Anda di halaman 1dari 13

Hikayat adalah salah satu bentuk sastra prosa, terutama dalam Bahasa Melayu yang berisikan

tentang kisah, cerita, dan dongeng. Umumnya mengisahkan tentang kehebatan maupun
kepahlawanan seseorang lengkap dengan keanehan, kesaktian serta mukjizat tokoh utama.

Sebuah hikayat dibacakan sebagai hiburan, pelipur lara atau untuk membangkitkan semangat
juang.

Berikut ini adalah daftar hikayat dalam bahasa Melayu:

 Hikayat Aceh
 Hikayat Abdullah
 Hikayat Abu Nawas
 Hikayat Abu Samah
 Hikayat Amir Hamzah
 Hikayat Banjar
 Hikayat Bakhtiar
 Hikayat Bayan Budiman
 Hikayat Hang Tuah
 Hikayat Iblis
 Hikayat Indraputra
 Hikayat Iskandar Zulkarnain
 Hikayat Isma Yatim
 Hikayat Jaya Lengkara
 Hikayat Kalila dan Daminah
 Hikayat Kerajaan Sikka
 Hikayat Malim Dewa
 Hikayat Musang Berjanggut
 Hikayat Merong Mahawangsa
 Hikayat Muhammad Hanafiah
 Hikayat Nakhoda Asik
 Hikayat Nakhoda Muda
 Hikayat Negeri Riau
 Hikayat Negeri Johor
 Hikayat Pahang
 Hikayat Panca Tanderan
 Hikayat Pandawa Jaya
 Hikayat Panji Kuda Semirang
 Hikayat Patani
 Hikayat Pelanduk Jenaka
 Hikayat Purasara
 Hikayat Putera Jaya Pati
 Hikayat Raja Akil
 Hikayat Raja Budiman
 Hikayat Raja Jumjumah
 Hikayat Raja Muda
 Hikayat Raja-raja Pasai
 Hikayat Samaun
 Hikayat Sang Boma
 Hikayat Sang Bima
 Hikayat Seri Rama
 Hikayat Si Miskin
 Hikayat Siak
 Hikayat Sultan Ibrahim
 Hikayat Syah Mardan
 Hikayat Tanah Hitu

Hikayat Abu Nawas: Pesan Bagi Para Hakim

Siapakah Abu Nawas ? Tokoh yang dinggap badut namun juga dianggap ulama besar ini- sufi, tokoh super lucu yang tiada
bandingnya ini aslinya orang Persia yang dilahirkan pada tahun 750 M di Ahwaz meninggal pada tahun 819 M diBaghdad.
Setelah dewasa ia mengembara ke Bashra dan Kufa. Di sana ia belajar bahasa Arab dan bergaul rapat sekali dengan orang-orang
badui padang pasir. Karena pergaulannya itu ia mahir bahasa Arab dan adat istiadat dan kegemaran orang Arab, la juga pandai
bersyair, berpanlun dan menyanyi. la sempat pulang ke negerinya, namun pergi lagi ke Baghdad bersama ayahnya, keduanya
menghambakan diri kepada Sultan Harun Al Rasyid Raja Baghdad.

Mari kita mulai kisah penggeli hati ini. Bapaknya Abu Nawas adalah Penghulu Kerajaan Baghdad bernama Maulana. Pada suatu
hari bapaknya Abu Nawas yang sudah tua itu sakit parah dan akhirnya meninggal dunia.

Abu Nawas dipanggil ke istana. la diperintah Sultan (Raja) untuk mengubur jenazah bapaknya itu sebagaimana adat Syeikh
Maulana. Apa yang dilakukan Abu Nawas hampir tiada bedanya dengan Kadi Maulana baik mengenai tatacara memandikan
jenazah hingga mengkafani, menyalati dan men-do’akannya. Maka Sultan bermaksud mengangkat Abu Nawas menjadi Kadi atau
penghulu menggantikan kedudukan bapaknya.

Namun..,demi mendengar rencana sang Sultan. Tiba-tiba saja Abu Nawas yang cerdas itu tiba-tiba nampak berubah menjadi gila.

Usai upacara pemakaman bapaknya. Abu Nawas mengambil batang sepotong batang pisang dan diperlakukannya seperti kuda, ia
menunggang kuda dari batang pisang itu sambil berlari-lari dari kuburan bapaknya menuju rumahnya. Orang yang melihat
menjadi terheran-heran dibuatnya.

Pada hari yang lain ia mengajak anak-anak kecil dalam jumlah yang cukup banyak untuk pergi ke makam bapaknya. Dan di atas
makam bapaknya itu ia mengajak anak-anak bermain rebana dan bersuka cita.

Kini semua orang semakin heran atas kelakuan Abu Nawas itu, mereka menganggap Abu Nawas sudah menjadi gila karena
ditinggal mati oleh bapaknya.

Pada suatu hari ada beberapa orang utusan dari Sultan Harun Al Rasyid datang menemui Abu Nawas.

“Hai Abu Nawas kau dipanggil Sultan untuk menghadap ke istana.” kata wazir utusan Sultan.

“Buat apa sultan memanggilku, aku tidak ada keperluan dengannya.” jawab Abu Nawas dengan entengnya seperti tanpa beban.

“Hai Abu Nawas kau tidak boleh berkata seperti itu kepada rajamu.”

