Anda di halaman 1dari 5

SANDI VINDIYAN JAYA KUSUMA

121914153005

TEORI SASTRA 2

ANALISIS DEKONSTRUKSI PADA CERPEN DAN PUISI

Cerpen: Jangan Main-main (Dengan Kelaminmu). Karya Djenar Maesa Ayu


Cerpen Jangan Main-main (Dengan Kelaminmu) adalah salah satu cerpen karya
Djenar Maesa Ayu yang terdapat dalam Majalah Sastra Basis, edisi April 2003. Sebagai
seorang sastrawan, Djenar telah menghasilkan banyak karya-karya yang sarat dengan
dobrakan-dobrakan akut terkhusus dalam kajian gender dan seksualitas dengan sikap
kritisnya dalam menyikapi sebuah fenomena social yang terjadi ditengah masyarakat.
Jangan Main-main (Dengan Kelaminmu) merupakan sebuah cerpen yang mengangkat
isu gender dan seksualitas yang sedang marak dan gencar dalam pembahasan gender di
Indonesia. melalui cerpen ini, Djenar menyampaikan sesuatu yang lain yang juga dapat
diungkap berdasrkan beberapa paragraf atau bait dalam cerpennya. Dengan membaca judul
cerpen ini, maka yang muncul dalam pandangan kita atau pemikiran kita adalah “ada apa
dengan kelamin?” atau “Kelamin merupakan hal yang sacral sehingga tidak bisa dijadikan
sebagai mainan”. Hal ini yang membuat cerpen ini sangat menarik untuk dikaji dengan
dekonstruksi pada sebuah cerpen atau puisi. Secara structural, cerpen ini mengandung
beberapa bait pengulangan yang membuatnya kontras dengan beberapa cerpen lain. Isitilah
pengulangan dalam cerpen ini menjadi titik tumpu atau latar belakang dari analisis ini.
Cerpen ini mengisahkan tentang saya, aku dan mereka yang sedang heran atau
bingung dengan apa yang telah terjadi dan dengan apa yang dilakukan terhadap “kelamin”.
Pada contoh potongan ini:

“Saya heran, selama lima tahun kami menjalin hubungan, tidak sekalipun
terlintas dikepala saya tentang pernikahan. Tapi jika dikatakan hubungan kami ini
hanya main-main, apalagi hanya sebatas hasrat seksua, dengan tegas saya akan
menolak. Saya sangat tahu aturan main. Bagi pria semapan saya, hanya dibutuhkan
beberapa jam untuk main-main, mulai main mata hingga main kelamin.”
Kata ganti “saya” menerangkan bahwa Ia sedang heran dengan hubungannya sendiri
yang menyebabkan semua elemen pada aktivitas dan kelamin berubah menjadi searah dan
merujuk pada sesuatu yang negative. Pada dasarnya, kata ganti “saya” merupakan diri
seseorang yang mengkritisi dirinya sendiri sehingga apa yang ia lakukan merupakan hal yang
menjadi bagian dari dirinya sendiri dan pasangannya. Kata ganti “saya” dalam bait ini
merupakan seorang pria yang mengklaim dirinya sebagai seseorang yang mapan dan tidak
mungkin akan main-main menggunakan kelamin. Kemudian kalimat tersebut diulang oleh
Djenar pada bait berikutnya hanya digantikan dengan kata ganti “mereka” namun tetap dalam
perspektif “saya”

