Diajukan Oleh:
SUSENO
07/259473/PSA/1794
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA JANUARI
2010
A THESIS
presented to the board of examiners in partial fulfillment of requirement
for master degrees
in Literary Studies
by:
SUSENO
07/259473/PSA/1794
to
GRADUATE PROGRAM
FACULTY OF CULTURAL SCIENCE
GADJAH MADA UNIVERSITY OF YOGYAKARTA
JANUARY 2010
Moto:
A friends is someone who knows who you are, understands where youve been,
accepts what you have become, and still gently allows you to grow. (William
Shakespeare)
Awas marang waskithaning urip, lan eling marang sangkanparaning dumadi. (.)
Persembahan:
jiwa-jiwa lelah menapak jalan-jalan malam
terdiam kelam jiwa-jiwa tanpa lelah mendoa
pada jeda-jeda dunia pada nyawa yang
tersungkur mati, pada nyawa yang
tersanjung berdiri, ku tusukkan pisau pada
dada pada jiwa yang tak henti mendoa ku
suguhkan darah dan tetes keringat ini
sebagai persembahan dan hormat kami
pada langit yang mendongak dan bumi yang
telungkup aku bersujud.
(Suseno WS)
Untuk Ibu dan Ayahku yang tak
pernah jeda mendoa, hormatku
membentang di seluas samudra
raya. Untuk kakak-kakakku: Yu
Sum, Yu Rat, Mas Yon, & Mas Pur
yang selalu membelaku dalam tiap
ruang dan waktu. Untuk adikku:
Adi, yang menjadi jiwa dan
semangatku, aku sayang kamu
sepenuhnya. Untuk jiwa-jiwa
yang tak pernah lelah memberi
warna kehidupan dan perjuangan
ini, langit tak pernah jingga di pagi
hari.
Pada almamater dan generasi negri,
_aku persembahkan karya ini.
PERNYATAAN
Dengan ini
saya menyatakan bahwa di dalam tesis ini tidak terdapat karya yang
atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
Suseno
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, karunia, dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul
Transformasi Politis Filmisasi Sastra Indonesia: Kajian Ekranisasi Cerpen Lintah
dan Melukis Jendela ke dalam Film Mereka Bilang, Saya Monyet! Karya Djenar
Maesa Ayu dalam Perspektif Posmodernisme Hutcheon sebagai salah satu syarat
untuk memeroleh gelar derajat sarjana S-2 Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Tesis ini dikerjakan sebagai satu bentuk apresiasi sekaligus resepsi terhadap
fenomena ekranisasi yang terjadi dan cukup menyita perhatian publik di era-era
terakhir ini. Bagaimana sastra mengispirasi pekerja film, penerimaannya di
masyarakat, serta secara khusus keunikan yang melekat pada objek materi dalam
penelitian menjadi ide dan inspirasi untuk meneliti, sekaligus berupaya
menjembatani perselisihan dan perseteruan dalam pemikiran dan keilmuan seputar
persoalan pelayarputihan karya sastra yang muncul dari dulu hingga sekarang.
Melalui tesis ini, penulis berharap dapat memberikan alternatif cara pandang
terhadap munculnya fenomena ekranisasi.
Namun demikian, penulis sadar bahwa selesainya penulisan tesis ini tidak
lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan
ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada berbagai pihak sebagai berikut.
1. Prof. Dr. Siti Chamamah-Soeratno, selaku dosen pembimbing tesis yang telah
meluangkan waktu memberikan bimbingan, masukan, dan arahan selama
proses penulisan tesis ini. Memberikan semangat dan dorongan kepada
penulis, sehingga menjadi bara api dalam dada. Juga selaku guru dan
inspirator yang telah membuka wawasan pada banyak hal yang secara pribadi
telah menginspirasi, baik secara khusus dalam bidang ekranisasi maupun ilmu
sastra secara umum. Terima kasih atas kebaikan, kebijaksanaan, dan kesabaran
dalam membimbing selama pengerjaan tesis ini.
2. Dr. Kun Zachrun Istanti, S.U. selaku Ketua Pengelola Program Studi S2 Sastra
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada beserta jajaran karyawan
yang telah memberikan kemudahan dan menfasilitasi beberapa keperluan
akademis kepada peneliti.
5
Maryanto, Mbak Dewi, Arinda. Juga pada Pak Widodo BS dan teman-teman
UKM. Pada teman-teman di Laboratorium Teater dan Film Usmar Ismail:
Deni, Imam, Fia. Terima kasih atas suport yang diberikan.
11. Buat teman-teman satu kelas, senasib sepenanggungan dalam studi S-2 di
UGM. 1) Ali SahabudinPak Ali, tetua kami, yang kerap memberikan
slentingan masukan, kritik, diskusi, dan saran yang menggugah teman-teman,
jatuh dan juga bangkit. 2) Rosana HariyantiMbak Ocha alias Ling Ling atas
semua yang diberikan: pertemanan, diskusi, saran, masukan yang cukup
membangun. Menjadi teman dikala susah dan senang, serta menjadi obor
penyemangat dikala kita jatuh dan padam. Terima kasih atas jalan-jalan
bersama bertiga atau berempat, karaoke, nonton, ke perpustakaan, makan dan
lainnya. 3) Asep YudaMas Asep atas semua suport yang sering kali
diberikan, diskusi-diskusi, serta berbagai bantuan informasi baik seminar
maupun peluang-peluang lain, teman foto kopi buku yang cukup setia, terima
kasih juga atas jamuannya pas di Solo dan di rumah dulu. 4) Maryono
Maryun Mer, nggak ada Lu nggak rame, Bung, yang kerap menjadi
semangat buat kami, yang kami rindukan kehadiarannya, dengan local
colornya yang kental, terima kasih telah menjadi kawan setia bahkan saudara
sejak saat-saat awal saya di jogja. 5) Zulfadliatas kebersamaannya, dalam
keseharian, makan, maupun badminton ria, selalu ya untuk program happy di
kelas. Thanks sudah ngajari badminton. 6) Ismail NasutionMas Is, pendiam
tapi lucu, selalu memberikan dukungan dan semangat untuk programprogram
kebersamaan dan keakraban di kelas, terima kasih mancing barengnya, jalanjalan di alun-alun, dll. Maaf program ke Balinya belum terlaksana. 7) Wajiran
yang
dan
Mbak Ipit, yang kadang sama-sama memiliki keluhan kebingungan baik saat
ketemu maupun di dunia maya, memberikan perhatian positif pada temanteman, membangun, dan telah menjadi bendahara yang baik, terima kasih. 9)
Imagolda SihobingMbak Golda, Simbok, atas semangat dan suport yang
baik kepada teman-teman sekelas. 10) Yohanes Adi SetyokoMas Adi,
terima kasih atas beberapa diskusi dan masukan buat penulis yang cukup
menggugah, menginspirasi. 11) Rita Puspitaningrum yang kritis, lucu,
dalam beberapa hal mampu membuat teman-teman tertawa. 12) Kusmiarti
Bu Kus, ibu buat teman-teman, terima kasih atas kebersamaan dan
kepeduliannya dengan teman-teman, terima kasih telah menyediakan tempat
untuk berbuka bersama teman-teman sekelas. 13) Teriayang meskipun
hanya beberapa waktu, tapi sempat kenal, berdiskusi bersama, berdebat
bersama, terima kasih dan maaf jika ada salah. 14) Made Sinta Maya L.
Maya Alleta, yang dalam suatu kesempatan juga turut menjadi good actor
yang terus teringat, terima kasih juga atas diskusi dan obrolan dalam beberapa
kesempatan. 15) Rakhmatyang polos, jujur, baik hati, dalam beberapa
kesempatan telah menjadi penyemangat dengan beberapa obrolan dan diskusi
yang membangun, terima kasih. 16) Karkono vokalis kami, yang telah
menjadi teman yang baik, memberikan dorongan, semangat, kepada temanteman di kelas. 17) MuarifPak Muarif, atas obrolan-obrolan yang ringan
namun cukup menginspirasi. Terima kasih juga atas beberapa even telah
menjadi gitaris yang cukup meramaikan suasana, menghibur, dan membuat
teman-teman senang, terima kasih. 18) Rahmawati AziMbak Rahma, istri
Pak Muarif, terima kasih atas diskusi, obrolan, masukan, dan berbagai hal
yang membangun dalam menghidupkan suasana kelas, terima kasih juga telah
menjadi penyanyi dan good actor dalam perayaan ultahku yang datang begitu
9
berbagai hal. Terima kasih telah menjadi kawan dalam pertukaran pikiran dan
perasaan. Terima kasih juga atas pinjaman referensi buku-bukunya; Mas
Trisna, atas diskusi-diskusi di kamar kos, suport, wawasan, dorongan, serta
masukan yang cukup memberi warna, menginspirasi, dan menjadi lecutan
cambuk untukku terus berlari; Ibu Lina MeilinawatiTeh Lina, terima kasih
atas kesempatan perkenalannya, atas bantuan informasi, pinjaman buku
referensi, serta berbagai hal yang tanpa pamrih begitu terbuka memberikan
bantuan yang cukup berharga meski dalam kesibukannya studi S3, terima
kasih atas ketulusannya; Mas Heru Kurniawanterima kasih atas berbagai hal
dan kesempatan yang diberikan; Umilia RokhaniMbak Umi, terima kasih
atas kesempatan waktu yang diberikan untuk berdiskusi di tengahtengah
kesibukan; Mbak Lilikyang menjadi sosok yang menginspirasi, menjadi
kawan, kakak sekaligus ibu buatku, semoga S3-nya lancar; Pak Mukhtar-Bu
Mukhtarterima kasih pertemuan dan persaudaraan yang diberikan, atas
pinjaman referensi bukunya; Rowi, Mbak Fitri, Mbak Rika, Mas Alan Abidin,
Mbak Basiyah, terima kasih atas semuanya. Terima kasih juga kepada Mas
Asep Yusup, atas obrolan-obrolan yang tidak banyak kuantitasnya, tetapi
cukup kualitasnya. Tapi ada hutang yang belum kau bayar: membawakan aku
kopian tesismu. Juga untuk Mas Ikhwan Unej, meskipun tidak banyak
kesempatan pertemuan kita, namun kesempatan itu sempat memberikan
inspirasi dan dorongan yang cukup buat penulis.
14. Teman-teman Blue Kos: Ikhwan (yang telah menjadi penunjuk jalan pertama
bagi peneliti ketika awal di Jogja, maaf telah jatuh bersama di Jl Colombo
pasca pulang dari Toga Mas membeli buku pukul 9 malam kala itu hingga
meninggalkan bekas yang tak hilang sampai kapanpun. Semoga tetap
mengenang. Terima kasih atas segala bantuan yang kau berikan. Terima kasih
11
juga telah menjadi pendengar segala keluh kesah dan berbagi perasaan.
Sukses.), Rowi, Bun-Bun, Wakhid, Khafid, Maksal, Said, Rizal, Sapta, Robi,
Pak Bambang, atas kebersamaan yang selama ini ada, meramaikan dan
memberi warna dalam kehidupan di Jogja. Terima kasih dan maaf atas segala
kesalahan. Sukses buat semua.
15. Teman-teman seperjuangan kala S1: Yanti, Danar, Ninik, Yohanes Erwin,
Ciput, Munir, Dani, Pipo dan semuanya yang tak bisa saya sebutkan satu
persatu, yang terus di hati dan menjalin komunikasi. Pada teman-teman
seperjuangan di UKM Kesenian Jawa Unnes: Amung, Yohanes, Ciput, Mbak
Win, Cik Yun, Buke, Pake, Mas Yoyok, Yokang, dan semuanya yang tak
terlupa. Pada Mas Yarmo yang terus memberikan dorongan dan semangat.
Buat Rusyid yang selalu setia menjadi telinga, mendengarkan segala keluh
kesah dan curhatku, menjadi saksi semua penjalanan hidupku, menjadi sisi
hati yang terus mengerti dalam segala rasa. Pada Mustafiq dan Ashari yang tak
henti memberi doa. Untuk Pak Widodo yang menjadi bapak, guru, sekaligus
rekan dan kawan. Pada teman-teman, saudara, dan adik-adik di
UKM kemarin dan kini: Ipuk-Ani dkk, Wahyul-Emprit dkk, Imron-Wahyu
dkk, terima kasih atas semuanya. Mohon maaf tanpa kira atas semuanya pula.
Terima kasih atas semua dorongan yang selama ini diberikan.
16. Secara khusus, kepada keluargaku di Purbalingga: Bapak dan Ibuku, terima
kasih atas segala doa dan restu yang diberikan, kasih sayang yang tak pernah
putus diberikan, suport dan dorongan berbagai hal, tanpa semua itu tentu
penulis bukan apa-apa. Untuk kakak-kakakku: Yu Rat dan Kang To, Mas Yono
dan Mbak Sul, Mas Pur dan Mbak Uul, terima kasih atas dorongan dan
perhatian yagn tak pernah putus, menjadi api semangat terus berkobar di dada.
12
Buat Adiadikku satu-satunya yang sangat aku sayangi, yang terus menjadi
semangat untuk terus maju dan berbuat sesuatu menuju keberhasilan. Terima
kasih atas suportnya selama ini. Semoga sukses buat kamu. Buat ponakanponakanku: Afri, Banu, Oki, Faik, Agung, semoga tumbuh menjadi pribadipribadi yang membanggakan keluarga dan negara.
17. Kepada keluargaku di Sumatra: Jambi, Kakakku dan ponakanku, terima kasih
atas dorongan dan kasih sayang yang diberikan sehingga semangat selalu ada
untuk menyelesaikan kerja ini; Palembang, Mbah, Pak Lik, Bu Lik, Adik,
Ponakan, dan semua keluarga yang jauh di sana, terima kasih atas suport yang
selalu datang meski hanya lewat handphone, terima kasih atas kasih sayang
dan kerinduan yang panjang dan tak terputuskan. Semoga Tuhan senantiasa
memberkati kita semua.
18. Akhirnya kepada semua pihak yang telah turut andil dalam kesuksesan ini,
yang tak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu, terima kasih atas segala
bantuan dalam bentuk apa pun yang telah diberikan kepada penulis selama
proses belajar maupun selama proses penyusunan hingga selesainya penulisan
tesis ini. Semoga semua itu menjadi ladang amal yang baik dan mendapatkan
balasan setimpal dari Allah SWT.
Penelitian ini merupakan bagian kecil dari samudra ilmu sastra luas.
Keterbatasan kemampuan dan berbagai hal yang ada pada peneliti menjadikan
penelitian ini jauh dari sempurna. Akan tetapi, sekecil apa pun hasil penelitian ini,
peneliti berharap semoga hasil penelitian ini memberi manfaat bagi perkembangan
studi sastrakhususnya ekranisasidan kebudayaan, serta memberi inspirasi bagi
peneliti-peneliti lain untuk melakukan penelitian yang lebih baik dan sempurna.
13
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............................................................................................................xiv
INTISARI..................................................................................................................xix
BAB I
PENDAHULUAN ..............................................................................
1.1 Latar Belakang .........................................................................................
1
0
1
1
2
1
2
2
3
7
4
4
4
8
14
DALAM
49
51
67
50
57
123
2.2.1 KecilBesar =
123
DuaSatu .....................................................................
2.2.2 Perluasan Cerita melalui Penciptaan Tokoh
129
Baru .................................
2.2.2.1 Tokoh dan Relasinya di dalam Cerpen Lt .......................................... 130
2.2.2.2 Tokoh dan Reasinya di dalam Cerpen MJ .........................................
131
2.2.2.3 Perluasan Tokoh: Perluasan Cerita di dalam Film MBSM ................. 133
2.3 Perubahan Latar Waktu Cerita ................................................................. 141
BAB III POLITIK DALAM TRANSFORMASI MEREKA BILANG, SAYA
MONYET!: DIALOG DUA MEDIA ..............................................................
147
147
3.1.1 Dua Cerpen dalam Satu Film: Fragmentasi Cerpen dalam Film .........
148
170
176
15
187
204
192
206
207
220
Tabel 1. Perbedaan Konsep Sastra dan Konsep Film (disarikan dari materi kuliah
Ekranisasi S2 Sastra UGM oleh Prof. Dr. Chamamah
Soeratno) .........................................................................................
37
Tabel 2. Tabel Transformasi Tokoh dari Cerpen ke Film serta TokohTokoh Ciptaan Baru di dalam Film MBSM .................................... 138 DAFTAR
DIAGRAM
3
7
4
7
16
1
1
7
Diagram 4. Transformasi Tokoh Cerpen Lt dan MJ ke film MBSM ............
1
3
7
1
7
0
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Gambar 2.
Gambar 3.
Gambar 4.
1
1
9
1
2
0
1
2
2
17
1
2
8
Gambar 5.
1
2
8
Gambar 6. Fragmen-fragmen adegan 26-32 dalam film MBSM ..............
1
5
2
Gambar 7. Split cerita cerpen di dalam film MBSM adegan 25-27 .......... 1
5
5
Gambar 8. Fragmentasi adegan 33, 34, 35 dalam film MBSM ................. 1
5
7
Gambar 9. Fragmentasi adegan 41-42 dalam film MBSM ........................ 1
5
8
Gambar 10. Fragmentasi adegan 79-82 dalam film MBSM ........................ 1
5
9
Gambar 11. Fragmentasi adegan 83-84 dalam film MBSM ........................ 1
6
1
Gambar 12. Fragmentasi adegan 86-88 film MBSM .................................. 1
Gambar 13. Fragmentasi dan pengacauan logika tokoh pada adegan 89
6
3
film MBSM .............................................................................. 1
6
Gambar 14. Fragmentasi dan pengacauan logika cerita dalam adegan 89
5
film MBSM .............................................................................. 1
6
Gambar 15. Fragmentasi dan pengacauan cerita pada tokoh Adjeng dalam
5
adegan 90 film MBSM ............................................................
1
6
Gambar 16. Sikap Adjeng yang agresif dan permisif ketika di hadapan
7
teman-teman dan pacarnya ...................................................... 1
7
2
Gambar 17. Sikap Adjeng yang pasif ketika di hadapan Ibunya ................. 1
7
3
Gambar 18. Oposisi biner rumah dan luar rumah: penerobosan norma dan
kungkungan ..............................................................................
18
1
8
4
1
8
5
perkotaan ................................................................................. 1
9
2
Gambar 21. Cantik: Respons Masyarakat terhadap Penulis Perempuan .. 1
Gambar 22. Muda: Tanggapan Positif yang Muncul terhadap Persoalan
9
3
Penulis Perempuan ................................................................... 1
9
4
Gambar 23. Konter Muda: Tanggapan terhadap Tanggapan Masyarakat ... 1
Gambar 24. Karya Siapa: Pertanyaan terhadap Kepengarangan
9
5
Perempuan ................................................................................ 1
9
6
Gambar 25. Adjeng Meminta Asmoro Mengomentari Cerpennya .............
1
9
Gambar 26. Konter Sastra Perkotaan dan Isu Kedekatan dengan Penulis
9
Senior melalui Scene 45 ........................................................... 2
0
2
19
DAFTAR SINGKATAN
Lt
: Lintah
MJ
: Melukis Jendela
MBSM
DMA
INTISARI
transformasi karya yang menjadi objek materi dalam penelitian ini. Selanjutnya
dengan perspektif posmodernisme Hutcheon (1991), penelitian dilanjutkan untuk
mengkaji aspek ideologis-politis dalam representasi yang ada. Hasil dari penelitian
ini adalah pertama, perubahan signifikan yang muncul dalam transformasi karya
tersebut meliputi perubahan tokoh utama dari kecil menjadi besar, penciptaan
tokoh-tokoh baru, perubahan karakter tokoh, perubahan latar cerita, serta
perubahan alur cerita. Kedua, transformasi tersebut menghasilkan sebuah film
posmodern. Posmodernitas film tersebut hadir dalam bentuk fragmentasi alur dan
dualitas karakter tokoh utama. Ketiga, film MBSM, melalui representasi
posmodernismenya, merupakan konter dominasi kekuasaan dari yang kuat
terhadap yang lemah. Keempat, film MBSM menyerukan suara ideologi:
penerobosan idealitas, penerobosan norma, serta pelarian dari beban masa lalu
yang menghantui. Kelima, film MBSM merupakan respons terhadap wacana
sastra perkotaan. MBSM, dengan representasinya, telah menyuarakan bahwa
kenormalan atau idealitas merupakan produk kultural yang kerap digunakan
sebagai pelabelan serta pelanggengan dominasi dan kekuasaan. Oleh karena itu,
perlu ada penerimaan terhadap cara pandang yang berbeda sehingga tidak ada
pengkutuban ideal-tidak ideal dan salah-benar.
Kata kunci: transformasi, ekranisasi, filmisasi, ideologi, dan politik posmodernisme,
sastrawangi.
ABSTRACT
filmisasi1khususnya
di
Indonesiapada
kurun
waktu
terakhir
1 Istilah ini dibentuk dari kata film+(imbuhan)-isasi. Sufiks isasi sendiri merupakan sufiks pembentuk nomina proses, cara,
dan pembuatan (dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III). Sedangkan dalam kamus elektonik Merriam-Websters
diartikan sebagai adaptasi dari novel atau drama ke gambar bergerak. Selanjutnya istilah filmisasi diartikan sebagai proses
pemfilman atau pembuatan film, sehingga istilah filmisasi karya sastra diartikan sebagai pemfilman karya sastra,
pengangkatan karya sastra ke dalam film. Istilah filmsisasi juga dipilih untuk memadankan atau menyejajarkannya dengan
istilah novelisasi (yang berarti penovelan film) yang juga sudah sering digunakan. Salah satu tulisan yang telah
menggunakan istilah ini adalah tulisan Raudal Tanjung Banua, seorang Pengarang dan Koordinator Komunitas Rumahlebah
Yogyakarta yang berjudul Filmisasi
Sastra
dan
Kuasa
Pasar dalam
http://www.gong.tikar.or.id/?mn=wawasan&kd=48 (diunduh pada 9 November 2009 pukul 20:10 wib). 2 Penelitian formula
Disney pernah dilakukan oleh Beta Setiawati (2005) yang berjudul Disneyzation of Non American Stories in Disneys
Films: A study on Popular Cultur. 1
22
Dalam dunia transformasi sastra ke bentuk lain (film atau layar lebar) bagi karya sastra Indonesia telah ada yang
mengalami transformasi ke dalam bentuk sinetron, ditayangkan secara bersambung di televisi. Sebagai contoh ada Siti
Nurbaya karya Marah Rusli, ditransformasi ke dalam bentuk sinetron oleh Dedi Setiadi dan Sengsara Membawa Nikmat
karya Tulis Sutan Sati. Menurut pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Ketiga, sinetron adalah film yang
dibuat khusus untuk penayangan di media elektronik, seperti televisi. Sedangkan menurut Labib (2002: 1) sinetron atau
sinema elektronik adalah film cerita yang dibuat untuk media televisi. Merujuk pada dua pengertian tersebut, dalam konteks
ini peneliti memisahkan (tidak memasukkan) sinetron dari kajian ekranisasi. Dengan mendasarkan konsep ekranisasi Eneste
(1991: 60) yang menyebutkan bahwa ekranisasi adalah pelayarputihan. Sedangkan merujuk pada pengertian KBBI Edisi
Ketiga, layar putih merupakan istilah bidang kesenian yang berarti layar perak. Sedangkan layar perak sendiri berarti tirai
tempat mempertunjukkan gambar hidup (di bioskop). Dengan demikian, sinetron dipisahkan pengertian dan wilayah
kajiannya dari ekranisasi. Akan tetapi, berada dalam satu wilayah kajian yang lebih besar, yaitu transformasi.
Satu fenomena lain yang terjadi dalam pemfilman karya sastra di Indonesia film
ekranisasi berjudul Mereka Bilang, Saya Monyet!. Film tersebut memiliki keunikan jika
dibandingkan dengan film-film ekranisasi yang sudah ada sebelumnya. Keunikan film
tersebut terletak pada, pertama, film ini diangkat dari dua cerita pendek, yaitu Lintah dan
Melukis Jendela karya Djenar Maesa Ayu yang terangkum dalam kumpulan cerpen Djenar:
Mereka Bilang, Saya Monyet!. Film hasil transformasi tersebut diberi judul sama dengan
judul kumpulan cerpennya, yaitu Mereka Bilang, Saya Monyet!. Diangkat dari dua cerita
pendek artinya film Mereka Bilang, Saya Monyet! merupakan film hasil kolaborasi dua
cerpen, kolaborasi dua cerita ke dalam satu cerita. Hasil penggabungan dua cerpen tersebut
adalah satu bentuk film yang fragmentaris. Cerita-cerita cerpen dihadirkan di dalam film
dalam bentuk fragmen-fragmen serta menjadi flashback.
Kedua, cerpen dan film dikerjakan oleh orang yang sama, yaitu Djenar Maesa Ayu.
Dalam hal ini, ia bertindak sebagai penulis cerpen (writer) sekaligus juga penulis skenario,
sutradara, dan produser, dalam penggarapan filmnya meskipun dalam ranah kerja film tetap
merupakan hasil kerja sebuah tim. Hal ini berbeda dengan filmisasi karya sastra yang lain.
Biasanya filmisasi karya sastra dikerjakan oleh orang lain, artinya ada novel yang ditulis oleh
seseorang, kemudian dari cerita tersebut diangkat ke dalam skenario film oleh orang lain, dan
akan difilmkan pula oleh sutradara dan produsen (sineas) yang orang lain pula.
Pengangkatan novel ke film oleh orang lain tentu saja telah melalui pembacaan orang lain
sehingga dalam kondisi demikian ideologi dan pandangan pihak kedua (pembacanya)
tersebut sangat mungkin memengaruhi penggarapan film. Sebaliknya jika pemfilman
dikerjakan oleh orang yang sama dengan penulis ceritanya, maka ideologi yang tertuang
dalam cerita film dapat dibaca sebagai representasi dari ideologi pengarang cerpennya
sendiri. Hal ini tentu saja memiliki kemenarikan tersendiri untuk dikaji lebih mendalam.
Persoalan transformasi karya, khususnya filmisasi karya sastra, hingga saat ini banyak
menimbulkan perdebatan soal originalitas3 karya. Banyak kritikus yang mendikotomikan
karya hasil transformasi sebagai karya jiplakan dan berada pada posisi inferior dibandingkan
karya sumber transformasi yang dianggap lebih agung. Kritik dan kekecewaan yang kerap
mengemuka diantaranya adalah dalih bahwa cerita dalam film tidak sama atau berubah dari
novel sebagai sumbernya, ceritanya melenceng, sampai dengan dakwaan bahwa film tersebut
merusak cerita asli (dalam novelnya). Pemikiran dan anggapan tersebut muncul disebabkan
oleh adanya pandangan bahwa novel (karya sastra) merupakan sumber origin dari karya
transformasinya. Pandangan semacam ini berdampak pada lahirnya dikotomi karya origin dan
turunan atau jiplakan, karya agung dan inferior.
Selain dari kritikus, pandangan tersebut juga muncul dari para pengarang. Ernest
Hemingway adalah salah satu contoh pengarang yang sering merasa kecewa manakala novelnovelnya di filmkan. Old Man and the Sea, salah satu novelnya yang difilmkan pada tahun
1958, bukan saja menimbulkan kekecewaan pada pengarangnya, tetapi juga pada banyak
pihak karena menganggap film tersebut jauh dari novelnya dan bahkan muncul pandangan
bahwa filmnya mengurangi nilai keagungan novelnya. Hal serupa terjadi pula pada Boris
Pasternak dengan pemfilman Dr. Zivago (1965). Film The Da Vinci Code, transformasi dari
novel laris Dan Brown yang terbit tahun 2003 dengan judul sama, telah menghebohkan dunia
3 Kaitannya dengan hal tersebut Damono (2005:19-22), dalam ranah kajian bandingan, menjelaskan bahwa dalam penularan
atau pengaruh itu kerap terjadi dalam penciptaan karya, dan istilah ini juga harus diartikan secara luas, tidak hanya sebagai
suatu tiruan atau jiplakan. Hal ini karena konsep pengaruh mencakup spektrum yang luas. Dalam mencipta karya, para
sastrawan memiliki kecenderungan meminjam, baik langsung maupun tidak langsung. Disebutkan di sana bahwa menurut
para pakar drama-drama Shakespeare dianggap tidak ada yang asli, artinya semua merupakan pinjaman atau bahkan curian
dari sumber lain, bisa sastra, teks kronik, atau bahkan sejarah. Keberadaan sastra modern sendiri diawali dari tradisi lisan.
Pada bagian lain, tema terjemahan, Damono (2005:34-36) juga menjelaskan bahwa dalam terjemahan, meskipun tergolong
terjemahan setia, tetap sering terjadi pengkhianatan. Damono kemudian mengutip, lalu membantah, pendapat Gifford yang
berpendapat bahwa sastra terjemahan diibaratkan sebagai reproduksi hitam putih. Damono berpendirian bahwa
penerjemahan karya sastra tidak perlu dianggap sebagai usaha mati-matian untuk menjadi karya yang sama dengan aslinya.
Dalam kaitan ini ia menjelaskan bahwa karya hasil terjemahan ataupun pengalihan wahana merupakan teks baru yang tidak
perlu dibandingkan hal keasliannya dengan teks sumbernya karena karya tersebut telah menjadi karya sendiri, yang berbeda
dengan karya atau teks sumbernya.
perfilman dengan munculnya kontroversi seputar kebenaran cerita yang diangkat oleh penulis
skenario dalam film tersebut4.
Fenomena serupa juga terjadi di Indonesia, Roro Mendut dan Atheis adalah contoh
film transformasi yangdengan alasan yang kurang lebih samatelah menimbulkan
kekecewaan banyak pihak. Bahkan film Darah dan Mahkota Ronggeng yang ditransformasi
dari novel Ronggeng Dukuh Paruk juga turut menambah panjang daftar kekecewaan penulis
novel Indonesia. Film transformasi tersebut dianggap menghilangkan esensi novel. Sebagai
ungkapan kekecewaan Ahmad Tohari sebagai penulis novel tidak mau menonton film hasil
olahan sutradara Ami Prijono tersebut. Selain itu, film ekranisasi tersebut juga dianggap jauh
melenceng dari tema hakikat perempuan di hadapan kuasa dan himpitan norma dalam
novelnya, banyak hal dan adegan yang kurang pas dalam film tersebut jika dibandingkan
dengan novelnya (Abdul Hady 1984; Hikmat Darmawan 2007)5.
Seiring perkembangan pemikiran manusia, lahir ilmu ekranisasi yang berupaya
mewadahi perdebatan originalitas karya, yaitu adanya dikotomi karya origin-jiplakan dan
agung-inferior , dalam transformasi karya sastra ke dalam film. Hal ini merupakan upaya
menjembatani jarak (gap) perbedaan antara karya sumber dan karya hasil transformasinya
secara ilmiah.
Diungkapkan oleh S. Itafarida, Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra, Universitas Airlangga, dalam artikelnya berjudul
Adaptasi dari Karya Sastra ke Film: Persoalan dan Tantangan diunduh dari www.journal.unair.ac.id pada 29-4-2008 pukul
21:31 wib.
5 Abdul Hady dalam tulisannya berjudul Nyanyian Duka Ronggeng Dukuh Paruk dimuat dalam Surat Kabar Merdeka
Edisi Minggu, 13 Mei 1984 Tahun XXXIX Nomor 1923 Halaman 6 Kolom 7-8 (Sumber ini didapat dari Pusat Dokumentasi
Sastra HB Jassin); Hikmat Darmawan dalam tulisannya yang berjudul RONGGENG YANG MENGECEWAKAN: Novel
dan Film di Indonesia, diunduh dari
http://hikmatdarmawan.multiply.com/journal/item/24/RONGGENG_YANG_MENGECEWAKAN_Novel_d
an_Film_di_Indonesia, pada 29-4-2008, pukul 00:11 wib.
mengusung misi tertentu dan membawa ideologi tertentu dalam setiap representasinya.
Didasarkan pada pemikiran tersebut, maka perubahan-perubahan yang dilakukan terhadap
satu karya ke bentuk lain pun, filmisasi karya sastra, membawa pergeseranpergeseran
ideologi yang ada di dalamnya, dan yang demikian (dalam pandangan posmodernisme
Hutcheon) tidak bisa tidak pasti politis (Hutcheon 1991:3).
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka peneliti beranggapan bahwa dalam transormasi
cerpen Lintah dan Melukis Jendela ke dalam film Mereka Bilang, Saya Monyet! terdapat
pergeseran ideologi di baliknya serta ada aspek politis yang melatarbelakanginya. Adanya
anggapan tersebut, serta melihat keunikan yang dimiliki dalam transofmasi karya tersebut,
mendorong peneliti untuk menjadikannya sebagai objek materi dalam penelitian ini.
6 Dikutip dari materi workshop (dengan tema Filmisasi Sastra Indonesia diselenggarakan di UII Yogyakarta pada 13 Juni
2008) dengan judul Filmisasi Sastra sebagai Media Dakwah.
1.2 Permasalahan
Pemilihan cerpen Lintah (selanjutnya disingkat Lt) dan Melukis Jendela (selanjutnya
disingkat MJ) dari kumpulan cerpen Mereka Bilang, Saya Monyet!, (selanjutnya disingkat
MBSM) karya Djenar Maesa Ayu (selanjutnya disingkat DMA) serta film transformasinya,
Mereka Bilang, Saya Monyet! (selanjutnya juga disingkat MBSM), sebagai objek materi
dalam penelitian ini didasarkan pada masalah yang muncul dari fenomena filmisasi tersebut.