“Hai wazir, kau jangan banyak cakap. Cepat ambil  kudaku ini dan mandikan di sungai supaya bersih dan segar.” kata Abu
Nawas sambil menyodorkan sebatang pohon pisang yang dijadikan kuda-kudaan.
Si wazir hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan Abu Nawas. “Abu Nawas kau mau apa tidak menghadap Sultan?” kata
wazir.

“Katakan kepada rajamu, aku sudah tahu maka aku tidak mau.” kata Abu Nawas.

“Apa maksudnya Abu Nawas?” tanya wazir dengan rasa penasaran.

“Sudah pergi sana, bilang saja begitu kepada rajamu.” sergah Abu Nawas sembari menyaruk debu dan dilempar ke arah si wazir
dan teman-temannya.

Si wazir segera menyingkir dari halaman rumah Abu Nawas. Mereka laporkan keadaan Abu Nawas yang seperti tak waras itu
kepada Sultan Harun Al Rasyid.

Dengan geram Sultan berkata,”Kalian bodoh semua, hanya menghadapkan Abu Nawas kemari saja tak becus! Ayo pergi sana ke
rumah Abu Nawas, bawa dia kemari dengan suka rela ataupun terpaksa.”

Si wazir segera mengajak beberapa prajurit istana. Dan dengan paksa Abu Nawas di hadirkan di hadapan raja.

Namun lagi-lagi di depan raja Abu Nawas berlagak pilon bahkan tingkah-nya ugal-ugalan tak selayaknya berada di hadapan
seorang raja.

“Abu Nawas bersikaplah sopan!” tegur Baginda.

“Ya Baginda, tahukah Anda……?”

‘Apa Abu Nawas…?”

“Baginda…terasi itu asalnya dari udang !”

“Kurang ajar kau menghinaku Nawas !”

“Tidak Baginda! Siapa bilang udang berasal dari terasi?”

Baginda merasa dilecehkan, ia naik pitam dan segera memberi perintah kepada para pengawalnya.

“Hajar dia ! Pukuli dia sebanyak dua puluh lima kali.”

Wah-wah! Abu Nawas yang kurus kering itu akhirnya lemas tak berdaya dipukuli tentara yang bertubuh kekar.

Usai dipukuli Abu Nawas disuruh keluar istana. Ketika sampai di pintu gerbang kota, ia dicegat oleh penjaga.

“Hai Abu Nawas! Tempo hari ketika kau hendak masuk kekota ini kita telah mengadakan perjanjian. Masak kau lupa pada
janjimu itu?Jika engkau diberi hadiah oleh Baginda maka engkau berkata: Aku bagi dua; engkau satu bagian, aku satu
bagian. Nan, sekarang mana bagianku itu?”

“Hai penjaga pintu gerbang, apakah kau benar-benar menginginkan hadiah Baginda yang diberikan kepadaku tadi?”

“lya, tentu itu kan sudah merupakan perjanjian kita?”

“Baik, aku berikan semuanya, bukan hanya satu bagian!”

“Wah ternyata kau baik hati Abu Nawas. Memang harusnya begitu, kau kan sudah sering menerima hadiah dari Baginda.”
Tanpa banyak cakap lagi Abu Nawas mengambil sebatang kayu yang agak besar lalu orang itu dipukulinya sebanyak dua
puluh lima kali.Tentu saja orang itu menjerit-jerit kesakitan dan menganggap Abu Nawas telah menjadi gila.

Setelah penunggu gerbang kota itu klenger Abu Nawas meninggalkannya begitu saja, ia terus melangkah pulang ke rumahnya.

Sementara itu si penjaga pintu gerbang mengadukan nasibnya kepada Sultan Harun Al Rasyid.

“Ya, Tuanku Syah Alam, ampun beribu ampun. Hamba datang kemari mengadukan Abu Nawas yang telah memukul hamba
sebanyak dua puluh lima kali tanpa suatu kesalahan. Hamba mohom keadilan dari Tuanku Baginda.”

Baginda segera memerintahkan pengawal untuk memanggil Abu Nawas. Setelah Abu Nawas berada di hadapan Baginda ia
ditanya.”Hai Abu Nawas! Benarkah kau telah memukuli penunggu pintu gerbang kota ini sebanyak dua puluh limakali pukulan?”

Berkata Abu Nawas, “Ampun Tuanku, sudah sepatutnya dia menerima pukulan itu

“Apa maksudmu? Coba kau jelaskan !”

“Tuanku,”kata Abu Nawas.”Hamba dan penunggu pintu gerbang mengadakan perjanjian bahwa jika hamba diberi hadiah
tersebut akan dibagi dua. Satu bagian saya. Nah pagi tadi hamba menerima hadiah, maka saya berikan pula hadiah dua puluh
lima."

“Hai penunggu pintu gerbang, benarkah kau seperti itu dengan Abu Nawas?” tanya Baginda

“Benar Tuanku,”jawab penunggu pintu gerbang mengira jika Baginda memberikan hadiah pada Abu Nawas.

“Hahahahaha…….!Dasar tukang peras,

sahut Baginda.”Abu Nawas tiada bersalah bahwa penjaga pintu gerbang kota Baghdad  suka memeras orang! Kalau kau tidak
mengubah tingkah laku, aku akan memecat dan menghukum kamu!”

“Ampun Tuanku,”sahut penjaga pintu gerbang.

