Anda di halaman 1dari 248

1

TRANSFORMASI POLITIS FILMISASI SASTRA INDONESIA:


KAJIAN EKRANISASI CERPEN LINTAH DAN MELUKIS JENDELA
KE DALAM FILM MEREKA BILANG, SAYA MONYET!
KARYA DJENAR MAESA AYU DALAM
PERSPEKTIF POSMODERNISME HUTCHEON
TESIS
untuk memenuhi sebagian persyaratan
mencapai gelar derajat sarjana S-2
Program Studi Ilmu Sastra

Diajukan Oleh:
SUSENO
07/259473/PSA/1794

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA JANUARI
2010

POLITICAL TRANSFORMATION IN INDONESIAN LITERATURE

FILMISATION: AN ECRANISATION STUDY ON


LINTAH AND MELUKIS JENDELA SHORT STORIES INTO
MEREKA BILANG, SAYA MONYET! FILM BY DJENAR MAHESA AYU
IN HUTCHEONS POSTMODERNISM PERSPECTIVE

A THESIS
presented to the board of examiners in partial fulfillment of requirement
for master degrees

in Literary Studies

by:
SUSENO
07/259473/PSA/1794

to
GRADUATE PROGRAM
FACULTY OF CULTURAL SCIENCE
GADJAH MADA UNIVERSITY OF YOGYAKARTA
JANUARY 2010

MOTO DAN PERSEMBAHAN

Moto:
A friends is someone who knows who you are, understands where youve been,
accepts what you have become, and still gently allows you to grow. (William
Shakespeare)
Awas marang waskithaning urip, lan eling marang sangkanparaning dumadi. (.)

Persembahan:
jiwa-jiwa lelah menapak jalan-jalan malam
terdiam kelam jiwa-jiwa tanpa lelah mendoa
pada jeda-jeda dunia pada nyawa yang
tersungkur mati, pada nyawa yang
tersanjung berdiri, ku tusukkan pisau pada
dada pada jiwa yang tak henti mendoa ku
suguhkan darah dan tetes keringat ini
sebagai persembahan dan hormat kami
pada langit yang mendongak dan bumi yang
telungkup aku bersujud.
(Suseno WS)
Untuk Ibu dan Ayahku yang tak
pernah jeda mendoa, hormatku
membentang di seluas samudra
raya. Untuk kakak-kakakku: Yu
Sum, Yu Rat, Mas Yon, & Mas Pur
yang selalu membelaku dalam tiap
ruang dan waktu. Untuk adikku:
Adi, yang menjadi jiwa dan
semangatku, aku sayang kamu
sepenuhnya. Untuk jiwa-jiwa
yang tak pernah lelah memberi
warna kehidupan dan perjuangan
ini, langit tak pernah jingga di pagi
hari.
Pada almamater dan generasi negri,
_aku persembahkan karya ini.

PERNYATAAN

Dengan ini

saya menyatakan bahwa di dalam tesis ini tidak terdapat karya yang

pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,


dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat dalam karya atau pendapat
ditulis

atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam

naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, Januari 2010

Suseno

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, karunia, dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul
Transformasi Politis Filmisasi Sastra Indonesia: Kajian Ekranisasi Cerpen Lintah
dan Melukis Jendela ke dalam Film Mereka Bilang, Saya Monyet! Karya Djenar
Maesa Ayu dalam Perspektif Posmodernisme Hutcheon sebagai salah satu syarat
untuk memeroleh gelar derajat sarjana S-2 Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Tesis ini dikerjakan sebagai satu bentuk apresiasi sekaligus resepsi terhadap
fenomena ekranisasi yang terjadi dan cukup menyita perhatian publik di era-era
terakhir ini. Bagaimana sastra mengispirasi pekerja film, penerimaannya di
masyarakat, serta secara khusus keunikan yang melekat pada objek materi dalam
penelitian menjadi ide dan inspirasi untuk meneliti, sekaligus berupaya
menjembatani perselisihan dan perseteruan dalam pemikiran dan keilmuan seputar
persoalan pelayarputihan karya sastra yang muncul dari dulu hingga sekarang.
Melalui tesis ini, penulis berharap dapat memberikan alternatif cara pandang
terhadap munculnya fenomena ekranisasi.
Namun demikian, penulis sadar bahwa selesainya penulisan tesis ini tidak
lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan
ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada berbagai pihak sebagai berikut.
1. Prof. Dr. Siti Chamamah-Soeratno, selaku dosen pembimbing tesis yang telah
meluangkan waktu memberikan bimbingan, masukan, dan arahan selama
proses penulisan tesis ini. Memberikan semangat dan dorongan kepada
penulis, sehingga menjadi bara api dalam dada. Juga selaku guru dan
inspirator yang telah membuka wawasan pada banyak hal yang secara pribadi
telah menginspirasi, baik secara khusus dalam bidang ekranisasi maupun ilmu
sastra secara umum. Terima kasih atas kebaikan, kebijaksanaan, dan kesabaran
dalam membimbing selama pengerjaan tesis ini.
2. Dr. Kun Zachrun Istanti, S.U. selaku Ketua Pengelola Program Studi S2 Sastra
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada beserta jajaran karyawan
yang telah memberikan kemudahan dan menfasilitasi beberapa keperluan
akademis kepada peneliti.
5

3. Dosen-dosen serta guru-guru di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya Universitas


Gadjah Mada: Prof. Dr. Siti Chamamah Soeratno, Prof. Dr. Rachmat Djoko
Pradopo, Prof. Dr. Soebakdi Soemanto, Prof. Dr. Imran T. Abdullah, Prof. Dr.
Faruk HT, S.U., Prof. Dr. Heddy Sri Ahimsa Putra, Dr. Kun Zachrun Istanti,
S.U. yang telah memberikan bekal ilmunya kepada penulis selama masa
perkuliahan. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat bagi penulis, dapat
dikembangkan dan diamalkan, menjadi berkah bagi semua.
4. Prof. Dr. Faruk HT(Mbah Faruk) atas obrolannya di bon-bin bersama
dengan teman-teman meskipun di sela-sela kesibukan, serta beberapa
kesempatan lain, yang cukup menginspirasi. Terima kasih atas masukan dan
komentarnya yang sempat muncul di awal-awal proses pengerjaan tesis ini,
serta kesempatan yang diberikan untuk masuk ke perpustakaan pribadinya
dan meminjam beberapa buku referensi yang kami butuhkan dan sangat
bermanfaat.
5. Prof. Dr. Imran T. Abdullah, atas kesediaan waktu menyempatkan diri
menonton film Mereka Bilang, Saya Monyet! di ruang sekretariat pascasarjana
lantai 2, meskipun harus bersusah-susah naik ke lantai 2. Terima kasih juga
atas diskusi-diskusi dan masukan yang telah diberikan demi tesis ini.
6. Pada Mbak Djenar Maesa Ayu, atas kiriman skenario film Mereka Bilang,
Saya Monyet!-nya.
7. Mas Yusuf dan Mas Ranto, staf kesekretatiatan Program Pascasarjana Fakultas
Ilmu Budaya UGM, yang telah memberikan berbagai bantuan dan kemudahan
pelayanan akademik yang penulis butuhkan dengan penuh kesabaran,
kearifan, dan kekeluargaan.

8. Teman-teman Pustakawan Perpustakaan Pascasarjana FIB, Perpustakaan


Pascasarjana Pusat, Perpustakaan Pascasarjana Kajian Budaya dan Media
Universitas Gadjah Mada yang telah memberikan pelayanan kepada penulis
dengan cukup baik, sabar, dan penuh persahabatan dalam pencarian
referensireferensi yang penulis butuhkan untuk penulisan tesis ini. Juga tidak
lupa penulis ucapkan terima kasih kepada pihak pengelola Perpustakaan
Kolese ST. Ignatius Yogyakarta atas pelayanan dan referensi buku yang cukup
membantu penulis dalam upaya pengerjaan tesis ini.
9. Prof. Dr. Soedijono Sastroamodjo, M.SiRektor Universitas Negeri
Semarang, Prof. Dr. Rustonodekan Fakultas Bahasa dan Seni Unnes, serta
Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri SemarangPak Doyin dan Pak Wagiran, yang telah
memberikan izin dan kemudahan untuk melakukan studi lanjut.
10. Teman-teman sekantor, guru-guru, serta kolega di jurusan Bahasa dan Sastra
Indonesia FBS Unnes: Pak Doyin, Pak Wagiran, Pak Suharianto, Pak Dandan,
Pak Eko, Pak Rustono, Pak Suparyanto, Bu Prapti, Bu Nas Haryati, Bu
Budiyati, Bu Mimi, Bu Ida Zulaeha, Pak Agus Nur, Pak Teguh, Pak Fathur,
Pak Hardyanto, Pak Tommi, Pak Hari Bakti, (yang kebetulan juga secara
bersamaan tengah menempuh studi S3 di UGM, sukses selalu), Pak
Subyantoro, Bu Sumartini, Mbak Pristi, Mabk Deby, Mas Imam, Mbak Uum
Qomariyah. Juga pada guruku Ibu Raminah Baribin. Pada teman-teman baru
di jurusan: Ahmad Saefudin, Intan, Septi, dan Santi. Teman-teman Bahasa
Jawa: Pak Agus Yuwono, Pak Sukadaryanto, Pak Hardyanto, Bu Endang, Mas
Cip, Nur Fatehah, dll. Juga kepada teman-teman karyawan TU Jurusan Bahasa
dan Sastra Indonesia: Mbak Puji, Pak Mali, Mas Pramono (eks.), Mas
7

Maryanto, Mbak Dewi, Arinda. Juga pada Pak Widodo BS dan teman-teman
UKM. Pada teman-teman di Laboratorium Teater dan Film Usmar Ismail:
Deni, Imam, Fia. Terima kasih atas suport yang diberikan.
11. Buat teman-teman satu kelas, senasib sepenanggungan dalam studi S-2 di
UGM. 1) Ali SahabudinPak Ali, tetua kami, yang kerap memberikan
slentingan masukan, kritik, diskusi, dan saran yang menggugah teman-teman,
jatuh dan juga bangkit. 2) Rosana HariyantiMbak Ocha alias Ling Ling atas
semua yang diberikan: pertemanan, diskusi, saran, masukan yang cukup
membangun. Menjadi teman dikala susah dan senang, serta menjadi obor
penyemangat dikala kita jatuh dan padam. Terima kasih atas jalan-jalan
bersama bertiga atau berempat, karaoke, nonton, ke perpustakaan, makan dan
lainnya. 3) Asep YudaMas Asep atas semua suport yang sering kali
diberikan, diskusi-diskusi, serta berbagai bantuan informasi baik seminar
maupun peluang-peluang lain, teman foto kopi buku yang cukup setia, terima
kasih juga atas jamuannya pas di Solo dan di rumah dulu. 4) Maryono
Maryun Mer, nggak ada Lu nggak rame, Bung, yang kerap menjadi
semangat buat kami, yang kami rindukan kehadiarannya, dengan local
colornya yang kental, terima kasih telah menjadi kawan setia bahkan saudara
sejak saat-saat awal saya di jogja. 5) Zulfadliatas kebersamaannya, dalam
keseharian, makan, maupun badminton ria, selalu ya untuk program happy di
kelas. Thanks sudah ngajari badminton. 6) Ismail NasutionMas Is, pendiam
tapi lucu, selalu memberikan dukungan dan semangat untuk programprogram
kebersamaan dan keakraban di kelas, terima kasih mancing barengnya, jalanjalan di alun-alun, dll. Maaf program ke Balinya belum terlaksana. 7) Wajiran
yang

super sibuk, atas

obrolan-obrolan yang menginspirasi

dan

membangkitkan, tapi tetap saling memberikan semangat. 8) Yulia Fitriana


8

Mbak Ipit, yang kadang sama-sama memiliki keluhan kebingungan baik saat
ketemu maupun di dunia maya, memberikan perhatian positif pada temanteman, membangun, dan telah menjadi bendahara yang baik, terima kasih. 9)
Imagolda SihobingMbak Golda, Simbok, atas semangat dan suport yang
baik kepada teman-teman sekelas. 10) Yohanes Adi SetyokoMas Adi,
terima kasih atas beberapa diskusi dan masukan buat penulis yang cukup
menggugah, menginspirasi. 11) Rita Puspitaningrum yang kritis, lucu,
dalam beberapa hal mampu membuat teman-teman tertawa. 12) Kusmiarti
Bu Kus, ibu buat teman-teman, terima kasih atas kebersamaan dan
kepeduliannya dengan teman-teman, terima kasih telah menyediakan tempat
untuk berbuka bersama teman-teman sekelas. 13) Teriayang meskipun
hanya beberapa waktu, tapi sempat kenal, berdiskusi bersama, berdebat
bersama, terima kasih dan maaf jika ada salah. 14) Made Sinta Maya L.
Maya Alleta, yang dalam suatu kesempatan juga turut menjadi good actor
yang terus teringat, terima kasih juga atas diskusi dan obrolan dalam beberapa
kesempatan. 15) Rakhmatyang polos, jujur, baik hati, dalam beberapa
kesempatan telah menjadi penyemangat dengan beberapa obrolan dan diskusi
yang membangun, terima kasih. 16) Karkono vokalis kami, yang telah
menjadi teman yang baik, memberikan dorongan, semangat, kepada temanteman di kelas. 17) MuarifPak Muarif, atas obrolan-obrolan yang ringan
namun cukup menginspirasi. Terima kasih juga atas beberapa even telah
menjadi gitaris yang cukup meramaikan suasana, menghibur, dan membuat
teman-teman senang, terima kasih. 18) Rahmawati AziMbak Rahma, istri
Pak Muarif, terima kasih atas diskusi, obrolan, masukan, dan berbagai hal
yang membangun dalam menghidupkan suasana kelas, terima kasih juga telah
menjadi penyanyi dan good actor dalam perayaan ultahku yang datang begitu
9

mengejutkan dan tak terlupakan. 19) Luzianah binti Thomas SabliLuzi,


yang kerap turut merasakan keluhan rasa dan berbagi rasa, semoga lagu
Isabela tetap berkumandang dengan ending yang lebih happy, terima kasih
atas pertemuan dan persahabatan selama ini, semoga terus terjalin, atas diskusi
dan obrolan baik serius maupun santai yang menginspirasi, maaf jika
perdebatan di facebook menyinggung, tapi benarbenar tidak ada maksud
demikian. 20) Terakhir secara khusus penulis ucapkan terama kasih kepada
Hat PujiatiHat, atas kebersamaannya selama ini, perhatian dan suport yang
selama ini diberikan, atas diskusi-diskusi panjang dan berkualitas melalui
berbagai media meski kadang berujung perdebatan, menjadi bara dalam dada,
terima kasih telah menjadi kerdip lilin dikala malam, menjadi perekat pada
tiap retak kerja ini, menjadi udara, warna, dan menjadi puisi dalam kehidupan
ini, semoga Allah menunjukkan dan membimbing jalan pada kebahagiaan.
Mohon maaf atas perdebatan dan perselisihan yang selama ini ada, yang
menjadi kerikil di sepanjang perjalanan. Semoga bisa menyingkirkan.
Akhirnya, terima kasih yang tak terhingga kepada kalian semua. Maaf jika ada
kesalahan selama pertemuan kita. Semoga jarak tidak menjadi penghalang
untuk tetap berkomunikasi pasca studi ini. Sukses buat semua.
12. Terima kasih juga kepada teman-teman Depag yang telah menjadi teman yang
baik, saling memberi informasi dan referensi, obrolan, dorongan, semangat:
Mansur Gaga (yang ada di mana-mana), Pak Heri, dan temanteman. Sukses
dan salam buat kalian semua.
13. Kepada kakak-kakak kelasku yang baik dan sangat baik, memberikan
dorongan, masukkan, dukungan, dengan tanpa pamrih: Ikhwan Rosyidi, atas
diskusi, obrolan, dan masukan yang cukup berarti, juga atas bantuan dalam
10

berbagai hal. Terima kasih telah menjadi kawan dalam pertukaran pikiran dan
perasaan. Terima kasih juga atas pinjaman referensi buku-bukunya; Mas
Trisna, atas diskusi-diskusi di kamar kos, suport, wawasan, dorongan, serta
masukan yang cukup memberi warna, menginspirasi, dan menjadi lecutan
cambuk untukku terus berlari; Ibu Lina MeilinawatiTeh Lina, terima kasih
atas kesempatan perkenalannya, atas bantuan informasi, pinjaman buku
referensi, serta berbagai hal yang tanpa pamrih begitu terbuka memberikan
bantuan yang cukup berharga meski dalam kesibukannya studi S3, terima
kasih atas ketulusannya; Mas Heru Kurniawanterima kasih atas berbagai hal
dan kesempatan yang diberikan; Umilia RokhaniMbak Umi, terima kasih
atas kesempatan waktu yang diberikan untuk berdiskusi di tengahtengah
kesibukan; Mbak Lilikyang menjadi sosok yang menginspirasi, menjadi
kawan, kakak sekaligus ibu buatku, semoga S3-nya lancar; Pak Mukhtar-Bu
Mukhtarterima kasih pertemuan dan persaudaraan yang diberikan, atas
pinjaman referensi bukunya; Rowi, Mbak Fitri, Mbak Rika, Mas Alan Abidin,
Mbak Basiyah, terima kasih atas semuanya. Terima kasih juga kepada Mas
Asep Yusup, atas obrolan-obrolan yang tidak banyak kuantitasnya, tetapi
cukup kualitasnya. Tapi ada hutang yang belum kau bayar: membawakan aku
kopian tesismu. Juga untuk Mas Ikhwan Unej, meskipun tidak banyak
kesempatan pertemuan kita, namun kesempatan itu sempat memberikan
inspirasi dan dorongan yang cukup buat penulis.
14. Teman-teman Blue Kos: Ikhwan (yang telah menjadi penunjuk jalan pertama
bagi peneliti ketika awal di Jogja, maaf telah jatuh bersama di Jl Colombo
pasca pulang dari Toga Mas membeli buku pukul 9 malam kala itu hingga
meninggalkan bekas yang tak hilang sampai kapanpun. Semoga tetap
mengenang. Terima kasih atas segala bantuan yang kau berikan. Terima kasih
11

juga telah menjadi pendengar segala keluh kesah dan berbagi perasaan.
Sukses.), Rowi, Bun-Bun, Wakhid, Khafid, Maksal, Said, Rizal, Sapta, Robi,
Pak Bambang, atas kebersamaan yang selama ini ada, meramaikan dan
memberi warna dalam kehidupan di Jogja. Terima kasih dan maaf atas segala
kesalahan. Sukses buat semua.
15. Teman-teman seperjuangan kala S1: Yanti, Danar, Ninik, Yohanes Erwin,
Ciput, Munir, Dani, Pipo dan semuanya yang tak bisa saya sebutkan satu
persatu, yang terus di hati dan menjalin komunikasi. Pada teman-teman
seperjuangan di UKM Kesenian Jawa Unnes: Amung, Yohanes, Ciput, Mbak
Win, Cik Yun, Buke, Pake, Mas Yoyok, Yokang, dan semuanya yang tak
terlupa. Pada Mas Yarmo yang terus memberikan dorongan dan semangat.
Buat Rusyid yang selalu setia menjadi telinga, mendengarkan segala keluh
kesah dan curhatku, menjadi saksi semua penjalanan hidupku, menjadi sisi
hati yang terus mengerti dalam segala rasa. Pada Mustafiq dan Ashari yang tak
henti memberi doa. Untuk Pak Widodo yang menjadi bapak, guru, sekaligus
rekan dan kawan. Pada teman-teman, saudara, dan adik-adik di
UKM kemarin dan kini: Ipuk-Ani dkk, Wahyul-Emprit dkk, Imron-Wahyu
dkk, terima kasih atas semuanya. Mohon maaf tanpa kira atas semuanya pula.
Terima kasih atas semua dorongan yang selama ini diberikan.
16. Secara khusus, kepada keluargaku di Purbalingga: Bapak dan Ibuku, terima
kasih atas segala doa dan restu yang diberikan, kasih sayang yang tak pernah
putus diberikan, suport dan dorongan berbagai hal, tanpa semua itu tentu
penulis bukan apa-apa. Untuk kakak-kakakku: Yu Rat dan Kang To, Mas Yono
dan Mbak Sul, Mas Pur dan Mbak Uul, terima kasih atas dorongan dan
perhatian yagn tak pernah putus, menjadi api semangat terus berkobar di dada.
12

Buat Adiadikku satu-satunya yang sangat aku sayangi, yang terus menjadi
semangat untuk terus maju dan berbuat sesuatu menuju keberhasilan. Terima
kasih atas suportnya selama ini. Semoga sukses buat kamu. Buat ponakanponakanku: Afri, Banu, Oki, Faik, Agung, semoga tumbuh menjadi pribadipribadi yang membanggakan keluarga dan negara.
17. Kepada keluargaku di Sumatra: Jambi, Kakakku dan ponakanku, terima kasih
atas dorongan dan kasih sayang yang diberikan sehingga semangat selalu ada
untuk menyelesaikan kerja ini; Palembang, Mbah, Pak Lik, Bu Lik, Adik,
Ponakan, dan semua keluarga yang jauh di sana, terima kasih atas suport yang
selalu datang meski hanya lewat handphone, terima kasih atas kasih sayang
dan kerinduan yang panjang dan tak terputuskan. Semoga Tuhan senantiasa
memberkati kita semua.
18. Akhirnya kepada semua pihak yang telah turut andil dalam kesuksesan ini,
yang tak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu, terima kasih atas segala
bantuan dalam bentuk apa pun yang telah diberikan kepada penulis selama
proses belajar maupun selama proses penyusunan hingga selesainya penulisan
tesis ini. Semoga semua itu menjadi ladang amal yang baik dan mendapatkan
balasan setimpal dari Allah SWT.
Penelitian ini merupakan bagian kecil dari samudra ilmu sastra luas.
Keterbatasan kemampuan dan berbagai hal yang ada pada peneliti menjadikan
penelitian ini jauh dari sempurna. Akan tetapi, sekecil apa pun hasil penelitian ini,
peneliti berharap semoga hasil penelitian ini memberi manfaat bagi perkembangan
studi sastrakhususnya ekranisasidan kebudayaan, serta memberi inspirasi bagi
peneliti-peneliti lain untuk melakukan penelitian yang lebih baik dan sempurna.

13

Yogyakarta, Januari 2010

Penulis
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................xiv
INTISARI..................................................................................................................xix

ABSTRAK ...................................................................................................... xxv

BAB I
PENDAHULUAN ..............................................................................
1.1 Latar Belakang .........................................................................................

1.2 Permasalahan ...........................................................................................

1.3 Rumusan Masalah ....................................................................................

1.4 Tujuan Penelitian .....................................................................................

1
0

1.5 Tinjauan Pustaka ......................................................................................

1
1

1.6 Landasan Teori .........................................................................................

2
1

1.6.1 Ekranisasi ............................................................................................

2
2

1.6.2 Posmodernisme Linda Hutcheon ........................................................

3
7

1.7 Metode Penelitian ....................................................................................

4
4

1.8 Sistematika Penulisan ..............................................................................

4
8

14

BAB II PERUBAHAN-PERUBAHAN YANG MUNCUL

DALAM

TRANS-FORMASI CERPEN Lt DAN MJ KE DALAM FILM MBSM!


......
2.1 Perubahan dan Fungsi Penggarapan Alur ................................................

49

2.1.1 Penggarapan Alur Cerpen


Lt .................................................................
2.1.2 Penggarapan Alur Cerpen MJ ...............................................................

51

2.1.3 Penggarapan Alur Film .........................................................................

67

50

57

2.1.4 Perubahan Alur Cerita dalam Pelayarputihan ....................................... 115


2.2 Perubahan Tokoh dan Perwatakan Tokoh ................................................

123

2.2.1 KecilBesar =
123
DuaSatu .....................................................................
2.2.2 Perluasan Cerita melalui Penciptaan Tokoh
129
Baru .................................
2.2.2.1 Tokoh dan Relasinya di dalam Cerpen Lt .......................................... 130
2.2.2.2 Tokoh dan Reasinya di dalam Cerpen MJ .........................................

131

2.2.2.3 Perluasan Tokoh: Perluasan Cerita di dalam Film MBSM ................. 133
2.3 Perubahan Latar Waktu Cerita ................................................................. 141
BAB III POLITIK DALAM TRANSFORMASI MEREKA BILANG, SAYA
MONYET!: DIALOG DUA MEDIA ..............................................................

147

3.1 Two in One: Indikasi Posmodernisme dalam Ekranisasi MBSM ...........

147

3.1.1 Dua Cerpen dalam Satu Film: Fragmentasi Cerpen dalam Film .........

148

3.1.2 Doubleness: antara Menerima dan Menolak Ideologi


Idealitas ..........
3.2 Politik dalam Transformasi Cerpen ke Film ...........................................

170
176

3.2.1 Kecil-Besar: Politik dalam Transformasi Tokoh Adjeng .................... 177


3.2.2 Dari Ideologi Idealitas ke Penerobosan Ideologi: Politik dalam
Transformasi Ideologi ......................................................................... 179
3.2.3 Film MBSM: Respons terhadap Wacana Pengelompokan Sastra
dengan Citra Negatif ........................................................................... 187

15

3.2.3.1 Kritik terhadap Pelabelan


Sastrawangi ............................................
3.2.3.2 Film MBSM: Konter terhadap Pelabelan Sastra .................................

187

BAB IV PENUTUP .......................................................................................

204

192

4.1 Simpulan .................................................................................................. 204


4.2
Saran .........................................................................................................

206

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

207

LAMPIRAN ................................................................................................... 212


.
Lampiran 1 Cerpen Lintah .............................................................................. 212
Lampiran 2 Cerpen Melukis Jendela ...............................................................
DAFTAR TABEL

220

Tabel 1. Perbedaan Konsep Sastra dan Konsep Film (disarikan dari materi kuliah
Ekranisasi S2 Sastra UGM oleh Prof. Dr. Chamamah
Soeratno) .........................................................................................

37

Tabel 2. Tabel Transformasi Tokoh dari Cerpen ke Film serta TokohTokoh Ciptaan Baru di dalam Film MBSM .................................... 138 DAFTAR
DIAGRAM

Diagram 1. Peta Teori Ekranisasi di antara Teori Lain ................................

3
7

Diagram 2. Pemikiran Penelitian ..................................................................

4
7

Diagram 3. Pola Perubahan Alur dalam Pelayarputihan Cerpen Lt dan MJ


ke Film MBSM ..........................................................................

16

1
1

7
Diagram 4. Transformasi Tokoh Cerpen Lt dan MJ ke film MBSM ............

Diagram 5. Konstruksi-Dekonstruksi Cerita ................................................

1
3
7
1
7
0

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.

Rangkaian cerita film MBSM adegan 10 dan 11 ......................

Gambar 2.

Rangkaian adegan 26, 27, dan 28 film MBSM ........................

Gambar 3.

Cuplikan gambar adegan Adjeng kecil hingga Adjeng


dewasa ......................................................................................

Gambar 4.

1
1
9
1
2
0
1
2
2

Tokoh Maha dan Mayra di dalam film MBSM. Pada


rangkaian gambar yang ditandai dengan angka 1, 2, dan 3
menunjukkan tokoh Maha (cerpen Lt) sedangkan gambar
dengan angka 4, 5, dan 6 menunjukkan tokoh Mayra (dalam
cerpen MJ) ...............................................................................

17

1
2

8
Gambar 5.

Tokoh Adjeng dalam film MBSM, tokoh transformasi dari


tokoh Maha dan Mayra ............................................................

1
2
8
Gambar 6. Fragmen-fragmen adegan 26-32 dalam film MBSM ..............
1
5
2
Gambar 7. Split cerita cerpen di dalam film MBSM adegan 25-27 .......... 1
5
5
Gambar 8. Fragmentasi adegan 33, 34, 35 dalam film MBSM ................. 1
5
7
Gambar 9. Fragmentasi adegan 41-42 dalam film MBSM ........................ 1
5
8
Gambar 10. Fragmentasi adegan 79-82 dalam film MBSM ........................ 1
5
9
Gambar 11. Fragmentasi adegan 83-84 dalam film MBSM ........................ 1
6
1
Gambar 12. Fragmentasi adegan 86-88 film MBSM .................................. 1
Gambar 13. Fragmentasi dan pengacauan logika tokoh pada adegan 89
6
3
film MBSM .............................................................................. 1
6
Gambar 14. Fragmentasi dan pengacauan logika cerita dalam adegan 89
5
film MBSM .............................................................................. 1
6
Gambar 15. Fragmentasi dan pengacauan cerita pada tokoh Adjeng dalam
5
adegan 90 film MBSM ............................................................
1
6
Gambar 16. Sikap Adjeng yang agresif dan permisif ketika di hadapan
7
teman-teman dan pacarnya ...................................................... 1
7
2
Gambar 17. Sikap Adjeng yang pasif ketika di hadapan Ibunya ................. 1
7
3
Gambar 18. Oposisi biner rumah dan luar rumah: penerobosan norma dan
kungkungan ..............................................................................

