OLEH:
FADILLA UMMA SYAM
F011201020
Novel merupakan salah satu jenis prosa yang terbangun dari sejumlah unsur
pembentuk seperti alur, penokohan, tema, latar, dan sudut pandang. Setiap unsur tersebut
dapat digunakan dalam mengkaji sebuah karya sastra untuk mengungkapkan makna yang
terkandung di dalamnya. Salah satu masalah yang sering muncul di dalam karya sastra
adalah masalah gender.
Gender adalah sifat serta peran yang melekat pada laki-laki dan perempuan secara
sosial maupun kultural. Dalam kehidupan sehari-hari sering terjadi ketimpangan gender,
contohnya adalah kekerasan yang sering terjadi pada orang yang dianggap lemah,
pelecehan seksual, dan lain sebagainya. Berbagai bentuk ketimpangan gender itu dapat
dijumpai di dalam karya sastra seperti puisi, prosa, dan drama.
Oleh karena itu, penulis memilih novel Tempurung untuk dikaji. Dalam novel ini
digambarkan bagaimana perempuan-peremuan yang seringkali menjadi pemeran utama
atas ketidakadilan gender. Hal ini yang menjadi daya tarik penulis untuk mengkajinya
menggunakan pendekatan Feminisme. Dalam kajian ini penulis menemukan dua bentuk
ketidakadilan gender, yaitu Marginalisasi dan Stereotipe.
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam novel Tempurung karya Oka Rusmini terdapat ketidakadilan gender dialami
perempuan yang akan menjadi fokus pembahasan pada kajian ini. Adapun bentuk ketidakadilan
gender yang dialami perempuan dalam novel tersebut yakni, marginalisasi dan stereotipe.
1. Marginalisasi
“Perempuan yang tidak bisa melahirkan bayi adalah perempuan sial! Hidup tanpa
keturunan lelaki adalah kiamat!” (Rusmini, 2010:79)
“Sipleng tidak bisa menghitung berapa puluh bayi yang dilahirkan mati. Hanya untuk
mendapatkan bayi lelaki, perempuan itu membiarkan tubuhnya dititipi daging terus-
menerus.” (Rusmini, 2010:79)
Kutipan di atas menjelaskan kondisi seorang perempuan yang dipaksa melahirkan bayi
lelaki. Padahal, semua gender memiliki hak yang sama dalam menikmati kehidupan. kejadian
tersebut menjadi masalah karena dianggap membawa kesialan sebab tidak memiliki bayi
laki-laki sehingga mereka kerap kali diminta melakukan ritual adat agar terhindar dari
kesialan yang dianggap bisa menyebar kepada warga lainnya.
Marginalisasi yang terjadi sebagian besar diakibatkan oleh pemikiran masyarakat Bali
yang digunakan sebagai latar dalam novel Tempurung. Di dalam novel ini masyarakat masih
banyak yang melanggengkan patriarki. Banyak kaum perempuan yang ditempatkan berada di
bawah kaum laki-laki atau posisinya lebih rendah dari laki-laki sehingga seringkali menjadi
korban. Selain itu kehidupan perempuan segalanya bergantung pada laki-laki, karena tidak
memiliki bekal untuk bisa hidup secara mandiri hingga terpaksa mereka menikahi seorang
laki-laki demi mendongkrak kehidupan keluarganya dan terus hidup dengan banyaknya
ketidakadilan gender. Hal itu dibuktikan dalam kutipan berikut.
“Umur 16 tahun kedua orangtuanya mengawinkan perempuan tipis itu dengan seorang
lelaki desanya, Wayan Payuk. Orangtua Sipleng yang berpenghasilan tidak jelas itu
berharap perkawinan Sipleng dengan dengan seorang pemilik tanah mampu
mendongkrak kehidupan mereka. Menutupi kehidupan sehari-hari. Di punggung sipleng-
lah impian dan harapan itu dibenamkan secara paksa .” (Rusmini 2010:77)
Hal itu terjadi sebab perempuan tidak diperbolehkan mengenyam pendidikan dan dipaksa
berdiam diri di rumah, hanya disibukkan dalam urusan dapur, sumur dan kasur sehingga
memiliki ketergantungan pada laki-laki.
2. Stereotipe
Stereotipe merupakan pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu yang
menimbulkan kerugian. Salah satu bentuk pelabelan atau penandaan di dalam novel ini yaitu
pendapat yang mengatakan bahwa perempuan belum bisa dikatakan sebagai manusia jika
tidak memiliki pasangan. Hal itu dibuktikan dalam kutipan berikut:
“Mencintai seseorang itu peristiwa yang sangat luar biasa. Kau harus coba ritus satu itu.
Sebelum kau mencobanya, belum lengkap wujud manusiamu.” (Rusmini, 2010:45)
Setelah membaca dan menganalisis novel ini, penulis menganggap bahwa ketimpangan
gender merupakan isu yang mengakar. Perempuan seringkali menjadi korban atas segala bentuk
ketidakadilan ini. Perempuan juga sering mengalami eksploitasi atas tubuh dan jalan hidupnya
sendiri. Lebih kejamnya lagi, mereka dipaksa bungkam atas nilai-nilai dalam suatu masyarakat
yang sebenarnya mengalami ketimpangan. Padahal, setiap jenis kelamin memiliki hak yang sama
atas keberlangsungan hidupnya.
