Anda di halaman 1dari 4

SANDI VINDIYAN JAYA KUSUMA

121914153005
Pengantar Filsafat

Objektifikasi Ilmu Sosial Humaniora


Quo Vadis Kajian Sastra Dan Budaya Dalam Era Kontemporer

Quo vadis (Classical Latin: [kʷoː waːdis], Ecclesiastical Latin: [kʷoː vadiːs]) adalah
sebuah kalimat dalam bahasa Latin yang terjemahannya secara harafiah berarti: "Ke mana
engkau pergi?" Kalimat ini adalah terjemahan Latin dari petikan kisah Santa Kisah Petrus
yaitu "Tuhan, ke mana Engkau pergi?"
Kalimat tersebut merupakan ungkapan Kristiani yang menurut Tradisi Gereja
dilontarkan pada Yesus oleh Santa Petrus yang saat itu bertemu dengan Yesus dalam
perjalanan-Nya hendak melarikan diri dari misinya yang berisiko disalibkan di Roma.
Jawaban Yesus yang mengatakan, "Aku hendak kembali ke Roma untuk disalibkan kembali"
membuat Petrus menyadari panggilannya dan ia pun berbalik kembali ke Roma; kemudian ia
disalibkan secara terbalik dan menjadi di sana.
Sejak dahulu, kalimat ini sering digunakan oleh berbagai kalangan. Salah satu contoh
yang terkenal ialah judul buku dalam bahasa Indonesia: Quo Vadis NU Setelah Kembali ke
Khittah 1926 karangan Kacung Marijan (Jakarta: Erlangga) pada tahun 1992. Quo Vadis,
juga merupakan judul sebuah film mengenai penindasan umat Kristiani oleh Nero seorang
Kaisar Romawi, berdasarkan sebuah buku yang dikarang oleh Henryk Sienkiewicz seorang
Novelis Polandia pada tahun 1896 dan film ini diedarkan tahun 1951.
Kajian Budaya atau Cultural Studies (CS) adalah sebuah bidang kajian yang lahir dari
rahim kritik sastra. Terkhusus lagi kritik Sastra Inggris di University of Birmingham, Inggris.
Para sarjana Kajian Bahasa dan Sastra Inggris yang tergabung di Center for Contemporary
Cultural Studies (CCCS) ini, yang juga sering disebut sebagai eksponen dari Birmingham
School, adalah para pelopor sekaligus pendiri CS. Mereka antara lain Raymond Williams,
Richard Hoggart, dan Edward Thompson sebagai generasi pertama, dan Stuart Hall sebagai
generasi kedua.
Cultural Studies mengadopsi pendekatan dan teori-teori dalam Kritik Sastra. Adopsi
ini terutama untuk dijadikan alat dalam mengkritik kebudayaan yang ada di masyarakat.
Khususnya teori dan metode kritik sastra Marxisme. Marxisme Kultural (Cultural Marxism)
menjadi tema dan aliran baru di kelompok Center ini. Pembacaan awal dilihat dari gagalnya
aksi politik oleh partai Buruh Inggris menghadapi Margareth Thatcher. Sampai pada hasil
kajian Center yang menyatakan bahwa secara kebudayaan, di kapitalisme lanjut ini, di
Inggris terutama, kelas pekerja sudah terkontaminasi blok kebudayaan kelas borjuis.
Sehingga, aksi politik dari blok politik kelas pekerja terdiskriminasi oleh budaya borjuis.
Dengan demikian, kesadaran kelas para pekerja terdistorsi menjadi keinginan memiliki gaya
hidup seperti majikan atau para kelas atas. Oleh karena itu, menurut para anggota Mazhab
Birmingham ini, kebudayaan seperti ini harus dikritik, terutama dengan massifnya industri
budaya yang menghegemoni kelas pekerja untuk terus diam dan tidak lagi memperjuangkan
nasib kelasnya.
Eropa Barat memang, termasuk dan paling utama di Inggris, telah memiliki
kapitalisme yang matang, bukan hanya industri manufaktur dan industri financial (keuangan),
namun juga sudah sampai pada industri budaya dimana kelas menengah dan kelas pekerja
menjadi target konsumennya. Dalam hal ini, sastra popular, dan budaya popular yang
mewakili gaya hidup lintas kelas menjadi massif dan dikonsumsi oleh kelas bawah secara
massif pula. Selain menghegemoni dan menina bobokan kelas pekerja untuk tidak bergerak
memperjuangkan kelasnya, para industrialis budaya juga meraup keuntungan yang tidak