Pertama, film MBSM merupakan film yang ditransformasi dari dua cerpen, yaitu Lt dan MJ.
Dua cerpen berarti dua cerita dan dalam transformasi ini dua cerita tersebut telah
dimasukkan ke dalam satu cerita film, menjadi satu cerita film. Penggabungan dua cerita
cerpen ke dalam satu cerita film ini pun tidak menghasilkan, atau tidak dijadikan, satu
rangkaian cerita yang menyatu, melainkan seakan-akan terlepas sekaligus terkait. Kedua,
transformasi tersebut menghasilkan atau memunculkan perubahan-perubahan yang cukup
signifikan. Di antara perubahan signifikan yang muncul adalah perubahan setting waktu yang
berimbas pada perubahan usia tokoh.
Berdasarkan masalah yang muncul dari fenomena ekranisasi MBSM seperti tersebut di
atas, muncul pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut. Bagaimana hasil transformasi dua
cerpen ke dalam satu film? Bagaimana perubahan-perubahan yang muncul dalam
transformasi tersebut? Aspek-aspek apa saja yang memengaruhi perubahan-perubahan dalam
transformasi tersebut?
1.3
Rumusan Masalah
Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan yang munculdi dalam sub bab permasalahan
di atasmaka dapat dirumuskan rumusan masalah di dalam penelitian ini sebagai berikut:
1.
Perubahan-perubahan yang muncul dalam pelayarputihan cerpen Lintah dan Melukis Jendela
ke dalam film Mereka Bilang, Saya Monyet!.
8
2.
1.4
Tujuan Penelitian
Penelitian ekranisasi ini diharapkan dapat memenuhi dua tujuan pokok, yaitu pertama
karya sastra. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menambah apresiasi masyarakat
terhadap karya sastra dan film, bahwa karya sastra dan film sebagai produk sosial dan
budaya, sebagai bentuk refleksi dan produk representasi masyarakat, memiliki muatan yang
berguna bagi masyarakat. Lahirnya film transformasi dari karya sastra bukanlah serta merta
memfilmkan karya sastra itu sendiri, tetapi akan terjadi perubahan-perubahan sesuai dengan
fungsinya di dalam film dan perubahan-perubahan yang muncul di dalam filmdengan
representasi yang adaperlu disikapi dan dibaca secara lebih kritis dan cerdas: bahwa ada
sesuatu di balik perubahan-perubahan yang munculyang bersifat politis dan secara tak
terelakan juga bersifat ideologis.
1.5
Tinjauan Pustaka
Penelitian ekranisasi terhadap film Mereka Bilang, Saya Monyet! hingga saat ini
belum pernah dilakukan, baik yang berupa skripsi, tesis, maupun penelitian lain. Beberapa
hasil penelitian yang disajikan dalam tinjauan pustaka ini digunakan sebagai pembanding
sekaligus melihat sisi-sisi bidang kajian yang pernah dan belum pernah dilakukan, baik
penelitian film atau cinema, ekranisasi, penelitian terhadap objek material yangkurang
lebihsama, dan penelitian dengan objek formal (teori) yang sama dengan penelitian ini.
Dengan demikian, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap peneliti
dalam melakukan penelitian ekranisasi ini.
Penelitian terhadap film atau cinema Indonesia telah dilakukan oleh Heider (1935)
seperti diuraikan dalam buku berjudul Indonesian Cinema: National Culture on Screen.
Penelitian tersebut mencoba mengangkat satu topik pembahasan, yaitu budaya nasional.
Sebuah pertanyaan yang secara ontologis penting untuk dijawab menurut peneliti adalah Is
film product or message? Ada dua penekanan perhatian sekaligus kemungkinan jawaban,
yaitu film as active agent atau film as passive product. Pada kemungkinan pertama melihat
10
film sebagai komunikasi, yaitu komunikasi antara pengirim pesan (pembuat film) dengan
penerima pesan (audien, penonton), yang dapat membuka pertanyaan atau persoalan yang
bersifat intensional dari pengirim pesan dan membuka kesadaran penerima. Pendekatan yang
lebih tepat dierikan di sini adalah teori komunikasi, yaitu melihat intensi yang dimiliki oleh
pengirim pesan dalam menyampaikan pesannya melalui film. Sedangkan pada kemungkinan
kedua, melihat film sebagai produk budaya yang melahirkannya. Pada kasus yang kedua,
peneliti tidak melihat fungsi film tersebut, melainkan melihat struktur internalnya. Artinya
struktur internal dari film yang dipandang berasal dari budaya Indonesia. Dalam hal ini,
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan struktural.
Dalam penelitian ini diungkapkan bahwa film-film Indonesia mencerminkan realitas
masyarakat Indonesia yang dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti penjajahan (Belanda dan
Jepang), perjuangan, sentimental, hal-hal yang berbau horor, selain juga menunjukkan
tradisionalitas atau lokalitas yang ada, seperti legenda-legenda. Beberapa genre film yang
ditemukan menunjukkan gambaran rekaman masyarakat pada masa itu. Selain itu,
pendekatan struktural yang digunakan juga telah berhasil menemukan adanya konvensikonvensi cerita dan tanda, seperti yang ditemukannya dalam film Buaya Putih maupun Galau
Remaja di SMA, yaitu adaya ketakutan pada orang tuanya ketika tiba-tiba tokoh muntahmuntah, ia takut kalau dianggap atau ketahuan hamil. Hal ini erat katiannya pula dengan
adanya tabu seksualitas yang juga ditemukan dalam filmfilm Indonesia. Selain temuan di
atas, Heider juga menemukan adanya model modernisasi dalam sinema Indonesia,
diantaranya adalah yang ditemukan dalam film Salah Asuhan dan Desa di Kaki Bukit.
Akhirnya buku yang merupakan hasil penelitian antropologis ini pun menyimpulkan adanya
pergerakan kultur modernisasi dalam masyarakat Indonesia yang dapat dibaca atau diketahui
dari film baik sebagai active agent maupun sebagai passive product. Dikotomi ini masih perlu
dicermati kembali, terutama erat kaitannya dengan perkembangan keilmuan pada dewasa ini.
11
Sebuah penelitian disertasi berjudul Si Doel and Beyond: Discourse on Indonesian Television
in the 1990s telah dilakukan oleh Klarijn Loven (2003).
Fokus penelitian tersebut adalah pada linguistik dan wacana yang ada dalam film Si Doel.
Wacana yang lebih disoroti adalah wacana pendidikan pada masyarakat Betawi sebagaimana
terepresentasi dalam film (atau lepih tepatnya sosok) Si Doel. Dalam bidang linguistik,
dengan teorinya Garrett dan Bell, Loven lebih banyak memfokuskan pada bahasa dan
penggunaannya. Selain itu Loven juga mengunakan analisis wacana (discourse analisys)
maupun teori wacana (discourse theory)-nya Mills baik untuk menganalisis konteks
bahasanya mauapun konteks wacana sosiologi-bangsanya. Untuk lebih memperdalam analisis
wacananya, Loven juga mengombinasi dua teori yaitu social and culture analisys dengan
critical discourse analisys.
Hasil penelitian tersebut dibagi ke dalam empat bagian. Bagian pertama membahas
pendidikan Doel, seorang Doel yang terdidik, sebagai wacana televisi Indonesia. Bagian ini
membahas Deol sebagai anak Betawi dimulai dari tradisi teks sampai dengan tradisi film, dari
tradisonal sampai pergerakan modernitas dan bagaimana petualangannya. Pada bagain kedua
membahas languagescape dari Doel yang terdidik atau terpelajar, karakterisasi, dan
pemikiran atau angan-angan dan realitasnya. Bagian ketiga berisi pembahasan framing
educated Doel, mulai dari educated Doel sebagai aset broadcasting, fenomena televisi,
representasi budaya Betawi, alat advertising, dan sarana bahasa. Bagian terakhir membahas
jangakauan dari pergerakan wacana educated Doel.
Ada temuan yang menarik dari kajian tersebut, diantaranya adalah etnisitas dan
identitas serta gaya atau tradisi hidup masyarakat Betawi, bahwa ada pergerakan ke arah
modernitas, ke arah western. Pertama, dilihat dari adanya pergerakan ke arah kebutuhan akan
pendidikan. Film Si Doel yang diputar di, salah satu stasiun, televisi pada akhirnya menjadi
cambuk bagi masyarakat Betawi terhadap kesadaran akan kebutuhan pendidikan di masa
12
adalah bahwa alur penyajian film berjalan lebih lambat dibandingkan dengan alur penyajian
novel. Selain itu, juga terdapt titik tekan yang lebih di dalam novel dalam mempresentasikan
tokoh Dewa, sebagai penderita autis dan cacat ganda, yaitu dengan menyajikan dirinya
sebagai seorang penutur. Hal ini tidak ditemukan dalam film. Sedangkan dalam alur sebab
akibat baik film maupun novel tidak ditemukan perbedaan yang signifikan.
Selanjutnya, pembahasan tahap kedua membahas perbandingan tokoh dan penokohan
serta latar ruang dan waktu baik dalam film maupun novel. Kaitannya dengan analisis tokoh
dan penokohan, ditemukan adanya perbedaan tokoh utama antara film dan novel. Di dalam
film tokoh utama memusat hanya pada satu tokoh, yaitu Renjadi, sedangkan dalam novel
selain Renjani, tokoh Dewa juga menjadi tokoh utama. Perbedaan lain adalah dalam hal
jumlah tokoh. Novel memiliki tokoh dengan jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan
jumlah tokoh dalam film. Sementara berkaitan dengan latar ruang tidak ditemukan perbedaan
yang signifikan. Perbedaan yang ada lebih dipengaruhi oleh perbedaan media dari kedua
karya tersebut. Demikian pula dengan latar waktu yang relatif tidak ada perbedaan.
Hasil penelitian ekranisasi yang lain yang juga pernah dilakukan adalah penelitian
yang berjudul Transformasi Novel ke Bentuk Film: Analaisis Ekranisasi teradap Novel Ca
Bau Kan oleh Umilia Rokhani (2008). Penelitian tesis tersebut meneliti bagaimana sebuah
novel (Ca Bau Kan) di transformasi ke dalam film. Dalam penelitian ini Rokhani
menganalisis perbedaan kedua genre karya tersebut, film sebagai transformasi dan novel
sebegai hipogramnya. Untuk melihat perbedaan tersebut Rokhani menggunakan pendekatan
intekstual melalui sistem sastra dan sistem film sebagai interpretasinya.
Berdasarkan permasalahan yang diungkapkan dalam penelitiannya, Rokhani
menggunakan teori struktur naratif Chatman dan teori intertekstual Kristeva. Akan tetapi,
dalam analisis kernel dan satelit dalam transformasi karya tersebut Rokhani lebih banyak
menggunakan konsep intertekstual dari Napiah karena dianggap lebih bisa menunjukkan
14
perubahan dan pergerakan struktur naratif dalam proses transformasi dari novel ke film.
Sementara teorinya Riffatere lebih digunakan dalam kaitannya atau untuk mendudukan novel
sebagai hipogram dari film.
Dengan menggunakan teori struktur naratif Chatman penelitian ini menemukan ada 91
kernel dan 284 satelit di dalam novel serta 79 kernel dan 146 satelit di dalam film. Dari
analisis kernel dan satelit, sistematika kelogisan cerita, dan analisis suara narator dalam novel
dan film, akhirnya peneliti (Rokhani) berhasil menemukan adanya persamaan dan perbedaan,
serta variasi maupun perluasan alur yang muncul dalam proses transformasi dari novel ke
film. Melalui pendekatan intertekstual selanjutnya diketahui bahwa perubahan, perbedaan,
variasi maupun perluasan alur yang muncul tersebut dipengaruhi oleh adanya prinsip
haplologi, modifikasi, ekserp, transformasi, dan ekspansi.
Berdasarkan hasil temuan dari penelitian tersebut, menurut penulis kali ini, masih
memiliki keterbatasan. Salah satu keterbatasan yang ada adalah penelitian ini hanya mencoba
melihat perbedaan struktur naratif dari novel (sebagai hipogramnya) dan film (sebagai hasil
transformasinya). Penelitian ini hanya mengungkap atau mendeskripsi pergerakan struktur
naratif dalam proses transformasi karya serta perbedaan dan persamaannya. Pembahasan
lebih lanjut setelah ditemukan perbedaan struktur dan ditemukan adanya hubungan
intertekstualitas antara dua genre karya tersebut belum dibahas dalam penelitian tersebut.
Sebuah penelitian terhadap cerpen karya Djenar Maesa Ayu berjudul Lintah pernah
dilakukan. Penelitian tersebut merupakan penelitian skripsi oleh Nina Tristianti (2007) FIB
Universitas Gadjah Mada yang diberi judul Lintah Karya Djenar Maesa Ayu: Analisis
Semiotika Roland Barthesian. Dengan menggunakan Semiotika Roland Barthes, tanda-tanda
yang ditemukan di dalam cerpen tersebut dianalisis sehingga ditemukan makna yang tersirat
di dalam cerpen karya Djenar tersebut. Beberapa tanda yang ditemukan dan dianalisis
maknanya antara lain lintah, ibu, anak, sofa, kamar, dan lukisan. Melalui pembagian leksia
15
dan kode semiotika Barthes sebagai langkah kerja analisisnya, Tristianti menyimpulkan dari
penelitiannya bahwa banyak makna yang dapat diperoleh dari tanda-tanda yang terdapat di
dalam cerpen Lintah melalui analisis semiotika Roland Barthes antara lain tema kehidupan
keluarga, kurangnya kasih sayang orang tua, kehidupan bebas, dan pelecehan seksual.
Sedangkan dari sisi judul sendiri, kata lintah dapat dimaknai lebih dari hanya binatang air
yang dapat menghisap darah, tetapi lintah merupakan simbol atau tanda untuk orang yang
suka mengambil keuntungan dari orang lain. Lintah dapat diartikan sebagai orang yang suka
memanfaatkan orang lain untuk menghisap keuntungan sebanyak-banyaknya. Selain itu,
Tristianti juga menyimpulkan bahwa Lintah merupakan karya sastra yang bersifat writerly.
Penelitian terhadap kumpulan cerpen Djenar Maesa Ayu berjudul Mereka Bilang,
Saya Monyet!, juga pernah dilakukan, dalam bentuk penelitian skripsi, oleh Rika Indrawati
(2008), Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran Bandung. Penelitian tersebut memilih 5
cerpen dari 11 cerpen dalam kumpulan cerpen Djenar, MBSM, sebagai populasinya dan
menggunakan pendekatan psikoanalisis Freud sebagai teorinya. Kelima judul cerpen tersebut
adalah Lintah, Durian, Melukis Jendela, Menepis Harapan, dan Namanya,. Alasan
pemilihan lima cerpen tersebut adalah adanya adanya garis benang merah yang ditunjukkan
atau ditandai dari terdapatnya kesamaan tema tekanan batin tokoh utama akibat pelecehan
seksual.
Langkah yang dilakukan dalam penelitian tersebut diawali dari analisis struktur, yaitu
dengan menganalisis struktur sastra, kemudian mencari relasi antarunsur tersebut.
Selanjutnya melalui pendekatan psikologi analisis dilanjutkan dengan melihat sisi-sisi
psikologis yang dialami tokoh dengan melihat relasi antarunsur-unsur tersebut. Dari analisis
tersebut ditemukan dampak-dampak psikologis yang terjadi pada tokoh, bahwa perilakuperilaku yang dilakukan oleh tokoh utama adalah akibat apa yang diterimanya di masa lalu.
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa: 1) perilaku tokoh yang muncul saat ini
16
dipengaruhi oleh pengalaman yang diterimanya pada masa lalu, 2) orang yang mendapat
tekanan batin akan melampiaskannya dengan hal-hal lain. Meskipun penelitian tersebut
bukan penelitian ekranisasi, tetapi dalam penelitian perlu diungkapkan untuk melihat
perkembangan penelitian yang pernah dilakukan terhadap objek material yang sama.
Penelitian dengan menggunakan teori posmodernisme Linda Hutcheon pernah
dilakukan dengan judul Novel Genduk Duku Karya Y.B. Mangunwijaya: Analisis
Posmodernisme Linda Hutcheon oleh Sunti Melati (2007), FIB UGM. Penelitian tersebut
berusaha menginterpretasi pandangan-pandangan yang tercermin melalui pandangan dan
kehidupan yang dialami tokoh-tokoh dalam karya sastra tersebut. Selain itu juga untuk
menginterpretasi pandanganpandangan pengarang dalam novel sebelum dan sesudah Genduk
Duku yang terangkai dalam trilogi Y.B. Mangunwijaya. Penelitian tersebut membahas tiga hal
besar, yaitu 1) pusat dan pinggiran (melalui analisis setting dan tokoh), 2) parodi masa lalu
dan masa kini (dari pembahasan ini ditemukan adanya dominasi kekuasaan oleh raja,
dominasi militer dalam pemerintah, dominasi pusat terhadap pinggiran, dan dominasi
pengaruh asing dalam novel tersebut), dan 3) fakta historis dan fakta fiktif.
Penelitian lain juga pernah dilakukan dengan judul Rara Mendut Karya Y.B.
Mangunwijaya: Analisis Posmodern Linda Hutcheon oleh Ratino (2007), FIB UGM.
Penelitian ini juga senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Sunti Melati di atas.
Penelitian ini juga membahas tiga hal yang dibagi ke dalam tiga bab, yaitu: 1) pusat dan
pinggiran, 2) parodi masa lalu dan masa kini, dan 3) fakta fiksi dan fakta historis.
Dengan melihat tinjauan pustaka tersebut dapat diketahui jangkauan dari penelitianpenelitian sastra, sinema, maupaun ekranisasi yang pernah dilakukan lebih menitikberatkan
pada analisis struktur, bahkan ada kecenderungan hanya berhenti pada tataran itu. Hal ini
memberikan kesan bahwa penelitian ekranisasi yang pernah dilakukan masih berhenti pada
tataran membandingkan, mencari persamaan dan perbedaan, antara dua karya: film dan novel
17
(karya sastra). Dengan kata lain, penelitian masih ada pada ranah struktur. Oleh karena itu,
melalui penelitian ini penulis mencoba melakukan satu penelitian pada bidang ekranisasi
yang tidak saja berhenti pada tataran menemukan perbedaan struktur saja, melainkan
melangkah pada jangkauan selanjutnya, yaitu menganalisis ideologi dan politik dibalik
penciptaan dan perubahan karya hasil transformasi. Dengan demikian, diharapkan penelitian
ini dapat memberikan kontribusi pemikiran yang bermanfaat terhadap bidang ilmu sastra,
khususnya ekranisai, maupun kepada masyarakat.
1.6
Landasan Teori
Teori-teori yang akan dijabarkan di bawah ini adalah teori yang akan dipakai untuk
menganalisis permasalahan dan sesuai dengan tujuan dalam penelitian ini, yaitu perubahanperubahan yang muncul dalam transformasi cerpen Lt dan MJ ke film MBSM dan aspek aspek
ideologis dan aspek politis yang memengaruhi terjadinya perubahan-perubahan tersebut.
Teori yang dijabarkan di sini diuraikan sesuai dengan kebutuhan untuk menjawab dan
membahas permasalah dalam penelitian ini. Hal ini penting mengingat pemilihan teori
sebagai landasan kerja penelitian ilmiah ini diperlukan untuk membuat penelitian terarah dan
sesuai dengan tujuan penelitian, sehingga permasalahan yang akan di jawab mengantarkan
pada pemilihan teori yang tepat (Chamamah-Soeratno, 2001:13-14). Teori-teori tersebut
adalah teori ekranisasi dan teori politik posmodernisme yang dikemukakan oleh Linda
Hutcheon (1991). Teori ekranisasi digunakan untuk membahas perubahan-perubahan yang
muncul dalam tranformasi cerpen ke film, sedangkan teori posmodernisme Hutcheon
digunakan untuk membahas permasalah aspek-aspek ideologis yang memengaruhi perubahan
yang muncul dalam transformasi karya tersebut. Dengan demikian juga akan diketahui aspek
politis dalam transformasi ini.
18
1.6.1 Ekranisasi
Istilah ekranisasi dipopulerkan oleh Pamusuk Eneste dalam bukunya yang berjudul
Novel dan Film (1991).Istilah ekranisasi diambil dari bahasa Prancis, cran yang berarti
layar. Istilah ekranisasi yang dilahirkan dan diteorikan oleh Pamusuk Eneste terlepas
dari persoalan bahwa teori ini masih belum/kurang kuat dan mapan sebagai sebuah
tanggapan atau apresiasi terhadap munculnya fenomena pemfilman karya sastra/novel baik di
negara barat maupun di Indonesia. Sehingga harapannya ekranisasi dapat mewadahi konsepkonsep dan teori seputar pembahasan dan atau penelitian pemindahan atau pengangkatan
novel (karya sastra) ke film.
Sementara di Amerika, istilah cinematic adaptation7 lebih dikenal dibandingkan
dengan istilah ekranisasi. Akan tetapi, dalam hal ini Eneste lebih memilih istilah ekranisasi
karena menurutnya istilah ini dianggap lebih tajam, lebih spesifik dibandingkan adaptasi,
sementara istilah adaptasi bisa saja hanya mengangkat ide cerita dari novel atau tokoh-tokoh
yang ada dalam novel (1991:11). Ekranisasi atau pelayarputihan novel juga disamaartikan
dengan istilah pemfilman novel. Dalam hal ini, penulis lebih berpijak pada asal kata ecran
yang berarti layar (seperti diungkapkan Eneste), ekranisasi berarti pelayarputihan, maka
7 Dalam beberapa sumber lain ada yang menyebut istilah film adaptation. Istilah ini dipakai untuk menyebutkan adaptasi
dari sastra (literary source) ke film. Selain membahas hasil juga membahas proses. Dalam konteks ini istilah ekranisasi
sejajar dengan film adaptation, yaitu adaptasi karya sastra ke film, pemfilman karya sastra. Cakupan ini tentu saja lebih
sempit dan terbatas jika dibandingkan dengan istilah adaptasi (yang sudah muncul sejak 1956, lihat Bluestone, meskpiun
kemudian baru diteorikan dalam kisaran tahun 2005 oleh Linda Hutcheon). Pada perkembangan berikutnya kemudian
muncul adaptasi film ke sastra atau ke novel yang diistilahkan novel adaptation (jika dipadankan dengan istilah filmisasi
maka menjadi novelisasi), comic adaptation, theatrical adaptation, television adaptation, radio adaptation, comic book
adaptation, dll (Cho, Parys-2007, Cattrysse-1997, dan Engelstad). Istilah-istilah tersebut berada pada ranah adaptasi tetapi
tidak semuanya bisa dikategorikan ke dalam ekranisasi karena merujuk pada pengertian yang diungkapkan oleh Eneste
(1991: 60) ekranisasi merupakan proses pelayarputihan. Akan tetapi dalam hal ini, peneliti tidak menggunakan istilah
adaptasi sebagai konsep pemindahan atau pelayarputihan karya sastra ke film. Peneliti lebih sependapat untuk menggunakan
istilah transformasi. Hal ini dengan melihat definisi dan esensi dari kedua istilah tersebut. Adaptasi, yang berasal dari kata
adapt, memiliki arti menyesuaikan, membuat sesuatu itu sesuai dengan sesuatu, mengubah atau memodifikasi sesuatu
(definisi menurut kamus Webster). Adaptasi juga berarti: 1) pengolahan kembali suatu karya sastra ke dalam bahasa lain
dengan menyesuaikan unsur-unsurnya pada lingkungan budaya bahasa sasaran, 2) pengolahan kembali suatu karya sastra
dari satu jenis ke jenis lain dengan mempertahankan lakuan, tokoh, serta gaya dan nada aslinya (Ensiklopedi Sastra
Indonesia, 2004). Sedangkan menurut KBBI edisi III (2001) adaptasi berarti penyesuaian terhadap lingkungan, pekerjaan,
dan pelajaran. Dalam konsep dan definisi adaptasi di dalamnya masih terkandung konsep oroginalitas, artinya ada
originalitas karya sumber adaptasi dan karya hasil adaptasi sehingga karya hasil adaptasi dianggap lebih inferior. Sedangkan
istilah transformasi berarti 1) mengubah komposisi atau sruktur secara keseluruhan atau hanya secara esensial dari suatu
komposisi atau struktur (Webster), 2) perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dsb) (KBBI edisi III, 2001). Dalam konteks ini
istilah transformasi penulis anggap lebih tepat untuk menyebutkan hal pembahasan ini. Sementara itu, Liche (1992:200)
menjelaskan bahwa transformasi merupakan proses terjemahan dari satu materi ke materi lain di mana transformasi tersebut
mampu mengubah keseluruhan sistem tanda menjadi suatu sistem tanda yang benar-benar berbeda. Dalam hal ini, ia
mencontohkan sistem tanda teks naskah menjadi teks panggung (tekstur) sistem tanda di atas pentas. Perubahan sistem tanda
tersebut sekaligus akan mengubah makna yang dikandung oleh sistem tersebut.
19
dengan demikian pelayarputihan tidak hanya terbatas pada novel semata, lebih luas lagi yaitu
pada karya sastra, sehingga bentuk lain seperti cerpen atau epik
20
serta drama juga termasuk dalam konsep ini. 8 Berkaitan dengan konsep dan definisi istilah
ekranisasi dan adaptasi, dalam penelitian ini peneliti lebih memilih menggunakan istilah
ekranisasi dari pada istilah adaptasi atau adaptasi sinematik (cinematic adaptation) karena
alasan persoalan spesifikasi yang melekat pada istilah ini sebagaimana telah diungkapkan di
atas.
Dalam proses ekranisasi selalu terjadi perubahan-perubahan. Oleh karena itu, Eneste
(1991:60) juga menyebut ekranisasi sebagai proses perubahan. Menurutnya ada tiga
kemungkinan perubahan terjadi dalam proses ekranisasi, yaitu penciutan/pemotongan,
penambahan, dan perubahan dengan variasi (1991:61-66). Penciutan adalah pengurangan atau
pemotongan unsur cerita dalam sastra ketika cerita tersebut diangkat ke dalam film. Penciutan
dapat dilakukan terhadap unsur sastra seperti cerita, alur, tokoh, latar, maupun suasana.
Dengan adanya proses penciutan atau pemotongan maka tidak semua hal yang diungkapkan
dalam novel akan dijumpai pula dalam film (Eneste 1991:61). Dengan demikian berarti akan
terjadi pemotongan-pemotongan atau penghilangan bagian-bagian di dalam karya sastra
dalam proses adaptasi ke film.
Melakukan penciutan atau pemotongan pada unsur cerita sastra tentu tidak tanpa
alasan. Ada beberapa alasan, sebagaimana diungkapkan Eneste (1991:61), dalam tindakan
tersebut. Pertama, anggapan bahwa adegan maupun tokoh tertentu dalam karya sastra
tersebut tidak diperlukan atau tidak penting ditampilkan dalam film. Melihat faktor ini, maka
sineas akan melakukan pemotongan atau pengurangan pada bagian yang dianggap tidak perlu
dihadirkan di dalam film sebagai transformasinya. Hal ini tentu saja tidak lepas dari
8
Meskipun dalam definisi ekranisasi yang diberikan oleh Eneste (dalam bukunya Novel dan Film, 1991) sebagai
pelayarputihan atau pemindahan/pengangkatan novel ke film, tetapi dalam konteks ini peneliti tidak turut menyempitkan
pandangannya hanya pada pelayarputihan atau pemintahan/pengangkatan novel ke film. Novel dalam konteks ini peneliti
baca sebagai sastra dalam konteks yang lebih luas (yang di dalamnya bisa berarti novel, cerpen, atau bahkan mungkin
drama dan puisi). Maka dengan demikian, ekranisasi atau pelayarputihan, dalam batasan peneliti, tidak hanya pada
pelayarputihan novel semata, tetapi lebih luas lagi yaitu pada karya sastra, sehingga bentuk lain selain novel, seperti cerpen,
maupun drama juga termasuk dalam konsep ini. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, fenomena pemfilman cerpen Lt dan
MJ ke dalam MBSM digolongkan ke dalam kajian ekranisasi.
21
pertimbangan tujuan, dan durasi waktu penayangan. Kedua, alasan mengganggu, yaitu
adanya anggapan atau alasan sineas bahwa menghadirkan unsur-unsur tersebut justru dapat
mengganggu cerita di dalam film. Ketiga, adanya keterbatasan teknis film atau medium film,
bahwa tidak semua bagian adegan atau cerita dalam karya sastra dapat dihadirkan di dalam
film. Hal ini terkait dengan sifat yang dimiliki oleh kedua medium atau genre tersebut, yaitu
bahasa dan gambar (audio-visual). Keempat, adalah alasan penonton atau audiens, hal ini juga
berkaitan dengan persoalan durasi waktu (lihat juga Bluestone 1957:31-34). Kelima, faktor
biaya produksi. Film yang melibatkan berbagai bidang kesenian akan membutuhkan biaya
produksi yang lebih mahal, baik berkaitan dengan penggarapan properti, aktor, sampai
dengan setting yang digunakan di dalam cerita. Film yang berlatar luar negeri misalnya, pasti
akan memakan biaya yang lebih mahal dan banyak dalam proses produksinya. Sebut saja film
Ketika Cinta Bertasbih yang menggunakan latar Mekah di dalam cerita, tentu akan menelan
biaya produksi yang lebih banyak. Kemampuan sebuah penggarapan film terhadap segala
unsur yang ada di dalam film tersebut hingga menjadi sajian dalam durasi tertentu sebuah
film, dipengaruhi atau bergantung pula pada kesiapan dan ketersediaan biaya produksi.
Dalam kondisi demikian, perubahan (pemotongan) akan sangat mungkin terjadi, misalnya
dari sisi setting, dari setting novel ke dalam setting film.
Kemungkinan lain yang dapat terjadi dalam proses transformasi sastra ke bentuk film
adalah penambahan (perluasan). Seperti halnya dalam kreasi penciutan, dalam proses ini juga
bisa terjadi pada ranah cerita, alur, penokohan, latar, maupun suasana (Eneste 1991:64).
Penambahan yang dilakukan dalam proses ekranisasi ini sudah barang tentu memiliki alasan,
baik alasan pentingnya penambahan, alasan relevansinya dengan cerita secara keseluruhan,
ataupun karena alasan lain.
Variasi-variasi dalam perubahan juga hal yang lazim dilakukan dalam proses
transformasi dari sastra ke film, selain penciutan dan penambahan. Variasi di sini bisa terjadi
22
dalam ranah ide cerita, gaya penceritaan, kernel-satelit, dsb. Terjadinya variasi dalam
transformasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain media yang digunakan, persoalan
penonton, durasi waktu pemutaran, bahkan lebih dari itu adalah persoalan resepsi dan
ideologi. Pen-transformasi-an atau pemindahan karya sastra ke film, dari media bahasa (katakata) ke gambar (audiovisual) memungkinkan terjadi variasi-variasi di sana-sini. Perbedaan
media dan alat adalah salah satu alasan yang mendasarinya karena dua media tersebut
memiliki karakteristik dan limit yang berbeda pula. Oleh karena itu, perlu ada pemahaman
terhadap karakteristik media yang digunakan oleh kedua genre karya tersebut. Bahasa sebagai
medium karya sastra memiliki sifat keterbukaan pada imajinasi pengarang. Bahasa yang
digunakan memungkinan memberi ruang yang luas bagi pembaca untuk menafsir dan
mengimajinasi segala sesuatu yang diungkapkan oleh teks sastra tersebut. Sedangkan film
memvisualkan bahasabahasa yang memiliki ruang imajinasi pada karya sastra. Melalui
visualisasi ini film memberikan satu bentu konkretisasi imajinasi yang dimiliki oleh karya
sastra melalui media bahasanya. Meskipun visualisasi ini tidak mematikan ruang imajinasi
penonton, akan tetapi ditopang faktor durasi waktu tayang film yang relatif pendek dan harus
menyajikan cerita secara utuh, seoalah memaksa penonton untuk mengikuti sajian-sajian
visualisasi fakta cerita yang ada pada karya sastra menjadi gambar (audio-visual) pada film.
Meskipun tidak ada yang bisa membelenggu imajinasi penonton, tetapi kebebasan
imajinasinya sedikit terbatasi oleh visualisasi yang telah dilukan oleh sineas. Kalimat-kalimat
pada novel hadir dalam bentuk gambar dan audio yang dilafalkan aktor di dalam film.
Gambar yang disajikan menjadi satu bentuk paket. Gambar-gambar bergerak disertai audio
dalam film tidak memberikan ruang seperti yang dimiliki oleh bahasa dalam karya sastra
hal ini berkaitan dengan durasi tayang film yang relatif lebih pendek serta waktu tayang yang
terbatas, tentu saja penjelasan ini dalam konteks pemutaran tanpa pause, mengingat teknologi
CD, VCD, dan DVD sekarang telah berkembang dan perkembangan masyarakat dalam
menonton film juga tidak terbatas hanya di bioskop.
23
Perbedaan media yang digunakan oleh kedua karya tersebut merupakan salah satu
faktor yang memengaruh terjadinya perubahan-perubahan dalam transformasi. Di dalam
karya sastra deskripisi dan ilustrasi yang mampu dilakukan oleh bahasa dengan susunansusunan bahasa tertentu, tetapi hal tersebut belum tentu mampu dilakukan melalui media
gambar bergerak atau audio-visual.
