Abstract
Collection of short stories Senyum Karyamin when analyzed by sociology of
literature has several characteristics or aspects of sociocultural (Java man) which is
prominent coloring its thirteen short stories. These aspects are the religious aspect,
which is about the religious attitude of human beings. It can be seen in the short
story of Syukuran Sutabawor. Moral aspects, including human dignity and
kamanungsan be seen on Ah,Jakarta short story and Syukuran Sutabawor short
story. The fatalistic and nrimo aspects contained in short story Senyum Karyamin.
Aspects of prasojo and aja dumeh seen in short stories Senyum Karyamin,
Ah,Jakarta, and Kenthus.
In addition to the sociocultural characteristics, image or picture in a collection of
short stories this Senyum Karyamin, involving directly the values of its
sociocultures namely: harmony, love and brotherhood, compassion, moral purity,
human dignity, and so on. Those values are strong enough coloring short stories
collected in Senyum Karyamin.
Abstrak
Kumpulan cerita pendek Senyum Karyamin, jika dianalisis dengan teori sosiologi
sastra, mempunyai beberapa karakteristik atau aspek sosial budaya (orang Jawa)
yang sangat kentara mewarnai ketiga belas cerpen di dalamnya. Aspek ini adalah
aspek agama, yaitu perilaku religius manusia. Hal ini terlihat dalam cerpen
Syukuran Sutabawor. Aspek moral, yaitu martabat manusia dan kamanungsan,
dapat terlihat pada cerpen Ah, Jakarta dan Syukuran Sutabawor. Aspek fatalistis
dan nrimo ada dalam cerpen Senyum Karyamin. Sedangkan aspek prasojo dan aja
dumeh terlihat pada cerpen Senyum Karyamin, Ah, Jakarta dan Kenthus.
Selain karakter sosial budaya, image atau gambaran dalam kumpulan cerpen
Senyum karyamin ini juga menunjukkan nilai-nilai sosial buadayanya, seperti:
harmoni, cinta dan persaudaraan, kasih saying, moral, martabat manusia, dan lain
sebagainya. Nilai-nilai tersebut cukup kuat mewarnai cerpen-cerpen yang ada dalam
buku Senyum Karyamin.
Pendahuluan bukanlah suatu hal yang asing.
Karya sastra merupakan Banyak pengamat mencatat bahwa
terjemahan tentang pengalaman hidup ada suatu kecenderungan para
manusia itu, secara langsung atau sastrawan untuk memasukkan nilai-
tidak langsung, mengalami dan nilai tradisional ke dalam karya-karya
bersentuhan dengan bebagai peristiwa mereka. Atheis karya Achdiat
yang terjadi dalam hidupnya. Realita Kartamiharja menampilkan gejala
kehidupan, lengkap dengan berbagai kehidupan masyarakat Sunda di
nilai yang terkandung di dalamnya, Bandung. Pengakuan Pariyem karya
direkam pengarang, diolahnya Linus Suryadi AG merefleksikan
sedemikian rupa, kemudian dunia batin manusia Jawa beserta
diekspresikan dalam gaya dan bentuk aspek mistiknya. Demikian pula Sri
yang khas (Nico, 1995). Sumarah dan Bawuk karya Umar
Dalam suatu karya sastra Kayam, Roro Mendhut karya YB
terpancar pemikiran, kehidupan, dan Mangunwijaya, dan lain-lainnya
tradisi yang hidup dalam suatu (Nico, 1995). Di antara sekian nama
masyarakat. Karena itu berbicara yang telah disebutkan di atas,
tentang kesusastraan berarti juga maupun yang tidak sempat
membicarakan suatu segi disebutkan di sini, hadir pula nama
kebudayaan. Sebagai bagian dari Ahmad Tohari yang novel karya
budaya nasional, karya sastra tak pertamanya menjadi obyek penelitian
dapat dipisahkan dari pemikiran ini.
maupun perasaan yang hadir dalam Ahmad Tohari tidak pernah
masyarakat. Karya sastra hidup dan melepaskan diri dari pengalaman
berkembang dalam masyarakat. kedesaannya. Tampaknya bahwa latar
Dengan disadari atau tidak pengarang alam pedesaan, serta tokoh-tokoh
menimba ilmu dalam masyarakat sentral masyarakat lapis bawah (wong
(Zaimar, 1991). cilik) yang berperan di dalamnya,
Dalam khazanah sastra merupakan kekuatan dan daya pikat
Indonesia, unsur sosial budaya dari yang khas dari karya-karyanya. Dunia
suatu masyarakat tertentu yang pedesaan yang lugu, kumuh, alami,
menjadi warna dari sebuah karya, dan sebagainya, dipadukan dengan
3
rakyat kecil yang miskin dan melarat, itulah yang bercerita tentang nilai-nilai
terasa sangat menyentuh. Di atas latar kemanusiaan yakni mengangkat citra
alam pedesaan serta tokoh-tokoh lapis atau gambaran manusia.
bawah seperti itulah, Tohari Masalah tersebut di atas,
menyampaikan tema-tema serta pesan- dapatlah dirumuskan permasalahannya
pesan kemanusiaan tentang jeritan yakni bagaimanakah gambaran atau
rakyat kecil, hubungan antara manusia citra manusia dalam empat cerpen
dengan Tuhan, cinta, kearifan, dan yang terdapat pada kumpulan cerpen
sebagainya. Perpaduan unsur yang Senyum Karyamin karya Ahmad
tepat dan memadai (Nico, 1995). Tohari.