Abu Nawas berkata,”Tuanku, hamba  tiba-tiba diwajibkan hadir di tempat ini, Hamba mohon ganti rugi. Sebab jatah waktu untuk
keluarga hamba habis karena panggilan Tuanku. Padahal besok bukan jatah untuk keluarga hamba.”

Sejenak Baginda melengak, terkejut,  tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak,” Hahahah...."

Baginda kemudian memerintahkan bendahara sekantong uang perak kepada Abu Nawas. Abu Nawas pulang dengan hati
gembira.

Tetapi sesampai di rumahnya, Abu Nawas  semakin nyentrik seperti orang gila.

Pada suatu hari Raja Harun Al Rasyid mengumpulkan para menterinya.

“Apa pendapat kalian mengenai Abu N. sebagai kadi?”

Wazir atau perdana meneteri berkata,”Melihat keadaan Abu Nawas yang semakin parah otaknya maka sebaiknya Tuanku
mengangkat orang lain saja menjadi kadi.”

Menteri-menteri yang lain juga mengutarakan pendapat yang sama. “Tuanku, Abu Nawas telah menjadi gila karena itu dia tak
layak menjadi kadi.”

“Baiklah, kita tunggu dulu sampai dua puluh satu hari, karena bapaknya baru saja mati. Jika tidak sembuh-sembuh juga bolehlah
kita mencari kadi yang lain saja.”
Setelah lewat satu bulan Abu Nawas masih dinggap gila, maka Sultan Harun Al Rasyid mengangkat orang lain menjadi kadi atau
penghulu kerajaan Baghdad.

Konon dalam seuatu pertemuan besar ada seseorang bernama Pulan yang sejak lama berambisi menjadi Kadi. la mempengaruhi
orang-orang di sekitar Baginda untuk menyetujui jika ia diangkat menjadi Kadi. Maka tatkala ia mengajukan dirinya menjadi
Kadi kepada Baginda,  dengan mudah Baginda menyetujuinya.

Begitu mendengar Pulan diangkat menjadi kadi , Abu Nawas mengucapkan syukur kepada Tuhan. “Alhamdulillah….. aku telah
terlepas dari balai yang mengerikan.Tapi….sayang sekali kenapa harus Pulan yang menjadi Kadi, kenapa tidak yang lain saja.”

..................................

Mengapa Abu Nawas bersikap seperti orang gila? Ceritanya begini: Pada suatu hari ketika ayahnya sakit parah dan hendak
meninggal dunia ia panggil Abu Nawas untuk menghadap. Abu Nawas pun datang mendapati bapaknya yang sudah lemah
lunglai.

Berkata bapaknya, “Hai anakku, aku sudah hampir mati. Sekarang ciumlah telinga kanan dan telinga kiriku.”

Abu Nawas segera menuruti permintaan terakhir bapaknya. la cium telinga kanan bapaknya, ternyata berbau harum, sedangkan
yang sebelah kiri berbau sangat busuk.

“Bagamaina anakku? Sudah kau cium?”

“Benar Bapak!”

“Ceritakan dengan sejujurnya, baunya kedua telingaku ini.”

“Aduh Pak, sungguh mengherankan, telinga Bapak yang sebelah kanan berbau harum sekali. Tapi… yang sebelah kiri kok
baunya amat busuk?”

“Hai anakku Abu Nawas, tahukah apa sebabnya bisa terjadi begini?”

“Wahai bapakku, cobalah ceritakan kepada anakmu ini."

Berkata Syeikh Maulana."Pada suatu hari datang dua orang mengadukan masalahnya kepadaku. Yang seorang aku dengarkan
keluhannya. Tapi yang seorang lagi karena aku tak suka maka tak kudengar pengaduannya. Inilah resiko menjadi Kadi
(Penghulu). Jika kelak kau suka menjadi Kadi maka kau akan mengalami hal yang sama, namun Jika kau tidak suka menjadi
Kadi maka buatlah alasan yang masuk akal agar kau tidak dipilih sebagai Kadi oleh Sultan Harun Al Rasyid. Tapi tak bisa tidak
Sultan Harun Al Rasyid pastilah tetap memilihmu sebagai Kadi.”

Nah, itulah sebabnya Abu Nawas pura-pura menjadi gila. Hanya untuk menghindarkan diri agar tidak diangkat menjadi kadi.
Seorang kadi atau penghulu pada masa itu kedudukannya seperti hakim yang memutus suatu perkara. Walaupun Abu Nawas
tidak menjadi Kadi, namun dia sering diajak konsultasi oleh sang Raja untuk memutus suatu perkara. Bahkan ia kerap kali
dipaksa datang ke istana hanya sekedar untuk menjawab pertanyaan Baginda Raja yang aneh-aneh dan tidak masuk akal.

Hikayat Hang Tuah sebuah Epos Klasik

Isi hikayat ini mengisahkan keksatriaan dan kesetiaan seorang laksamana Melayu bernama Hang Tuah.
Ia memiliki empat sahabat karibnya, yakni Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir dan Hang Lekiu. Mereka
lahir dari kalangan rakyat jelata dan berhasil menjadi orang penting kerajaan bahkan nama mereka
menjadi sangat masyhur. Pada akhir kisah, Hang Tuah dan sahabat-sahabatnya dituduh berkhianat
kepada raja, sehingga diasingkan ke tempat yang jauh. Hal ini menyebabkan Hang jebat marah dan
melakukan pemberontakan terhadap raja karena tidak bijaksana menjatuhkan hukuman terhadap Hang
Tuah.
Pemborantakan Hang Jebat ini, membuat raja memanggil Hang Tuah untuk mengatasi pemberontakan
itu. Hang Tuah yang dalam hukuman, melakukan saja perintah raja tanpa mengetahui apa alasan
pemberontakan yang dilakukan sahabatnya Hang Jebat. Ia tidak tahu kalau Hang Jebat sedang
melakukan pembelaan terhadap dirinya. Karena kesetiaannya terhadap raja, Hang Tuah melakukan
perlawanan hingga akhirnya Hang Jebat tewas di tangannya sendiri.