sedikit. Bahkan, bisa dikatakan bahwa industri budaya ini secara ekonomi menolong
kapitalisme global dari kebangkrutan akibat krisis yang melanda beberapa kali semenjak
Perang Dunia II usai.
Dalam posisinya di dunia akademik, Cultural Studies menginterupsi teks yang di
dalamnya terdapat ideologi dominan yang menyingkirkan ideologi dan praktik kebudayaan
kelas subordinat atau yang terdominasi. Cultural Studies bisa dikatakan bermain pada isu dan
kritik kebudayaan. Mediumnya boleh dari teks, visual, audio visual, maupun praktik dan
kebijakan serta politik kebudayaan itu sendiri. Cultural Studies berdiri di komitmen
intelektual untuk membela yang terpinggirkan. Baik yang terpinggirkan dalam arena kelas,
ras, gender dan seksualitas, serta arena politik identitas lainnya. Metode yang digunakan
tergantung dari konsekuensi metodologis sebagai hasil pembacaan atas perspektif dan
paradigma yang digunakan. Metode mengikuti hasil kajian awal dan tujuan yang dikehendaki
oleh peneliti atau pengkaji kebudayaan.
Cultural Studiesini, metode kritik sastra, etnografi, semiotika, analisis wacana, sampai
pada ekonomi politik menjadi relevan untuk digunakan. Baik secara terpisah maupun
sekaligus dalam sebuah proyek penelitian yang komprehensif. Tidak ada batasan selama
masalah yang ingin dianalisa dan dipecahkan memungkinkan penggunaan teori dan metode
tertentu untuk digunakan. Pendekatan inter-disipliner menjadi sangat relevan bahkan menjadi
ciri khas utama Cultural Studies ini.
Di Cultural Studies ini pula karya sastra menjadi bahan kajian yang tak ada habisnya,
bersama teks media, film, karya desain komunikasi visual, dan segala bentuk wujud budaya
dan praktik kebudayaan lainnya. Tema-tema tentang kelas sosial, ras, nasionalisme, etnisitas,
gender dan semacamnya beserta isu tentang hegemoni, dominasi, subordinasi, emansipasi,
komodifikasi, diskriminasi, strukturasi, spasialisasi, dan marginalisasi dan juga tema-tema
terkait menjadi hal yang lazim ditemukan dan digunakan dalam Cultural Studies. Termasuk
yang banyak dihadirkan secara estetis, etis, ideologis, dan politis oleh para penulis karya-
karya sastra di berbagai lintasan dan bentangan zaman.
Cultural Studies semakin membuka ruang tiap karya sastra untuk dibaca,
dinilai,bahkan dikritik kembali. Khususnya untuk melacak unsur hegemoni dan relasi kuasa
di dalamnya. Dua hal yang menjadi karakter khas Cultural Studies, yakni melihat apa yang
politis, ideologis dan sarat relasi kuasa pada teks-teks karya sastra, juga pada wujud
kebudayaan lainnya, tidak hanya terbatas pada karya sastra. Meski memang, karya sastra
adalah titik tolak utama dari Cultural Studies ini.
Kajian Sastra dan Budaya (Literature and Cultural Studies) adalah sebuah fenomena
di dunia keilmuan, yang kehadirannya antara lain ditandai dengan pergeseran topik dan
bidang kajian yang demikian menyolok di departemen-departemen sastra. Para guru besar
sastra tak hanya mengkaji karya-karya sastra utama (canon), tapi karya-karya yang seringkali
justru tidak dianggap sebagai karya sastra sama sekali seperti iklan, acara televisi, fesyen, dan
fenomena-fenomena budaya secara umum, terutama Sosio Cultural danmedia massa.
Luasnya topik dan objek kajian itu membuat Kajian Sastra dan Budaya menjadi
bidang yang nyaris sulit didefinisikan batasan-batasannya. Karena hal ini pula, Kajian Sastra
dan Budaya bersifat interdisipliner (lintas bidang keilmuan). Berbagai teori dari beragam
bidang keilmuan (dapat dan sudah) dipakai untuk melakukan kajian ini. Teori-teori itu yang
umumnya cuma disebut “Teori” memiliki sifat yang mirip dengan Kajian Sastra dan Budaya
itu sendiri, yaitu luas, sulit didefinisikan, dan tentu saja interdisipliner. Oleh karena itu,