Salah satu tema kemanusiaan Landasan teori yang digunakan
terdapat dalam kumpulan cerpen dalam penelitian ini adalah pendekatan
Senyum Karyamin karya Ahmad sosiologis. Secara singkat dapat
Tohari. Kumpulan cerpen ini dijelaskan bahwa sosiologi adalah
mempunyai ciri khas yang berbeda telaah yang objektif dan ilmiah
dengan cerpen-cerpen lainnya, yaitu tentang manusia dalam masyarakat;
penggunaan latar, nama tokoh-tokoh, telaah tentang lembaga dan proses
dan karakter yang ada di dalamnya sosial. Sosiologi mencoba mencari
yang menyangkut persoalan wong tahu bagaimana masyarakat
cilik atau masyarakat kelas bawah. dimungkinkan, bagaimana ia
Oleh karena itu perlu dilakukan berlangsung dan bagaimana ia tetap
penelitian terhadap kumpulan cerpen ada. Dengan mempelajari lembaga-
tersebut. lembaga sosial dan segala masalah
Kumpulan cerpen Senyum perekonomian, keagamaan, politik,
Karyamin ini terdiri atas 13 cerpen. dan lain – yang kesemuanya itu
Dalam penelitian ini, hanya akan merupakan struktur sosial – kita
diambil empat cerpen saja yang mendapatkan gambaran tentang cara-
menjadi objek analisis. Keempat cara manusia menyesuaikan diri
cerpen tersebut adalah : Senyum dengan lingkungannya, tentang
Karyamin, Ah Jakarta, Syukuran mekanisme sosialisasi, tentang proses
Sutabawor, dan Kenthus. Hal ini pembudayaan yang menempatkan
dilakukan, karena ke empat cerpen anggota masyarakat di tempatnya
4
telah menjadi beban atas pundaknya kewajibannya hari ini, hari esok, hari
kepada sahabatnya atapun orang lain. lusa, dan entah hingga kapan, seperti
Kekhasan senyuman Karyamin entah kapan datangnya tengkulak
seakan-akan juga mengingatkan yang telah setengah bulan membawa
sahabatnya akan manifestasi sikap batunya” (SK:5). Maka dalam
nrima bahwa “demikianlah orang usahanya untuk menghindarkan
harus menerima kenyataan”. Maka konflik secara terbuka, diam-diam
Saidah pun sadar, betapapun itu Karyamin berupaya menghindarkan
terkadang menyakitkan : dirinya dari pertemuannya dengan
“Saidah memutus kata-katanya penagih bank harian tersebut. Akan
sendiri karena Karyamin sudah
tetapi ketika baru saja hendak berbalik
berjalan menjauh. Tetapi
Saidah masih sempat melihat meninggalkan petugas bank,
Karyamin menoleh kepadanya
Karyamin justru bertemu dengan
sambil tersenyum. Saidah pun
tersenyum sambil menelan pamong desa yang setengah
ludah berulang-ulang. Ada
memaksanya membayar iuran bantuan
yang mengganjal di
tenggorokan yang tak berhasil bagi rakyat Afrika yang kelaparan :
didorongnya ke dalam.
Masih dengan seribu kunang-
Diperhatikannya Karyamin
kunang di matanya, Karyamin
yang berjalan melalui lorong
mulai berpikir apa perlunya dia
liar sepanjang tepi sungai.
pulang. Dia merasa pasti tidak
Kawan-kawan menyeru-nyeru
menolong keadaan, atau
dengan segala macam seloro
setidaknya menolong istrinya
cabul. Tetapi Karyamin hanya
yang sedang menghadapi dua
sekali berhenti dan menoleh
penagih bank harian. Maka
sambil melempar senyum.”
pelan-pelan Karyamin
(SK:4)
membalikkan badan, siap
kembali turun. Namun di
Kepasrahan Karyamin bawah sana Karyamin melihat
seorang lelaki dengan baju
tampaknya juga menjurus pada
motif tertentu dan berlengan
keputusasaan. Setelah sadar dan panjang. Kopiahnya yang
mulai botak kemerahan
pasrah akan ketidakadilan perlakuan
meyakinkan Karyamin bahwa
tengkulak, ternyata karyamin kembali lelaki itu adalah Pak Pamong.”
(SK:5-6)
dihadapkan dengan penagih bank
harian yang mendatangi istriknya.
