebagai pencerita serba tahu yang berkedudukan

sebagai pengamat yang berada di luar cerita.Pencerita sebagai orang ketiga serba

tahu memiliki kendali pada berjalannya novel sehingga novel memiliki alur

maju.Dengan menggunakan sudut pandang ini, pembaca mendapatkan gambaran

dan informasi secara omni (keseluruhan) mengenai detil-detil karakter seperti

kondisi mental dan fisik karakter, pola pikir karakter, dan masa lalu karakter.

2.7 Simbol

Simbol berwujud detail-detail konkret dan faktual dan memiliki kemampuan


untuk memunculkan gagasan dan emosi dalam pikiran pembaca. Simbol dapat

berwujud apa saja, dari sebutir telur hingga latar cerita seperti salah satu objek,

beberapa objek bertipe sama, substansi fisis, bentuk, gerakan, warna, suara, atau

keharuman.

Simbolisme sastra lebih menimbulkan persoalan bagi pembaca

dibandingkan dengan sarana-sarana lain. Akan tetapi, perlu disadari bahwa

simbolisme tidak dengan sendirinya menjadi eksotis atau sulit karena sebetulnya

kita sering berhadapan dengannya seperti dalam percakapan sehari-hari, ritual

keagamaan, periklanan, pakaian.

Detail yang bermakna simbolis biasanya sering muncul melebihi

seharusnya. Detail yang simbolis tampak menonjol karena selalu diulang-ulang

dan menyerupai simbol yang lain. Hal ini terlihat dari beberapa kata yang ada

dalam novel yang bisa disebut sebagai simbol dan merupakan bisa merupakan

sebuah “tanda” yang dimunculkan oleh sang pengarang untuk memaknai sesuatu

yang ingin diungkap. Simbol-simbol tersebut terdiri dari senapan lantak, jimat,

dan harimau.

2.7.1 Senapan Lantak

Senapan lantak sering muncul dalam novel. Sebagaimana yang di

ungkapkan oleh stanton detail yang bermakna simbolis biasanya sering muncul

melebihi seharusnya. Detail yang simbolis tampak menonjol karena selalu

diulang- ulang dan menyerupai simbol yang lain Stanton (2007, 65-66). Hal ini

terlihat dari beberapa kutipan dibawah ini:


Wak Katok membawa senapan lantaknya.Biasanya jarang dia
membawa senapan jika men-damar.Senapan hanya dipakainya jika
berburu rusa atau babi.Tetapi sekali ini dia mengatakan, hendak
mengajak mereka memburu rusa, yang dua bulan lalu acap datang
memasuki huma Wak Hitam, tempat mereka bermalam di tengah
hutan. Senapan lantaknya sudah amat tua, akan tetapi bagus sekali.
Laras besinya penuh dengan ukiran halus. (Lubis, 2013:7)

Senapan lantak terlalu lamban untuk dibawa berburu. Mula-mula


harus dimasukkan tepung mesiu melalui laras depan. Lalu mesiu
dilantak dengan tongkatnya, supaya padat.Kemudian peluru
dimasukkan, didorong lagi ke dalam.Barulah senapan dapat
ditembakkan.Dan sedang kita berbuat demikian, rusa atau babi telah
lama lari dan menghilang.Akan tetapi, senapan lantak memaksa
orang harus mahir dan tepat membidik dan menembak.Sekali bidik
dan sekali tembak, harus kena dengan tepat. Jika tidak maka akan
hilanglah kesempatan menembak untuk kedua kalinya. (Lubis,
2013:8)

"Apakah hak Wak Katok memaksaku?" tanya Buyung, "dosa-


dosaku adalah soalku sendiri. Mengapa aku harus dipaksa
mengakuinya?"
"Karena aku menghendakinya, karena aku adalah gurumu, karena
aku adalah pemimpinmu, karena akulah yang berkuasa. Engkau lihat
ini, senapan lantak ini dapat aku memaksa siapa pun juga mengikuti
keinginanku. Mengertikah engkau?" (Lubis, 2013:187)

Dari ketiga kutipan di atas,senapan lantak sebagai simbol terlihat dari

kemunculannya yang lebih dari satu kali.Simbol senapan lantak dimunculkan

bersamaan dengan informasi tentang kepemilikannya, deskripsi, fungsi, dan

pengaruhnya.Namun secara implisit, penegasan senapan lantak sebagai simbol

tersirat dari pengaruh yang ditimbulkan terhadap pemakainya.Pada kutipan ketiga,

terlihat bahwa Wak Katok merasa ialah yang paling berkuasa karena memegang

senapan tersebut.Maka dari itu, senapan lantak menjadi simbol dari kekuasaan.