18

1
8
4

Gambar 19. Kerinduan Adjeng pada rumah ................................................


Gambar 20. Scene 74 film MBSM, opening respons wacana sastra

1
8
5
perkotaan ................................................................................. 1
9
2
Gambar 21. Cantik: Respons Masyarakat terhadap Penulis Perempuan .. 1
Gambar 22. Muda: Tanggapan Positif yang Muncul terhadap Persoalan
9
3
Penulis Perempuan ................................................................... 1
9
4
Gambar 23. Konter Muda: Tanggapan terhadap Tanggapan Masyarakat ... 1
Gambar 24. Karya Siapa: Pertanyaan terhadap Kepengarangan
9
5
Perempuan ................................................................................ 1
9
6
Gambar 25. Adjeng Meminta Asmoro Mengomentari Cerpennya .............
1
9
Gambar 26. Konter Sastra Perkotaan dan Isu Kedekatan dengan Penulis
9
Senior melalui Scene 45 ........................................................... 2
0
2

19

DAFTAR SINGKATAN

Lt

: Lintah

MJ

: Melukis Jendela

MBSM

: Mereka Bilang, Saya Monyet!

DMA

: Djenar Maesa Ayu

INTISARI

Mereka Bilang, Saya Monyet! (selanjutnya disingkat MBSM) merupakan


film yang diangkat dari dua cerpen, yaitu Lintah dan Melukis Jendela. Keunikan
dalam transformasi tersebut adalah dua ke dalam satu, dua cerita ke dalam satu
cerita. Hasilnya adalah sebuah film posmodern dan kaya akan perubahan
signifikan. Penelitian berjudul Transformasi Politis Filmisasi Sastra Indonesia:
Kajian Ekranisasi Cerpen Lintah dan Melukis Jendela ke dalam Film Mereka
Bilang, Saya Monyet! Karya Djenar Maesa Ayu dalam Perspektif Posmodernisme
Hutcheon ini berusaha mendeskripsi perubahan-perubahan yang ada serta
mengkaji aspek ideologis-politis dari perubahan yang tersebut. Teori ekranisasi
yang diungkapkan Eneste (1991) menyebutkan bahwa dalam pelayarputihan akan
selalu muncul perubahan-perubahan. Ekranisasi juga diartikan sebagai proses
perubahan. Perubahan yang mungkin terjadi dalam ekranisasi adalah
penciutan/pemotongan, penambahan, serta perubahan dengan variasi. Teori
tersebut digunakan untuk menemukan perubahan-perubahan yang muncul dalam
20

transformasi karya yang menjadi objek materi dalam penelitian ini. Selanjutnya
dengan perspektif posmodernisme Hutcheon (1991), penelitian dilanjutkan untuk
mengkaji aspek ideologis-politis dalam representasi yang ada. Hasil dari penelitian
ini adalah pertama, perubahan signifikan yang muncul dalam transformasi karya
tersebut meliputi perubahan tokoh utama dari kecil menjadi besar, penciptaan
tokoh-tokoh baru, perubahan karakter tokoh, perubahan latar cerita, serta
perubahan alur cerita. Kedua, transformasi tersebut menghasilkan sebuah film
posmodern. Posmodernitas film tersebut hadir dalam bentuk fragmentasi alur dan
dualitas karakter tokoh utama. Ketiga, film MBSM, melalui representasi
posmodernismenya, merupakan konter dominasi kekuasaan dari yang kuat
terhadap yang lemah. Keempat, film MBSM menyerukan suara ideologi:
penerobosan idealitas, penerobosan norma, serta pelarian dari beban masa lalu
yang menghantui. Kelima, film MBSM merupakan respons terhadap wacana
sastra perkotaan. MBSM, dengan representasinya, telah menyuarakan bahwa
kenormalan atau idealitas merupakan produk kultural yang kerap digunakan
sebagai pelabelan serta pelanggengan dominasi dan kekuasaan. Oleh karena itu,
perlu ada penerimaan terhadap cara pandang yang berbeda sehingga tidak ada
pengkutuban ideal-tidak ideal dan salah-benar.
Kata kunci: transformasi, ekranisasi, filmisasi, ideologi, dan politik posmodernisme,
sastrawangi.
ABSTRACT

Mereka Bilang, Saya Monyet! (later on abbreviated to MBSM) is a film


raised up from two short stories, they are Lintah and Melukis Jendela. A
uniqueness in such transformation is two stories becoming a story. The result of
such transformation is a postmodern film and full of significant changes. This
research entitled Political Transformation of Indonesian Literature Filmization:
An Ecranisation Study on Lintah and Melukis Jendela Short Stories into Mereka
Bilang, Saya Monyet! Film by Djenar Mahesa Ayu in Hutcheons Postmodernism
Perspective tries to describe and to exploit existing changes in the transformation
and to study ideological-political aspects from those changes as well. Ecranisation
theory expressed by Eneste (1991) shows that filmization always emerges changes.
Ecranisation is also meant by changing process. The changes might happening in
ecranisation is reducing or cutting, adding, and varied changes as well. This theory
is used to find out the changes emerging in work transformation becoming material
object in this research. By Hutcheons postmodernism perspective, this research
then continues to study ideological-political aspects in existing representation. The
results of this research are, first, the presentation of significant changes in the
transformational work including the changes of main characters childhood into
adulthood, the creation of new characters, the changes of characters
characteristics, the changes of story setting, and plot. Second, these
transformations produce a postmodern film. The postmodernity of the film
presents in its fragmented plot and the dualities of main characters characteristics.
Third, MBSM film, through its postmodernism representation, is a counter to
power domination from the stronger toward the weaker. Fourth, MBSM film
proclaims voices of ideology: an ideality breakthrough, a norm breakthrough, and
21

an escape from a haunted past burden. Fifth, MBSM film is a response of


cosmopolitan literature discourse. MBSM, with its representation, has uttered
that normality or ideality is cultural product, which is occasionally used for
labeling and perpetuating domination and power. Therefore, an acceptance toward
different way of seeing so that there are no polarizations of ideal-not ideal and of
right-wrong is necessary.
Keywords: transformation, ecranisation, filmization, ideology, and postmodernism
politic, fragrant literature.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Fenomena

filmisasi1khususnya

di

Indonesiapada

kurun

waktu

terakhir

menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan. Di barat, kegiatan memfilmkan karya


sastraatau yang lebih dikenal dengan istilah filmisasitelah dilakukan, setidaknya, sejak
akhir perang dunia pertama. Rumah produksi Disney2, misalnya, pada tahun 1930-an telah
mengangkat cerita Snow White and The Seven Dwarfs ke layar lebar. Snow White merupakan
dongeng yang dikategorikan sebagai genre sastra fairy tale. Pada perkembangan berikutnya
sejumlah novel juga telah diangkat ke film layar lebar, misalnya The Name of the Rose karya
Umberto Eco yang difilmkan tahun 1986, The God Father I, II, III karya Mario Puzo
difilmkan tahun 1972, The Lord of the Rings Tolkien difilmkan pada tahun 2001, 2002, dan
2003, dan Harry Potter karya J.K. Rowling yang difilmkan pada tahun 2001.

1 Istilah ini dibentuk dari kata film+(imbuhan)-isasi. Sufiks isasi sendiri merupakan sufiks pembentuk nomina proses, cara,
dan pembuatan (dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III). Sedangkan dalam kamus elektonik Merriam-Websters
diartikan sebagai adaptasi dari novel atau drama ke gambar bergerak. Selanjutnya istilah filmisasi diartikan sebagai proses
pemfilman atau pembuatan film, sehingga istilah filmisasi karya sastra diartikan sebagai pemfilman karya sastra,
pengangkatan karya sastra ke dalam film. Istilah filmsisasi juga dipilih untuk memadankan atau menyejajarkannya dengan
istilah novelisasi (yang berarti penovelan film) yang juga sudah sering digunakan. Salah satu tulisan yang telah
menggunakan istilah ini adalah tulisan Raudal Tanjung Banua, seorang Pengarang dan Koordinator Komunitas Rumahlebah
Yogyakarta yang berjudul Filmisasi
Sastra
dan
Kuasa
Pasar dalam
http://www.gong.tikar.or.id/?mn=wawasan&kd=48 (diunduh pada 9 November 2009 pukul 20:10 wib). 2 Penelitian formula
Disney pernah dilakukan oleh Beta Setiawati (2005) yang berjudul Disneyzation of Non American Stories in Disneys
Films: A study on Popular Cultur. 1

22

Sementara di Indonesia, fenomena filmisasi telah dilakukan, setidaknya, sejak tahun


1970-an2. Sejumlah karya sastra (novel) telah ditranformasi ke film, antara lain: Salah
Asuhan karya Abdoel Moeis difilmkan oleh Asrul Sani (1972), Si Doel Anak Betawi karya
Aman Datuk Madjoindo difilmkan oleh Sjumandjaja
(1973), Atheis karya Achdiat Karta Miharja difilmkan oleh Sjumandjaja (1974), Roro Mendut
karya Y.B. Mangunwijaya difilmkan oleh Ami Prijono (1983), Ronggeng Dukuh Paruk karya
Ahmad Tohari telah difilmkan oleh sutradara Yasman Yazid dengan judul film Darah dan
Mahkota Ronggeng (1983), novel Ca Bau Kan karya Remy Silado difilmkan oleh Nia Dinata
(2002), novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman yang digarap oleh sutradara Hanung
Bramantyo, dan Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata dengan sutradara Riri Reza (2008). Selain
judul-judul novel dan film di atas, juga terdapat sederet judul lain, yaitu Lupus, Gita Cinta
dari SMA karya Eddy D. Iskandar, Di Sini Cinta Pertama Kali Bersemi karya Mira Widjaya,
Cintaku di Kampus Biru karya Ashadi Siregar, Badai Pasti Berlalu karya Marga T., Kabut
Sutra Ungu karya Ike Soepomo, hingga ke cerita bersambung Api di Bukit Menoreh karya SH
Mintardja.
Selain novel, ada pula cerita pendek yang ditransformasi ke film. Cerita pendek
berjudul Tentang Dia!!! Karya Melly Goeslaw misalnya, telah difilmkan oleh sutradara Rudi
Soedjarwo (tahun 2005) dan diberi judul sama yaitu Tentang Dia. Selain cerpennya di
filmkan, film Tentang Dia kemudian juga dinovelkan (oleh Moamar Emka).

Dalam dunia transformasi sastra ke bentuk lain (film atau layar lebar) bagi karya sastra Indonesia telah ada yang
mengalami transformasi ke dalam bentuk sinetron, ditayangkan secara bersambung di televisi. Sebagai contoh ada Siti
Nurbaya karya Marah Rusli, ditransformasi ke dalam bentuk sinetron oleh Dedi Setiadi dan Sengsara Membawa Nikmat
karya Tulis Sutan Sati. Menurut pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Ketiga, sinetron adalah film yang
dibuat khusus untuk penayangan di media elektronik, seperti televisi. Sedangkan menurut Labib (2002: 1) sinetron atau
sinema elektronik adalah film cerita yang dibuat untuk media televisi. Merujuk pada dua pengertian tersebut, dalam konteks
ini peneliti memisahkan (tidak memasukkan) sinetron dari kajian ekranisasi. Dengan mendasarkan konsep ekranisasi Eneste
(1991: 60) yang menyebutkan bahwa ekranisasi adalah pelayarputihan. Sedangkan merujuk pada pengertian KBBI Edisi
Ketiga, layar putih merupakan istilah bidang kesenian yang berarti layar perak. Sedangkan layar perak sendiri berarti tirai
tempat mempertunjukkan gambar hidup (di bioskop). Dengan demikian, sinetron dipisahkan pengertian dan wilayah
kajiannya dari ekranisasi. Akan tetapi, berada dalam satu wilayah kajian yang lebih besar, yaitu transformasi.

Satu fenomena lain yang terjadi dalam pemfilman karya sastra di Indonesia film
ekranisasi berjudul Mereka Bilang, Saya Monyet!. Film tersebut memiliki keunikan jika
dibandingkan dengan film-film ekranisasi yang sudah ada sebelumnya. Keunikan film
tersebut terletak pada, pertama, film ini diangkat dari dua cerita pendek, yaitu Lintah dan
Melukis Jendela karya Djenar Maesa Ayu yang terangkum dalam kumpulan cerpen Djenar:
Mereka Bilang, Saya Monyet!. Film hasil transformasi tersebut diberi judul sama dengan
judul kumpulan cerpennya, yaitu Mereka Bilang, Saya Monyet!. Diangkat dari dua cerita
pendek artinya film Mereka Bilang, Saya Monyet! merupakan film hasil kolaborasi dua
cerpen, kolaborasi dua cerita ke dalam satu cerita. Hasil penggabungan dua cerpen tersebut
adalah satu bentuk film yang fragmentaris. Cerita-cerita cerpen dihadirkan di dalam film
dalam bentuk fragmen-fragmen serta menjadi flashback.
Kedua, cerpen dan film dikerjakan oleh orang yang sama, yaitu Djenar Maesa Ayu.
Dalam hal ini, ia bertindak sebagai penulis cerpen (writer) sekaligus juga penulis skenario,
sutradara, dan produser, dalam penggarapan filmnya meskipun dalam ranah kerja film tetap
merupakan hasil kerja sebuah tim. Hal ini berbeda dengan filmisasi karya sastra yang lain.
Biasanya filmisasi karya sastra dikerjakan oleh orang lain, artinya ada novel yang ditulis oleh
seseorang, kemudian dari cerita tersebut diangkat ke dalam skenario film oleh orang lain, dan
akan difilmkan pula oleh sutradara dan produsen (sineas) yang orang lain pula.
Pengangkatan novel ke film oleh orang lain tentu saja telah melalui pembacaan orang lain
sehingga dalam kondisi demikian ideologi dan pandangan pihak kedua (pembacanya)
tersebut sangat mungkin memengaruhi penggarapan film. Sebaliknya jika pemfilman
dikerjakan oleh orang yang sama dengan penulis ceritanya, maka ideologi yang tertuang
dalam cerita film dapat dibaca sebagai representasi dari ideologi pengarang cerpennya
sendiri. Hal ini tentu saja memiliki kemenarikan tersendiri untuk dikaji lebih mendalam.

Ketiga, signifikansi perubahan yang terjadi dalam film transformasinya. Transformasi


cerpen Lintah dan Melukis Jendela ke dalam film Mereka Bilang, Saya Monyet!
menghasilkan sebuah karya film yang syarat dengan perubahanperubahan yang signifikan.
Salah satu contoh perubahan yang terjadi adalah perubahan tokoh utama. Tokoh utama dalam
cerpen dilukiskan kecil, masih duduk di bangku SD dan SMP. Hal ini sangat berbeda dengan
penciptaan tokoh di dalam film transformasinya. Di dalam film, tokoh utama dilukiskan telah
dewasa, bekerja sebagai penulis cerita anak di sebuah majalah, dan tengah berusaha untuk
menulis cerita dewasa. Penciptaan karakter tokoh yang sangat jauh dari cerpen sebagai
sumber transformasi ini diasumsikan bukan sebagai penciptaan kosong. Dengan merujuk
pada pendapat Hutcheon (1991: 3) yang menyatakan bahwa karya seni posmodern tidak bisa
tidak politis, maka dapat diasumsikan bahwa pemfilman dua cerpen tersebutkarena dengan
melihat karakteristik karya tersebut maka ia dapat digolongkan sebagai karya posmodern
dengan perubahan-perubahan yang muncul itu bersifat politis. Peneliti beranggapan ada
ideologi yang melatarbelakangi perubahan demi perubahan dalam transformasi tersebut, dan
di balik itu pula pasti ada aspek politis yang melatarbelakanginya. Tiga hal di atas
memberikan alasan untuk menjadikan karya tersebut sebagai objek materi dalam penelitian
ini.
Selain hal di atas, transformasi dua cerpen ke dalam film Mereka Bilang, Saya
Monyet! menghasilkan film yang memiliki ciri-ciri posmo. Eklektisisme merupakan ciri
posmodernisme yang melekat dalam film tersebut. Secara struktur film Mereka Bilang, Saya
Monyet! berbentuk fragmen-fragmen. Cerita di dalam cerpen hadir menjadi potonganpotongan cerita, split-split, fragmen, dalam alur film. Alur cerita yang berkisah pada tokoh
Ajeng, merupakan perwujudan tokoh cerpen, Maha dan Mayra, yang penghadiaran kisahnya
saling keluar-masuk dan campur-aduk dengan cerita di dalam cerpen. Film tidak saja
memfilmkan cerita seperti dalam cerpen, tetapi membentuk cerita sendiri dengan
menghadirkan cerita cerpen sebagai pecahan-pecahan cerita film.
4

Persoalan transformasi karya, khususnya filmisasi karya sastra, hingga saat ini banyak
menimbulkan perdebatan soal originalitas3 karya. Banyak kritikus yang mendikotomikan
karya hasil transformasi sebagai karya jiplakan dan berada pada posisi inferior dibandingkan
karya sumber transformasi yang dianggap lebih agung. Kritik dan kekecewaan yang kerap
mengemuka diantaranya adalah dalih bahwa cerita dalam film tidak sama atau berubah dari
novel sebagai sumbernya, ceritanya melenceng, sampai dengan dakwaan bahwa film tersebut
merusak cerita asli (dalam novelnya). Pemikiran dan anggapan tersebut muncul disebabkan
oleh adanya pandangan bahwa novel (karya sastra) merupakan sumber origin dari karya
transformasinya. Pandangan semacam ini berdampak pada lahirnya dikotomi karya origin dan
turunan atau jiplakan, karya agung dan inferior.
Selain dari kritikus, pandangan tersebut juga muncul dari para pengarang. Ernest
Hemingway adalah salah satu contoh pengarang yang sering merasa kecewa manakala novelnovelnya di filmkan. Old Man and the Sea, salah satu novelnya yang difilmkan pada tahun
1958, bukan saja menimbulkan kekecewaan pada pengarangnya, tetapi juga pada banyak
pihak karena menganggap film tersebut jauh dari novelnya dan bahkan muncul pandangan
bahwa filmnya mengurangi nilai keagungan novelnya. Hal serupa terjadi pula pada Boris
Pasternak dengan pemfilman Dr. Zivago (1965). Film The Da Vinci Code, transformasi dari
novel laris Dan Brown yang terbit tahun 2003 dengan judul sama, telah menghebohkan dunia

3 Kaitannya dengan hal tersebut Damono (2005:19-22), dalam ranah kajian bandingan, menjelaskan bahwa dalam penularan

atau pengaruh itu kerap terjadi dalam penciptaan karya, dan istilah ini juga harus diartikan secara luas, tidak hanya sebagai
suatu tiruan atau jiplakan. Hal ini karena konsep pengaruh mencakup spektrum yang luas. Dalam mencipta karya, para
sastrawan memiliki kecenderungan meminjam, baik langsung maupun tidak langsung. Disebutkan di sana bahwa menurut
para pakar drama-drama Shakespeare dianggap tidak ada yang asli, artinya semua merupakan pinjaman atau bahkan curian
dari sumber lain, bisa sastra, teks kronik, atau bahkan sejarah. Keberadaan sastra modern sendiri diawali dari tradisi lisan.
Pada bagian lain, tema terjemahan, Damono (2005:34-36) juga menjelaskan bahwa dalam terjemahan, meskipun tergolong
terjemahan setia, tetap sering terjadi pengkhianatan. Damono kemudian mengutip, lalu membantah, pendapat Gifford yang
berpendapat bahwa sastra terjemahan diibaratkan sebagai reproduksi hitam putih. Damono berpendirian bahwa
penerjemahan karya sastra tidak perlu dianggap sebagai usaha mati-matian untuk menjadi karya yang sama dengan aslinya.
Dalam kaitan ini ia menjelaskan bahwa karya hasil terjemahan ataupun pengalihan wahana merupakan teks baru yang tidak
perlu dibandingkan hal keasliannya dengan teks sumbernya karena karya tersebut telah menjadi karya sendiri, yang berbeda
dengan karya atau teks sumbernya.

perfilman dengan munculnya kontroversi seputar kebenaran cerita yang diangkat oleh penulis
skenario dalam film tersebut4.
Fenomena serupa juga terjadi di Indonesia, Roro Mendut dan Atheis adalah contoh
film transformasi yangdengan alasan yang kurang lebih samatelah menimbulkan
kekecewaan banyak pihak. Bahkan film Darah dan Mahkota Ronggeng yang ditransformasi
dari novel Ronggeng Dukuh Paruk juga turut menambah panjang daftar kekecewaan penulis
novel Indonesia. Film transformasi tersebut dianggap menghilangkan esensi novel. Sebagai
ungkapan kekecewaan Ahmad Tohari sebagai penulis novel tidak mau menonton film hasil
olahan sutradara Ami Prijono tersebut. Selain itu, film ekranisasi tersebut juga dianggap jauh
melenceng dari tema hakikat perempuan di hadapan kuasa dan himpitan norma dalam
novelnya, banyak hal dan adegan yang kurang pas dalam film tersebut jika dibandingkan
dengan novelnya (Abdul Hady 1984; Hikmat Darmawan 2007)5.
Seiring perkembangan pemikiran manusia, lahir ilmu ekranisasi yang berupaya
mewadahi perdebatan originalitas karya, yaitu adanya dikotomi karya origin-jiplakan dan
agung-inferior , dalam transformasi karya sastra ke dalam film. Hal ini merupakan upaya
menjembatani jarak (gap) perbedaan antara karya sumber dan karya hasil transformasinya
secara ilmiah.

Diungkapkan oleh S. Itafarida, Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra, Universitas Airlangga, dalam artikelnya berjudul
Adaptasi dari Karya Sastra ke Film: Persoalan dan Tantangan diunduh dari www.journal.unair.ac.id pada 29-4-2008 pukul
21:31 wib.

5 Abdul Hady dalam tulisannya berjudul Nyanyian Duka Ronggeng Dukuh Paruk dimuat dalam Surat Kabar Merdeka

Edisi Minggu, 13 Mei 1984 Tahun XXXIX Nomor 1923 Halaman 6 Kolom 7-8 (Sumber ini didapat dari Pusat Dokumentasi
Sastra HB Jassin); Hikmat Darmawan dalam tulisannya yang berjudul RONGGENG YANG MENGECEWAKAN: Novel
dan Film di Indonesia, diunduh dari
http://hikmatdarmawan.multiply.com/journal/item/24/RONGGENG_YANG_MENGECEWAKAN_Novel_d
an_Film_di_Indonesia, pada 29-4-2008, pukul 00:11 wib.

Penciptaan sebuah karya seni, termasuk di dalamnya tranformasi karya sastra ke


bentuk film, selalu memiliki fungsi. Seperti diungkapkan oleh Chamamah-Soeratno (2008) 6
bahwa filmisasi merupakan media informasi dan memiliki peran menghibur, mendidik, dan
memengaruhi. Karya sastra maupun film, sebagai produk sosial dan budaya, kelahirannya
merupakan hasil kerja usaha merefleksikan persoalan-persoalan atau fenomena-fenomena
sosial yang ada dalam masyarakat. Bukan hanya itu, karya sastra juga merupakan kerja
produksi representasi yang melibatkan berbagai kepentingan dan peran dalam masyarakat.
Fenomena ekranisasi yang menghasilkan karya dengan sejumlah perubahan,
dipandang bukan sekadar perubahan yang terjadi begitu saja, tetapi terdapat ideologi yang
melatarbelakanginya, terdapat pergerakan ideologi yang dibawa dari fiksi (sastra) ke film.
Pergerakan ideologi serta perubahan yang muncul diyakini tidak tanpa tujuan (tanpa fungsi),
melainkan diciptakan dan dengan maksud tertentu.

Hal ini menunjukkan bahwa karya

mengusung misi tertentu dan membawa ideologi tertentu dalam setiap representasinya.
Didasarkan pada pemikiran tersebut, maka perubahan-perubahan yang dilakukan terhadap
satu karya ke bentuk lain pun, filmisasi karya sastra, membawa pergeseranpergeseran
ideologi yang ada di dalamnya, dan yang demikian (dalam pandangan posmodernisme
Hutcheon) tidak bisa tidak pasti politis (Hutcheon 1991:3).
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka peneliti beranggapan bahwa dalam transormasi
cerpen Lintah dan Melukis Jendela ke dalam film Mereka Bilang, Saya Monyet! terdapat
pergeseran ideologi di baliknya serta ada aspek politis yang melatarbelakanginya. Adanya
anggapan tersebut, serta melihat keunikan yang dimiliki dalam transofmasi karya tersebut,
mendorong peneliti untuk menjadikannya sebagai objek materi dalam penelitian ini.

6 Dikutip dari materi workshop (dengan tema Filmisasi Sastra Indonesia diselenggarakan di UII Yogyakarta pada 13 Juni
2008) dengan judul Filmisasi Sastra sebagai Media Dakwah.

1.2 Permasalahan
Pemilihan cerpen Lintah (selanjutnya disingkat Lt) dan Melukis Jendela (selanjutnya
disingkat MJ) dari kumpulan cerpen Mereka Bilang, Saya Monyet!, (selanjutnya disingkat
MBSM) karya Djenar Maesa Ayu (selanjutnya disingkat DMA) serta film transformasinya,
Mereka Bilang, Saya Monyet! (selanjutnya juga disingkat MBSM), sebagai objek materi
dalam penelitian ini didasarkan pada masalah yang muncul dari fenomena filmisasi tersebut.
Pertama, film MBSM merupakan film yang ditransformasi dari dua cerpen, yaitu Lt dan MJ.
Dua cerpen berarti dua cerita dan dalam transformasi ini dua cerita tersebut telah
dimasukkan ke dalam satu cerita film, menjadi satu cerita film. Penggabungan dua cerita
cerpen ke dalam satu cerita film ini pun tidak menghasilkan, atau tidak dijadikan, satu
rangkaian cerita yang menyatu, melainkan seakan-akan terlepas sekaligus terkait. Kedua,
transformasi tersebut menghasilkan atau memunculkan perubahan-perubahan yang cukup
signifikan. Di antara perubahan signifikan yang muncul adalah perubahan setting waktu yang
berimbas pada perubahan usia tokoh.
Berdasarkan masalah yang muncul dari fenomena ekranisasi MBSM seperti tersebut di
atas, muncul pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut. Bagaimana hasil transformasi dua
cerpen ke dalam satu film? Bagaimana perubahan-perubahan yang muncul dalam
transformasi tersebut? Aspek-aspek apa saja yang memengaruhi perubahan-perubahan dalam
transformasi tersebut?

1.3

Rumusan Masalah
Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan yang munculdi dalam sub bab permasalahan

di atasmaka dapat dirumuskan rumusan masalah di dalam penelitian ini sebagai berikut:
1.

Perubahan-perubahan yang muncul dalam pelayarputihan cerpen Lintah dan Melukis Jendela
ke dalam film Mereka Bilang, Saya Monyet!.
8

2.

Aspek-aspek ideologis-politis yang memengaruhi perubahan dalam pelayarputihan cerpen


Lintah dan Melukis Jendela ke dalam film Mereka Bilang, Saya Monyet!.

1.4

Tujuan Penelitian
Penelitian ekranisasi ini diharapkan dapat memenuhi dua tujuan pokok, yaitu pertama

tujuan teoretis dan kedua tujuan praktis.


