Anda di halaman 1dari 21

CITRA MANUSIA

DALAM KUMPULAN CERPEN SENYUM KARYAMIN


KARYA AHMAD TOHARI

Drs. Bambang Lelono, M.Hum


Dra.Roch Widjatini, M.Si
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jenderal Soedirman

Abstract
Collection of short stories Senyum Karyamin when analyzed by sociology of
literature has several characteristics or aspects of sociocultural (Java man) which is
prominent coloring its thirteen short stories. These aspects are the religious aspect,
which is about the religious attitude of human beings. It can be seen in the short
story of Syukuran Sutabawor. Moral aspects, including human dignity and
kamanungsan be seen on Ah,Jakarta short story and Syukuran Sutabawor short
story. The fatalistic and nrimo aspects contained in short story Senyum Karyamin.
Aspects of prasojo and aja dumeh seen in short stories Senyum Karyamin,
Ah,Jakarta, and Kenthus.
In addition to the sociocultural characteristics, image or picture in a collection of
short stories this Senyum Karyamin, involving directly the values of its
sociocultures namely: harmony, love and brotherhood, compassion, moral purity,
human dignity, and so on. Those values are strong enough coloring short stories
collected in Senyum Karyamin.

Abstrak
Kumpulan cerita pendek Senyum Karyamin, jika dianalisis dengan teori sosiologi
sastra, mempunyai beberapa karakteristik atau aspek sosial budaya (orang Jawa)
yang sangat kentara mewarnai ketiga belas cerpen di dalamnya. Aspek ini adalah
aspek agama, yaitu perilaku religius manusia. Hal ini terlihat dalam cerpen
Syukuran Sutabawor. Aspek moral, yaitu martabat manusia dan kamanungsan,
dapat terlihat pada cerpen Ah, Jakarta dan Syukuran Sutabawor. Aspek fatalistis
dan nrimo ada dalam cerpen Senyum Karyamin. Sedangkan aspek prasojo dan aja
dumeh terlihat pada cerpen Senyum Karyamin, Ah, Jakarta dan Kenthus.
Selain karakter sosial budaya, image atau gambaran dalam kumpulan cerpen
Senyum karyamin ini juga menunjukkan nilai-nilai sosial buadayanya, seperti:
harmoni, cinta dan persaudaraan, kasih saying, moral, martabat manusia, dan lain
sebagainya. Nilai-nilai tersebut cukup kuat mewarnai cerpen-cerpen yang ada dalam
buku Senyum Karyamin.
Pendahuluan bukanlah suatu hal yang asing.
Karya sastra merupakan Banyak pengamat mencatat bahwa
terjemahan tentang pengalaman hidup ada suatu kecenderungan para
manusia itu, secara langsung atau sastrawan untuk memasukkan nilai-
tidak langsung, mengalami dan nilai tradisional ke dalam karya-karya
bersentuhan dengan bebagai peristiwa mereka. Atheis karya Achdiat
yang terjadi dalam hidupnya. Realita Kartamiharja menampilkan gejala
kehidupan, lengkap dengan berbagai kehidupan masyarakat Sunda di
nilai yang terkandung di dalamnya, Bandung. Pengakuan Pariyem karya
direkam pengarang, diolahnya Linus Suryadi AG merefleksikan
sedemikian rupa, kemudian dunia batin manusia Jawa beserta
diekspresikan dalam gaya dan bentuk aspek mistiknya. Demikian pula Sri
yang khas (Nico, 1995). Sumarah dan Bawuk karya Umar
Dalam suatu karya sastra Kayam, Roro Mendhut karya YB
terpancar pemikiran, kehidupan, dan Mangunwijaya, dan lain-lainnya
tradisi yang hidup dalam suatu (Nico, 1995). Di antara sekian nama
masyarakat. Karena itu berbicara yang telah disebutkan di atas,
tentang kesusastraan berarti juga maupun yang tidak sempat
membicarakan suatu segi disebutkan di sini, hadir pula nama
kebudayaan. Sebagai bagian dari Ahmad Tohari yang novel karya
budaya nasional, karya sastra tak pertamanya menjadi obyek penelitian
dapat dipisahkan dari pemikiran ini.
maupun perasaan yang hadir dalam Ahmad Tohari tidak pernah
masyarakat. Karya sastra hidup dan melepaskan diri dari pengalaman
berkembang dalam masyarakat. kedesaannya. Tampaknya bahwa latar
Dengan disadari atau tidak pengarang alam pedesaan, serta tokoh-tokoh
menimba ilmu dalam masyarakat sentral masyarakat lapis bawah (wong
(Zaimar, 1991). cilik) yang berperan di dalamnya,
Dalam khazanah sastra merupakan kekuatan dan daya pikat
Indonesia, unsur sosial budaya dari yang khas dari karya-karyanya. Dunia
suatu masyarakat tertentu yang pedesaan yang lugu, kumuh, alami,
menjadi warna dari sebuah karya, dan sebagainya, dipadukan dengan
3

rakyat kecil yang miskin dan melarat, itulah yang bercerita tentang nilai-nilai
terasa sangat menyentuh. Di atas latar kemanusiaan yakni mengangkat citra
alam pedesaan serta tokoh-tokoh lapis atau gambaran manusia.
bawah seperti itulah, Tohari Masalah tersebut di atas,
menyampaikan tema-tema serta pesan- dapatlah dirumuskan permasalahannya
pesan kemanusiaan tentang jeritan yakni bagaimanakah gambaran atau
rakyat kecil, hubungan antara manusia citra manusia dalam empat cerpen
dengan Tuhan, cinta, kearifan, dan yang terdapat pada kumpulan cerpen
sebagainya. Perpaduan unsur yang Senyum Karyamin karya Ahmad
tepat dan memadai (Nico, 1995). Tohari.
Salah satu tema kemanusiaan Landasan teori yang digunakan
terdapat dalam kumpulan cerpen dalam penelitian ini adalah pendekatan
Senyum Karyamin karya Ahmad sosiologis. Secara singkat dapat
Tohari. Kumpulan cerpen ini dijelaskan bahwa sosiologi adalah
mempunyai ciri khas yang berbeda telaah yang objektif dan ilmiah
dengan cerpen-cerpen lainnya, yaitu tentang manusia dalam masyarakat;
penggunaan latar, nama tokoh-tokoh, telaah tentang lembaga dan proses
dan karakter yang ada di dalamnya sosial. Sosiologi mencoba mencari
yang menyangkut persoalan wong tahu bagaimana masyarakat
cilik atau masyarakat kelas bawah. dimungkinkan, bagaimana ia
Oleh karena itu perlu dilakukan berlangsung dan bagaimana ia tetap
penelitian terhadap kumpulan cerpen ada. Dengan mempelajari lembaga-
tersebut. lembaga sosial dan segala masalah
Kumpulan cerpen Senyum perekonomian, keagamaan, politik,
Karyamin ini terdiri atas 13 cerpen. dan lain – yang kesemuanya itu
Dalam penelitian ini, hanya akan merupakan struktur sosial – kita
diambil empat cerpen saja yang mendapatkan gambaran tentang cara-
menjadi objek analisis. Keempat cara manusia menyesuaikan diri
cerpen tersebut adalah : Senyum dengan lingkungannya, tentang
Karyamin, Ah Jakarta, Syukuran mekanisme sosialisasi, tentang proses
Sutabawor, dan Kenthus. Hal ini pembudayaan yang menempatkan
dilakukan, karena ke empat cerpen anggota masyarakat di tempatnya
4