Pengarang novel ini tentunya mempunyai maksud tersendiri akan munculnya

simbol senapan lantak ini. sebuah ‘tanda’ yang mungkin belum bisa tertangkap

oleh kacamata awal.


2.7.2 Jimat

Jimat sering dimunculkan dalam novel melebihi senapan lantak dan

memiliki signifikansi dendiri. Sebagaimana yang di ungkapkan oleh Stanton

(terjemahan Sugihastuti, 2007:65-66) detail yang bermakna simbolis biasanya

sering muncul melebihi seharusnya. Detail yang simbolis tampak menonjol karena

selalu diulang- ulang dan menyerupai simbol yang lain. Hal ini terlihat dari

beberapa kutipan dibawah ini:

Dia (Wak Katok) pandai membuat jimat yang ampuh, yang dapat
mengelakkan bahaya ular, atau binatang buas yang lain, membuat
orang jatuh sayang atau takut atau segan, membuat orang menerima
permintaan seseorang, dia punya ilmu pemanis untuk orang muda,
lelaki atau perempuan, dia punya mantera dan jimat supaya orang
selamat dalam perjalanan, jimat supaya kebal terhadap senjata, atau
jimat supaya kebal terhadap racun ular, dia dapat membuat orang
muntah darah sampai mati, dan dia punya mantera untuk menghilang,
hingga tak dapat terlihat oleh orang lain. (Lubis, 2013:9)

Tak seorang juga dapat memastikan apakah mereka melihat tali


jimat telah terpasang atau belum.Mereka demikian sibuk dengan
kedahsyatan serangan harimau dan mengejar harimau untuk merebut
Pak Balam kembali, hingga tak seorang juga yang memperhatikan
hal yang demikian.Mereka telah mengganti celana dan pakaian Pak
Balam, dan tak seorang pun ingat apakah tali jimatnya selama itu
terikat pada pinggangnya.(Lubis, 2013:9110-111)

"Memang aku telah memutuskan untuk memburunya sampai


dapat. Sebelum kita berangkat, aku buat dahulu jimat yang lebih kuat
lagi untuk melindungi diri kalian terhadap serangannya."
Wak Katok pergi menyendiri ke dalam pondok, dan
mengeluarkan beberapa batu dari dalam kantong ikat pinggangnya,
yang dibungkusnya dalam potongan-potongan kain putih yang
dibawanya, kemudian dijampinya beberapa lama.Kemudian batu
yang telah dibungkusnya diberikannya kepada mereka seorang
satu.(Lubis, 2013:166)

Ketiga kutipan di atas menjelaskan tentang kehadiran jimat sebagai simbol.

Disebutkan bahwa jimat-jimat dalam novel tersebut semuanya dibuat oleh Wak

Katok. Ia dapat membuat berbagai macam jimat namun yang menjadi fokus dalam

novel ini yaitu jimat penangkal binatang buas. Terlihat pada kutipan kedua yang
menjelaskan keadaan Pak Balam setelah diterkam harimau.