Film bercerita dengan cara menampilkan sesuatu yang diceritakan. Hutcheon (2006:36)
menyatakannya dengan istilah tellingshowing (menceritakan memperlihatakan) sebagai
bentuk perubahan yang terjadi dalam ekranisasi, transformasi karya sastra ke bentuk film.
Fulton (2005: 96) menyebutkan bahwa dalam penggarapan kembali teks tulis, seperti novel,
ke bentuk gambar, seperti film, menunjukkan perbedaan konvensi naratif atas dua media,
yaitu media bahasa tulis dan media gambar atau audio-visual. Bahkan dalam sebuah
penggarapan transformasi novel ke film, itu terjadi penggarapan makna kembali, dan
memiliki perbedaan tema serta tujuan akhir penggarapan. Apalagi kebanyakan yang terjadi
dalam pelayarputihan dilakukan oleh sineas yang notabene orang lain dari penulis novel itu
sendiri. Lebih lanjut Fulton (2005:97) menjelaskan bahwa sebuah proses adaptasi
menegaskan adanya mode naratif dari novel dan film yang bekerja dalam logika bercerita
yang berbeda. Eksistensi dari perbedaan logika tersebut, yang kebanyakan sesuai dengan
mode dan konteksnya, mengingatkan kepada kita bahwa tidak ada cara untuk bercerita yang
natural (asli) atau jelas dan nyata. Satu hal lagi yang perlu diperhatikan adalah bahwa
bagaimanapun sebuah cerita diceritakan tidak hanya bergantung kepada kebudayaan dan
konvensi linguistiknya tetapi juga kepada spesifikasi medium yang digunakan untuk bercerita
tersebut. Hal ini erat kaitannya dengan kemampuan masing-masing medium dalam bercerita.
Sementara itu, Faruk (2000:180) menyebutkan bahwa film dan video berada pada posisi
bertentangan dengan bentuk aktivitas bahasa, yaitu berusaha menghadirkan kehidupan dalam
bentuk yang konkret, partikular, sensasional. Faruk juga menambahkan bahwa hal yang
24
Faktor lain yang berpengaruh adalah durasi waktu penikmatan. Damono (2005:98-99)
menyebutkan bahwa karya sastra memiliki waktu penikmatan yang lebih bebas, pembaca
karya sastra bisa ke mana-mana dan di mana-mana. Ia bahkan dapat berhenti kapan saja,
pada halaman berapa, dan memulainya lagi pada waktu yang lain, bahkan di tempat yang
lain. Sedangkan penikmatan film, dibatasi oleh ruang dan durasi waktu yang lebih terbatas,
ruang bioskop dan waktu tayang yang padat. Terbatasnya waktu memberikan pengaruh
tersendiri dalam proses penerimaan dan pembayangan. Akan tetapi, seiring perkembangan
zaman dan teknologi penjelasan ini juga perlu dicermati dan dikritisi kembali.
Berkaitan dengan faktor waktu, dengan merujuk pada konsep Hutcheon (2006), dalam
hal ini penulis lebih bersepakat untuk menyebutkan bahwa faktor waktu yang berpengaruh
adalah berhubungan dengan zaman (zeitgeist), artinya waktu penggarapan (kapan karya
tersebut di garap ulang). Perbedaan zaman penggarapan, akan berpengaruh terhadap hasil
karya yang dibuat pula. Hal ini mungkin terjadi karena karya seni yang diciptakan merupakan
hasil kristalisasi dari komunikasi pencipta karya tersebut dengan dunia luar dirinya,
lingkungan yang ada di sekelilingnya, universe-nya. Penciptaan kembali karya sastra ke
dalam bentuk film berkaitan erat dengan fenomena, isu-isu, serta kondisi sosial masyarakat
yang tengah berkembang pada saat itu. Situasi dan kondisi masyarakat memengaruhi lahirnya
karya pada masa itu. Dalam konsep Jauss (1982:36), untuk melihat persoalan di atas bisa
dilihat dalam salah satu tesisnya, yaitu titik pertemuan garis synchronic (sinkronik) dan
diachronic (diakronik). Perubahan yang muncul dalam transformasi karya sastra ke film juga
terkait dengan keberadaan sewaktu kondisi yang ada. Adaptasi yang dilakukan di sini
merupakan adaptasi terhadap zamannya.
Persoalan lain yang juga perlu dipahami dalam ekranisasi adalah perbedaan pada
proses pembuatan dua karya tersebut. Karya sastra (novel) merupakan kerja atau kreasi
26
indivu (Bloestone 1957:64), sedangkan film merupakan kerja tim atau kelompok. Dalam
penggarapan sastra, pengarang bergulat dengan dirinya sendiri untuk menghasilkan sebuah
karya sastra. Penjelasan ini tentu bukan sedang tidak mengiyakan adanya keterhubungan dan
keterkaitan antara pengarang dengan dunia luar dalam/selama proses penciptaan karya sastra.
Bagaimanapun karya senitermasuk karya sastradiciptakan merupakan sebentuk ekspresi
yang didasarkan pada persepsi, sikap, pandangan, serta tanggapan seniman terhadap
fenomena kultural yang ada di sekitarnya yang pada akhirnya bermuara pada kristalisasi
sebuah teks (sebagaimana diungkapkan Saputra 2009:41). Dalam penciptaan karya sastra,
kecermatan pemilihan kata-kata dirangkai menjadi kalimat-kalimat di dalam karyanya pada
akhirnya bisa membawa pembaca pada alam imajinasi. Sebaliknya, film merupakan bentuk
karya seni yang melibatkan beberapa orang dari bidang (seni) yang berbeda-beda, seperti
sutradara, aktor, kameramen, sound effect, juru lampu, juru rias, tata busana, dan seterusnya
yang menjadi sebuah tim atau kelompok. Eneste (1991:18) menyebut film sebagai gabungan
beberapa ragam kesenian: musik, seni rupa, drama, sastra ditambah unsur fotografi. Film juga
disebutnya sebagai total art, pan art, atau collective art. Oleh karena itu, ekranisasi juga
dapat dikatakan sebagai proses perubahan dari sesuatu yang dihasilkan secara individual
menjadi sesuatu yang dihasilkan secara bersama-sama atau gotong-royong (Eneste 1991:60)
Tujuan atau ideologi kreator juga salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
perubahan. Para sineas dalam memfilmkan karya sastra tentu saja tidak lepas dari tujuan
tertentu. Selain mengangkat cerita/ide cerita karya sastra ke dalam film, tidak jarang di dalam
proses transformasi ini juga dimasukkan tujuan para sineas sendiri. Pandangan dan ideologi
kreator akan turut berpengaruh terhadap sajian karyanya. Hal ini seperti yang terjadi pada
ekranisasi Ayat-Ayat Cinta misalnya, sebagaimana diungkapkan oleh Suseno (2008). Dalam
tulisan tersebut, menunjukkan adanya ideologi yang ingin disampaikan atau pesan tambahan
yang ingin disampaikan oleh sineas (Hanung Bramantyo) dalam memfilmkan novel Ayat-
27
Ayat Cinta karya Habiburrahman, melalui penggarapan ending yang berbeda, sekaligus
perubahan cerita yang ditampilkannya.
Berkaitan dengan hal-hal di atas dalam persoalan transformasi karya sastra ke film,
maka perlu kiranya dipahami konsep-konsep sastra dan konsep film. Berikut adalah tabel
perbedaan konsep sastra dan film. Berdasarkan tabel berikut, tampak bagaimana perbedaan
konsep sastra dan film yang turut memengaruhi terjadinya perbedaan atau perubahanperubahan dalam pelayarputihan.
Tabel 1. Perbedaan Konsep Sastra dan Konsep Film (disarikan dari materi kuliah Ekranisasi
S2 Sastra UGM oleh Prof. Dr. Chamamah Soeratno)
Konsep
Sastra
Film
Media
Bahasa
Audio-Visual
Penciptaan
Individu
Tim / Kelompok
Penikmatan
Pembaca individu
Penonton banyak
Kode
Berbicara lain dari persoalan faktor yang memengaruhi perubahan, berkaitan dengan
istilah atau teori ekranisasi itu sendiri, Damono (2005:96) membuat satu istilah alih wahana
yang memiliki ruang jangkau atau cakupan yang lebih luas dibandingkan dengan ekranisasi.
Damono menjelaskan bahwa alih wahana adalah perubahan dari satu jenis kesenian ke dalam
jenis kesenian lain. Alih wahana yang di maksudkan di sini tentu saja berbeda dengan
terjemahan. Terjemahan atau penerjemahan adalah pengalihan karya sastra dari satu bahasa
ke bahasa yang lain, sedangkan alih wahana adalah pengubahan karya sastra atau kesenian
menjadi jenis kesenian lain. Damono mencontohkan cerita rekaan diubah menjadi tari, drama,
atau film. Bukan hanya itu, alih wahana juga bisa terjadi dari film menjadi novel, atau bahkan
puisi yang lahir dari lukisan atau lagu dan sebaliknya. Lebih lanjut disebutkan bahwa di
dalam alih wahana akan terjadi perubahan. Dengan kata lain, akan tampak perbedaan antara
28
karya yang satu dan karya hasil alih wahana tersebut. Alih wahana novel ke film misalnya,
tokoh, latar, alur, dialog, dll. harus diubah sedemikian rupa sehingga sesuai dengan keperluan
jenis kesenian lain (Damono 2005:98).
Berdasarkan uraian konsep alih wahana di atas istilah tersebut tidak bertentangan
dengan makna dan konsep dasar yang dimiliki oleh ekranisasi sebagai proses pengubahan
dari satu wahana ke wahana lain. Ekranisasi justru menunjukkan adanya spesifikasi wilayah
kajian yang mengkhususkan bidikannya pada transformasi atau pengangkatan novel atau
karya sastra ke dalam film. Hal tersebut sekaligus menunjukkan peta wilayah/posisi teori
ekranisasi dalam wilayah kajian adaptasi maupun kajian bandingan.
Berbicara mengenai adaptasi, Hutcheon (2006) dalam bukunya Theory of Adaptation
menguraikan konsep-konsep adaptasi karya. Tentu saja, adaptasi di sini tidak saja adaptasi
karya sastra ke film saja. Bahkan ia menggarisbawahi bahwa jika pemahaman terhadap
adaptasi dibayangkan hanya bisa diterapkan atau diberlakukan terhadap novel ke film saja,
maka hal ini merupakan sebuah kesalahan. Adaptasi menurut Huctheon (2006:xi) dapat
diterapkan pada berbagia kemungkinan, seperti puisi, novel, drama, opera, lukis, lagu, tari,
dan sebagainya. Melalui kacamata posmodernisme, Hutcheon memandang ada enam hal atau
konsep yang terlibat atau turut berpengaruh dalam persoalan adaptasi, yaitu what (berkaitan
dengan bentuk atau media yang digunakan), who (berkaitan dengan siapa yang melakukan
adaptasi atau disebut juga adapter-nya), why (berkaitan dengan alasan atau faktor yang
menjadi alasan dilakukannya adaptasi), how (berkaitan dengan tanggapan audiens), where
dan when (berkaitan dengan konteks dalam adaptasi).
Melihat konsep alih wahana yang diungkapkan oleh Sapardi Djoko Damono dan
konsep adaptasi yang diungkapkan oleh Hutcheon, maka kedua teori atau konsep tersebut
memiliki kesejajaran atau kesamaan ruang. Dalam hal ini bisa diibaratkan alih wahana
Damono adalah istilah lain dari adaptasi Hutcheon. Istilah alih wahana merupakan
29
pengindonesiaan istilah untuk konsep seperti adaptasi yang berkembang di negara barat dan
kemudian diteorikan oleh Hutcheon. Melalui konsep ini, Damono menyorotinya dari sisi
wahana atau media yang digunakan dalam pengalihan dari karya satu ke karya yang lain
tersebut.
Ekranisasi, alih wahana, dan adaptasi juga erat kaitannya dengan resepsi. Hal ini juga
seperti diungkapkan oleh Hutcheon (2006:8) yang menyebutkan bahwa di dalam adaptasi
juga terdapat proses resepsi. Bagaimana pun ekranisasi, alih wahana, dan adaptasi sebagai
sebuah proses akan melibatkan proses resepsi pula. Kondisi ini dapat tergambar pada proses
transformasi, misalnya, dari novel ke film yang melewati satu tahapan, yaitu pembuatan
script atau skenario film. Pada satu tahapan ini telah menunjukkan adanya proses resepsi,
pembacaan dan penginterpretasian terhadap sebauh teks dan dituangkan kembali pada teks.
Seorang penulis skenario akan membaca kemudian meresepsi novel yang akan ditransformasi
ke dalam bentuk skenario. Demikian seterusnya proses ini akan terus berjalan sampai dengan
tahapan atau proses penggarapan filmnya, dari pengambilan gambar sampai dengan proses
editing. Tentu saja proses yang terlibat bukan saja resepsi, melainkan juga kreasi
(sebagaimana diungkapkan Hutcheon, 2006:8). Di dalam ekranisasi pasti terdapat aspek
pemaknaan atau interpretasi, terlebih jika pelayarputihan dilakukan oleh orang lain. Jika
mengaitkannya dengan konsep Iser (1987), maka persoalan ini merupakan resepsi, sebuah
penyambutan. Berkaitan dengan hal ini, ada satu konsep Iser (1987:20) yang terkait, yang
dikatakannya, bahwa pembacaan terhadap karya sastra berpusat pada interaksi antara struktur
dengan penerimanya, antara teks dengan pembacanya. Di dalam proses pembacaan dan
pemaknaan seseorang tidak dapat lepas dari adanya repertoire yang dimiliki oleh masingmasing pembaca, berupa pengetahuan dan pengalaman pembacanya. Oleh karena jika
dihubungkan dengan konsep Iser bahwa proses pelayarputihan sebagai proses pembacaan,
maka hal tersebut memiliki potensi munculnya pemaknaan yang berbeda dengan apa yang
dibacanya.
30
Dengan mencermati dan mendasarkan pada masing-masing konsep di atas maka dapat
disimpulkan di sini bahwa keempatnya memiliki kekerabatan teori antara satu dengan yang
lain. Penyimpulan ini setidaknya dengan melihat konsep dan cakupan yang dimiliki oleh
masing-masing teori atau istilah tersebut. Ekranisasi meruapakan istilah atau teori yang
merupakan bagian dari teori adaptasi. Sementara konsep alih wahana yang ditawarkan
Damono (2005) menurut penulis memiliki kesamaan cakupan kajian dengan adaptasi, hanya
saja Damono mencoba memberikan istilah lain dalam konteks Indonesia, yaitu alih wahana.
Sementara itu, di atas itu semua adalah teori resepsi yang memiliki cakupan lebih luas dan
selalu dimiliki atau ada pada tiap-tiap kejian tersebut. Berkaitan dengan pengerabatan ini,
berikut adalah diagram kekerabatan atau peta teori yang menunjukkan posisi teori ekranisasi
di antara teori yang lain.
Resepsi
Adaptasi/Alih Wahana
Ekranisasi
Hutcheon
menyebutkan bahwa hal ini terjadi karena posmodernisme merupakan fenomena mode yang
pembentukannya bersifat kontradiktif dan tidak terelakan ia bersifat politis. Manifestasi
posmodernisme ada dalam berbagai bidang kultural, seperti arsitektur, sastra, fotografi, film,
seni lukis, seni tari, dan seni musik.
Mode yang digunakan posmodernisme adalah mode sadar dan ironis atau bahkan
ironis. Hal ini sesuai dengan sifat umum posmodernisme yang mengambil bentuk
pernyataan yang sadar-diri (self-conscious), kontradiksi dengan diri sendiri (selfcontradictory), dan menghancurkan diri sendiri (selfundermining). Secara umum,
posmodernisme memiliki ciri khas komitmen yang condong ke arah kegandaan (doubleness)
atau duplisitas. Posmodernisme, dalam beberapa hal, bahkan merupakan proses yang tidak
bekerja dengan berat sebelah karena pada dasarnya aliran pemikiran ini bekerja membangun
serta mendukung dan sekaligus menghancurkan dan meruntuhkan konvensi serta
pengandaian yang ditentangnya. Hal ini berkaitan dengan minat awal yang dimiliki
posmodernisme, yaitu mendenaturalisasi aspek-aspek dominan dalam pola hidup manusia
yang bertujuan untuk menunjukkan bahwa entitas yang kita terima begitu saja tanpa berpikir
sebagai alamiah sebenarnya bersifat kultural, diciptakan, dan bukan terberi (given)
(Hutcheon 1991:1-2). Senada dengan itu, Faruk (2001:27) juga menjelaskan bahwa karya
posmodern berusaha menunjukkan bahwa entitasentitas yang dipisahkan itu bukanlah sesuatu
yang alamiah dan kodrati, melainkan hasil konstruksi sosial kultural, sehingga di antara kedua
32
entitas yang dipisahkan dimunkginkan untuk saling bersentuhan, mengisi, memperkuat, atau
mendekonstruksi, tidak secara imajinatif, melainkan juga empiris.
Akar definisi tersebut ada pada bidang paling awal minat posmodernisme, yaitu
arsitektur. Di dalam bidang ini dijumpai kontradiksi yang lebih dalam mengenai konsep
posmodernisme yang menjajarkan dan memberi nilai yang sama pada aspek refleksi diri
(self-reflexcive) dan didasarkan pada sejarah. Ada dua aspek di sini, yaitu aspek yang
mengarah-ke-dalam (inward-directed) dan aspek yang mengarah-ke-luar (outward-directed).
Pada aspek yang pertama, posmodernisme masuk ke dalam kategori dunia seni (seperti
parodi), sedangkan pada aspek kedua masuk ke dalam kategori kehidupan nyata (seperti
sejarah). Tegangan antara dua hal yang bertentangan tersebut akhirnya mendefinisi teks dunia
paradoks posmodern dan memunculkan politik yang tidak kalah kuat dan riil meskipun
diwarnai dengan kompromi (Hutcheon 1991: 2).
Hutcheon (1991:3) selanjutnya menyebutkan bahwa karya-karya posmodern tidak bisa
tidak, pasti bersifat politis. Transformasi cerpen Lt dan MJ ke film MBSMdengan
perubahan-perubahan yang terjadimengindikasikan adanya perubahan ideologi dan
perubahan tersebut bersifat politis. Berkaitan dengan hal tersebut Hutcheon (1991:3)
berpendapat sebagai berikut.
Postmodern art cannot but be political, at least in the sense that its representations
its images and storiesare anything but neutral, however aestheticized they may
appear to be in their parodic selfreflexivity. While the postmodern has no effective
theory of agency that enables a move into political action, it does work to turn its
inevitable ideological grounding into a site of de-naturalizing critique.
(Terjemahan bebas: Seni posmodern tidak bisa tidak bersifat politis, setidaknya dalam
pengertian bahwa representasinyacitra dan ceritanyanetral, bagaimanapun
representasi-representasi tersebut diestetikakan, sifat politisnya akan muncul dalam
refleksivitas-diri parodisnya. Biarpun posmodern tidak memiliki teori yang efektif
tentang agensi untuk bergerak ke arah tindak politis, ia bekerja dengan mengubah
dasar ideologinya yang tak dapat dihindari menjadi sebuah situs kritik denaturalisasi).
33
Pendapat tersebut didasarkan pada pemikiran Victor Burgin, seorang teoretikus dan
fotografer posmodern, mengenai politik representasi, yang mengkritisi pernyataan Roland
Barthes tentang ketidakmungkinan merepresentasikan yang politis. Roland Barthes
berpendapat bahwa Bila politik dimulai, maka peniruan (imitation) akan serta merta
berhenti (dalam Hutcheon 1991: 3). Barthes menjelaskan bahwa tidak mungkin
merepresentasikan yang politis, karena yang politis selalu menolak semua bentuk mimetik
yang meniru. Berangkat dari pemikiran tersebut, Burgin (dalam Hutcheon 1991:3)
berpendapat bahwa munculnya seni parodi sebagai bentuk seni posmodern memberi ruang
refleksi diri terhadap pemikiran Barthes. Seni parodi, dengan caranya yang ironis,
menggarisbawahi realisasi bahwa semua bentuk representasi kulturaltermasuk di dalamnya
sastra, visual, dan auralbaik dalam seni agung (karya seni yang dianggap kanonik) maupun
media massa (karya seni populer) adalah didasarkan pada ideologi tertentu, sehingga hal
tersebut tidak dapat dihindarkan keterlibatannya dengan hubungan sosial-politik dan aparatus
sosial-politik.
Karya-karya posmodern (misalnya novel) kerap mengangkat aspek-aspek ambiguitas
posisi posmodern yang lain. Adanya campur aduk paradoks antara sesuatu yang tampak
bertentangan itu sering kali muncul dalam representasirepresentasinya. Fiksi dan sejarah
sering dicampuradukkan. Dengan pencampuradukan semacam ini, kita tidak lagi dapat
membedakan antara yang fiksi dan yang riil, antara sejarah dan fiksi. Pencampuradukan
semacam ini merupakan pola khas dari posmodernisme. Tindakan yang demikian dilakukan
sebagai satu tawaran yang dipolitisasi dan hal ini pasti ideologis. Satu pernyataan teoretis
tunggal yang dapat digunakan sebagai dasar konseptual pandangan posmodern tentang politik
representasi yang demikian adalah konsep ideologi Louis Althusser, baik kehadirannya
sebagai representasi maupun sebagai bagian penting dan tidak terelakkan dari setiap totalitas
sosial (Althusser 1969 dalam Hutcheon 1991:6). Kedua poin tersebut memiliki nilai yang
34
35
ulang dari karya-karya yang telah ada (pastiche9 dalam konsepnya Jameson). Kritik tersebut
muncul dari mereka yang tahu sumber dari parodi dan juga mengenal teori yang medukung
penjelasan kehadiran parodi tersebut. Betapa pun representasi yang netral itu diestetikakan
dalam refleksifitas parodisnya, seni posmodern tetap akan menampakkan sifat politisnya. Hal
ini
berkaitan
dengan
pendasaran
kerja
posmodernisme
yang
ideologis
untuk
mendenaturalisasi situs kritiknya. Konsep doxa oleh Barthes sebagai opini publik atau suara
alam (Voice of Nature) dan konsensus publik, diadopsi Hutcheon untuk mengungkapkan
bahwa kerja posmodernisme adalah mendedoksifikasi representasi-representasi kultural kita
dan makna politis di dalamnya yang tidak terbantahkan (Hutcheon 1991:3).
Kenyataan
tidak pernah dan tidak akan pernah natural karena di dalamnya ada
ideologi, dengan atau pun tanpa media massa sebagai media yang menaturalisasi representasi
kenyataan seperti yang dikemukakan Broudrillard 10 (Hutcheon 1991:33). Seperti pandangan
Althuserian mengenai ideologi bahwa ideologi merupakan produksi representasi, jadi
sebenarnya ideologilah yang memproduksi representasi.
Dalam The Concise Oxford Dictionary of Literary Term (via Piliang 2003: 187) pastiche diartikan sebagai karya sastra
yang disusun dari elemen-elemen yang dipinjam dari berbagai penlis lain atau dari penulis tertentu di masa lalu. Pengertian
senada juga uraikan dalam A Dictionary of Modern Critical Terms (1987). Sebagai karya yang memiliki unsur pinjaman, ia
memiliki konotasi negatif: miskin kreatifitas, originalitas, keontetikan, serta kebebasan. Antara padodi (Hutcheon) dengan
pastiche memang sering kali dikaburkan. Antara keduanya memang memiliki kesamaan kategori estetik dan sekaligus
perbedaan. Kesamaannya terletak pada kebergantungannya terhadap teks, karya, penulis, atau seniman sebelumnya. Namun
demikian, Hutcheon juga memberi penjelasan adanya perbedaan antara keduanya, yaitu pada model relasinya dengan teks
atau karya yang dirujuk. Kalau pastiche (menurut Hutcheon) lebih beroperasi berdasarkan prinsip kesamaan dan keberkaitan,
sedangkan parodi mencari, menggali, dan menonjolkan perbedaan-perbedaan dengan teks rujukan. Pastiche disebut juga
dengan imitasi murni dan tanpa pretensi, Jameson menyebutnya parodi kosong. Dalam konsep ini, Hutcheon menyebutkan
bahwa ada kesamaan sekaligus perbedaan antara pastiche dan parodi. Persamaannya adalah keduanya sangat bergantung
pada teks, karya, atau gaya masa lalu sebagai rujukan atau titik berangkatnya. Sedangkan perbedaannya, pastiche
menjadikan teks, karya, atau gaya masa lalu sebagai titik berangkat dari duplikasi, revivalisme, atau rekonstruksisebagai
ungkapan simpati, penghargaan, atau apresiasi; sementara parodi menjadikannya sebagai titik berangkat dari kritik, sindiran,
kecamansebagai ungkapan ketidakpuasan atau sekadar ungkapan rasa humor (Piliang 2003: 191). Hutcheon
mendefinisikan parodi sebagai pengulangan yang dilengkapi dengan ruang kritik, yang mengungkapkan perbedaan
ketimbang persamaan. Dengan demikian, Hutcheon memberi arti parodi sebagai satu bentuk imitasi, bukan imitasi murni,
melainkan imitasi yang tidak dicirikan oleh kecenderungan ironik.
10
Baudrillard memandang bahwa media massa sebenarnya hanya mengelabui keberadaan ideologi di dalamnya dengan
tahapan-tahapan sebagai berikut; pertama media massa merefleksikan kenyataan, kemudian menyembunyikannya dan
membelokkan kenyataan untuk kemudian menutupi ketiadaan kenyataan itu sehingga akhirnya memproduksi dan
menggantikan simulakra kenyataan. Tetapi pandangan Baudrillard ini menuai kontroversi, salah satunya adalah pernyataan
Tickner yang mengatakan bahwa realitas menjadi mungkin dimaknai melalui sistem tanda yang teroganisasi dalam wacana
tentang dunia (Hutcheon, 1991:33)
36
Ada pun ideologi sendiri menurut Althusser adalah sebuah gambaran tentang
hubungan imajiner antara individu-individu dengan kondisi-kondisi eksistensi mereka yang
riil atau nyata (Althusser 2007:191). Bagi Althusser (2008:xvi) ideologi bukanlah kesadaran
palsu melainkan sesuatu yang profoundly unconcius, sebagai hal-hal yang secara mendalam
tidaklah disadari. Ideologi adalah segala yang telah tertanam dalam diri individu sepanjang
hidupnya, sebagai produk sejarah sehingga seolah-olah menjelma menjadi sesuatu yang
alamiah. Ideologi menjadi efektif ketika dia memateri, ada pun tujuan dari semua ideologi
adalah subjek, yaitu individu di dalam masyarakat, dan peran ideologi adalah membentuk
individu menjadi subjek (Balsey 1990:58). Ideologi bekerja dengan cara merekrut subjeksubjek di antara individu-individu atau mengubah individu-individu menjadi subjek-subjek
dengan cara yang presisi.
Ideologi bekerja dengan cara memanggil kita menjadi subjek ideologi tersebut.
Praktik-praktik Ideologi didukung dan direproduksi dalam institusi-institusi
dalam
masyarakat yang disebut Ideological State Apparatuses yang bekerja tanpa paksaan.
Sementara Repressive State Apparatuses (RSA) bekerja dengan cara sebaliknya yaitu dengan
merepresi individu untuk menjadi subjek ideologi tertentu dengan memberikan sanksi tegas
pada pelangaran yang dibuat.
Subjek-subjek ideologi mereproduksi ideologi dalam berbagai bentuk representasi,
oleh karena itu kehadiran representasi tidak pernah tidak ideologis. Ketika representasi
tersebut ideologis, maka tidak dapat dihindarkan bahwa ideologi itu akan menyelinap menjadi
tindakan politis. Sehubungan dengan peralihan dari cerpen Lt dan MJ menjadi film MBSM,
dari representasi cerpen menuju film, maka dapat dipastikan perubahan-perubahan ideologis
yang munculdilihat dari sisi posmodernismemerupakan pergerakan politis. Oleh karena
itu, teori Hutcheon mengenai politik posmodernisme digunakan menguak persoalan
pergerakan politis dalam penelitian ini.
37
kerja metode ini seperti cara karja bandingan, yaitu membandingkan dua karya atau lebih,
dan dalam hal ini yang akan dibandingkan adalah cerpen Lt dan MJ serta film MBSM sebagai
hasil transformasinya.
Sehingga langkah kerja analisis penelitian ini adalah menganalisis secara bolakbalik dari
ranah sastra ke ranah film dan sebaliknya, demikian seterusnya. Metode ini dipakai untuk
menganalisis perubahan-perubahan yang terjadi dalam transformasi karya sastra ke film (dari
cerpen Lt dan MJsebagai sistem sastra ke film MBSMsebagai sistem film) dan
selanjutnya perubahan-perubahan tersebut akan dikaji lebih lanjut dengan menggunakan
perspektif posmodernisme Hutcheon.
Langkah-langkah yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama,
adalah langkah inventarisasi data. Kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh data-data yang
diperlukan dalam penelitian ini. Data diambil dari objek material dalam penelitian iniyaitu
cerpen Lt, cerpen MJ, dan film MBSMseperti telah disebutkan di atas. Data-data tersebut
berupa unsur-unsur sastra dan unsur-unsur film yang menunjukkan adanya perubahan.
Langkah ini dilakukan dengan menggunakan konsep ekranisasi, dengan melihat
perubahanperubahan unsur cerita di dalam sastra di dalam film. Langkah ini dilakukan
dengan cara membandingkan unsur-unsur yang ada di dalam sastra dan perubahannya di
dalam film.
Kedua, adalah langkah pemilahan data. Data yang telah terkumpul selanjutnya dipilah-pilah
sesuai dengan kebutuhan penelitian ini, yaitu dengan melihat aspek-aspek pengaruh
perubahan yang terjadi. Ketiga, adalah langkah analisis. Langkah ini dilakukan untuk
menganalisis data yang telah berhasil digali dari langkah sebelumnya. Untuk menganalisis
data-data tersebut dilakukan dengan menggunakan perspektif posmodern Hutcheon. Melalui
analisis ini akan diperoleh hasil analisis berupa bentuk-bentuk perubahan yang terjadi dalam
39
objek material penelitian ini, yaitu perubahan-perubahan yang dipengaruhi oleh aspek
ideologis dan politis dalam perpektif posmodernisme Hutcheon.
Dalam bentuk skema, pemikiran dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
CerpenLt
Film MBSM
CerpenMJ
40
karya transformasi yang turut serta membawa perubahan ideologi tersebut juga mememiliki
aspek politis.
1.8
Sistematika Penulisan
Pembahasan ekranisasi terhadap cerpen Lt dan MJ ke film MBSM disajikan dalam
bab-bab sebagai berikut. Pada Bab I disajikan pengantar yang berisi latar belakang penelitian,
rumusan masalah, tujuan penelitian tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan
sistematika penulisan. Bab II menguraikan ciri-ciri posmodernisme dua karya tersebut serta
mendeskripsi perubahan-perubahan yang terjadi dalam transformasi cerpen Lt dan MJ ke film
MBSM. Bab III akan memaparkan wujud perubahan ideologis dan politis yang muncul dalam
ekranisasi cerpen Lt dan MJ ke film MBSM. Bab IV merupakan bagian akhir yang berisi
simpulan dari seluruh analsis pada bab-bab sebelumnya.
BAB II
PERUBAHAN-PERUBAHAN YANG MUNCUL DALAM
TRANSFORMASI CERPEN Lt DAN MJ KE DALAM FILM MBSM!
41
2.1
unsur perubahan yang cukup signifikan dalam pelayarputihan dua cerpen Lt dan MJ ini. Oleh
karena itu, perubahan alur cerita menjadi salah satu aspek perubahan yang menjadi perhatian
peneliti untuk diteliti dan kaji lebih jauh berkaitan dengan arti perubahannya, tentu dengan
tidak melepaskan hubungannya dengan tokoh utama dalam cerita. Hal ini dalam kaitannya
dengan tokoh utama yang menjadi sentral penceritaan, sehingga perubahan dan hal-hal-yang
terjadi di dalam cerita akan dihubungkan dalam relasinya dengan tokoh utama.
Terkait dengan pernyataan Hutcheon (1991: 3) yang menyebutkan bahwa karya-karya
posmodern tidak bisa tidak, pasti bersifat politisseperti juga telah dikutip dalam bagian
42
landasan teori penelitian ini, pelayarputihan cerpen Lt dan MJ ke film MBSM dengan
perubahan-perubahan yang terjaditermasuk salah satunya perubahan alurmenunjukkan
adanya ciri-ciri posmodern serta mengindikasikan adanya perubahan ideologi dengan
perubahan yang bersifat politis.
Sebelum dibahas bagaimana perubahan alur yang terjadi di dalam film sebagai hasil
transformasi karyanya, terlebih dahulu dibahas alur cerita di dalam cerpen Lt dan MJ. Hal ini
bertujuan agar dapat telihat secara lebih jelas perubahan alur dari cerpen ke film. Analisis alur
cerpen dilakukan dengan membaginya ke dalam sekuen-sekuen cerita di dalam cerpen. Baru
pada bagian selanjutnya akan dibahas adegan-adegan di dalam film. Dengan pembahasan
model ini diharapkan dapat terlihat runtutam cerita yang dibangun dalam film MBSM sebagai
hasil transformasi dari cerpen. Analisis dengan cara demikian dipilih dengan alasan bahwa
perubahan alur cerita yang terjadi di dalam film cukup signifikan jika dibandingkan dengan
alur di dalam cerpen. Film memiliki cerita sendiri dengan alur dan latar sendiri pulayaitu
cerita Adjeng dewasa. Sedangkan cerita di dalam cerpen masuk ke dalam film menjadi
potongan-potongan fragmen dan flashback dari kisah yang dialami oleh Adjeng sebagai tokoh
utama. Dengan model pembahasan ini diharapkan dapat menunjukkan di mana cerpen hadir
atau bagaimana cerpen dihadirkan di dalam film, mengingat cerpen adalah sumber
transformasi dalam pelayarputihan ini.