masing-masing. Seperti halnya Menganalisis karya sastra


sosiologi, sastra berurusan dengan dengan menggunakan pendekatan
masyarakat; usaha manusia untuk sosiologis ini dapat dilakukan dengan
menyesuaikan diri dan usahanya untuk dua cara (Nico, 1995). Cara pertama,
mengubah masyarakat itu. Dalam hal yakni analisis bermula dari karya
ini, sesungguhnya sosiologi dan sastra sastra lalu dihubungkan dengan
berbai masalah yang sama. Dengan masyarakat dan budaya. Sedangkan
demikian, novel dapat dianggap cara kedua berupa analisis yang
sebagai usaha untuk menciptakan bermula dari faktor luar karya sastra
kembali dunia sosial ini; hubungan kemudian dihubungkan dengan yang
manusia dengan keluarganya, terdapat dalam karya sastra. Kedua
lingkungannya, politik, negara, dan cara ini dapat dimanfaatkan secara
sebagainya. Dalam pengertian bolak-balik; kendatipun demikian,
documenter murni, jelas tampak dalam penelitian ini penulis cenderung
bahwa novel berurusan dengan tekstur menggunakan pola pertama. Teks
sosial, ekonomi, dan politik – yang sastra tetap menjadi tumpuan utama.
juga menjadi urusan sosilogi – Penelitian ini merupakan
(Darmono, 1978). penelitian kualitatif, yakni proses
Pembahasan hubungan sastra penelitian yang menghasilkan data
dengan masyarakat biasanya bertolak deskriptif dari sumber data yang
dari frase De Bonald bahwa “sastra berupa kata-kata tertulis atau lisan
adalah ungkapat perasaan yang dapat diamati (Moleong, 1990).
masyarakat”. Sastra menciptakan dan Data-data yang terkumpul dalam
mengekspresikan hidup. Pengarang penelitian ini berupa kata-kata
tidak bisa tidak mengekspresikan sehingga dalam laporan penelitian
pengalaman dan pandangannya akan berisi kutipan-kutipan yang
tentang hidup. Seniman berfungsi sebagai penjelasan. Adapun
menyampaikan kebenaran yang pengumpulan data dilakukan secara
sekaligus juga merupakan kebenaran simak dan catat serta pustaka.
sejarah dan sosial. Karya sastra adalah
“dokumen karena merupakan
monument” (Wellek&Warren, 1989).
5

CITRA MANUSIA DALAM dalam kondisi materi sangat minim,


KUMPULAN CERPEN SENYUM lalu terjebat siklus kredit utang dan
KARYAMIN tokoh-tokoh lainnya yang mirip dalam
Pengantar cerpen-cerpennya yang terkumpul
Cerpen-cerpen dalam Senyum dalam kumpulan Senyum Karyamin.
Karyamin, memperlihatkan betapa
Tohari memiliki kekhasan tersendiri Aspek Religius
dalam menciptakan teks sastranya. Istilah abangan dan santri
Wilayah pedesaan yang lugu dan tidak pernah disebutkan secara tersurat
alami merupakan dunia yang paling oleh Tohari dalam cerpen-cerpennya
akrab dijamah Tohari. Latar alam yang terkumpul dalam Senyum
pedesaan lengkap dengan Karyamin. Akan tetapi, pada beberapa
masyarakatnya yang bertaburkan cerpennya, dunia rekaan Tohari ini
berbagai nilai budaya mewarnai sesungguhnya mengungkapkan
ketigabelas cerpen yang terkumpul kehidupan (sikap keagamaan) kaum
dalam Senyum Karyamin, membaca abangan dan santri. Misalnya, di
cerpen-cerpen tersebut, kita akan samping Islam abangan, beberapa
segera menangkap suatu dunia cerpen lainnya juga mengungkapkan
kehidupan pedusunan. kehidupan kaum abangan. Pikiran,
Tokoh-tokoh yang dilukiskan sikap, dan perilaku tokoh-tokohnya,
oleh Tohari dalam kumpulan cara menyelesaikan persoalan
cerpennya adalah tokoh-tokoh hidupnya, dan sebagainya tampaknya
stereotip: orang-orang desa yang dilakukan secara abangan. Akan tetapi
terjerat kemiskinan dan kebodohan. sulit dipastikan bahwa tokoh-tokoh
Rakyat kecil yang tersingkir dari tersebut beragama ataupun tidak.
kelayakan kehidupan komunitas Kalaupun beragama, tidak jelas apa
masyarakatnya. Masyarakat lapis agama yang dianutnya. Dalam cerpen
bawah yang terhempas dan sering “Syukuran Sutabawor”, misalnya,
tidak pernah diperhitungkan digambarkan bahwa :
kehadirannya. Karyamin dalam cerpen “Sutabawor sangat gembira
sehingga ia rela memotong
“Senyum Karyamin” adalah si
tida ekor ayamnya yang tidak
pengumpul batu kali yang hidup begitu besar buat syukuran.
Syukur kepada Gusti Allah
6