menurut Culler (1997:42), keduanya dapat dianggap sebagai dua sisi dari mata uang yang
sama, “Cultural studies is the practice of which what we call ‘theory’ for short is the
theory.”
Dalam Kajian Sastra dan Budaya, posisi unsur ‘sastra’ dianggap hanya sebagai bagian
dari unsur ‘budaya’ yang menjadi payung besarnya. Karena fokusnya pada upaya-upaya
untuk memahami kinerja budaya modern, bagaimana budaya diproduksi, bagaimana media,
kekuasaan negara, dan mesin-mesin kapitalisme memengaruhi dan membentuk identitas
individu dan kelompok ‘sastra’ hanya dianggap sejenis praktik di antara praktik-praktik
budaya lain. Kajian Sastra dan Budaya memiliki dua akar. Akar yang pertama adalah
Strukturalisme akar yang lainnya adalah teori sastra Marxis kontemporer yang dicetuskan di
Inggris oleh Raymond Williams, Richard Hogart dan kawan-kawan pada akhir tahun lima
puluhan.
Strukturalisme adalah paham yang meyakini adanya struktur, keteraturan, dan
konvensi yang melandasi bekerjanya segala fenomena dan praktik budaya. Gagasan
Strukturalisme, yang pada mulanya didasarkan pada teori kebahasaan Ferdinand de
Saussure (1857-1913), mulai dihidupkan kembali, diadopsi, dan dikembangkan oleh para
ilmuwan di bidang humaniora pada tahun 1950-an untuk menggambarkan beragam praktik
dan fenomena budaya. Rolland Barthes dalam koleksi esainya yang bertajuk Mythologies
tahun 1957, misalnya, menelanjangi mitos-mitos yang berlaku dalam budaya modern dengan
mengadopsi pendekatan semiotik Saussure. Esai-esainya berbicara mengenai beragam hal
mulai dari anggur Perancis, iklan mobil, sabun cuci, hingga tinju dan gulat.
Pada kurun waktu yang sama, di Inggris, Richard Hogart (pendiri Birmingham Centre
for Contemporary Cultural Studies) dan Raymond Williams mencoba mengungkapkan
terbungkamnya budaya populer kelas pekerja sebagai akibat dari dominasi budaya massa.
Karya-karya mereka seperti The Uses of Literacy: Aspects of Working Class Life (Hoggart,
1957), Contemporary Cultural Studies: An Approach to the Study of Literature and
Society (Hoggart, 1969), dan Culture and Society (Williams, 1958) adalah tonggak yang
menggugah kesadaran akan kinerja budaya modern dan akibat-akibatnya.
Sejalan dengan pemikiran-pemikiran mereka, di benua Eropa dalam kurun waktu
yang sama juga tengah berlangsung upaya-upaya teoretisasi kebudayaan yang mencoba
menganalisis budaya massa sebagai formasi ideologis yang bersifat menjajah (memperbudak,
opresif), membenarkan kinerja kekuasaan negara, dan menempatkan pembaca dan
pemirsanya hanya sebagai konsumen. Upaya-upaya yang dilakukan oleh para penganut Neo-
Marxisme (penganut tradisi Marxime Eropa Barat abad ke-20) yang dipelopori oleh para
teoretisi/ilmuwan sosial di Institute for Social Reseach di Universitas Frankfurt am Main,
Jerman, itu melahirkan apa yang kemudian disebut sebagai Teori Kritis (Critical Theory).
Karena asosiasinya dengan Universitas Frankfurt, teori atau gagasan-gagasan mereka itu
seringkali juga disebut sebagai Mahzab Frankfurt (Frankfurt School, Frankfurter Schule).
Berbeda dengan teori-teori sosial lain, Teori Kritis tidak hanya berupaya menggambarkan
fenomena-fenomena sosial dan budaya, tetapi juga mengemansipasi umat manusia. Seperti
dikatakan sendiri oleh Horkheimer (1895-1973) yang merupakan salah satu tokoh terpenting
Mahzab Frankfurt “Teori Kritis bertujuan membebaskan umat manusia dari keadaan-keadaan
yang memperbudak mereka” (1982, 244).
Dengan asal usul yang demikian, kiranya dapat dipahami jika cakupan Kajian Sastra
dan Budaya menjadi sangat luas dan sulit dibatasi, karena yang menjadi objek kajiannya
adalah budaya atau peri-kehidupan manusia itu sendiri. Namun demikian, secara umum dapat