“Saya heran, selama lima tahun mereka menjalin hubungan, tidak sekali pun
terlintas dikepala mereka tentang pernikahan. Tapi jika saya katakan hubungan
mereka itu hanya main-main, apalagi hanya sebatas hasrat seksua, dengan tegas
mereka akan menolak. Mereka sangat tahu aturan main. Bagi mereka, hanya
dibutuhkan beberapa jam untuk main-main, mulai main mata hingga main kelamin.”
“Mereka” merupakan kata ganti yang dibahas oleh kata ganti “saya” pada bait
pertama, dimana kata ganti “saya” merupakan orang yang mengomentari apa yang terjadi
pada hubungan yang dijelaskan menggunakan kata ganti “mereka” dalam bait kedua ini. Kata
ganti “mereka” adalah menggambarkan sekelompok orang (lebih dari 1 pasangan) yang juga
tidak akan bermain-main dengan kelaminnya. Hanya saja dalam bait ini tetap digambarkan
oleh pria yang digantikan oleh kata ganti “saya” dalam bait pertama. Lalu diulan kembali
dalam bait ketiga menggunakan objek yang digantikan oleh kata ganti “saya” sebagai seorang
perempuan.
“Saya heran, selama lima tahun kami menjalin hubungan, tidak sekalipun
terlintas dikepala saya tentang pernikahan. Tapi jika dikatakan hubungan kami ini
hanya main-main, apalagi hanya sebatas hasrat seksua, dengan tegas saya akan
menolak. Saya sangat tahu aturan main. Bagi wanita secantik saya, hanya dibutuhkan
beberapa jam untuk main-main, mulai main mata hingga main kelamin.”
Tidak berbeda dengan bait pertama, dalam bait ketiga ini hanya digantikan oleh
seorang wanita yang mengklaim dirinya sebagai seorang wanita cantik yang juga tidak akan
bermain-main dengan kelaminnya. Tidak sampai disitu, ini diulang kembali oleh Djenar
persis dengan kalimat yang ada pada bait pertama.
“Saya heran, selama lima tahun mereka menjalin hubungan, tidak sekali pun
terlintas dikepala mereka tentang pernikahan. Tapi jika saya katakan hubungan
mereka itu hanya main-main, apalagi hanya sebatas hasrat seksua, dengan tegas
mereka akan menolak. Mereka sangat tahu aturan main. Bagi mereka, hanya
dibutuhkan beberapa jam untuk main-main, mulai main mata hingga main kelamin.”
Setelah kalimat ini, maka semua kembali pada kata ganti “saya” yang
menggambarkan dirinya tdiak akan bermain-main dengan kelaminnya. Beberapa kata ganti
yang dipakai oleh Djenar dalam cerpen ini merupakan suatu oposisi biner dalamkajian
dekonstruksi. Oposisi biner merupakan hal yang tidak dapat ditinggalkan dalam kajian
dekonstruksi, dimana oposisi biner merupakan dualitas dalam suatu karya sastra yang sinkron
dengan apa apa yang diangkat dalam suatu karya sastra tersebut. Hal yang sama terjadi juga
pada bait selanjutnya, dimana pengulangan terjadi pada beberapa bait cerpen ini.

“Awalnya memangurusan kelamin. Ketika pada suatu hari saya terbangun dan
terperanjat disisi seonggok daging tak segar dipenuhi gajih yang tak akan mudah
hilang dengan latihan senam maupun fitness setiap hari sekalipun. Hanya sedot lemak
yang mampu menyelamatkan onggokan daging itu dari lemak-lemaknya. Setelah itu
pun harus pandai-pandai merawatnya. Dan kerut-merut disekitar mata, kening, dan
lehernya, hanya dapat tertolong oleh bedah plastic. Kalau hanya akupuntur, entah
berapa juta jarum yang harus ditusukkan supaya dapat mengembalikan ke kencangan
semula. Lantas apakah ada teknologi pengubah pita suara? Ketika onggokan daging
itu bernyawa, ia benar-benar bagai robot dengan rekaman suara. Celakanya, rekaman
suaranya cempreng seperti kaleng rombeng. Astaga… pusing saya mendengarnya.
Pagi-pagi sebelum berangkat kerja saya mau tenang. Sebentar kemudian saya akan
terjebak kemacetan, bertemu klien yang menyebalkan, dan karyawan yang tak
berhenti minta tanda tangan, rutinitas yang membosankan. Anehnya, sejak hari itu,
saya lebih memilih lekas-lekas berada ditengah kemacetan dan segudang rutinitas
yang membosankan itu ketimbang lebih lama dirumah melihat seonggok daging yang
tak sedap dipandang dan suara yang tak sedap didengar. Kalau saja saya sudah jengah
bertemu, apalagi kelamin saya? ”
Pada bait ini dijelaskan bahwa kata ganti “saya” yang tidak pernah mau bersnading
dengan onggokan daging yang ada dirumahnya dan lebih betah berada pada aktivitas
keseharaiinya diluar rumah yang menyita banyak waktunya daripada harus berada dan
berdiam diri dirumah dengan seonggok daging yang berlemak tersebut. Apa yang ada pada
bait ini juga menerangkan bahwa onggokan daging bisa jadi merupakan seorang anak kecil
yang tidak tahu apa-apa atau bisa jadi seorang wanita yang selalu menbuat seorang pria
tersebut merasa terganggu ata direpotkan dengan adanya mereka didalam satu rumah. Lagi-
lagi kalimat sayng sama diulang juga oleh Djenar dalam beberapa bait setelah bait tersebut
dengan kata ganti yang berbeda.