yang telah berkenan dan budaya yang bernilai magis dan


menyuruh pohon jengkol
tahyul.
Sutabawor berbuah. Hari
inilah Sutabawor Jika berpijak pada konsep
melaksanakan syukuran itu.
bahwa abangan adalah orang yang
(SK:39-40).
menganut suatu agama (Islam,
Kutipan di atas menunjukkan Kristen, atau Katolik) menurut
bahwa Sutabawor setidak-tidaknya Harjowirogo (1989), tetapi dalam
bersyukur kepada Allah karena melaksanakan rukun, hukum, ataupun
meyakini bahwa Allah itu sungguh ajarannya cenderung membaurkannya
ada, Mahabaik, dan Pengasih. Allah dengan tradisi kepercayaan yang
dapat mengabulkan permintaannya berbau magis dan sebagainya, maka
(manusia). Oleh karena itu, manusia cerpen Syukuran Sutabawor
(ia) bersyukur kepada-Nya. Betapapun melukiskan sikap keagamaan kaum
demikian, tidak dapat dipastikan abangan. Tokoh-tokoh ceritanya
bahwa Allah yang diyakini Sutabawor adalah orang-orang abangan, jika
bersumber pada ajaran agama tertentu boleh dikatakan demikian.
: Islam, Kristen, atau agama apa saja. Martabat Manusia dan
Tidak ada deskripsi latar ataupun Kamanungsan
unsur lainnya yang mendukung Setiap manusia tanpa harus
keyakinan tersebut dan dapat dibedakan suku, bangsa, dan
dijadikan indikasi penafsiran tentang sebagainya, pasti memiliki rasa
agama yang dianut Sutabawor. kemanusiaan karena pada dasarnya
Malah sebaliknya dilukiskan manusia itu memiliki hakikat dan
bahwa kendatipun Sutabawor martabat kemanusiaan. Manusia itu
bersyukur kepada Gusti Allah karena berbeda dengan makhluk hidup
pohon jengkolnya telah berbuah, lainnya. Manusia itu berbudaya,
namun dalam berikhtiar agar pohon berpikiran, berperasaan halus, dan
tersebut dapat berbuah justru sebagainya. Oleh karena itu, manusia
dilakukan oleh Sutabawor dengan saling menghormati, menjunjung
tata-cara magis (tahyul). Sutabawor tinggi sesamanya, serta mencintai
memanfaatkan mantra; tatacara yang sesama hidupnya. Hanya mungkin
masih berakar kuat pada tradisi adat situasi dan kondisilah yang
7

membedakan manusia yang satu di antara kerumunan puluhan orang,


dengan yang lainnya (Nico, 1995). yang menyaksikan mayat tersebut,
Maka sebagaimana halnya tampil tokoh “aku” yang mengaku
dengan manusia-manusia pada sebagai sahabatnya. Pengakuan yang
umumnya, Hardjowirogo menjelaskan tentu saja mengejutkan polisi dan
bahwa manusia Jawa itu ber- orang-orang yang berkerumun.
kamanungsan, memiliki rasa Bahkan ketika polisi dan orang-orang
kemanusiaan yang besar. Manusia yang berkerumun itu pergi
Jawa umumnya peka akan penderitaan membiarkan mayat itu terkapar begitu
sesame yang dilihatnya sehingga saja, “aku” dengan penuh kesadaran
tergerak keinginannya untuk kemanusiaan serta tanggung jawab
memberikan pertolongan. Berbeda berusaha menguburkan mayat
dengan yang lainnya, Hardjowirogo sahabatnya, walaupun seorang diri
juga menyatakan bahwa tanpa bantuan siapa pun. Suatu sikap
sentimentalitas manusia Jawa relatif manusiawi yang nyaris utopis.
lebih mudah tergugah untuk Judul cerpen “Ah, Jakarta”
menolnong sesama yang dirundung lebih menyerupai sebuah kalimat
malang, tanpa harus (tanpa tanda baca akhir) dan
memperhitungkan kemampuannya. mengandung makna konotatif. “Ah,
Manusia Jawa cenderung emosional Jakarta” menyiratkan gambaran
serta sentimental. Hal ini tercermin kehidupan metropolitan, dan
dalam cerpen “Ah, Jakarta”. menyarankan pembaca untuk
Cerpen “Ah, Jakarta” berkisah menangkap gambaran kehidupan
tentang penjahat yang bersembunyi tersebut dari dua sisi yang bertolak
(disembunyikan) di rumah belakang: yang gemerlapan dan yang
sahabatnya, lalu meninggal (di tangan compang-camping. Manusia-
penembak misterius?) ketika secara manusianya pun bergerak dalam
diam-diam meninggalkan rumah lingkaran kehidupan yang demikian.
sahabatnya. Mayatnya ditemukan Pada suatu sisi dan saat-saat tertentu
terapung di kelokan Kali Serayu ia bergerak ke arah kehidupan yang
dalam kondisi yang hampir tidak gemerlapan; namun pada sisi dan
dikenal. Dalam penyidikan polisi serta
8

kesempatan lain ia terjebatk dalam Serta pada akhir cerita “aku”


kehidupan yang compang-camping. menyadari dan menegaskan kembali
Sahabat tokoh “aku” dalam realitas kehidupan sahabatnya yang
cerpen ini dikisahkan sebagai individu terjebak kehidupan metropolitan
(manusia) yang terjebatk kehidupan tersebut. “Aku” berkisah bahwa
metropolitan dari sisi yang gelap. “sepeda motor yang kupacu berbunyi,
Moralitas (mentalitas) sahabatnya ah, Jakarta. Mengapa bila diucapkan
telah berubah. Nilai-nilai moral (nilai- dengan tekanan tertentu kata-kata itu
nilai posifit) yang dianutnya perlahan- menampilkan sisi compang-camping
lahan telah bergeser. Sahabatnya yang dan belepotan. Karibku ikut
dulu dikenalnya sebagai orang baik- belepotan. Dan kini aku tidak berguna
baik, sebagai seorang sopir keluarga menyalahkannya (SK:32).
di Jakarta, sekarang telah berubah Dengan hanya menyebut “Ah,
menjadi seorang perampok dan Jakarta”, sejumlah informasi serta
sekaligus menjadi buronan polisi. nilai-nilai tertentu terasa lebih lengkap
Sejak awal kisah, realitas kehidupan menerangkan jati dirinya (sahabat
sahabat tokoh “aku” ini telah tokoh “aku”) yang terjebak kehidupan
terungkap lewat penuturan tokoh metropolitan, daripada rincian
“aku” : keterangan lainnya. Boleh saja “aku”
“Kedatangannya pada suatu tidak menyetujui atau tidak rela
malam di rumahku memang
mengapa justru sahabatnya yang
mengejutkan. Sudah lama aku
tidak melihatnya. Lama sekali, terjebak kehidupan metropolitan itu,
mungkin tiga tahun atau lebih.
namun demikianlah yang terjadi.
Selama itu, aku hanya
mengetahui keadaannya lewat Jakarta tidak pernah memandang bulu.
cerita teman yang sering
Kesan tersebut malah semakin
melihatnya di Jakarta. Dari
cerita teman itulah aku diperkuat oleh penuturan sahabat
mengerti bagaimana
tokoh “aku” tentang sekali peristiwa
kehidupannya di Ibukota.
Bahwa dia tidak lagi menjadi kelompoknya menjarah di rumah
sopir sebuah keluarga di jalan
seorang kaya di Kebayoran :
Cim Menteng. Tidak juga
berkumpul dengan orang “Pernah kami masuk ke rumah
tuanya di Lampung. Dia suka orang kaya di Kebayoran. Yang
lain (SK:27).” punya rumah bangun dan
menjemput kami di ruang
tengah dengan pistol di tangan.
9