43
Pembahasan sekuen-sekuen cerita di dalam cerpen Lt ini akan dilakukan dengan cara
membahasnya ke dalam event-event cerita. Hal ini bertujuan untuk dapat melihat lebih detail
event demi event yang membentuk sekuen, sehingga alur cerita cerpen dapat dilihat dengan
lebih jelas. Rangkaian dan penggarapan cerita dapat tampak lebih jelas. Dengan demikian,
diharapkan perubahan alur di dalam film sebagai transforminya dapat tampak lebih jelas.
Berikut adalah sekuen-sekuen cerita dari cerita pendek Lt.
Sekuen 1
Event a
44
keadaan. Dalam beberapa waktu Saya sering mendengar Ibu dan Lintah tertawatawa di dalam kamar serta suara desahan Ibu dan Lintah berbaur jadi satu.
Event f
Event ini dalam rangka fungsi menunjukkan adanya fakta cerita: orang
tua yang tidak mendukung atau membela anaknya yang telah menjadi korban
pemerkosaan atau pelecehan seksual, dan sebaliknya justru semakin menekannya.
45
Sekuen 2:
Event
a
: Ketika sedang di luar rumah, Ibu menaruh lintah di saku, lalu lintah
membelah masuk ke kantung saku Saya tanpa sepengatahuan Ibu.
Akan tetapi, ia tidak berani mengadu kepada Ibu, takut dimarahi Ibu.
Event ini dalam rangka fungsi menunjukkan kelicikan tokoh Lintah.
Event e : Setelah berhasil membelah dan masuk ke kantung Saya dan tidak
diketahui oleh Ibu, Lintah pun lalu membelah menjadi banyak, menyusup ke
kantung, balik baju, ke perut, bahkan ke seluruh tubuh Saya. Saya pun
semakin membenci lintah dan mulai membenci
Ibu.
Event ini dalam rangka fungsi menguatkan sifat liciknya Lintah.
46
Sekuen 3:
Event
a
Event
b
Event ini dalam rangka fungsi menunjukkan sisi rindu yang kadang
kala dimiliki atau datang pada Saya.
: Kedamaian itu berubah kekecewaan dan kekesalan. Ketika ia sedang
merebahkan dirinya di kamar, tiba-tiba Lintah muncul di
hadapannya.
Lalu melucuti pakaian dan melumat tubuhnya.
Event ini dalam rangka fungsi menunjukkan kesengsaraan atau
ketidaknyamanan
Saya dengan
hadirnya
Lintah dalam
kehidupannya.
Rangkaian sekuen demi sekuen dari cerita pendek Lt tersebut membentuk alur sebuah
cerita. Berdasarkan rangkaian sekuen tersebut, bisa diketahui bahwa alur cerita yang dimiliki
oleh cerpen Lt adalah alur maju. Sedangkan sudut pandang yang digunakan dalam cerita
pendek tersebut adalah sudut pandang orang pertama. Hal ini ditunjukkan dengan
penggunakan kata saya untuk menyebut diri si pencerita. Berikut kutipan yang menunjukkan
adanya hal tersebut.
Ibu saya memlihara seekor lintah. Lintah itu dibuatkan sebuah kandang yang
mirip seperti rumah boneka berlantai dua, lengkap dengan kamar tidur, ruang
makan, ruang tamu dan kamar mandi di tempatkan di sebelah kamar Ibu. Saya
selalu merengek kepada Ibu untuk memelihara hewan lain, namun Ibu bersikeras
memlihara lintah itu dan mempertahankannya sebegai hewan peliharaan tunggal di
rumah kami.
Saya penyayang binatang. Namun saya sangat benci kepada lintah. Lintah tidak
pernah puas atas apa yang dimilikinya. Begitu juga dengan rumah pribadi istimewa.
Sepulang sekolah, sering saya temui lintah itu duduk di sofa ruang tamu kami.
Kadang ia mengganggu saya ketika sedang menonton televisi dengan mengganti
saluran seenak hati. Bahkan ia sering kedapatan sedanag pulas tertidur di atas tempat
tidur saya, dan tentunya membuat sayang mengurungkan niat untuk beristirahat.
(DMA 2004: 11)
48
yang sejak kecil memiliki kesenangan melukis. Mayra adalah anak tunggal
sehingga waktunya banyak dihabiskan untuk melamun tanpa adanya teman.
Untuk mengisi kekosongan waktunya, Mayra mulai melukis seorang ibu yang
tengah memangku dirinya dengan hangat dan mesra. Tiap kali pulang sekolah
Mayra hanya disambut dengan kelenganan, maka ia langsung masuk kamar dan
berbicara dengan lukisannya.
Event ini dalam rangka fungsi menunjukkan gambaran keadaan diri
dan keluarganya, hidupnya yang sendiri dan hanya berteman lukisan
yang dibuatnya.
Event b
: Pada event ini diceritakan kalau Mayra mulai berkeluh kesah kepada
lukisan itu tentang teman-temannya yang suka mengganggunya,
meraba-raba payudara dan kemaluannya hingga menjadikan teror
bagi dirinya tiap kali berangkat sekolah. Mayra pun mendengar
suara Ibu dengan lembut yang mengatakan kalau semua akan baikbaik saja.
49
Sekuen 2
Event a
Event ini dalam rangka fungsi tidak adanya perhatian pada rumah,
tidak adanya perubahan dan perkembangan.
Event b
: Setelah Mayra melihat tidak ada foto Ibu, Mayra berlari ke kamar
dan menangis. Lalu mengeluarkan lukisan Ibu. Mayra mulai
menumpahkan kekecewaan-kekecewaannya: tentang janji Ibu kalau
semua akan baik-baik saja, tentang kepuasannya meninju temannya
hingga hidungnya berdarah tentang ayah yang tak pernah
menceritakan asal-usul Ibu, tentang ayah yang tak pernah ada di
rumah atau menghabiskan waktu mengetik seharian di kamar
kerjanya kalau pas di rumah. Hingga akhrinya ia merasakan
ketenangan dalam belaian dan senandung ibunya.
50
51
Event c
: Pintu kamar ayah dibuka oleh seorang wanita, tetapi masih terlalu
muda, sehingga Mayra berpikiran kalau tidak mungkin dia Ibunya.
Mayra lalu masuk ke kamar dan membuka lukisan Ayah.
Event f
52
53
Event b
: Mayra melukis jendela yang besar tanpa tirai dan menghadap ke
sebuah dunia yang ia inginkan. Mayra sering kali masuk ke dalam
jendela itu dan merasakan kebebasan, menikmati apa yang ia
inginkan.
Event d
54
Event g
Mayra. Bahkan ranjang juga masih rapi. Hanya kertas-kertas bergambar jendela
yang Bi Inah temukan. Lalu Bi Inah mengetuk pintu kamar majikannya, tetapi
hanya dibuka oleh seorang wanita dan mengatakan kalau tuannya masih tidur. Bi
Inah hanya menghela nafas dan tahu kalau Mayra telah pergi dan tak akan
kembali.
Event ini dalam rangka fungsi menunjukkan kesadaran dan
kepahaman yang dimilikibahkanoleh pembantu (orang lain) bukan oleh
ayahnya sendiri (orang tua).
Dari rangkaian sekuen-sekuen cerita dari cerpen MJ ini dapat diketahui bahwa alur
yang digunakan di dalam cerpen tersebut adalah alur mundur atau flashback. Selain itu, sudut
pandang yang digunakan di dalam cerpen ini adalah sudut pandang orang ketiga. Pencerita
adalah orang yang ada di luar cerita, tetapi ia tahu peristiwa-peristiwa yang dialami oleh
tokoh. Sudut pandang ini dapat terlihat di dalam beberapa contoh kutipan cerpen berikut.
Sejak kecil Mayra senang melukis. Sebagai anak tunggal ia menghabiskan
banyak waktu hanya dengan melamun tanpa seorang pun untuk diajak bicara.
Maka ia mulai melukis seorang ibu, bersanggul dan berkebaya emas dengan
selendang cokelat muda yang kontras dengan kain berwarna cokelat tua yang
dikenakannya, sedang duduk memangku Mayra sambil menatap mata Mayra
hangat dan mesra. Setiap Mayra pulang sekolah, disambut dengan kelengangan
dan kesejukan dari dalam rumahnya yang ber-AC, ia akan segera masuk kamar dan
menghabiskan waktu bercakap-cakap dengan lukisan itu.
Ia berkeluh kesah tentang teman-teman prianya di sekolah yang kerap
meraba-raba payudara dan kemaluannya sehingga menyebabkan teror dalam
dirinya setiap berangkat ke sekolah. Ia mendengar Ibu dengan lembut mengatakan
segalanya akan membaik esok hari. Mayra mengecup Ibu lalu mendekapnya
hingga tertidur. (DMA 2004: 31-32)
Dari kutipan tersebut terlihat pencerita menggunakan kata Mayra (menyebut nama
tokoh) dan ia (kata ganti orang ketiga untuk menyebutkan tokoh) di dalam penceritaanya.
Penggunaan nama tokoh dan kata orang ketiga, ia misalnya, menunjukkan ciri sudut
pandang yang digunakan di dalam cerita tersebut adalah sudut pandang orang ketiga.
56
11 Scene atau adegan adalah suatu segmen pendek dari keseluruhan cerita yang memperlihatkan satu aksi
berkesinambungan yang diikat oleh ruang, waktu, isi (cerita) tema, karakter, atau motif. Satu adegan biasanya
terdiri atas beberapa shot yang saling berhubungan. (Pratista 2008: 183) 2 Untuk memudahkan penyebutan tokoh
Adjeng (dalam konteks ini adalah tokoh Adjeng di dalam film, karena juga tokoh ini hanya ada di dalam film
sebagai transformasi tokoh Maha dan Mayra), mengingat di dalam film terdapat tiga perbedaan karakter tokoh
Adjeng, maka selanjutnya akan digunakan nama tokoh atau penyebutan tokoh sebagai berikut: 1) Adjeng
untuk karakter Adjeng dewasa/besar, 2) Adjeng SD untuk penyebutan tokoh Adjeng yang berusia SD atua
duduk di bangku SD, dan 3) Adjeng SMP untuk penyebutan karakter tokoh Adjeng yang masih duduk di
bangku SMPsesuai dengan cerita di dalam film.
57
keluar dan disabut dengan tepuk tangan yang sangat meriah oleh para penonton.
Ibu pun mulai menyanyi.
Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan sosok ibu yang telah
menjadi idola bagi publik.
Adegan 03 : Di adegan 03 ini cerita berpindah ke semuah kamar dan seorang
gadis kecil, kira-kira berusia antara 9 tahun (selanjutnya di sebut Adjeng SD).
Malam itu ia sedang menulis kalimat Ibu saya cantik di dalam bukunya. Akan
tetapi, tampaknya tidak puas dengan tulisan tersebut. Lalu ia menghapus kata
cantik dalam rangkaian kalimat tersebut.
Adegan 05 : Dalam adegan ini, cerita menyambung cerita dalam adegan 03, yaitu Adjeng SD
yang dalam adengan 03 ia menulis kalimat Ibu saya cantik, tetapi kemudian
menghapus kata cantik , di dalam adegan ini ia menulis kata baik untuk
mengisi kata cantik yang di hapus tadi. Sehingga yang tertulis sekarang adalah
Ibu saya baik. Tetapi seolah tidak puas lagi ia menghapus kata baik.
58
Adegan 06 : Adegan kembali ke ruang konser. Ibu masih menyanyi dengan penuh
perasaan, dengan anggun dalam balutan gaun merah. Penonton tampak tersihir
oleh penampilannya.
Adegan ini dalam rangka fungsi menguatkan gap antara perasaan ibu
dengan anaknya, anaknya terhadap ibunya, serta orang lain terhadap ibunya.
Bahwa yang dikagumi oleh orang lain sebaliknya menjadi momok bagi anaknya
sendiri.
Adegan 07 : Cerita kembali ke Adjeng SD, kini ia menulis kata anggun untuk
mengganti kata baik yang telah dihapusnya tadi. Sekarang yang
tertulis adalah Ibu saya anggun. Tetapi seolah masih tidak puas ia kemudian
menghapus kata anggun.
Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan bahwa kata baik,
anggun, cantik (seperti yang disebutkan orang lain kepada ibunya) tidak bisa
diiyakan oleh anaknya sendiri.
Adegan 08 : Cerita kembali lagi ke ruang konser. Di dalam adegan ini tampak Ibu
selesai
menyanyikan
lagu.
Sorak-sorai
dan
tepuk
tangan
penonton
59
Adegan 09 : Dalam adegan ini cerita kembali lagi ke kamar Adjeng SD. Ia
tampak menulis kata monyet. Sehingga yang tertulis adalah Ibu saya
monyet. Adjeng SD tampak sedemikian larutnya ia dalam kesibukan menulis
sehingga tak menyadari kalau sedari tadi ia sudah diperhatikan oleh ibunya yang
sudah berdiri di belakangnya. Melihat apa yang ditulis oleh anaknya, Ibu
tampak mengernyitkan dahi begitu Adjeng SD selesai menuliskan kalimat di
halaman baru bukunya. Di atas kertas itu tertulis, IBU SAYA, MONYET! Lalu
Ibu mendorong kepala Adjeng SD hingga kepala Adjeng SD terantuk keras di
atas meja.
60
Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan sikap Adjeng yang kuat
untuk keluar dari kungkungan rutinitasnya, dari sesuatu yang tidak sedang
menjadi mood-nya menuju yang dia suka.
Adegan 13 : Di dalam adegan ini dilukiskan sebuah suasana diskotek malam hari,
dengan musik yang kencang dan gaduh. Orang-orang banyak sedang dugem.
Adjeng tampak juga bergoyang sendirian di dekat meja dengan minuman
tampak di atas meja bar.
Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan gaya hidup Adjeng
yang bebas, menentukan jalan hidupnya sendiri.
Adegan 14 : Dalam beberapa detik adegan berpindah ke cerita Ibu di kamar
tidurnya. Di bawah lampu remang-remang Ibu tampak duduk di atas tempat
tidur sambil memegang gagang telepon tampak sedang menelepon. Wajahnya
terlihat gelisah bercampur kesal. Setelah beberapa lama menunggu, ia pun
belum mendapatkan jawaban dari orang yang diteleponnya. Nada tunggu terus
berbunyi.
62
Adegan 16 : Cerita dalam adegan ini kembali ke kisah Ibu yang masih duduk di
atas tempat tidur sambil sibuk menelepon, wajahnya terlihat semakin cemas
bercampur kesal. Setelah beberapa lama menunggu, ia meletakkan gagang
telepon lalu mematikan lampu di atas meja samping tempat tidurnya dan tidur.
63
Tanpa memerdulikan, Adjeng terus menuju salah satu bilik dan muntah di
sebuah kloset.
Adegan 18 : Dari adegan 17, cerita berpindah ke adegan yang terjadi di kloset
kamar mandi lain. Di sana yang ada adalah Adjeng SD yang sedang muntah di
kloset. Tak lama kemudian muntahan itu bergulunggulung dalam pusaran air
sebelum masuk ke dalam closet. Setelah itu Adjeng SD lantas bergegas keluar
kamar mandi tanpa memerhatikan masih ada sisa muntahan sayur di dalam
kloset. Saat ia membuka pintu, ternyata Ibu sudah berdiri di luar kamar mandi.
Ia tersentak namun berusaha untuk tenang. Pada saat itu kemudian terjadi
dialog dan Ibu memarahi Adjeng SD. Pada akhir adegan ini, Adjeng SD dipaksa
mengambil dan memakan kembali muntahan sayur itu yang sudah ada di kloset
menggunakan mulutnya. Akan tetapi, ia pun memuntahkannya kembali.
64
65
tiba-tiba harus berhenti karena Adjeng mendapat telepon dari Ibunya. Menerima
telepon itu pun Adjeng tampak begitu hormat, nurut, dan bertutur lembut,
hingga teman-temannya disuruh diam. Adegan ditutup dengan pulangnya
Adjeng ke apartemen setelah mendapat telepon tersebut. Meskipun kesal, ia
harus pulang. Ia takut kalau Ibunya mengecek keberadaannya di apartemen.
Pertemuan itu pun ditutup Adjeng dengan mengatakan Selamat hunting
pada teman-temannya.
Adegan 25 : Adegan ini merupakan adegan antara Adjeng, Andien, dan laki-laki
yang dibawa Andien. Adegan ini terjadi di ruang tamu apartemen Adjeng.
Di sini dilukiskan Adjeng berjalan menuju pintu, lalu membuka
pintu tersebut. Andien muncul dan diikuti seorang Lelaki. Andien mengatakan
kalau ia mendapatkan mangsa, sambil ia memberi kode tangan kepada Adjeng.
Adjeng pun paham maksud Andien lalu menyuruh mereka masuk. Ketika
66
melihat Andien mau masuk ke kamar, Adjeng menghalangi dan menunjuk sofa
sebagai tempat mereka karena kamarnya akan dipakai untuk ngetik.
Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan bebasnya cara hidup Adjeng dan kawankawannya.
67
Adegan 29 : Berhenti di sana adegan 28, kemudian beralih ke adegan yang terjadi
di kamar apartemen Adjeng. Akan tetapi, yang muncul di gambar adalah tokoh
Adjeng SD yang tengah duduk meringkuk gemetaran di di pojok kamar Adjeng.
Berhenti di situ adegan berpindah ke adegan 30.
Adegan 31 : Adegan ini terjadi di beranda sekolah. Adjeng SMP sedang duduk
sendiri sambil menggambar sosok perempuan berwajah sangat mirip dengan Ibu
yang menjemput Adjeng SD. Tetapi sosok yang digambarnya terlihat lebih
anggun dalam balutan kebaya coklat muda. Di atas gambar sosok perempuan
itu, ia menuliskan kata IBU SAYA.
Dari arah lain, datang tiga orang anak laki-laki (ANTON, KOKO,
dan HENDRA). Mereka berjingkat-jingkat menghampiri Adjeng SMP yang
tengah asyik menggambar. Anton yang berperawakan lebih besar dibanding ke
dua temannya itu merebut gambar dari pangkuan Adjeng SMP. Adjeng SMP
marah dan berusaha merebut kembali gambarnya. Tetapi mereka malah
mempermainkannya dengan melemparkan gambar dari satu tangan ke tangan
69
lainnya. Salah satu dari mereka pun mulai meledeki Adjeng SMP. Karena kesal,
Adjeng SMP pun meninju Anton.
Adegan 33 : Pada adegan ini tergambar Bi Inah yang sedang menyetrika lukisan Ibu milik
Adjeng SMP.
70
Adegan 36 : Di kamar Adjeng SD menatap lurus ke layar kaca tv. Menatap Ibu
yang seperti sedang tersenyum untuknya. Sedangkan di belakangnya, Pacar Ibu
sedang berjalan ke arahnya lalu memegang dan meremas bahunya. Wajah
Adjeng SD semakin tegang. Di bahunya sudah menempel seekor lintah.
Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan gambaran keadaan
71
yang cukup ironis: Lintah yang berani melakukan perbuatan tidak senonoh
kepada Adjeng bahkan di hadapan ibu, ibu yang seolah tidak mau tahu atau
diam saja dengan keadaan yang menimpa Adjeng anaknya, dan Adjeng yang
terpaksa hanya bisa pasrah menerima keadaan yang menimpanya.
Adegan 38 : Di ruang makan Pacar Ibu sedang menata makanan di atas meja
makan, berikut tiga set piring makan. Setelah merasa yang ditatanya sempurna,
ia berhenti dan memandangi dengan puas hasil karyanya.
Pada saat itu terdengar suara mesin mobil menggema di garasi lalu
berhenti. Tak lama kemudian Ibu dengan wajah kuyu dan dandanan tebal yang
belum sempat dibersihkan muncul di mulut pintu. Wajah lesunya berubah ketika
melihat pacarnya berdiri di sebelah meja makan. Pandangan Ibu beralih ke meja
makan. Melihat apa yang tersaji di sana, dengan segera ia menatap kembali sang
pacar yang sedang memandanginya mesra. Gantungan kebaya coklat muda yang
sedang dipegangnya serta merta ia campakkan begitu saja di atas kursi.
Pacar Ibu lalu menarik salah satu bangku yang terdekat dari
tempatnya berdiri dan mempersilahkan Ibu duduk dengan gaya pelayan
professional. Ibu tertawa tertahan. Ibu duduk di kursi yang sudah dipersiapkan.
Pacar Ibu duduk di sampingnya, mengecup Ibu. Ia bergidik kegelian ketika sang
pacar mencium kelopak telinganya. Lalu dengan mesra mereka berciuman.
Tangan pacar ibu mulai menggerayangi payudara Ibu. Tiba-tiba Ibu
72
73
74
Adegan 39 : Di kamar Adjeng SMP sedang berkaca di depan meja rias. Wajahnya
terlihat pucat. Tetapi ia berusaha tersenyum demi menyembunyikan
kesedihannya. Setelah yakin, ia pun beranjak dari duduknya. Tertatih
ia berjalan keluar kamar sambil menyembunyikan luka bekas gigitan
lintah di balik kerah bajunya.
75
Adegan
Adegan 41 : Di dalam mobil, dalam perjalanan mengantar Adeng SD ke sekolah,
Lelaki itu terlihat memindahkan persneling, sambil menyempatkan
juga menyentuh paha Adjeng SD. Sesudah tangannya melepas
persneling, terlihat lintah menempel di atasnya lalu pelan-pelan
merayap di paha Adjeng SD.
76
77
Adegan
jawaban dari dalam kamar. Ibu mulai terlihat marah. Kini ia
menggedor pintu. Pintu tetap tidak dibuka. Ibu mulai histeris. Ibu
memukul, menggedor, dan menendangi pintu dengan membabi buta
sambil berteriak segala sumpah serapah. Tak berapa lama kemudian,
Ibu mulai lelah. Ia terduduk dengan lunglai di depan pintu sambil
menangis terisak-isak. Adjeng SD yang sedari tadi diam ikut duduk
di sebelah Ibu.
Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan perpindahan pikiran Adjeng pada
kenangan masa lalu.
Adegan 47 : Cerita berlanjut ke sebuah lorong rumah hantu. Lorong itu tampak
gelap. Sesekali beberapa hantu muncul di depan mata. Akhirnya
sampai di depan pintu keluar lorong rumah hantu. Pintu terbuka.
Cahaya menyeruak masuk ke dalam.
78
hidupnya.
Adegan 48 : berpindah ke sebuah pasar malam. Suasana pasar malam
hingar bingar dengan berbagai macam wahana dan atraksinya.
Adjeng SMP terlihat bingung di tengah keramaian. Ia berjalan
kesana-kemari mencari Ayah. Ia pun menanggil-manggil ayahnya,
Pah Papah Kakinya menginjak sejenis kertas krep warna
merah yang tercecer di tanah. Adjeng SMP hampir menangis karena
tidak
juga
menemukan
Ayah.
Ia
terus
mencari
sambil
Adegan 49 : Di dalam elevator telunjuk Adjeng memijit tombol tutup pada panel
elevator. Pintu elevator tertutup. Ting! Pintu elevator terbuka.
Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan perpindahan dan
pengembaraan pikiran dan bayangan masa lalu dari satu kejadian ke
kejadian lainnya.
Adegan 50 : Lalu Adjeng berjalan gontai keluar dari dalam elevator menelusuri
lorong apartemen. Di sepatunya menempel kertas krep yang sama
dengan kertas krep yang diinjak Adjeng SMP di Pasar Malam.
79
Adegan
Adjeng berjalan menjauhi elevator menuju kamar Apartemennya dan
membuka pintu. Lorong tampak kosong dan sepi setelah Adjeng
masuk kamar. Bahkan hingga pagi, lorong masih tetap sepi tanpa
seorang pun lewat.
80
B) Ibu dan Adjeng di counter kosmetik. Adjeng memajukan bibir, Ibu mengoleskan
gincu dengan hati-hati. Setelah selesai Adjeng melihat bayangan wajahnya di kaca
bulat. Ibu terlihat puas, tetapi warna yang dipilihnya terlalu merah untuk Adjeng.
Adjeng menggelengkan kepala sambil tertawa melihat bayangan wajahnya di
cermin, ia lalu menyeka bibirnya dengan tissue.
81
Adegan
Adegan-adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan bagaimana
kasih sayang dan perhatian ibu kepada anaknya, keinginan
ibunya pada anaknya, tetapi yang tidak sepadan dengan
keinginan anaknya dan yang anaknya tangkap.
Adegan 54 : Adegan ini berlatar di supermarket. Adjeng terlihat
mendorong
trolley di koridor rak-rak makanan dalam supermarket.
Ibu mengikuti dari belakang sambil melihat-lihat. Adjeng
tampak sedang mencari-cari barang. Kemudian ia
bertanya pada Ibu, Di mana Mom? Kemudian Ibu
menjawab, Mungkin di rak sebelah kali. Adjeng pun
menuju rak sebelah. Ketika ia sedang mencari barang
yang dituju, di hadapannya terlihat Pacar Ibu sedang
bersama dengan Adjeng SD. Tatapan mata mereka pun
saling bertemu. Ketika Adjeng sedang tercenung dan
terheran dengan hal tersebutia dikejutkan dengan suara
Ibu, Dapet kan?. Ibu telah berdiri di ujung lorong
sambil tersenyum memandang ke arahnya. Tangannya
sudah penuh dengan berbagai macam barang, lalu berjalan
menghampiri Adjeng yang tersentak, lalu berusaha
tersenyum ke arah Ibu.
Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi menunjukan kuatnya
bayangan masa lalu.
82
83
Adegan
Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi melukiskan sakit hati
Adjeng atas perlakuan Asmoro, kekasihnya.
Adegan 57 : Cerita berlanjut ke adegan 57. Adjeng baru saja keluar pintu
kamar
mandi. Asmoro sudah berdiri di sana. Adjeng bengong.
Andien dan Venny bergegas keluar.
Ayah
dengan
panggilan
mas,
apakah
ia
84
dengan
cara
jalan
yang
aneh,
cenderung
85
Adegan
acuh. Ia mengulurkan tangan untuk berkenalan sembari
menyebutkan
namanya,
tetapi Adjeng
SMP tidak
menyambutnya.
Dari balik pinggangnya yang rata, terlihat pintu kamar Ayah terbuka.
Ayah kelihatan juga habis mandi. Ayah muncul dengan
berpakaian santai namun rapi. Lalu mengajak Nov pergi.
Nova mencium ke dua pipi Adjeng SMP lalu berjalan dengan cara
yang
sangat
berlebihan
mendekati
Ayah.
Ayah
ayahnya. Sedangkan
86
mengelak
sementara
kedua
temannya
Adegan 61 : Cerita dalam adegan ini terjadi dalam keluarga Adjeng SMP.
Cerita
diawali dengan Music Box yang berputar mengeluarkan
suara musik lullaby. Lalu muncul Adjeng SMP dan Ayah
membawa kue ulang tahun, dan berjalan bersijingkat
keluar menghampiri Ibu yang tengah duduk sambil
membaca sebuah buku di halaman luar. Lalu keduanya
menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Melihat itu Ibu
berlagak tak acuh. Ia malah meneruskan bacaannya
87
Adegan
dengan tampang serius. Melihat itu, Adjeng SMP lalu
mencolek krim dari kue ulang tahun dan mengoleskannya
ke wajah Ibu. Lalu diikuti oleh ayah. Sambil tertawa geli
Ibu membalas perlakuan mereka.
Perlahan-lahan pemandangan keluarga bahagia itu semakin mengecil
terbingkai jendela yang ternyata adalah gambar jendela yang
dibuat oleh Adjeng SMP, berubah menjadi lukisan.
Adegan-adegan tersebut memiliki dua kemungkinan fungsi, pertama
dalam rangka fungsi menguatkan impian dan keinginan
hadirnya keluarga ideal bagi Adjeng, kedua menunjukkan
asal-muasal sebuah keluarga atau dengan kata lain sebagai
titik temu dua cerpen yang diangkat ke dalam film ini,
bahwa ibu dan ayah adalah suami istri yang kemudian
berpisah atau bercerai.
88
89
Adegan
kontradiksi cara hidup ibu dan Adjeng anaknya.
Adegan 65 : Adegan berpindah ke halaman luar rumah. Tampak Ibu
sedang
dalam salah satu gerakan yoga dengan buku TTS di
depannya dan telepon di samping kanannya. Mendadak ia
berhenti dari gerakkannya, mengambil posisi duduk, lalu
meraih telepon dan memencet beberapa tombolnya. Dia
pun menelepon Adjeng, untuk minta bantuan mengisi
TTSnya.
Adegan-adegan tersebut lagi-lagi dalam rangka fungsi menunjukan
perbedaan gaya hidup ibu yang sehat dan teratur dengan
Adjeng, anaknya, yang bebas dan lekat dengan rokok dan
alkohol.
90
dendamnya
cuma
ditujukan
kepada
Ibu,
91
Adegan
perempuanperempuandan perempuan. Sadar
nggak kamu Djeng? Kalo bukan karena ulah
bapakmu...kalau bukan karena ulah dia yang dengan
gampangnya ninggalin kita, nggak mungkin ada
kejadian ini.
Nggak mungkin!
Merasa tidak ada lagi yang harus diucapkan, Ibu memutar badan lalu
keluar. Meninggalkan Adjeng diam tak bergerak di kursi.
Sunyi.
Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi menunjukan betapa
salah sikap dan tindakan Adjeng di mata Ibunya. Ini
menguatkan keadaan tragisnya nasib yang dialami Adjeng.
92
93
Adegan
pada sebuah bingkai foto yang memuat foto Venny dengan
tulisan Mommy di atasnya, foto Suami Venny dengan
tulisan Daddy di atasnya. Sedangkan di tengahnya masih
kosong. Di atas tempat kosong tersebut terbaca tulisan
Baby.
Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi melukiskan sisi
kesadaran dan titik lemah manusia, kerinduan pada
keluarga.
Adegan 71 : Cerita kemudian berpindah lagi ke Andien yang tampak baru
sampai
ke rumah. Dalam adegan ini terlihat Andien membuka pintu
kamar,
tampaknya kamar anaknya. Setelah melongok ke dalam ia
menemukan tempat tidurnya kosong, masih tertata rapi
tanpa sedikit pun tanda telah ditiduri. Hanya beberapa
mainannya tampak terlihat bercecer di atas ranjang. Ia lalu
berjalan menuju kamar lain. Andien menghela nafas lalu
melangkah keluar.
Andien sampai di kamar lain, kamar pembantu. Melalui jendela
dilihatnya sang anak tertidur sangat lelap dikeloni baby
sitter
yang
belum
sempat
mengganti
rok
putih
94
pun
meledak.
Lalu
pemain
piano
atau
benar-benar
karena
karyanya
yang
95
Adegan
mengingatkan agar naik mobilnya berhati-hati.
Asmoro
menggeleng-gelengkan
kepalanya
96
97
Adegan
dalam keadaan mesin nyala. Tanpa ada sepatah kata pun
yang keluar dari mulutnya. Adjeng kemudian memutus
sambungan telepon tersebut lalu pergi dengan mobilnya.
Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi menunjukan hadirnya
rasa rindu untuk kembali pada ibu yang selama ini
dibencinya, dimusuhinya.
Adegan 77 : Dalam adegan ini diceritakan kalau Adjeng baru saja sampai
di
apartemennya. Begitu sampai, ia langsung memijit tombol
Answering machine lalu melangkah menuju kamar mandi.
Dari sana terdengar beberapa pesan yang masuk. Di
98
antaranya
mengucapkan
selamat
atas
dimuatnya
Adegan 78 : Di dalam adegan ini dilukiskan Boss baru keluar dari kamar
Adjeng
lalu berjalan sepanjang lorong sambil bersiul-siul. Tampak
sekali keceriaan terpancar di wajahnya. Di tengah jalan ia
99
Adegan
berpapasan dengan Asmoro. Tetapi mereka berdua acuh tak
acuh. Selang beberapa langkah melewati Boss, Asmoro
sepertinya mengingat sesuatu. Ia membalikkan badannya
untuk sekali lagi menatap si Boss yang sedang masuk ke
dalam elevator.
Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi menunjukan pola
hidup Adjeng yang bebas dan menerobos norma.
Adegan 79 : Dalam Adegan ini terlihat Adjeng sedang membereskan
tempat tidur
dan menggantri sprei. Lalu muncul Asmoro berdiri di
belakang pintu. Adjeng pun menyuruh Asmoro mandi,
tetapi ia tidak mau, malah mengatakan kalau Adjeng yang
harus mandi, dengan nada mencibir. Adjeng pun pergi
mandi.
Begitu selesai mandi, Adjeng keluar dari dalam kamar mandi. Ia lalu
mendekati Asmro yang tidur terlentang masih seperti
posisi semula dengan bantal menutupi mukanya. Adjeng
menghampiri Asmoro, mengangkat bantal dari mukanya
dengan lembut, lalu mengecup bibirnya. Namun Asmoro
malah menepis Adjeng lalu berbalik badan. Dari situ
akhirnya berujung perang mulut antara Adjeng dengan
Asmoro. Berbagai kemarahan dilontarkan oleh keduanya.
Asmoro pun melontarkan kritik-kritiknya terhadap sikap
100
membekap
muka
Adjeng
dengan
bantal.
