Laskar Pelangi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Laskar berarti tentara;
kelompok serdadu; atau pasukan. Sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh penulis di dalam
novel ini, nama Laskar Pelangi diambil karena novel ini menceritakan sekelompok bocah
yang terdiri dari Ikal, Lintang, Mahar, Trapani, Sahara, Syahdan, Kucai, A Kiong, Samson,
dan Harun yang sama-sama mencintai pelangi. Sepuluh nama itu diberikan nyawa oleh
Andrea Hirata dan dijadikannya manusia-manusia hebat. Mereka mengajarkan arti tabah,
syukur, perjuangan, semangat belajar, meraih mimpi, cinta, persahabatan, dan
kekeluargaan.
Cinta. Selain nilai-nilai tentang pendidikan yang telah saya jelaskan di atas, novel ini
juga memuat cerita ‘cinta monyet’ yang tulus. Yakni cinta Ikal terhadap gadis keturunan
Tionghoa, anak dari pemilik Toko Sinar Harapan, bernama A Ling. Cerita cinta Ikal terhadap
A Ling menjadi selingan yang menyegarkan di antara cerita-cerita lain yang bernilai motivasi
tinggi. Pada cerita Ikal dan A Ling, Andrea Hirata menggambarkan bagaimana semangat dan
pandangan positif terhadap dunia muncul pada diri orang yang sedang jatuh cinta. Bau busuk
pasar seketika berganti menjadi wewangian toko parfum saat Ikal saling bertatapan dengan A
Ling. Bahkan bakat terpendam Ikal, yakni merangkai kata-kata menjadi sebuah puisi mulai
muncul saat Ikal jatuh cinta pada A Ling. Cinta dapat menjadi roda penggerak semangat dan
motivasi bagi seseorang. Selain cinta Ikal pada A Ling, ada cinta yang lebih besar yang
tersirat dalam novel ini, yakni cinta Bu Muslimah dan Pak Harfan kepada anak-anak didik
mereka.
Selain sepuluh anak kampung kumal yang memiliki semangat belajar yang tinggi itu,
Bu Muslimah dan Pak Harfan juga sosok yang dapat kita jadikan contoh. Mereka adalah dua
orang guru yang benar-benar layak mendapat gelar sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.
Mereka bukanlah sekedar guru, mereka memposisikan diri mereka sebagai orang tua dari
seluruh anak didiknya. Mereka memberi ilmu dengan cinta, dengan ketulusan, dengan
kesabaran, dan dengan kasih sayang, meski imbalan yang mereka terima sama sekali tidak
dapat memenuhi kebutuhan hidup. Mereka adalah guru dambaan setiap murid. Apabila guru
memberikan ilmunya dengan cinta, tulus, dan ikhlas, maka akan dengan mudah pula ilmu-
ilmu itu diterima oleh anak didiknya. Bu Mus dan Pak Harfan adalah sosok guru yang
percaya bahwa ikatan seorang guru dengan murid bukan hanya pada kewajiban belajar
mengajar, tetapi juga ikatan batin layaknya ikatan anak dengan orang tua. Tak bosan saya
menyatakan bahwa novel ini sangat menginspirasi, memotivasi, dan kaya akan nilai-nilai
yang patut dicontoh berbagai kalangan.
Selain nilai-nilai kehidupan, nilai-nilai tauhid atau keimanan juga sedikitnya dibahas
dalam satu bab novel ini, yakni pada bab Tuk Bayan Tula. Andrea Hirata menyiratkan pesan
moral agar kita menjauhi kemusyrikan dan hal-hal yang dapat membawa kita pada
kemurtadan. Musibah di lautan yang menghadang perjalanan Mahar dan Societit de Limpai –
organisasi orang-orang pencinta hal gaib yang diketuai oleh Mahar– ke kediaman Tuk Bayan
Tula itu menunjukkan bahwa Allah akan memberikan hukuman besar bagi orang-orang yang
menyekutukannya. Selain menyiratkan nilai tauhid, bab ini juga mencerminkan masyarakat
Indonesia yang sampai saat ini masih ada yang percaya akan hal-hal gaib. Di tempat-tempat
yang masih belum tersentuh dengan kemajuan teknologi, orang-orang Indonesia masih
banyak yang pemikirannya masih terbelakang. Salah satunya adalah pemikiran tentang hal-
hal gaib yang dapat mememberikan keuntungan dan mengirimkan bala kepada seseorang.
Cerita dua belas tahun setelah kelulusan Laskar Pelangi dari SMP Muhammadiyah
sama sekali tak tertebak oleh saya. Kenyataan bahwa Lintang –sang Isaac Newton, Andre
Marie Ampere, dan Albert Einstein Sekolah Muhammadiyah Belitong– tumbuh dewasa
menjadi seorang sopir truk pasir, membuat saya membenci akhir cerita novel ini (sebenarnya
cerita ini masih berlanjut pada novel Sang Pemimpi dan Edensor, dan saya belum mengetahui
nasib Lintang pada novel-novel tersebut). Dan keputusan Andrea Hirata membuat Syahdan –
anak yang paling diragukan kesuksesannya saat masih di bangku sekolah– sukses menjadi
seorang Information Technology Manager di sebuah perusahaan multinasional terkemuka,
adalah salah satu caranya untuk mengingatkan kepada pembaca bahwa manusia tidak dapat
menebak nasib dan masa depan. Cita-cita Lintang menjadi seorang matematikawan yang
gagal diraihnya itu juga memperlihatkan bahwa manusia hanya Tuhan izinkan untuk
berencana dan berjuang, tetapi eksekusi tetap berada di tangan-Nya.
Novel Laskar Pelangi juga berisi kritik sosial. Novel ini mencoba membuka mata dan
hati pemerintah untuk melihat bagaimana kondisi sekolah-sekolah di wilayah terpencil.
Andrea Hirata menguak bagaimana kesulitan dan minimnya fasilitas sekolah-sekolah di
wilayah terpencil itu. Novel ini diharapkan dapat menjadi tamparan untuk para petinggi
negara, agar mereka sadar bahwa pendidikan di Indonesia masih sangat belum merata, dan
sila kelima yang mengusung keadilan bagi seluruh rakat Indonesia masih belum terealisasi.
Selain itu saya menangkap bahwa Andrea Hirata geram akan kelakuan para politisi
kebanyakan yang hanya mementingkan keuntungan pribadi. Berulang kali ia menjelaskan
perangai Kucai yang banyak bicara dan sok tahu padahal tak tahu apa apa, kemudian
dikatakan bahwa Kucai cocok menjadi politisi dengan karakternya yang seperti itu.
Novel yang kaya akan amanat dan pengetahuan ini telah mencuri hati saya. Saya ikut
merasakan hampir seluruh emosi yang Andrea Hirata coba tuangkan pada setiap tokoh novel
ini. Cerita dalam alur yang tak dapat saya nyatakan apakah maju atau maju mundur ini tak
sedikitpun membuat saya bingung. Saya sangat menikmati setiap bab dalam novel ini.
Dengan ini saya mengakui bahwa Andrea Hirata adalah salah satu penulis ulung, dan Laskar
Pelangi adalah sebuah mahakarya yang memang pantas mendapat berbagai penghargaan.