Kami siap berkelahi. Tapi tuan Lewat cerpen “Ah, Jakarta”,


rumah justru menawarkan
kiranya pengarang berhasrat
barang-barangnya. Hanya satu
permintaannya, agar kami tidak membicarakan masalah badai “Petrus”
ribut-ribut. Di kemudian hari
yang pernah terjadi di masyarakat.
kami tahu bahwa yang kami
rampok adalah seorang pejabat Pengarang berusaha menyampaikan
penting. Di rumah itu dia
visi moralnya berkenaan dengan badai
sedang ngendon dengan istri
muda. Daripada heboh masuk Petrus tersebut, kendatipun hanya
koran maka dia ambil jalan
memberikan komentar moral secara
yang bagi kami amat bijak.”
Dia tertawa lepas. “Yah, umum. Visi moral pengarang yang
Jakarta !” (SK:30).
dilandasi oleh nilai-nilai positif
warisan budayanya serta nilai-nilai
Ironis, seorang pejabat yang
moral agama yang dianutnya. Visi
diharapkan dapat dijadikan panutan
moral pengarang ini tercermin dalam
ataupun pengayom, malah mungkin
pikiran, sikap, dan perilaku tokoh
tidak lebih baik daripada sahabat
“aku” dalam menerima dan
tokoh “aku”. Moralitasnya diragukan,
memperlakukan sahabatnya (yang
terutama nilai-nilai ideal perkawinan
buronan dan kemudian menjadi
yang bersifat monogam. Tambahan
korban penembakan misterius). Sikap
pula bahwa ia (pejabat penting
dan perilaku tokoh “aku”
tersebut) tetap tampil berdiri kokoh
memperlihatkan kepribadian moral
sebagai tokoh pengayom masyarakat.
yang kuat: suatu kesanggupan untuk
Tindakannya membiarkan akwanan
bertindak sesuai dengan apa yang
penjahat menjarah harta miliknya-
diyakininya sebagai baik dan benar.
bahkan ia sendiri menawarkannya,
Kritik moral (terhadap aparat)
bukanlah karena (demi) menghindari
yang merupakan bagian dari
korban nyawa; tetapi melulu karena
kemanusiaan ditemukan dalam cerpen
kekhawatirannya akan terungkapnya
“Syukuran Sutabawor”. Misalnya
skandal perkawinannya. Ia khawatir
mantra yang diajarkan oleh Mertua
jika nama baiknya yang telah sekian
Sutabawor: He, pohon jengkol. Kamu
lama disembunyikan dengan amannya
boleh pilih. Berbuah selebat-lebatnya
di balik topeng kemunafikannya,
dan kubiarkan tegak, atau tidak
bakal hancur karenanya.
berbuah dan kamu kutebang untuk
10

tutup lahat makam priyayi zaman mereka angkuh tentu saja.


Mereka jarang menyadari
akhir” (SK:39). Frase priyayi zaman
bahwa gaji yang mereka terima
akhir menimbulkan persoalan yang berasal dari wong cilik,
setidaknya berasal dari harta
dipertanyakan oleh para tetangga yang
milik bersama seluruh rakyat.
adalah petani-petani sahabat Pokoknya priyayi zaman dulu
itu menurut pohon jengkol
Sutabawor yang menghadiri syukuran
demikian tak berharga karena
tersebut. mengapa harus priyayi miskin akan nilai kemanusiaan
yang sejati.” (SK:41)
zaman akhir? Mengapa tidak ada
mantra yang berbunyi, “ …., tani
Mantra merupakan khazanah
pemakan jengkol?” Apakah priyayi
budaya masa silam, maka priyayi
zaman akhir itu merupakan manusia-
zaman akhir pun diartikan sebagai
manusia yang tidak berharga sehingga
priyayi kontemporer pada zaman itu-
pepohonan pun seakan-akan tidak
sebagaimana yang terungkap dari
ingin dimanfaatkan sebagai penutup
kutipan di atas. Priyayi zaman akhir
liang lahatnya? Siapa pula yang
adalah orang-orang ningrat yang
dimaksudkan dengan priyayi zaman
miskin akan nilai-nilai kemanusiaan:
akhir itu?
orang-orang yang tidak mau mengerti
Mertua Sutabawor
akan penderitaan rakyat kecil: kaum
mengungkapkan :
“sedulur-sedulur, dengarlah. ningrat yang lupa akan bangsanya;
Sampean semua jangan salah
penjilat-penjilat penjajah. Di mata
tafsir. Mantra itu adalah hasil
pangraita pujangga zaman masyarakat pada zaman itu, kaum
dulu. Demikian tentunya. Jadi,
priyayi adalah orang-orang yang
yang tersebut sebagai priyayi
zaman akhir ya priyayi zaman dianggapnya tidak berharga dan diam-
pujangga itu, zaman dulu.
diam dikutuknya.
Bukan priyayi zaman sekarang,
priyayi zaman dulu kan bekerja Sebagai khazanah budaya
dan mengabdi kepada kaum
masa silam, maka barangkali tidak ada
penjajah, bukan bekerja dan
mengabdi kepada kaum kawula lagi mantra dalam kehidupan pada
seperti kita ini. Mereka
zaman modern ini. Manusia-manusia
bersikap ningrat, maunya
dilayani. Mereka menjunjung mungkin tidak akan percaya pada
atasan dan tak mau mengerti
sederetan kata atau kalimat yang
tangise wong cilik. Mereka
maunya membentuk tata nilai konon mempunyai daya magis
sendiri dan malu bergaul
tersebut. betapapun demikian, ternyata
dengan rakyat biasa. Dan
11