101
Adegan
bayangan peristiwa masa lalu yang menimpa Adjeng yang
kembali hadir dipikirannya.
Lintah
datang
menhampirinya
sudah
102
103
Adegan
karangan Adjeng tersentak bangun. Serta merta ia meraih
telepon di samping tempat tidurnya.
Ibu duduk di atas tempat tidur sambil memijit nomor telepon yang
hendak dituju. Terdengar nada sambung. Ibu menunggu
jawaban tetapi tak kunjung ada jawaban. Ibu lalu
menyibakkan selimutnya.
Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi menunjukan betapa
hubungan ibu dengan anak tak pernah putus, ibu bisa ikut
merasakan apa yang sedang dirasakan anaknya.
104
masih menyambung.
105
Adegan
sekolah berhenti di depan sebuah rumah. Beberapa saat
kemudian muncul dari arah kiri mobil Adjeng SMP dan
Adjeng SD berrangkulan. Lalu dari depan mobil tampak
tergesa-gesa Asmoro muncul dan membukakan pintu
mobil untuk Adjeng SMP dan Adjeng SD. Mereka berdua
pun masuk. Mobil kemudian tampak pergi melewati jalan
paving tersebut.
Saat mobil melintas, datang berpapasan gerobak makanan keliling
lalu berhenti di sebuah rumah. Lalu tampak muncul Bi
Inah menghampiri, dan dari rumah sebelahnya muncul Ibu
juga menghapiri gerobak makanan keliling dan menyapa
Bi Inah. Sedangkan dari rumah depan tempat gerobak tadi
berhenti, muncul Ayah dengan pakaian rapih berdasi
menghampiri mobil yang dari tadi terparkir di depan
rumahnya, di jalan berpaving. Bersamaan dengan itu,
muncul dari arah belakang kamera Pacar Ibu dengan
pakaian oleh raga dan hancuk kecilnya sedang joging. Ia
pun sempat menyapa ayah ketika berpapasan lewat tepat
di sampingnya. Ayah pun melambaikan tangannya. Lalu
masuk ke dalam mobilnya. Suara telepon pun masih terus
mengiringi.
Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi sebagai pengacauan
106
alur cerita.
Adegan 90 : Cerita berlanjut ke mobil antar jemput yang tengah melewati
jalan
paving, tampak berbelok dari halaman rumah. Terlihat
dari dalam Adjeng SMP dan Adjeng SD melongok ke luar
jendela mobil dan melambaikan ke arah atas. Sedangkan
di kamar apartemennya Adjeng tampak tengah mengamati
ke arah bawah dari jendela yang dibukak kordennya, lalu
ia tampak membalas lambaian Adjeng SMP dan Adjeng
SD. Adjeng tampak tersenyum lalu kembali terdiam dan
menghisap rokoknya. Adjeng belum juga berhenti
mengamati suasana di luar, di bawah, dari jendela kamar
apartemennya. Sementara suara telepon belum juga
berhenti. Lalu dari mulutnya telontar kata-kata, Ibu
saya. Tiba-tiba terdengar suara Ibu dari telepon
memenggilnya, Jeng Adjeng pun tergagap menoleh
ke belakang, ke arah telepon, dan bergegas mau meraih
telepon. Akan tetapi urung, ia kemudian melangkah
menuju meja tempat ia menulis lalu duduk di kursi di
depan laptopnya. Setelah mematikan rokoknya di asbak,
ia pun mulai menulis. Ibu saya memelihara seekor
lintah Dari situ cerita pun berakhir.
Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi sebagai pengacauan
107
Adegan
alur cerita dan menunjukkan sifat skizofenia Adjeng, yang
tak lagi bisa membedakan pikiran dan kenyataan.
108
analisis dilakukan dengan cara melihat alur cerita di dalam film dan
selanjutnya melihat di mana bagian cerita cerpen masuk ke dalam
rangkaian alur cerita film tersebut. Hal ini dilakukan atau dilihat
berdasarkan urutan-urutan sekuen sebagaimana yang telah di bagi pada
pembahasan sub-sub sebelumnya.
Film memiliki alur campuran. Hal ini terlihat dari penggarapan
cerita dengan menggunakan flashback dan alur maju secara bersamasama dan bergantian. Latar waktu cerita film berbeda dengan latar
cerita cerpen. Latar cerita film adalah masa Adjeng sudah
dewasa/besar, sedangkan masa cerpen berkisah tokoh Maha dan Mayra
yang masih anak-anak, masih duduk di bangku SD dan SMP.
Sementara
itu,
model
penggarapan
alurnya
adalah
model
109
Adegan
Untuk melihat penggarapan alur cerita film dan bagaimana arus
masuknya event-event cerita dalam cerita pedek Lt dan MJ ke dalam
adegan-adegan film MBSM digambarkan dalam diagram dan dijabarkan
sebagai berikut.
(http://en.wikipedia.org/wiki/Deus_ex_machine).
110
111
Adegan
Keterangan diagram:
= menunjukkan event pertama (diabjadkan dengan kode
a) dari sekuen 1. Sedangkan Lt menunjukkan cerpen
Lintah.
= menunjukkan adegan, angka 1 menunjukkan adegan
pertama dari film MBSM.
= menunjukkan alur masuk event dalam cerpen ke
adegan dalam film. = menunjukkan adegan yang sama
dari adegan yang dilekati, atau berarti flashback dari adegan tersebut.
Berdasarkan diagram di atas bisa dilihat ada beberapa event
yang ditransformasi masuk ke dalam cerita film. Seperti pada cerpen Lt
misalnya, ada lima event yang masuk ke bagian cerita film, yaitu event
1.a masuk di adegan 10 dan 11; 1.d masuk di adegan 26, 27, dan 28; 2.a
di adegan 02, 04, 06, 08; 2.c di adegan 54; 2.d di adegan 36 dan 80;
serta 2.e di adegan 41, 77, 81, dan 82. Sedangkan dari cerpen MJ ada
tiga event yang masuk ke dalam adegan-adegan film, antara lain: event
1.c ke adegan 31 dan 60; 3.a ke adegan 58; dan event 3.d ke adegan 61.
Untuk memperjelas ilustrasi event cerita cerpen yang masuk ke
adegan di dalam film berikut diberikan contoh kutipan event cerpen dan
gambar beserta dialog dalam adegan film.
Event Lt 1.a cerpen Lt dan adegan 10 film MBSM
Event tersebut berisi cerita Ibu Maha yang memelihara seekor
Lintah dan dibuatkan kandang yang mirip dengan rumah boneka
berlantai dua. Maha sering kali merengek, meminta Ibunya untuk
112
mengganti lintah dengan binatang lain, tetapi Ibu bersikeras tidak mau.
Berikut kutipan cerpen dan gambar adegan 10 filmnya.
Ibu saya memlihara seekor lintah. Lintah itu dibuatkan
sebuah kandang yang mirip seperti rumah boneka berlantai dua,
lengkap dengan kamar tidur, ruang makan, ruang tamu dan kamar
mandi di tempatkan di sebelah kamar Ibu. Saya selalu merengek
kepada Ibu untuk memelihara hewan lain, namun Ibu bersikeras
memlihara lintah itu dan mempertahankannya sebegai hewan
peliharaan tunggal di rumah kami.
( DMA 2004: 11)
Event Lt 1.d cerpen Lt dan adegan 26, 27, dan 28 film MBSM
113
Adegan
Lt 1.d bercerita tentang keingintahuan Adjeng pada suatu hari
pada apa yang terjadi di dalam kamar Ibu. Adjeng lalu mengintip dari
sela-sela tirai dan melihat Ibu dengan Lintah sedang di sana. Lintah
menjulurkan lidahnya dan meneteskan liurnya, sedangkan Ibu menelan
habis liur itu. Berikut kutipan cerpennya.
Pada suatu hari Minggu, keingintahuan saya mendesak
kuat. Saya mengintip dari sela-sela tirai yang sedikit terbuka
ke dalam kamar Ibu. Dan saya sangat kaget melihat seekor
ular yang merah menyala. Lidahnya menjulur keluar dan
liurnya menetes ke bawah. Saya sangat jijik melihatnya.
Namun Ibu dengan rakusnya menelan habis liur ular itu
tanpa menyisakan satu tetes pun! Yang lebih
mencengangkan lagi, ular itu lalu berangsur-angsur
mengecil, saya tak bisa membayangkan sebelumnya bila
ular itu tidak lain adalah lintah. (DMA, 2004: 12-13)
Berikut cuplikan gambar dan dialog adegan 26, 27, MBSM
dan 28
. film
MBSM
Gambar 2. Rangkaian adegan 26, 27, dan
28 film
114
Adjeng
Adjeng
Andien
Adjeng
115
Adegan
adegan yang berkisah Adjeng SD dan Adjeng SMP yang berupa
pengembangan cerita dari adegan dalam cerpen. Akan tetapi, secara
eksplisit cerita tersebut tidak hadir dalam cerpen. Adegan-adegan
tersebut antara lain adegan 03, 05, 07, 09, 18, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 36,
39, 40, 41, 45, 48, 54, 58, 59, 60, 61, 62, 77, 80, 81, 82, 85, 89, dan 90;
selebihnya cerita berkisah Adjeng dewasa. Cerita yang berkisah Adjeng
SD dan SMP, seperti event lain dari cerpen yang masuk ke dalam alur
film, berbentuk potongan-potongan fragmen, kadang-kadang juga hadir
sebagai bayangan pikiran dari tokoh Adjeng saja.
Cerita kini film MBSM adalah cerita ketika Adjeng telah
dewasa. Cerita dikembangkan mengikuti kisah yang dialami oleh tokoh
utama serta tidak pernah lepas dari peran tokoh utama. Karakternya
menjadi kunci jalannya cerita. Hal ini dapat dilihat, misalnya, dalam
relasi antara tokoh Adjeng dengan tokoh Ibu. Ketika dewasa, Adjeng
tumbuh menjadi sosok yang memiliki double bladge character, yaitu
karakter mendua ketika Adjeng sedang bersama Ibunya dan ketika
sedang bersama dengan teman dan pacarnya. Lebih tepatnya adalah
pasif dan agresif. Pasif ketika di hadapan ibunya dan agresif ketika
sedang bersama teman-teman dan kekasihnya. Keadaan ini sangat
dipengaruhi oleh masa lalunya (masa kecilnya), baik disebabkan oleh
ketidakpuasannya terhadap hubungan Ibu dengan Lintah maupun
pengalaman buruk atas tindakan Lintah terhadapnya, yang pada
akhirnya membentuknya menjadi memiliki double bladge character
116
seperti yang tampak pada saat ia dewasa (di film). Cerita kini justru
mendominasi cerita di dalam film. Seperti diungkapkan di depan, cerita
cerpen menjadi fragmenfragmen yang turut mengisi cerita keseluruan
film, menjadi flashback, di satu sisi ia berdiri sendiri, tetapi di sisi lain
juga tetap berhubungan dengan cerita secara keseluruhan. Berikut
cuplikan gambar adegan-adegan film yang menunjukkan
penceritaan
masa Adjeng kecil dan
masa Adjeng dewasa.
Gambar
3
117
Adegan
juga diutamakan pada tokoh yang mengalami perubahan mencolok,
maupun tokoh-tokoh yang hanya hadir di dalam film transformasinya
(tokoh baru).
]
14 Hal tersebut diketahui dari film. Potongan-potongan cerita yang hadir di dalam
film menunjukkan potongan cerita tersebut merupakan bentuk transformasi dari
cerpen Lt. Di dalam film MBSM tokoh ini digambarkan mengenakan pakaian
seragam sekolah dasar, atas hem putih dengan dasi dan logo sekolah dasar dan
bawah rok merah. Meskipun tidak ada dialog yang menunjukkan kalau Maha
(tokoh dalam Cerpen Lt) sedang belajar di sekolah dasar, hal tersebut cukup
memberikan gambaran akan hal tersebut.
118
119
Adegan
bagi Maha adalah hal tersebut juga kerap dilakukannya di kamar mandi
pada saat Maha sedang mandi.
Menghadapi perlakuan yang demikian beberapa kali Maha
berusaha
untuk
mengadukan
kepada
ibunya,
tetapi
ia
tidak
anaknya
seperti
yang
diharapkannya.
Seiring
dengan
120
121
Adegan
dengan melukis. Dalam lamunannya ia juga seringkali membayangkan
sesuatu yang dapat membahagiakannya, termasuk hadirnya seorang ibu
yang menyayanginya, memberikan perhatian kepadanya, sehingga ia
tidak merasa kesepian seperti saat sekarang ini.
Kalau di dalam cerpen Lt tokoh Maha hanya hidup bersama
ibunyatanpa adanya seorang ayahsebaliknya di dalam cerpen MJ
tokoh Mayra tinggal bersama ayahnyatanpa adanya seorang ibu. Dari
kedua cerpen tersebut terdapat perbedaan yang saling berkebalikan.
Tokoh utama di dalam cerpen pertama merindukan hadirnya ayah,
sementara di dalam cerpen kedua tokoh utama merindukan hadirnya
sosok ibu. Tokoh Mayra, dalam cerpen kedua, akhirnya juga
mengalami keputusasaan harapannya untuk dapat bertemu dan
memiliki sosok ibu yang diharapkannya hadir. Hal tersebut
digambarkan dengan kebiasaannya menggambar seorang wanita
berkebaya; dilanjutkan dengan menggambar sepasang foto keluarga
lengkap dengan seorang ayah, ibu, dan anak; kemudian ia pun melukis
jendela. Ujung dari semua pencarian dan harapannya adalah
kepergiannya. Hal tersebut digambarkan pada bagian akhir cerita dalam
cerpen tersebut. Berikut kutipannya yang menunjukkan hal-hal di atas.
. Maka ia mulai melukis seorang ibu, bersanggul
dan berkebaya emas dengan selendang cokelat muda yang
kontras dengan kain berwarna cokelat tua yang
dikenakannya, sedang duduk memangku Mayra sambil
menatap mata Mayra hangat dan mesra. Setiap Mayra
pulang sekolah, disamut dengan kelengangan dan kesejukan
dari dalam rumahnya yang ber-AC, ia akan segera masuk
kamar dan menghabiskan waktu bercakap-cakap dengan
lukisan itu. (DMA 2004: 31)
122
123
Adegan
Lt, yaitu Maha, dan Mayra dalam cerpen MJ, ditransformasi menjadi
tokoh dewasa bernama Adjeng di dalam film MBSM. Berikut cuplikan
gambar tokoh Adjeng di dalam film MBSM, tokoh yang ditandai
dengan angka 1, 2, dan 3 menunjukkan tokoh Maha (cerpen Lt)
sedangkan gambar dengan angka 4, 5, dan 6 menunjukkan tokoh Mayra
(dalam cerpen MJ).
bentukan hasil transformasi tokoh Maha dan
, dari
Mayra
kecil ke besar
.
Gambar
4.
MBSM
Tokoh Maha dan Mayra di dalam
film. Pada rangkaian
gambar
124
Gambar5.
MBSM
Tokoh Adjeng dalam film
dan Mayra.
Tokoh utama filmAdjengadalah tokoh masa depan dari
cerpen Maha dan Mayra, atau sebaliknya Maha dan Mayra adalah
masa kecilnya Adjeng.
Artinya, Adjeng dewasa di film adalah masa dewasa Adjeng kecil di
cerpen yang dihadirkan sebagai Maha dan Mayra. Peristiwa ini
merupakan aktivitas transformasi tokoh yang cukup signifikan yang
terjadi di dalam pelayarputihan karya sastra Indonesia. Maha dan
Mayra sebagai tokoh utamabahkan Maha berperan juga sebagai
narator dalam cerpen Ltdi dalam cerpen tidak dihadirkan sebagai
Maha dan atau Mayra dengan sosok dan latar waktu yang relatif sama
dengan dirinya, melainkan cukup jauh rentang waktunya.
Selain itu, karakter tokoh Adjeng dewasa di dalam film juga
merupakan sisi perubahan signifikan yang lainnya. Adjeng dewasa
adalah penggambaran tokoh yang bebas, yang hidup dalam lingkungan
dan gaya kosmopolitan. Adjeng dewasa adalah sosok yang memiliki
karakter mendua. Di satu sisi Adjeng adalah sosok yang menurut dan
125
Adegan
patuh di hadapan Ibunyameskipun menurut dan patuh tetapi juga
tidak menurut dan patuhsedangkan di sisi lain ia menjadi pribadi
yang sangat agresif dan bebas ketika sedang bersama dengan
temantemannya. Di sini tokoh Adjeng menjadi sebuah simbol gaya
hidup masyarakat yang posmodern. Pembahasan lebih jauh mengenai
keposmoan dan sisi politis perubahan transformasi tokoh akan di bahas
di bab tiga penelitian ini.
126
apakah Maha masih duduk sekolah dasar atau sekolah lanjut. Berikut
kutipan yang menjelaskan hal tersebut.
Sepulang sekolah, sering saya temui lintah itu
duduk di sofa ruang tamu kami. Kadang ia mengganggu
saya ketika sedang menonton televisi dengan mengganti
saluran seenak hati. Bahkan ia sering kedapatan sedang
pulas tertidur di atas tempat tidur saya, dan tentunya
membuat saya mengurungkan niat untuk beristirahat. (DMA
2004: 11-12)
Tokoh Ibu adalah seorang wanita yang memiliki anak
perempuan bernama Maha. Ia tidak memiliki pekerjaan tetap melainkan
sebagai penyanyi lepas yang job-job manggungya tidak memiliki
jadwal yang pasti. Sesekali ia manggung dalam beberapa jam saja,
tetapi dalam kesempatan lain ia menggung berpindahpindah dari satu
tempat ke tempat lain, dari satu koa ke kota lain. Ibu dan Maha
diceritakan tinggal dalam sebuah rumah. Tokoh Ibu digambarkan di
dalam teks sebagai single parent bagi Maha anaknya.
Selain kedua tokoh tersebut juga ada tokoh lain bernama Lintah
di dalam cerpen tersebut. Lintah adalah laki-laki yang menjadi teman
dekat Ibu, pacar Ibu. Di dalam teks cerpen diceritakan kalau kehadiran
Lintah sebenarnya ditolak oleh Maha. Ia tidak senang kalau Ibu
berteman dekat dengan lelaki tersebut. Apalagi ia sering mengganggu
istirahat Maha, sampai dengan menidurinya baik di kamar tidur
maupun di kamar mandi saat ia sedang mandi. Akan tetapi, ketika
Maha berusaha mengadu kepada Ibunya dengan harapan mendapat
127
Adegan
perlindungan dari Ibu, justru Maha sebaliknya, ia dianggap mengadaada dan melebih-lebihkan. Panggilan Lintah sebenarnya adalah sebutan
atau panggilan Maha untuk laki-laki teman Ibunya.
128
129
Adegan
mengenakan kebaya emas dan selendang cokelat muda.
(DMA 2004: 34)
Di dalam teks cerpen di atas dilukiskan kalau kehadiran sosok
ibu hanyalah ilusi, bayangan, atau harapan dari seorang Mayra saja.
Akan tetapi, kenyataannya sosok ibu tidak pernah hadir secara nyata.
Selain tiga tokoh utama di atas, tokoh lain yang hadir di dalam
cerita pendek MJ ini adalah teman-teman sekolah Mayra. Mereka
adalah segerombolan anak laki-laki yang kerap mengganggunya di
sekolahan, mulai dari merebut dan mengeledek gambar wanita yang
dibuat oleh Mayra sampai dengan meraba-raba payudara dan
kemaluannya hingga menyebabkan teror baginya tiap kali berangkat ke
sekolah. Akan tetapi, pada kesempatan yang berbeda Mayra justru
berani melawan mereka dan meninju salah satu dari teman lelakinya
yang suka menggodanya.
130
131
Adegan
penulis cerita anak di sebuah majalah majalah anak. Hal lain yang
membedakan dengan tokoh ini sebelum ditransformasi adalah karekter
tokohnya. Di dalam cerpen, tokoh tersebut memliki karakter pendiam
(sering merenung dan berdiam diri), masih memiliki kecenderungan
berpegang pada norma, serta merindukan pada idealitas sebuah
bangunan rumah tangga, yaitu ada ibu, ayah, dan anak. Akan tetapi,
karakter Adjeng di dalam film cenderung menerobosi apa-apa yang ada
di dalam cerpen. Norma telah diterobosinya. Keadaaan justru
dijungkirbalikan. Sesuatu yang baginya dirasa sakit atau menyakitkan,
di film justru dilakukannya dengan
132
Durasi
tersebut
waktu
juga
dalam
merupakan
memperlihatkan
salah
satu
yang
penyebab
133
Adegan
sekolah yang dijemput ibunya dalam film, maka murid-murid lain
dimunculkan walaupun tanpa komunikasi. Sementara Venny dan
Andien, hadir sebagai teman Adjeng dewasa, adalah dalam rangka
fungsi menunjukkan perilaku Adjeng dewasa yang bebas dan
mengekplorasi pandangan-pandangannya mengenai parenting dan
berpasangan. Ideologi Adjeng dikomunikasikan dan ditunjukkan
dengan pergaulannya bersama teman-temannya tersebut. Demikian
pula pacar Adjeng dewasa, kehadirannya dalam cerita film juga untuk
menunjukkan ideologi Adjeng terhadap tubuhnya, bahwa dialah
controller atas tubuhnya. Dia berpasangan dengan Asmoro, pria beristri
yang juga menjadi mentornya, tetapi di saat yang sama dia berpacaran
dengan laki-laki kaya yang membayar kebutuhan hidupnya, Boss.
Kehadiran redaktur, anak Andien, suami Venny, istri Asmoro,
serta pembantu Ibu juga tak luput dari transformasi komunikasi
ideologi yang berbeda media dari cerpen ke film. Konflik dan
perbedaan ideologis antartokoh menjadi visible dan audible yang
menuntut aksentuasi ulang dan pemfokusan ulang pada tema, karakter
dan plot (Hutcheon 2006: 40). Dengan demikian kehadiran tokohtokoh
baru dalam membangun konflik baru dengan ideologi baru adalah
berubah sesuai dengan media. Akan tetapi munculnya alur penceritaan
baru yang menyebabkan perbedaan signifikan antara cerita cerpen ke
134
film ini memiliki alasan ideologis dan politis tersendiri yang akan
dibahas lebih lanjut dalam bab selanjutnya.
Berikut adalah diagram transformasi tokoh dari cerpen ke film.
Tokohdalam
CerpenLt:
- Maha
- Ibu
- Lintah
ditrans
formasi
Tokoh dalam
CerpenMJ:
- Mayra
- Ayah
- Bi Inah
- Perempuan muda
- Teman
-teman
sekolah Mayra
Mayra
- Adjeng
- Ibu
- Ayah
- Lintah
- Bi Inah
- Teman SMP Adjeng
- Nova
- Teman SD Adjeng
- Andien
- Anak Andien
- Venny
- Suami Venny
- Pacar Adjeng
- Asmoro
- Redaktur
- Boss
- Lelaki
- Istri Mentor
- Pelayan Bar
- Pengunjung Bar
Diagram
4 . Transformasi
T okohCerpenLt dan MJ ke F ilm MBSM.
135
Adegan
Judul
Maha
Ibu
Lintah
Karakter Tokoh
- perempuan
- kecil
- sekolah
penyanyi
single parent
pacar Ibu
lelaki anak band
Lintah
RANAH FILM
Transforma
si tokoh di
film
Adjeng*)
Ibu
Lintah
Karakter Tokoh
- perempuan
- besar/dewasa
- bekerja sebagai
penulis cerita anak
di sebuah majalah
anak
- penyanyi
- single parent
- pacar Ibu
- lelaki anak band
(tidak ada
penggambaran atau
cerita secara lebih
spesifik dan detail
yang bisa
menggambarkan
Temanteman
SD Adjeng karakter tokoh,
melainkah hanya
(kecil)**)
dimunculkan tanpa
kontak
khususlangsung
dengan tokoh
Adjeng)
136
Mayra
Melukis
Jendela
- perempuan
- kecil
- sekolah (SD lalu
masuk
SMP)
Adjeng*)
- perempuan
- besar/dewasa
- bekerja sebagai
penulis cerita anak
di sebuah majalah
anak sebuah
majalah
- kerja kantor
- single parent
- seorang penulis
- pengusaha
Ayah
terkenal
- single parent
Bi Inah
- pembantu
- laki-laki
- teman sekolah
Anton
Mayra
suka
mengganggu
Mayra
Temanteman- laki-laki
sekolah
- suka mengganggu
Mayra yang Mayra
lain
Temanteman - laki-laki
sekolah
- suka mengganggu
Adjeng
Adjeng SMP
(kecil)**)
Ibu
Wanita
muda
- perempuan
- tokoh yang hanya
hadir dalam
alam pikiran
Mayra,
merupakan
tokoh rekaan
dari Mayra,
diwujudkan
dalam bentuk
lukisan seorang
ibu.
(tidak
ada
penggambaran
karakter lebih
detail)
Ayah
Bi Inah
Anton
Nova
- pembantu
- laki-laki
- teman sekolah
Adjeng SMP
- suka mengganggu
Adjeng
(kecil)
- perempuan
- pacar Ayah
137
Adegan
-
Venny
Andin
Pacar
Adjeng
Asmoro
Redaktur
Koko
Hendra
Pembantu
Suami
Venny
Anaknya
Andien
Pelayan Bar
Pemain
Piano
- dua orang
138
Istri Mentor
Keterangan:
*) = tokoh yang sama (satu tokoh)
**) = tokoh Adjeng yang digambarkan masih kecil, tokoh ini hadir
dalam scenescene film yang berbentuk fragmen-fragmen atau
sebagai flashback. Kalau dikembalikan ke dalam cerita di dalam
cerpen, tokoh Adjeng kecil di dalam film MBSM adalah tokoh
Maha di dalam cerpen Lt dan Mayra di dalam cerpen MJ.
= menunjukkan adanya tokoh ciptaan di dalam film
Mengingat
banyaknya
tokoh
yang
hadir
dalam
film,
pembahasan akan difokuskan pada tokoh utama, Adjeng, dan tokoh lain
yang berelasi kuat dalam membangun cerita. Hal ini bertujuan untuk
menyempitkan pembahasan dan untuk keperluan fokus bahasan sesuai
dengan tujuan penelitian ini. Dengan demikian, tidak semua tokoh akan
dibahas secara luas.
139
Adegan
cerpen dengan latar penceritaan di dalam film, berikut ini akan
diuraikan secara berurutan dari penjabaran latar penceritaan cerpen dan
kemudian diikuti dengan latar penceritaan film. Dengan cara demikian
diharapkan dapat terlihat perbandingan latar penceritaan kedua karya
tersebut yang menunjukkan adanya gerak perubahan latar dalam proses
transformasi kedua genre karya tersebut. Pembahasan latar waktu
penceritaan di sini akan dilihat dari sisi tokoh Maha dan Mayra, serta
tokoh Adjeng sebagai tokoh utama. Alasan pemilihan ini adalah di
samping tokoh-tokoh tersebut merupakan tokoh utama, cerita juga
terfokus ke arah cerita seputar tokoh utama. Hal ini pula yang
menunjukkan
adanya
perubahan
signifikan
di
dalam
karya
transformasinya.
Latar penceritaan cerpen adalah latar pada saat tokoh Maha dan
Mayra yang kemudian tokoh ini ditransformasi menjadi tokoh
Adjeng besar di dalam filmmasih kecil dan duduk di bangku
sekolah. Oleh karena tokoh Maha dan Mayra ada dalam dua cerita
pendek yang berbeda, maka untuk melihat latar penceritaan masingmasing cerita pendek tersebut akan diuraikan berdasarkan masingmasing cerpen sebagai berikut.
Di dalam cerita pendek yang pertama, Lt, latar waktu
penceritaan berkisah ketika tokoh utama, Maha, masih duduk di bangku
sekolah. Akan tetapi, di dalam cerpen itu sendiri tidak ada deskripsi
140
yang lebih jelas atau eksplisit menjelaskan apakah tokoh Maha duduk
di bangku sekolah dasar (SD) atau sekolah lanjutan (SMP). Teks cerpen
hanya menyebutkan kata sekolah yang menunjukkan kalau tokoh
Maha masih berusia sekolah, tetapi tanpa menyebutkan tingkatan
sekolah tersebut. Berikut kutipan cerpennya.
Saya penyayang binatang. Namun saya sangat benci
kepada lintah. Lintah tidak pernah puas atas apa yang
dimilikinya. Begitu juga dengan rumah pribadi istimewa.
Sepulang sekolah, sering saya temui lintah itu duduk di sofa
ruang tamu kami. Kadang ia mengganggu saya ketika
sedang menonton televisi dengan mengganti saluran seenak
hati. Bahkan ia sering kedapatan sedanag pulas tertidur di
atas tempat tidur saya, dan tentunya membuat sayang
mengurungkan niat untuk beristirahat. (DMA 2004: 11)
Hari itu terik matahari begitu menyengat. Seragam
sekolah saya basah oleh peluh yang tidak kunjung berhenti
menetes. Sesekali saya rasakan perih saat setitik peluh jatuh
tepat pada luka-luka bekas gigitan lintah. (DMA 2004: 16)
Di dalam dua kutipan teks cerpen di atas terlihat adanya
penyebutan sekolah tetapi tanpa keterangan tingkatan sekolah
tersebut, sekolah dasar atau sekolah menengah. Hal ini berbeda dengan
cerita pendek yang kedua. Di dalam cerpen MJ, ada satu deskripsi yang
menceritakan latar waktu penceritaan saat sekolah tokoh utama Mayra.
Berikut kutipan cerita pendeknya.
Sudah hampir dua tahun sejak Mayra menyayat mukanya.
Ayahnya marah besar dan memindahkan Mayra ke sekolah lain
dengan alasan malu. Mayra tidak pernah menceritakan apa yang
sebenarnya terjadi. Ia sudah cukup bahagia dipindahkan ke
sekolah lain dan mendapatkan reaksi dari Ayah. Ia berterima kasih
141
Adegan
kepada Ibu dan kini ia melukis Ayah untuk disandingkan dengan
lukisan Ibu.
Siang itu Mayra sangat bahagia. Setelah dinyatakan lulus
Sekolah Dasar dengan nilai cemerlang, ia di terima masuk
Sekolah
Menengah Pertama yang diinginkannya. Sesampainya di
rumah, mobil Ayah masih terparkir di garasi. Ia bergegas ke
dalam lalu mengetuk pintu kamar ayahnya unuk berbagi
kegembiraan.
(DMA 2004: 34-35)
Di dalam kutipan teks cerpen tersebut disebutkan kalau tokoh
Mayra setelah lulus dari Sekolah Dasar lalu ia diterima di Sekolah
Menengah Pertama. Dari kutipan tersebut juga dapat diketahui bahwa
latar waktu penceritaan di dalam cerpen MJ ini adalah saat tokoh
Mayra duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Di dalam cerita
ini Mayra tinggal bersama Ayahnya, tanpa hadirnya seorang ibu.
Film Mereka Bilang, Saya Monyet! hadir dengan latar waktu
penceritaan yang jauh berbeda dengan latar penceritaan di dalam
cerpen. Latar waktu penceritaan di dalam film adalah waktu pada saat
tokoh Adjengsebagai tokoh hasil transformasi tokoh Maha dan
Mayratelah besar atau dewasa. Cerita tidak lagi berkisar aktivitas
tokoh Maha yang masih sekolah, tinggal di dalam rumah bersama
dengan Ibu, dan dalam beberapa kesempatan hadir tokoh Lintah yang
juga kerap mengganggunya, melainkan dalam kehidupan tokoh Adjeng
yang dewasa, yang telah bekerja sebagai seorang penulis cerita anak di
sebuah majalah anak, kemudian memilih berhenti sebegai penulis cerita
anak, dan lengkap likaliku kehidupannya di luar rumah. Juga bukan
142
pada saat Maha tinggal di rumah bersama dengan Ayah, yang sering
kali berdiam diri karena tiada saudara, serta kerap menggambar sosok
perempuan sebagai bentuk kerinduannya pada hadirnya sosok Ibu di
dalam rumah, melengkapi sebuah bangunan rumah tangga, hingga
cerita seputar teman-teman sekolahnya yang kerap mengganggu dan
melecehkannya.
Di dalam film latar waktu penceritaannya adalah seputar
kehidupan tokoh Adjeng setelah ia dewasa, berhenti menulis cerita
anak, dan memulai menulis cerita unuk dewasa. Selain aktivitas
tersebut, cerita juga berkisah tentang kehidupannya di luar rumah, pada
saat bersama teman-temannya, serta bagaimana ketika ia dihadapan
ibunya. Adjeng desawa di dalam film telah lahir menjadi sosok yang
memiliki split character, memiliki pribadi yang ganda. Di satu sisi pada
saat ia di hadapan ibunya Adjeng menjadi orang yang sangat penurut,
akan tetapi di belakangnya ia merupakan sosok yang sangat berani,
memberonak, bebas, dan keras. Termasuk pada saat ia sedang bersama
dengan teman-temannya.
Demikianlah latar waktu penceritaan di dalam film. Sedangkan
ceritacerita di dalam cerpen di dalam film hadir sebagai fragmenfragmen, sebagai potongan-potongan cerita, tidak menyatu ke dalam
cerita film secara keseluruhan, membentuk cerita sendiri, tetapi tetap
143
Adegan
memiliki keterkaitan dengan cerita masa kini dengan latar tokoh
Adjeng yang telah dewasa.