Hikayat Hang Tuah ini adalah karya sastra klasik yang muncul masa kejayaan Sultan Mansur Syah di
kerajaan Malaka. Semula berupa sebuah buku yang berisi kisah yang sangat panjang dan terdapat
beberapa versi sesuai naskah tulisan tangan berhuruf Arab yang sempat ditemukan. Versi-versi itu
masing:
1. Naskah Raja Abdul Jalil, yang menjadi raja muda di Perak.
2. Naskah Wan Muhammad Isa, seorang bangsawan yang menjadi menteri negeri di Perak.
3. Naskah Wan Muhammad Saleh, seorang warga kerajaan yang tinggal di Perak
4. Naskah R.J. Wilkinson, seorang ahli bahasa yang berkebangsaan Inggris.
Dari keempat naskah berhuruf Arab itulah, kemudian Hikayat Hang Tuah dibukukan dengan huruf Latin
dan diterbitkan di Malaka pada tahun1908. Sementara di Indonesia, hikayat ini pernah diterbitkan
sebanyak tiga kali oleh Balai Pustaka masing-masing tahun 1924, 1948 dan 1956. Sumbernya diambil
dari naskah berhuruf Arab milik Yayasan Lembaga Kebudayaan Indonesia di Jakarta.
Karena dalam naskah tulisan tangan berhuruf Arab isi hikayat terlalu panjang dan membosankan
pembaca, maka Balai Pustaka mengambil inisiatif untuk membaginya dalam 24 bab masing-masing
Bab I : Raja Bintan.
Bab II : Hang Tuah Lima Bersahabat menjadi pegawai raja.
Bab III : Kedatangan orang Jawa ke tanah Melayu.
Bab IV : Raja Malaka dengan Raja Muda.
Bab V : Raja Muda Malaka menjadi raj Keling.
Bab VI : Hang Tuah diutus ke Majapahit.
Bab VII : Hang Tuah digelari Laksamana.
Bab VIII : Patih Gajah Mada hendak membunuh Laksamana.
Bab IX : Laksamana melarikan Tun Teja.
Bab X : Laksamana menyerang Megat Pani Alam di Inderapura.
Bab XI : Laksamana sekali lagi diutus ke Majapahit.
Bab XII : Berbagai-bagai cobaan atas diri Laksamana di Majapahit.
Bab XIII : Laksamana dibuang raja Malaka.
Bab XIV : Hang Jebat mendurhaka.
Bab XV : Laksamana dipanggil Raja Malaka kembali.
Bab XVI : Laksamana bertikam dengan Hang Jebat.
Bab XVII : Kertala Sari dititahkan mengalahkan negeri Malaka.
Bab XVIII: Laksamana diutus ke benua Keling dan ke benua Cina.
Bab XIX : Raja Malaka bertambah besar kekuasaannya.
Bab XX : Terenggano takluk ke Malaka.
Bab XXI : Sultan Mahmud dan Sultan Muhammad.
Bab XXII : Inderapura takluk ke Malaka dan Laksamana kehilangan kerisnya.
Bab XXIII : Laksamana luka dalam peperangan.
Bab XXIV : Penutup.

Hikayat Hang Tuah ini berlandaskan pada kejadian-kejadian yang sesungguhnya terjadi. Bagi bangsa
Melayu, ada suatu kepercayaan, bahwa Hang Tuah itu adalah seorang Wali Allah dan tidak akan mati-
mati. Bahkan ada kepercayaan lain, bahwa Hang Tuah kini tinggal di hulu Sungai Siak dan menjadi raja
bagi semua suku Batak dan orang hutan. Percaya atau tidak dengan kepercayaan ini, yang pasti tak
seorang pun bisa membuktikannya.

kut mendukung Stop Dreaming Start Action

Hikayat Hang Tuah merupakan bentuk hikayat Melayu asli dan tidak diketahui dengan pasti
siapa pengarangnya. Sikap kepahlawanan Hang Tuah yang tak tertandingi menyebabkan hikayat
tersebut tetap berkembang dan hidup di masyarakat. Namanya harum dan menjadi teladan bagi
putra-putri bangsa. Lama-kelamaan orang menganggapnya bukan sekadar pahlawan biasa tetapi
dianggap seorang titisan dewa yang disanjung-sanjung karena kesaktiannya. Hang Tuah lahir
dari keluarga biasa dekat Sungai Duyung di Tanah Malaka. Ayahnya bernama Hang Mahmud
dan Ibunya Dang Merduwati. Karena kesulitan hidupnya, mereka pindah ke Pulau Bintan,
tempat raja bersemayam, dengan harapan mendapat rezeki di situ. Mereka membuka warung dan
hidup sangat sederhana.