Secara teoretis, penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa sebuah film
transformasi bukan hanya bisa diangkat dari satu karya sastra, tetapi bisa juga bisa dari dua
karya sastra, yaitu seperti yang terjadi pada film MBSM. Dengan menggunakan teori
ekranisasi penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mendeskripsi perubahanperubahan yang terjadi dalam transformasi cerpen ke film, antara lain perubahan cerita,
setting waktu, dan perubahan tokoh utama. Ekranisasi sebagai sebuah kajian perubahan
media karya sastra dalam praktik kajiannya membutuhkan kehadiran teori lain untuk
melakukan bidikan lebih jauh yang belum mampu dijangkau oleh teori ekranisasi itu sendiri.
Oleh karena itu, penelitian ini juga menggunakan perspektif posmodernisme Hutcheon untuk
membedah aspek-aspek ideologis dan aspek politis yang memengaruhi dilakukannya
perubahan demi perubahan dalam transformasi cerpen ke film tersebut. Hal ini dilakukan
sebagai langkah selanjutnya setelah ditemukannya perubahan-perubahan yang terjadi di
dalam aktivitas ekranisasi tersebut.
Secara praktis, penelitian ini bertujuan memberikan informasi kepada masyarakat
mengenai transformasi karya sastra, bahwa sebuah film bisa diangkat dari dua karya sastra
(cerpen) dan dalam transformasi karya selalu memunculkan perubahan-perubahan. Penelitian
ekranisasi ini juga diharapkan dapat memberikan pandangan dan pemikiran terhadap
fenomena ekranisasi karya sastra sehingga diharapkan dapat mengubah pandangan yang
mendikotomikan karya origin dan jiplakan, serta karya agung dan inferior, dalam filmisasi
9

karya sastra. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menambah apresiasi masyarakat
terhadap karya sastra dan film, bahwa karya sastra dan film sebagai produk sosial dan
budaya, sebagai bentuk refleksi dan produk representasi masyarakat, memiliki muatan yang
berguna bagi masyarakat. Lahirnya film transformasi dari karya sastra bukanlah serta merta
memfilmkan karya sastra itu sendiri, tetapi akan terjadi perubahan-perubahan sesuai dengan
fungsinya di dalam film dan perubahan-perubahan yang muncul di dalam filmdengan
representasi yang adaperlu disikapi dan dibaca secara lebih kritis dan cerdas: bahwa ada
sesuatu di balik perubahan-perubahan yang munculyang bersifat politis dan secara tak
terelakan juga bersifat ideologis.

1.5

Tinjauan Pustaka
Penelitian ekranisasi terhadap film Mereka Bilang, Saya Monyet! hingga saat ini

belum pernah dilakukan, baik yang berupa skripsi, tesis, maupun penelitian lain. Beberapa
hasil penelitian yang disajikan dalam tinjauan pustaka ini digunakan sebagai pembanding
sekaligus melihat sisi-sisi bidang kajian yang pernah dan belum pernah dilakukan, baik
penelitian film atau cinema, ekranisasi, penelitian terhadap objek material yangkurang
lebihsama, dan penelitian dengan objek formal (teori) yang sama dengan penelitian ini.
Dengan demikian, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap peneliti
dalam melakukan penelitian ekranisasi ini.
Penelitian terhadap film atau cinema Indonesia telah dilakukan oleh Heider (1935)
seperti diuraikan dalam buku berjudul Indonesian Cinema: National Culture on Screen.
Penelitian tersebut mencoba mengangkat satu topik pembahasan, yaitu budaya nasional.
Sebuah pertanyaan yang secara ontologis penting untuk dijawab menurut peneliti adalah Is
film product or message? Ada dua penekanan perhatian sekaligus kemungkinan jawaban,
yaitu film as active agent atau film as passive product. Pada kemungkinan pertama melihat

10

film sebagai komunikasi, yaitu komunikasi antara pengirim pesan (pembuat film) dengan
penerima pesan (audien, penonton), yang dapat membuka pertanyaan atau persoalan yang
bersifat intensional dari pengirim pesan dan membuka kesadaran penerima. Pendekatan yang
lebih tepat dierikan di sini adalah teori komunikasi, yaitu melihat intensi yang dimiliki oleh
pengirim pesan dalam menyampaikan pesannya melalui film. Sedangkan pada kemungkinan
kedua, melihat film sebagai produk budaya yang melahirkannya. Pada kasus yang kedua,
peneliti tidak melihat fungsi film tersebut, melainkan melihat struktur internalnya. Artinya
struktur internal dari film yang dipandang berasal dari budaya Indonesia. Dalam hal ini,
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan struktural.
Dalam penelitian ini diungkapkan bahwa film-film Indonesia mencerminkan realitas
masyarakat Indonesia yang dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti penjajahan (Belanda dan
Jepang), perjuangan, sentimental, hal-hal yang berbau horor, selain juga menunjukkan
tradisionalitas atau lokalitas yang ada, seperti legenda-legenda. Beberapa genre film yang
ditemukan menunjukkan gambaran rekaman masyarakat pada masa itu. Selain itu,
pendekatan struktural yang digunakan juga telah berhasil menemukan adanya konvensikonvensi cerita dan tanda, seperti yang ditemukannya dalam film Buaya Putih maupun Galau
Remaja di SMA, yaitu adaya ketakutan pada orang tuanya ketika tiba-tiba tokoh muntahmuntah, ia takut kalau dianggap atau ketahuan hamil. Hal ini erat katiannya pula dengan
adanya tabu seksualitas yang juga ditemukan dalam filmfilm Indonesia. Selain temuan di
atas, Heider juga menemukan adanya model modernisasi dalam sinema Indonesia,
diantaranya adalah yang ditemukan dalam film Salah Asuhan dan Desa di Kaki Bukit.
Akhirnya buku yang merupakan hasil penelitian antropologis ini pun menyimpulkan adanya
pergerakan kultur modernisasi dalam masyarakat Indonesia yang dapat dibaca atau diketahui
dari film baik sebagai active agent maupun sebagai passive product. Dikotomi ini masih perlu
dicermati kembali, terutama erat kaitannya dengan perkembangan keilmuan pada dewasa ini.

11

Sebuah penelitian disertasi berjudul Si Doel and Beyond: Discourse on Indonesian Television
in the 1990s telah dilakukan oleh Klarijn Loven (2003).
Fokus penelitian tersebut adalah pada linguistik dan wacana yang ada dalam film Si Doel.
Wacana yang lebih disoroti adalah wacana pendidikan pada masyarakat Betawi sebagaimana
terepresentasi dalam film (atau lepih tepatnya sosok) Si Doel. Dalam bidang linguistik,
dengan teorinya Garrett dan Bell, Loven lebih banyak memfokuskan pada bahasa dan
penggunaannya. Selain itu Loven juga mengunakan analisis wacana (discourse analisys)
maupun teori wacana (discourse theory)-nya Mills baik untuk menganalisis konteks
bahasanya mauapun konteks wacana sosiologi-bangsanya. Untuk lebih memperdalam analisis
wacananya, Loven juga mengombinasi dua teori yaitu social and culture analisys dengan
critical discourse analisys.
Hasil penelitian tersebut dibagi ke dalam empat bagian. Bagian pertama membahas
pendidikan Doel, seorang Doel yang terdidik, sebagai wacana televisi Indonesia. Bagian ini
membahas Deol sebagai anak Betawi dimulai dari tradisi teks sampai dengan tradisi film, dari
tradisonal sampai pergerakan modernitas dan bagaimana petualangannya. Pada bagain kedua
membahas languagescape dari Doel yang terdidik atau terpelajar, karakterisasi, dan
pemikiran atau angan-angan dan realitasnya. Bagian ketiga berisi pembahasan framing
educated Doel, mulai dari educated Doel sebagai aset broadcasting, fenomena televisi,
representasi budaya Betawi, alat advertising, dan sarana bahasa. Bagian terakhir membahas
jangakauan dari pergerakan wacana educated Doel.
Ada temuan yang menarik dari kajian tersebut, diantaranya adalah etnisitas dan
identitas serta gaya atau tradisi hidup masyarakat Betawi, bahwa ada pergerakan ke arah
modernitas, ke arah western. Pertama, dilihat dari adanya pergerakan ke arah kebutuhan akan
pendidikan. Film Si Doel yang diputar di, salah satu stasiun, televisi pada akhirnya menjadi
cambuk bagi masyarakat Betawi terhadap kesadaran akan kebutuhan pendidikan di masa
12

mendatang. Penonton yang menonton tayangan di televisi mendapatkan dorongan dan


kesadaran akan pentingnya pendidikan. Levin, di dalam penelitian ini, juga menyebutkan
bahwa film Doel tersebut telah menjadi voice of Jakarta, bahwa Betawi yang identik dengan
Jakarta, dan Doel yang lekat dengan Betawi telah menjadi ikon yang cukup kuat pada eranya.
Meskipun penelitian tersebut secara khusus bukan penelitian sastra, akan tetapi dari wacana,
sebagai salah satu fokus penelitiannya, serta seberapa dalam mengupasnya, memberikan
masukan yang cukup berarti dalam penelitian yang sedang penulis lakukan kali ini.
Sebuah penelitian lain, yang merupakan penelitian sastra, khsusnya ekranisasi,
berjudul Adaptasi Film Biola Tak Berdawai ke dalam Novel: Kajian Perbandingan telah
dilakukan oleh Firman Hadiansyah (2006). Penelitian tersebut merupakan penelitian tesis
untuk menyelesaikan studi S2 Ilmu Sastra di Universitas Indonesia. Persoalan yang diangkat
dalam penelitian tersebut adalah Bagaimana perubahan unsur-unsur cerita dan penceritaan
yang terjadi dalam adaptasi film ke novel Biola Tak Berdawai?
Pendekatan digunakan untuk membahas persoalan tersebut adalah pendekatan
strukturalisme. Penelitian tersebut lebih memfokuskan pada unsurunsur intrinsik dalam film
dan novel sebagai hasil adaptasinya. Dalam hal ini, Hadiansyah sama sekali tidak membahas
hal-hal di luar teks, baik film maupun novelnya. Pembatasan dan pendekatan ini memang
dipilih karena tujuan yang ingin dicapai oleh Hadiansyah adalah menemukan persamaan
sekaligus perbedaan yang terjadi akibat pengadaptasian tersebut. Untuk mendukung analisis
dengan pendekatan strukturalisme, Hadiansyah juga menggunakan teori Barthes mengenai
hubungan sintagmatik dan paradigmatik.
Pembahasan pertama penelitian ini menganalisis alur penyajian dan alur sebab akibat
dalam film dan dalam novel. Analisis ini juga menggolongkan jenisjenis sekuen yang ada
menjadi sekuen dialog, peristiwa, deskripsi latar, deskripsi tokoh dan sikap tokoh, serta sorot
balik. Kesimpulan sementara yang diberikan oleh peneliti dari analisis tahap pertama ini
13

adalah bahwa alur penyajian film berjalan lebih lambat dibandingkan dengan alur penyajian
novel. Selain itu, juga terdapt titik tekan yang lebih di dalam novel dalam mempresentasikan
tokoh Dewa, sebagai penderita autis dan cacat ganda, yaitu dengan menyajikan dirinya
sebagai seorang penutur. Hal ini tidak ditemukan dalam film. Sedangkan dalam alur sebab
akibat baik film maupun novel tidak ditemukan perbedaan yang signifikan.
Selanjutnya, pembahasan tahap kedua membahas perbandingan tokoh dan penokohan
serta latar ruang dan waktu baik dalam film maupun novel. Kaitannya dengan analisis tokoh
dan penokohan, ditemukan adanya perbedaan tokoh utama antara film dan novel. Di dalam
film tokoh utama memusat hanya pada satu tokoh, yaitu Renjadi, sedangkan dalam novel
selain Renjani, tokoh Dewa juga menjadi tokoh utama. Perbedaan lain adalah dalam hal
jumlah tokoh. Novel memiliki tokoh dengan jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan
jumlah tokoh dalam film. Sementara berkaitan dengan latar ruang tidak ditemukan perbedaan
yang signifikan. Perbedaan yang ada lebih dipengaruhi oleh perbedaan media dari kedua
karya tersebut. Demikian pula dengan latar waktu yang relatif tidak ada perbedaan.
Hasil penelitian ekranisasi yang lain yang juga pernah dilakukan adalah penelitian
yang berjudul Transformasi Novel ke Bentuk Film: Analaisis Ekranisasi teradap Novel Ca
Bau Kan oleh Umilia Rokhani (2008). Penelitian tesis tersebut meneliti bagaimana sebuah
novel (Ca Bau Kan) di transformasi ke dalam film. Dalam penelitian ini Rokhani
menganalisis perbedaan kedua genre karya tersebut, film sebagai transformasi dan novel
sebegai hipogramnya. Untuk melihat perbedaan tersebut Rokhani menggunakan pendekatan
intekstual melalui sistem sastra dan sistem film sebagai interpretasinya.
Berdasarkan permasalahan yang diungkapkan dalam penelitiannya, Rokhani
menggunakan teori struktur naratif Chatman dan teori intertekstual Kristeva. Akan tetapi,
dalam analisis kernel dan satelit dalam transformasi karya tersebut Rokhani lebih banyak
menggunakan konsep intertekstual dari Napiah karena dianggap lebih bisa menunjukkan
14

perubahan dan pergerakan struktur naratif dalam proses transformasi dari novel ke film.
Sementara teorinya Riffatere lebih digunakan dalam kaitannya atau untuk mendudukan novel
sebagai hipogram dari film.
Dengan menggunakan teori struktur naratif Chatman penelitian ini menemukan ada 91
kernel dan 284 satelit di dalam novel serta 79 kernel dan 146 satelit di dalam film. Dari
analisis kernel dan satelit, sistematika kelogisan cerita, dan analisis suara narator dalam novel
dan film, akhirnya peneliti (Rokhani) berhasil menemukan adanya persamaan dan perbedaan,
serta variasi maupun perluasan alur yang muncul dalam proses transformasi dari novel ke
film. Melalui pendekatan intertekstual selanjutnya diketahui bahwa perubahan, perbedaan,
variasi maupun perluasan alur yang muncul tersebut dipengaruhi oleh adanya prinsip
haplologi, modifikasi, ekserp, transformasi, dan ekspansi.
Berdasarkan hasil temuan dari penelitian tersebut, menurut penulis kali ini, masih
memiliki keterbatasan. Salah satu keterbatasan yang ada adalah penelitian ini hanya mencoba
melihat perbedaan struktur naratif dari novel (sebagai hipogramnya) dan film (sebagai hasil
transformasinya). Penelitian ini hanya mengungkap atau mendeskripsi pergerakan struktur
naratif dalam proses transformasi karya serta perbedaan dan persamaannya. Pembahasan
lebih lanjut setelah ditemukan perbedaan struktur dan ditemukan adanya hubungan
intertekstualitas antara dua genre karya tersebut belum dibahas dalam penelitian tersebut.
Sebuah penelitian terhadap cerpen karya Djenar Maesa Ayu berjudul Lintah pernah
dilakukan. Penelitian tersebut merupakan penelitian skripsi oleh Nina Tristianti (2007) FIB
Universitas Gadjah Mada yang diberi judul Lintah Karya Djenar Maesa Ayu: Analisis
Semiotika Roland Barthesian. Dengan menggunakan Semiotika Roland Barthes, tanda-tanda
yang ditemukan di dalam cerpen tersebut dianalisis sehingga ditemukan makna yang tersirat
di dalam cerpen karya Djenar tersebut. Beberapa tanda yang ditemukan dan dianalisis
maknanya antara lain lintah, ibu, anak, sofa, kamar, dan lukisan. Melalui pembagian leksia
15

dan kode semiotika Barthes sebagai langkah kerja analisisnya, Tristianti menyimpulkan dari
penelitiannya bahwa banyak makna yang dapat diperoleh dari tanda-tanda yang terdapat di
dalam cerpen Lintah melalui analisis semiotika Roland Barthes antara lain tema kehidupan
keluarga, kurangnya kasih sayang orang tua, kehidupan bebas, dan pelecehan seksual.
Sedangkan dari sisi judul sendiri, kata lintah dapat dimaknai lebih dari hanya binatang air
yang dapat menghisap darah, tetapi lintah merupakan simbol atau tanda untuk orang yang
suka mengambil keuntungan dari orang lain. Lintah dapat diartikan sebagai orang yang suka
memanfaatkan orang lain untuk menghisap keuntungan sebanyak-banyaknya. Selain itu,
Tristianti juga menyimpulkan bahwa Lintah merupakan karya sastra yang bersifat writerly.
Penelitian terhadap kumpulan cerpen Djenar Maesa Ayu berjudul Mereka Bilang,
Saya Monyet!, juga pernah dilakukan, dalam bentuk penelitian skripsi, oleh Rika Indrawati
(2008), Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran Bandung. Penelitian tersebut memilih 5
cerpen dari 11 cerpen dalam kumpulan cerpen Djenar, MBSM, sebagai populasinya dan
menggunakan pendekatan psikoanalisis Freud sebagai teorinya. Kelima judul cerpen tersebut
adalah Lintah, Durian, Melukis Jendela, Menepis Harapan, dan Namanya,. Alasan
pemilihan lima cerpen tersebut adalah adanya adanya garis benang merah yang ditunjukkan
atau ditandai dari terdapatnya kesamaan tema tekanan batin tokoh utama akibat pelecehan
seksual.
Langkah yang dilakukan dalam penelitian tersebut diawali dari analisis struktur, yaitu
dengan menganalisis struktur sastra, kemudian mencari relasi antarunsur tersebut.
Selanjutnya melalui pendekatan psikologi analisis dilanjutkan dengan melihat sisi-sisi
psikologis yang dialami tokoh dengan melihat relasi antarunsur-unsur tersebut. Dari analisis
tersebut ditemukan dampak-dampak psikologis yang terjadi pada tokoh, bahwa perilakuperilaku yang dilakukan oleh tokoh utama adalah akibat apa yang diterimanya di masa lalu.
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa: 1) perilaku tokoh yang muncul saat ini
16

dipengaruhi oleh pengalaman yang diterimanya pada masa lalu, 2) orang yang mendapat
tekanan batin akan melampiaskannya dengan hal-hal lain. Meskipun penelitian tersebut
bukan penelitian ekranisasi, tetapi dalam penelitian perlu diungkapkan untuk melihat
perkembangan penelitian yang pernah dilakukan terhadap objek material yang sama.
Penelitian dengan menggunakan teori posmodernisme Linda Hutcheon pernah
dilakukan dengan judul Novel Genduk Duku Karya Y.B. Mangunwijaya: Analisis
Posmodernisme Linda Hutcheon oleh Sunti Melati (2007), FIB UGM. Penelitian tersebut
berusaha menginterpretasi pandangan-pandangan yang tercermin melalui pandangan dan
kehidupan yang dialami tokoh-tokoh dalam karya sastra tersebut. Selain itu juga untuk
menginterpretasi pandanganpandangan pengarang dalam novel sebelum dan sesudah Genduk
Duku yang terangkai dalam trilogi Y.B. Mangunwijaya. Penelitian tersebut membahas tiga hal
besar, yaitu 1) pusat dan pinggiran (melalui analisis setting dan tokoh), 2) parodi masa lalu
dan masa kini (dari pembahasan ini ditemukan adanya dominasi kekuasaan oleh raja,
dominasi militer dalam pemerintah, dominasi pusat terhadap pinggiran, dan dominasi
pengaruh asing dalam novel tersebut), dan 3) fakta historis dan fakta fiktif.
Penelitian lain juga pernah dilakukan dengan judul Rara Mendut Karya Y.B.
Mangunwijaya: Analisis Posmodern Linda Hutcheon oleh Ratino (2007), FIB UGM.
Penelitian ini juga senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Sunti Melati di atas.
Penelitian ini juga membahas tiga hal yang dibagi ke dalam tiga bab, yaitu: 1) pusat dan
pinggiran, 2) parodi masa lalu dan masa kini, dan 3) fakta fiksi dan fakta historis.
Dengan melihat tinjauan pustaka tersebut dapat diketahui jangkauan dari penelitianpenelitian sastra, sinema, maupaun ekranisasi yang pernah dilakukan lebih menitikberatkan
pada analisis struktur, bahkan ada kecenderungan hanya berhenti pada tataran itu. Hal ini
memberikan kesan bahwa penelitian ekranisasi yang pernah dilakukan masih berhenti pada
tataran membandingkan, mencari persamaan dan perbedaan, antara dua karya: film dan novel
17

(karya sastra). Dengan kata lain, penelitian masih ada pada ranah struktur. Oleh karena itu,
melalui penelitian ini penulis mencoba melakukan satu penelitian pada bidang ekranisasi
yang tidak saja berhenti pada tataran menemukan perbedaan struktur saja, melainkan
melangkah pada jangkauan selanjutnya, yaitu menganalisis ideologi dan politik dibalik
penciptaan dan perubahan karya hasil transformasi. Dengan demikian, diharapkan penelitian
ini dapat memberikan kontribusi pemikiran yang bermanfaat terhadap bidang ilmu sastra,
khususnya ekranisai, maupun kepada masyarakat.

1.6

Landasan Teori
Teori-teori yang akan dijabarkan di bawah ini adalah teori yang akan dipakai untuk

menganalisis permasalahan dan sesuai dengan tujuan dalam penelitian ini, yaitu perubahanperubahan yang muncul dalam transformasi cerpen Lt dan MJ ke film MBSM dan aspek aspek
ideologis dan aspek politis yang memengaruhi terjadinya perubahan-perubahan tersebut.
Teori yang dijabarkan di sini diuraikan sesuai dengan kebutuhan untuk menjawab dan
membahas permasalah dalam penelitian ini. Hal ini penting mengingat pemilihan teori
sebagai landasan kerja penelitian ilmiah ini diperlukan untuk membuat penelitian terarah dan
sesuai dengan tujuan penelitian, sehingga permasalahan yang akan di jawab mengantarkan
pada pemilihan teori yang tepat (Chamamah-Soeratno, 2001:13-14). Teori-teori tersebut
adalah teori ekranisasi dan teori politik posmodernisme yang dikemukakan oleh Linda
Hutcheon (1991). Teori ekranisasi digunakan untuk membahas perubahan-perubahan yang
muncul dalam tranformasi cerpen ke film, sedangkan teori posmodernisme Hutcheon
digunakan untuk membahas permasalah aspek-aspek ideologis yang memengaruhi perubahan
yang muncul dalam transformasi karya tersebut. Dengan demikian juga akan diketahui aspek
politis dalam transformasi ini.

18

1.6.1 Ekranisasi
Istilah ekranisasi dipopulerkan oleh Pamusuk Eneste dalam bukunya yang berjudul
Novel dan Film (1991).Istilah ekranisasi diambil dari bahasa Prancis, cran yang berarti
layar. Istilah ekranisasi yang dilahirkan dan diteorikan oleh Pamusuk Eneste terlepas
dari persoalan bahwa teori ini masih belum/kurang kuat dan mapan sebagai sebuah
tanggapan atau apresiasi terhadap munculnya fenomena pemfilman karya sastra/novel baik di
negara barat maupun di Indonesia. Sehingga harapannya ekranisasi dapat mewadahi konsepkonsep dan teori seputar pembahasan dan atau penelitian pemindahan atau pengangkatan
novel (karya sastra) ke film.
Sementara di Amerika, istilah cinematic adaptation7 lebih dikenal dibandingkan
dengan istilah ekranisasi. Akan tetapi, dalam hal ini Eneste lebih memilih istilah ekranisasi
karena menurutnya istilah ini dianggap lebih tajam, lebih spesifik dibandingkan adaptasi,
sementara istilah adaptasi bisa saja hanya mengangkat ide cerita dari novel atau tokoh-tokoh
yang ada dalam novel (1991:11). Ekranisasi atau pelayarputihan novel juga disamaartikan
dengan istilah pemfilman novel. Dalam hal ini, penulis lebih berpijak pada asal kata ecran
yang berarti layar (seperti diungkapkan Eneste), ekranisasi berarti pelayarputihan, maka
7 Dalam beberapa sumber lain ada yang menyebut istilah film adaptation. Istilah ini dipakai untuk menyebutkan adaptasi

dari sastra (literary source) ke film. Selain membahas hasil juga membahas proses. Dalam konteks ini istilah ekranisasi
sejajar dengan film adaptation, yaitu adaptasi karya sastra ke film, pemfilman karya sastra. Cakupan ini tentu saja lebih
sempit dan terbatas jika dibandingkan dengan istilah adaptasi (yang sudah muncul sejak 1956, lihat Bluestone, meskpiun
kemudian baru diteorikan dalam kisaran tahun 2005 oleh Linda Hutcheon). Pada perkembangan berikutnya kemudian
muncul adaptasi film ke sastra atau ke novel yang diistilahkan novel adaptation (jika dipadankan dengan istilah filmisasi
maka menjadi novelisasi), comic adaptation, theatrical adaptation, television adaptation, radio adaptation, comic book
adaptation, dll (Cho, Parys-2007, Cattrysse-1997, dan Engelstad). Istilah-istilah tersebut berada pada ranah adaptasi tetapi
tidak semuanya bisa dikategorikan ke dalam ekranisasi karena merujuk pada pengertian yang diungkapkan oleh Eneste
(1991: 60) ekranisasi merupakan proses pelayarputihan. Akan tetapi dalam hal ini, peneliti tidak menggunakan istilah
adaptasi sebagai konsep pemindahan atau pelayarputihan karya sastra ke film. Peneliti lebih sependapat untuk menggunakan
istilah transformasi. Hal ini dengan melihat definisi dan esensi dari kedua istilah tersebut. Adaptasi, yang berasal dari kata
adapt, memiliki arti menyesuaikan, membuat sesuatu itu sesuai dengan sesuatu, mengubah atau memodifikasi sesuatu
(definisi menurut kamus Webster). Adaptasi juga berarti: 1) pengolahan kembali suatu karya sastra ke dalam bahasa lain
dengan menyesuaikan unsur-unsurnya pada lingkungan budaya bahasa sasaran, 2) pengolahan kembali suatu karya sastra
dari satu jenis ke jenis lain dengan mempertahankan lakuan, tokoh, serta gaya dan nada aslinya (Ensiklopedi Sastra
Indonesia, 2004). Sedangkan menurut KBBI edisi III (2001) adaptasi berarti penyesuaian terhadap lingkungan, pekerjaan,
dan pelajaran. Dalam konsep dan definisi adaptasi di dalamnya masih terkandung konsep oroginalitas, artinya ada
originalitas karya sumber adaptasi dan karya hasil adaptasi sehingga karya hasil adaptasi dianggap lebih inferior. Sedangkan
istilah transformasi berarti 1) mengubah komposisi atau sruktur secara keseluruhan atau hanya secara esensial dari suatu
komposisi atau struktur (Webster), 2) perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dsb) (KBBI edisi III, 2001). Dalam konteks ini
istilah transformasi penulis anggap lebih tepat untuk menyebutkan hal pembahasan ini. Sementara itu, Liche (1992:200)
menjelaskan bahwa transformasi merupakan proses terjemahan dari satu materi ke materi lain di mana transformasi tersebut
mampu mengubah keseluruhan sistem tanda menjadi suatu sistem tanda yang benar-benar berbeda. Dalam hal ini, ia
mencontohkan sistem tanda teks naskah menjadi teks panggung (tekstur) sistem tanda di atas pentas. Perubahan sistem tanda
tersebut sekaligus akan mengubah makna yang dikandung oleh sistem tersebut.

19

dengan demikian pelayarputihan tidak hanya terbatas pada novel semata, lebih luas lagi yaitu
pada karya sastra, sehingga bentuk lain seperti cerpen atau epik

20

serta drama juga termasuk dalam konsep ini. 8 Berkaitan dengan konsep dan definisi istilah
ekranisasi dan adaptasi, dalam penelitian ini peneliti lebih memilih menggunakan istilah
ekranisasi dari pada istilah adaptasi atau adaptasi sinematik (cinematic adaptation) karena
alasan persoalan spesifikasi yang melekat pada istilah ini sebagaimana telah diungkapkan di
atas.
Dalam proses ekranisasi selalu terjadi perubahan-perubahan. Oleh karena itu, Eneste
(1991:60) juga menyebut ekranisasi sebagai proses perubahan. Menurutnya ada tiga
kemungkinan perubahan terjadi dalam proses ekranisasi, yaitu penciutan/pemotongan,
penambahan, dan perubahan dengan variasi (1991:61-66). Penciutan adalah pengurangan atau
pemotongan unsur cerita dalam sastra ketika cerita tersebut diangkat ke dalam film. Penciutan
dapat dilakukan terhadap unsur sastra seperti cerita, alur, tokoh, latar, maupun suasana.
Dengan adanya proses penciutan atau pemotongan maka tidak semua hal yang diungkapkan
dalam novel akan dijumpai pula dalam film (Eneste 1991:61). Dengan demikian berarti akan
terjadi pemotongan-pemotongan atau penghilangan bagian-bagian di dalam karya sastra
dalam proses adaptasi ke film.
Melakukan penciutan atau pemotongan pada unsur cerita sastra tentu tidak tanpa
alasan. Ada beberapa alasan, sebagaimana diungkapkan Eneste (1991:61), dalam tindakan
tersebut. Pertama, anggapan bahwa adegan maupun tokoh tertentu dalam karya sastra
tersebut tidak diperlukan atau tidak penting ditampilkan dalam film. Melihat faktor ini, maka
sineas akan melakukan pemotongan atau pengurangan pada bagian yang dianggap tidak perlu
dihadirkan di dalam film sebagai transformasinya. Hal ini tentu saja tidak lepas dari
8

Meskipun dalam definisi ekranisasi yang diberikan oleh Eneste (dalam bukunya Novel dan Film, 1991) sebagai
pelayarputihan atau pemindahan/pengangkatan novel ke film, tetapi dalam konteks ini peneliti tidak turut menyempitkan
pandangannya hanya pada pelayarputihan atau pemintahan/pengangkatan novel ke film. Novel dalam konteks ini peneliti
baca sebagai sastra dalam konteks yang lebih luas (yang di dalamnya bisa berarti novel, cerpen, atau bahkan mungkin
drama dan puisi). Maka dengan demikian, ekranisasi atau pelayarputihan, dalam batasan peneliti, tidak hanya pada
pelayarputihan novel semata, tetapi lebih luas lagi yaitu pada karya sastra, sehingga bentuk lain selain novel, seperti cerpen,
maupun drama juga termasuk dalam konsep ini. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, fenomena pemfilman cerpen Lt dan
MJ ke dalam MBSM digolongkan ke dalam kajian ekranisasi.