Cerita yang terjadi di dalam film lebih menggambarkan
bagaimana kehidupan Adjeng setelah dewasayang bebas, serta
memberontaki dan menerobosi apa yang baginya terasa tabu dimasa ia
masih kecil dulu. Sesuatu yang sangat dibencinya dulu, justru kini
dilakoninya dengan enjoy dan tanpa beban. Kebenciannya pada Lintah
(oleh tokoh Maha dalam cerpen Lt) dan pada teman-temannya yang
suka menggerayanginya (Mayra dalam cerpen MJ) ternyata di masa
dewasa (Adjeng) justru menjadi bagian dari kehidupannya, dilakukan
dengan penuh yakin, menjadi tuntutan kan kebutuhan hidup, menjadi
bayaran kebutuhan akan hidupnya.
Kebutuhan dan kerinduan pada sesuatu yang ideal telah
dikuburnyaini seperti diceritakan dalam cerpen MJ, seperti dalam
kutipan berikut.
Mayra melukis jendela. Ia sudah merobek-robek dan
membakar lukisan Ayah dan Ibu. Ia merasakan dirinya
dikhianati. Ia lebih membenci lukisan Ayah dan Ibu
ketimbang ayahnya yang seharian pergi atau menulis di
dalam kamar kerja atau mengunci diri dengan wanita.
Kebenciannya terhadap lukisan Ayah dan Ibu melebihi
kebenciannya terhadap Ibu yang tidak pernah berusaha
untuk mencari dirinya seperti yang selalu dikatakan Ayah
kepadanya. Kepadanya Ayah dan Ibu ia sudah tidak punya
penghargaan apa-apa. Ia sudah menerima bahwa kenyataan
itulah yang mutlak ia telan bulat-bulat.
Maka Mayra nmelukis jendela. Sebuah jendela besar
tanpa tirai menghadap ke sebuah dunia yang ia inginkan. Ia
144
hubungan Ibu dengan Lintah tidak dapat dibuang, tetapi keadaan juga
tidak
dapat
diubahnya
terjadi
seperti
yang
diharapkannya.
145
Adegan
BAB III
POLITIK DALAM TRANSFORMASI MEREKA BILANG, SAYA
MONYET!: DIALOG DUA MEDIA
yang
muncul,
pada
bab
tersebut
juga
dibahas
fungsi
perubahanperubahan yang ada serta bagimana relasi antar unsur cerita yang ada,
baik di dalam cerpen maupun di dalam film. Selanjutnya, pada bab ini dibahas
sisi-sisi posmodernitas pada transformasi cerpen Lt dan MJ ke dalam MBSM untuk
kemudian ditemukan atau dibahas aspek-aspek politis dari perubahan-perubahan
terebut. Pembahasan selanjutnya dibagi ke dalam beberapa sub sub-bab sebagai
berikut. Pembahasan pada bab ini lebih menekankan pada teori atau perspektif
posmodernisme Hutcheon (1991).
3.1
146
147
representasi posmodernis film MBSM sebagai hasil transformasi cerpen Lt dan
MJ.
3.1.1 Dua Cerpen dalam Satu Film: Fragmentasi dan Pengacauan Logika
Cerita
Melalui proses ekranisasi atau pelayarputihan, cerpen Lt dan MJ dikemas
dipadukan dan digabungkanlalu dihadirkan dalam satu bentuk karya film
berjudul MBSM. Pemaduan dan penggabungan yang dilakukan hakikatnya adalah
penggabungan atas perbedaan, yaitu perbedaan cerita. Penggabungan dua cerita
ini telah
membiarkan keragaman-keragaman yang ada tetap ada. Keragaman dari dua cerita
dalam cerpen tersebut dihadirkan dalam film seperti halnya cerita yang ada di
dalam cerpen tersebut, hingga di satu sisi seolah-olah cerita tersebut berdiri
sendiri, tetapi di sisi lain juga merupakan cerita yang include di dalam cerita film.
Sehingga yang tampak kemudian adalah adanya ketumpangtindihan cerita.
Dibiarkannya ketumpangtindihan cerita tetap ada di dalam film MBSM telah
menghasilkan satu alur cerita film yang berbentuk fragmen (cuplikan atau
petikan). Fragmentasi dilakukan terhadap cerita-cerita cerpen yang hadir sesekali
mengisi ruang cerita film, dengan cara merajutnya dengan cerita film itu sendiri.
Di dalam film, cerita cerpen dihadirkan sebagai flashback dari film yang
berkisah cerita Adjeng dewasa, sebagai cerita kini dari film, dalam bentuk
bayangan pengalaman masa lalu Adjeng di masa kecilnya yang cukup menghantui
147
Adegan
hingga Adjeng telah dewasa. Dihadirkannya fragmentasi cerita cerpen seperti ini
dalam rangka fungsi menunjukkan kepada penonton satu alasan pengalaman
masa lalu yang pernah ada dalam kehidupan Adjeng di masa lalu, yang
membentuknya menjadi pribadinya di masa sekarang. Kalau dalam konsep
kausalitas cerita, fragmentasi cerita yang diambil dari cerpen adalah logika
kausalitas yang ingin ditunjukkan kepada penonton. Masa lalu Adjeng yang berat
yang sangat berpengaruh terhadap kondisi psikologis dan cara hidup Adjeng di
masa dewasanya.
Di sisi lain, kehadiran fragmentasi cerita cerpen dalam cerita film sering
terkaburkan atau tidak jelas skat pembatasnya. Di dalam film MBSM, fragmentasi
cerita cerpensebagai bentuk bayangan Adjeng akan masa lalunyahadir ke
dalam cerita yang seolah-olah juga berupa cerita kini atau peristiwa kini yang
terjadi saat ini, dalam rangkaian alur cerita film yang lebih bersifat kini (yaitu
dalam latar waktu Adjeng dewasa). Di sini ketumpangtindihan fragmen-fragmen
dengan cerita kini film itu muncul. Konstruksi tersebut adalah dalam rangka
fungsi menunjukkan dan membiarkan pluralitas tetap ada dalam film MBSM.
Fragmentasi, ketumpangtindihan, dan pluralitas tersebut mengarah kepada satu
bentuk karya seni yang memiliki indikasi ciri-ciri posmodernitas, yaitu karya yang
melawan satu bentuk struktur yang otonom. Hal tersebut juga menunjukkan
adanya satu gerakan anti pusat.
Fragmentasi serta comot-comot yang dilakukan terhadap dua cerpen Lt dan
MJ dalam pengarapan film dalam konsep teori sosial yang ada disebut dengan
148
yang
ingin
disampaikan
oleh
teks
tersebut
melalui
parodi
17 Jameson (1991: 17) menyebut pastiche sebagai imitasi yang ganjil atau unik,
sebagai gaya idiosinkratik (gaya yang khas dari seseorang, yang berbeda dengan
gaya orang lain), serta sebagai satu bentuk penggunaan topeng bahasa. Jameson
juga menyebut pastiche sebagai parodi kosong (blank parody), ironi kosong.
Sementara berdasarkan definisi The Concise Oxford Dictionary of
149
Adegan
dewasa. Harapan dan kebutuhan akan perhatian dari orang tua yang tidak pernah
ia dapatkan, menumbuhkan satu pandangan tersendiri kepada orang tuanya.
Literary Terms, yang juga dikutip oleh Piliang (2003: 187) mengutip bahwa pastiche adalah karya
sastra yang disusun dari elemen-elemen yang dipinjam dari berbagai penulis lain atau dari penulis
tertentu di masa lalu.
2
Sementara Hutcheon, untuk konsep yang kurang lebih sama, menyebutnya dengan istilah parodi.
Kalau Hutcheon menyebut pastiche sebagai imitasi murni, sedangkan parodi bukan imitasi murni.
Ia mendefinisikan parodi sebagai sebagai satu bentuk pengulangan yang dilengkapi dengan ruang
kritik, yang mengungkapkan perbedaan ketimbang persamaan. Parodi menggunakan teks, karya,
atau gaya masa lalu sebagai titik berangkat dari kritik, sindiran, kecamansebagai ungkapan dari
ketidakpuasan atau sekadar rasa humor (dalam Piliang 2003: 191). Lebih lanjut Hutcheon juga
melihat parodi sebagai relasi formal atau struktural antara dua teks.
Konsep perhatian dan kasih sayang yang diberikan kepadanya ternyata tidak
dirasakannya. Di sini parodi ini mencoba mengkritik konsep kasih sayang yang
diberikan orang tua dalam setiap representasinya, yang ternyata tidak pula
demikian dirasakan oleh anak.
Di sisi lain, MBSM melalui representasinya juga bekerja mendenaturalisasi
atau melonggarkan atau mengendorkan perekat yang selama ini digunakan
sebagai pelabelan dalam produk-produk konvensi (meminjam istilahnya
Rosaliand Krauss, dalam Hutcheon, 1991: 8). Salah satu yang dilakukan adalah
terhadap konsep keluarga ideal, yaitu sebuah bangunan keluarga yang harus
memiliki atau terdiri atas ayah, ibu*, dan anak. Hanya ada ibu dan anak dan tanpa
hadirnya ayah adalah kepincangan, demikian pula sebaliknya. Untuk kasus yang
pertama adalah seperti yang terjadi dalam cerpen Lt, sedangkan untuk kasus kedua
terjadi pada cerpen MJ. Representasi yang ada di dalam film MBSM merupakan
satu bentuk pemberontakan atau penjungkirbalikan pencarian idealitas seperti
yang dimiliki oleh cerpen. Film juga menjadi satu titik balik kesadaran betapa
150
ideal yang dicari di masa kecil bisa jadi tidak pernah ditemukan, atau bahkan pada
sesuatu yang lebih jauh bahwa tidak ada sesuatu yang ideal.
Berikut kutipan gambar dalam adegan film MBSM yang menunjukkan
adanya fragmentasi dari cerita cerpen ke film.
Gambar 6.Fragmen
- fragmenadegan
26-32 dalam filmMBSM
151
Adegan
Adjeng SD (dari cerita cerpen Lt) dan ke cerita Adjeng SMP (yang dikembangkan
dari cerpen MJ). Cuplikan gambar dengan nomor 1 dan 2 merupakan gambar dari
rangkaian adegan 26 sampai dengan 28. Cerita dari adegan tersebut berkisah
tentang keingintahuan Adjeng terhadap aktivitas Ibunya di dalam kamar dan
suara-suara desahan yang didengarnya dari dalam kamar Ibuadegan ini
sebernarnya cerita berawal dari adegan Andien dan Lelaki teman kecan Andien di
ruang tamu apartemen Adjeng. Kekagetan dan ketakutan (trauma) Adjeng dengan
Lintah muncul pada saat itu. Adegan pun beralih ke adegan 29 film MBSMyang
digambarkan dengan cuplikan gambar bernomor 3yang mengisahkan ketakutan
Adjeng SD hingga duduk gemetaran di pojok kamarnya. Cerita kemudian berganti
lagi ke adegan 30 seperti terlihat pada cuplikan gambar dengan nomor 4, 5, dan 6,
yang berkisah suasana pulang sekolah di sekolahan Adjeng SD. Pada adegan
tersebut tampak anak-anak SD berlarian keluar dari sekolah menuju pintu gerbang
dan pergi. Akhirnya Adjeng SD pun muncul, berjalan santai seorang diri.
Sedangkan di depan pintu pagar, telah menunggu Ibunya dengan gaun merahnya.
Cerita ini merupakan pengembangan cerita dari cerpen Lt. Dari sana, adegan pun
berganti ke adegan di sekolah Adjeng SMPgambar nomor 7-8 (adegan 31 film
MBSM) dan di kamar Adjeng SMPgambar nomor 9 (adegan 32 film MBSM).
Berikut adalah kutipan cerpen Lt dari sekuen 1 event b yang ditransformasi
ke film pada adegan 26 s.d. 28, sebagaimana gambarnya telah dicuplik pada
gambar 6 di atas, beserta kutipan dialognya di dalam film.
Pada suatu hari Minggu, keingintahuan saya mendesak kuat. Saya
mengintip dari sela-sela tirai yang sedikit terbuka ke dalam kamar
152
Ibu. Dan saya sangat kaget melihat seekor ular yang merah menyala.
Lidahnya menjulur keluar dan liurnya menetes ke bawah. Saya sangat
jijik melihatnya. Namun Ibu dengan rakusnya menelan habis liur ular
itu tanpa menyisakan satu tetes pun! Yang lebih mencengangkan lagi,
ular itu lalu berangsur-angsur mengecil, saya tak bisa membayangkan
sebelumnya bila ular itu tidak lain adalah lintah.
(DMA dalam cerpen Lintah, 2004: 12-13)
Dialog film:
Adjeng : (sambil meninggalkan laptop berjingkat menuju pintu dan
membukanya perlahan)
Pada suatu hari keingin-tahuan saya mendesak kuat.
Adjeng : Saya mengintip dari sela-sela tirai yang sedikit terbuka ke dalam
kamar Ibu.
(dialog Adjeng dalam adegan 26 film MBSM)
Adjeng : Dan saya sangat kaget melihat seekor ular yang merah
menyala. Lidahnya menjulur keluar dan liurnya menetes ke
bawah. Saya jijik melihatnya. Namun Ibu dengan rakusnya
menelan habis liur ular besar itu tanpa menyisakan satu
tetes pun!
Adjeng : Yang lebih mencengangkan lagi, ular itu lalu berangsurangsur
mengecil.
Adjeng : Saya tidak bisa membayangkan sebelumnya, bila ular itu tidak
lain adalah
Adjeng : Sayang, mau kemana? Kamar mandi tamu di sana
Adjeng : Lintah
(dialog Adjeng dalam adegan 27 film MBSM)
Penggarapan cerita pada adegan 26 dan 27 merupakan split dari cerita
cerpen Lt. Pada cerita sebelumnya, adegan 25 film MBSM, merupakan adegan
ranjang Andien dengan Lelaki yang baru dikencaninya, adegan terjadi di ruang
tamu apartemen Adjeng. Oleh karena mendengar rintihan dan desahan nafas
Andien dan Lelaki, Adjeng pun penasaran untuk mengintip apa yang tengah
terjadi.
153
Adegan
Cerita penasaran Adjeng untuk mengintip apa yang terjadi di kamar Ibu
seperti yang terjadi di ruang tamu apartemen Adjengmerupakan cerita dalam
cerpen Lt. Di sinilah split cerita cerpen Lt (dari sekuen 1 event b) masuk ke dalam
cerita film. Pada adegan ini telah terjadi tumpang tindih logika cerita dari cerita
Andien dan Lelaki kencannya menjadi cerita atau adegan Ibu dengan Lintah
seperti yang ada dalam cerpen Lt, seperti yang ada dalam angan Adjeng. Inilah
satu cara yang dilakukan dalam menghadirkan cerita cerpen ke dalam film.
Berikut adalah cuplikan gambar detail split cerita tersebut dari adegan 25-27.
MBSM
Gambar 7. Split cerita cerpen di dalam
film
adegan 25
-27
154
155
Adegan
Kejadian demi kejadian dalam adegan-adegan tersebutseperti tergambar
pada rangkaian gambar 7 di atasmenunjukan bagaimana split-split cerita cerpen
hadir dan dimasukkan ke dalam cerita film. Campur aduk terjadi, dari awal kisah
Andien dengan Lelaki kemudian menjadi Ibu dengan Lelaki, dan akhirnya
menjadi Ibu dengan Lintah. Cerita tersebut juga dalam rangka fungsi
menampilkan sifat trauma Adjeng dengan masa lalunya yang terbawa hingga ia
dewasa. Trauma dan kebencian pada hubungan Ibu dengan Lintah, kepenasaranan
Adjeng dengan hubungan Ibu dan Lintah, dalam cerpen Lt, yang terbawa
kemanamana. Bahkan hingga ketika ia mendengar desahan dan rintihan Andien
dan Lelaki pikiran dan perasaannya terbawa ke masa lalu, yaitu pada kisah Ibu
dengan Lintah. Dengan representasi gambar yang demikian juga tercermin kalau
Adjeng dengan skizofreniknya sudah tak lagi mampu membedakan antara kini dan
masa lalu, bayangan pikiran dan kenyataan, antara orang lain dengan Ibunya.
Hingga ketika ada peristiwa yang terjadi yang mirip dengan kisah berat masa
lalunya, cerita itu kembali muncul dan menguat dalam dirinya.
Selain itu, fragmentasi-fragmentasi cerita juga tampak dalam rangkaian
156
gambar berikut.
Gambar
8 . Fragmentasi adegan
33, 34, 35dalam filmMBSM
157
Adegan
Fragmen-fragmen cerita juga terlihat pada adegan 41 ke 42 film MBSM.
Pada adegan 41 diceritakan Lintah sedang mengemudikan mobil, mengantarkan
Adjeng SD ke sekolah. Insiden pun terjadi pada saat itu, Lintah meraba-raba paha
Adjeng SD. Sementara Adjeng tidak bisa membela apa-apa, ia hanya bisa diam
pasrah menerima apa yang dilakukan oleh Lintah pacar Ibu. Dari adegan 41, yang
bercerita Adjeng SD dan Lintah di dalam mobil, tiba-tiba cerita berganti ke kisah
Adjeng dewasa yang sedang meminta Asmoro, pacarnya, untuk mengomentari
cerpennya. Cerita terjadi dengan latar di kamar apartemen Adjeng (adegan 42 film
MBSM). Pada adegan ini pergerakan cerita yang terjadi adalah dari cerita Adjeng
SD
Gambar
9 . Fragmenta
si adegan
41-42 dalam filmMBSM
Fragmentasi alur juga semakin banyak dilakukan pada bagian akhir cerita
film. Bukan hanya itu, pengobrak-abrikan logika juga dilakukan pada bagian
tersebut. Flashback dengan scene-scene sebelumnya juga terjadi. Penggarapan
seperti ini dimulai dari scene 79 sebagai dasar logika ceritanya. Berikut cuplikan
rangkain gambar dan ilustrasi ceritanya.
158
Dari cuplikan gambar pada rangkaian gambar 10 di atas cerita yang terjadi
pada Adjeng, dari gambar nomor 3, 4, 5, dan 6, merupakan kisah masa lalu Adjeng
yang muncul kembali dan menguat dalam pikiran Adjeng. Kisah ini di awali dari
pertengkaran antara Adjeng dengan Asmoro (adegan 79 film), terlihat dalam
gambar nomor 1, yang berujung kemarahan Asmoro. Sebagai bentuk
kemarahannya, ia lalu membekap Adjeng dan memutuskan hubungannya dengan
Adjeng. Sementara Adjeng yang lemas dan kehabisan nafas hanya bisa tergeletak
di atas kasur. Pada saat itulah pikirannya terbawa hingga ke masa lalunya. Gambar
nomor 3 merupakan flashback pada adegan 36cerita Adjeng SD yang sedang
serius menonton televisi acara talk show yang menghadirkan Ibu sebagai bintang
tamu, lalu tiba-tiba datang Lintah, pacar Ibu, dari belakang lalu meremas dan
mengecup pundaknya. Fragmen ini dikemas dalam rangka fungsi menunjukkan
bayangan atau ingatan Adjeng dengan masa lalunya yang sering diganggu dan
diperlakukan tidak senonoh oleh Lintah. Hal ini juga menunjukkan betapa dendam
159
Adegan
dan kebenciannya kepada Lintah dan hubungan Ibu dengan Lintah masih terbawa
hingga usianya dewasa.
Sementara ingatannya lepas dari kejadian di depan televisi, Adjeng teringat
dengan peristiwa di mobil ketika ia di antar berangkat sekolah oleh Lintah. Pada
momen seperti itu, di dalam mobil, Lintah terus menggunakan kesempatan untuk
menggerayanginya. Sambil mengemudikan mobil, tangan Lintah menggerayangi
paha Adjeng SD. Untuk melukiskan bayangan ini, fragmen cerita digambarkan
seperti terlihat pada gambar nomor 4. Cerita adegan 81 pada film MBSM ini
sekaligus merupakan flashback cerita dari adegan 41 film MBSM.
Fragmen cerita terus berjalan ke adegan 82. Pada scene ini dilukiskan
peristiwa di buthup kamar mandi Adjeng SD. Seperti scene sebelumnya lagi-lagi
cerita berkisah seputar perlakuan pelecehan yang dilakukan Lintah kepada Adjeng
di masa kecilnya. Pada adegan ini, yang juga flasback adegan 77, dilukiskan
Adjeng SD yang sedang mandi, berendam di buthup (pada gambar nomor 5).
Tiba-tiba Lintah datang, masuk ke dalam kamar mandi. Ia pun kemudian melapas
baju mandinya dan segera naik ke atas buthup. Pada adegan ini digambarkan kalau
Lintah telah melakukan pelecehan seksual, pemerkosaan terhadap Adjeng SD di
dalam buthup dengan visualisasi bertebarannya banyak lintah di dalam air di
buthup dan kemudian disusul dengan perubahan warna air menjadi merah, sebagai
penggambaran darahpada scene 77. Adegan 82 pun berakhir dengan
tergeletaknya di atas buthup Lintah setelah dipukul oleh Ibu yang tiba-tiba saja
datang dan telah berdiri di samping buthup sambil memegang sebilah kayu yang
160
dipakai untuk memukul kepala Lintah. Melihat kejadian ini, Adjeng SD pun
tercengang.
Kisah-demi
kisah
pengalaman
masa
lalu
susul-menyusul
hadir
kepadanya,
tidak
pernah
memperhatikannya,
tidak
pernah
161
Adegan
scene ini digambarkan, karena kekesalan dan kekacauan pikiran Adjeng, baik oleh
sikap dan pertengkarannya dengan Asmoro maupun pada semua bayang-bayang
masa lalunya yang tak bisa lepas dan mendamaikannya, maka ia pun berteriak
sekuat-kuatnya sambil masih terkapar di atas kasur. Gambar nomor 1 tersebut
sekaligus menunjukkan fragmentasi yang terjadi dari gambar nomor 6 pada
rangkaian gambar 10 di atas, dari flashback Adjeng kecil peristiwa di buthup ke
kisah Adjeng dewasa.
Rangkaian cerita dalam adegan 83 dan 84 ini seolah menunjukkan masih
adanya satu kekuatan hubungan batin antara Ibu dengan anak, yaitu seorang Ibu
bisa merasakan apa yang tengah dirasakan oleh anaknya, terutama jika kejadian
yang di alami oleh anaknya adalah kejadian buruk. Hal ini dilukiskan dengan
rangkaian gambar nomor 1 ke gambar nomor 2. Teriakan kekacauan dan
kekesalan batin Adjeng (gambar nomor 1), dan pergantian fragmen ke gambar
nomor 2, ternyata melukiskan hubungan itu, yaitu mampu membangunkan Ibu
yang sedang tidur. Pada gambar nomor 2 terlihat adegan Ibu yang tiba-tiba
terkejut bangun oleh, seolah-olah, teriakan Adjeng. Apalagi dikuatkan dengan Ibu
yang kemudian terlihat menelepon Adjeng (gambar nomor 3).
Fragmentasi juga muncul sekaligus menghancurkan logika cerita. Mulai
dari scene 86 sampai dengan 90 logika penonton seolah-olah dikacaukan.
Hubungan tokoh satu dengan tokoh lain, serta latar cerita dijungkirbalikkan dan
dicampuraduk. Termasuk pula posisi dan peran tokoh satu dengan lainnya semakin
dikacaukan.
162
Pada adegan 86, cerita terjadi di rumah Ayah. Pada saat itu masih terdengar
dering telepon, sambungan dari telepon Ibu pada scene 84, yang masih
menyambung hingga ke adegan 86. Cerita kemudian berlanjut pada munculnya
Ayah dari balik pintu sambil membetulkan kancing bajunya. Pakaiannya rapih
berdasi. Ketika hampir melewati meja telepon ia pun berhenti dan berteriak
memanggil pembantunya. Lalu tubuh ayah menghilang di balik pintu. Sampai di
situ, cerita berpindah ke adegan 87, yaitu adegan Bi Inah. Pada saat itu Bi Inah
tampak sedang mencuci. Seolah mendengar dipanggil oleh majikannya, Bi Inah
lantas meletakkan baju yang sedang diperasnya ke dalam ember, lalu berbegas
bangkit berdiri dan pergi. Sementara bunyi telepon terus mengiring sampai ke
scene ini.
Adegan 87 berakhir di situ, cerita kemudian berlanjut ke adegan 88. Kisah
beralih ke Lintah, pacar Ibu. Latar cerita adalah di dalam ruang depan sebuah
rumah. Di sana ia tampak mengenakan pakaian oleh raga dan sedang
membetulkan tali sepatunya. Ia mengenakan kaos lekton dengan handuk kecil di
pundaknya. Sesaat kemudian ia pun beranjak pergi joging dan hilang di balik
pintu. Sampai dengan adegan ini dering telepon masih belum terputus. Berikut
163
Adegan
adalah cuplikan gambarnya.
Cerita kemudian berganti ke adegan 89 dan 90. Pada dua adegan inilah
terjadi penjungkirbalikan dan pengacauan logika penonton terhadap semua cerita
yang ditontonnya. Konstruksi cerita yang telah terbangun dibongkar dan di
acakacak.
Cerita adegan 89 terjadi di eksterior. Hal yang pertama kali ditampilkan
dalam layar adalah munculnya mobil antar-jemput sekolah berwarna hitan yang
berhenti tepat di depan sebuah rumah. Sementara di depan sebelah kiri tempat
mobil antar-jemput tadi berhenti, tampak sebuah mobil sedan berwarna merah
terparkir di depan sebuah rumah. Lokasi lebih mirip dengan lingkungan
perumahan, dengan jalan paving yang tidak terlalu lebar dan rumah berjejer
berdempetan. Beberapa saat kemudian muncul dari arah kiri mobil Adjeng SMP
dan Adjeng SD berrangkulan. Lalu dari depan mobil tampak tergesa-gesa Asmoro
muncul dan membukakan pintu mobil untuk Adjeng SD dan Adjeng SMP. Mereka
berdua pun masuk. Mobil kemudian tampak pergi melewati jalan paving tersebut.
Di sini satu konsep tokoh Adjeng SD, Adjeng SMP, dan Asmoro tampak
dikacaukan. Dengan adegan demikian, yang tampak kemudian adalah antara
164
Adjeng SD dan Adjeng SMP adalah dua orang yang hidup pada masa yang
bersamaan. Atau bisa dianggap mereka adalah kakak-adik yang hendak berangkat
ke sekolah. Sedangkan Asmoro, yang dalam kisah Adjeng dewasa adalah pacar
Adjeng, merupakan sopir mobil antar-jemput sekolah tersebut. Di sini
penjungkirbalikan logika dilakukan terhadap tokoh Adjeng kecil dan Asmoro.
Berikut cuplikan gambar dari adegan 89.
Gambar13.
Fragmentasi
dan pengacauanlogika tokoh pada adegan89 film
MBSM
Pengacauan logika cerita pada adegan 89 bukan saja terjadi pada cerita dan
cuplikan gambar di atas. Rangkaian gambar berikut ini merupakan rangkaian
cerita lanjutan scene 89 ini, sekaligus lanjutan cerita dari gambar 13 di atas. Pada
rangkaian gambar berikut, pengacauan logika bukan hanya dilakukan terhadap
tokoh Adjeng SD, Adjeng SMP, dan Asmoro, tetapi juga terhadap relasi
antartokoh dan latar yang telah dikonstruk dalam scene-scene sebelumnya.
165
Adegan
Berikut cuplikan gambar dan ilustrasi ceritanya.
Gambar14. Fragmentasi
dan pengacauan
logika cerita dalam adegan89 film
MBSM
Saat mobil antar-jemput sekolah melintas pergi (gambar nomor 1), datang
berpapasan gerobak makanan keliling lalu berhenti di sebuah rumah karena
dipanggil oleh seorang perempuan yang ternyata adalah Bi Inah. Lalu tampak
muncul Bi Inah menghampiri gerobak tersebut. Lalu pada gambar nomor 2, dari
rumah sebelah tempat Bi Inah muncul Ibu juga menghapiri gerobak makanan
keliling. Ibu tersebut ternyata adalah Ibu Adjeng. Antara Ibu dengan Bi Inah pun
saling menyapa (gambar nomor 3). Pada gambar nomor 3 juga tampak tokoh
Bapak dan Lintah. Tokoh Bapak ternyata muncul dari rumah tepat tempat mobil
sedan merah terparkir. Pengacauan logika cerita yang dilakukan adalah dalam
relasi tokoh Bapak dengan Bi Inah. Dalam cerita sebelumnya Bi Inah adalah
pembantu Bapak. Juga pada adegan 87 dimana diceritakan Bapak yang
memanggil pembantunya dengan panggilan Bi karena bunyi telepon yang terus
berdering. Akan tetapi, yang terjadi di sini adalah antara Bapak dengan Bi Inah
muncul dari dua rumah yang berbeda, rumah yang saling berhadapan. Pada frame
yang sama juga muncul sosok Lintah yang tengah joging, melintas di
tengahtengah mereka, dan aksi Bapak yang melambaikan tangan pada Lintah
166
untuk saling menyapa. Sampai dengan scene ini suara telepon pun masih terus
berdering mengiringi.
Pengacauan logika dilakukan kembali pada scene terakhir film
transformasi ini. Pada scene 90 ini, pengacauan dilakukan terhadap tokoh Adjeng
SD dan Adjeng SMP ke Adjeng Dewasa. Hal yang tampak dalam adegan 90 ini
adalah Adjeng dewasa menyaksikan aktifitas Adjeng SD dan SMP yang, pada
cerita adegan sebelumnya diceritakan, akan berangkat ke sekolah dengan mobil
antar-jemputnya. Pada saat itu Adjeng dewasa tengah berada di aparemennya,
yang teletak di lantai atas, dan melihat ke bawah dari balik tirai jendela kaca
kamar apartemennya. Bukan hanya itu, komunikasi antara Adjeng SD/SMP dan
Adjeng dewasa juga terjadi. Pada saat itu Adjeng SD/SMP melambaiakan tangan
kepada Adjeng dewasa. Demikian pula Adjeng dewasa, ia pun membalas
lamabaian tangan itu serta tersenyum kepada meraka. Berikut cuplikan gambar
yang melukiskan bagaimana pengacauan logika dilakukan.
Gambar 15. Fragmentasi dan pengacauan cerita pada tokoh Adjeng dalam adeg
90 film MBSM
Pengacauan logika cerita yang demikian merupakan sebuah penggarapan
dalam rangka fungsi menunjukkan sifat Adjeng dewasa yang sudah tak bisa lagi
167
Adegan
membedakan antara alam nyata dan alam yang ada di dalam bayangan atau
pikirannya. Berusaha menunjukkan masih adanya komunikasi antara masa lalu
dengan masa sekarang, terutama dalam pikiran Adjeng, berangkat dari pluralitas
pengalamannya. Hal ini pula untuk menyatakan atau menunjukkan sifat traumatik
yang dialami Adjeng dari pengalaman masa lalunya. Fragmen-fragmen yang
digarap tanpa dialog dari adegan 80 sampai dengan adegan 90 dan berisi
flashback serta bayangan pikiran Adjeng merupakan satu upaya menunjukkan
bagaimana kekacauan pikiran yang dialami oleh Adjeng, serta kebenciannya pada
hubungan Ibu dengan Lintah yang terus membekas hingga ia dewasa. Hal ini
ditunjukkan dengan dialognya yang terakhir, Ibu saya memelihara seekor
lintah, sambil mengetiknya di laptop, setelah dari telepon terdengar suara Ibu
menanggilnya, Jeng Jeng. Akan tetapi Adjeng tetap mengabaikannya, dan
mulai asik mengetik kalimat demi kalimat cerpennya yang, kemudian, diberi judul
Lintah.
Secara keseluruhan representasi parodi posmodernisme yang ditampilkan
dalam film MBSM ini di satu sisi merupakan satu bentuk pemberontakan karakter
narator (dalam hal ini adalah Adjeng) terhadap dominasi kekuasaan yang
ditimpakan terhadap dirinya, yang menurutnya tidaklah menguntungkan bagi
dirinya. Pengalaman buruk masa lalu: hubungan ibu dengan teman laki-lakinya
ataupun ayah dengan teman-teman perempuannya (yang bisa dianggap lebih jauh
telah melacur), tidak pernah dirasakannya atau didapatnya kasih sayang dari oang
tua terhadap dirinya, keheningan kesendirian, hingga teror kejahatan seksualitas
yang terjadi kepadanya. Sementara kritik yang diberikan adalah kritik terhadap
168
169
Adegan
di dekonstruksi kembali dengan menunjukkan bahwa adegan perayaan ulang
tahun pada scene 66 ternyata hanya mimpi dan lukisan Adjeng SMP dan tidak
pernah terjadi secara nyata, baik dalam film maupun dalam cerpen sendiri. Bentuk
dekonstruksi yang lain adalah skizofrenik yang dialami oleh Adjeng dan
kehidupan Ayah dan Ibu yang hingga pada akhir cerita tetap menjadi sebuah
kehidupan dua karakter yang berbeda, sendiri-sendiri, dan tidak pernah ada saling
kontak dalam satu relasi yang menunjukkan adanya hubungan sebagai sebuah
keluarga atau bekas keluarga.
Dalam bentuk diagram, konstruksi dan dekonstruksi bentuk dari dua jenis
karya tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
KONSTRUKSI
DE KONSTRUKSI
RE KONSTRUKSI
DE KONSTRUKSI
Diagram
5 . Konstruksi
- Dekonstruksi Cerita
170
berangkat
dari
pandangan
tokoh
dan
171
Adegan
pada kekesalannya dengan kebiasaan keseharian Bapak yang hanya mengetik di
dalam kamar tiap kali di rumah, atau justru bersenang-senang dengan perempuan
yang dibawanya pulang, tanpa pernah memperhatikan Mayra yang membutuhkan
perhatian orang tua.