Semua sahabat Hang Tuah berani. Mereka itu adalah Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir, dan
Hang Lekiu. Pernah suatu ketika mereka berlima pergi berlayar. Di tengah lautan dihadang oleh
gerombolan perampok yang banyak sekali. Hang Tuah menggunakan taktik, membawa mereka
ke darat. Di sana mereka melakukan perlawanan.

Sepuluh perampok mereka tewaskan, sedangkan yang lain melarikan diri. Dari beberapa orang
yang dapat ditawan, mereka mengaku dari daerah Siantan dan Jemaja atas perintah Gajah Mada
di Majapahit.

Sebenarnya mereka diperintahkan untuk menyerang Palembang tetapi angin kencang membawa
mereka tersesat di Melaka. Akhirnya, keberanian Hang Tuah dan kawan-kawannya sampai juga
kepada raja sehingga raja berkenan kepada mereka. Suatu ketika ada orang yang mengamuk di
pasar. Orang-orang lari ketakutan. Hang Tuah jugalah yang dapat membunuh orang itu. Hang
Tuah lalu diangkat menjadi biduan istana (pelayan raja). Saat itu dia diminta menyerang ke
Palembang yang diduduki orang Siantan dan Jemala. Hang Tuah sukses, lalu dia diangkat
menjadi Laksamana. Berkali-kali Hang Tuah diutus ke luar negeri; ke Tiongkok, Rum,
Majapahit, dan dia pernah pula naik haji. Akhir hayatnya, Hang Tuah berkhalwat di Tanjung
Jingara.

Terima kasih: Duta Pulsa - Persewaan Alat Pesta - Toko Jilbab - Kerudung
Kutipan Hikayat Hang Tuah

Hang Tuah Diutus ke Majapahit

Raja Melaka mengutus Hang Tuah (Laksamana) mempersembahkan surat dan bingkisan ke
hadapan raja Majapahit, mertua baginda.

Maka Laksamana pun menjunjung duli. Maka dianugerahi persalin dan emas sepuluh kati dan
kain baju dua peti. Maka, Laksamana pun bermohonlah kepada Bendahara dan Temenggung,
lalu berjalan keluar diiringkan oleh Hang Jebat dan Kesturi serta mengirimkan surat dan
bingkisan, lalu turun ke perahu. Setelah sudah datang ke perahu, maka surat dan bingkisan itu
pun disambut oleh Laksamana, lalu naik ke atas “Mendam Berahi”. Maka Laksamana pun
berlayar.

Beberapa lamanya berlayar itu, maka sampailah ke Tuban. Maka Rangga dan Barit seketika pun
berjalan naik ke Majapahit.

Beberapa lamanya maka sampailah ke Majapahit. Maka dipersembahkan Patih Gajah Mada
kepada Batara Majapahit, “Ya,

Tuanku, utusan daripada anakanda Ratu Melaka datang bersamasama dengan Rangga dan Barit
Ketika; Laksamana panglimanya.”

Setelah Sri Batara mendengar sembah Patih Gajah Mada demikian itu, maka titah Sri Batara,
“Jika demikian, segeralah Patih berlengkap.”

Maka sembah Patih Gajah Mada, “Ya Tuanku, adapun patik dengar Laksamana itu terlalu sekali
beraninya, tiada berlawan pada tanah Melayu itu. Jikalau sekiranya dapat patik hendak cobakan
beraninya itu.”

Maka titah Sri Batara, “Mana yang berkenan pada Patih, kerjakanlah!”

Maka Patih pun menyembah lalu keluar mengerahkan segala pegawai dan priyayi akan
menyambut surat itu. Setelah sudah lengkap, maka pergilah Patih dengan segala bunyi-bunyian.

Hatta maka sampailah ke Tuban. Maka Laksamana dan Hang Jebat dan Hang Kesturi pun
berlengkap memakai pakaian yang indah-indah. Maka surat dan bingkisan itu pun dinaikkan oleh
Laksamana ke atas gajah. Maka Laksamana dan Hang Jebat dan Hang Kesturi pun naik kuda.
Maka Rangga dan Barit Ketika pun naik kuda mengiringkan Laksmana. Maka di hadapan
Laksamana orang berjalan memikul pedang berikat empat bilah berhulukan emas dan tumbak
pengawinanbersampakemas empat puluh bilah dan lembing bersampakkan emas bertanam pudi
yang merah empat puluh rangkap. Maka segala bunyi-bunyian pun dipalu orang terlalu ramai.
Maka surat dan bingkisan itu pun diarak oranglah ke Majapahit.
Hatta beberapa lamanya berjalan itu, maka sampailah. Maka Laksamana dan Hang Jebat dan
Hang Kesturi pun turun dari atas kuda, berjalan di atas gajah. Maka Rangga pun berjalan serta
berkata, “Mengapa maka Laksamana turun dari atas kuda itu?

Baik Laksamana naik kuda!”

Maka kata Laksamana, “Hai Rangga, adapun adat segala hulubalang Melayu itu, apabila nama
tuannya dibawa pada sebuah negeri itu, maka hendaklah sangat-sangat dihormatkan dan takutkan
nama tuannya itu. Jikalau sesuatu peri surat nama tuannya itu, sehingga mati sudahlah; yang
memberi aib itu sekali-kali tiada ia mau, dengan karena negeri Majapahit itu negeri besar.”

Setelah Rangga mendengar kata Laksamana demikian itu, maka ia pun diam, lalu turun berjalan
sama-sama dengan Laksamana.