21

pertimbangan tujuan, dan durasi waktu penayangan. Kedua, alasan mengganggu, yaitu
adanya anggapan atau alasan sineas bahwa menghadirkan unsur-unsur tersebut justru dapat
mengganggu cerita di dalam film. Ketiga, adanya keterbatasan teknis film atau medium film,
bahwa tidak semua bagian adegan atau cerita dalam karya sastra dapat dihadirkan di dalam
film. Hal ini terkait dengan sifat yang dimiliki oleh kedua medium atau genre tersebut, yaitu
bahasa dan gambar (audio-visual). Keempat, adalah alasan penonton atau audiens, hal ini juga
berkaitan dengan persoalan durasi waktu (lihat juga Bluestone 1957:31-34). Kelima, faktor
biaya produksi. Film yang melibatkan berbagai bidang kesenian akan membutuhkan biaya
produksi yang lebih mahal, baik berkaitan dengan penggarapan properti, aktor, sampai
dengan setting yang digunakan di dalam cerita. Film yang berlatar luar negeri misalnya, pasti
akan memakan biaya yang lebih mahal dan banyak dalam proses produksinya. Sebut saja film
Ketika Cinta Bertasbih yang menggunakan latar Mekah di dalam cerita, tentu akan menelan
biaya produksi yang lebih banyak. Kemampuan sebuah penggarapan film terhadap segala
unsur yang ada di dalam film tersebut hingga menjadi sajian dalam durasi tertentu sebuah
film, dipengaruhi atau bergantung pula pada kesiapan dan ketersediaan biaya produksi.
Dalam kondisi demikian, perubahan (pemotongan) akan sangat mungkin terjadi, misalnya
dari sisi setting, dari setting novel ke dalam setting film.
Kemungkinan lain yang dapat terjadi dalam proses transformasi sastra ke bentuk film
adalah penambahan (perluasan). Seperti halnya dalam kreasi penciutan, dalam proses ini juga
bisa terjadi pada ranah cerita, alur, penokohan, latar, maupun suasana (Eneste 1991:64).
Penambahan yang dilakukan dalam proses ekranisasi ini sudah barang tentu memiliki alasan,
baik alasan pentingnya penambahan, alasan relevansinya dengan cerita secara keseluruhan,
ataupun karena alasan lain.
Variasi-variasi dalam perubahan juga hal yang lazim dilakukan dalam proses
transformasi dari sastra ke film, selain penciutan dan penambahan. Variasi di sini bisa terjadi
22

dalam ranah ide cerita, gaya penceritaan, kernel-satelit, dsb. Terjadinya variasi dalam
transformasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain media yang digunakan, persoalan
penonton, durasi waktu pemutaran, bahkan lebih dari itu adalah persoalan resepsi dan
ideologi. Pen-transformasi-an atau pemindahan karya sastra ke film, dari media bahasa (katakata) ke gambar (audiovisual) memungkinkan terjadi variasi-variasi di sana-sini. Perbedaan
media dan alat adalah salah satu alasan yang mendasarinya karena dua media tersebut
memiliki karakteristik dan limit yang berbeda pula. Oleh karena itu, perlu ada pemahaman
terhadap karakteristik media yang digunakan oleh kedua genre karya tersebut. Bahasa sebagai
medium karya sastra memiliki sifat keterbukaan pada imajinasi pengarang. Bahasa yang
digunakan memungkinan memberi ruang yang luas bagi pembaca untuk menafsir dan
mengimajinasi segala sesuatu yang diungkapkan oleh teks sastra tersebut. Sedangkan film
memvisualkan bahasabahasa yang memiliki ruang imajinasi pada karya sastra. Melalui
visualisasi ini film memberikan satu bentu konkretisasi imajinasi yang dimiliki oleh karya
sastra melalui media bahasanya. Meskipun visualisasi ini tidak mematikan ruang imajinasi
penonton, akan tetapi ditopang faktor durasi waktu tayang film yang relatif pendek dan harus
menyajikan cerita secara utuh, seoalah memaksa penonton untuk mengikuti sajian-sajian
visualisasi fakta cerita yang ada pada karya sastra menjadi gambar (audio-visual) pada film.
Meskipun tidak ada yang bisa membelenggu imajinasi penonton, tetapi kebebasan
imajinasinya sedikit terbatasi oleh visualisasi yang telah dilukan oleh sineas. Kalimat-kalimat
pada novel hadir dalam bentuk gambar dan audio yang dilafalkan aktor di dalam film.
Gambar yang disajikan menjadi satu bentuk paket. Gambar-gambar bergerak disertai audio
dalam film tidak memberikan ruang seperti yang dimiliki oleh bahasa dalam karya sastra
hal ini berkaitan dengan durasi tayang film yang relatif lebih pendek serta waktu tayang yang
terbatas, tentu saja penjelasan ini dalam konteks pemutaran tanpa pause, mengingat teknologi
CD, VCD, dan DVD sekarang telah berkembang dan perkembangan masyarakat dalam
menonton film juga tidak terbatas hanya di bioskop.
23

Perbedaan media yang digunakan oleh kedua karya tersebut merupakan salah satu
faktor yang memengaruh terjadinya perubahan-perubahan dalam transformasi. Di dalam
karya sastra deskripisi dan ilustrasi yang mampu dilakukan oleh bahasa dengan susunansusunan bahasa tertentu, tetapi hal tersebut belum tentu mampu dilakukan melalui media
gambar bergerak atau audio-visual.
Film bercerita dengan cara menampilkan sesuatu yang diceritakan. Hutcheon (2006:36)
menyatakannya dengan istilah tellingshowing (menceritakan memperlihatakan) sebagai
bentuk perubahan yang terjadi dalam ekranisasi, transformasi karya sastra ke bentuk film.
Fulton (2005: 96) menyebutkan bahwa dalam penggarapan kembali teks tulis, seperti novel,
ke bentuk gambar, seperti film, menunjukkan perbedaan konvensi naratif atas dua media,
yaitu media bahasa tulis dan media gambar atau audio-visual. Bahkan dalam sebuah
penggarapan transformasi novel ke film, itu terjadi penggarapan makna kembali, dan
memiliki perbedaan tema serta tujuan akhir penggarapan. Apalagi kebanyakan yang terjadi
dalam pelayarputihan dilakukan oleh sineas yang notabene orang lain dari penulis novel itu
sendiri. Lebih lanjut Fulton (2005:97) menjelaskan bahwa sebuah proses adaptasi
menegaskan adanya mode naratif dari novel dan film yang bekerja dalam logika bercerita
yang berbeda. Eksistensi dari perbedaan logika tersebut, yang kebanyakan sesuai dengan
mode dan konteksnya, mengingatkan kepada kita bahwa tidak ada cara untuk bercerita yang
natural (asli) atau jelas dan nyata. Satu hal lagi yang perlu diperhatikan adalah bahwa
bagaimanapun sebuah cerita diceritakan tidak hanya bergantung kepada kebudayaan dan
konvensi linguistiknya tetapi juga kepada spesifikasi medium yang digunakan untuk bercerita
tersebut. Hal ini erat kaitannya dengan kemampuan masing-masing medium dalam bercerita.
Sementara itu, Faruk (2000:180) menyebutkan bahwa film dan video berada pada posisi
bertentangan dengan bentuk aktivitas bahasa, yaitu berusaha menghadirkan kehidupan dalam
bentuk yang konkret, partikular, sensasional. Faruk juga menambahkan bahwa hal yang
24

membedakan keduanya adalah peralatan yang digunakan untuk memproduksi kehidupan


tersebut. Hal ini dikarenakan setiap peralatan yang digunakan memiliki keterbatasan tertentu
sehingga reproduksi pun dilakukan dengan selektif.
Penggambaran melalui kata-kata yang dilakukan dalam novel akan menimbulkan
imajinasi-imajinasi dalam pikiran pembacanya. Apa yang terjadi di sini adalah proses mental.
Melalui membaca, pembaca berusaha menangkap maksud-maksud yang ingin disampaikan
pengarang dengan mengimajinasikan atau membayangkan atas dasar teks yang dibacanya.
Uraian-uraian kalimat memandu pembaca untuk membayangkan fakta dan fenomena yang
disajikan di dalam teks sastra. Sedangkan dalam film, penonton disuguhi gambar-gambar
hidup, konkret, dan visual. Penonton seolah-olah sedang menyaksikan suatu kejadian yang
sesungguhnya, yang nyata terjadi. Dalam hal ini, penonton film tidak penonton film, bisa
disebut, tidak memiliki keleluasaan atau kesempatan untuk mengimajinasikan cerita yang
ditontonnya. Penonton seolah telah dituntun dengan satu rel jalan tanpa sempat untuk
membayangkan kemungkinankemungkinan akan fakta yang disajikan dalam cerita. Hal inilah
yang membedakan kedua wahana atau media tersebut.
Perbedaan wahana atau media dari dua genre karya tersebut tentu saja berpengaruh
pada bentuk sajiannya. Dengan kata lain, perbedaan media memengaruhi cara penyajian
cerita, bentuk penyajian cerita. Selain dipengaruhi oleh keterbatasan (limit) yang dimiliki
oleh masing-masing media tersebut novel dan film (seperti dijelaskan oleh Bluestone
1957:1) juga dipengaruhi oleh adanya proses resepsi, pembacaan, sutradara atau penulis
skenario terhadap cerpen tersebut. Lebih dari itu, resepsi tidak dapat lepas dari interpretasi,
dan pada itu juga akan dimasukkan juga ideologi dan tujuan-tujuan, intensi, pesan, misi, dan
keinginan sutradara ataupun penulis skenario. Kompleksitas ini tentu saja akan sangat
dipengaruhi oleh jiwa zaman, fenomena sosial yang berkembang, kultural, dan sosial
masyarakatnya.
25

Faktor lain yang berpengaruh adalah durasi waktu penikmatan. Damono (2005:98-99)
menyebutkan bahwa karya sastra memiliki waktu penikmatan yang lebih bebas, pembaca
karya sastra bisa ke mana-mana dan di mana-mana. Ia bahkan dapat berhenti kapan saja,
pada halaman berapa, dan memulainya lagi pada waktu yang lain, bahkan di tempat yang
lain. Sedangkan penikmatan film, dibatasi oleh ruang dan durasi waktu yang lebih terbatas,
ruang bioskop dan waktu tayang yang padat. Terbatasnya waktu memberikan pengaruh
tersendiri dalam proses penerimaan dan pembayangan. Akan tetapi, seiring perkembangan
zaman dan teknologi penjelasan ini juga perlu dicermati dan dikritisi kembali.
Berkaitan dengan faktor waktu, dengan merujuk pada konsep Hutcheon (2006), dalam
hal ini penulis lebih bersepakat untuk menyebutkan bahwa faktor waktu yang berpengaruh
adalah berhubungan dengan zaman (zeitgeist), artinya waktu penggarapan (kapan karya
tersebut di garap ulang). Perbedaan zaman penggarapan, akan berpengaruh terhadap hasil
karya yang dibuat pula. Hal ini mungkin terjadi karena karya seni yang diciptakan merupakan
hasil kristalisasi dari komunikasi pencipta karya tersebut dengan dunia luar dirinya,
lingkungan yang ada di sekelilingnya, universe-nya. Penciptaan kembali karya sastra ke
dalam bentuk film berkaitan erat dengan fenomena, isu-isu, serta kondisi sosial masyarakat
yang tengah berkembang pada saat itu. Situasi dan kondisi masyarakat memengaruhi lahirnya
karya pada masa itu. Dalam konsep Jauss (1982:36), untuk melihat persoalan di atas bisa
dilihat dalam salah satu tesisnya, yaitu titik pertemuan garis synchronic (sinkronik) dan
diachronic (diakronik). Perubahan yang muncul dalam transformasi karya sastra ke film juga
terkait dengan keberadaan sewaktu kondisi yang ada. Adaptasi yang dilakukan di sini
merupakan adaptasi terhadap zamannya.
Persoalan lain yang juga perlu dipahami dalam ekranisasi adalah perbedaan pada
proses pembuatan dua karya tersebut. Karya sastra (novel) merupakan kerja atau kreasi

26

indivu (Bloestone 1957:64), sedangkan film merupakan kerja tim atau kelompok. Dalam
penggarapan sastra, pengarang bergulat dengan dirinya sendiri untuk menghasilkan sebuah
karya sastra. Penjelasan ini tentu bukan sedang tidak mengiyakan adanya keterhubungan dan
keterkaitan antara pengarang dengan dunia luar dalam/selama proses penciptaan karya sastra.
Bagaimanapun karya senitermasuk karya sastradiciptakan merupakan sebentuk ekspresi
yang didasarkan pada persepsi, sikap, pandangan, serta tanggapan seniman terhadap
fenomena kultural yang ada di sekitarnya yang pada akhirnya bermuara pada kristalisasi
sebuah teks (sebagaimana diungkapkan Saputra 2009:41). Dalam penciptaan karya sastra,
kecermatan pemilihan kata-kata dirangkai menjadi kalimat-kalimat di dalam karyanya pada
akhirnya bisa membawa pembaca pada alam imajinasi. Sebaliknya, film merupakan bentuk
karya seni yang melibatkan beberapa orang dari bidang (seni) yang berbeda-beda, seperti
sutradara, aktor, kameramen, sound effect, juru lampu, juru rias, tata busana, dan seterusnya
yang menjadi sebuah tim atau kelompok. Eneste (1991:18) menyebut film sebagai gabungan
beberapa ragam kesenian: musik, seni rupa, drama, sastra ditambah unsur fotografi. Film juga
disebutnya sebagai total art, pan art, atau collective art. Oleh karena itu, ekranisasi juga
dapat dikatakan sebagai proses perubahan dari sesuatu yang dihasilkan secara individual
menjadi sesuatu yang dihasilkan secara bersama-sama atau gotong-royong (Eneste 1991:60)
Tujuan atau ideologi kreator juga salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
perubahan. Para sineas dalam memfilmkan karya sastra tentu saja tidak lepas dari tujuan
tertentu. Selain mengangkat cerita/ide cerita karya sastra ke dalam film, tidak jarang di dalam
proses transformasi ini juga dimasukkan tujuan para sineas sendiri. Pandangan dan ideologi
kreator akan turut berpengaruh terhadap sajian karyanya. Hal ini seperti yang terjadi pada
ekranisasi Ayat-Ayat Cinta misalnya, sebagaimana diungkapkan oleh Suseno (2008). Dalam
tulisan tersebut, menunjukkan adanya ideologi yang ingin disampaikan atau pesan tambahan
yang ingin disampaikan oleh sineas (Hanung Bramantyo) dalam memfilmkan novel Ayat-

27

Ayat Cinta karya Habiburrahman, melalui penggarapan ending yang berbeda, sekaligus
perubahan cerita yang ditampilkannya.
Berkaitan dengan hal-hal di atas dalam persoalan transformasi karya sastra ke film,
maka perlu kiranya dipahami konsep-konsep sastra dan konsep film. Berikut adalah tabel
perbedaan konsep sastra dan film. Berdasarkan tabel berikut, tampak bagaimana perbedaan
konsep sastra dan film yang turut memengaruhi terjadinya perbedaan atau perubahanperubahan dalam pelayarputihan.

Tabel 1. Perbedaan Konsep Sastra dan Konsep Film (disarikan dari materi kuliah Ekranisasi
S2 Sastra UGM oleh Prof. Dr. Chamamah Soeratno)

Konsep

Sastra

Film

Media

Bahasa

Audio-Visual

Penciptaan

Individu

Tim / Kelompok

Penikmatan

Pembaca individu

Penonton banyak

Kode

Ada norma sastra

Ada norma film (sensor)

Berbicara lain dari persoalan faktor yang memengaruhi perubahan, berkaitan dengan
istilah atau teori ekranisasi itu sendiri, Damono (2005:96) membuat satu istilah alih wahana
yang memiliki ruang jangkau atau cakupan yang lebih luas dibandingkan dengan ekranisasi.
Damono menjelaskan bahwa alih wahana adalah perubahan dari satu jenis kesenian ke dalam
jenis kesenian lain. Alih wahana yang di maksudkan di sini tentu saja berbeda dengan
terjemahan. Terjemahan atau penerjemahan adalah pengalihan karya sastra dari satu bahasa
ke bahasa yang lain, sedangkan alih wahana adalah pengubahan karya sastra atau kesenian
menjadi jenis kesenian lain. Damono mencontohkan cerita rekaan diubah menjadi tari, drama,
atau film. Bukan hanya itu, alih wahana juga bisa terjadi dari film menjadi novel, atau bahkan
puisi yang lahir dari lukisan atau lagu dan sebaliknya. Lebih lanjut disebutkan bahwa di
dalam alih wahana akan terjadi perubahan. Dengan kata lain, akan tampak perbedaan antara
28

karya yang satu dan karya hasil alih wahana tersebut. Alih wahana novel ke film misalnya,
tokoh, latar, alur, dialog, dll. harus diubah sedemikian rupa sehingga sesuai dengan keperluan
jenis kesenian lain (Damono 2005:98).
Berdasarkan uraian konsep alih wahana di atas istilah tersebut tidak bertentangan
dengan makna dan konsep dasar yang dimiliki oleh ekranisasi sebagai proses pengubahan
dari satu wahana ke wahana lain. Ekranisasi justru menunjukkan adanya spesifikasi wilayah
kajian yang mengkhususkan bidikannya pada transformasi atau pengangkatan novel atau
karya sastra ke dalam film. Hal tersebut sekaligus menunjukkan peta wilayah/posisi teori
ekranisasi dalam wilayah kajian adaptasi maupun kajian bandingan.
Berbicara mengenai adaptasi, Hutcheon (2006) dalam bukunya Theory of Adaptation
menguraikan konsep-konsep adaptasi karya. Tentu saja, adaptasi di sini tidak saja adaptasi
karya sastra ke film saja. Bahkan ia menggarisbawahi bahwa jika pemahaman terhadap
adaptasi dibayangkan hanya bisa diterapkan atau diberlakukan terhadap novel ke film saja,
maka hal ini merupakan sebuah kesalahan. Adaptasi menurut Huctheon (2006:xi) dapat
diterapkan pada berbagia kemungkinan, seperti puisi, novel, drama, opera, lukis, lagu, tari,
dan sebagainya. Melalui kacamata posmodernisme, Hutcheon memandang ada enam hal atau
konsep yang terlibat atau turut berpengaruh dalam persoalan adaptasi, yaitu what (berkaitan
dengan bentuk atau media yang digunakan), who (berkaitan dengan siapa yang melakukan
adaptasi atau disebut juga adapter-nya), why (berkaitan dengan alasan atau faktor yang
menjadi alasan dilakukannya adaptasi), how (berkaitan dengan tanggapan audiens), where
dan when (berkaitan dengan konteks dalam adaptasi).
Melihat konsep alih wahana yang diungkapkan oleh Sapardi Djoko Damono dan
konsep adaptasi yang diungkapkan oleh Hutcheon, maka kedua teori atau konsep tersebut
memiliki kesejajaran atau kesamaan ruang. Dalam hal ini bisa diibaratkan alih wahana
Damono adalah istilah lain dari adaptasi Hutcheon. Istilah alih wahana merupakan
29

pengindonesiaan istilah untuk konsep seperti adaptasi yang berkembang di negara barat dan
kemudian diteorikan oleh Hutcheon. Melalui konsep ini, Damono menyorotinya dari sisi
wahana atau media yang digunakan dalam pengalihan dari karya satu ke karya yang lain
tersebut.
Ekranisasi, alih wahana, dan adaptasi juga erat kaitannya dengan resepsi. Hal ini juga
seperti diungkapkan oleh Hutcheon (2006:8) yang menyebutkan bahwa di dalam adaptasi
juga terdapat proses resepsi. Bagaimana pun ekranisasi, alih wahana, dan adaptasi sebagai
sebuah proses akan melibatkan proses resepsi pula. Kondisi ini dapat tergambar pada proses
transformasi, misalnya, dari novel ke film yang melewati satu tahapan, yaitu pembuatan
script atau skenario film. Pada satu tahapan ini telah menunjukkan adanya proses resepsi,
pembacaan dan penginterpretasian terhadap sebauh teks dan dituangkan kembali pada teks.
Seorang penulis skenario akan membaca kemudian meresepsi novel yang akan ditransformasi
ke dalam bentuk skenario. Demikian seterusnya proses ini akan terus berjalan sampai dengan
tahapan atau proses penggarapan filmnya, dari pengambilan gambar sampai dengan proses
editing. Tentu saja proses yang terlibat bukan saja resepsi, melainkan juga kreasi
(sebagaimana diungkapkan Hutcheon, 2006:8). Di dalam ekranisasi pasti terdapat aspek
pemaknaan atau interpretasi, terlebih jika pelayarputihan dilakukan oleh orang lain. Jika
mengaitkannya dengan konsep Iser (1987), maka persoalan ini merupakan resepsi, sebuah
penyambutan. Berkaitan dengan hal ini, ada satu konsep Iser (1987:20) yang terkait, yang
dikatakannya, bahwa pembacaan terhadap karya sastra berpusat pada interaksi antara struktur
dengan penerimanya, antara teks dengan pembacanya. Di dalam proses pembacaan dan
pemaknaan seseorang tidak dapat lepas dari adanya repertoire yang dimiliki oleh masingmasing pembaca, berupa pengetahuan dan pengalaman pembacanya. Oleh karena jika
dihubungkan dengan konsep Iser bahwa proses pelayarputihan sebagai proses pembacaan,
maka hal tersebut memiliki potensi munculnya pemaknaan yang berbeda dengan apa yang
dibacanya.
30

Dengan mencermati dan mendasarkan pada masing-masing konsep di atas maka dapat
disimpulkan di sini bahwa keempatnya memiliki kekerabatan teori antara satu dengan yang
lain. Penyimpulan ini setidaknya dengan melihat konsep dan cakupan yang dimiliki oleh
masing-masing teori atau istilah tersebut. Ekranisasi meruapakan istilah atau teori yang
merupakan bagian dari teori adaptasi. Sementara konsep alih wahana yang ditawarkan
Damono (2005) menurut penulis memiliki kesamaan cakupan kajian dengan adaptasi, hanya
saja Damono mencoba memberikan istilah lain dalam konteks Indonesia, yaitu alih wahana.
Sementara itu, di atas itu semua adalah teori resepsi yang memiliki cakupan lebih luas dan
selalu dimiliki atau ada pada tiap-tiap kejian tersebut. Berkaitan dengan pengerabatan ini,
berikut adalah diagram kekerabatan atau peta teori yang menunjukkan posisi teori ekranisasi
di antara teori yang lain.

Resepsi

Adaptasi/Alih Wahana

Ekranisasi

Diagram 1. Peta Teori Ekranisasi di antara Teori Lain

1.6.2 Posmodernisme Hutcheon


Konsep posmodernisme yang diungkapkan di sini adalah konsep posmodernisme yang
dijabarkankan oleh Hutcheon dalam bukunya The Politics of Postmodernism (1991). Konsep
posmodernisme tersebut digunakan untuk menjawab aspek-aspek politis yang muncul dalam
transformasi cerpen ke film yang menjadi objek materi dalam penelitian inisebagaimana
diungkapkan dalam rumusan masalah penelitian ini.
31

Hutcheon (1991:1) menjelaskan bahwa posmodernisme merupakan istilah yang paling


banyak digunakan sekaligus disalahgunakan di dalam diskusi-diskusi kontemporer. Hal ini
berdampak pada munculnya dimensi positif dan negatif pada setiap upaya untuk
mendefinisikan istilah posmodernisme. Ketika upaya mendefinisikan istilah posmodernisme,
maka hal yang dilakukan adalah menjelaskan apakah itu posmodernisme dan pada saat yang
bersamaan juga akan mendefinisikan apakah yang bukan posmodernisme.

Hutcheon

menyebutkan bahwa hal ini terjadi karena posmodernisme merupakan fenomena mode yang
pembentukannya bersifat kontradiktif dan tidak terelakan ia bersifat politis. Manifestasi
posmodernisme ada dalam berbagai bidang kultural, seperti arsitektur, sastra, fotografi, film,
seni lukis, seni tari, dan seni musik.
Mode yang digunakan posmodernisme adalah mode sadar dan ironis atau bahkan
ironis. Hal ini sesuai dengan sifat umum posmodernisme yang mengambil bentuk
pernyataan yang sadar-diri (self-conscious), kontradiksi dengan diri sendiri (selfcontradictory), dan menghancurkan diri sendiri (selfundermining). Secara umum,
posmodernisme memiliki ciri khas komitmen yang condong ke arah kegandaan (doubleness)
atau duplisitas. Posmodernisme, dalam beberapa hal, bahkan merupakan proses yang tidak
bekerja dengan berat sebelah karena pada dasarnya aliran pemikiran ini bekerja membangun
serta mendukung dan sekaligus menghancurkan dan meruntuhkan konvensi serta
pengandaian yang ditentangnya. Hal ini berkaitan dengan minat awal yang dimiliki
posmodernisme, yaitu mendenaturalisasi aspek-aspek dominan dalam pola hidup manusia
yang bertujuan untuk menunjukkan bahwa entitas yang kita terima begitu saja tanpa berpikir
sebagai alamiah sebenarnya bersifat kultural, diciptakan, dan bukan terberi (given)
(Hutcheon 1991:1-2). Senada dengan itu, Faruk (2001:27) juga menjelaskan bahwa karya
posmodern berusaha menunjukkan bahwa entitasentitas yang dipisahkan itu bukanlah sesuatu
yang alamiah dan kodrati, melainkan hasil konstruksi sosial kultural, sehingga di antara kedua

32

entitas yang dipisahkan dimunkginkan untuk saling bersentuhan, mengisi, memperkuat, atau
mendekonstruksi, tidak secara imajinatif, melainkan juga empiris.
Akar definisi tersebut ada pada bidang paling awal minat posmodernisme, yaitu
arsitektur. Di dalam bidang ini dijumpai kontradiksi yang lebih dalam mengenai konsep
posmodernisme yang menjajarkan dan memberi nilai yang sama pada aspek refleksi diri
(self-reflexcive) dan didasarkan pada sejarah. Ada dua aspek di sini, yaitu aspek yang
mengarah-ke-dalam (inward-directed) dan aspek yang mengarah-ke-luar (outward-directed).
Pada aspek yang pertama, posmodernisme masuk ke dalam kategori dunia seni (seperti
parodi), sedangkan pada aspek kedua masuk ke dalam kategori kehidupan nyata (seperti
sejarah). Tegangan antara dua hal yang bertentangan tersebut akhirnya mendefinisi teks dunia
paradoks posmodern dan memunculkan politik yang tidak kalah kuat dan riil meskipun
diwarnai dengan kompromi (Hutcheon 1991: 2).
Hutcheon (1991:3) selanjutnya menyebutkan bahwa karya-karya posmodern tidak bisa
tidak, pasti bersifat politis. Transformasi cerpen Lt dan MJ ke film MBSMdengan
perubahan-perubahan yang terjadimengindikasikan adanya perubahan ideologi dan
perubahan tersebut bersifat politis. Berkaitan dengan hal tersebut Hutcheon (1991:3)
berpendapat sebagai berikut.
Postmodern art cannot but be political, at least in the sense that its representations
its images and storiesare anything but neutral, however aestheticized they may
appear to be in their parodic selfreflexivity. While the postmodern has no effective
theory of agency that enables a move into political action, it does work to turn its
inevitable ideological grounding into a site of de-naturalizing critique.
(Terjemahan bebas: Seni posmodern tidak bisa tidak bersifat politis, setidaknya dalam
pengertian bahwa representasinyacitra dan ceritanyanetral, bagaimanapun
representasi-representasi tersebut diestetikakan, sifat politisnya akan muncul dalam
refleksivitas-diri parodisnya. Biarpun posmodern tidak memiliki teori yang efektif
tentang agensi untuk bergerak ke arah tindak politis, ia bekerja dengan mengubah
dasar ideologinya yang tak dapat dihindari menjadi sebuah situs kritik denaturalisasi).

