Anda di halaman 1dari 6

Nama: Nurul Hidayah

NIM: 13010112130091
Kelas: C
Kritik Sastra Feminis Cerpen Berjudul "Ketika Perkawinan Harus
Dimulai" dalam Buku Kumpulan Cerpen Sagra Karya Oka Rusmini
Selama ini kita lihat di beberapa media massa marak memberitakan tentang kasus
kekerasan terhadap perempuan. Menghadapi kasus seperti itu, negara turun tangan dan
memberikan pelayanan dengan didirikannya komisi nasional perlindungan anak dan
perempuan. Namun, banyaknya masyarakat yang buta hukum menjadikan pelaku
kekerasan tidak jera, melihat kondisi tersebut perempuan sadar bahwa mereka berada
dalam posisi tertindas. Hal inilah yang mengilhami beberapa pergerakan feminisme di
Indonesia dengan memperjuangkan hak-hak perempuan dan menuntut kesetaraan gender.
Perjuangan kaum perempuan tidak hanya lewat pergerakannya menuntut keadilan secara
terang-terangan, namun beberapa tulisan mengkritik segala tindakan yang menindas serta
memarginalkan perempuan juga merupakan sebuah perjuangan. Tulisan-tulisan tersebut
tidak hanya terkemas dalam artikel atau essay namun juga tercermin dalam karya sastra
seperti dalam novel, cerpen, maupun puisi. Dalam karyanya, penulis sering
menggambarkan perempuan sebagai makhluk yang lemah, diperkosa, disiksa baik secara
eksplisit maupun implisit, dan bodoh. Salah satu karya sastra yang menyuarakan tentang
feminisme adalah kumpulan cerpen "Sagra" karya Oka Rusmini. Karya Rusmini ini
sedikit berbeda dengan karya feminis yang lain, selain ceritanya menarik juga ada
sentuhan budaya Bali yang memang banyak menggambarkan ketimpangan gender. Di
dalam buku tersebut ada satu judul yang menarik penulis untuk mengkaji lebih dalam
yaitu cerpen yang berjudul "Ketika Perkawinan Harus dimulai".
Di dalam cerpen tersebut bercerita tentang tokoh seorang perempuan bernama Dayu
Bulan yang tidak kunjung menikah padahal usianya sudah sangat matang yakni tiga
puluh lima tahun. Pada usia tersebut kebanyakan seorang perempuan sudah hidup dalam
bahtera rumah tangga namun berbeda dengan sosok Dayu Bulan yang memilih untuk
tidak menikah. Pilihannya itu tentunya mengundang banyak kontra dan pertanyaan dari

orang di sekitarnya. Hingga beberepa spekulasi muncul mengenai jalan yang dipilihnya
itu, anggapan gila hingga trauma masa lalu selalu dipertanyakan padanya.
Kenapa orang-orang selalu megusik bila seorang perempuan memutuskan hidup
sendiri? Mungkin mereka mengira perempuan itu mengalami gangguan psikis atau
memiliki trauma masa lalu karena mengalami masa yang sulit bersama laki-laki. Atau
pertanyaan, siapkah seorang perempuan hidup sendiri? Tidakkah dia takut menghadapi
masa tua? Tanpa anak, tanpa saudara . . .(Rusmini, 2013: 121)
Pandangan masyarakat tentang seorang perempuan yang belum menikah pada
umumnya selalu negatif. Hal ini tidak hanya berlaku di daerah tertentu tapi konsep
tentang perawan tua menuai asumsi yang buruk atau cibiran, bahkan terkadang
masyarakat sekitar menganggap bahwa perempuan tersebut tidak laku. Penekanan
tentang perkawinan juga lebih memberatkan sosok perempuan dari pada laki-laki, seperti
yang dialami Bulan pada penggalan kalimat berikut, " Belakangan ini orang-orang begitu
rajin menanamkan kata 'kawin' dalam setiap perbincangan yang melibatkan dirinya. Ini
sangat mengganggu" (Rusmini, 2013: 123). Perempuan dinilai seperti barang dagangan,
jika mereka bertahan dengan kesendirian maka anggapan tidak laku akan muncul,
padahal hak setiap individu untuk memilih menikah atau tidak. Mungkin hal ini juga
berlaku bagi laki-laki, mereka akan menyandang gelar perjaka tua, namun ada sedikit
perbedaan anatar keduanya. Jika laki-laki yang belum atau memilih tidak menikah
dianggap suatu hal yang tidak harus dibesar-besarkan karena pada dasarnya mereka
mampu menjalani hidup dan menjaga dirinya sendiri, namun berbeda dengan perempuan,
meskipun mereka mandiri dan memiliki karir yang mapan anggapan bahwa perempuan
membutuhkan orang lain untuk menjaga dirinya tidak akan pernah pudar, "Apa artinya
karier sukses bila tanpa laki-laki?" (Rusmini, 2013: 121). Hal ini menggambarkan konsep
pemikiran tentang wanita di kalangan masyarakat adalah sosok yang lemah dan harus
dilindungi.
Dalam cerpen ini ada beberapa persoalan rumah tangga yang sengaja dihadirkan
untuk membuat tokoh Dayu Bulan berpikir ulang tentang perkawinan dan esensinya.
Mulai dari cerita yang disampaikan dosen yang dikagumi Bulan mengenai sosok Sudarmi
seorang novelis Bali yang mandul kreativitas dikarenakan masalah rumah tangganya, hal
ini dipicu oleh sikap suaminya yang tidak memahami kesulitan Sudarmi. Dari