bahwa khazanah budaya lama ini kalangan masyarakat Jawa terdapat


diangkap dan dimaknai kembali oleh ungkapan “wong cilik sekenang
pengarang di dalam ceritanya. Di matane”.
samping mempunya daya magis, bagi
para petani, mantra tersebut juga Sikap Fatalistik dan Nerimo
menyiratkan makna yang sangat Hardjowirogo (1989
dalam: wong cilik ternyata diam-diam menjelaskan bahwa, dalam
mengawasi, mengerti, dan menilai kehidupannya, orang (manusia) Jawa
gerak-gerik ataupun tindak-tanduk pada umumnya bersikpa fatalistik :
kaum priyayi. menganggap bahwa hidup manusia
Dengan kandungan makna dikuasai oleh nasib. Manusia Jawa
yang demikian itu, maka pengarang beranggapan bahwa “urip manungsa
mengangkat khazanah budaya lama pinasti ing Pangeran”. Bagaimanapun
tersebut untuk meneropong atau baiknya manusia merancang
menyoroti perilaku aparat atapun hidupnya, kesudahannya Tuhan jualah
kaum birokrat (jika boleh kaum yang menentukan.
priyayi masa kini diartikan seperti Dengan berpikir fatalistik
itu). Tampaknya pengarang ingin dalam hubungannya dengan nasibnya,
menyampaikan secara halus dan manusia Jawa mewarisi tradisi budaya
tersamar, bahwa priyayi zaman akhir yang khas, yang sering disebut dengan
sebagaimana yang tercermin dalam nrima. De Jong (1976) menjelaskan
mantra tersebut dapat diartikan bahwa narima (nrima) berarti merasa
sebagai priyayi zaman modern puas dengan nasibnya, tidak
(sekarang); Perilaku kaum priyayi memberontaak, dan menerima dengan
pada zaman itu, pun agaknya tidak rasa terima kasih. Narima
berbeda pula dengan perilaku aparat menekankan pada “apa yang ada”, dan
serta kaum birokrat masa kini; dan bukan mencari-cari apa yang tidak
diam-diam ternyata wong cilik juga ada. Dengan bersikap narima berarti
mengerti akan semua perilaku aparat tanpa protes menerima segala sesuatu
atau birokrat yang berpredikat; agen yang masuk dalam hidupnya; tidak
pembangunan, pengemban amanat, mencari kepentingan sendiri,
dan sejumlah predikat lainnya. Dalam melainkan mengutamakan
12

keselamatan dan kepentingan tengkuklak, terhadap


rendahnya harga batu, atau
masyarakat.
terhadap licinnya tanjakan.
Pada beberapa cerpen yang Pagi itu senyum Karyamin pun
menjadi tanda kemenangan atas
terkumpul dalam Senyum Karyamin
perutnya yang sudah mulai
ini, pengarang melukiskan sikap melilit dan matanya yang
berkunang-kunang (SK:3).
kehidupan manusia-manusianya yang
berpikir fatalistik. Cerita-ceritanya
Tawa dan senyum seperti yang
menampilkan masalah kemanusiaan
tersurat dalam kutipan di atas
yang telah berbaur dengan
merupakan ekspresi langsung dari
ketidakberdayaan manusianya yang
wong cilik atas kepasrahannya
diwarnai oleh sikap nrima.
menerima kenyataan hidupnya. Jika
Karakteristik (pikiran dan perilaku)
sahabat-sahabat Karyamin berusaha
manusia-manusia (tokoh-tokoh
berbahagia (bergembira) dengan cara
imajiner) yang terlukis dalam cerpen-
menertawakan diri sendiri, maka
cerpen tersebut merupakan gambaran
Karyamin memilih tersenyum sebagai
manusia Jawa yang nrima. Bahkan
perisai bagi penderitaan hidupnya.
tidak jarang menjurus pada
Karyamin senantiasa tersenyum atas
keputusasaan.
segala sesuatu yang mendatanginya
Hal ini terlihat dalam cerpen
akan perlindungan terakhir bagi
“Senyum Karyamin”, salah satu
dirinya dalam menerima ketidakadilan
cerpen yang sekaligus menjadi title
perlakuan para penguasa ekonomi
dari ketigabelas cerpen yang
kehidupannya (tengkulak).
terkumpul di dalamnya. Tohari
Sebagai ekspresi penghayatan
menuliskan bahwa :
subjektifnya, kekhasan senyuman
“Mereka tertawa bersama.
Karyamin memperlihatkan kepasrahan
Mereka para pengumpul batu
itu, memang pandai bergembira yang tulus. Betapapun merasa lapar,
dengan cara menertawakan diri
namun tanpa menghiraukan
mereka sendiri. Dan Karyamin
tidak ikut tertawa, melainkan kepentingan dirinya, Karyamin
cukup tersenyum. Bagi mereka,
menolak tawaran makan oleh Saidah.
tawa atau senyum sama-sama
sah sebagai perlindungan Kesadaran kemanusiaannya
terakhir. Tawa dan senyum
(moralnya) mengingatkan Karyamin
bagi mereka adalah simbol
kemenangan terhadap untuk tidak menimpakan apa yang
13

telah menjadi beban atas pundaknya kewajibannya hari ini, hari esok, hari
kepada sahabatnya atapun orang lain. lusa, dan entah hingga kapan, seperti
Kekhasan senyuman Karyamin entah kapan datangnya tengkulak
seakan-akan juga mengingatkan yang telah setengah bulan membawa
sahabatnya akan manifestasi sikap batunya” (SK:5). Maka dalam
nrima bahwa “demikianlah orang usahanya untuk menghindarkan
harus menerima kenyataan”. Maka konflik secara terbuka, diam-diam
Saidah pun sadar, betapapun itu Karyamin berupaya menghindarkan
terkadang menyakitkan : dirinya dari pertemuannya dengan
“Saidah memutus kata-katanya penagih bank harian tersebut. Akan
sendiri karena Karyamin sudah
tetapi ketika baru saja hendak berbalik
berjalan menjauh. Tetapi
Saidah masih sempat melihat meninggalkan petugas bank,
Karyamin menoleh kepadanya
Karyamin justru bertemu dengan
sambil tersenyum. Saidah pun
tersenyum sambil menelan pamong desa yang setengah
ludah berulang-ulang. Ada
memaksanya membayar iuran bantuan
yang mengganjal di
tenggorokan yang tak berhasil bagi rakyat Afrika yang kelaparan :
didorongnya ke dalam.
Masih dengan seribu kunang-
Diperhatikannya Karyamin
kunang di matanya, Karyamin
yang berjalan melalui lorong
mulai berpikir apa perlunya dia
liar sepanjang tepi sungai.
pulang. Dia merasa pasti tidak
Kawan-kawan menyeru-nyeru
menolong keadaan, atau
dengan segala macam seloro
setidaknya menolong istrinya
cabul. Tetapi Karyamin hanya
yang sedang menghadapi dua
sekali berhenti dan menoleh
penagih bank harian. Maka
sambil melempar senyum.”
pelan-pelan Karyamin
(SK:4)
membalikkan badan, siap
kembali turun. Namun di
Kepasrahan Karyamin bawah sana Karyamin melihat
seorang lelaki dengan baju
tampaknya juga menjurus pada
motif tertentu dan berlengan
keputusasaan. Setelah sadar dan panjang. Kopiahnya yang
mulai botak kemerahan
pasrah akan ketidakadilan perlakuan
meyakinkan Karyamin bahwa
tengkulak, ternyata karyamin kembali lelaki itu adalah Pak Pamong.”
(SK:5-6)
dihadapkan dengan penagih bank
harian yang mendatangi istriknya.
Pertemuan yang tidak
Karyamin sadar bahwa istrinya tidak
diinginkan Karyamin, namun tak
mungkin dapat “membayar
kuasa ditolaknya. Ingin menghindar,
14