33

Pendapat tersebut didasarkan pada pemikiran Victor Burgin, seorang teoretikus dan
fotografer posmodern, mengenai politik representasi, yang mengkritisi pernyataan Roland
Barthes tentang ketidakmungkinan merepresentasikan yang politis. Roland Barthes
berpendapat bahwa Bila politik dimulai, maka peniruan (imitation) akan serta merta
berhenti (dalam Hutcheon 1991: 3). Barthes menjelaskan bahwa tidak mungkin
merepresentasikan yang politis, karena yang politis selalu menolak semua bentuk mimetik
yang meniru. Berangkat dari pemikiran tersebut, Burgin (dalam Hutcheon 1991:3)
berpendapat bahwa munculnya seni parodi sebagai bentuk seni posmodern memberi ruang
refleksi diri terhadap pemikiran Barthes. Seni parodi, dengan caranya yang ironis,
menggarisbawahi realisasi bahwa semua bentuk representasi kulturaltermasuk di dalamnya
sastra, visual, dan auralbaik dalam seni agung (karya seni yang dianggap kanonik) maupun
media massa (karya seni populer) adalah didasarkan pada ideologi tertentu, sehingga hal
tersebut tidak dapat dihindarkan keterlibatannya dengan hubungan sosial-politik dan aparatus
sosial-politik.
Karya-karya posmodern (misalnya novel) kerap mengangkat aspek-aspek ambiguitas
posisi posmodern yang lain. Adanya campur aduk paradoks antara sesuatu yang tampak
bertentangan itu sering kali muncul dalam representasirepresentasinya. Fiksi dan sejarah
sering dicampuradukkan. Dengan pencampuradukan semacam ini, kita tidak lagi dapat
membedakan antara yang fiksi dan yang riil, antara sejarah dan fiksi. Pencampuradukan
semacam ini merupakan pola khas dari posmodernisme. Tindakan yang demikian dilakukan
sebagai satu tawaran yang dipolitisasi dan hal ini pasti ideologis. Satu pernyataan teoretis
tunggal yang dapat digunakan sebagai dasar konseptual pandangan posmodern tentang politik
representasi yang demikian adalah konsep ideologi Louis Althusser, baik kehadirannya
sebagai representasi maupun sebagai bagian penting dan tidak terelakkan dari setiap totalitas
sosial (Althusser 1969 dalam Hutcheon 1991:6). Kedua poin tersebut memiliki nilai yang

34

penting bagi setiap pembahasan posmodernisme sekaligus memberikan orientasi teoretis


terhadap konsep politik posmodernisme yang dianut dan diuraikan oleh Hutcheon.
Konsep kajian politik posmodernisme yang diungkapkan oleh Hutcheon di sini
memiliki fokus baru, yaitu investigasi produksi makna sosial dan ideologis (Hutcheon
1991:6-7). Hal ini sebagai pembaruan pada pemikiran dan kritik seni sastra dan visual
tradisional yang mendasarkan pada landasan ekspresif, mimetik, atau formalis (seni sebagai
objek), dan dengan munculnya pengaruh pemikiran atau teori feminis, gay, lesbian,
homoseks, Marxis, ras, etnisitas, pascakolonial, dan pasca strukturalis telah memberikan
tambahan pemikiran yang lain pada landasan historis tersebut serta menghasilkan
penggabungan minat-minat yang baru. Fokus baru yang ditekankan Hutcheon ini
memberikan pergeseran arah pemikiran kita. Dari sudut pandang ini, kebudayaan akan
dipandang sebagai efek representasi, dan bukan sumber representasi. Hal yang perlu disadari
bahwa kebudayaan kapitalis barat menunjukkan kekuatan yang luar biasa untuk
menormalisasi atau mendoksifikasi tanda dan citra, dan hal ini memberikan pengaruh yang
besar terhadap pemahaman tentang kebudayaan posmodernisme. Akan tetapi, perhatian
Hutheon tetap memfokuskan pada nilai dan kepentingan ideologis yang dinyatakan dalam
setiap bentuk representasi sebagai politik representasi posmodern yang menjadi fokus
bahasannya.
Tesis Hutcheon yang berbicara tentang sifat politis dalam karya posmodernis berada
pada posisi yang berlawanan dengan tren dominan dalam kritik kontemporer yang
menganggap bahwa karya posmodern yang hanya merupakan daur ulang dari karya-karya
yang telah ada. Anggapan tersebut datang karena bentuknya yang hanya merupakan daur

35

ulang dari karya-karya yang telah ada (pastiche9 dalam konsepnya Jameson). Kritik tersebut
muncul dari mereka yang tahu sumber dari parodi dan juga mengenal teori yang medukung
penjelasan kehadiran parodi tersebut. Betapa pun representasi yang netral itu diestetikakan
dalam refleksifitas parodisnya, seni posmodern tetap akan menampakkan sifat politisnya. Hal
ini

berkaitan

dengan

pendasaran

kerja

posmodernisme

yang

ideologis

untuk

mendenaturalisasi situs kritiknya. Konsep doxa oleh Barthes sebagai opini publik atau suara
alam (Voice of Nature) dan konsensus publik, diadopsi Hutcheon untuk mengungkapkan
bahwa kerja posmodernisme adalah mendedoksifikasi representasi-representasi kultural kita
dan makna politis di dalamnya yang tidak terbantahkan (Hutcheon 1991:3).
Kenyataan

tidak pernah dan tidak akan pernah natural karena di dalamnya ada

ideologi, dengan atau pun tanpa media massa sebagai media yang menaturalisasi representasi
kenyataan seperti yang dikemukakan Broudrillard 10 (Hutcheon 1991:33). Seperti pandangan
Althuserian mengenai ideologi bahwa ideologi merupakan produksi representasi, jadi
sebenarnya ideologilah yang memproduksi representasi.

Dalam The Concise Oxford Dictionary of Literary Term (via Piliang 2003: 187) pastiche diartikan sebagai karya sastra
yang disusun dari elemen-elemen yang dipinjam dari berbagai penlis lain atau dari penulis tertentu di masa lalu. Pengertian
senada juga uraikan dalam A Dictionary of Modern Critical Terms (1987). Sebagai karya yang memiliki unsur pinjaman, ia
memiliki konotasi negatif: miskin kreatifitas, originalitas, keontetikan, serta kebebasan. Antara padodi (Hutcheon) dengan
pastiche memang sering kali dikaburkan. Antara keduanya memang memiliki kesamaan kategori estetik dan sekaligus
perbedaan. Kesamaannya terletak pada kebergantungannya terhadap teks, karya, penulis, atau seniman sebelumnya. Namun
demikian, Hutcheon juga memberi penjelasan adanya perbedaan antara keduanya, yaitu pada model relasinya dengan teks
atau karya yang dirujuk. Kalau pastiche (menurut Hutcheon) lebih beroperasi berdasarkan prinsip kesamaan dan keberkaitan,
sedangkan parodi mencari, menggali, dan menonjolkan perbedaan-perbedaan dengan teks rujukan. Pastiche disebut juga
dengan imitasi murni dan tanpa pretensi, Jameson menyebutnya parodi kosong. Dalam konsep ini, Hutcheon menyebutkan
bahwa ada kesamaan sekaligus perbedaan antara pastiche dan parodi. Persamaannya adalah keduanya sangat bergantung
pada teks, karya, atau gaya masa lalu sebagai rujukan atau titik berangkatnya. Sedangkan perbedaannya, pastiche
menjadikan teks, karya, atau gaya masa lalu sebagai titik berangkat dari duplikasi, revivalisme, atau rekonstruksisebagai
ungkapan simpati, penghargaan, atau apresiasi; sementara parodi menjadikannya sebagai titik berangkat dari kritik, sindiran,
kecamansebagai ungkapan ketidakpuasan atau sekadar ungkapan rasa humor (Piliang 2003: 191). Hutcheon
mendefinisikan parodi sebagai pengulangan yang dilengkapi dengan ruang kritik, yang mengungkapkan perbedaan
ketimbang persamaan. Dengan demikian, Hutcheon memberi arti parodi sebagai satu bentuk imitasi, bukan imitasi murni,
melainkan imitasi yang tidak dicirikan oleh kecenderungan ironik.

10

Baudrillard memandang bahwa media massa sebenarnya hanya mengelabui keberadaan ideologi di dalamnya dengan
tahapan-tahapan sebagai berikut; pertama media massa merefleksikan kenyataan, kemudian menyembunyikannya dan
membelokkan kenyataan untuk kemudian menutupi ketiadaan kenyataan itu sehingga akhirnya memproduksi dan
menggantikan simulakra kenyataan. Tetapi pandangan Baudrillard ini menuai kontroversi, salah satunya adalah pernyataan
Tickner yang mengatakan bahwa realitas menjadi mungkin dimaknai melalui sistem tanda yang teroganisasi dalam wacana
tentang dunia (Hutcheon, 1991:33)

36

Ada pun ideologi sendiri menurut Althusser adalah sebuah gambaran tentang
hubungan imajiner antara individu-individu dengan kondisi-kondisi eksistensi mereka yang
riil atau nyata (Althusser 2007:191). Bagi Althusser (2008:xvi) ideologi bukanlah kesadaran
palsu melainkan sesuatu yang profoundly unconcius, sebagai hal-hal yang secara mendalam
tidaklah disadari. Ideologi adalah segala yang telah tertanam dalam diri individu sepanjang
hidupnya, sebagai produk sejarah sehingga seolah-olah menjelma menjadi sesuatu yang
alamiah. Ideologi menjadi efektif ketika dia memateri, ada pun tujuan dari semua ideologi
adalah subjek, yaitu individu di dalam masyarakat, dan peran ideologi adalah membentuk
individu menjadi subjek (Balsey 1990:58). Ideologi bekerja dengan cara merekrut subjeksubjek di antara individu-individu atau mengubah individu-individu menjadi subjek-subjek
dengan cara yang presisi.
Ideologi bekerja dengan cara memanggil kita menjadi subjek ideologi tersebut.
Praktik-praktik Ideologi didukung dan direproduksi dalam institusi-institusi

dalam

masyarakat yang disebut Ideological State Apparatuses yang bekerja tanpa paksaan.
Sementara Repressive State Apparatuses (RSA) bekerja dengan cara sebaliknya yaitu dengan
merepresi individu untuk menjadi subjek ideologi tertentu dengan memberikan sanksi tegas
pada pelangaran yang dibuat.
Subjek-subjek ideologi mereproduksi ideologi dalam berbagai bentuk representasi,
oleh karena itu kehadiran representasi tidak pernah tidak ideologis. Ketika representasi
tersebut ideologis, maka tidak dapat dihindarkan bahwa ideologi itu akan menyelinap menjadi
tindakan politis. Sehubungan dengan peralihan dari cerpen Lt dan MJ menjadi film MBSM,
dari representasi cerpen menuju film, maka dapat dipastikan perubahan-perubahan ideologis
yang munculdilihat dari sisi posmodernismemerupakan pergerakan politis. Oleh karena
itu, teori Hutcheon mengenai politik posmodernisme digunakan menguak persoalan
pergerakan politis dalam penelitian ini.
37

1.7 Metodologi Penelitian


Sebuah penelitian harus memiliki metode dan langkah yang tepat, yang sesuai dengan
karakteristik objek kajiannya. Metode juga harus disesuaikan dengan sifat penelitiannya.
Kaitannnya dengan sastra sebagai ilmu, ia memiliki karakteristik keilmiahan sendiri. Hal ini
seperti diungkapkan oleh Wellek dan Warren (juga dikutip oleh Chamamah-Soeratno
2001:12) bahwa penelitian sastra memiliki kebenaran metode sendiri meskipun tetap pula
ilmiah. Metode dalam studi sastra memiliki ukuran keilmiahan tersendiri yang ditentukan
oleh karakteristiknya sebagai suatu sistem. Penerapan metode ilmiah dalam penelitian sastra
juga perlu mempertimbangkan sifat sastra yang memperlihatkan gejala universal tetapi
sekaligus khusus atau unik (Chamamah-Soeratno 2001: 13). Gejala universal ini membuat
sastra memiliki sifat yang umum, yang daripadanya dapat ditarik kaidah-kaidah yang bersifat
umum. Sedangkan keunikan karakteristik sastra dalam suau masyarakat membuat sastra
memiliki sifat-sifat khusus. Oleh karena itu, generalisasi (sebagaimana dimiliki oleh paham
positivistik) dalam hal ini tidak dapat diterapkan.
Sebelum menentukan metode yang digunakan dalam penelitian ini, perlu dijelaskan terlebih
dahulu di sini objek formal dan objek material penelitian ini. Objek formal penelitian ini
adalah perubahan ideologis-politis yang terjadi dalam ekranisasi cerpen Lt dan MJ menjadi
film MBSM. Sedangkan objek materialnya adalah teks cerpen Lintah dan teks cerpen Melukis
Jendela karya Djenar Maesa Ayu dari kumpulan cerpen berjudul Mereka Bilang, Saya
Monyet! Terbitan Gramedia Pustaka Utama (2004) serta film Mereka Bilang, Saya Monyet!
(film hasil transformasi kedua cerpen tersebut; sutradara Djenar Maesa Ayu; produksi
Intimasi Production, Desember 2007).
Berkaitan dengan objek formal dan objek material yang telah dipaparkan di atas, maka
metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode ekranisasi. Karakteristik cara
38

kerja metode ini seperti cara karja bandingan, yaitu membandingkan dua karya atau lebih,
dan dalam hal ini yang akan dibandingkan adalah cerpen Lt dan MJ serta film MBSM sebagai
hasil transformasinya.
Sehingga langkah kerja analisis penelitian ini adalah menganalisis secara bolakbalik dari
ranah sastra ke ranah film dan sebaliknya, demikian seterusnya. Metode ini dipakai untuk
menganalisis perubahan-perubahan yang terjadi dalam transformasi karya sastra ke film (dari
cerpen Lt dan MJsebagai sistem sastra ke film MBSMsebagai sistem film) dan
selanjutnya perubahan-perubahan tersebut akan dikaji lebih lanjut dengan menggunakan
perspektif posmodernisme Hutcheon.
Langkah-langkah yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama,
adalah langkah inventarisasi data. Kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh data-data yang
diperlukan dalam penelitian ini. Data diambil dari objek material dalam penelitian iniyaitu
cerpen Lt, cerpen MJ, dan film MBSMseperti telah disebutkan di atas. Data-data tersebut
berupa unsur-unsur sastra dan unsur-unsur film yang menunjukkan adanya perubahan.
Langkah ini dilakukan dengan menggunakan konsep ekranisasi, dengan melihat
perubahanperubahan unsur cerita di dalam sastra di dalam film. Langkah ini dilakukan
dengan cara membandingkan unsur-unsur yang ada di dalam sastra dan perubahannya di
dalam film.
Kedua, adalah langkah pemilahan data. Data yang telah terkumpul selanjutnya dipilah-pilah
sesuai dengan kebutuhan penelitian ini, yaitu dengan melihat aspek-aspek pengaruh
perubahan yang terjadi. Ketiga, adalah langkah analisis. Langkah ini dilakukan untuk
menganalisis data yang telah berhasil digali dari langkah sebelumnya. Untuk menganalisis
data-data tersebut dilakukan dengan menggunakan perspektif posmodern Hutcheon. Melalui
analisis ini akan diperoleh hasil analisis berupa bentuk-bentuk perubahan yang terjadi dalam

39

objek material penelitian ini, yaitu perubahan-perubahan yang dipengaruhi oleh aspek
ideologis dan politis dalam perpektif posmodernisme Hutcheon.
Dalam bentuk skema, pemikiran dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

CerpenLt
Film MBSM
CerpenMJ

Diagram 2. Pemikiran Penelitian


Keterangan:
: sistem sastra
: sistem film
: menggambarkan terjadinya transformasi
: menunjukan perubahan dari satu sistem ke sistem lain
: menunjukkan adanya pergerakan ideologi dan politik
: menunjukkan payung ideologi
: menunjukkan batas ranah sistem sastra, transformasi, dan sistem film
Cerpen Lt dan cerpen MJ adalah dua cerpen berbeda yang berada dalam sistem sastra
kemudian ditransformasi menjadi film MBSM dalam sistem film. Perubahan tersebut
dilingkupi oleh ideologi yang turut bergerak seiring pergerakannya dalam transformasi karya
tersebut. Artinya perubahan yang terjadi dalam transformasi tersebut dimaknai bukan hanya
dari segi bentuk saja yang berubah, melainkan juga membawa perubahan ideologi yang ada
di balik karya sastra ke dalam karya film sebagai hasil transformasinya. Perubahan bentuk

40

karya transformasi yang turut serta membawa perubahan ideologi tersebut juga mememiliki
aspek politis.

1.8

Sistematika Penulisan
Pembahasan ekranisasi terhadap cerpen Lt dan MJ ke film MBSM disajikan dalam

bab-bab sebagai berikut. Pada Bab I disajikan pengantar yang berisi latar belakang penelitian,
rumusan masalah, tujuan penelitian tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan
sistematika penulisan. Bab II menguraikan ciri-ciri posmodernisme dua karya tersebut serta
mendeskripsi perubahan-perubahan yang terjadi dalam transformasi cerpen Lt dan MJ ke film
MBSM. Bab III akan memaparkan wujud perubahan ideologis dan politis yang muncul dalam
ekranisasi cerpen Lt dan MJ ke film MBSM. Bab IV merupakan bagian akhir yang berisi
simpulan dari seluruh analsis pada bab-bab sebelumnya.

BAB II
PERUBAHAN-PERUBAHAN YANG MUNCUL DALAM
TRANSFORMASI CERPEN Lt DAN MJ KE DALAM FILM MBSM!

Sebagaimana pernah disinggung pada bagian pendahuluan tulisan ini, transformasi


karya sastra ke dalam bentuk film kerap menimbulkan perdebatan bahkan kekecewaan. Hal
ini disebabkan adanya sejumlah perubahan yang terjadi pada film, sebagai hasil
transformasinya, dibandingkan dengan karya sastra yang ditransformasi. Melalui tulisan ini,
berdasarkan konsep ekranisasi (pelayarputihan), dipaparkan bagaimana karya sastra
dipindahkan ke dalam bentuk film dan memunculkan perubahan-perubahan.

41

Transformasi cerpen Lt dan MJ juga menunjukkan adanya perubahanperubahan yang


mencolok di dalam film MBSM. Struktur cerita kedua cerpen tersebut hadir dalam bentuk
potongan-potongan yang tidak runtut dalam film. Bagian ini membahas perubahan-perubahan
yang terjadi dalam pelayarputihan dua cerpen ke dalam film dari segi struktur karya tersebut.
Pembahasan disajikan dengan cara membandingkan perubahan unsur-unsur yang ada di
dalam ranah sastra dengan unsur-unsur di dalam ranah film. Pembandingan ini bisa dilakukan
dengan cara menyajikan unsur-unsur sastra kemudian membandingkannya dengan unsur di
dalam film. Dengan demikian dapat digambarkan gerak perubahan unsurunsur dari karya
sastra ditransformasi ke menjadi unsur-unsur film. Secara berturut-turut akan dibahas
perubahan alur, perubahan tokoh dan perwatakan tokoh, dan perubahan latar.Untuk
mengetahui lebih jauh perubahan-perubahan
49
yang muncul dalam transformasi kedua cerpen tersebut ke dalam film MBSM diuraikan
sebagai berikut.

2.1

Perubahan dan Fungsi Penggarapan Alur


Analisis alur penting dilakukan di sini karena perubahan alur merupakan salah satu

unsur perubahan yang cukup signifikan dalam pelayarputihan dua cerpen Lt dan MJ ini. Oleh
karena itu, perubahan alur cerita menjadi salah satu aspek perubahan yang menjadi perhatian
peneliti untuk diteliti dan kaji lebih jauh berkaitan dengan arti perubahannya, tentu dengan
tidak melepaskan hubungannya dengan tokoh utama dalam cerita. Hal ini dalam kaitannya
dengan tokoh utama yang menjadi sentral penceritaan, sehingga perubahan dan hal-hal-yang
terjadi di dalam cerita akan dihubungkan dalam relasinya dengan tokoh utama.
Terkait dengan pernyataan Hutcheon (1991: 3) yang menyebutkan bahwa karya-karya
posmodern tidak bisa tidak, pasti bersifat politisseperti juga telah dikutip dalam bagian

42

landasan teori penelitian ini, pelayarputihan cerpen Lt dan MJ ke film MBSM dengan
perubahan-perubahan yang terjaditermasuk salah satunya perubahan alurmenunjukkan
adanya ciri-ciri posmodern serta mengindikasikan adanya perubahan ideologi dengan
perubahan yang bersifat politis.
Sebelum dibahas bagaimana perubahan alur yang terjadi di dalam film sebagai hasil
transformasi karyanya, terlebih dahulu dibahas alur cerita di dalam cerpen Lt dan MJ. Hal ini
bertujuan agar dapat telihat secara lebih jelas perubahan alur dari cerpen ke film. Analisis alur
cerpen dilakukan dengan membaginya ke dalam sekuen-sekuen cerita di dalam cerpen. Baru
pada bagian selanjutnya akan dibahas adegan-adegan di dalam film. Dengan pembahasan
model ini diharapkan dapat terlihat runtutam cerita yang dibangun dalam film MBSM sebagai
hasil transformasi dari cerpen. Analisis dengan cara demikian dipilih dengan alasan bahwa
perubahan alur cerita yang terjadi di dalam film cukup signifikan jika dibandingkan dengan
alur di dalam cerpen. Film memiliki cerita sendiri dengan alur dan latar sendiri pulayaitu
cerita Adjeng dewasa. Sedangkan cerita di dalam cerpen masuk ke dalam film menjadi
potongan-potongan fragmen dan flashback dari kisah yang dialami oleh Adjeng sebagai tokoh
utama. Dengan model pembahasan ini diharapkan dapat menunjukkan di mana cerpen hadir
atau bagaimana cerpen dihadirkan di dalam film, mengingat cerpen adalah sumber
transformasi dalam pelayarputihan ini.

2.1.1 Penggarapan Alur Cerpen Lt


Cerita pendek berjudul Lintah (Lt) tersusun atas empat sekuen. Setiap sekuen
dibedakan dengan tanda bintang tiga (***). Tanda tersebut digunakan untuk mengakhiri satu
sekuen cerita dan memulai sekuen cerita baru. Namun demikian, tanda tersebut bukanlah satu
patokan atau ukuran baku pemisah satu sekuen dengan sekuen yang lain dalam sebuah cerita.

43

Pembahasan sekuen-sekuen cerita di dalam cerpen Lt ini akan dilakukan dengan cara
membahasnya ke dalam event-event cerita. Hal ini bertujuan untuk dapat melihat lebih detail
event demi event yang membentuk sekuen, sehingga alur cerita cerpen dapat dilihat dengan
lebih jelas. Rangkaian dan penggarapan cerita dapat tampak lebih jelas. Dengan demikian,
diharapkan perubahan alur di dalam film sebagai transforminya dapat tampak lebih jelas.
Berikut adalah sekuen-sekuen cerita dari cerita pendek Lt.
Sekuen 1
Event a

: Menceritakan Ibu Maha yang memelihara seekor Lintah dan


dibuatkan kandang yang mirip dengan rumah boneka berlantai dua.
Maha sering kali merengek, meminta Ibunya untuk mengganti lintah
dengan binatang lain, tetapi Ibu bersikeras tidak mau.

Event ini dalam rangka fungsi menunjukkan adanya konflik


kepentingan dan pertentangan antara orang tua dan anak.
Event b
: Menceritakan tokoh Saya yang penyayang binatang, tetapi sangat
membenci lintah karena lintah tak pernah puas. Bahkan ia sering
mengganggunya sepulangnya ia dari sekolah.

Event ini diungkapkan dalam rangka fungsi menunjukkan bahwa ada


kebencian oleh seseorangdiwakili oleh tokoh Sayaterhadap
kebiasaan yang menurutnya buruk dan bertentangan dengan hati
nuraninya: di antaranya sifat tak pernah puas hingga sering
mengganggunya.
Event c

: Kebencian Saya semakin memuncak kepada Lintah. Saya pernah


mengadu kepada Ibu atas perilaku Lintah kepadanya yang semakin kurang ajar.
Akan tetapi, Ibu justru membela lintah dan menganggap ia melebih-lebihkan

44

keadaan. Dalam beberapa waktu Saya sering mendengar Ibu dan Lintah tertawatawa di dalam kamar serta suara desahan Ibu dan Lintah berbaur jadi satu.

Event ini dalam rangka fungsi menunjukkan sikap benci yang


semakin meninggi.
Event d
: Suatu hari Minggu Saya ingin tahu apa yang terjadi di dalam kamar
Ibu. Ia lalu mengintip dari sela-sela tirai dan melihat Ibu dengan
Lintah sedang di sana. Lintah menjulurkan lidahnya dan meneteskan
liurnya, sedangkan Ibu menelan habis liur itu.

Event ini dalam rangka fungsi menunjukkan keliaran tokoh Lintah.


Penggambaran ini juga menguatkan kebencian Saya padanya.
Event e
: Hubungan Ibu dan Lintah makin erat. Ibu bahkan membawanya ke
mana-mana. Kalau Saya makan dan tidak menghabiskannya, maka
Ibu akan memakinya dan memaksa untuk menghabiskannya.
Melihat hal itu, Lintah justru senang. Saya menjadi muak dengan
Lintah.

Event f

Event ini dalam rangka fungsi menunjukkan ketersiksaan dan


ketiadaan tempat yang layak bagi Saya, dan kegembiraan sosok
Lintah menyaksikan hal tersebut. Pelukisan ini juga untuk
menggambarkan kebencian Saya pada Lintah.
: Saya mencoba berpura-pura terganggu nyamuk dan
menyemprotkan
obat serangga dengan harapan Lintah terganggu, tetapi justru Ibu yang lalu
melompat dan menempeleng muka Saya. Lintah tertawa melihat hal tersebut.

Event ini dalam rangka fungsi menunjukkan adanya fakta cerita: orang
tua yang tidak mendukung atau membela anaknya yang telah menjadi korban
pemerkosaan atau pelecehan seksual, dan sebaliknya justru semakin menekannya.
45

Sekuen 2:
Event
a

: Akhir-akhir ini Ibu lebih sering di rumah karena jadwal manggung


Ibu tidak tetap. Dalam kondisi ini, justru Saya sedang sangat
mengharapkan Ibu tidak lagi pernah kembali ke rumah. Hal ini
terkait dengan kebenciannya terhadap kedekatan Ibu dengan Lintah.

Event ini dalam rangka fungsi menunjukkan kebencian Saya kepada


ibunya dan kedekatannya dengan Lintah yang semakin dalam.
Event
b

: Tawaran manggung Ibu semakin banyak, dan Ibu mulai pilih-pilih


tawaran mana yang diambil dan yang tidak.

Event ini dalam rangka fungsi menunjukkan popularitas ibu.


Event
c

: Perekonomian mereka membaik. Mereka menjadi sering jalan-jalan.


Ibu juga sering membelikan Saya barang, tetapi sebenarnya ia tidak
menginginkannya. Ia hanya ingin Ibunya berpisah dengan Lintah.

Event ini dalam rangka fungsi menguatkan perasaan atau keinginan


Saya pada perpisahan ibu dengan Lintah.
Event
d

: Ketika sedang di luar rumah, Ibu menaruh lintah di saku, lalu lintah
membelah masuk ke kantung saku Saya tanpa sepengatahuan Ibu.
Akan tetapi, ia tidak berani mengadu kepada Ibu, takut dimarahi Ibu.
Event ini dalam rangka fungsi menunjukkan kelicikan tokoh Lintah.

Event e : Setelah berhasil membelah dan masuk ke kantung Saya dan tidak
diketahui oleh Ibu, Lintah pun lalu membelah menjadi banyak, menyusup ke
kantung, balik baju, ke perut, bahkan ke seluruh tubuh Saya. Saya pun
semakin membenci lintah dan mulai membenci
Ibu.
Event ini dalam rangka fungsi menguatkan sifat liciknya Lintah.
46

Sekuen 3:
Event
a

Event
b

: Saya baru pulang sekolah dengan seragam basah oleh peluh.


Sesampai di rumah, ia merasa lega dan bahagia karena tidak ada
Lintah di rumah, tetapi juga tidak ada Ibu. Ketika ia membuka pintu
kamar Ibu, bau wangi menyergap hidungnya, dan menyergap pula
kerinduan.