DAFTAR PUSTAKA
Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Fakih, 1996. Analisis gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pratiwi, Ilma Arum. 2019. Hegemoni Dai Nippon Pada Novel Perawan Remaja Dalam
Cengkraman Militer karya Pramodya Ananta Toer[skripsi]. Malang(ID):
Universitas Brawijaya.
Rosmini, Oki. 2010. Tempurung. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Siska. -. Analisis Ketidakadilan Gender Dalam Novel “Namaku Hiroko” Karya N.H Dini
(Sebuah Kajian Sastra Feminisme). (Artikel)
Judul : Tempurung
Penulis : Oka Rusmini
Tebal : 404 halaman
Penerbit : Grasindo
Novel Oka Rusmini, perempuan kelahiran Jakarta 11 juli 1967 tersebut
tidak jauh-jauh dengan kehidupan dan kebudayaan di Bali. Beliau
memang tinggal dan dibesarkan di Denpasar dengan kebudayaan Bali
yang kental.
Pada novel ini, menggambarkan jelas bagaimana kehidupan perempuan
yang berusaha mempertahankan hidup, memperlakukan tubuhnya dan
menjalani kehidupan rumah tangga.
Ada beberapa kisah yang ditulis oleh Oka dengan beragam
permasalahan masing-masing. Beberapa bagian menyambung hingga
akhir cerita.
Saya menelaah tokoh Sipleg, perempuan yang dinilai aneh dan jarang
berbicara. Diceritakan dalam novel tersebut Sipleg seorang perempuan
kuno yang kuat meskipun tidak bisa baca dan tulis. Sipleg terlahir dari
seorang rahim pelacur bernama Songi, dia bahkan tidak mengenali arti
kasih sayang ibu.
Ibunya, Songi merupakan pelacur yang terkenal dan sudah dijual oleh
ayahnya sejak pertama haid. Hingga Songi bertemu dengan I Wayan
Seger, seorang tukang jagal. Kedekatannya dengan I Wayan Seger,
membuat para lelaki semakin takut mendekati Songi.
Songi terlahir dari wanita bernama Ni Luh Wayan Rimpig. Rimpig
dinilai wanita aneh pula, tidak bahagia atas perjodohannya. Hingga
melahirkan anak terakhir bernama Songi dan tega menjualnya sebagai
pelacur. Kedua orang tua Songi, Rimpig dan Seger memang
berkehendak menjadikan Songi pelacur.
“Jangan menjual tubuhmu pada satu lelaki. Kau ditakdirkan sebagai
pelacur. Jangan pernah jatuh cinta. Seorang pelacur sejati tidak memiliki
satu lelaki, tetapi beratus-ratus lelaki. Semua tanpa nama. Seorang lelaki
yang mengawinimu adalah lelaki jahanam.” Itu kata-kata Rimpig pada
Songi. (Hal 116)
Itu sepenggal kisah dari ibu dan nenek Sipleg. Sipleg sebenarnya
menikah dengan Payuk. Itupun juga karena Songi yang menjualnya.
Semua kekayaan Songi habis setelah menikah dengan Seger yang tak
mau bekerja. Karena terlilit hutang dengan Ni Luh Ketut Jinah, ibu
Payuk suami Sipleg.
Perkawinan Sipleg dengan Payuk menghasilkan dua buah hati, kembar
perempuan dan lelaki. Namun, melahirkan bayi kembar buncing
dianggap sebagai malapetaka. Tandanya harus diadakan upacara bersih
desa. Sipleg berpikir bahwa adat tidak bisa ditentang, dia rela menjalani
adatnya. Mengemis di tiga desa bersama Payuk. Sipleg tidak ikhlas, dia
tahu adat tersebut akan mengancam bayinya. Dan benar, hari pertama
mengemis bayi lelakinya mati. Keesokan harinya, bayi perempuannya.
Sipleg menyiapkan diri, mengumpulkan serpihan dendam dihatinya
namun tanpa air mata. Terdiam seperti batu dan merajang seluruh
dendam yang dia tanam seluruh aliran darahnya.
Bukan hanya penggalan kisah Sipleg, ada beberapa tokoh perempuan
dengan segala masalah masing-masing terutama kehidupan ekonomi dan
seksualitas yang menentang adat. Pengarang dengan gaya bahasa ringan
dan seolah realistis mengungkapkan disetiap alurnya. Namun, jika
membaca novel ini harus penuh teliti untuk memahami bagian-bagian
tokohnya. Alurnya yang maju mundur terkadang membuat kita susah
menautkan potongan kisah tokoh satu dengan lainnya.
Stereotipe timbul karena adanya kecenderungan untuk menggeneralisasi secara berlebihan tanpa
diferensiasi sehingga menimbulkan bias dan sikap negatif yang dialamatkan kepada suatu kelompok
sosial (ras,suku atau agama) dan anggotanya.[12][13]. Semua stereotipe adalah generalisasi, tetapi
tidak semua generalisasi termasuk stereotipe. Stereotipe tersebar lebih luas karena
penyederhanaan berlebihan terhadap sekelompok orang, sedangkan generalisasi lebih didasarkan
pada pengalaman pribadi.[14]