juga tidak mungkin. Maka Karyamin dirinya. Aka ntetapi kekhasan


pun pasrah. Ia menyerah pada apa saja senyuman itu telah menimbulkan
yang bakal terjadi ataupun yang kesalahpahaman. Pak Pamong merasa
menimpa dirinya. Tanpa disadarinya, telah dipermainkan dan dihina oleh
Karyamin hanya bisa tersenyum : Karyamin. Pak Pamong menjadi
“Karyamin mendengar suara marah karenanya. Sebaliknya,
napas sendiri. Samar-samar,
Karyamin tidak bisa protes walaupun
Karyamin juga mendengar
detak jantung sendiri. Tetapi hanya sekedar berusaha menjelaskan
Karyamin tidak melihat bibir
situasi dan kondisi dirinya. Tubuhnya
sendiri yang mulai
menyungging senyum. Senyum rapuh, hilang keseimbangan. Maka ia
yang sangat baik untuk
pun rubuh terguling jatuh ke lembah.
mewakili kesadaran yang
mendalam akan diri serta Karyamin tidak hanya nrima
situasi yang harus dihadapinya.
pada nasibnya yang malang karena
Sayangnya, Pak Pamong malah
menjadi marah. Oleh senyum terjepit siklus utang kredit, atau
Karyamin.
tekanan tengkulak yang membeli
„Kamu menghina aku, Min?‟
„Tidak, Pak. Sungguh tidak.‟ batunya. Tetapi juga nrima akan status
„kalau tidak, mengapa kamu
sosial sebagai rakyat biasa yang
tersenyum-senyum? Hayo
cepat; mana uang iuranmu?‟ tunduk dan hormat kepada atasannya.
Kali ini Karyamin tidak hanya
Sikap nrima dalam makna terakhir ini
tersenyum-senyum, melainkan
tertawa keras-keras. Demikian melibatkan “prinsip rukun” dan
keras sehingga mengundang
“hormat”. Atas nama “prinsip
seribu lebah masuk ke
telinganya, seribu kunang kerukunan”, yakni demi keselarasan
masuk ke matanya.
sosial karena sesama warganya yang
Lambungnya yang kempong
berguncang-guncang dan lain telah berpartisipasi
merapuhkan keseimbangan
mengumpulkan dana Afrika, kecuali
seluruh tubuhnya. Ketika
melihat tubuh Karyamin jatuh dia seorang, maka Karyamin hanya
terguling ke lembah Pak
bisa tersenyum membenamkan ke
Pamong berusaha menahannya.
Sayang, gagal.” (SK:6) dalam batinnya akan semua keluhan
dan kesulitannya. Demikian pula atas
Senyum khas Karyamin yang
nama “prinsip hormat”, yakni demi
merupakan manifestasi dari sikap
keteraturan secara hirarkis akan
nrima; senyuman sebagai ekspresi
posisinya sebagai seorang warga,
kesadaran batin yang dalam akan
15

maka Karyamin hanya bisa diam kebudayaan terletak apda sifat serba
tanpa protes terhadap sikap dan wajar ini.
perilaku atasannya (pamong desa). Sifat prasaja ini tidak jarang
Karyamin tidak mengungkapkan pula berimplikasi langsung pada
dirinya dengan mengambil atau manusia Jawa untuk selalu berusaha
menempatkan diri pada posisi tertentu agar tidak bersikap dumeh. Yang
secara tidak etis (sesuai prinsip rukun dimaksudkan dengan dumeh, menurut
dan hormat), yakni dengan Hardjowirogo, adalah “keadaan
memberikan reaksi keras sebagai kejiwaan yang mendorong seseorang
sikap protes yang dapat menimbulkan untuk bersikap serta berbuat tertentu
konflik secara terbuka. Karyamin selagi atau mumpung dia sedang
hanya bisa pasrah pada keadaannya. berkuasa hingga dapat menampakkan
Kepasrahan yang boleh jadi juga diri berupa mabuk kekuasaan” (1989).
karena putus asa. Suatu kondisi kejiwaan yang harus
disingkiri, karena bersikap dumeh
Prasaja dan Aja Dumeh dapat menjauhkan sanak dan kawan.
Soetrisno (1993) menyebutkan Dalam kehidupannya, masyarakat
bahwa salah satu sifat manusia Jawa Jawa sering diwejangi untuk tidak
yang juga merupakan sifat inti adalah bersikap demikian atau lebih dikenal
prasaja (prasojo) atau sederhana. dengan aja dumeh “jangan bermabuk
Dengan sifat prasaja yang kuasa”.
dimaksudkan adalah sifat wajar tanpa Refleksi sifat prasaja yang
dibuat-buat. Segala tindakan berimplikasi langsung dengan sikap
dilakukan secara wajar dengan aja dumeh tampak jelas dan tegas
mengakang hawa nafsu. Sifat tidak terungkap dalam cerpen “Kenthus”.
ingin memamerkan kekayaan atau Kisah tentang Kenthus, seorang warga
tidak ingin menonjolkan kepandaian desa yang sehari-harinya hidup di
ataupun kehebatannya. Suatu sikap bawah garis kemiskinan, tiba-tiba
yang tidak memperlihatkan emosi merasa terangkat atau dilambungkan
secara berlebihan, dalam suka maupun dari kelas terbawah ke atas panggung
duka. Keluhuran budi serta ketinggian kehidupan. Bermula dari mimpi
menunggang macan, kemudian
16