Event ini dalam rangka fungsi menunjukkan sisi rindu yang kadang
kala dimiliki atau datang pada Saya.
: Kedamaian itu berubah kekecewaan dan kekesalan. Ketika ia sedang
merebahkan dirinya di kamar, tiba-tiba Lintah muncul di
hadapannya.
Lalu melucuti pakaian dan melumat tubuhnya.
Event ini dalam rangka fungsi menunjukkan kesengsaraan atau
ketidaknyamanan
Saya dengan
hadirnya
Lintah dalam
kehidupannya.

Sekuen 4: Ibu berbincang-bincang dengan Maha. Perbincangan dimulai oleh Ibu,


mengatakan kalau ia sedang hamil dan akan menikah. Mendengar apa yang
dituturkan oleh Ibunya, Maha pun merasa gembira. Ia membayangkan hadirnya
lelaki yang mendapingi Ibu, yang menjadi Ayah di rumah itu, melengkapi
bangunan atau pasangan sebuah rumah tangga: ada ayah, ada ibu, dan ada anak.
Maha pun mulai berpikir, siapakah laki-laki yang berbahagia akan menjadi
pendamping ibunya dan menjadi ayah bagi dirinya. Akan tetapi, ketika ia teringat
kalau laki-laki itu adalah Lintah, kebagiaan yang dibayangkannya pun sirna.

Event ini dalam rangka fungsi menunjukkan penggambaran pupusnya


harapan Maha, lagi-lagi oleh hadirnya Lintah.
47

Rangkaian sekuen demi sekuen dari cerita pendek Lt tersebut membentuk alur sebuah
cerita. Berdasarkan rangkaian sekuen tersebut, bisa diketahui bahwa alur cerita yang dimiliki
oleh cerpen Lt adalah alur maju. Sedangkan sudut pandang yang digunakan dalam cerita
pendek tersebut adalah sudut pandang orang pertama. Hal ini ditunjukkan dengan
penggunakan kata saya untuk menyebut diri si pencerita. Berikut kutipan yang menunjukkan
adanya hal tersebut.
Ibu saya memlihara seekor lintah. Lintah itu dibuatkan sebuah kandang yang
mirip seperti rumah boneka berlantai dua, lengkap dengan kamar tidur, ruang
makan, ruang tamu dan kamar mandi di tempatkan di sebelah kamar Ibu. Saya
selalu merengek kepada Ibu untuk memelihara hewan lain, namun Ibu bersikeras
memlihara lintah itu dan mempertahankannya sebegai hewan peliharaan tunggal di
rumah kami.
Saya penyayang binatang. Namun saya sangat benci kepada lintah. Lintah tidak
pernah puas atas apa yang dimilikinya. Begitu juga dengan rumah pribadi istimewa.
Sepulang sekolah, sering saya temui lintah itu duduk di sofa ruang tamu kami.
Kadang ia mengganggu saya ketika sedang menonton televisi dengan mengganti
saluran seenak hati. Bahkan ia sering kedapatan sedanag pulas tertidur di atas tempat
tidur saya, dan tentunya membuat sayang mengurungkan niat untuk beristirahat.
(DMA 2004: 11)

2.1.2 Penggarapan Alur Cerpen MJ


Cerita pendek kedua yang berjudul Melukis Jendela (MJ) memiliki lima sekuen.
Dalam hal pembagian sekuen, cerpen MJ memiliki karakteristik yang sama dengan cerita
pendek Lt. Pembagian atau pergantian sekuen dari satu sekuen ke sekuen yang lain di dalam
ditandai dengan tanda bintang tiga (***). Seperti pembahasan pada alur cerita pendek Lt,
pembahasan alur cerita pendek MJ juga akan dilakukan dengan membagi ke ranah yang lebih
sempit yaitu event-event di dalam setiap sekuen. Berikut adalah sekuen-sekuen di dalam
cerpen MJ.
Sekuen 1
Event a : Sekuen I diawali dengan event penceritaan masa lalu tokoh Mayra

48

yang sejak kecil memiliki kesenangan melukis. Mayra adalah anak tunggal
sehingga waktunya banyak dihabiskan untuk melamun tanpa adanya teman.
Untuk mengisi kekosongan waktunya, Mayra mulai melukis seorang ibu yang
tengah memangku dirinya dengan hangat dan mesra. Tiap kali pulang sekolah
Mayra hanya disambut dengan kelenganan, maka ia langsung masuk kamar dan
berbicara dengan lukisannya.
Event ini dalam rangka fungsi menunjukkan gambaran keadaan diri
dan keluarganya, hidupnya yang sendiri dan hanya berteman lukisan
yang dibuatnya.

Event b
: Pada event ini diceritakan kalau Mayra mulai berkeluh kesah kepada
lukisan itu tentang teman-temannya yang suka mengganggunya,
meraba-raba payudara dan kemaluannya hingga menjadikan teror
bagi dirinya tiap kali berangkat sekolah. Mayra pun mendengar
suara Ibu dengan lembut yang mengatakan kalau semua akan baikbaik saja.

Event ini dalam rangka fungsi menunjukkan kesendirian yang


membelenggu, hingga tak ada tempat baginya untuk berkeluh-kesah,
hanya kepada lukisan.
Event c

: Diceritakan kalau Mayra pergi ke sekolah pada keesokan harinya


dengan tanpa beban dan dan penuh pengharapan tidak akan ada lagi
teman-temannya yang mengganggu seperti kemarin, seperti yang
dikatakan oleh ibu. Akan tetapi, semua tidak berjalan seperti yang
diharapkan. Teman-temannya tetap mengganggunya. Karena kesal,
Mayra pun mengayunkan tinju dan mengenai hidung Anton hingga
mengucurkan darah segar. Mayra lalu melepaskan diri dan pergi
berlari.

49

Event ini dalam rangka fungsi menunjukkan betapa besarnya


dukungan seorang ibu pada kehidupan dan perkembangan mentalnya, sementara
Mayra, tidak memiliki fasilitas tersebut.

Sekuen 2
Event a

: Pada bagian pertama sekuen II diceritakan bahwa tidak ada yang


berubah sebelum dan sesudah Mayra pergi meninggalkan rumah,
kecuali mobil ayah yang tidak lagi terparkir di garasi. Perabot,
lukisan dan hiasan lain, barang-barang antik, hingga bingkai foto
dirinya dengan ayahnya juga tertata rapi, bersih dan tak pernah
terjamah.

Event ini dalam rangka fungsi tidak adanya perhatian pada rumah,
tidak adanya perubahan dan perkembangan.
Event b

: Setelah Mayra melihat tidak ada foto Ibu, Mayra berlari ke kamar
dan menangis. Lalu mengeluarkan lukisan Ibu. Mayra mulai
menumpahkan kekecewaan-kekecewaannya: tentang janji Ibu kalau
semua akan baik-baik saja, tentang kepuasannya meninju temannya
hingga hidungnya berdarah tentang ayah yang tak pernah
menceritakan asal-usul Ibu, tentang ayah yang tak pernah ada di
rumah atau menghabiskan waktu mengetik seharian di kamar
kerjanya kalau pas di rumah. Hingga akhrinya ia merasakan
ketenangan dalam belaian dan senandung ibunya.

Event ini dalam rangka fungsi menunjukkan pentingnya kehadiran


orang tua bagi anak.
Event c

: Ibunya menuntun Mayra ke dapur, mengambil sebilah pisau, dan


memberikan kepada Mayra, lalu menyuruh Mayra untuk menyayat wajahnya.

50

Event ini dalam rangka fungsi menunjukkan kerinduan dan kebutuhan


hadirnya seorang ibu buat Mayra, hingga ia terus berhalusinasi.
Event d : Cerita berlanjut kepada Mayra yang menyayat wajahnya dengan
sebilah pisau atas suruhan Ibunya, di depan cermin di dalam kamar. Mayra
tersenyum saat melihat darah segar meleleh di pipinya, membayangkan darah
segar yang keluar dari hidung temannya. Ketika Mayra tersadar dari lamunan,
Ibunya sudah tidak ada karena telah kembali ke lukisan.

Event ini dalam rangka fungsi menunjukkan betapa besar pengaruh


ibu kepada anaknya.
Sekuen 3
Event a : Pada bagian ini diceritakan sejak Mayra menyayat mukanya, ayahnya
marah besar sehingga Mayra dipindahkan sekolahnya. Menghadapi hal tersebut,
Mayra justru merasa senang karena mendapatkan reaksi dari Ayah. Mayra pun
melukis Ayah disandingkan dengan Ibu sebagai ucapan terima kasihnya kepada
Ibu.

Event ini dalam rangka fungsi menunjukkan respons dan perhatian


orang tua itu merupakan kebutuhan sekaligus kesenangan bagi seorang anak.
Event b : Mayra sangat bahagia karena setelah lulus dari Sekolah Dasar ia
diterima di Sekolah Menengah Pertama. Ia pun ingin berbagi kebahagiaan dengan
ayahnya. Sesampainya di rumah Mayra langsung mengetuk kamar ayah.
Event ini dalam rangka fungsi bahwa orang tua itu demikian
pentingnya bagi anak, bukan saja ketika sedih, tapi juga gembira.

51

Event c

: Pintu kamar ayah dibuka oleh seorang wanita, tetapi masih terlalu
muda, sehingga Mayra berpikiran kalau tidak mungkin dia Ibunya.
Mayra lalu masuk ke kamar dan membuka lukisan Ayah.

Event ini dalam rangka fungsi menunjukkan kekecewaan Mayra pada


perempuan yang dibawa
Ayah, yang menunjukkan
ketidakmungkinannya kalau dia ibunya.
Event d
: Mayra meluapkan kegembiraannya kepada Ayah. Ayah pun turut
gembira. Lalu Mayra membuka lukisan Ibu. Mereka bertiga pun
bergembira hingga mengantarkan Mayra ke alam mimpi.

Event ini dalam rangka fungsi menunjukkan keinginan Mayra berada


di tengah-tengah ayah dan ibu, sehingga menjadi keluarga yang
ideal, hingga terbawa mimpi.
Event e
: Ketika malam tiba, Mayra mengenakan gaun terindahnya yang
dibelikan ayahnya saat ulang tahunnya. Setelah berias dan cukup
merasa cantik, ia pun bergegas mengetuk pintu kamar ayah, tetapi
yang keluar adalah seorang wanita dan mengatakan kalau ayahnya
sedang istirahat dan tidak mau diganggu. Mayra bersikeras mau
ketemu Ayah, tetapi kemudian wanita itu menutup pintu kamar Ayah.

Event f

Event ini dalam rangka fungsi menunjukkan ketakutan untuk


kehilangan atau tidak dapat bertemu dengan ayah.
: Mayra berteriak, menangis, dan memukul-mukul pintu kamar
ayahnya, tetapi tidak ada jawaban. Semuanya hening. Ia pun terjaga
dari mimpinya.

52

Event ini dalam rangka fungsi menunjukkan keheningan dan


ketiadaan orang tuanya, orang yang diharapkan ada.
Event g
: Mayra tersadar kalau semua hanya mimpi. Ia pun lega. Lukisan Ayah
dan Ibu masih menempel di dadanya. Ia menghampiri lemari dan
membukanya, lalu mengeluarkan gaun malam tersebut. Tiba-tia ia
mulai cemas kalau mimpi tadi menjadi kenyataan. Mayra pun mulai
berjalan menuju kamar Ayah sambil memegang gaun malamnya.

Event ini dalam rangka fungsi semakin menunjukkan ketakutannya


jika tidak bisa bertemu dengan ayah.
Event h
: Mayra mendapati kamar Ayah yang terbuka. Ia pun merasa lega.
Mayra mengintip ke dalam. Ranjang Ayah masih rapi. Hanya lampu
kamar mandi yang telihat menyala dan suara gemericik terdengar
dari dalam. Ketika Mayra membuka pintu kamar mandi, ia hanya
mendapati Bi Inah sedang membersihkan kamar mandi.

Event ini dalam rangka fungsi menunjukkan ketegangannya pada


kecemasan untuk tidak bisa bertemu dengan ayah.
Sekuen 4
Event a : Mayra melukis jendela. Ia merobek-robek dan membakar lukisan Ayah dan Ibu. Ia
membenci lukisan Ayah dan Ibu lebih dari Ayah
yang tak pernah di rumah, atau kalau pas dirumah ia akan seharian mengetik di
dalam kamar kerjanya atau mengunci diri bersama wanita. Kini, Mayra tak lagi
punya pengharapan apa-apa kepada Ayah dan Ibu. Mayra sudah sadar kalau harus
menerima kenyataan yang ada.
Event ini dalam rangka fungsi menunjukkan kebenciannya pada
keadaan yang menimpanya, pada tidak pernah hadinya ibu, pada
ayahnya yang tidak pernah memedulikannya.

53

Event b
: Mayra melukis jendela yang besar tanpa tirai dan menghadap ke
sebuah dunia yang ia inginkan. Mayra sering kali masuk ke dalam
jendela itu dan merasakan kebebasan, menikmati apa yang ia
inginkan.

Event ini dalam rangka fungsi menunjukkan keinginan Mayra untuk


lepas dari keadaan yang membelenggunya.
Event c
: Sesekali Mayra juga masuk ke dalam jendela dan mendapati dirinya
sedang berada di sekolah. Hatinya bersuka cita, seragam SD-nya
berlumuran darah, serta tangan kanan memegang sebilah pisau,
sedangkan di tangan kirinya kantong plastik yang juga berlumuran
darah.

Event d

Event ini dalam rangka fungsi menunjukkan kenikmatan


kemerdekaan.
: Beberapa menit lalu Mayra baru tiba di sekolah dan mendapati lima
berandalan sekolah yang mencegatnya di pintu pagar. Lalu berhasil
membawa kelima berandalan itu ke kantin sekolah. Mayra melucuti
pakaiannya sendiri, dan menyuruh kelimanya untuk turut
melakukannya.

Event ini dalam rangka fungsi menunjukkan pikiran-pikiran


keinginan untuk bebas.
Event e
: Kelima anak itu pun terdiam. Mereka selama ini senang melihat
Mayra yang ketakutan dan meronta. Tetapi melihat Mayra yang
demikian, mereka justru terdiam hingga salah satu dari mereka
mengajak untuk menggarap Mayra beneran.

54

Event ini dalam rangka fungsi menunjukkan pikiran-pikiran


keinginan untuk bebas.
Event f
: Mayra menjelaskan dan membuat deal aturan main hari itu: cara
mereka menggarap, yaitu secara bergiliran Mayra akan mendatangi
mereka satu per satu di kamar mandi.

Event g

Event ini dalam rangka fungsi menunjukkan pikiran-pikiran


keinginan untuk bebas.
: Setelah semuanya setuju, Mayra berjalan lebih dulu dengan Anton
dan
diikuti oleh yang lain. Masing-masing dari mereka masuk ke kamar mandi
sekolah yang berjajar. Lalu desahan demi desahan dan teriakan demi teriakan
terdengar. Hingga semuanya hening. Sebelum Mayra pergi, ia melirk sepintas ke
arah Anton yang telentang di lantai kamar mandi tanpa penis lagi.

Event ini dalam rangka fungsi menunjukkan keliaran-keliaran pikiran


akibat keadaannya selama ini.
Event h : Mayra melukis jendela lalu masuk dan menemukan dirnya ada di
sebuah taman yang indah. Di sana ia bertemu dengan dua perempuan kecil yang
cantik dan mirip dirinya. Lalu Mayra menuntun mereka berdua menuju pelangi
bertahta mutiara di mana di sana seorang lelaki menunggu, merentangkan tangan
untuk memeluk mereka semua.

Event ini dalam rangka fungsi menunjukkan aneka pikirannya tentang


keadaan dirinya.
Sekuen 5: Sekuen V hanya ada satu event, sekaligus penutup cerita ini. Di sini
diceritakan pada suatu hari, pagi sekali Bi Inah mengetuk pintu kamar Mayra
untuk membangunkan Mayra sekolah. Akan tetapi, kamar itu kosong. Tidak ada
55

Mayra. Bahkan ranjang juga masih rapi. Hanya kertas-kertas bergambar jendela
yang Bi Inah temukan. Lalu Bi Inah mengetuk pintu kamar majikannya, tetapi
hanya dibuka oleh seorang wanita dan mengatakan kalau tuannya masih tidur. Bi
Inah hanya menghela nafas dan tahu kalau Mayra telah pergi dan tak akan
kembali.
Event ini dalam rangka fungsi menunjukkan kesadaran dan
kepahaman yang dimilikibahkanoleh pembantu (orang lain) bukan oleh
ayahnya sendiri (orang tua).

Dari rangkaian sekuen-sekuen cerita dari cerpen MJ ini dapat diketahui bahwa alur
yang digunakan di dalam cerpen tersebut adalah alur mundur atau flashback. Selain itu, sudut
pandang yang digunakan di dalam cerpen ini adalah sudut pandang orang ketiga. Pencerita
adalah orang yang ada di luar cerita, tetapi ia tahu peristiwa-peristiwa yang dialami oleh
tokoh. Sudut pandang ini dapat terlihat di dalam beberapa contoh kutipan cerpen berikut.
Sejak kecil Mayra senang melukis. Sebagai anak tunggal ia menghabiskan
banyak waktu hanya dengan melamun tanpa seorang pun untuk diajak bicara.
Maka ia mulai melukis seorang ibu, bersanggul dan berkebaya emas dengan
selendang cokelat muda yang kontras dengan kain berwarna cokelat tua yang
dikenakannya, sedang duduk memangku Mayra sambil menatap mata Mayra
hangat dan mesra. Setiap Mayra pulang sekolah, disambut dengan kelengangan
dan kesejukan dari dalam rumahnya yang ber-AC, ia akan segera masuk kamar dan
menghabiskan waktu bercakap-cakap dengan lukisan itu.
Ia berkeluh kesah tentang teman-teman prianya di sekolah yang kerap
meraba-raba payudara dan kemaluannya sehingga menyebabkan teror dalam
dirinya setiap berangkat ke sekolah. Ia mendengar Ibu dengan lembut mengatakan
segalanya akan membaik esok hari. Mayra mengecup Ibu lalu mendekapnya
hingga tertidur. (DMA 2004: 31-32)
Dari kutipan tersebut terlihat pencerita menggunakan kata Mayra (menyebut nama
tokoh) dan ia (kata ganti orang ketiga untuk menyebutkan tokoh) di dalam penceritaanya.
Penggunaan nama tokoh dan kata orang ketiga, ia misalnya, menunjukkan ciri sudut
pandang yang digunakan di dalam cerita tersebut adalah sudut pandang orang ketiga.

56

2.1.3 Penggarapan Alur Film MBSM


Setelah diruaikan alur cerpen Lt dan cerpen MJ berdasarkan sekuensekuennya,
selanjutnya akan dibahas penggarapan alur film MBSM. Melalui pembahasan alur film ini
akan diketahui bagaimana transformasi dua cerpen tersebut ke dalam film MBSM. Dari sini
juga akan diketahui bagaimana perubahan alur dari cerpen ke film.
Film MBSM dibagi menjadi 90 scene atau adegan11. Berikut adalah pembagian adegan
demi adegan di dalam alur film MBSM.
Adegan 01 : Di sebuah kamar seorang perempuan (Adjeng besar/dewasa2) kirakira berusia dua puluhan tahun, terlihat sedang mengisap sebatang rokok sambil
mengetik di depan laptopnya. Sementara di atas meja terdapat beberapa kaleng.
Ia lalu menghembuskan isapan rokoknya.

Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan gaya hidup seorang


perempuan yang bebas dan suka-suka gue.
Adegan 02 : Di sebuah ruang konser, malam hari, tampak siluet seorang
perempuan (Ibu) sedang berdiri di samping panggung sambil mengibaskan
tangannya untuk menghalau asap rokok. Ibu berjalan menuju ke tengah
panggung yang masih tertutup layar. Ia berdiri menghadap layar sambil
membenahi rambutnya yang ditata ala 80an. Pada saat layar terbuka, Ibu pun

11 Scene atau adegan adalah suatu segmen pendek dari keseluruhan cerita yang memperlihatkan satu aksi
berkesinambungan yang diikat oleh ruang, waktu, isi (cerita) tema, karakter, atau motif. Satu adegan biasanya
terdiri atas beberapa shot yang saling berhubungan. (Pratista 2008: 183) 2 Untuk memudahkan penyebutan tokoh
Adjeng (dalam konteks ini adalah tokoh Adjeng di dalam film, karena juga tokoh ini hanya ada di dalam film
sebagai transformasi tokoh Maha dan Mayra), mengingat di dalam film terdapat tiga perbedaan karakter tokoh
Adjeng, maka selanjutnya akan digunakan nama tokoh atau penyebutan tokoh sebagai berikut: 1) Adjeng
untuk karakter Adjeng dewasa/besar, 2) Adjeng SD untuk penyebutan tokoh Adjeng yang berusia SD atua
duduk di bangku SD, dan 3) Adjeng SMP untuk penyebutan karakter tokoh Adjeng yang masih duduk di
bangku SMPsesuai dengan cerita di dalam film.

57

keluar dan disabut dengan tepuk tangan yang sangat meriah oleh para penonton.
Ibu pun mulai menyanyi.

Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan sosok ibu yang telah
menjadi idola bagi publik.
Adegan 03 : Di adegan 03 ini cerita berpindah ke semuah kamar dan seorang
gadis kecil, kira-kira berusia antara 9 tahun (selanjutnya di sebut Adjeng SD).
Malam itu ia sedang menulis kalimat Ibu saya cantik di dalam bukunya. Akan
tetapi, tampaknya tidak puas dengan tulisan tersebut. Lalu ia menghapus kata
cantik dalam rangkaian kalimat tersebut.

Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan gambaran perasaannya


terhadap ibunya, mencari istilah yang tepat untuk menyebut ibunya.
Adegan 04 : Cerita kemudian kembali berpindah ke ruang konser di mana Ibu
sedang menyanyi di atas panggung dengan penuh perasaan. Ia terlihat begitu
anggun dalam balutan gaun merah. Sementara penonton tampak sangat antusias
dan terpikat menikmati penampilannya.
Adegan ini dalam rangka fungsi membandingkan kondisi psikologis
anak dengan keadaan psikologis ibunya, ibu dalam suasana senang
dan gembira menikmati konsernya sementara anaknya tidak mendapatkan
perhatian.

Adegan 05 : Dalam adegan ini, cerita menyambung cerita dalam adegan 03, yaitu Adjeng SD
yang dalam adengan 03 ia menulis kalimat Ibu saya cantik, tetapi kemudian
menghapus kata cantik , di dalam adegan ini ia menulis kata baik untuk
mengisi kata cantik yang di hapus tadi. Sehingga yang tertulis sekarang adalah
Ibu saya baik. Tetapi seolah tidak puas lagi ia menghapus kata baik.
58

Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan upaya berkali-kali yang


dilakukan anak untuk mencari istilah yang pas untuk menyebut ibunya, tetapi
belum juga menemukan. Hal ini menunjukkan betapa susah menyebut ibunya.

Adegan 06 : Adegan kembali ke ruang konser. Ibu masih menyanyi dengan penuh
perasaan, dengan anggun dalam balutan gaun merah. Penonton tampak tersihir
oleh penampilannya.

Adegan ini dalam rangka fungsi menguatkan gap antara perasaan ibu
dengan anaknya, anaknya terhadap ibunya, serta orang lain terhadap ibunya.
Bahwa yang dikagumi oleh orang lain sebaliknya menjadi momok bagi anaknya
sendiri.

Adegan 07 : Cerita kembali ke Adjeng SD, kini ia menulis kata anggun untuk
mengganti kata baik yang telah dihapusnya tadi. Sekarang yang
tertulis adalah Ibu saya anggun. Tetapi seolah masih tidak puas ia kemudian
menghapus kata anggun.
Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan bahwa kata baik,
anggun, cantik (seperti yang disebutkan orang lain kepada ibunya) tidak bisa
diiyakan oleh anaknya sendiri.

Adegan 08 : Cerita kembali lagi ke ruang konser. Di dalam adegan ini tampak Ibu
selesai

menyanyikan

lagu.

Sorak-sorai

dan

tepuk

tangan

penonton

menggemuruh di ruangan konser memberikan applause. Ia lalu melambaikan


tangan ke arah penonton yang bersorak riuh. Seorang penonton berpakaian
hitam-hitam tampak bangkit dari tempat duduk lalu naik ke atas panggung dan
memberikan sekuntum bunga pada Ibu.

59

Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan bagaimana kekaguman


orang lain kepada ibu, termasuk kecintaan Lintah kepada ibu. Hal ini sekaligus
membandingkan dengan pandangan Adjeng (anak) kepada ibunya.

Adegan 09 : Dalam adegan ini cerita kembali lagi ke kamar Adjeng SD. Ia
tampak menulis kata monyet. Sehingga yang tertulis adalah Ibu saya
monyet. Adjeng SD tampak sedemikian larutnya ia dalam kesibukan menulis
sehingga tak menyadari kalau sedari tadi ia sudah diperhatikan oleh ibunya yang
sudah berdiri di belakangnya. Melihat apa yang ditulis oleh anaknya, Ibu
tampak mengernyitkan dahi begitu Adjeng SD selesai menuliskan kalimat di
halaman baru bukunya. Di atas kertas itu tertulis, IBU SAYA, MONYET! Lalu
Ibu mendorong kepala Adjeng SD hingga kepala Adjeng SD terantuk keras di
atas meja.

Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan kesan Adjeng kepada


ibunya.
Adegan 10 : Cerita pada adegan 10 terjadi di kamar Adjeng, pagi hari tiba-tiba Adjeng
tersentak bangun dari tidurnya karena telepon yang berdering keras. Tangan
Adjeng langsung meraih gagang telepon di meja sebelah tempat tidurnya dan
langsung menjawab telepon tersebut meskipun tidak ada suara panggilan dari
penelepon di sana. Ini menunjukkan betapa ia sudah tahu siapa yang
meneleponnya, yaitu Ibu. Selanjutnya terdengar percakapan melalui telepon
antara Adjeng dengan Ibu di dalam telepon. Sementara di sampingnya masih
tertidur seorang lelaki, Asmoro.
Tiba-tiba terdengar suara ponsel berbunyi mengagetkan Adjeng dan

60

membangunkan Asmoro. Dengan panik Asmoro mencari-cari ponselnya yang


tergeletak di atas meja di samping tempat tidur, lalu segera meraihnya, bangkit
dari tempat tidur dan keluar dari kamar. Asmoro lalu memberi isyarat pamit
untuk pergi. Adjeng pun terlihat sewot. Sambil berbicara di teleponya, Adjeng
berjalan menuju meja dan duduk di kursi di depan laptopnya. Setelah ia
menutup teleponnya, ia mulai mengetik: Ibu saya memelihara seekor
lintah.merupakan cerita dari cerpen berjudul Lt.
Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan gambaran dua sisi
kehidupan Adjeng dalam hubungannya dengan Asmoro kekasihnya dan dengan
ibunya.

Adegan 11 : Cerita beralih ke sebuah jalan raya. Adjeng tampak mengendarai


mobilnya. Sedangkan suara Adjeng yang mengeja cerita yang ditulisnya
(lanjutan dari cerita di adegan 10) terus mengikuti. Mobil Adjeng kemudian
berbelok ke sebuah gedung dan parkir di halaman gedung tersebut. Lalu Adjeng
keluar dari mobil dan masuk ke dalam gedung dengan mencangklong tasnya.
Adjeng pun terus berjalan melewati lobi dan masuk ke lift.

Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan aktifitas, gaya hidup,


serta prinsip hidup Adjeng.
Adegan 12 : Cerita selanjutnya terjadi di sebuah ruangan redaksi. Adjeng
mengetuk pintu ruangan dan muncul dari balik pintu. Di dalam terlihat seorang
laki-laki (Redaktur) sedang bekerja di meja kerjanya. Mendengar ada yang
datang, Redaktur itu pun lalu menengok dan membalikkan tubuhnya. Setelah
melihat siapa yang datang, ia langsung tersenyum dan menyapa mengucapkan
selamat datang dengan sapaan yang hangat dan akrab. Perbincangan terjadi.
Adjeng menyerahkan amplop besar berisi cerita anak-anak yang dibuatnya
61

untuk dimuat di majalah anak-anak tersebut. Di samping itu, Adjeng juga


mengutarakan maksudnya untuk mengundurkan diri sebagai penulis cerita anakanak di majalah anak-anak tersebut. Adjeng pun lalu berpamitan.

Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan sikap Adjeng yang kuat
untuk keluar dari kungkungan rutinitasnya, dari sesuatu yang tidak sedang
menjadi mood-nya menuju yang dia suka.