Maka surat dan bingkisan itu pun diarak masuk ke dalam kota, terlalu ramai orang melihat terlalu
penuh sesak sepanjang jalan dan pasar. Maka kata Patih Gajah Mada pada penjurit dua ratus itu,
“Hai, kamu sekalian, pergilah kamu mengamuk di hadapan utusan itu, tetapi engkau mengamuk
itu jangan bersungguh-sungguh, sekadar coba kamu beraninya. Jika ia lari, gulung olehmu sekali.
Jika ia bertahan, kamu sekalian menyimpang, tetapi barang orang kita, mana yang terlintang
bunuh olehmu sekali, supaya main kita jangan diketahui.”

Maka penjurit dua ratus itu pun menyembah, lalu pergi ke tengah pasar. Waktu itu sedang ramai
orang di pasar, melihat orang mengarak surat itu. Maka penjurit itu pun berlari-lari sambil
menghunus kerisnya, lalu mengamuk di tengah pasar itu, barang yang terlintang dibunuhnya.
Maka orang di pasar itu gempar, berlari-lari kesana-kemari, tiada berketahuan. Maka penjurit
dua ratus itu pun datanglah ke hadapan Laksamana; dan anak bayi priayi di atas kuda itu pun
terkejut melihat orang mengamuk itu terlalu banyak, tiada terkembali lagi. Maka barang mana
yang ditempuhnya, habis pecah. Maka segala pegawai itu pun habis lari beterjunan dari atas
kudanya, lalu berlari masuk kampung orang. Maka segala orang yang memalu bunyi-bunyian itu
pun terkejutlah, habis lari naik ke atas kedai, ada yang lari ke belakang Laksamana. Setelah
dilihat oleh Laksamana orang gempar itu tiada berketahuan lakunya, maka segala orang yang di
hadapan Laksamana itu pun habis lari. Maka prajurit yang dua ratus itu pun kelihatanlah. Dilihat
orang yang mengamuk itu terlalu banyak, seperti ribut datangnya, tiada berkeputusan. Maka
Laksamana pun tersenyum-senyum seraya memegang hulu keris panjangnya itu.

Maka Hang Jebar, Hang Kesturi pun tersenyum-senyum, seraya memegang hulu kerisnya,
berjalan dari kiri kanan Laksamana.

Maka Rangga dan Barit Ketika pun terkejut, disangkanya orang yang mengamuk itu bersungguh-
sungguh. Maka Rangga pun segera menghunus kerisnya, seraya berkata, “Hai Laksamana, ingat-
ingat, karena orang yang mengamuk itu terlalu banyak.”

Maka sahut Laksamana seraya memengkis, katanya,”Cih, mengapa pula begitu, bukan orangnya
yang hendak digertak-gertak itu.”
Maka Laksamana dan Hang Jebat, Hang Kesturi pun berjalanlah seorang orang Melayu pun tiada
yang undur dan tiada bergerak.

Maka kata Laksamana, “Hai segala tuan-tuan sekalian, seorang pun jangan kamu undur dan
bergerak. Jika kamu undur, sekarang ini juga kupenggal leher kamu!”

Maka dilihat oleh Barit Ketika, orang mengamuk banyak datang seperti belalang itu, maka Barit
Ketika pun segera undur ke belakang gajah itu. Maka prajurit yang dua ratus itu pun berbagi tiga,
menyimpang ke kanan dan ke kiri dan ke hadapan Laksamana mengamuk itu, ke belakang
Laksamana. Maka Laksamana pun berjalan juga di hadapan gajah itu. Maka prajurit itu pun
berbalik pula dari belakang Laksamana. Maka Barit Ketika pun lari ke hadapan berdiri di
belakang Laksamana itu. Maka, Laksamana pun tersenyum-senyum seraya berkata, “Cih,
mengapa begitu, bukan orangnya yang hendak digertak gerantang itu.”

Maka, Laksamana dan Hang Jebat, Hang Kesturi pun berjalan juga, dengan segala orangnya dan
tiada diindahkannya orang mengamuk itu. Maka Rangga, dan Barit Ketika pun heran melihat
berani Laksamana dan segala Melayu-melayu itu, setelah dilihat oleh penjurit dua ratus itu,
Laksamana dan segala orangnya tiada bergerak dan tiada diindahkannya lawan itu, maka prajurit
itu pun mengamuk pula ke belakang Laksamana. Seketika lagi datang pula prajurit itu
mengamuk ke hadapan Laksamana, barang yang terlintang dibunuhnya dengan tempik soraknya,
katanya, “Bunuhlah akan segala Melayu itu,” seraya mengusir ke sana kemari barang yang
terlintang dibunuhnya. Maka prajurit dua ratus itu pun bersungguh-sungguh rupanya.

Maka, sahut Laksamana, “Jika sebanyak ini prajurit Majapahit, tiada, kuindahkan; tambahkan
sebanyak ini lagi, pun tiada aku takut dan tiada aku indahkan. Jikalau luka barang seorang saja
akan Melayu ini, maka negeri Majapahit ini pun habislah aku binasakan, serta Patih Gajah Mada
pun aku bunuh,” serta ditendangnya bumi tiga kali. Maka bumi pun bergerak-gerak. Maka,
Laksamana pun memengkis pula, katanya “Cih, tahanlah bekas tanganku baik-baik.”