pemunculan masalah tersebut memperlihatkan sebuah gambaran rumah tangga tidak


selalu harmonis dan perempuan kembali menjadi korban atas masalah yang terjadi.
Dosen itu sendiri juga menyentil kehidupannya perihal pernikahan yang tidak diinginkan
hanya demi memenuhi keinginan ibunya untuk menimang anak. Suara perempuan
memperjuangkan haknya dalam memilih jalan hidupnya diperlihatkan dalam masalah
tersebut. Keinginan perempuan untuk hidup sendiri dibantah oleh anggapan masyarakat
bahwa perempuan tidaklah sempurna jika dia belum menikah dan menjadi seorang ibu.
Perempuan dianggap sebagai pelaku yang memiliki peran penting dalam penerusan
keturunan, maka ketika perempuan memilih untuk tidak menikah rantai keturunan akan
terputus.
Cerita tentang penyair yang melamar Dayu Bulan juga mengisi rebtetan konflik
dalam cerita. Sosok penyair yang mengharuskan memiliki istri perawan artinya mampu
menjaga kesuciannya, namun dia sendiri bukanlah orang yang 'bersih'. Banyak
perempuan disetubuhi dengan cuma-cuma karena mereka mengagumi sajaknya.
Keegoisan laki-laki diungkapkan dengan sederhana namun memiliki makna mendalam,
di mana hal ini sering tidak kita sadari bahwa banyak perempuan yang dianggap hina,
kotor ketika keperawanan mereka hilang, tapi kembali lagi perempuan terpojok dan
posisi laki-laki menjadi pemenang, tidak ada sebutan bagi kaum laki-laki yang sudah
tidak perjaka. Selain itu poligami secara tersirat diungkapkan dalam perilaku sang
penyair, ketika dia masih berstatus suami dari perempuan lain tapi dia masih
menginginkan Bulan menjadi istrinya. Hal seperti ini juga ada dalam budaya di Bali, di
mana konsep patriarki tampak dalam praktik pernikahan poligami. Seorang laki-laki
boleh menikahi lebih dari satu perempuan tanpa batasan. Jika perempuan yang diperistri
dengan suaminya, maka dia diangkat menjadi istri pertama disebut prameswari atau
padmi. Adapun istri-istri yang lain disebut penawing. Demikian pula dengan masalah
warisan, anak-anak padmi atau penawing berbeda haknya atas warisan ayahnya.
Ketimpangan gender sangat terlihat pada persoalan budaya, namun banyak masyarakat
yang enggan untuk menentang keadaan tersebut karena mereka sangat mengagungkan
budaya leluhur daripada kepentingan dalam upaya memperjuangkan hak asasi untuk
memperoleh kesetaraan posisi antara laki-laki dan perempuan, dan hanya beberapa
gelintir yang sadar dan mau bergerak untuk menyuarakan kesetaraan gender.