Adegan 13 : Di dalam adegan ini dilukiskan sebuah suasana diskotek malam hari,
dengan musik yang kencang dan gaduh. Orang-orang banyak sedang dugem.
Adjeng tampak juga bergoyang sendirian di dekat meja dengan minuman
tampak di atas meja bar.
Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan gaya hidup Adjeng
yang bebas, menentukan jalan hidupnya sendiri.
Adegan 14 : Dalam beberapa detik adegan berpindah ke cerita Ibu di kamar
tidurnya. Di bawah lampu remang-remang Ibu tampak duduk di atas tempat
tidur sambil memegang gagang telepon tampak sedang menelepon. Wajahnya
terlihat gelisah bercampur kesal. Setelah beberapa lama menunggu, ia pun
belum mendapatkan jawaban dari orang yang diteleponnya. Nada tunggu terus
berbunyi.

Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan karakter ibu, yang


sayang kepada anaknya, mencemaskan keadaan anaknya, dan ingin selalu
mendengar kalau anaknya dalam keadaan yang baik-baik saja.

Adegan 15 : Adegan kembali ke cerita Adjeng yang sedang di diskotek. Tampak


mengeluarkan ponselnya dari dalam saku. Adjeng berdecak kesal

62

lalu tanpa menerima panggilan tersebut atau memutusnya memasukkan


ponselnya yang masih menyala ke dalam tas. Lalu ia menaruh rokoknya di atas
asbak dan menuangkan minuman Chivas Regal ke dalam gelas lalu
menenggaknya hingga habis minuman. Bersamaan dengan itu datang temannya,
Venny yang kemudian beberapa saat disusul oleh Andien. Mereka bertiga pun
kemudian minum dan bersulang.
Venny lalu menunjuk pada seorang Lelaki yang tampak sedang
sendirian di meja lain. Setelah mengadakan pelemparan koin, Adjeng mendapat
kemenangan lalu meraih tas dan beranjak dari tempatnya untuk menghampiri
laki-laki tersebut. Sementara Venny dan Andien bergabung dengan pengunjung
yang lain untuk bergoyang sambil sesekali melirik ke arah Adjeng.
Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan ketidaksukaannya pada
bentuk kekang dan kontrol yang (dianggapnya) berlebihan dari orang tua, serta
keinginannya untuk bebas lepas dari kungkungan tersebut.

Adegan 16 : Cerita dalam adegan ini kembali ke kisah Ibu yang masih duduk di
atas tempat tidur sambil sibuk menelepon, wajahnya terlihat semakin cemas
bercampur kesal. Setelah beberapa lama menunggu, ia meletakkan gagang
telepon lalu mematikan lampu di atas meja samping tempat tidurnya dan tidur.

Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan keseriusan satu bentuk


perhatian ibu kepada anaknya.
Adegan 17 : Cerita kembali ke diskotek. Adegan kembali ke Adjeng yang tengah
bersama dengan Lelaki tadi. Lalu tiba-tiba Adjeng mendorong Lelaki tersebut
setelah berciuman dan menerobos masuk ke dalam toilet. Karena terburu-buru
ia menyenggol seorang Perempuan yang sedang berkaca di depan wastafel.

63

Tanpa memerdulikan, Adjeng terus menuju salah satu bilik dan muntah di
sebuah kloset.

Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan satu bentuk gaya


hidupnya yang bebas dan keinginannya untuk lepas dan melampiaskan
kekesalannya pada kehidupan keluarganya.

Adegan 18 : Dari adegan 17, cerita berpindah ke adegan yang terjadi di kloset
kamar mandi lain. Di sana yang ada adalah Adjeng SD yang sedang muntah di
kloset. Tak lama kemudian muntahan itu bergulunggulung dalam pusaran air
sebelum masuk ke dalam closet. Setelah itu Adjeng SD lantas bergegas keluar
kamar mandi tanpa memerhatikan masih ada sisa muntahan sayur di dalam
kloset. Saat ia membuka pintu, ternyata Ibu sudah berdiri di luar kamar mandi.
Ia tersentak namun berusaha untuk tenang. Pada saat itu kemudian terjadi
dialog dan Ibu memarahi Adjeng SD. Pada akhir adegan ini, Adjeng SD dipaksa
mengambil dan memakan kembali muntahan sayur itu yang sudah ada di kloset
menggunakan mulutnya. Akan tetapi, ia pun memuntahkannya kembali.

Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan bagaimana kerasnya


didikan ibu Adjeng dalam mendisiplinkan diri. Dari sini, Adjeng
berpikiran kalau sebenarnya ibunya jahat dan tidak menyayanginya, tidak dapat
atau tidak mau mengerti akan kesukaan dan ketidaksukaannya.

Adegan 20 : Cerita kemudian dilanjutkan ke adegan di dalam kamar mandi


apartemen. Di sini terlihat Adjeng yang tergeletak dengan kepala tergolek di atas
kloset. Bekas muntahan tampak berceceran di kloset tersebut. Lalu muncul Ibu
sambil tergopoh-gopoh membangunkan anaknya, mukanya menampakkan
kecemasan.

64

Adegan ini dalam rangka fungsi sebagai konter atau pembanding


bahwa sebenarnya ibunya sayang dan selalu mencemaskan anaknya.
Adegan 21 : Adegan ini diawali dengan Ibu yang membuka kulkas Adjeng dan
mengecek isinya. Menemukan apel yang telah bekas gigitan, Ibu pun
menggelengkan kepala.
Dalam adegan ini, Ibu pun mengungkapkan kekesalannya akan sikap Adjeng yang tidak
mengangkat teleponnya semalam, sampai kebiasaannya merokok, minuman
keras, hingga kebiasaan makan dan tidur yang tidak teratur.

Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan sikap perhatian ibu


kepada anaknya serta bagiamana ia mendidik anaknya, sebagai seorang single
parent.

Adegan 22 : Adegan 22 merupakan adegan ranjang yang dilakukan oleh Adjeng


dengan Asmoro, pacarnya, di kamar apartemennya Adjeng. Dalam
adegan tersebut dikisahkan bahwa setelah Adjeng merasakan kepuasan, ia lantas
berhenti dan mandi, tanpa memedulikan Asmoro yang belum mendapatkannya.
Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan prinsip dan gaya
hidupnya yang bebas dan (sesekali) egois.
Adegan 23 : Adegan ini berisi obrolan Adjeng dan dua kawannya, Venny dan Andien, di salah
satu sudut kafe di Plasa Senayan. Bahan perbincangan mereka adalah apa yang
telah dilakukan Adjeng terhadap Asmoro pada adegan 22. Adjeng tampak puas
atas apa yang dilakukannya, tambah lagi mendapatkan dukungan dari
temantemannya.
Ketika sedang seru-serunya mereka membicarakan tema tersebut,

65

tiba-tiba harus berhenti karena Adjeng mendapat telepon dari Ibunya. Menerima
telepon itu pun Adjeng tampak begitu hormat, nurut, dan bertutur lembut,
hingga teman-temannya disuruh diam. Adegan ditutup dengan pulangnya
Adjeng ke apartemen setelah mendapat telepon tersebut. Meskipun kesal, ia
harus pulang. Ia takut kalau Ibunya mengecek keberadaannya di apartemen.
Pertemuan itu pun ditutup Adjeng dengan mengatakan Selamat hunting
pada teman-temannya.

Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan visi dan pandangan


hidup Adjeng dan kawan-kawannya, serta menunjukkan dualitas karakter
Adjeng.
Adegan 24 : Adegan 24 berlatar di kamar Adjeng di apartemen. Adjeng terlihat
sedang serius mengetik di depan laptop. Rokok mengepul, beberapa kaleng
minuman alkohol tampak berjajar di meja. Tiba-tiba telepon berdering, Ibunya
yang meneleponnya untuk mengeceknya. Baru saja ia menutup telepon, bel pun
berbunyi. Dengan kesal ia pun beranjak untuk membukakan pintu.

Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan kompleksitas hubungan


dan sisi-sisi kehidupan Adjeng dalam relasinya dengan ibu dan kawannya.

Adegan 25 : Adegan ini merupakan adegan antara Adjeng, Andien, dan laki-laki
yang dibawa Andien. Adegan ini terjadi di ruang tamu apartemen Adjeng.
Di sini dilukiskan Adjeng berjalan menuju pintu, lalu membuka
pintu tersebut. Andien muncul dan diikuti seorang Lelaki. Andien mengatakan
kalau ia mendapatkan mangsa, sambil ia memberi kode tangan kepada Adjeng.
Adjeng pun paham maksud Andien lalu menyuruh mereka masuk. Ketika

66

melihat Andien mau masuk ke kamar, Adjeng menghalangi dan menunjuk sofa
sebagai tempat mereka karena kamarnya akan dipakai untuk ngetik.
Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan bebasnya cara hidup Adjeng dan kawankawannya.

Adegan 26 : Adegan 26 terjadi di dalam kamar Adjeng. Adjeng telah kembali


duduk dan terlihat serius di depan laptop. Beberapa kaleng bir
tampak berserakan di atas meja, di samping kanan dan kiri laptop, sebagian
tampak belum di buka, dan sebagiannya lagi tampak kosong. Ketika ia sedang
serius mengetik, konsentrasi Adjeng pun buyar setelah ia mendengar suara tawa
cekikikan dari luar. Bahkan semakin buyar ketika tawa cekikian itu berubah
menjadi suara desahan. Adjeng meninggalkan laptop berjingkat menuju pintu
dan membukanya perlahan-lahan, lalu mengintip dari celah pintu. Di sini,
background suara yang ada adalah suara Adjeng yang mengeja cerita yang ada
di dalam cerpen Lt. (hal. 12 paragraf akhir-13).
Berikut adalah kutipan isi suara Adjeng di dalam film.
Pada suatu hari keingin-tahuan saya mendesak kuat. Saya
mengintip dari sela-sela tirai yang sedikit terbuka ke dalam kamar Ibu.
Sampai di sini adegan berpindah ke adegan berikutnya.
Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan betapa byangan masa
lalu selalu menghantui kehidupan Adjeng sampai sekarang.
Adegan 27 : Cerita kemudian berpindah ke cerita yang terjadi di ruang tamu
apartemen Adjeng. Akan tetapi yang tergambar adalah Ibu dan Lelaki yang tadi
datang bersama dengan Andien. Mereka tengah bergulat di atas sofa. Mereka
saling berdekap erat, mendesah, dan menggeliat. Tak lama kemudian mereka

67

semakin erat berdekap, mengejang, dan mengerang, hingga tiba keheningan


menjelang.
Tenang.
Suara juga terisi dengan suara Adjeng yang terus melafalkan cerita Lt (hal. 13), kelanjutan
dari cerita pada adegan 26. Berikut kutipan kalimat-kalimat dari dialog Adjeng
dalam film.
Dan saya sangat kaget melihat seekor ular yang merah menyala.
Lidahnya menjulur keluar dan liurnya menetes ke bawah. Saya jijik
melihatnya. Namun Ibu dengan rakusnya menelan habis liur ular besar itu
tanpa menyisakan satu tetes pun!
Yang lebih mencengangkan lagi, ular itu lalu berangsurangsur
mengecil.
Saya tidak bisa membayangkan sebelumnya, bila ular itu tidak lain
adalah
Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan kuatnya bayangan
peristiwa buruk masa lalu terbawa hingga ke dewasa.
Adegan 28 : Selanjutnya terlihat kepala Ibu terkulai di tangan-tangan sofa. Pada
saat itu, tiba-tiba Lelaki tadi menatap tajam ke pintu kamar Adjeng. Adjeng
yang merasa tertangkap basah langsung terkesiap. Ia tak berani bergerak.
Dengan sangat hati-hati supaya tidak membangunkan Ibu, Lelaki 1 berjalan
menuju pintu kamar Adjeng. Adjeng pun pelan-pelan mundur selangkah demi
langkah. Dialog Adjeng pun berlanjut:
Saya tidak bisa membayangkan sebelumnya, bila ular itu tidak lain
adalah Lintah
Pada saat itu yang tampak di layar adalah Andien yang menggeliat
dan menanyakan pada Lelaki tadi mau kemana, tetapi ketika kembali kamera
mengarahkan ke Lelaki tadi, ternyata sudah berganti menjadi Lintah (pacar Ibu).
Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan sifat skizofrenia Adjeng, yang tak
lagi bisa membedakan antara orang lain dan ibunya.
68

Adegan 29 : Berhenti di sana adegan 28, kemudian beralih ke adegan yang terjadi
di kamar apartemen Adjeng. Akan tetapi, yang muncul di gambar adalah tokoh
Adjeng SD yang tengah duduk meringkuk gemetaran di di pojok kamar Adjeng.
Berhenti di situ adegan berpindah ke adegan 30.

Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan bayangan Adjeng pada


masa lalunya yang kelam.
Adegan 30 : Pada adegan ini berganti ke setting sekolah. Terlihat anak-anak SD
tengah berlarian keluar dari lorong sekolah. Kemudian Adjeng SD muncul, dan
di dekat pintu pagar sekolah, Ibu sudah menunggu, menjemputnya pulang.

Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan satu bentuk perhatian


ibu pada Adjeng kecil, menjemputnya saat pulang sekolah, tetapi dengan
kostum show yang mencolok.

Adegan 31 : Adegan ini terjadi di beranda sekolah. Adjeng SMP sedang duduk
sendiri sambil menggambar sosok perempuan berwajah sangat mirip dengan Ibu
yang menjemput Adjeng SD. Tetapi sosok yang digambarnya terlihat lebih
anggun dalam balutan kebaya coklat muda. Di atas gambar sosok perempuan
itu, ia menuliskan kata IBU SAYA.
Dari arah lain, datang tiga orang anak laki-laki (ANTON, KOKO,
dan HENDRA). Mereka berjingkat-jingkat menghampiri Adjeng SMP yang
tengah asyik menggambar. Anton yang berperawakan lebih besar dibanding ke
dua temannya itu merebut gambar dari pangkuan Adjeng SMP. Adjeng SMP
marah dan berusaha merebut kembali gambarnya. Tetapi mereka malah
mempermainkannya dengan melemparkan gambar dari satu tangan ke tangan

69

lainnya. Salah satu dari mereka pun mulai meledeki Adjeng SMP. Karena kesal,
Adjeng SMP pun meninju Anton.

Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan kerinduan Mayra akan


hadirnya sosok ibu dalam hidupnya sehingga ia bisa mengadukan perilaku
teman-temannya di sekolah, yang kerap mengganggunya.

Adegan 32 : Di kamar Adjeng SMP terpekur memandangi gambar Ibu berkebaya


coklat muda yang lusuh. Lalu terdengar Bi Inah mengetuk pintu dan
memanggilnya. Tanpa memalingkan pandangan dari gambar Ibu, Adjeng SMP
menjawab ketukan di pintu itu. Bi Inah pun masuk mengantarkan makanan dan
menyuruh Adjeng SMP untuk segera makan. Akan tetapi, Adjeng SMP
menjawabnya dengan menanyakan di mana Ayah. Bi Inah pun menjawab kalau
ayah sedang mengetik di kamar. Melihat gambar yang lecek, Bi Inah pun
berinisiatif untuk menyetrikanya.
Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan kerinduannya pada sosok ibu serta
keinginannya ada orang tua yang hadir memberikan kasih sayang padanya.

Adegan 33 : Pada adegan ini tergambar Bi Inah yang sedang menyetrika lukisan Ibu milik
Adjeng SMP.

Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan hadirnya seseorang


yang memberikan perhatian kepadanya, tetapi dari orang lain yang bukan orang
tua. Hal ini sekaligus untuk menunjukkan ketragisan keadaan.

Adegan 34 : Cerita kemudian berpindah ke Adjeng SD. Di kamar ia sedang

70

menonton tv dan mengganti chanel-chanel televisinya. Kemudian ia berhenti


pada satu stasiun tv yang sedang menyiarkan acara talk show, dan di sana yang
sedang di wawancarai adalah Ibu.
Wawancara yang dilakukan seputar tema Hari Kartini.
Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan ketragisan keadaan: Adjeng kecil yang hanya
punya teman televisi. Adegan ini juga dalam rangka fungsi menunjukkan kepada
Adjeng dan penonton bagaimana secara lisan ibu menyatakan sikap dan
pandangannya, kasih sayangnya kepada anaknya. Bahwa selama ini ia
menyayangi anaknya.

Adegan 35 : Adegan berpindah ke acara di studio tv. Presenter mengawali talk


show dengan pertanyaan pentingnya keluarga, hingga berlanjut pada
pernikahan Ibu, dan kedekatan Ibu dengan Lelaki anak Band, dan rencana
pernikahannya.
Dalam dialog ini ibu menyampaikan, Figur ayahnya tidak bisa
digantikan oleh siapapun. Dan kenapa harus buru-buru? Saya tokh bisa menjadi
figur seorang Ibu sekaligus Ayah untuk putri saya!

Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan sikap dan sifat


bagaimana ibu yang sayang dan bertanggung jawab sebagai orang tua.

Adegan 36 : Di kamar Adjeng SD menatap lurus ke layar kaca tv. Menatap Ibu
yang seperti sedang tersenyum untuknya. Sedangkan di belakangnya, Pacar Ibu
sedang berjalan ke arahnya lalu memegang dan meremas bahunya. Wajah
Adjeng SD semakin tegang. Di bahunya sudah menempel seekor lintah.
Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan gambaran keadaan

71

yang cukup ironis: Lintah yang berani melakukan perbuatan tidak senonoh
kepada Adjeng bahkan di hadapan ibu, ibu yang seolah tidak mau tahu atau
diam saja dengan keadaan yang menimpa Adjeng anaknya, dan Adjeng yang
terpaksa hanya bisa pasrah menerima keadaan yang menimpanya.

Adegan 37 : Adegan di dapur. Tampak Lintah sedang memasak telur ceplok


mengenakan celemek biru bertuliskan Daddy.
Adegan ini dalam rangka fungsi gambaran jika ia menjadi Daddy bagi Adjeng di
rumah tersebut.

Adegan 38 : Di ruang makan Pacar Ibu sedang menata makanan di atas meja
makan, berikut tiga set piring makan. Setelah merasa yang ditatanya sempurna,
ia berhenti dan memandangi dengan puas hasil karyanya.
Pada saat itu terdengar suara mesin mobil menggema di garasi lalu
berhenti. Tak lama kemudian Ibu dengan wajah kuyu dan dandanan tebal yang
belum sempat dibersihkan muncul di mulut pintu. Wajah lesunya berubah ketika
melihat pacarnya berdiri di sebelah meja makan. Pandangan Ibu beralih ke meja
makan. Melihat apa yang tersaji di sana, dengan segera ia menatap kembali sang
pacar yang sedang memandanginya mesra. Gantungan kebaya coklat muda yang
sedang dipegangnya serta merta ia campakkan begitu saja di atas kursi.
Pacar Ibu lalu menarik salah satu bangku yang terdekat dari
tempatnya berdiri dan mempersilahkan Ibu duduk dengan gaya pelayan
professional. Ibu tertawa tertahan. Ibu duduk di kursi yang sudah dipersiapkan.
Pacar Ibu duduk di sampingnya, mengecup Ibu. Ia bergidik kegelian ketika sang
pacar mencium kelopak telinganya. Lalu dengan mesra mereka berciuman.
Tangan pacar ibu mulai menggerayangi payudara Ibu. Tiba-tiba Ibu

72

menghentikan ciumannya seolah teringat sesuatu. Kemudian ia bertanya,


Mana?.
Lelaki itu pun hanya mnenjawabnya dengan mengangkat bahu.

73

74

ini dalam rangka fungsi menunjukan sikap Lintah yang


pandai menjilat, serta sikap cinta dan perhatiannya ibu pada Lintah
dan dibandingkan dengan sikapnya pada Adjeng.

Adegan 39 : Di kamar Adjeng SMP sedang berkaca di depan meja rias. Wajahnya
terlihat pucat. Tetapi ia berusaha tersenyum demi menyembunyikan
kesedihannya. Setelah yakin, ia pun beranjak dari duduknya. Tertatih
ia berjalan keluar kamar sambil menyembunyikan luka bekas gigitan
lintah di balik kerah bajunya.

Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan bagaimana upayanya


untuk tetap terlihat senang dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.
Adegan 40 : Di depan garasi, mobil dinyalakan mesinnya. Di dalam sudah ada
pacar Ibu memegang kemudi. Tampak berjalan berdampingan Ibu
dan Adjeng SD. Ibu menghampiri pacarnya dari balik pintu mobil.
Ibu mencium pacarnya. Sementara Adjeng SD masuk dari pintu
satunya. Sebelum berangkat, pacar Ibu sempat menengok ke arah
Adjeng SD dengan pandangan sinis dan picik dan penuh rasa
merdeka. Tak lama kemudian mobil meluncur meninggalkan garasi,
teriring lambaian tangan Ibu.
Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan kelicikan Lintah dan
kepandaiannya mengambil hati ibu sehingga tidak ada sedikitpun
kecurigaan ibu pada Lintah.

75

Adegan
Adegan 41 : Di dalam mobil, dalam perjalanan mengantar Adeng SD ke sekolah,
Lelaki itu terlihat memindahkan persneling, sambil menyempatkan
juga menyentuh paha Adjeng SD. Sesudah tangannya melepas
persneling, terlihat lintah menempel di atasnya lalu pelan-pelan
merayap di paha Adjeng SD.

Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan kerakusan Lintah yang


menggerayangi Adjeng SD bahkan dimana dan kapan pun setiap ada
kesempatan.

Adegan 42 : Adegan berpindah ke kamar Adjeng. Di lukiskan Adjeng melempar


setumpuk kertas ke dada Asmoro yang masih malas-malasan tiduran
di kasur. Adjeng lalu meminta Asmoro memberi komentar
tulisannya. Dengan enggan Asmoro pun bangkit dan membaca lalu
mengomentari tulisan Ajeng.
Di dalam adegan inilah terjadi perdebatan antara Adjeng dengan Asmoro.
Asmoro mengkritik kalau tulisannya terlalu datar, dan terlalu kelam,
tanpa adanya solusi. Adjeng merasa tidak puas dengan kritik dan
komentar yang diberikan Asmoro. Adjeng menganggap ia tidak
dihargai dengan tulisannya. Di sini, Adjeng mendapat banyak kritik
dan masukan. Adegan ini pun berujung pertengkaran. Adjeng pun
kesal karena merasa dilecehkan lalu pergi meninggalkan Asmoro
sendirian di kamar.
ini dalam rangka fungsi menunjukan bagaimana kerasnya

76

sikap dan pendirian Adjeng, di samping keinginannya untuk


mendapatkan perhatian dan masukan dari orang lain.

Adegan 43 : Selanjutnya adegan terjadi di lorong apartemen. Dengan wajah kesal


dan langkah tergesa Adjeng berjalan sepanjang koridor menuju ke
arah elevator. Sesampainya di depan elevator, Adjeng langsung
memijit tombol elevator. Ia menunggu di depan elevator dengan
gelisah. Ketika pintu elevator terbuka ia segera masuk ke dalamnya.

Adegan ini dalam rangka fungsi menggambarkan kekacauan dan


kekalutan pikiran Adjeng.
Adegan 44 : Adegan ini terjadi di dalam elevator. Telunjuk Adjeng memijit
tombol menuju lantai dasar. Di panel tombol panel elevator terlihat
beberapa angka yang sudah menyala. Adjeng berdiri menunggu.
Ting! Pintu elevator berhenti di lantai 7. Pintu elevator terbuka.

Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan kegelisahan dan


bayangan Adjeng yang kemana-mana.
Adegan 45 : Ibu berjalan keluar dari dalam elevator menuju satu kamar. Adjeng
SD mengikuti di belakang Ibu. Ibu berhenti di depan pintu sebuah
kamar dan langsung mengetuknya. Tidak ada jawaban dari dalam
kamar. Ibu kembali mengetuk dengan lebih keras sambil memanggil
sebagai berikut, Mas, buka pintunya Mas. Saya tau kamu ada di
dalam. Buka, Mas. Ini ada anakmu nih. Tetapi tetap tidak ada

77

Adegan
jawaban dari dalam kamar. Ibu mulai terlihat marah. Kini ia
menggedor pintu. Pintu tetap tidak dibuka. Ibu mulai histeris. Ibu
memukul, menggedor, dan menendangi pintu dengan membabi buta
sambil berteriak segala sumpah serapah. Tak berapa lama kemudian,
Ibu mulai lelah. Ia terduduk dengan lunglai di depan pintu sambil
menangis terisak-isak. Adjeng SD yang sedari tadi diam ikut duduk
di sebelah Ibu.

Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan ingatan Adjeng pada


kejadian masa kecilnya bersama ibu saat mendatangi kamar hotel
ayah.

Adegan 46 : Adegan kembali ke Adjeng yang tengah berada di elevator. Telunjuk


Adjeng memijit tombol tutup pada panel elevator. Pintu elevator
tertutup. Ting! Elevator berhenti di lantai 4. Pintu elevator terbuka.

Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan perpindahan pikiran Adjeng pada
kenangan masa lalu.

Adegan 47 : Cerita berlanjut ke sebuah lorong rumah hantu. Lorong itu tampak
gelap. Sesekali beberapa hantu muncul di depan mata. Akhirnya
sampai di depan pintu keluar lorong rumah hantu. Pintu terbuka.
Cahaya menyeruak masuk ke dalam.

Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan kengerian kisah

78

hidupnya.
Adegan 48 : berpindah ke sebuah pasar malam. Suasana pasar malam
hingar bingar dengan berbagai macam wahana dan atraksinya.
Adjeng SMP terlihat bingung di tengah keramaian. Ia berjalan
kesana-kemari mencari Ayah. Ia pun menanggil-manggil ayahnya,
Pah Papah Kakinya menginjak sejenis kertas krep warna
merah yang tercecer di tanah. Adjeng SMP hampir menangis karena
tidak

juga

menemukan

Ayah.

Ia

terus

mencari

sambil

memanggilmanggil dengan panik.


Gambar, melalui tangkapan mata kamera bergerak mundur kembali
ke jalan yang semula dilewati Adjeng SMP, hingga masuk ke dalam
elevator.
Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan rasa kesendirian tokoh Adjeng
dalam hidupnya di tengah keramaian.

Adegan 49 : Di dalam elevator telunjuk Adjeng memijit tombol tutup pada panel
elevator. Pintu elevator tertutup. Ting! Pintu elevator terbuka.
Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan perpindahan dan
pengembaraan pikiran dan bayangan masa lalu dari satu kejadian ke
kejadian lainnya.

Adegan 50 : Lalu Adjeng berjalan gontai keluar dari dalam elevator menelusuri
lorong apartemen. Di sepatunya menempel kertas krep yang sama
dengan kertas krep yang diinjak Adjeng SMP di Pasar Malam.

79

Adegan
Adjeng berjalan menjauhi elevator menuju kamar Apartemennya dan
membuka pintu. Lorong tampak kosong dan sepi setelah Adjeng
masuk kamar. Bahkan hingga pagi, lorong masih tetap sepi tanpa
seorang pun lewat.

Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan sikap hidupnya yang


tak lagi peduli dengan resiko-resiko penyakit mematikan seperti
HIV-AIDS, sebagia satu bentuk pemberontakan dan kekesalan pada
sisi gelap masa lalunya.

Adegan 51 : Cerita berpindah ke Adjeng di kamar apartemennya. Tampak Adjeng


tertidur di kursi di depan laptopnya. Di samping kepalanya, laptop
masih menyala. Bel berbunyi berkali-kali hingga ia terkejut bangun.
Ia lalu sibuk menyembunyikan kaleng minumannya ke dalam laci
meja dan menyemprot ruangan dengan pewangi, lalu bergegas
membuka pintu.

Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan dualitas karakter


Adjeng.
Adegan 52 : Adjeng membukakan pintu, dan muncul Ibu. Ibu tampak kecewa dan
sedikit ngomel karena Adjeng terlalu lama tidak membukakan pintu.
Ibu lalu menyuruh Adjeng untuk segera mandi karena takut
kesiangan.

Adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan kekerasan dan

80

ketegasan karakter ibu, semakin menguatkan betapa Adjeng dibuat


tak berdaya dihadapan ibunya.

Adegan 53 : Adegan ini terdiri atas beberapa rangkaian adegan.


A) Ibu dan Adjeng berjalan di lorong Mal. Mereka berhenti di depan
sebuah butik. Ibu manunjuk-nunjuk sebuah baju agak
norak yang dipajang di etalase. Ia menarik tangan Adjeng
yang terlihat mengernyit seperti tak yakin untuk masuk ke
butik itu.

