Anda di halaman 1dari 5

APRESIASI KARYA SASTRA

APRESIASI NOVEL PARA PRIYAYI KARYA UMAR KAYAM

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Individu Mata Kuliah Membaca Sastra


Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

disusun oleh :

NIMAS AMALIA ULFA

NIM: F1011161036

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

PONTIANAK

2018
Cerita dari novel Para Priyayi karya Umar Kayam ini didominasi oleh si
”aku” dari sudut pandang setiap tokoh yang bergantian dan memiliki cerita beralur
maju mundur, membuat pembaca membutuhkan waktu untuk memahami jalan
cerita dan maksud yang terkandung didalamnya. Apalagi pada awal cerita, penulis
hanya fokus menjelaskan sebuah tempat yang disebut Wanagalih. Latar tempat
yang diceritakan oleh tokoh latip, yang pada saat itu telah menjadi priyayi besar di
Jakarta. Penggambaran latar tempat secara nyata memancing pembaca untuk
mengenali tempat yang nantinya akan menjadi sejarah atas kisah kepriyayian
mereka.

Novel para priyayi ini berusaha menggambarkan sososk priyayi yang


pada masanya memiliki kesan darah biru dan selalu identik dengan keturunan.
Penulis terlihat mengupas sisi lain dari sosok priyayi yang ia gambarkan pada
kisah hidup sebuah keluarga besar Sastrodarsono. Penentangan penulis dalam
kesan darah biru dan faktor keturunan dari seorang priyayi terlihat jelas dari dua
tokoh kuat dalam novel ini, yaitu Wage atau Latip dan Soedarsono atau
Sastrodarsono. Kedua tokoh ini memiliki beberapa kesamaan, seperti dibesarkan
oleh keluarga miskin dan berhasil menjadi priyayi sukses dimasa tuanya.

Penulis terlebih dahulu memperkenalkan sosok Latip, namun pada


akhirnya penulis juga terlihat detail saat menceritakan tentang sosok
Sastrodarsono yang cukup sering mengambil peran dalam cerita. Bahkan sebelum
tokoh Latip lahir, sosok tokoh Sastrodarsono ini juga memiliki ceritanya sendiri.
Hingga hal ini, membuat pembaca kebingungan menetukan siapa tokoh utama
dari cerita ini.

Cerita yang melibatkan waktu selama bertahun-tahun, dan tetap konsisten


dengan konflik yang muncul secara bergantian pada tiga generasi ini, membuat
kesan nyata dari kisah sebuah keluarga yang sangat komplit dan rumit. Hal ini
terlihat dari konflik yang dihubungkan dengan pola asuh yang terlihat saat penulis
mulai membandingkan cara mendidik ayah Soedarsono yang merupakan seorang
petani biasa namun memiliki pemikiran yang maju untuk anaknya. Cara mendidik
Sastrodarsono dan Ngaisah yang membuat ketiga anaknya memiliki karakter yang
kuat sebagai manusia, seperti Noegroho yang memiliki watak keras, tegas dan
berwibawa, Hardojo memiliki kecerdasan dan watak sabar dan Soemini yang
memiliki prinsip kuat terutama dalam pendidikan. Pada generesai selanjutnya
ketiga anak ini memiliki pola asuh yang berbeda-beda pada anaknya masing-
masing dan membentuk watak anak yang berbeda-beda pula, seperti Noegroho
yang terlalu memanjakan anak-anaknya hingga menimbulkan beberapa masalah.
Lain halnya dengan Wage yang diganti namanya menjadi Latip setelah diangkat
sebagai bagian dari keluarga Sastrodarsono. Latip sebelumnya dibesarkan dengan
didikan wanita miskin di desa Wanalawas, sehingga tertanam watak rendah diri,
pemaaf dan baik hati. Bahkan, hingga iya di didik oleh Sastrodarsono yang tegas
dan keras malah terbentuk sifat yang bertanggung jawab dan bisa diandalkan.

Hal lain yang terlihat dari konflik dalam novel ini dalah jenis kelamin,
seorang wanita dalam keluarga yang menyandang status priyayi ini, tidak
memiliki hak untuk menentukan pasangan hidupnya sendiri, karena mereka akan
melewati proses perjodohan. Hal ini, terlihat dari Ngaisah yang dijodohkan
dengan Sastradarsono dan Soemini yang dijodohkan dengan mantri polosi di
Kawedanan Karangelo yang akan naik pangkat menjadi Asisten Wedana muda
bernama Raden Harjono, sedangkan Marie yang tidak bisa dijodohkan karena
sudah terlebih dahulu dihamili oleh Maridjan. Sedangkan mereka yang berjenis
kelamin laki-laki dapat memilih calon mereka sendiri asalkan memenuhi
persyaratan dari aturan keluarga, seperti Hardjojo yang gagal menikahi gadis yang
ia cintai karena memiliki agama yang berbeda dengan keluarganya.