Selain penggarapan alur, masih terkait dengan karakter tokoh utama,
transformasi cerpen ke film telah menghasilkan satu perubahan signifikan pada
tokoh. Tokoh Adjeng dewasa telah lahir sebagai tokoh dengan karakter yang
mendua, doubleness. Pengalaman kelam masa lalunya telah menjadi momok yang
mengurung Adjeng hingga berpengaruh pada dirinya ketika ia dewasa. Ia tumbuh
dengan dua karakter melekat. Di satu sisi, ia adalah sosok yang sangat agresif dan
permisif ketika di hadapan teman-teman (Andien dan Venny) dan kekasihnya
(Asmoro). Akan tetapi, di lain sisi, ia terlihat begitu pasif ketika di hadapan
ibunya.
Sifat doubleness pada karakter Adjeng terjadi sangat tampak di dalam film.
Berikut kutipan gambar dan dialog bagaimana dualitas karakter Adjeng, teman
dan pacarnya
172
agresif
- permisif dan
pasif.
Pada gambar nomor 1, dari rangkaian gambar di atas, terlihat sikap Adjeng
yang bebas dan agresif ketika ia berada di luar, di luar kendali Ibu. Di dalam bar
bersama teman-temannya ia tampak bergitu menikmati hidupnya. Ia pun begitu
permisif. Ini juga terjadi seperti pada gambar nomor 2, di sana dikisahkan
pembeberan Adjeng kepada teman-temannya tentang apa yang telah ia lakukan
terhadap Asmoro, kekasihnya beberapa waktu sebelumnya. Dari adegan ini
terlihat bagaimana ia begitu bebas dan terbuka dengan teman-temannya, bahkan
untuk urusan yang sangat pribadi, yaitu tentang hubungannya dengan kekasihnya.
Berikut kutipan dialog adegan 23 film MBSM yang terjadi antara Adjeng, Andien,
dan Venny yang terjadi seperti pada gambar nomor 2 di atas.
ANDIEN : Bravo, Djeng! Biar mampus aja tuh lakor, dipikirnya kita
restoran padang 24 jam apa?! Selalu buka kapan aja dia mau
jajan!
ADJENG : Dalem bener.pengalaman pribadi?
VENNY : Tapi baik juga dia yaGak maksa. Gak nagih lagi.
ANDIEN : (dengan nada dan ekspresi lucu) Yeiyeleeeh.dia kan bisa
cara lain
VENNY : Maksud lu begini?
ANDIEN : Ngapain?! Kan ada bininyaaaauuuu.!!!!!
ADJENG : (berteriak sambil tertawa) Muonyeeeeeeet!!!!!!!!
173
Adegan
Selain di hadapan teman-temannya, sikap agresif juga terjadi ketika
Adjeng tengah bersama Asmoro, kekasihnya, seperti ditunjukan oleh gambar
dengan nomor 3 dari rangkaian gambar di atas.
Namun, di sisi lain, selain bersifat permisif dan agresif, Adjeng justru
bersifat pasif ketika di hadpan Ibunya. Bukan saja ketika dihadapan ibunya secara
langsung, tetapi ketika ia sedang berbicara di telepon dengan ibunya ketika sedang
bersama dengan teman-temannya ia akan berusaha tampil setenang mungkin.
Berikut cuplikan gambar dan kutipan dialog yang menunjukkan hal tersebut.
Pada gambar nomor 1 rangkaian gambar ini tampak sikap Adjeng yang
174
tiba ditelepon oleh ibunya, maka ia pun berusaha menenangkan, menyuruh temantemannya untuk diam, dan ia pun menerima telepon dari Ibunya.
Pada gambar nomor 3 dilukiskan bagaimana ia berusaha bersikap tenang ketika
berbicara dengan ibunya melalui telepon genggamnya. Berikut kutipan dialog dari
rangkaian adegan dalam gambar nomor 2-3 gambar di atas.
Di tengah riuh penungjung kafe dan canda tawa Adjeng dan
temantemannya, tiba-tiba ponsel Adjeng berdering. Ia pun segera
menjawab panggilan tersebut.
ADJENG : (dengan suara yang dibuat lembut dan tenang)
Hallo Mommy
ADJENG : Di Plaza Senayan, Mom. Tinta printer habis.
Sendirian, Mom. Ya, ntar nggak kemana-mana kok nulis. Iya, Iya, Ok
Mom. Bye.
ADJENG : (bete)
Ah, monyet. Gue mesti cabut ya soalnya nyokap gue
resek, ntar malah nelpon ke Apartemen lagi.
Dari kutipan dialog di atas, tampak bagaimana dualitas sikap yang dimiliki
oleh Adjeng, agresif-permisif dan pasif.
Melalui penggarapan karakter yang demikian, sikap Adjeng dewasa,
tampak plural dalam cerita. Seorang Adjeng tampil dengan dua karakter yang
berbeda, yang bekerja dalam kondisi dan orang yang berbeda pula. Ia sendiri
membiarkan itu ada dan tetap ada. Sikap pasif di hadapan ibunya yang di alami
Adjeng dewasa merupakan akibat atau pengaruh dari masa lalunya yang kelam,
baik atas sikap ibu terhadapnya, kebenciannya pada hubungan Ibu dengan Lintah,
hingga trauma perlakuan tidak senonoh yang dilakukan Lintah terhadapnya.
175
Adegan
Sifat agresif dan permisif Adjeng di satu sisi juga merupakan satu bentuk
pemberontakan dan pelarian, penolakan pada ideologi idealitas yang dimilikinya
pada masa ia kecil. Ideologi cerpen adalah ideologi idealitas. Baik pada Lt
maupun MJ, Maha dan Mayra, sama-sama berideologi idealitas. Mereka mencari
dan merindukan sesuatu yang ideal: bahwa sebuah keluarga harus memiliki
konstuksi lengkap, yaitu ada ayah, ibu, dan anak. Selain itu, seorang ideal dalam
pandangan Maha dan Mayra, atau Adjeng SD dan SMP di dalam film, juga adalah
bahwa orang tua harus memberikan kasih sayang dan perhatian kepada anak
sehingga hak anak adalah mendapatkan perlindungan, perhatian, dan kebahagiaan
dari orang tuanya.
Namun, karena pencarian idealitas tidak kunjung didapatnya, pada cerpen
MJ Mayra pun melukis jendela. Melukis jendela digunakan sebagai metafora
keluarnya Mayra dari ideologi idealitasnya. Ia menyadari dan harus bisa menelan
mentah-mentah kenyataan yang ada di depan matanya. Bahwa kenyataan
keluarganya tidak seperti pada lukisan yang digambarnya. Orang tua mereka juga
tidak lengkap seperti yang tergambar pada music box yang dipasangnya di kamar
mandi apartemen Adjeng, juga yang berputar dan mengeluarkan musik pada
malam ulang tahun Ibu.
Agresif dan permisif merupakan satu bentuk penolakan pada ideologi
bahwa seorang anak harus patuh dan menurut pada orang tuanya, bahwa ia harus
menerima apa yang dititahkan oleh ibunya, tidak boleh melawan dan
membantahnya, seperti menjilat kembali muntahan sayur dari dalam kloset,
176
minum vitamin dan makan buah apel, serta rutin mengonsumsi brokoli supaya
tidak kanker. Bahkan ketika ia punya unek-unek ia tak mampu menerobos untuk
menyampaikan dan membuat orang lain mempercayai dan membelanya.
Sedangkan di sisi lain lagi, pasif dan lembut merupakan satu bentuk penerimaan
pada ideologi idealitas itu sendiri. Dalam konteks ini, Adjeng dengan dualitas
karakternya, sifatnya, telah berada pada dua sikap terhadap ideologi idealitas:
yaitu antara menerima sekaligus menolak ideologi tersebut.
3.2
177
Adegan
Berdasarkan tesis dan konsep Hutcheon di atas, serta melihat hasil
transformasi cerpen Lt dan MJ ke dalam film MBSM yang menghasilkan satu
karya posmoseperti telah dibahas pada sub bab sebelumnyamaka pada bagian
ini dibahas sisi-sisi politis yang melekat pada transformasi karya tersebut. Sebagai
karya posmodern, dengan perubahannya yang signifikan, ia akan dikaji bagaimana
politik di balik representasi yang ada, yang meliputi nilai dan kepentingan
ideologinya.
Untuk membahas persoalan ini, pembahasan dirumahkan pada dua pokoh
pembahasan, yaitu perubahan signifikan tokoh utama dari kecil ke besar serta
segala relasi yang dimilikinya dan penganutan sekaligus penerobosan ideologi
idealitas yang muncul dalam karya. Pembatasan dan perumahan ini bertujuan
untuk
menyempitkan
dan
menyepesifikkan
pembahasan,
sesuai
dengan
178
179
Adegan
kekuasaan orang tua. Ketimpangan kekuasaan antara orang tua dan anak ini
disebabkan oleh adanya keterpusatan kekuasaan pada yang kuat (orang tua) dan
subordinasi pada yang lemah (anak). Pandangan demikian berusaha dikonter teks
film dengan menegaskan melalui pewacanaan kekacauan psikologis orang dewasa
yang disebabkan oleh pengalaman masa kecil. Artinya, yang kecil atau yang
lemah adalah bagian dari yang besar, yang kuat atau manusia dewasa. Hal itu juga
dikuatkan dalam cerita film melalui relasi tokoh Adjeng dengan Asmoro dalam
karis kepenulisan seorang Adjeng. Perubahan tokoh utama dari kecil menjadi
dewasa menggerakkan cerita dari dulu ke sekarang. Dengan demikian, faktor
pengaruh masa lalu terhadap kehidupan seseorang lebih mampu divisualisasi dan
dielaborasi. Masa lalu yang dihadirkan sebagai flashback dalam filmdalam
fragmen-fragmen ceritamerupakan bukti masa lalu yang ditunjukkan dalam
teks cerita. Melalui konstruksi ini jalinan logika cerita lebih bisa disajikan, teks
mampu menunjukkan pengaruh masa lalu terhadap masa sekarang secara lebih
nyata. Dualitas karakter, sebagai akibat pengaruh pengalaman kelam masa lalu,
menjadi salah satu sarana menunjukkan pengaruh masa lalu pada masa sekarang.
Ketiga, di satu sisi konstruksi ini juga merupakan salah satu alternatif solusi yang
ditawarkan dan disarankan oleh teks, sebagai sarana kritik kepada pembaca atau
penonton (seperi diungkapkan Hutcheon). Keempat, dalam dunia komunikais
massa, seperti film, sensor menjadi sisi lain yang patut mendapat pertimbangan.
Untuk itulah, tokoh dihadirkan sebagai tokoh dewasa, menghindari sensor media.
180
181
Adegan
yang saya utarakan. Yah lintah ini memang sangat pandai menarik
hati Ibu. (DMA, Lintah, 2004: 12)
Saya pernah mencoba pura-pura terganggu nyamuk dan
menyemprotkan obat serangga ke seluruh ruangan dengan harapan
racun serangga itu dapat membunuh lintah. Tapi Ibu langsung
melompat dari duduknya dan menempeleng muka saya. Dan mata
lintah kelihatan benar-benar tertawa. (DMA, Lintah, 2004: 14)
Dari kutipan di atas terlihat satu idealitas yang diharapkan didapatkan oleh
seorang anak dari seorang ibu, yaitu perhatian dan kasih sayang. Hal lain juga
adalah keterbukaan, bahwa anak juga memiliki hak bicara untuk mengusulkan
sesuatu agn dirasa terbaik atau lebih baik untuk keluarga. Akan tetapi, kenyataan
yang ada adalah sebaliknya.
Di dalam cerpen MJ, ideologi idealitas juga memberi warna. Berikut
kutipannya.
Ibumu? Ibu yang mana? Ibu yang tidak pernah kami lihat satu
kali pun selama lima tahun bersekolah? Ibu yang tidak pernah datang
pada saat mengambil rapormu sekalipun?! Mereka ramai-ramai
tertawa. Seorang dari mereka berlima ikut berteriak, Aku mau lihat
ibumu, pasti ibumu yang menurunkan kecantikannya kepadamu. Biar
kami garap sekalian! mereka kembali tertawa sambil memegangi
perut. Mayra mengayunkan tinjunya, tepat mengenai hidung salah
satu anak laki-laki. Darah segar meleh dari dalam hidungnya. [.]
Tidak ada yang berubah sebelum dan sesudah Mayra
meninggalkan rumah kecuali mobil ayahnya yang sudah tidak
terparkir di dalam garasi. Segala sesuatu masih tetap berada di
tempatnya. Lukisan-lukisan karya para pelukis terkenal, dua patung
Bali di samping pintu kamar ayahnya yang terbuat dari kayu ukiran
Jepara, barang-barang antik dan bingkai foto ia dengan ayahnya,
semuanya rapi, bersih dan tidak terjamah.
Namun sama sekali tidak ada foto Ibu. Mayra menangis berlari
ke kamarnya dan mengeluarkan lukisan Ibu. Ia menumpahkan
kekecewaannya kepada Ibu. Tentang janji bahwa segala sesuatunya
akan lebih baik. Tentang kepuasannya berhasil meninju hidung
berandalan itu hingga berdarah. Dan ia mengadu tentang Ayah. Ayah
yang tidak pernah mau menceritakan asal usul Ibu. Ayah yang tidak
182
183
Adegan
Mayra melukis jendela. Ia sudah merobek-robek dan membakar
lukisan Ayah dan Ibu. Ia merasakan dirinya dikhianati. Ia lebih
membenci lukisan Ayah dan Ibu ketimbang ayahnya yang seharian
pergi atau menulis di dalam kamar kerja atau mengunci diri dengan
wanita. Kebenciannya terhadap lukisan Ayah dan Ibu melebihi
kebenciannya terhadap Ibu yang tidak pernah berusaha untuk mencari
dirinya seperti yang selalu dikatakan Ayah kepadanya. Kepadanya
Ayah dan Ibu ia sudah tidak punya penghargaan apa-apa. Ia sudah
menerima bahwa kenyataan itulah yang mutlak ia telan bulat-bulat.
(DMA, Melukis Jendela, 2004: 37)
Secara umum film adalah representasi penerobosan ideologi idealitas yang
ada di dalam cerpen, yang menjadi masa lalu Adjeng. Melalui wadah tokoh
Adjeng, dengan segala karakter yang melekat, hadirnya tokoh lain yang merelasi
dengan dirinya, serta cerita yang melingkupinya, penerobosan ideologi
digambarkan. Dualitas karakter merupakan satu representasi dalam rangka fungsi
menyampaikan kepentingan ideologi kebebasan, keluar dari kungkungan masa
lalu yang kelam dan memberatkan, sehingga ia harus bebas dan merdeka,
menikmati hidup.
Namun, di sisi lain, dualitas atau doubleness karakter Adjeng juga
mengindikasikan adanya pemegangan norma. Melepas tetapi juga memeganginya,
menerobos tetapi juga menganutnya. Agresifitas dan permisifnya Adjeng
dihadapan teman dan kekasihnya dalah wakil penerobosan yang dilakukan, upaya
menuju kebebasan dirinya, upaya keluar dari kungkungan, jendela bagi
kehidupannya. Sebaliknya, pasif dan lembut ketika di hadapan Ibunya merupakan
bukti bahwa sekeras dan sebebasnya ia untuk keluar dari norma ternyata ia juga
masih memegang dan manganut norma itu sendiri. Di sinilah dualitas terjadi.
184
185
Adegan
hal di atas.
186
187
Adegan
Sementara Adjeng yang telah menghentikan mobilnya di depan rumah ibu
(gambar nomor 5), kemudian memutus telepon dan memacu mobilnya. Keheranan
Ibu pun kian muncul, setelah ia mendengar deru mobil di depan rumah dan sinar
lampu mobil yang menerobos jendela kamarnya, sehingga melongok keluar
(gambar 6). Kerinduan pada rumah, pada ibu juga tampak pada cerpen. berikut
kutipannya.
Hari itu terik matahari begitu menyengat. Seragam sekolah
saya basah oleh peluh yang tidak kunjung berhenti menetes.
Sesekali saya rasakan perih saat setitik peluh jatuh tepat pada
lukaluka bekas gigitan lintah. Namun penat dan perih mendadak
hilang setibanya saya di rumah. Saya sangat bahagia mendapatkan
mobil Ibu tidak ada. Saya masuk melalui ruang tamu yang kosong
tanpa mereka. Saya menengok rumah lintah yang rapi tak terjamah.
Saya masuk ke dalam kamar lengang dan kembali bahagia
bersemayam dalam dada. Saya membuka pintu kamar Ibu. Bau
wangai menergap hidung saya, menyergap kerinduan, menyergap
perasaan. Saya melangkah masuk. Memutar kunci dan merebahkan
diri di atas tempat tidur Ibu sambil memandang lukisan kami berdua
yang terpampang di atasnya. Apakah semua lukisan keluarga yang
menampakkan senyum bahagia hanyalah sandiwara? Pikir saya.
Tiba-tiba tercium bau yang sangat saya kenal dan begitu saya benci.
Tanpa dapat saya hindari lintah sudah berdiri tepat di depan saya.
Lintah itu berubah menjadi ular kobra yang siap mematuk
mangsanya. Matanya warna merah saga menyala. Jiwa saya
gemetar. Raga saya lumpuh. Ular itu menyergap, melucuti pakaian
saya, menjalari satu persatu lekuk tubuh saya. Melumat tubuh saya
yang belum berbulu dan bersusu, dan menari-nari di atasnya
memuntahkan liur yang setiap tetesnya berubah menjadi lintah.
Lintah-lintah yang terus menghisap hingga tubuh mereka menjadi merah.
(DMA, Lintah, 2004: 16)
Kisah tersebut menunjukkan bahwa keinginan-keinginan untuk lepas dari
norma, dari keluarga dan segala karakternya, dari kenyataan yang ada, untuk pergi
kepada kebebasan, juga berbenturan dengan dirinya sendiri, hingga ia merindu
188
kembali kepada rumah, pada ibu yang dibencinya. Pada yang demikian, yang
terjadi adalah keinginan untuk lepas tetapi juga masih muncul perasaan untuk
pulang. Menerobos sekaligus masih memegangi ideologi itu sendiri.
189
Adegan
pemerhati sastra. Tanggapan positif dan negatif pun bermunculan. Bukan hanya
itu, pelabelan sebagai sastrawangi juga diberikan pada tulisan kelompok penulis
tersebut yang juga mengundang kontroversi terutama di kalangan feminis.
Sementara itu, dari (sebagian) kalangan penulis yang dikelompokkan ke dalam
penulis wangi tersebut melihat pelabelan ini sebagai bentuk pendiskreditan karya
mereka; karya mereka yang laris di masyarakat dianggap sekadar numpang
populer pada fisik atau tubuh pengarangnya yang cantik dan wangi karena
balutan make up dan parfum bermerek. Bahkan isu kedekatan (personal) para
penulis perempuan dengan beberapa pengarang senior (Bandel (2006:161) juga
menambah stigma negatif pada mereka. Dengan demikian menurut Bandel istilah
sastrawangi kemudian identik dengan keidiotanpara penulis perempuan yang
digolongkan ke dalamnya seolah-olah merupakan sekumpulan orang idiot.
Istilah wangi pada perempuan identik dengan cantik dengan polesan
make-up yang artinya juga mengacu pada pelayanan (service) perempuan pada
laki-laki yang menuntut perempuan harus cantik seperti yang dikonstruksi oleh
wacana sosial selama ini dalam bayang-banyang pemikiran patriarkal. Pola
pemikiran tersebut merupakan pola pikir tradisional yang kembali mendudukkan
perempuan pada posisi kedua atau sebagai objek. Absennya intelektualitas dalam
otak perempuan pengarang18 seperti ditudingkan pada sekelompok penulis
tersebut, menyempitkan penilaian terhadap karya sastra yang dihasilkan. Sederet
nama (penulis perempuan) yang muncul dan kerap diperbincangkan karena warna
190
191
Adegan
yang menganggap sastra jenis ini negatif adalah Taufik Ismailseorang sastrawan
senior Indonesiamengistilahkan apa-apa yang penulis sastra perkotaan lakukan
melalui karya-karya mereka sebagai sebuah Gerakan Syahwat Merdeka20. Akan
tetapi apresiasi positif salah satunya juga datang dari Damono 21 yang memandang
bahwa fenomena kemunculan sastrawan atau penulis baru tersebut sebagai titik
balik dari proses kebangkitan. Dia bahkan memprediksi bahwa perempuan akan
menjadi pewarna dunia kesusastraan Indonesia di masa mendatang. Pandangan ini
selangkah lebih maju dari pandangan sebelumnya yang menggolong-golongkan
sastra seperti yang diungkapkan Goenawan Mohamad22.
Penggolongan penulis berdasarkan penulisnya yang perempuan, cantik,
kosmopolit middle-class urban dan karyanya terjual laris di nusantara juga
menimbulkan
kegeraman
serta
kegelisahan
di
kalangan
para
penulis
192
terlahirkan dari label tersebut yang terlalu negatif. Oleh karena itu, atas dasar
keberatan-keberatannya, ia lebih bersepakat jika pengistilahan karya-karya mereka
atau terhadap diri mereka sendiri bukan sebagai sastrawangi, sastrawanwangi
atau pun penulis perempuan, melainkan penulis saja23.
Sementara itu, dalam wawancara yang sama, yang dimuat dalam jurnal
Prosa (2004:190-196), Djenar Maesa Ayu yang juga mengusung permasalahan
kehidupan perkotaan dengan gaya kosmopolit pada tulisan-tulisannya juga
menunjukkan sikap dan pandangannya terhadap pelabelan miring tersebut. Dalam
ruang itu, ia mengungkapkan bahwa karya-karya penulis perempuan memang
memiliki style sendiri, menunjukkan cermin zamannya, sekaligus cermin
(perkembangan pola pikiran) perempuan itu sendiri. Berkesinambungan dengan
sikapnya tersebut, Djenar melahirkan film Mereka Bilang, Saya Monyet! yang
diangkat dari dua cerpen Lintah dan Melukis Jendela dari kumpulan cerpen
Mereka Bilang, Saya Monyet!yang digolongkan sebagai karya wangidengan
mengimplementasi pemikiran posmodernisme di dalam karya-karya tersebut dan
membingkainya dalam konsep penolakan terhadap anggapan kemungkinan adanya
hal yang alamiah, melainkan konstruktif dan punya nilai politis.
23 Hal tersebut diungkapkan dalam Prosa (2004:221). Sementara untuk pelabelan
sastrawangi Nukila tidak memberikan satu istilah sendiri. Ia berpendapat bahwa
untuk karya-karya sastra hasil penulis perempuan tidak perlu diberikan label
tersendiri yang justru memberi ruang batas pembedaan antara karya penulis lakilaki dan penulis perempuan. Apalagi dikotomi tersebut memberi efek makna yang
memosisikan karya penulis perempuan sebagai karya yang rendah, inferior, baik
dari sisi gaya maupun isi itu sendiri. Sehingga harapan atau pendapatnya adalah
karya mereka (penulis perempuan) tidak dibedakan dari karya para penulis lakilaki, cukup disebut sastra (tanpa harus memberi embel-embel wangi di
belakangnya).
193
Adegan
Mengenai bagaimana Djenar mengkritik atau mengkonter pelabelan
sastrawangi yang diberikan terhadap karya-karya para penulis yang digolongkan
sebagai penulis atau sastrawan wangi melalui film MBSM-nya, diuraikan dalam
sub bab berikut.
3.2.3.2 Film MBSM: Konter terhadap Pelabelan Sastra
Melalui cerita scene 74 dan dilanjutkan dengan scene 77, dengan latar di
bar pada malam hari, respons terhadap pengelompokkan atau pelabelan sastra
yang bernada negatif dikemas. Pada scene ini dikisahkan Adjeng datang ke sebuah
bar. Di sana telah menunggu Asmoro, kekasih sekaligus mentornya. Setelah
menemukan kursi tempat Asmoro duduk, Adjeng pun langsung menuju ke
tempatnya. Malam itu, Amoro memberikan kejutan ucapan selamat kepada Adjeng
karena cerpen pertamanya berhasil dimuat di koraninformasi ini diketahui
melalui scene 77 film ini. Penceritaan dilakukan menggunakan peran
tokoh figuran pelayanr ba
dan pemain piano
. Berikut adalah cuplikan gambar
nya.
194
masyarakat. Melalui
persoalan satra perkotaan, baik respons positif maupun negatif, tetapi di sisi lain
juga scene ini merupakan satu bentuk respons dan konter terhadap wacana dan
tanggapan masyarakat mengenai persoalan tersebut.
Respons masyarakat terhadap persoalan perempuan pengarang yang
pertama dimunculkan dalam scene ini adalah isu cantik, bahwa perempuan penulis
harus cantik, karena kalau tidak cantik bakal tidak laku. Berikut adalah cuplikan
gambar dan kutipan dialog dalam filmnya.
Kutipan dialog:
PENGUNJUNG LELAKI 1:
O, penulis. Penulis-penulis sekarang cantik-cantik ya, Man!
PENGUNJUNG LELAKI 2:
Ya iya lah. Kalo nggak, nggak laku!
Dengan melihat dialog yang muncul dalam scene 77 tersebut, tanggapan
miring masyarakat terhadap perempuan penulis tampak, bahwa yang turutatau
malah dianggap lebihpenting adalah kecantikan karena kecantikan membuat
karya yang dibuatnya laku. Pandangan seperti ini menunjukkan apresiasi pada
195
Adegan
kemasan fisik penulis, bukan pada apa yang ditulis. Betapapun karyanya biasa saja
atau bahkan cenderung kurang berkualitas, asalkan penulisnya cantik, karyanya
bisa laku atau bisa diterbitkan.
Pandangan miring tersebut pun dipadu atau diimbangi dengan pandangan
positif yang muncul berikutnya, tetapi tetap pada scene yang sama. Penggarapan
cerita dengan menggunakan sudut angle24 kamera yang bergerak ke kiri kemudian
menangkap pengunjung bar lain yang tengah asik mengamati perempuan
pengarang tersebut dengan kekaguman atau simpatiknya. Berikut cuplikan gambar
dan kutipan dialognya.
Kutipan dialognya:
CEWEK:
(Memalingkan wajah menatap muka pasangannya)
Kok ngeliatinnya gitu banget sih? Suka ya?
COWOK:
(Sedikit gelagapan)
Ah, enggak kok, kagum aja, masih muda begitu udah jago nulis.
196
seolah-olah
menanggapi
pendapat
COWOK
tadi
197
Adegan
Kutipan dialog:
PEREMPUAN CANTIK 1:
Muda? Muda dari mana? Matanya udah berkerut gitu!
Lihat deh, teteknya udah turun, padahal kecil loh bo.., bagaimana kalo
segede gue?!
PEREMPUAN CANTIK 2:
Dia belum kenal dokter Robi kali bo! Tapi jangan deh, ntar makin cantik,
makin jadi lagi!
PEREMPUAN CANTIK 3:
Kok lu berdua gitu sih, yang paling penting kan karyanya udah
diterbitin.
198
Pertanyaan karya siapa pun akhirnya muncul. Mosi tidak percaya ini
dimunculkan dan tampak dalam kutipan dialog berikut ini.
ORANG SERIUS 1:
Karyanya siapa dulu, karya dia apa karya mentornya? Jaman sekarang
KKN nggak cuma ada di pemerintahan doang. Kalau bisa cari mentor
yang bagus, terus mau ditidurin, saya juga bisa jadi penulis!
ORANG SERIUS 1:
See?
Gambar dengan nomor 1 dan 2 mewakili dialog pertama ORANG SERIUS
I. Di sini mosi tidak percaya soal siapa yang membuat tulisan tersebut
dimunculkan. Tentu dengan berbagai pertanyaan dan tanggapan yang dimunculkan
sebelumnyamulai dari masih muda, cantik, dst.kondisi-kondisi tersebut
menuai sejumlah tanggapan yang bernada miring. Pertanyaan seputar karya
siapa, karya dia atau mentornya, seperti dimunculkan dalam dialog di atas juga
pernah menimpa perempuan pengarang Indonesia, pemenang sayembara menulis
novel yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta tahun 1998, Ayu Utami
dengan karyanya Saman. Kedekatan perempuan penulis muda dengan penulis
senior25 ditanggapi negatif oleh sebagian kelompok masyarakat. Melalui scene 77
ini, pendapat tersebut juga dimunculkan dengan manggunakan tokoh figuran
ORANG SERIUS I dan ORANG SERIUS II sebagai wakilnya. Hal ini justru
25 Isu kedekatan Ayu Utami dengan penulis senior Goenawan Muhamad pasca
kemenangan Saman dalam sayembara penulisan novel tersebut terus merebak
pada masa itu. Bahkan Ayu Utami dalam tulisannya mengaku juga mendapatkan
pertanyaan seputar hal tersebut, dalam sebuah wawancara Cek & Ricek sebuah
stasiun televisi (2005:80). Hal tersebut sekaligus menguatakan betapa isu tersebut
berkembang luas dan menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat hingga
media massa dan elektronika.
199
Adegan
dikuatkan dengan adegan sebagaimana ditunjukkan dalam gambar bernomor 3
pada rangkaian gambar 24 di atas. Pada gambar tersebut, di belakang orang serius
I dan II tampak Adjeng dan Mentornya yang tengah berpelukan dan bericuman.
Penggarapan adegan ini sebagai penguat pandangan masyarakat tersebut.
Namun, penggambaran keadaan ini dalam scene ini bukan berarti
mengiya-kan pendapat miring yang bermunculan di tengah masyarakat, terutama
berkaitan dengan isu siapa yang membuat atau menggarap karya tersebut
misalnya. Di samping memunculkannya, film ini juga memiliki konter terhadap
pendapat masyarakat seputar sastra perkotaan dan pengarangnya yang perempuan.
Pandangan-pandangan miring masyarakat mengenai sastra perkotaan maupun
karya-karya perempuan pengarang, baik soal isi maupun siapa yang membuat
karya tersebut dimunculkan sekaligus dikonter dalam film MBSM ini.
Djenar sebagai perempuan penulis yang tidak luput dari tudingan
penghasil sastra perkotaan menggarap film MBSM justru sebagai konter terhadap
pandangan miring masyarakat terhadap karya-karya perempuan yang selama ini
dianggap hanya menonjolkan atau mengeklporasi tabu seksualitas dan tubuh, serta
penggarapannya yang tak lepas dari peran serta besar dari seorang mentor atau
penulis senior yang dekat dengan dirinya. Melalui pelayarputihan ini, Djenar
menggarap dan memunculkan pandangannya dan konternya terhadap wacana
sastra perkotaan yang berkembang di masyarakat.
Konter terhadap perkembangan wacana sastra perkotaan, tanggapan
masyarakat seputar karya perempuan-perempuan pengarang yang digarap dalam
200
film MBSM dapat ditemukan pada scene 45 film tersebut. Di dalam scene tersebut
digambarkan bagaimana seorang Adjeng yang berprofesi sebagai penulis cerita
anak dan sedang memulai profesi baru menjadi penulis cerita dewasa. Cerita
pendek yang telah ditulisnya pun kemudian dimintakan komentar kepada
kekasihnya yang notabene juga seorang penulis senior. Di sinilah konter tersebut
dimunculkan. Pada cerita yang digarap, tokoh Adjeng justru merasa tidak
mendapatkan masukkan sesuai dengan harapannya. Sebaliknya ia merasa bahwa
masukkan dan komentar yang diberikan oleh Asmoro, mentor sekaligus
kekasihnya, justru hanya menjelek-jelekkan karyanya, menjatuhkan dan
merendahkan karyanya. Dalam keadaan ini yang terjadi adalah justru Adjeng
menganggap bahwa mentornya memiliki pandangan yang jauh lebih terbelakang
dibanding dirinya, yang tidak siap menerima perubahan keadaan dan estetika
sesuai dengan zaman yang tengah berkembang. Mulai dari gaya penulisan dengan
alur yang tidak terlalu datar dan monoton, cerita harus memiliki penyelesaian atau
setidaknya memberikan tawaran alternatif jalan keluar kepada pembaca, sampai
dengan isi cerita yang tidak terlalu dianggap kelam dan mengada-ada. Oleh-oleh
permintaan pendapat adalah ketidakpuasan dan kekecewaan.
Perdebatan antara Adjeng dan Asmoro yang memperdebatkan cerpen
201
Adegan
Adjeng dapat dilihat dalam
cuplikangambar dankutipan dialog berikut.
Gambar 25
Kutipan dialog:
ADJENG:
Gimana?
[.]
ASMORO:
Hmmmmmsedikit berlebihan ya
[.]
ASMORO:
Itulah..Kamu kayak lagi nulis cerita anak-anak. Terlalu ngekhayal,
hiperbola, gak bisa kamu terapin cara kayak gini di cerita orang dewasa.
ADJENG:
Loh? Namanya juga fiksi. Imajinasi!
ASMORO:
Tapi fiksi kan juga butuh logika, Cinta.
ADJENG:
Jangan panggil saya Cinta! Justru imajinasi lahir karena realitas ini sering
gak masuk akal! Gak logis!