Pertemuan yang tidak
Karyamin sadar bahwa istrinya tidak
diinginkan Karyamin, namun tak
mungkin dapat “membayar
kuasa ditolaknya. Ingin menghindar,
14
maka Karyamin hanya bisa diam kebudayaan terletak apda sifat serba
tanpa protes terhadap sikap dan wajar ini.
perilaku atasannya (pamong desa). Sifat prasaja ini tidak jarang
Karyamin tidak mengungkapkan pula berimplikasi langsung pada
dirinya dengan mengambil atau manusia Jawa untuk selalu berusaha
menempatkan diri pada posisi tertentu agar tidak bersikap dumeh. Yang
secara tidak etis (sesuai prinsip rukun dimaksudkan dengan dumeh, menurut
dan hormat), yakni dengan Hardjowirogo, adalah “keadaan
memberikan reaksi keras sebagai kejiwaan yang mendorong seseorang
sikap protes yang dapat menimbulkan untuk bersikap serta berbuat tertentu
konflik secara terbuka. Karyamin selagi atau mumpung dia sedang
hanya bisa pasrah pada keadaannya. berkuasa hingga dapat menampakkan
Kepasrahan yang boleh jadi juga diri berupa mabuk kekuasaan” (1989).
karena putus asa. Suatu kondisi kejiwaan yang harus
disingkiri, karena bersikap dumeh
Prasaja dan Aja Dumeh dapat menjauhkan sanak dan kawan.
Soetrisno (1993) menyebutkan Dalam kehidupannya, masyarakat
bahwa salah satu sifat manusia Jawa Jawa sering diwejangi untuk tidak
yang juga merupakan sifat inti adalah bersikap demikian atau lebih dikenal
prasaja (prasojo) atau sederhana. dengan aja dumeh “jangan bermabuk
Dengan sifat prasaja yang kuasa”.
dimaksudkan adalah sifat wajar tanpa Refleksi sifat prasaja yang
dibuat-buat. Segala tindakan berimplikasi langsung dengan sikap
dilakukan secara wajar dengan aja dumeh tampak jelas dan tegas
mengakang hawa nafsu. Sifat tidak terungkap dalam cerpen “Kenthus”.
ingin memamerkan kekayaan atau Kisah tentang Kenthus, seorang warga
tidak ingin menonjolkan kepandaian desa yang sehari-harinya hidup di
ataupun kehebatannya. Suatu sikap bawah garis kemiskinan, tiba-tiba
yang tidak memperlihatkan emosi merasa terangkat atau dilambungkan
secara berlebihan, dalam suka maupun dari kelas terbawah ke atas panggung
duka. Keluhuran budi serta ketinggian kehidupan. Bermula dari mimpi
menunggang macan, kemudian
16
diperolehnya. Kenthus merasa tidak setia, dalam arti tidak secara penuh
perlu harus cepat-cepat membayarnya melaksanakan atau mentaati rukun,
karena merasa dirinya lebih berkuasa hokum maupun ajaran agamanya.
dan orang lain harus tunduk serta Ciri sosiobudaya yang
hormat kepadanya. Ia membiarkan menyangkut aspek moral, martabat
saja orang-orang hiruk pikuk manusia dan kamanungsan dapat
berhimpitan, terjatuh, dan terinjak- disimpulkan bahwa sebagian besar
injak. Ia tidak memperdulikan manusianya sering menilai dan
keadaan yang memperihatinkan menempatkan martabat kemanusiaan
tersebut, bahkan menjadi tontonan seseorang dalam kualitas yang
yang menarik baginya. berbeda dan hanya orang-orang
tertentu saja (dari kelompok tersebut)
KESIMPULAN yang memandang nilai-nilai martabat
Kumpulan cerpen Senyum kemanusiaan itu sama bagi setiap
Karyamin karya Ahmad Tohari orang. Ada kelompok yang
melukiskan karakteristik manusianya menganggap rendah martabat
diidentifikasi sebagai “wong cilik”. kemanusiaan orang-orang yang tidak
Terutama karena lukisan tokoh, latar, jelas status sosialnya atau orang yang
peristiwanya yang diwarnai oleh ciri sering diperhitungkan kehadirannya.
sosiobudaya masyarakat Jawa. Sikap dan pandangan mereka
Beberapa ciri sosiobudaya atau dilatarbelakangi oleh pandangan
manusia Jawa yang dianalisis dari budayanya tentang keteraturan
cerpen Senyum Karyamin, Ah, hierarkis hubungan dalam masyarakat
Jakarta, Syukuran Sutobawor, dan yang terumus dalam “prinsip hormat”
Kenthus menunjukkan betapa ataupun merupakan refleksi
kentalnya ciri-ciri tersebut. Misalnya konsekuensi negatif dari pandangan
aspek religius, yakni tentang sikap budaya tersebut.
keagamaan manusia-manusianya Ciri sosiobudaya yang
dapat disimpulkan bahwa sikap menyangkut sikap fatalistik dan
keagamaan tokoh-tokoh cerita yang nerimo yang merupakan kekhasan
digambarkan pengarang pada tradisi budaya masyarakat Jawa ini
beberapa cerpennya cenderung tidak cukup kuat mewarnai sejumlah cerpen
20
cinta dan persaudaraan, kasih sayang, Soetrisno, PH. 1997. Falsafah Hidup
kemurnian moral, kesejatian hidup, Pancasila Sebagaimana
Tercermin dalam Falsafah
21