Dalam novel ini juga banyak nilai sosial yang dapat kita petik dari para
tokoh dalam cerita. Seperti dua tokoh kuat dalam cerita ini, yaitu Latip dan
Sastrodarsono. Tokoh Latip yang tidak melupakan jasa mbah wedok dan mboknya
yang telah meninggal dunia karena mereka pernah merawat Latip saat masih
kecil. Hal ini, terlihat pada saat beberapa kali Latip masih mengunjungi makam
mereka, bahkan hingga di akhir cerita. Tokoh latip juga menggambarkan sikap
seorang priyayi yang sesungguhnya, karena ia tumbuh dengan proses yang berat,
dari seorang anak kampung, ternyata bisa tumbuh menjadi pemuda yang dapat
menerima didikan menjadi seorang priyayi. Latip tumbuh menjadi sosok yang
bisa diandalkan dan bertanggung jawab atas hidupnya dan orang disekitarnya.
Kelapangan hati latip, ketika nengetahiu cerita sebenarnya membuat Latip dapat
berdamai dengan dirinya sendiri dan akhirnya dapat melanjutkan hidunya yang
lebih baik, dengan menikah dan bekerja dengan cara baik-baik.

Tokoh Sastrodarsono juga memiliki pengaruh besar dalam cerita ini.


Karna tokoh ini lah awal dari berbaliknya kesan priyayi yang tadinya harus
berasal dari keturunan berdarah biru, menjadi hal yang sebenarnya dapat
diperjuangkan. Tokoh Sastrodarsono menguatkan kesan keberhasilan bisa didapat
oleh orang dari kalangan mana saja, asalkan dia mau berusaha. Sastrodarsono
dewasa, memiliki karakter seorang ayah yang kuat, bahkan seorang pemimpin
keluarga besarnya. Hal ini, dapat kita rasakan saat seluruh anaknya yang sudah
tinggal terpisah dengan keluarganya masing-masing, dapat berkumpul hanya
karena ingin menghibur Sastrodarsono yang ditempeleng oleh nippon.

Dalam novel ini terdapat beberapa simbol yang menandakan kehidupan


seorang priyayi. Pertama, seorang priyayi yang identik dengan seorang guru.
Seorang guru di ibaratkan sebagai sosok yang kaya. Bukan hanya karena mereka
menerima gaji pada saat itu, tapi karena sosok guru diibaratkan juga kaya akan
ilmu dan dengan mengajar dapat membuat orang lain juga menjadi kaya. Kedua,
dek ngaisah, istri Sastrodarsono yang berasal dari keturunan Priyayi asli,
digambarkan dapat membangun suasana priyayi di rumah tangga mereka, lewat
aturan dapurnya. Hal ini seakan mengartikan bahwa, kepriyayian seseorang juga
dekat dengan kemewahan dan aturan-aturan tertentu. Ketiga, pergantian nama,
nama merupakan sebuah panggilan yang akan melekat pada seseorang hingga ke
liang lahat, dan melambangkan sebuah doa bagi pemiliknya. Pergantian nama
tokoh saat menjadi seorang priyayi seperti dari Soedarsono menjadi Sastrodarsono
dan Wage menjadi Latip menggambarkan, bahwa Priyayi memiliki derajat yang
berbeda dari masyarakat biasa dan tidak pantas menggunakan nama yang
dianggap rendah. Keempat, pohon nangka, pohon yang sering ditanam orang Jawa
di depan rumahnya ini, dianggap menjadi tanda bahwa pemilik rumah yang
ditumbuhi pohon nangka ini adalah orang Jawa. Tumbangnya pohon nangka besar
di depan rumah Sastrodarsono, melambangkan runtuhnya kepriyayian seorang
Sastrodarsono. Kelima, Latip menjadi perwakilan keluarga besar, untuk
menyampaikan kesan pesan, atas meninggalnya Sastrodarsono. Dari seluruh
keluarga, hanya Latip yang berani maju dan berbicara. Hal ini, seakan
menegaskan bahwa Latiplah yang kelak akan melanjutkan jejak kepriyayian
Sastrodarsono. Seorang anak jadah dari keponakan nakal yang menghamili
seorang gadis miskin dan mati terbakar sebagai pencuri.

Anda mungkin juga menyukai