Perkawinan menjadi wacana yang harus dipertimbangkan bagi Bulan, bukan


hanya karena komitmen akan tetapi karena melihat realitas di sekelilingnya, yaitu seperti
masalah Sudarmi, Dosen, dan sang penyair. Bahkan Bulan mengamati secara langsung
tentang esensi sebuah perkawinan yang terkadang melenceng dari apa yang diharapkan
karena persoalan yang menyimpang, seperti kasus perselingkuhan yang dialami oleh
sahabatnya sendiri Torita yang memulai kisah perselingkuhannya dengan laki-laki lain di
saat hubungannya dengan suaminya membaik. Perselingkuhan dihalalkan demi
kebahagiaan bagi Torita, hal ini juga terjadi pada sang penyair konsep pemikiran tentang
perselingkuhan dibenarkan untuk menunjang proses kreatif dalam menciptakan sajaksajaknya. Dari beberapa persoalan itulah, Dayu Bulan sebagai seorang perempuan yang
mengenyam pendidikan tinggi, tidak menyetujui hal itu. Di mana seseorang bisa dengan
leluasa mempermainkan nilai perkawinan. Bulan mempertimbangkan tentang makna
sebuah perkawinan dan mempertanyaan perbedaan manusia dengan binatang.
Selain adat atau budaya yang demikian memojokkan posisi perempuan,
kepercayaan dan doktrin agama juga sedikit banyak mempengaruhi relasi gender
masyarakat Bali dan agama yang mendominasi adalah Hindu yang memiliki kepercayaan
tentang roh. Dalam cerpen "Ketika Perkawinan Harus Dimulai" ada cerita tentang Bulan
yang menghadiri upacara ngaben, pembakan mayat Ida Ayu Made, perempuan dari kasta
brahmana yang memilih tidak menikah. Diceritakan bahwa setelah peristiwa kematian
tersebut ada seorang bayi perempuan lahir yang di dalam tubuhnya bersemayam roh Ida
Ayu Made, hal ini dipercaya ketika seorang balian kerasukan roh Ida Ayu Made dan
mengatakan ingin menikah dan memiliki keturunan dengan jalan menjelma ke dalam
tubuh bayi itu "Tiang tidak mau hidup sendiri. Tiang harus kawin. Harus memiliki
keturunan, kata roh Ida Ayu Made lewat mulut balian itu" (Rusmini, 2013:130). Adanya
kepercayaan seperti ini sedikit banyak memberi pengaruh terhadap pola pikir masyarakat
penganutnya, mereka berpikir bahwa perempuan itu memang harus menikah dan
memiliki keturunan. Anggapan ini semakin diperkuat dengan pola pikir roh perempuan
yang tidak menikah akan menjadi roh penasaran yang menyesali keputusannya untuk
tidak menikah. Secara tidak langsung agama mewajibkan perempuan untuk menikah dan
jika tidak, maka mereka harus siap dengan konsekuensi yang akan diterima. Hal ini
hanya berlaku pada kaum perempuan, sedangkan laki-laki tidak ada wacana demikian.

Kepercayaan tidak hanya dituangkan dalam konsep agama, namun juga tentang
hal lain diluar keimanan, seperti mitos. Mitos yang dipercaya oleh masyarakat
membentuk pola pikir dan tindakan dalam kehidupan sehari-hari. Begitu juga mitos
masyarakat Bali yang diungkapkan Bulan tentang perempuan yang tidak memiliki anak
itu berdosa kelak ketika mati maka perempuan itu akan menyusui ulat, perempuan yang
tidak menikah juga berdosa ketika mati nanti akan ada babi jantan yang terus menerus
mengejar tubuhnya serta ingin menikmati. Hal ini jelas bahwa perempuan dalam konsep
budaya Bali sangat tertindas, hukum dijatuhkan bagi kaum perempuan sedangkan lakilaki terbebas dari tuntutan pernikahan. Namun hal ini tidak menyurutkan keteguhan
Bulan dalam memegang komitmennya karena selalu mengingat pesan ibunya sebelum
meninggal, yaitu dari pada menikah dengan lelaki yang tidak sederajat lebih baik dia
tidak menikah dan menjadi perempuan suci yang dapat menghaturkan sesaji di tiap
pelinggih atau tempat suci. Sebenarnya jika dipahami ada maksut dibalik nasehat ibunya
Bulan, yaitu karena dia tidak ingin Bulan yang berkasta Brahmana atau kelas sosial
tertinggi terbuang dari kasta keluarganya. Masyarakat Bali mengadopsi sistem kasta dari
India sebagai bagian dari agama Hindu. Masyarakat dibagi ke dalam empat kasta atau
kelas sosial dari yang tertinggi ke yang rendah yaitu brahmana, ksatria, vaisya, dan sudra.
Perempuan dari kasta tinggi yang menikah dengan laki-laki dari kasta lebih rendah
menjadi turun kasta dan mendapat kasta suaminya. Perempuan yang menikah dengan
laki-laki dari kasta yang lebih rendah tersebut tidak diizinkan pulang ke rumah asalnya
atau menegur orang tuanya seperti sediakala. Sementara itu, apabila seorang laki-laki
berkasta menikah dengan seorang perempuan sudra (tidak berkasta), si istri berganti
nama dan naik derajat menjadi jero atau mekel dan derajat laki-laki tersebut tidak turun
menjadi kasta yang rendah. Mengenai sistem kasta di Bali ini, sudah sangat gamblang
ada praktek ketimpangan gender. Pemerolehan hak perempuan dan laki-laki dibedakan,
padahal ini berlaku pada kasus yang sama yakni pernikahan yang berbeda kasta atau
kelas sosial.
Dari penjelasan di atas, cerpen "Ketika Perkawinan Harus Dimulai" ini
mengungkap ketimpangan gender dengan posisi perempuan yang tertindas dari beberapa
segi yaitu segi adat budaya, doktrin agama, kepercayaan, dan sistem kasta. Dalam
perjuangan menuntut kesetaraan gender kita selalu berbenturan dengan budaya yang lebih

mengikat. Sehingga banyak masyarakat yang tidak menyadari bahwa posisi perempuan
itu terdiskriminasi.

Anda mungkin juga menyukai