dikatakan bahwa Kajian Sastra dan Budaya bertujuan menelaah, memahami, dan
menganalisis kekuatan-kekuatan yang bermain dalam kehidupan kita sehari-hari: bagaimana
makna diproduksi, direproduksi, dan diedarkan; bagaimana identitas individu dan kelompok
dikonstruksi dan diorganisir, bagaimana pengalaman direpresentasikan dan bagaimana
representasi-representasi itu memproduksi, mereproduksi dan mengedarkan makna serta
memengaruhi konstruksi identitas; apa dan bagaimana peran agen (agency) dalam relasi
kekuasaan yang kompleks, dan seterusnya. Pemahaman akan hal-hal tersebut diharapkan
akan dapat mencerahkan, mengemansipasi, dan memberdayakan para pengkajinya dalam
mengarungi kehidupan modern yang semakin rumit ini.
Studi Kasus: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga menggelar Seminar
Nasional bertajuk “Quo Vadis Ilmu Budaya Jelang Tahun Politik 2019”, pada hari Selasa
(30/10/2018), di Ruang Auditorium Siti Parwati Fakultas Ilmu Budaya. Terdapat empat
pembicara dengan dua sesi yang berbeda, yaitu Prof. Dr. F. X. Armada Riyanto,CM., Dr.
Seno Gumira Ajidarma, Daniel Dhadidae, Ph. D., dan Mochtar Pabottingi, Ph. D.
Dalam seminar yang dilaksanakan dari pagi hingga sore hari itu membicarakan
tentang posisi masyarakat humaniora dalam memandang tahun-tahun politik yang saat ini
bangsa Indonesia jelang. Prof. Dr. F. X. Armada Riyanto, CM. mengungkapkan, bahasa
menjadi alat permainan politik. Sebagian masyarakat tetap menggunakan bahasa Indonesia
tetapi pembahasaannya tidak berakar dari khasanah ke-Indonesiaan. Alhasil, lokalitas
kenusantaraanpun turut dipertanyaakan keberadaannya. Beliau mengungkapkan, “Peradaban
kajian sastra dan budaya tidak dapat dipisahkan dengan yang namanya lokalitas. Sesuai
dengan jargon ‘berpikir dan bertindaklah dalam lokalitas, karena pada saat yang sama
tindakan tersebut akan mengglobal,” tandasnya.
Kondisi kebudayaan Indonesia saat ini juga cukup membingungkan karena tidak
adanya otoritas kebenaran membuat masyarakat bingung dalam menyikapinya terutama
untuk masyarakat awam. Serta merosotnya literasi surat kabar, banyak terciptanya
intoleransi, populisme hingga radikalisme. Seperti yang diungkapkan oleh Mochtar
Pabottingi, “Dalam mengembalikan otoritas tersebut dapat dilakukan dengan tradisi
kerendahatian.” ujarnya.
Sementara, Seno Gumira Ajidarma mengajak kita untuk terus bersikap kritis. Media
literasi menjadi salah satu alat melakukan pelawanan. Termasuk perlawanan terhadap
praktik-praktik hoax yang diungkap oleh Daniel Dhakidae, Ph. D. bahwa dunia pasca-
kebenaran syarat dengan pretensi, karena dulu pun jurnalisme tidak mengejar kebenaran akan
tetapi kenyataan. Hal tersebut kemudian beliau simpulkan, “Dalam hubungan itu politik juga
berubah. Politik tidak lagi dikuasai oleh fakta, akan tetapi lebih dikuasai oleh rasa.” tuturnya.

Referensi:
The Apocryphal New Testament - The Acts of Peter(edisi ke-1924). Oxford:
Clarendon Press (retrieved from Early Christian Writings).

Christ appearing to Saint Peter on the Appian Way. The National Gallery, Trafalgar
Square, London.

Penggiat SKOLASTRA (Sekolah Sastra dan Budaya) dan Institute of Social Change
Studies (ISCS), Indonesia. Alumni Sastra Inggris (English Literature), Universitas
Hasanuddin, dan Sekolah Pascasarjana Program Studi Kajian Budaya dan Media (Media
and Cultural Studies) Universitas Gadjah Mada, Indonesia.

https://aroelmuhammad.wordpress.com/2013/11/26/cultural-studies-dan-dinamika-
kultural/

https://equshay.wordpress.com/2012/09/15/apa-itu-kajian-sastra-dan-budaya/

http://fib.unair.ac.id/Eng/2018/11/01/sambut-tahun-politik-2019-fib-unair-adakan-
seminar-nasional-quo-vadis-ilmu-budaya/

Anda mungkin juga menyukai