Peristiwa di atas memberikan tanda tanya apakah jimat yang dibuat oleh

Wak Katok memiliki kekuatan yang lemah atau karena jimat tersebut memang

palsu. Kemudian hal tersebut menjadi jelas pada dua kutipan berikut:

“Engkau guru palsu. Lihat ini ..." Dia (Sanip) membuka ikatan
jimat-jimat di pinggangnya, dan dilemparkannya ke tanah. "Jimat-
jimatmu palsu, mantera- manteramu palsu. Inilah jimat-jimat yang
dipakai juga oleh Pak Balam, oleh Talib, oleh Sutan, lihatlah, di
mana mereka kini, karena mempercayai engkau... mereka telah mati,
telah binasa...” (Lubis, 2013:192)

Buyung teringat sesuatu dan membuka ikat pinggangnya yang


menutupi tali-tali jimat yang mengelilingi pinggangnya, jimat-jimat
yang diberikan kepadanya oleh Wak Katok. Dilepaskannya tali jimat
perlahan-lahan, digumpalkannya, dan diperlihatkannya kepada Wak
Katok, dan kemudian dengan lambatnya lalu dilemparkannya ke api
unggun.
“Lepaskan aku, nanti aku beri engkau mantera yang membuat
Zaitun tergila-gila padamu,” katanya.
“Manteramu palsu,” kata Buyung. “Dan,” tambah Buyung dengan
kebanggaan dan kesadaran baru, “aku akan kawin dengan Zaitun,
karena dia cinta padaku, dan bukan karena mantera dan jimat.”
(Lubis, 2013:202)

Dalam kutipan di atas, ditegaskan oleh Sanip dan Buyung bahwa jimat yang

dibuat Wak Katok adalah palsu. Secara tersurat peristiwa di atas memang

menandakan penegasan bahwa jimat-jimat Wak Katok palsu. Namun secara

tersirat ada makna lain yang terdapat dari pembuangan jimat oleh Sanip dan

Buyung tersebut. Hal ini menandakan bahwa simbol jimat melambangkan

kepercayaan Buyung dan Sanip kepada ilmu gaib yang akhirnya runtuh. Ditarik

makna yang lebih dalam, simbol jimat dapat menjadi ‘tanda’ yang

merepresentasikan sesuatu yang lebih besar. Maka dari itu, dibutuhkan analisis

lebih lanjut pada bab III.


2.7.3 Harimau

Simbol harimau disini merupakan simbol yang paling banyak dihadirkan

dalam novel Harimau! Harimau! . Harimau tidak hanya muncul dalam cerita,

tetapi juga muncul sebagai judul novel. Seperti yang diungkapkan oleh Stanton

(2007, 66) yang menjelaskan bahwa pengarang juga dapat menonjolkan satu

detail dengan menggambarkannya secara berlebihan ketimbang keperluan

faktualnya; membuatnya tampak tidak biasa tanpa satu alasan apapun,

menjadikannya judul, dan sebagainya. Apapun metode yang dipakai, apabila

sebuah detail ditonjolkan secara berlebihan melampaui kepentingannya dalam alur

cerita, detail tersebut kemungkinan besar adalah simbol.

Harimau pertama kali muncul dalam novel dalam kisah tentang Wak Hitam.

Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan-kutipan berikut:

Belakangan ini badannya bertambah kurus, dan dia masih selalu


memakai pakaian hitam.Matanya cekung mendalam, kumis dan
janggutnya telah banyak putihnya.Akan tetapi rambutnya masih
lebat. Meskipun dia sakit demikian, akan tetapi seluruh
perawakannya masih tetap garang dan menakutkan. Ada sesuatu
dalam dirinya yang menimbulkan rasa segan orang terhadap dirinya.
Tak obahnya dia seakan seekor harimau yang sakit, akan tetapi
yang jika dilanggar perasaannya, akan dapat melompat dan
menerkam dengan cepat dan mematikan. (Lubis, 2013:34)

Dari kutipan di atas, terlihat bahwa harimau dijelaskan sebagai

perumpamaan dari sifat Wak Hitam. Dari kalimat “jika dilanggar perasaannya,

akan dapat melompat dan menerkam dengan cepat dan mematikan” peneliti

mendapat gambaran tentang sifat harimau dalam novel ini, yaitu ganas. Harimau

kemudian muncul lagi pada kutipan berikut:

SANG harimau telah dua hari menderita lapar. Dia telah


tua.Tenaganya tak cukup kuat lagi, dan larinya tak cukup cepat pula
untuk mengejar buruannya yang biasa seperti babi atau rusa.
Tadi pagi ketika dia merasa telah dekat sekali pada rusa betina,
pemburuannya terganggu oleh bunyi yang amat hebat sekali, yang
memecahkan dan merobek udara dalam hutan.Rusa betina yang
dilihatnya telah mendekati rusa jantan, lari terbang amat cepatnya,
sedang rusa jantan jatuh.Dia pun melarikan diri segera setelah bunyi
keras yang mengejutkannya memenuhi udara. Dan kemudian,
beberapa jam kemudian, didorong oleh rasa laparnya, maka dengan
hati-hati dia kembali ke tempat rusa jantan terjatuh. Yang tinggal
hanya bekas-bekas darah yang telah membeku di tanah.Dengan
lidahnya dijilatinya darah rusa yang telah membeku.
Akan tetapi apa yang tertinggal sama sekali tidak menenangkan
rasa laparnya. Sebaliknya dia merasa bertambah lapar.(Lubis,
2013:90-91)

Dia menggeram-geram, kecewa dan marah, dan menghembus-


hembus berkeliling di tanah di sekeliling api unggun yang telah
padam.
Di antara bau rusa, bau manusia juga keras sekali tinggal, dan bau
manusia itu kini menimbulkan selera dan laparnya yang amat sangat
pula.(Lubis, 2013:121)

Melalui kutipan-kutipan di atas peneliti mendapatkan gambaran langsung

mengenai wujud fisik dan sifat harimau tersebut sekaligus. Harimau dalam novel

ini adalah binatang buas yang kelaparan selama dua hari dan ia memburu

pendamar didorong oleh rasa laparnya yang tidak kunjung berkurang. Maka dapat

dismpulkan bahwa sifat harimau ini adalah rakus. Harimau juga diceritakan

sangat menakutkan, terlihat pada kutipan berikut:

Mereka mendengar auman harimau untuk pertama kalinya, ketika


mereka telah tiba membawa rusa di tempat bermalam dan rusa telah
digantungkan kepada sebuah cabang pohon yang kuat, dan Wak
Katok baru saja selesai mengulitinya.
....
Ketika mendengar bunyi harimau mengaum, mereka serentak
terhenti bekerja.Wak Katok menghentikan pisaunya yang hendak
sekaligus melepaskan kulit rusa dari badannya, dan yang lain duduk,
atau berdiri kaku. Mereka memasang telinga, mereka menunggu
auman kedua, akan tetapi setelah beberapa waktu, auman harimau tak
berulang kembali, mereka saling berpandangan.
Seluruh rimba ikut terdiam.Serangga pun berhenti
menyanyi.(Lubis, 2013:86)

Selain dihadirkan dalam wujud binatang biasa, harimau dalam novel ini juga
di-mitos-kan sebagai siluman. Pembaca dibuat bertanya-tanya mengenai

wujudsebenarnya harimau yang memburu para pendamar dalam novel ini. Narator

tentu saja tidak langsung memberi informasi tersebut kepada pembaca, melainkan

melalui karakter dalam novel yang percaya bahwa harimau siluman itu ada.

Berikut adalah kutipan-kutipannya:

Anak-anak muda, seperti Sutan, Talib, Sanip dan Buyung dalam


hati takut padanya, meskipun tak pernah mereka perlihatkan. Karena
ada cerita yang mengatakan, bahwa Wak Hitam bersekutu dengan
iblis, setan dan jin, dan dia memelihara seekor harimau siluman.
Kalau dia hendak ke mana-mana, maka dia selalu mengendarai
harimaunya.
Kata orang dia berkali-kali pergi naik haji ke Mekkah terbang
mengendarai harimau silumannya.(Lubis, 2013:27)