ditafsirkannya sebagai isyarat untuk Senyumnya sesekali mengubah


bentuk bibirnya yang berhias
mendapatkan kekuasaan (jabatan).
cokop di kedua ujungnya.
Ternyata tafsiran tersebut kemudian Semua orang dijumpainya
berubah menjadi liliput: kecil
mencapai kenyataan. Kenthus
bukan main. Pepohonan
memang mendapatkan pangkat, tetapi menjadi kerdil dan merunduk.
Angin didengarnya
hanya sebagai pengumpul ekor tikus
bersenandung tembang
yang disetor petani di desa dengan manganyubagyo. Kenthus telah
dilambungkan dari kelas
upah sepuluh rupiah. Dan untuk itu,
terbawah ke atas panggung
Kenthus mendapatkan semacam kehidupan.
Maka inilah yang sudah
bonus, sebagai imbalan jasa atau tanda
diisyaratkan dalam mimpiku,
penghargaan atas tugas yang pikir Kenthus. Ya, tak salah
lagi. Mimpi nunggang macan.
diembannya. Kiranya karena jabatan
Apa tidak hebat? Macan adalah
itulah yang telah menyebabkan tamsil kekuasaan. Aku akan
menunggangi kekuasaan. Dan
Kenthus menjadi berubah pola tingkah
kenyataan itu tiba. (SK:47)
lakunya. Ia telah menganggap dirinya
sebagai orang yang paling berkuasa. Dengan sudut pandang author
Sementara sesama warganya yang omniscient “orang ketiga”, pengarang
juga sehari-harinya hidup di bawah dengan bebas mengungkapkan segala
garis kemiskinan dianggapnya begitu sesuatu yang dialami, dipikirkan, dan
kecil, bahkan lebih kecil dari liliput, dirasakan oleh Kenthus. Dari sana
serta tidak berarti di hadapannya. dapat dibaca bagaimana pikiran dan
Perubahan tingkah laku itu tatatindak laku tokoh tersebut. Begitu
menyebabkan Dawet (istrinya) keluar dari rumah ketua RT, Kenthus
menjadi benci, mual, dan muak memperlihatkan pola tingkah berkesan
terhadapnya. demonstratif; suatu sikap yang
Gambaran makna seperti yang tampaknya berlebihan. Orang-orang
disiratkan lewat judul, langsung dapat yang dijumpainya dianggapnya telah
dilihat pada bagian awal kisah berubah menjadi kecil abgai liliput;
tersebut. Pengarang membuka pepohonan menajdi kerdil dan
ceritanya dengan mengisahkan : merunduk; bahkan desau angin pun
“Keluar dari rumah ketua RT, didengarnya bagai tembang
Kenthus merasa dirinya bukan
mengayubagya; dalam tradisi Jawa
lagi Kenthus. Wajahnya binger.
17

tembang mengayubagya biasa Dawet dilihatnya seperti mata laron,


diperdengarkan untuk (ketika) dan komat-kamit mulutnya konon
menyambut kedatangan seorang tamu tampak bagai dubur ayam.
terhormat atau yang dibahagiakan. Sebaliknya, Dawet merasa
Kenthus merasa senandung itu aneh melihat pola tingkah laku
berkenaan dengan dirinya yang suaminya yang tidak seperti biasanya:
dilambungkan dari kelas terbawah ke berubah secara tiba-tiba. Terdorong
atas panggung kehidupan oleh cara berpikir yang masih terikat
sebagaimana diisyaratkan dalam pada nilai-nilai tradisional, perubahan
mimpinya menunggang macan. pola tingkah laku suaminya mula-
Dilatarbelakangi oleh kepercayaan mula dicurigai Dawet sebagai
Jawa, kejawen, Kenthus pertanda (isyarat) kematian. Pola pikir
menyimpulkan makna mipinya bahwa Dawet tercermin dalam ucapannya,
ia akan beroleh pangkat atau jabat. “Anyar-anyar apa mitoni? Bila orang
Dan kenyataan tersebut telah tiba, sudah dekat ajal biasa melakukan
menurutnya. yang aneh-aneh. . . . Nanti Kang, aku
Sebelum sampai pada jadi takut. Kamu sungguh-sungguh
pengungkapan tentang apa pangkat bukan sedang mintoni? Lho, meskipun
atau jabatan yang telah dipercayakan kamu melarat aku tidak mau jadi
ketua RT kepada Kenthus, pencerita janda. Sungguh Kang !” (SK:47-48).
menghadirkan tokoh Dawet, Akan tetapi melihat Kenthus yang
kemudian menyoroti kedua tokoh hanya tersenyum memperlihatkan
pasangan suami istri tersebut, serta sakunya yang penuh uang serta
perlahan-lahan menyingkap konflik di tingkahnya yang semakin congkak,
antara mereka. Kenthus yang mulai timbul kesadaran moral Dawet untuk
mabuk kuasa karena merasa telah lebih jauh mencurigai suaminya dari
mendapatkan kehormatan, tindakan yang tidak terpuji. Dawet
memperlihatkan pola tingkah laku tidak sudi jika uang dalam saku
berkesan congkak. Dawet, istrinya, suaminya adalah hasil curian : “Kan
dianggapnya telah berubah menjadi uang tadi bukan hasil nyolong Kang?”
liliput, bahkan lebih kerdil dari liliput (SK:48)
serta bertampang sangat jelek. Mata
18

Menghadapi sikap istrinya Jadi, aku kini sedang


menunggangi kekuasaan
yang tanpa diduga-duga mengajukan
karena macan adalah lambing
pertanyaan provokatif, bahkan kekuasaan.” (SK:49).
menyelidik, Kenthus tersinggung.
Termakan oleh kekuasaan
Maka dengan sikap yang nyaris
karena mimpi menunggang macan,
angkuh, ia harus mengatakan kepada
Kenthus memperlihatkan pola tingkah
istrinya bahwa tugas yagn diterimanya
lakuk yang semakin memuakkan.
sebagai pelaksana proyek pengadaan
Kenthus tampak angkuh dan suka
buntut tikus adalah semacam wahyu
meremehkan orang lain, sebagaimana
cakraningrat. Suatu kehormatan yang
sikap Dursasana dalam pentas wayang
telah dipercayakan kepadanya, dan
orang. Tohari mengungkapkan bahwa
harus diterimanya; karena ia telah
:
bermimpi menunggang macan.
“Nah, sudah jelas kan? Jadi,
Kenthus merasa telah berkuasa atau
Sore nanti lihatlah. Semua
menunggangi kekuasaan, karena orang berkumpul di sini hendak
setor buntut tikus. Mereka akan
macan adalah lambing kekuasaan :
antre dan berhimpitan di
Kenthus bangkit. Kediriannya hadapanku.”
yang baru menggeliat sejak Di depan istrinya, Kenthus
pulang dari rumah ketua RT berjalan berputar-putar.
tadi pagi, tersinggung. Dawet Lenggangnya mengayun ke kiri
dilihatnya lebih kecil daripada dan kanan. Ditambah dengan
liliput. Mulutnya lebih jelek gelaknya yang lepas, Kenthus
daripada dubur ayam. sengaja meniru Dursasana
Kemudian Kenthus berpidato. dalam pentas wayang orang.
Penuh gaya, lebih gaya Dawet dilihatnya hampir hilang
daripada penjual obat palsu di karena menjadi liliputnya,
depan pasar. Dikatakannya, ia liliputnya liliput. Anehnya, . . .
baru saja mendapatkan tugas, “ (SK:49)
semacam wahyu cakraningkat,
sebagai pelaksana proyek
Keangkuhan serta
pengadaan buntut tikus.
“Bukan karena semua orang kesewenangan sikap Kenthus sebagai
kampung ini sudah tahu ketika
akibat mabuk kekuasaan, mencapai
menjadi penggembala kerbau
aku sering menyate tikus!” kata puncaknya ketika sesama warga
Kenthus dalam tekanan khas,
petani sekampung berkumpul
“Melainkan kehormatan ini
sudah seharusnya kuterima. memadati halaman rumah Kenthus
Buktinya, kemarin dulu aku
untuk menyerahkan butut tikus yang
bermimpi nunggang macan.
19