ASMORO:
Iya, OK Tapi coba kamu liat tokoh utama kamu di sini. Perempuan ini
dilecehiiin terus, diperkosa terus. Tapi tidak pernah melawan. Apa
mungkin? ADJENG:
Kamu nih tolol banget ya? Nonton TV nggak sih, baca koran? Berapa
banyak korban perkosaan yang cuma bisa terima nasib? Berapa banyak
yang mau bunuh diri? Mereka itu udah kehilangan semuanya! Harga diri.
Kepercayaan diri. Semua! Boro-boro mau ngelawan! Semangat hidupnya
aja udah ilang! Dan ini realitas!
ASMORO:
Tapi Negara kita Negara hukum. Kenapa tidak seret bajingan
pemerkosanya ke polisi. Dudukin di meja pengadilan. ADJENG:
202
Heh..! Kamu itu buta apa ya?! Heh, buta? Sejak kapan hukum di Negara
ini berlaku?! Jangankan lapor polisi! Orang keluarga yang seharusnya
belain aja malah nekan-nekan korban dengan alasan malu lah, aib keluarga
lah, terus takut kalau ketahuan anaknya udah gak perawan nanti gak ada
yang mau ngawinin lah! Taik lah! [.]
ASMORO:
Oke, aku gak maksud bermaksud menyinggung kamu kamu kan
tadi minta supaya aku kasih pendapat. Ya to? Tulisanmu ini terlalu kelam.
Kelam sih sah-sah aja.. tapi kan harus ada perubahan dalam cerita. Ada
penyelesaian, ada klimaks, jadi gak ngambang kayak gini.. nggak datar
kayak gini.
ADJENG:
Memangnya dalam realitas tiap hal harus selalu ada penyelesaian?!
ASMORO:
Ya justru itu, kalo kamu bicara soal realitas, kamu ngomongin realitas,
kamu tidak bisa mangkir dari realitas karena kamu berhadapan dengan
pembaca. Mereka butuh penyelesaian.. Saya sih yakin orang lebih suka
cerita anak-anakmu. Karena lebih spontan, ceria menyenangkan
ADJENG:
Alah gak usah bertele-tele. Maksud kamu, gue harus nulis untuk
nyenengin orang lain, kan?!
ASMORO:
Ya apa salahnya, semua kreator pada akhirnya pengen karyanya disukai.
ADJENG:
Lu
tau
nggak?
ADJENG:
Gue pikir punya pacar penulis senior kayak lu bisa bikin gue tambah
pinter!
ADJENG:
Gak taunya bisanya cuma ngewek doang!
[.]
Penggarapan
scene
ini
sekaligus
memberikan
konter
terhadap
203
Adegan
penulisan novel yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada tahun
1998 dan menobatkan Saman sebagai pemenangnya. Berbagai pendapat pun
bermunculan, baik positif maupun negatif.
Berkaitan dengan kedekatan perempuan pengarang muda dengan penulis
senior serta peran penulis senior tersebut terhadap karya perempuan pengarang
muda tersebutsebagaimana yang menimpa Ayu Utami, atau terhadap karyakarya
yang digolongkan ke dalam sastra perkotaan pada umumnyaDjenar melalui
film MBSM memiliki cara sendiri dalam memberikan konternya. Menurut Djenar,
melalui film MBSM, kedekatan perempuan pengarang dengan penulis atau
pengarang senior lebih pada sebuah hubungan yang bersimbiosis mutualisme.
Keduanya saling memberikan keuntungan. Meskipun menurut scene 45,
perempuan pengarangdiwakili oleh tokoh Adjengjustru tidak mendapatkan
banyak keuntungan terutama berupa masukkan terhadap kepengarangannya.
Pendapat yang diharapkan dapat diberikan oleh mentornya dapat semakin
memperkuat dan memberikan kredit point demi perbaikan kualitas tulisannya
justru sebaliknya. Adjeng merasa tidak mendapatkan apa-apa selain cemoohan dan
cacian terhadap karyanya.
Tidak berhenti di situ, konter terhadap pandangan masyarakat seputar
kedekatan perempuan pengarang dengan pengarang senior juga digarap atau
dimunculkan melalui scene 89 film MBSM. Pada scene ini justru konter lebih
keras. Di sini, Djenar mencoba menunjukkan satu fakta bahwa kedekatannya
dengan penulis atau pengarang senior juga turut kembali mengangkat namanya
204
yang hampir mati dan tenggelam. Kondisi ini barangkali relevan dengan kasus
yang dialami oleh Ayu Utami dengan Goenawan Muhamad26. Penggarapan film
MBSM,yang meskipun secara de fakto diangkat dari dua cerpen Lt dan MJ dari
kumpulan cerpennya Djenartetapi tidak bisa tidak berkaitan dengan isu yang
berkembang baik secara khusus terhadap kasus Ayu Utami maupun secara umum
terhadap perempuan pengarang yang digolongkan ke dalam penulis sastra
perkotaan. Sehingga pembahasan film MBSM sebagai respons sastra perkotaan
tidak bisa dilepaskan dari pembahasan tersebut. Berikut cuplikan gambar dan
kutipan dialog, bagaimana Djenar mengkonter isu-isu sastra perkotaan dan
kedekatan perempuan pengarang dengan penulis senior.
Gambar6.
2 Konter Sastra Perkotaan dan Isu Kedekatan dengan Penulis Senior
melalui Scene 45
Kutipan Dialog:
[.]
ASMORO:
Terus! Terus salahin semua orang untuk lari dari masalahmu sendiri!
26 Lagi-lagi harus menyebutkan atau menggunakan dua nama tersebut sebagai
contoh sekaligus data terhadap korelasinya dengan pembahasan ini. Hal ini karena
memang persoalan Ayu Utami dengan Saman-nya dan isunya dengan Goenawan
Muhamad adalah awal perdebatan persoalan sastra perkotaan yang mencuat
dalam dunia kesastraan Indonesia.
205
Adegan
Tidak tau berterima kasih!
ADJENG:
Maksudnya?!
ASMORO:
Gak tau, atau pura-pura gak tau lagi? Kamu yang gak bisa mengerti apaapa, bukan orang lain yang nggak ngerti kamu!
ADJENG:
Saya gak ngerti! Maksud kamu apa?!
ASMORO:
Kamu seharusnya bersyukur sekarang, cerpen kamu dimuat di koran
karena aku yang kirim!
ADJENG:
Berani lu ngomong kayak gitu? Gak usah sok pahlawan deh? Elu yang
justru nebeng nama gue tahu nggak? Nama lu dioomongin lagi sejak jadi
mentor gue! Lu pikir gue buta apa?! Lu pikir gue gak liat kalo karier nulis
lu udah tinggal nunggu matinya aja! Lu yang mestinya berterimakasih
sama gue, tau gak?! []
Melalui dialog di atas tampak ada dua anggapan. Pertama, adalah mentor
yang merasa telah memiliki atau memberi andil besar terhadap keberhasilan
Adjeng dalam membantu agar karyanya bisa diterbitkan atau dimuat di surat
kabar. Artinya dengan namanya yang besar, maka karya Adjeng yang belum
diketahui publik, apalagi redaktur surat kabar, dapat dimuat. Kepercayaan diri ini
tampak dalam dialog Asmoro: Kamu seharusnya bersyukur sekarang, cerpen
kamu dimuat di koran karena aku yang kirim!. Hal tersebut relevan jika
dihubungkan dengan persoalan yang terjadi pada Ayu Utami, seorang penuis
muda, dengan karya pertamanya, tetapi langsung dapat memenangkan sebuah
event sayembara penulisan novel berskala besar. Sedangkan mengenai wacana
yang berkembang di masyarakat, Djenar memiliki jawaban dan pendapat sendiri,
seperti tampak pada anggapan kedua.
206
207
Adegan
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Uraian-uraian yang disajikan pada bab 2 dan bab 3 penelitian ini
merupakan upaya untuk menjawab dan menjabarkan permasalahan yang diangkat
dalam penelitian ini. Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini dapat disimpulkan
sebagai berikut.
Ekranisasi cerpen Lt dan MJ ke dalam film MBSM telah melahirkan
sejumlah perubahan yang signifikan. Perubahan yang terjadi meliputi perubahan
tokoh utama dari kecil menjadi besar, penciptaan tokoh-tokoh baru, perubahan
karakter
tokoh,
perubahan
latar
cerita,
serta
perubahan
alur
cerita.
karya
tersebut
telah
menghasilkan
satu
karya
208
menyampaikan
pesan
ideologis.
Ada
penerimaan
sekaligus
209
Adegan
Kesimpulan penulis terhadap penelitian ini adalah kenormalan atau
idealitas adalah produk kultural yang kerap digunakan sebagai pelabelan serta
pelanggengan dominasi dan kekuasaan. Oleh karena itu, perlu ada penerimaan
terhadap cara pandang yang berbeda-beda bahwa kenyataan itu plural sehingga
tidak ada pengkutuban ideal-tidak ideal, salah-benar.
4.2 Saran
Penelitian ekranisasi di Indonesia belum banyak dilakukan. Terutama
terhadap MBSM. Kalau penelitian ekranisasi selama ini dilakukan masih terbatas
pada pembahasan struktur naratif dan melihat perubahan yang muncul dalam
pelayarputihan tersebut, maka perlu kiranya dilakukan penelitian ekranisasi
dengan melihat keluar, mengaitkannya aspek dan bidang lain, sehingga penelitian
lebih bermanfaat.
Berkaitan dengan objek materi dalam penelitian ini, MBSM, bagi peneliti
khususnya, merupakan satu bentuk karya transformasi yang sarat dengan tanda
dan makna, sehingga masih belum menutup kemungkinan untuk dilakukannya
penelitian-penelitian berikutnya. Misalnya, dengan melihat representasinya
sebagai tanda-tanda yang bisa dikaji dari sisi semiotika, bukan saja untuk bidang
sastra, tetapi juga komunikasi.
DAFTAR PUSTAKA
210
Sumber Buku
Althusser, Louis. 2004. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis,
Cultural Studies. (terjemahan Olsy Vinoli Arnof dari Essays on
Ideology, pengantar oleh Bagus Takwim). Yogyakarta: Jalasutra.
--------- 2007. Filsafat sebagai Sebuah Senjata Revolusi: pengantar Fredric
Jameson (terjemahan dari Lenin and Philosophi, and other Essays/Louis
Althusser: introduction by Fredic Jameson.1971).Yogyakarta: Resist Book.
Alwi, Hasan dkk. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta:
Balai Pustaka.
Ayu, Djenar Maesa. 2004. Mereka Bilang, Saya Monyet!. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Bandel. Katrin. 2006. Sastra, Perempuan, Seks. Yogyakarta: Jalasutra.
Belsey, Catherine. 1990. Critical Practice. London and New York: Routledge.
Bluestone, George. 1957. Novels into Film. Berkeley, Los Angeles, London:
University of California Press.
Chamamah-Soeratno, Siti. 2001. Penelitian Sastra: Tinjauan Tentang Teori dan
Metode Sebuah
Pengantar
dalam Metodologi Penelitian
Sastra.Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.
Damono, Sapardi Djoko. 2005. Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta:
Pusat Bahasa.
Eneste, Pamusuk. 1991. Novel dan Film. Jakarta: Nusa Indah.
Fowler, Roger (ed.). 1987. A Dictionary of Modern Critical Terms (Revised and
Enlarged Edition). London and New York: Routledge & Kegan Paul.
Fulton, Helen. 2005. Narrative and Media. New York: Cambridge University
Press.
H.T., Faruk. 2001. Beyon Imagination: Sastra Mutakhir dan Ideologi. Yogyakarta:
Gama Media.
208
-------- 2000. Film dan Video sebagai Media Ekspresi dan Komunikasi dalam
Interkulturalisme (dalam) Teater. (editor Nur Sahid). Yogyakarta:
Indonesiatera.
--------- 2004. Novelis Wanita dan Budaya Populer dalam Prosa; Yang Jelita
Yang Cerita. Jakarta: Metafor.
211
Adegan
Heider, Karl G. 1935. Indonesian Cinema: National Culture on Screen. Honolulu:
University of Hawaii Press.
Hutcheon, Linda. 1991. The Politics of Posmodernism. London and New York:
Routledge.
------------ 2006. Theory of Adaptation. New York: Routledge.
Iser, Woflgang.1978. The Act of Reading: A Theory of Aesthetic Response.
London: The Johns Hopkins University Press.
Jameson, Frederic. 1991. Postmodernism or, the Cultural Logic of Late
Capitalism. London-New York: Verso.
Jauss, Hans Robert. 1982. Toward an Aesthetic of Reception. Minneapolis:
University of Minneasota Press.
Laksmini, Gita Widya dkk. 2004. Seks, Sastra, Perempuan dalam Jurnal Prosa;
Yang Jelita yang Cerita. Jakarta: PT. Metafor Intermedia Indonesia.
Labib, Muh. 2002. Potret Sinetron Indonesia: Antara Realitas Virtual dan
Realitas Sosial. Jakarta: MU3.
Lichte, Erika-Fischer. 1992. The Semiotics of Theater. Terjemahan J. Gaines dan
Doris L. Jones. Indiana University Press. Bloomington Indiana Polis.
Loven, Klarijn. 2003. Si Doel and Beyond: Discourse on Indonesian Television in
the 1990s. Amsterdam.
Mohamad, Goenawan. 1981. Seks, Sastra, Kita. Jakarta: Sinar Harapan.
Nugroho, Fajar. 2007. Cara Pinter Bikin Film Dokumenter. Yogyakarta: Indonesia
Cerdas.
ODonnel, Kevin. 2009. Postmodernism. Terjemahan Jan Riberu. Yogyakarta:
Kanisius.
Paramaditha, Intan. 2004. Seksualitas Remaja dalam Biru dan Mereka Bilang,
Saya Monyet! dalam Prosa; Yang Jelita Yang Cerita. Jakarta: Metafor.
Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya
makna. Yogyakarta: Jalasutra.
Utami, Ayu. 2005. Mari Berkeluarga di dalam Kota dalam Si Parasit Lajang;
Sex, Sketsa, dan Cerita. Jakarta: Gagas Media.
WS, Hasanudin dkk. 2004. Ensiklopedi Sastra Indonesia. Bandung: Titian Ilmu.
212
213
Adegan
Sumber Film
Ayu, Djenar Maesa. 2004. Mereka Bilang, Saya Monyet!. Produksi Intimasi
Production.
Sumber Internet
Althusser, Louis. 1970. Lenin and Philosophy and Other Essays: Ideology and
Ideological
State Apparatuses.
file://localhost/F:/Downloads/download%20files/Althusser%20archieve/Id
eology%20and%20Ideological%20State%20Apparatuses%20by%20Louis
%20Althusser%201969-70.htm/ diunduh pada 21 Maret 2008, pukul 09:50
wib.
Cattrysse, Patrick. 1997. "Unbearable Lightness of Being: Film adaptation seen
from
a
different
perspective,
The"
diunduh
dari
http://findarticles.com/p/articles/mi_qa3768/is_199701/ai_n8747779 pada
tanggal 17 Desember 2008, pukul 01:08 wib.
Cho, Sung-eun. TT. Intertextuality and Translation in Film Adaptation. Atikel.
Diunduh dari http://www.ibas.re.kr/journal/pdf/12_4.pdf pada tanggal 26
Desember 2008, pukul 03:44 wib.
Darmawan, Hikmat. 2007. dalam tulisannya yang berjudul RONGGENG YANG
MENGECEWAKAN: Novel dan Film di Indonesia, diunduh dari
http://hikmatdarmawan.multiply.com/journal/item/24/RONGGENG_YAN
G_MENGECEWAKAN_Novel_dan_Film_di_Indonesia pada 29 April
2008, pukul 00:11 wib.
Engelstad, Arne. TT. Literary Film Adaptation as Educational Text diunduh dari
http://www.caen.iufm.fr/colloque_iartem/pdf/engelstad.pdf pada tanggal
26 Desember 2008, pukul 04:09 wib.
http://en.wikipedia.org/wiki/Deus_ex_machine diunduh pada 25 Agustus 2009,
00:24 wib.
http://en.wikipedia.org/wiki/Literary_adaptation. Literary Adaptation, diunduh
pada tanggal 13 Januari 2009, pukul 17:27 wib.
http://en.wikipedia.org/wiki/Snow_White_and_the_Seven_Dwarfs_(1937_film)
diunduh pada tanggal 13 Desember 2008, pukul 20:23 wib.
http://overstreet-filmmaking.blogspot.com/2009/07/plot-driven-storiesvscharacter-driven.html diunduh pada 25 Agustus 2009, 00:02 wib
http://www.gong.tikar.or.id/?mn=wawasan&kd=48 (diunduh pada 9 November
2009 pukul 20:10 wib).
214
Lagi,
Sastra
Wangi
Itu
diunduh
dari
http://www.koranjakarta.com/beritadetail.php?id=15889, pada 19 januari 2010, 19:35 wib.
Parys, Thomas Van. 2007. Film Adaptation and Its Discontens: From Gone with
the Wind to The Passion of the Christ. Diunduh dari
http://www.imageandnarrative.be/affiche_findesiecle/vanparys.htm pada
tanggal 26 Desember 2008, pukul 03:14 wib.
Sumber Lain
Merriam-Websters Unabriged Dictionary (2000:version 2,5)
Oxford Advance Genie (kamus elektronik)
Lampiran 1
LINTAH
Ibu saya memelihara seekor lintah. Lintah itu dibuatkan sebuah
kandang yang mirip seperti rumah boneka berlantai dua, lengkap
dengan kamar tidur, ruang makan, ruang tamu dan kamar mandi di
tempatkan di sebelah kamar Ibu. Saya selalu merengek kepada Ibu
untuk memelihara hewan lain, namun Ibu bersikeras memlihara lintah
itu dan mempertahankannya sebegai hewan peliharaan tunggal di
rumah kami.
213
Adegan
Saya penyayang binatang. Namun saya sangat benci kepada
lintah. Lintah tidak pernah puas atas apa yang dimilikinya. Begitu juga
dengan rumah pribadi istimewa. Sepulang sekolah, sering saya temui
lintah itu duduk di sofa ruang tamu kami. Kadang ia
212
214
215
Adegan
lintah licik itu diam-diam membelah dirinya menjadi dua, dan seekor
menyelinap masuk ke dalam kantung saya tanpa sepengatahuan Ibu.
Saya tidak berani mengadu, takut Ibu marah seperti dulu. Sesekali
saya melihat Ibu memasukkan tangannya ke dalam kantung untuk
memeriksa keberadaan lintah. Dan alangkah puas mukanya bila
tangannya bersentuhan dengan tubuh lintah.
Beberapa kali berhasil membelah diri tanpa sepengetahuan Ibu,
lintah makin menjadi-jadi. Ia lalu membelah diri menjadi tiga, empat,
bahkan lima. Dan kali ini sudah tidak lagi menyelinap dalam kantung
saya. Ia menyelinap ke bawah baju saya. Yang satu menyelinap ke
pinggang saya. Yang satunya lagi ke perut saya. Dan mereka berputarputar sesuka hati menjelajahi tubuh saya sambil mengisapi darah saya.
Saya semakin membenci lintah. Dan saya mulai membenci Ibu.
***
Hari itu terik matahari begitu menyengat. Seragam sekolah saya
basah oleh peluh yang tidak kunjung berhenti menetes. Sesekali saya
rasakan perih saat setitik peluh jatuh tepat pada luka-luka bekas
gigitan lintah. Namun penat dan perih mendadak hilang setibanya saya
di rumah. Saya sangat bahagia mendapatkan mobil Ibu tidak ada. Saya
masuk melalui ruang tamu yang kosong tanpa mereka. Saya menengok
rumah lintah yang rapi tak terjamah. Saya masuk ke dalam kamar
lengang dan kembali bahagia bersemayam dalam dada. Saya
membuka pintu kamar Ibu. Bau wangai menergap hidung saya,
menyergap kerinduan, menyergap perasaan. Saya melangkah masuk.
Memutar kunci dan merebahkan diri di atas tempat tidur Ibu sambil
memandang lukisan kami berdua yang terpampang di atasnya. Apakah
semua lukisan keluarga yang menampakkan senyum bahagia hanyalah
sandiwara? Pikir saya. Tiba-tiba tercium bau yang sangat saya kenal
dan begitu saya benci. Tanpa dapat saya hindari lintah sudah berdiri
tepat di depan saya. Lintah itu berubah menjadi ular kobra yang siap
mematuk mangsanya. Matanya warna merah saga menyala. Jiwa saya
gemetar. Raga saya lumpuh. Ular itu menyergap, melucuti pakaian
saya, menjalari satu persatu lekuk tubuh saya. Melumat tubuh saya
yang belum berbulu dan bersusu, dan menari-nari di atasnya
memuntahkan liur yang setiap tetesnya berubah menjadi lintah. Lintahlintah yang terus menghisap hingga tubuh mereka menjadi merah.
***
Senja kelam hari ini. Hujan deras. Suara petir bertalu-talu.
Seberkas kilat menerangi wajah Ibu.
216
Sekejap
Tirai
cahaya
kembali
menerangi
tertutup.
217
Adegan
Lampiran 2
MELUKIS
JENDELA
Sejak kecil Mayra senang melukis. Sebagai anak tunggal ia
menghabiskan banyak waktu hanya dengan melamun tanpa seorang
pun untuk diajak bicara. Maka ia mulai melukis seorang ibu, bersanggul
dan berkebaya emas dengan selendang cokelat muda yang kontras
dengan kain berwarna cokelat tua yang dikenakannya, sedang duduk
memangku Mayra sambil menatap mata Mayra hangat dan mesra.
Setiap Mayra pulang sekolah, disambut dengan kelengangan dan
kesejukan dari dalam rumahnya yang ber-AC, ia akan segera masuk
kamar dan menghabiskan waktu bercakap-cakap dengan lukisan itu.
Ia berkeluh kesah tentang teman-teman prianya di sekolah yang
kerap meraba-raba payudara dan
220
kemaluannya sehingga menyebabkan teror dalam dirinya setiap
berangkat ke sekolah. Ia mendengar Ibu dengan lembut mengatakan
segalanya akan membaik esok hari. Mayra mengecup Ibu lalu
mendekapnya hingga tertidur.
Keesokan harinya Mayra pergi ke sekolah tanpa beban dan penuh
pengharapan. Namun setibanya di sekolah segerombolan anak laki-laki
sudah menghadangnya di depan pintu pagar dan beramairamai
menariknya ke kantin yang masih sepi.
Kalia tidak akan bisa menyentuh saya hari ini! teriak Mayra.
Kenapa,
Maniskenapa
218
Seorang dari mereka berlima ikut berteriak, Aku mau lihat ibumu, pasti
ibumu yang menurunkan kecantikannya kepadamu. Biar kami garap
sekalian! mereka kembali tertawa sambil memegangi perut. Mayra
mengayunkan tinjunya, tepat mengenai hidung salah satu anak lakilaki. Darah segar meleh dari dalam hidungnya.
WahAnton KO sama cewek!
Mayra melepaskan diri lalu berlari kencang menuju kelasnya.
***
Tidak ada yang berubah sebelum dan sesudah Mayra meninggalkan
rumah kecuali mobil ayahnya yang sudah tidak terparkir di dalam
garasi. Segala sesuatu masih tetap berada di tempatnya.
Lukisanlukisan karya para pelukis terkenal, dua patung Bali di samping
pintu kamar ayahnya yang terbuat dari kayu ukiran Jepara, barangbarang antik dan bingkai foto ia dengan ayahnya, semuanya rapi,
bersih dan tidak terjamah.
Namun sama sekali tidak ada foto Ibu. Mayra menangis berlari ke
kamarnya dan mengeluarkan lukisan Ibu. Ia menumpahkan
kekecewaannya kepada Ibu. Tentang janji bahwa segala sesuatunya
akan lebih baik. Tentang kepuasannya berhasil meninju hidung
berandalan itu hingga berdarah. Dan ia mengadu tentang Ayah. Ayah
yang tidak pernah mau menceritakan asal usul Ibu. Ayah yang tidak
pernah ada di rumah atau di rumah namun menghabiskan waktu
seharian menulis di dalam kamar kerja. Mayra dapat merasakan tangan
Ibu mengelus-elus rambutnya lalu bersenandung menenangkan
dirinya. Mayra menggenggam tangan Ibu, menciuminya satu per satu.
Ibu, apakah Ibu secantik yang mereka katakan?
Dan mengapa hanya kecantikan itu saja yang Ibu wariskan? Saya
ingin Ibu. Saya tidang ingin kecantikan ini.
Lamat-lamat ia merasakan tangan Ibu berhenti mengelus
rambutnya. Ibu berjalan menuntunnya ke dapur dan memberinya
sebilah pisau.
Sayat wajahmu, Nak
Mayra menerima pisau itu ke dalam tangannya dan mereka
bergandengan kembali ke kamar lalu mengunci pintu.
Ia duduk di depan kaca meja rias. Kaca di depannya memantulkan
bayangan Ibu sedang berdiri di belakangannya. Perlahan Mayra
menyayat pipinya. Darah merah segar meleleh hangat di pipinya. Ia
tersenyum. Ia membayangkan darah segar yang keluar dari hidung
219
Adegan
temannya. Merasakan kenikmatan meninju hidung anak laki-laki itu.
Merasakan kakikakinya berlari kencang menuju kelas. Waktu ia
tersadar dari lamunannya, Ibu sudah tidak ada di belakangnya. Ibu
sudah kembali ke dalam lukisan, duduk tersenyum manis sambil
memangku dirinya, mengenakan kebaya emas dan selendang cokelat
muda.
***
Sudah hampir dua tahun sejark Mayra menyayat mukanya. Ayahnya
marah besar dan memindahkan Mayra ke sekolah lain dengan alasan
malu. Mayra tidak pernah menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
Ia sudah cukup bahagia dipindahkan ke sekolah lain dan mendapatkan
reaksi dari Ayah. Ia berterima kasih kepada Ibu dan kini ia melukis Ayah
untuk disandingkan dengan lukisan Ibu.
Siang itu Mayra sangat bahagia. Setelah dinyatakan lulus Sekolah
Dasar dengan nilai cemerlang, ia di terima masuk Sekolah Menengah
Pertama yang diinginkannya. Sesampainya di rumah, mobil Ayah masih
terparkir di garasi. Ia bergegas ke dalam lalu mengetuk pintu kamar
ayahnya untuk berbagi kegembiraan.
Pintu kamar dibuka oleh seorang wanita muda.
Apakah kamu Ibu? Biasanya itu yang selalu Mayra tanyakan
kepada setiap wanita yang dibawa ayahnya. Namun kali ini Mayra tidak
ingin bertanya. Ia tahu wanita ini terlalu muda sebagai ibunya. Dan ia
tahu ayahnya sedang tidak ingin diganggu. Dengan langkah gontai
Mayra masuk ke dalam kamarnya lalu membuka lukisan Ayah.
Ia meluapkan kegembiraanya. Ayah pun turut bergembira. Ia
mencium dahi Mayra lalu mengatakan betapa bangganya Ayah pada
Mayra dan melantunkan puja puji kepadanya. Mayra membuka lukisan
Ibu. Mereka bertiga berpelukan dan berjanji akan merayakan
kebahagiaan ini dengan makan malam yang indah di restoran
kesukaan Mayra.
Dengan manja Mayra menyandarkan kepalanya ke pundak Ayah.
Ayah dan Ibu menciuminya bertubi-tubi. Mayra merasa geli dan
girang. Ia tertawa keras hingga terguling dari kursi. Mereka memapah
Mayra ke atas tempat tidur. Menyelimuti, membelai dan mendekapnya
hingga Mayra bermimpi.
Malam tiba. Mayra mengenakan gaunnya yang terindah sambil
mematut-matut di depan kaca. Ia kenakan giwang, kalung dan cincin
berlian yang diberikan ayahnya saat ulang tahun, lalu menyapu halus
220
221
Adegan
bidang dan berkulit cokelat kemerah-merahan terbakar surya untuk
menjemputnya. Ia dapat mendengarkan dengan jelas derap kaki kuda
yang mendekat dari kejauhan. Bayangan rambut hitam laki-laki yang
tergerai hingga dada menari-nari tertiup angin di atas kuda putih tak
berpelana. Ia menunggu laku-laki itu datang. Mengecup kening, mata
lalu bibirnya, dan mereka berpelukan tanpa busana. Ia membayangkan
laki-laki itu meraba payudaranya yang mulai timbuh seperti yang
pernah ia rasakan di kantin sekolah. Ia ingin mereka saling menikmati
kehangatan tubuh mereka. Saling erat, saling mengaduh, hingga senja
tiba dan pasang ombak menghanyutkan tubuh mereka ke tengah. Lalu
mereka tertawa dan berlomba berlari kembali ke tepi pantai lalu
bercerita untuk kesekian kalinya. Dan ketika matahari benar-benar
tenggelam bagai ditelan lautan, laki-laki itu mengulurkan tangannya,
membantunya naik ke atas kuda dan mereka pergi meninggalkan
pantai menuju sebuah dunia yang tak terjamah penderitaan. Dunia
penuh suka cita dan kebahagiaan.
Atau, Mayra masuk ke dalam jendela dan menemukan dirinya
berada di sekolah. Udara pagi menusuk kulitnya nemun hatinya hangat
oleh rasa suka cita. Seragam SD-nya berlumur darah. Tangan kanannya
menggenggam pisau yang sama dengan pisau yang pernah ia gunakan
untuk menyayatpipinya. Dan tangan kini Mayra menggenggam sebuah
kantong plastik hitam juga penuh darah.
Beberapa menit yang lalu ia tiba di sekolah dan seperti biasa lima
anak berandalan itu mencegatnya di pintu pagar. Sebelum mereka
menarik tangan Mayra, Mayra berkata bahwa ia ingin segera ke kantin
sekolah. Segerombolan anak laki-laki itu menyeringai senang. Seperti
kerbau dicucuk hidungnya mereka mengikuti langkah Mayra menuju
kantin. Dengan pasti Mayra berdiri bersandar pada tembok lalu
perlahan membuka kancingnya satu persatu. Kini Mayra tak lagi
berbusana. Kelima anak berandal itu menatap Mayra dengan
pandangan kosong. Lalu Mayra berkata, Mengapa kalian diam saja?
Tidakkah kalian ingin segera melucuti pakaian kalian dan menggarap
saya satu per satu?
Mereka semua terdiam kelu. Selama ini mereka senang melihat
Mayra ketakutan, memberontak dan berteriak. Mereka ingin
menunjukkan kepada Mayra. Seorang anak berayahkan penulis dan
pengusaha terkenal, satu-satunya murid yang pulang dan pergi sekolah
degan selalu mengendarai mobil mewah dengan sopir pribadi, agar
tidak seenaknya saja melihat mereka dengan sebelah mata. Namun
222
akhirnya keheningan pecah oleh sebuah suara dari salah satu anak
berandalan itu.
Apa susahnya buka baju?! Ayo kita buka, kita garap beneran!
Lalu laki-aki bernama Anton yang pernah Mayra tinju hidungnya
membuka bajunya. Yang lain mengikuti namun tetap diam di tempat.
Mereka membiarkan Anton berjalan lebih dulu mendekati Mayra.
Kalian boleh menggarap saya semau kalian, tapi bergiliran dan
tidak di sini. Kita ke kemar mandi. Kalian berlima harus menunggu satu
per satu di setiap kamar mandi. Jika saya selesai, saya akan
mendatangi kalian.
Mereka setuju dan berjalan beriringan ke kamar mandi. Mayra
berjalan lebih dulu dengan Anton sementara yang lain mengikuti dari
belakang dan masing-masing menunggu dalam kamar mandi sekolah
yang berjajar. Mereka mendengar Anton mendesah pelan, lalu makin
lama makin tak beraturan hingga Anton berteriak kencang dan setelah
itu tidak ada lagi suara terdengar. Setelah itu Mayra pindah ke kamar
mandi sebelah, mereka kambali mendengar apa yang baru saja mereka
dengar. Mereka tidak tahan menunggu giliran, mereka ingin cepatcepat Mayra datang. Semua berlangsung sama dengan sebelumnya
hingga kamar mandi yang kelima. Mayra mengenakan kembali baju
seragamnya hingga darah ditangannya menempel pada seragam
sekolahnya. Sebelum Mayra pergi, ia melirik sepintas ke arah Anton
yang telentang di lantai kamar mandi tanpa penis lagi.
Mayra melukis jendela, masuk dan menemukan dirinya berada di
sebuah taman indah penuh warnawarni bunga. Dua anak perempuan
kecil menghampiri dan tersenyum kepadanya. Wajah mereka mirip
dengan Mayra namun jauh lebih cantik. Pipi mereka merona merah,
kulit mereka putih bersih, baju yang mereka kenakan begitu indah
dengan mahkota bunga di kepala mereka. Mereka lebih mirip dengan
bidadari ketimbang anak manusia. Mayra mengecup mereka dengan
lembut dan menuntun mereka menuju pelangi emas bertahtakan
mutiara. Seorang laku-laki sudah menunggu di sana. Merentangkan
tangan untuk memeluk mereka semua.
***
Pagi-pagi sekali Bi Inah mengetuk
pintu kamar. Mayra untuk
membangunkan Mayra sekolah. Tidak seperti bisasa, kamar itu tidak
terkunci. Bi Inah menemukan kertas-kertas bergambar jendela
berserakan di seisi kamar. Mayra tidak ada di kamarnya. Seprainya
tetap rapi seperti tidak pernah ditiduri. Bi Inah mengetuk kamar
223
Adegan
majikannya. Seorang wanita membuka pintu mengatakan tuannya
masih tidur. Bi Inah menghela napas dan menunggu. Tapi ia tahu,
Mayra tidak akan pernah kembali.
Jakarta, 19 September 2001, 2:50 PM