“Bagaimana Wak Katok, bagaimana pikiran Wak Katok tentang


kata Pak Balam? Menurut pikiran saya, belumlah tentu benar bahwa
harimau yang menyerang Pak Balam adalah hukuman tuhan terhadap
dirinya. menurut yang saya dengar harimau yang jahat itu ada dua
macam, ada harimau biasa, yang menyerang manusia karena
kelaparan, karena tak lagi kuat mencari makan di rimba, dan ada
harimau siluman, harimau setan, yang dikirim oleh orang yang
memilikinya dan berniat jahat terhadap salah seorang dari kita. Atau
memang harimau siluman yang sudah ditakdirkan akan menghukum
orang yang berdosa. Menurut hematku baiklah kita periksa benar-
benar dahulu, apakah harimau ini harimau biasa, atau harimau
siluman.”(Lubis, 2013:108-109)

Bagaimana kalau harimau datang menyerangnya, dan mereka


bertiga yang selamat pulang ke kampung.Bagaimana jika harimau itu
sungguh harimau yang dikirim oleh Wak Hitam untuk membalas
dendamnya, karena dia telah meniduri Siti Rubiyah?(Lubis,
2013:195)

Dari kutipan di atas terlihat bahwa harimau siluman hanya muncul dalam

cerita orang-orang saja. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa novel ini mengambil

latar sosial masyarakat yang masih percya pada takhayul. Pada kepercayaan

masyarakat dalam novel ini harimau ada dua jenis, yaitu harimau biasa dan

harimau siluman. Karakter-karakter pendamar tidak tahu hingga akhir cerita


wujud sebenarnya dari harimau yang memburu mereka. Namun narator (dan

dengan begitupun pembaca) telah mengetahui kenyataannya, yakni harimau

biasalah yang memburu mereka dan sebenarnya harimau siluman itu tidak ada.

Hal tersebut secara langsung juga semakin memperkuat sifat percaya kepada

takhayul dari para pendamar.

Terakhir, simbol harimau muncul lagi sebagai sifat manusia.Harimau

ditemukan dalam pesan Pak Haji kepada Buyung dan Sanip di saat-saat menjelang

ajalnya.

“Orang yang membenci tidak saja hendak merusak manusia lain,


tetapi pertama sekali merusak manusia dirinya sendiri... kasihani
Wak Katok ... Orang yang berkuasa, jika dihinggapi ketakutan, selalu
berbuat zalim... ingatlah hidup orang lain adalah hidup kalian juga ...
sebelum kalian membunuh harimau yang buas itu, bunuhlah lebih
dahulu harimau dalam hatimu sendiri ...”(Lubis, 2013:199)

Dari pesan di atas, dapat dilihat bahwa harimau yang dimaksud Pak Haji

adalah ‘harimau’ sebagai lambang dan bukan eksistensi fisik. Harimau yang

dimaksud melambangkan sesuatu yang ada dalam hati manusia seperti yang

dikatakan Pak Haji. Melalui pembacaan berulang-ulang, peneliti mendapatkan

bahwa harimau tersebut merupakan sebuah simbol yang nantinya akan menjadi

“tanda” dalam cerita.

2.8 Relasi Antar Unsur

Berdasarkan penjelasan yang telah disajikan dalam data-data intrinsik novel

Harimau! Harimau!, terdapat keterkaitan antara unsur-unsur pembangun struktur

teksnya.Dalam novel ini, penarasian cerita secara dominan dilakukan oleh pihak

lain yang hadir dalam sudut pandang orang ketiga serba tahu. Seluruh peristiwa,
latar belakang karakter, dan isi hati dan pikiran karakter diceritakan melalui

‘mata’ pihak ketiga tersebut yang tahu segala informasi mengenai unsur-unsur

dalam struktur teks seperti alur, latar, karakter, dan simbolisme. Informasi

mengenai simbol memberikan gambaran tentang ide-ide yang tersirat mengenai

karakter di dalamnya. Sudut pandang bahkan mengendalikan alur dalam cerita

sehingga novel ini memiliki alur maju.Dengan teknik penceritaan seperti ini,

pencerita atau narator, ditambah simbolisme yang dipaparkan, mepengaruhi tiap-

tiap karakternya.