Dalam cerpen Jangan Main-main (Dengan Kelaminmu), Djenar Maesa Ayu menaruh
sisi lain dari aktivitas yang menyongsong tema gender dan seksualitas dalam suatu hubungan
yang bisa jadi menyebabkan seseorang terpaut dalam hubungannya itu sendiri.
Kemungkinan-kemungkinan ini dijadikan alat oleh Djenar untuk membahas tentang isu
gender dan seskualitas yang sedang marak terjadi pada tahun dimana ia menulis cerpennya
tersebut. Dimana pada tahun 2003, banyaknya remaja yang melakukan hubungan secara
bebas hingga menyebabkan diri mereka sendiri terjebak dalam situasi atau resiko yang
mereka buat. Hal ini merupakan dobrakan baru bagi remaja-remaja yang suka menyepelekan
arti dari bersama selain dalam berumah tangga.
Puisi: Akuarium. Karya Sapardi Djoko Damono

Puisi Akuarium merupakan salah satu dari beberapa kumpulan puisi yang ditulis oleh
sastrawan legendary Sapardi Djoko Damono dalam kumpulin puisinya pada buku
Manuskrip: Hujan Bulan Juni yang sempat menjadi trending sebagai terobosan baru puisi
klasik modern dalam dunia sastra. Puisi ini menceritakan tentang seekor ikan hias yang
berada dalam satu buah akuarium lengkap dengan anggota tubuh yang cantik dan manis, serta
dilengkapi juga dengan ganggang dan lumut sebagai hal yang mendukung penampilan ikan
hias tersebut. Tidak selamanya apa yang cantik akan selalu terlihat cantik begitupun
sebaliknya. Apa yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono dalam puisinya ini sempat
membuat pembaca akan kebingungan maksud adri puisi ini apa? Sebenarnya simple, banyak
yang mengatakan bahwa ini adalah symbol lokalisasi terhadap pekerjaan atau aktivitas dari
ikan hias itu sendiri.

kau yang mengatakan: matanya ikan!


kau yang mengatakan: matanya dan rambutnya dan pundaknya ikan!
kau yang mengatakan: matanya dan rambutnya dan pundaknya dan lengannya dan
dadanya dan pinggulnya dan pahanya ikan!
“Aku adalah air”, teriakmu “adalah ganggang adalah lumut adalah gelembung udara
adalah kaca adalah…”
Pada beberapa kalimat diatas, kontras adanya hal yang terkait dengan ikan adalah apa
yang selalu bagus layaknya ikan hias pada umumnya. lalu kenapa harus ada “kau yang
mengatakan?” selain ada ikan, berarti ada orang lain yang juga berada dalam akuarium
tersebut. Maksud dari ikan adalah seorang perempuan yang digambarkan sebagai pelacur
dengan aktivitas dan kesibukannya sebagai seseorang yang menemani pelanggannya. Ini
merupakan oposisi biner dari arti ikan itu sendiri. Dekonstruksi dalam puisi selalu
menjunjung teks yang tampak inferior, tapi bukan berarti hanya membolak balik makna yang
ada kemudian selesai. Kata ganti “kau” dalam puisi ini adalah air, ganggang dan lumut,
namun menyatakan dirinya sebagai benda mati. Makhluk hidup memiliki hak atas hidupnya
sendiri sekalipun dia adalah seorang pelacur. Berbeda dengan benda mati yang hak atas apa
yang dilakukan oleh dirinya masih tergantung dengan apa yang akan dilakukan oleh makhluk
hidup. Seorang pelacur pada dasarnya memiliki itu dalam dirinya, tetapi yang lebih dominan
adalah sisi yang tidak berhak atas dirinya sendiri.

Ganggang dan lumut merupakan bagian yang membuat akuarium terlihat jelek, tapi
mereka tidak bisa berbuat apa-apa atas hal tersebut. Sedangkan dia sebagai ikan, karena pada
akuarium tersebut objeknya adalah ikan, maka pengendali dalam lokalisasi tersebut tetap
seekor ikan tersebut hanya saja kembali lagi bahwa dirinya tidak berhak. Namun puisi ini
ditulis dengan judul akuarium tapi tidak membahas tentang akuarium, melainkan membahas
dari apa isi dari dalam akuarium tersebut.

Istilah dekonstruksi dikemukakan oleh Jacques Derrida, seorang filsuf perancis yang
lahir di Aljazair pada tahun 1930. Dekonstruksi pada awalnya adalah cara atau metode
membaca teks. Dekonstruksi menurut Derrida merupakan sebuah metode membaca teks
secara sangat cermat sehingga pembedaan konseptual hasil ciptaan penulis yang menjadi
landasan teks tersebut tampak tidak konsisten dan paradox dalam menggunakan konsep-
konsepnya dalam teks secara keseluruhan. Persoalan lain dalam dekonstruksi adalah
penggembosan terhadap narasi besar. Sesuatu yang telah berlaku lama, tertata, kemudian
muncul sesuatu yang menolak atau bahkan bertolak belakang dengan apa yang selama ini
sudah tertanam dalam tokoh.

Dalam puisi Akuarium ini. Sapardi menjelaskan bahwa apa yang ada dalam satu
tempat yang terlihat dengan indah, belum tentu berjalan dengan baik sesuai dengan
fungsinya. Bisa jadi malah berbanding terbalik dan banyak elemen yang mendukung ke-
berbandingan terbalik tersebut.

Anda mungkin juga menyukai