diperolehnya. Kenthus merasa tidak setia, dalam arti tidak secara penuh
perlu harus cepat-cepat membayarnya melaksanakan atau mentaati rukun,
karena merasa dirinya lebih berkuasa hokum maupun ajaran agamanya.
dan orang lain harus tunduk serta Ciri sosiobudaya yang
hormat kepadanya. Ia membiarkan menyangkut aspek moral, martabat
saja orang-orang hiruk pikuk manusia dan kamanungsan dapat
berhimpitan, terjatuh, dan terinjak- disimpulkan bahwa sebagian besar
injak. Ia tidak memperdulikan manusianya sering menilai dan
keadaan yang memperihatinkan menempatkan martabat kemanusiaan
tersebut, bahkan menjadi tontonan seseorang dalam kualitas yang
yang menarik baginya. berbeda dan hanya orang-orang
tertentu saja (dari kelompok tersebut)
KESIMPULAN yang memandang nilai-nilai martabat
Kumpulan cerpen Senyum kemanusiaan itu sama bagi setiap
Karyamin karya Ahmad Tohari orang. Ada kelompok yang
melukiskan karakteristik manusianya menganggap rendah martabat
diidentifikasi sebagai “wong cilik”. kemanusiaan orang-orang yang tidak
Terutama karena lukisan tokoh, latar, jelas status sosialnya atau orang yang
peristiwanya yang diwarnai oleh ciri sering diperhitungkan kehadirannya.
sosiobudaya masyarakat Jawa. Sikap dan pandangan mereka
Beberapa ciri sosiobudaya atau dilatarbelakangi oleh pandangan
manusia Jawa yang dianalisis dari budayanya tentang keteraturan
cerpen Senyum Karyamin, Ah, hierarkis hubungan dalam masyarakat
Jakarta, Syukuran Sutobawor, dan yang terumus dalam “prinsip hormat”
Kenthus menunjukkan betapa ataupun merupakan refleksi
kentalnya ciri-ciri tersebut. Misalnya konsekuensi negatif dari pandangan
aspek religius, yakni tentang sikap budaya tersebut.
keagamaan manusia-manusianya Ciri sosiobudaya yang
dapat disimpulkan bahwa sikap menyangkut sikap fatalistik dan
keagamaan tokoh-tokoh cerita yang nerimo yang merupakan kekhasan
digambarkan pengarang pada tradisi budaya masyarakat Jawa ini
beberapa cerpennya cenderung tidak cukup kuat mewarnai sejumlah cerpen
20

yang terkumpul dalam Senyum martabat manusia, dan sebagainya.


Karyamin. Karakteristik manusia- Nilai-nilai itu pun cukup mewarnai
manusia tokoh imajiner yang terlukis cerpen-cerpen yang terkumpul dalam
dalam cerpen-cerpen tersebut Senyum Karyamin.
merupakan gambaran manusia Jawa
yang nerimo, tanpa protes menerima DAFTAR PUSTAKA
segala sesuatu yang masuk dalam Aminudin. 1990. Pengantar Apresiasi
hidupnya. Bahkan tidak jarang Sastra. Bandung : Sinar Baru
Algansindo.
gambaran sikap nerimo tersebut
menjurus kepada ketidakberdayaan De Jong, S. 1976. Salah Satu Sikap
Hidup Orang Jawa.
ataupun keputusasaan. Yogyakarta : Kanisius.
Prasojo dan ojo dumeh juga
Damono, Sapardi Djoko. 1978.
merupakan ciri yang menonjol Sosiologi Sastra Sebuah
mewarnai sejumlah cerpen yang Pengantar Ringkas. Jakarta :
Pusat Pembinaan dan
terkumpul dalam Senyum Karyamin. Pengembangan Bahasa
Tokoh-tokoh yang terlukis dalam Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
cerpen tersebut merupakan cerminan
manusia-manusia yang dalam berpikir Hardjowirogo, Marbangun. 1989.
Manusia Jawa. Jakarta : CV
dan bertindak senantiasa selalu Haji Masagung.
bersikap serba wajar tanpa
Moleong, Lexy J. 1990. Metode
memperlihatkan emosi yang berlebih- Penelitian Kualitatif. Bandung
lebihan atau dibuat-buat, gambaran : Remaja Rosdakarya.

manusia yang tidak ingin Nico, Hayon G. 1995. Gambaran


memamerkan kepandaian, kekayaan, Manusia Jawa Dalam
Kumpulan Cerpen Senyum
dan sebagainya. Karyamin Karya Ahmad
Di samping ciri-ciri Tohari (Suatu Tinjauan
Sosiobudaya). Jakarta : Tesis
sosiobudaya, patut pula disebutkan S2 Program Pascasarjana UI.
bahwa ciri-ciri sosiobudaya tersebut
Satoto, Sudiro. 1995. Metode
melibatkan secara langsung nilai-nilai Penelitian Sastra. Surakarta :
sosiobudayanya yakni kerukunan, University Press.

cinta dan persaudaraan, kasih sayang, Soetrisno, PH. 1997. Falsafah Hidup
kemurnian moral, kesejatian hidup, Pancasila Sebagaimana
Tercermin dalam Falsafah
21

Hidup Orang Jawa. (Terjemahan Melani


Yogyakarta : LPM-UGM. Budianta). Jakarta : PT
Gramedia.
Tohari, Ahmad. 1991. Senyum
Karyamin. Jakarta : PT Zaimar, Okke KS. 1997. Menelusuri
Gramedia Pustaka Utama. Makna Ziarah Karya Iwan
Simatupang. Jakarta :
Wellek, Rene dan Austin Warren. Intermassa.
1989. Teori Kesusastraan

Anda mungkin juga menyukai