Walaupun begitu, tetap tampak bahwa karakter-karakter dalam novel ini

juga memiliki kendali terhadap keberadaan unsur lain seperti alur, latar, dan

karakter. Misalnya bahwa dalam novel Harimau! Harimau! alur yang terjadi

adalah alur maju, tetapi dalam beberapa bagian diceritakan karakter-karakter

pendamar seperti Pak Haji, Sanip, dan Sutan seolah-olah kembali ke masa lalunya

untuk mengingat kembali dosa-dosanya sehingga seolah-olah alur bergerak

mundur atau flashback. Alur ini bukan alur yang sebenarnya melainkan alur yang

dimunculkan berdasarkan ingatan dari karakter.Terlihat di sini Pak Haji, Sanip,

dan Sutan memegang kendali terhadap pergantian alur.Secara tidak langsung

mereka pun pun telah ‘mengendalikan’ perubahan latar waktu dari masa kini ke

masa lalu, juga otomatis mempengaruhi latar tempatnya.Karakter juga

mempengaruhi atau dipengaruhi karakter lain. Terlihat dari karakter Pak Balam

dan Wak Katok yang sama-sama membawa pengaruh mental yang kuat kepada

tiap anggota pendamar lainnya.

Kepribadian dan latar belakang karakter juga dipengaruhi latar novel.Latar


tempat, waktu, dan sosial terjadi dalam lingkungan masyarakat perkampungan

yang masih percaya kepada takhayul.Karakter-karakter dalam novel juga berperan

memberikan makna lain kepada objek-objek tertentu yang kemudian objek-objek

tersebut menjadi suatu simbol. Simbol-simbol yang ditemukan antara lain senapan

lantak, jimat, dan harimau.Semua unsur yang hadir tersebut menentukan tema dari

novel ini, yaitu tentang takhayul.

Dengan demikian, relasi antar unsur menunjukan makna dari beberapa

unsur yang muncul karena memiliki hubungan dengan unsur lain. Unsur-unsur

tersebut memiliki signifikansi yang mana tanpa unsur tersebut, unsur-unsur lain

tidak akan berarti atau memiliki peran yang penting dalam novel ini.

2.9 Identifikasi Tanda

Setelah mengungkapkan relasi antar unsurdi atas, dapat ditemukan beberapa

tanda yang mengacu pada pemaknaan novel.Namun, tanda-tanda yang dimaknai

hanya tanda-tanda yang mencagu pada kapasitas penelitian.Tanda tersebut dilihat

dari unsur-unsur yang memiliki signifikansi terhadap unsur-unsur lainnya

sehingga terlihat bahwa unsur-unsur memiliki suatu makna.Tanda-tanda tersebut

terdapat dalam bagian latar, karakter, dan simbolisme. Bagian latar terdapat pada

penyebutan nama’nenek’ sebagai kata ganti ‘harimau’ yang dianggap harimau

siluman.Dengan demikian, kata ‘nenek’ menjadi tanda yang terdapat dalam unsur

latar.

Dalam karakter juga terdapat tanda dari novel ini, yaitu pada karakter tujuh

pendamar dan karakter-karakter perempuan. Karena pada karakter pendamar,


yaitu Pak Haji, Wak Katok, Buyung, Sutan, Sanip, Talib, dan Pak Balam seperti

merepresentasikan macam-macam lapisan masyarakat. Karakter-karakter

perempuan dalam novel dipisahkan dari representasi tersebut karena karakter

perempuan mengandung makna lain yang berhubungan dengan masalah yang

dialami oleh kaum wanita saja. Terakhir mengenai tanda yang berasal dari

simbolisme, yang banyak terdapat pada simbol senapan lantak, jimat, dan

harimau.Simbol di sini dimaknai sebagai tanda, karena simbol-simbol tersebut

sering muncul dalam cerita novel Harimau! Harimau!.

Demikianlah identifikasi tanda dari novel Harimau! Harimau! yang

diperoleh dari relasi antar unsurnya. Analisis pada bab ini merupakan langkah

awal menuju analisis lebih lanjut pada bab berikutnya. Hasil analisis ini akan

dianalisis lebih lanjut pada tingkat pemaknaan dengan menggunakan teori

semiotik Roland Barthes untuk mengetahui pemaknaan konotasinya.

Anda mungkin juga menyukai