Maka, prajurit itu pun sekonyong-konyong lari, tiada berketahuan perginya. Maka, surat dan
bingkisan itu pun sampailah ke peseban. Maka surat itu pun disambut oleh Raden Aria, lalu
dibacanya di hadapan Sri Batara. Maka, Laksamana dan Hang Jebat, Hang Kesturi pun naik ke
peseban. Maka segala bingkisan itu pun disambut oranglah. Maka, titah Sri Batara, “Hai
Laksamana, kita pun hendak mengutus ke Melaka, menyuruh menyambut anak kita Ratu
Malaka, karena kita pun terlalu amat rindu dendam akan anak kita. Di dalam pada itu pun yang
kita harap akan membawa anak kita kedua itu ke Majapahit ini hanyalah Laksamana.”

Maka, sembah Laksamana, “Ya Tuanku, benarlah seperti titah andika Batara itu.”

Maka Batara pun memberi persalin akan Laksamana dan Hang Jebat, Hang Kesturi dengan
selengkap pakaian. Maka titah Sri Batara, “Hai Laksamana, duduklah hampir kampong Patih
Gajah Mada.”

Maka sembah Laksamana, “Daulat tuanku, mana titah patik junjung.”


Maka Sri Batara pun berangkat masuk. Maka Patih Gajah Mada, dan Laksamana pun
bermohonlah, lalu keluar kembali ke rumahnya. Maka akan Laksamana pun diberi tempat oleh
Patih Gajah Mada hampir kampungnya.

Sumber: Bunga Rampai dari Hikayat Lama karya Sanusi

NAMA Hang Tuah bisa dipastikan tak asing di telinga banyak orang. Sama halnya dengan banyak tokoh
yang dianggap berperan dalam sejarah bangsa ini, nama Hang Tuah pun diabadikan pada ruas-ruas jalan
di Jakarta dan di beberapa daerah lain lagi. Bahkan, nama Hang Tuah juga diabadikan pada kapal perang
pertama milik Indonesia. Pemberian nama itu untuk mengenang kejayaan Hang Tuah yang selalu
mencapai kemenangan di laut. Namun, tidak seperti tokoh-tokoh bersejarah lainnya, tak banyak yang
tahu siapa Hang Tuah yang diabadikan namanya itu? Apa perannya dalam sejarah negeri ini?

Memang, bisa dikatakan, keterangan tentang siapa dan apa kiprah Hang Tuah tidak ditemukan dalam
literatur-literatur sejarah. Beberapa waktu lalu pernah diangkat kisah-kisah tokoh melayu, termasuk
Hang Tuah ini, dalam berbagai versi seperti sandiwara radio maupun tayangan sinema di televisi. Tetap
saja, Hang Tuah hanya dikenal sebatas tokoh terkenal dari daerah Melayu.

Tak banyak yang tahu kisah Hang Tuah yang dituliskan dalam sebuah buku berjudul Hikajat Hang Tuah
tercatat sebagai karya sastra melayu klasik yang paling panjang. Salah satu versi Hikajat Hang Tuah
adalah setebal 593 halaman. Buku berisikan Hang Tuah ini dikenal sejak abad ke-18, dan sejak saat itu
disebutkan sangat menarik perhatian para peneliti barat. Hikajat Hang Tuah kemudian sangat terkenal,
terbit dalam berbagai versi, dan sekitar 20 buku tersimpan di berbagai perpustakaan di dunia.

PADA buku Hikajat Hang Tuah terbitan Balai Pustaka, kisah tokoh yang di Malaysia dianggap sebagai
salah satu pahlawan nasional ini diuraikan dalam 24 bab panjang. Pada pengantar disebutkan, buku
tersebut disalin dari salah satu naskah tulis tangan huruf Arab. Pada sampul bagian dalam tertulis:
"Inilah hikajat Hang Tuah jang amat setiawan kepada tuannja dan terlalu sangat berbuat kebadjikan
kepada tuannja".

Kisah dimulai dengan bab yang menguraikan asal muasal raja-raja di Malaka atau Melayu. Dengan
diantar oleh kata-kata: "Sekali peristiwa...", diceritakan tentang seorang raja keinderaan (kayangan)
Sang Pertala Dewa, yang akan mempunyai seorang anak dan dia akan menjadi raja di Bukit Seguntang.
Keturunan-keturunan sang dewa inilah dengan segala kemuliaan yang dimiliki kemudian menjadi raja-
raja di tanah Melayu.

Hang Tuah diceritakan sebagai anak Hang Mahmud. Dikisahkan, setelah mendengar kabar gembira
tentang negeri Bintan sudah mempunyai seorang raja yang tak lain adalah cucu dari Sang Pertala Dewa,
Hang Mahmud pun bergegas mengajak istri dan anaknya pindah ke sana. Di Bintan, Hang Tuah muda
bertemu dan bersahabat dengan Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu. Kelima pemuda
itu diceritakan selalu bersama-sama, seperti lima orang bersaudara.
Suatu hari, Hang Tuah mengusulkan pada keempat sahabatnya untuk pergi berlayar dan merantau
bersama-sama. Empat sahabatnya pun setuju, dan mereka berangkat berlayar. Di tengah perjalanan,
mereka bertemu dan menundukkan tiga perahu yang ternyata adalah musuh Bintan dari Siantan.
Kawanan tersebut tak lain adalah kaki tangan Patih Gajah Mada dari Majapahit yang ingin memperluas
kekuasaan dengan merompak di Tanah Palembang. Akhirnya, lima sekawan itu diangkat menjadi abdi
salah seorang pemimpin di negeri Bintan, yang dipanggil Bendahara Paduka Raja. Dari sinilah kisah
perjuangan Hang Tuah yang akhirnya justru mendapat gelar laksamana dari Raja Majapahit dimulai.

Dalam buku, terutama melalui tokoh Hang Tuah dan Patih Gajah Mada, dikisahkan adanya persaingan
kejayaan antara Malaka dan Majapahit. Gajah Mada tidak digambarkan sebagai tokoh yang mulia
ataupun bijaksana. Ia digambarkan dalam sosok yang begitu berkuasa dan ambisius. Beberapa kali ia
menyusun rencana untuk menghabisi Hang Tuah yang dianggap sebagai batu penghalang rencananya
untuk menguasai Malaka. Berbicara soal musuh, dalam menjalankan tugas sebagai abdi yang setia dan
disegani, Hang Tuah pun di negerinya sendiri beberapa kali harus dibuang bahkan hendak dibunuh
akibat fitnah. Fitnah itu sebegitu rupa sehingga salah seorang sahabatnya, yaitu Hang Jebat, pun
berkhianat.

Hang Tuah memang membawa Malaka pada kejayaan. Tidak hanya ia berhasil membendung serangan
dari Majapahit. Ke mana saja ia diutus dan apa pun tugas yang diemban, selalu membuahkan hasil.
Namun, dengan masuknya orang-orang dari Eropa, terutama Belanda, akhirnya kejayaan Malaka
dihancurleburkan. Pada bagian akhir dikisahkan, Malaka jatuh ke tangan orang-orang dari Johor dan
Belanda. Hang Tuah sendiri dikisahkan masih hidup dan tinggal di negeri Batak, menjadi wali agama dan
raja.

DEMIKIAN cuplikan kisah tokoh bernama Hang Tuah dari salah satu versi terbitan Balai Pustaka. Tak ada
yang tahu, siapa sesungguhnya pengarang Hikajat Hang Tuah. Tahun persis kapan pertama kali kisah ini
muncul pun hingga kini tak bisa dipastikan. Tak ubahnya karya-karya sastra kuno umumnya, kisah Hang
Tuah ini pun diduga pertama kali dikenal berupa cerita lisan. Kemudian, dalam bentuk naskah tertulis,
Hikajat Hang Tuah diduga pertama kali ditulis pada abad ke-16.

Menurut Prof Dr Sulastin Sutrisno (lihat Ketika Hang Tuah Menjadi Disertasi) yang pernah mengangkat
Hikajat Hang Tuah menjadi sebuah disertasi, siapa pengarang sesungguhnya memang sulit dipastikan.
Namun, yang jelas, karya tersebut mengundang kekaguman sendiri. Sebagai sebuah kisah fiktif, Hikajat
Hang Tuah sarat dengan muatan sejarah. Nama-nama kerajaan dan tokoh memang lekat dengan apa
yang tercantum dalam catatan-catatan sejarah. Bahkan ada dugaan, pengarang Hang Tuah tidak hanya
berpengetahuan luas karena sarat dengan muatan sejarah, namun juga banyak menggunakan sumber
sastra lain. Dugaan ini muncul karena pada beberapa bagian, terdapat kemiripan dengan cerita-cerita
klasik lain seperti Kisah Panji, Hikajat Sri Rama, dan sebagainya.

Salah seorang ahli sastra, Sir Richard Windstedt, menyebutkan, karya sastra klasik seperti Hikajat Hang
Tuah ini identik dengan syair-syair bermuatan kisah kepahlawanan yang banyak dihasilkan di Jawa pada
abad ke-11. Karya-karya ini dikatakan mengubah sejarah menjadi mitos, atau sebaliknya mengubah
mitos menjadi sejarah. Dalam Hikajat Hang Tuah, nuansa fiktif maupun mitos di antaranya terwakili
melalui ketiadaan keterangan waktu dalam setiap peristiwa, kehadiran negeri kayangan yang dipimpin
Sang Pertala Dewa maupun perubahan wujud Hang Tuah menjadi harimau dalam sebuah perkelahian
(hal 164).

Tokoh Hang Tuah sendiri pun tak bisa dipastikan sebagai tokoh mitos atau sejarah, meskipun dalam
Sejarah Melayu (Malay Annals) disebutkan Hang Tuah mati di abad ke-15. Kitab tersebut, Sejarah
Melayu-disusun oleh Mansur Shah salah seorang penguasa di Malaka-yang mencantumkan riwayat Hang
Tuah pun diragukan oleh berbagai kalangan. Sir Richard Winstedt menyebutkan, Mansur Shah, dalam
Sejarah Melayu, mampu mengangkat legenda tentang seorang pejuang bernama Hang Tuah yang
tumbuh saat terjadi perang antara Jawa dan Tamil. Akan tetapi, seperti dikatakan di atas, hampir tidak
dapat dibedakan yang mana sejarah dan yang mana mitos. Namun, untuk tokoh seperti Hang Tuah,
siapa lagi yang peduli bahwa itu mitos atau sejarah selama dia menjadi ilham etika publik?

Sumber:
Hikajat Hang Tuah, Balai Pustaka

Anda mungkin juga menyukai