B) Ibu dan Adjeng di counter kosmetik. Adjeng memajukan bibir, Ibu mengoleskan
gincu dengan hati-hati. Setelah selesai Adjeng melihat bayangan wajahnya di kaca
bulat. Ibu terlihat puas, tetapi warna yang dipilihnya terlalu merah untuk Adjeng.
Adjeng menggelengkan kepala sambil tertawa melihat bayangan wajahnya di
cermin, ia lalu menyeka bibirnya dengan tissue.

C) Ibu dan Adjeng makan di cafe. Mereka duduk berhadapan.


Makanan di piring Adjeng telah habis menyisakan
beberapa lembar sayur hijau yang tidak disentuhnya. Ibu
menyendok sayur hijau itu dan menyuapkannya ke mulut
Adjeng. Tetapi Adjeng menolak. Ia malah menyalakan
rokok lalu menghembuskan asapnya dengan nikmat. Ibu
hanya cemberut sambil mengibas-ngibaskan tangan
menghalau asap yang mengepul di depan wajahnya.

81

Adegan
Adegan-adegan ini dalam rangka fungsi menunjukan bagaimana
kasih sayang dan perhatian ibu kepada anaknya, keinginan
ibunya pada anaknya, tetapi yang tidak sepadan dengan
keinginan anaknya dan yang anaknya tangkap.
Adegan 54 : Adegan ini berlatar di supermarket. Adjeng terlihat
mendorong
trolley di koridor rak-rak makanan dalam supermarket.
Ibu mengikuti dari belakang sambil melihat-lihat. Adjeng
tampak sedang mencari-cari barang. Kemudian ia
bertanya pada Ibu, Di mana Mom? Kemudian Ibu
menjawab, Mungkin di rak sebelah kali. Adjeng pun
menuju rak sebelah. Ketika ia sedang mencari barang
yang dituju, di hadapannya terlihat Pacar Ibu sedang
bersama dengan Adjeng SD. Tatapan mata mereka pun
saling bertemu. Ketika Adjeng sedang tercenung dan
terheran dengan hal tersebutia dikejutkan dengan suara
Ibu, Dapet kan?. Ibu telah berdiri di ujung lorong
sambil tersenyum memandang ke arahnya. Tangannya
sudah penuh dengan berbagai macam barang, lalu berjalan
menghampiri Adjeng yang tersentak, lalu berusaha
tersenyum ke arah Ibu.
Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi menunjukan kuatnya
bayangan masa lalu.

82

Adegan 55 : Adegan berikutnya terjadi di ruang tamu apartemen Adjeng.


Di sana
tampak Venny dan Andien duduk-duduk sambil minum
dan merokok sambil menunggu Adjeng datang. Tidak
berapa lama Adjeng pun tiba.
Cerita berlanjut ke Venny dan Andien yang saling tebak-tebakan
mengecek belanjaan Adjeng. Berawal dari dilihatnya ada
terong dalam belanjaan itu, pembicaraan merambah ke
Asmoro. Venny menyarankan agar Adjeng mendengarkan
kata-kata Asmoro, karena ia lebih senior, siapa tahu ada
benarnya juga. Dari situ akhirnya Adjeng pun marah. Ia
lalu masuk ke toilet dan ngomel-ngomel.

Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi menunjukan


bagaimana keras dan disiplinnya perhatian ibu Adjeng
hingga ke persoalan pola makan. Adegan tersebut juga
dalam rangka fungsi menunjukkan ketragisan sakit hati
Adjeng yang terus terjadi bahkan hingga ia dewasa dalam
hubungannya dengan kekasihnya.

Adegan 56 : Di dalam toilet, sambil duduk di kloset, ia marah-marah,


ngomelngomel soal kritik Asmoro pada tulisannya, kekesalannya
pada Asmoro.

83

Adegan
Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi melukiskan sakit hati
Adjeng atas perlakuan Asmoro, kekasihnya.

Adegan 57 : Cerita berlanjut ke adegan 57. Adjeng baru saja keluar pintu
kamar
mandi. Asmoro sudah berdiri di sana. Adjeng bengong.
Andien dan Venny bergegas keluar.

Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi menunjukan


bagaimana tragisnya nasib yang menimpa Adjeng.
Adegan 58 : Di kamar Adjeng SMP sedang menggambar sepasang
keluarga,
ayah-ibu-anak, diawali dari titik-titik yang berjalan
seirama dengan irama mesin ketik dari kamar sebelah.
Lalu Ajeng SMP menghubungkannya dengan garis
sehingga membentuk gambar orang.
Sementara di luar, terdengar suara Bi Inah mengetuk pintu dan
memanggil majikannya, memberi tahu kalau ada tamu.
Dari suara di luar terdengar kalau yang datang adalah
seorang perempuan, Nova, ia pun mulai menanyakan
kepada

Ayah

dengan

panggilan

mas,

apakah

ia

mengganggu, dan ayah menjawabnya tidak. Mendengar


itu, Adjeng SMP langsung mencibir. Ia tidak mendengar
jawaban Ayah kecuali suara pintu ditutup. Kertas berisi
titik-titik yang sebagian besarnya sudah tersambung

84

menampakkan gambar anak kecil, Ibu, dan Ayah. Bagian


Ayah yang belum sempurna tersambung, segera dicoretcoretnya. Tinggal gambar anak kecil dengan gambar ibu.
Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi menggambarkan
tragisnya nasib Adjeng ketika seusia SMP. Dari waktu-ke
waktu penantian dan kerinduan pada sosok ayah dan ibu
yang memberikan perhatian kepadanya tak kunjung
datang.

Adegan 59 : Adjeng SMP yang sudah rapi berpakaian seragam sekolah


sedang
menyantap sarapan pagi. Bi Inah berjalan mondar-mandir
melayani Adjeng SMP.
Ketika itu, lalu Nova keluar dari kamar Ayah. Nova tampak baru
selesai mandi. Rambutnya masih sedikit basah membuat
kesan segar dan tambah membuatnya kelihatan amat
muda. Pakaian yang dikenakannya pun casual, namun
sensual. Celana jean dan kaus warna kuning ketat dengan
belahan dada yang rendah. Nova berjalan menuju meja
makan

dengan

cara

jalan

yang

aneh,

cenderung

berlebihan. Dia lalu menghampiri Adjeng SMP dan


menyapanya. Mengatakan kalau ini si cantik yang suka
diceritakan ayahnya. Akan tetapi, Adjeng SMP diam dan

85

Adegan
acuh. Ia mengulurkan tangan untuk berkenalan sembari
menyebutkan

namanya,

tetapi Adjeng

SMP tidak

menyambutnya.
Dari balik pinggangnya yang rata, terlihat pintu kamar Ayah terbuka.
Ayah kelihatan juga habis mandi. Ayah muncul dengan
berpakaian santai namun rapi. Lalu mengajak Nov pergi.
Nova mencium ke dua pipi Adjeng SMP lalu berjalan dengan cara
yang

sangat

berlebihan

mendekati

Ayah.

Ayah

menyempatkan mengelus rambut Adjeng SMP sebelum


beranjak pergi. Adjeng SMP tampak kesal lalu mengetukngetukkan sendok ke piringnya dengan keras.
Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi menggambarkan
tragisnya nasib Adjeng SMP yang selalu tidak pernah
mendapatkan perhatian dari

ayahnya. Sedangkan

penantian pada ibunya juga tidak pernah terpenuhi.

Adegan 60 : Cerita berpindah ke sekolah SMP tempat Adjeng SMP


sekolah. Bel
sekolah dipukul berkali-kali. Arus murid-murid keluar
dari masingmasing kelas, turun dari tangga. Di beranda
sekolah Adjeng SMP terlihat duduk menyendiri itu sambil
memegang secarik kertas berisi cerita sambil serius
mencermati tulisan tersebut. Sedemikian asyiknya Adjeng

86

SMP sehingga ia tidak menyadari kalau Anton, Hendra,


dan Koko sedang menghampirinya dengan muka jahil.
Tibatiba Koko merebut kertas itu dari tangan Adjeng
SMP. Adjeng SMP lalu bangkit hendak merebut kertas
tersebut. Dagunya mengeras menahan amarah, telapak
tangannya tergenggam membentuk kepalan. Ia menerjang
Anton mencoba mengambil kertasnya. Tetapi Anton
berhasil

mengelak

sementara

kedua

temannya

menghalangi dan mendorong Adjeng SMP tiap kali mau


merebut kertas dari Anton. Akhirnya Adjeng SMP berhasil
meninju Anton hingga jatuh pingsan.
Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi menunjukan ketragisan
keadaan yagn menimpa Adjeng dan bagaimana ia berupaya
mengatasinya sendiri.

Adegan 61 : Cerita dalam adegan ini terjadi dalam keluarga Adjeng SMP.
Cerita
diawali dengan Music Box yang berputar mengeluarkan
suara musik lullaby. Lalu muncul Adjeng SMP dan Ayah
membawa kue ulang tahun, dan berjalan bersijingkat
keluar menghampiri Ibu yang tengah duduk sambil
membaca sebuah buku di halaman luar. Lalu keduanya
menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Melihat itu Ibu
berlagak tak acuh. Ia malah meneruskan bacaannya

87

Adegan
dengan tampang serius. Melihat itu, Adjeng SMP lalu
mencolek krim dari kue ulang tahun dan mengoleskannya
ke wajah Ibu. Lalu diikuti oleh ayah. Sambil tertawa geli
Ibu membalas perlakuan mereka.
Perlahan-lahan pemandangan keluarga bahagia itu semakin mengecil
terbingkai jendela yang ternyata adalah gambar jendela yang
dibuat oleh Adjeng SMP, berubah menjadi lukisan.
Adegan-adegan tersebut memiliki dua kemungkinan fungsi, pertama
dalam rangka fungsi menguatkan impian dan keinginan
hadirnya keluarga ideal bagi Adjeng, kedua menunjukkan
asal-muasal sebuah keluarga atau dengan kata lain sebagai
titik temu dua cerpen yang diangkat ke dalam film ini,
bahwa ibu dan ayah adalah suami istri yang kemudian
berpisah atau bercerai.

Adegan 62 : Cerita berpindah ke kamar Adjeng SMP. Tampak gambar


jendela
tergeletak di lantai di antara gambar-gambar yang lain,
gambargambar Ibu, dan gambar-gambar aktifitas keluarga
lainnya. Suara musik lullaby perlahan-lahan berhenti
seiring dengan melambatnya putaran music box.
Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi menunjukan bahwa

88

adegan sebelumnya memang hanya merupakan bayangan


pikiran Adjeng saja.

Adegan 63 : Dalam adegan ini dilukiskan Adjeng tengah tertegun di


depan
laptopnya. Di tangan kanannya terselip rokok yang
menyala terlalu lama sehingga abu di ujungnya terlihat
sudah panjang, hingga jatuh ke pangkuannya, tetapi
dibiarkan. Tatapannya menerawang kosong.
Keheningan terpecah oleh suara ketukan pintu yang menyadarkan
Adjeng dari lamunannya. Adjeng menengok ke arah pintu.
Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi menunjukan bahwa
peristiwa-peristiwa masa lalu (pada adegan sebelumnya)
terus membayanginya.

Adegan 64 : Dari adegan 63 bersambung ke adegan ini, di kamar Ibu.


Suara
ketukan pintu terdengar. Lalu kamar yang gelap perlahan
diterangi cahaya dari celah pintu yang dibuka dengan hatihati oleh Pembantu. Ia masuk membawa nampan berisi
secangkir teh hangat, air mineral, segelas jus warna hijau,
sepiring pepaya, dan surat kabar, lalu meletakkannya di
meja samping tempat tidur Ibu. Cerita berhenti di situ.
Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi menunjukan

89

Adegan
kontradiksi cara hidup ibu dan Adjeng anaknya.
Adegan 65 : Adegan berpindah ke halaman luar rumah. Tampak Ibu
sedang
dalam salah satu gerakan yoga dengan buku TTS di
depannya dan telepon di samping kanannya. Mendadak ia
berhenti dari gerakkannya, mengambil posisi duduk, lalu
meraih telepon dan memencet beberapa tombolnya. Dia
pun menelepon Adjeng, untuk minta bantuan mengisi
TTSnya.
Adegan-adegan tersebut lagi-lagi dalam rangka fungsi menunjukan
perbedaan gaya hidup ibu yang sehat dan teratur dengan
Adjeng, anaknya, yang bebas dan lekat dengan rokok dan
alkohol.

Adegan 66 : Adegan ini melukiskan Adjeng, yang tengah tidur di kamar


apartemennya sambil menerima telepon dari Ibunya. Ia
menghela
nafas panjang ketika mendengar pertanyaan-pertanyaan
Ibu. Dengan sangat malas ia menjawab pertanyaan itu. Ia
pun lama-lama tampak kesal. Di sampingnya tampak
Asmoro terbangun. Ketika telepon ditutup, ia pun tampak
marah. Lalu Asmoro menenangkan dan menunjukkan
kepada Adjeng, cerpennya berjudul Lintah yang dimuat di
koran.

90

Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi menunjukan hubungan


atau sikap Adjeng yang kurang respek kepada Ibunya.
Adegan 67 : Cerita dalam adegan ini terjadi di ruang tamu apartemen
Adjeng. Tampak di sana sebuah surat kabar dilempar ke
arah Adjeng. Adjeng duduk menatap kosong ke arah surat
kabar yang dilempar itu. Ibu berdiri di depan Adjeng. Ibu
tampak kesal kepada Adjeng dan memarahinya dengan
suara yang tersendat, lalu diam. Wajahnya tertunduk
menahan air mata yang perlahan mulai mengalir. Saat
kembali menatap Adjeng, matanya terlihat merah. Adjeng
menunduk. Ibu membalik badan, berjalan menuju pintu
keluar. Sesampai di depan pintu ia menghentikan langkah.
Tanpa berputar menghadap Adjeng, Ibu kembali bicara
dengan suara keras bercampur isakan, menanyakan
mengapa

dendamnya

cuma

ditujukan

kepada

Ibu,

sementara Bapakmu. Berikut kutipannya dialog dalam


adegan ini.
Kenapa dendam kamu cuma buat Mommy,
Djeng? !
Apa pun yang Mommy lakui semua buat
kepentingan kamu. Dan paling nggak Mommy
sebagai orang tua nggak pernah lepas tanggung jawab
ke anak. Sementarabapak kamu.. dan
setelah kejadian itu Djeng, kamu sempat kan Djeng
tinggal sama bapak kamu. Kamu ngrasain sendiri
kalau sedetik pun dia nggak pernah ngurusin kamu.
Kamu lihat sendiri yang dia urusin cuma

91

Adegan
perempuanperempuandan perempuan. Sadar
nggak kamu Djeng? Kalo bukan karena ulah
bapakmu...kalau bukan karena ulah dia yang dengan
gampangnya ninggalin kita, nggak mungkin ada
kejadian ini.
Nggak mungkin!
Merasa tidak ada lagi yang harus diucapkan, Ibu memutar badan lalu
keluar. Meninggalkan Adjeng diam tak bergerak di kursi.
Sunyi.
Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi menunjukan betapa
salah sikap dan tindakan Adjeng di mata Ibunya. Ini
menguatkan keadaan tragisnya nasib yang dialami Adjeng.

Adegan 68 : Cerita berpindah ke jalanan di malam hari. Suara piano


memelodi
malam. Deretan kendaraan bermotor tampak memadati
jalan raya. Beberapa dialog yang menyinggung sikap Ibu
Adjeng membuat Adjeng kesal dan marah. Ia pun
menghentikan mobilnya secara mendadak dan menyuruh
kedua temannya turun. Venny berlari keluar dari dalam
mobil disusul Andien yang keluar dengan santai. Mobil
Adjeng langsung tancap gas. Venny terus berlari menuju
taksi. Sementara Andien hanya berdiri dan menyalakan
rokok.
Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi menunjukan kekesalan
Adjeng yang berbuntut pada tersulutnya kemarahan.

92

Adegan 69 : Dari adengan di atas disusul ke adegan 69. Cerita terjadi di


sebuah
bar. Adjeng tampak masuk ke dalam bar. Pandangannya
menyapu ruangan mencari Asmoro yang ternyata sudah
duduk di salah satu sudut Bar. Adjeng langsung menuju ke
arah meja di mana Asmoro duduk dan langsung saling
berpelukan. Tak lama kemudian Asmoro mengacungkan
tangan ke arah pelayan untuk meminjam pena. Pelayan
memberikan penanya kepada Asmoro. Setelah mendapat
pena, ia mengambil secarik kertas request song dan
menuliskan sesuatu. Adjeng berusaha melihat tetapi tidak
diperbolehkan oleh Asmoro. Setelah menuliskan sesuatu
dan memberikan kepada pelayan tadi, pelayan langsung
pergi meninggalkan mereka berdua.
Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi mau menunjukan
hubungan Adjeng dengan Asmoro sekaligus menunjukkan
sudut pandang yang berbeda dari keberhasilan Adjeng.

Adegan 70 : Cerita berpindah ke Venny. Di kamar Venny. Venny tampak


datang
menghampiri suaminya yang tengah terbaring di tempat
tidurnya. Ketika ia mau mencium suaminya, suaminya
langsung membalikan tubuhnya. Venny terduduk. Air mata
mengalir jatuh ke atas bantal. Pandang matanya tertuju

93

Adegan
pada sebuah bingkai foto yang memuat foto Venny dengan
tulisan Mommy di atasnya, foto Suami Venny dengan
tulisan Daddy di atasnya. Sedangkan di tengahnya masih
kosong. Di atas tempat kosong tersebut terbaca tulisan
Baby.
Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi melukiskan sisi
kesadaran dan titik lemah manusia, kerinduan pada
keluarga.
Adegan 71 : Cerita kemudian berpindah lagi ke Andien yang tampak baru
sampai
ke rumah. Dalam adegan ini terlihat Andien membuka pintu
kamar,
tampaknya kamar anaknya. Setelah melongok ke dalam ia
menemukan tempat tidurnya kosong, masih tertata rapi
tanpa sedikit pun tanda telah ditiduri. Hanya beberapa
mainannya tampak terlihat bercecer di atas ranjang. Ia lalu
berjalan menuju kamar lain. Andien menghela nafas lalu
melangkah keluar.
Andien sampai di kamar lain, kamar pembantu. Melalui jendela
dilihatnya sang anak tertidur sangat lelap dikeloni baby
sitter

yang

belum

sempat

mengganti

rok

putih

seragamnya. Andien lalu bersandar di dinding. Isakannya


mulai terdengar. Matanya perlahan berair.
Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi menunjukan

94

kesadarannya pada apa yang dilakukannya selama ini,


sekaligus menunjukkan kerinduannya pada keluarga.

Adegan 72 : Cerita kembali ke bar di mana Adjeng dan Asmoro ada di


sana. Setelah permaianan piano selesai, tepuk tangan
pengunjung

pun

meledak.

Lalu

pemain

piano

membacakan request lagu yang ternyata di pesan oleh


Asmoro untuk Adjeng sebagai ucapan selamat atas
diterbikannya cerpennya di koran. Dari situ akhirnya
muncul berbagi macam kontroversi pendapat-pendapat
pengunjung bar yang lain.
Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi menunjukan sisi
pandang yang berbeda dengan pandangan ibunya (pada
adegan 67). Kalau ibunya beranggapan sebagai sebuah
dendam dan tidak memberikan apresiasi yang bagus, di
sini justru dianggap sebagai sebuah prestasi. Akan tetapi,
di sini juga merupakan sarana kritik terhadap keberhasilan
sebuah publikasi karya (yang belum tentu hasil karyanya
sendiri

atau

benar-benar

karena

karyanya

yang

berkualitas, bukan karena yang lain).

Adegan 73 : Dalam adegan ini dilukiskan Adjeng dan Asmoro tengah


pulang dari Bar dan mengendarai mobil masing-masing.
Asmoro menelepon Adjeng dari handphone-nya,

95

Adegan
mengingatkan agar naik mobilnya berhati-hati.
Asmoro

menggeleng-gelengkan

kepalanya

dan mengepalkan tinju ke arah Adjeng yang sedang


menatap kaca spion, ungkapan kegemasan. Tiba-tiba ponsel
Asmoro berbunyi. Tulisan Rumah berkedip-kedip di layar
ponselnya. Perhatian Asmoro yang sedang tersita pada
ponselnya, membuatnya terkejut ketika melihat mobil
Adjeng meluncur ke arah kiri jalan lalu berhenti mendadak
di depan warung rokok. Ia pun menginjak rem mendadak.
Adjeng berteriak meminta rokok. Adjeng mengambil rokok dari
tangan penjual rokok. Baru saja tangan Adjeng bergerak
ingin mengambil dompet di dalam tas yang terletak di jok
samping, ponselnya berbunyi. Kalimat Cin berkedipkedip di layar ponsel. Adjeng yang badannya masih dalam
posisi miring ke kiri menatap kaca spion bagian kiri
mobilnya sambil menerima telepon. Di dalam kaca spion
itu nampak refleksi Asmoro yang tengah berbicara lewat
ponselnya.
Adjeng mendengarkan Asmoro sambil menyerahkan uang ke tangan
penjual rokok. Ia mematikan hubungan telepon lalu
tancap gas. Asmoro hanya bisa menatap pasrah ke arah
asap knalpot yang ditinggalkan mobil Adjeng di depan
mobilnya.

96

Di tengah perjalanannya Adjeng tampak meraih handphone dan


memencet beberapa nomor. Tampak kata MOMMY
sedang dipanggilnya.
Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi menunjukan datangnya
saat-saat titik balik seseorang kembali rindu dengan rumah,
dengan sesuatu yang selama ini dibenci dan berusaha
ditinggalkannya.

Adegan 74 : Di kamar, Ibu tengah tidur. Lalu ia dibangunkan oleh dering


telepon,
segera ia menoleh ke arah telepon lantas menyalakan
lampu di atas meja samping tempat tidurnya lalu
mengangkat telepon berdering. Sambil tiduran ia pun
menjawab panggilan telepon tersebut dan mengatakan
Hallo. Akan tetapi, tidak ada jawaban dari dalam
telepon. Berkali-kali Ibu mengatakan halo, tetapi tetap
tidak ada jawaban. Lalu ia pun tampak penasaran dan
cemas, Ibu bangkit duduk.
Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi menunjukan titik
kerinduan Adjeng pada ibunya.
Adegan 75 : Cerita beralih ke adegan di mobil, malam hari, terlihat
Adjeng
sedang mendengarkan telepon sambil tetap duduk di kurai
kemudi mobilnya, sementara mobilnya berhenti, tetapi

97

Adegan
dalam keadaan mesin nyala. Tanpa ada sepatah kata pun
yang keluar dari mulutnya. Adjeng kemudian memutus
sambungan telepon tersebut lalu pergi dengan mobilnya.
Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi menunjukan hadirnya
rasa rindu untuk kembali pada ibu yang selama ini
dibencinya, dimusuhinya.

Adegan 76 : Cerita kembali ke kamar Ibu. Ibu sedang heran dengan


penelepon
yang tidak berbicara apa-apa dan tiba-tiba diputus. Tibatiba suara mesin mobil yang melintas terdengar di depan
kamarnya. Sorot lampunya menerobos kaca jendela
kamarnya membuat Ibu menatap keluar jendela. Ibu
termangu dan tetap tidak menutup telepon yang
sambungannya meskipun sudah terputus.
Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi menunjukan hadirnya
rasa rindu Adjeng untuk kembali pada ibu yang selama ini
dibencinya, dimusuhinya.

Adegan 77 : Dalam adegan ini diceritakan kalau Adjeng baru saja sampai
di
apartemennya. Begitu sampai, ia langsung memijit tombol
Answering machine lalu melangkah menuju kamar mandi.
Dari sana terdengar beberapa pesan yang masuk. Di

98

antaranya

mengucapkan

selamat

atas

dimuatnya

cerpennya, komentar cerpennya bagus, sampai dengan


komentar kengeriannya setelah membaca cerpennya.
Begitu pesan-pesan itu habis, Adjeng terdiam. Wajahnya tampak
kesal dan marah. Ia pun kemudian membuang lotion, sabun,
dan barang-barang yang ada di dekat wastafel di kamar
mandi. Seiring dengan jatuhnya barang-barang tadi, jatuh
juga barang di kamar mandi Adjeng SD, cerita berlanjut ke
sana. Di dalam bathtub, Adjeng SD tersentak akibat tempat
bathfoam yang pecah karena disenggolnya sambil menatap
ke arah pintu masuk kamar mandi. Wajah Adjeng SD
terlihat tegang. Sementara, terlihat langkah kaki mendekat
ke arahnya. Lintah datang menhampirinya sudah
mengenakan baju mandi. Lintah pun lalu naik ke dalam
bathup tempat di mana Adjeng SD sedang mandi. Lalu tibatiba terlihat kumpulan lintah tampak berlarian berenang di
air, sedangkan. Lama kelamaan air di dalam bathtub
memerah dipenuhi darah sehingga lintah-lintah maupun
kaki Adjeng SD tidak lagi terlihat. Tak beberapa lama
kemudian, gerakan-gerakan air perlahan berhenti.
Lalu tiba-tiba wajah Adjeng mendadak muncul dari dalam bathtub
dengan nafas terengah-engah.
Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi menunjukan carutmarut pikirannya atas kejadian-demi kejadian dalam
hidupnya, pikirannya yang berat memikirkan peristiwademi peristiwa yang menimpa dirinya tanpa ada orang
lain yang bisa mengerti dan diajak berbagi.

Adegan 78 : Di dalam adegan ini dilukiskan Boss baru keluar dari kamar
Adjeng
lalu berjalan sepanjang lorong sambil bersiul-siul. Tampak
sekali keceriaan terpancar di wajahnya. Di tengah jalan ia

99

Adegan
berpapasan dengan Asmoro. Tetapi mereka berdua acuh tak
acuh. Selang beberapa langkah melewati Boss, Asmoro
sepertinya mengingat sesuatu. Ia membalikkan badannya
untuk sekali lagi menatap si Boss yang sedang masuk ke
dalam elevator.
Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi menunjukan pola
hidup Adjeng yang bebas dan menerobos norma.
Adegan 79 : Dalam Adegan ini terlihat Adjeng sedang membereskan
tempat tidur
dan menggantri sprei. Lalu muncul Asmoro berdiri di
belakang pintu. Adjeng pun menyuruh Asmoro mandi,
tetapi ia tidak mau, malah mengatakan kalau Adjeng yang
harus mandi, dengan nada mencibir. Adjeng pun pergi
mandi.
Begitu selesai mandi, Adjeng keluar dari dalam kamar mandi. Ia lalu
mendekati Asmro yang tidur terlentang masih seperti
posisi semula dengan bantal menutupi mukanya. Adjeng
menghampiri Asmoro, mengangkat bantal dari mukanya
dengan lembut, lalu mengecup bibirnya. Namun Asmoro
malah menepis Adjeng lalu berbalik badan. Dari situ
akhirnya berujung perang mulut antara Adjeng dengan
Asmoro. Berbagai kemarahan dilontarkan oleh keduanya.
Asmoro pun melontarkan kritik-kritiknya terhadap sikap

100

Adjeng yang selama ini banyak menyalahkan orang lain


di sekelilingnya. Ujung dari percekcokan itu adalah
Asmoro

membekap

muka

Adjeng

dengan

bantal.

Akhirnya Adjeng pun ngos-ngosan kekurangan nafas


setelah Asmoro melepaskan bekapannya. Asmoro pun
akhirnya pergi meninggalkan Adjeng dalam kondisi tidur
telentang masih mengatur nafas, dengan mengatakannya
lonte. Asmoro pun mengatakan kalau hubungan mereka
selesai sampai di situ. Adjeng terbengong dengan nafas
masih tersengal.
Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi menunjukan ketragisan
Adjeng sekaligus sebagai titik balik menuju ingatan pada
pengalaman-pengalaman masa lalu.

Adegan 80 : Adegan ini berisi flashback ke adegan 36. Digambarkan di


kamar
Adjeng SD menatap lurus ke layar kaca. Sedangkan di
belakangnya, Pacar Ibu sedang berjalan ke arahnya lalu
memegang dan meremas bahunya. Wajah Adjeng SD
semakin tegang. Di bahunya sudah menempel seekor
lintah.
Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi menunjukan bayangan-

101

Adegan
bayangan peristiwa masa lalu yang menimpa Adjeng yang
kembali hadir dipikirannya.

Adegan 81 : Adegan ini merupakan flashback dari adegan 41, adegan di


dalam
mobil, dalam perjalanan mengantar Adeng SD ke sekolah,
Lelaki itu terlihat memindahkan persneling, sambil
menyempatkan juga menyentuh paha Adjeng SD. Sesudah
tangannya melepas persneling, terlihat lintah menempel di
atasnya lalu pelan-pelan merayap di paha Adjeng SD.
Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi menunjukan bayanganbayangan peristiwa masa lalu yang menimpa Adjeng yang
kembali hadir dipikirannya.

Adegan 82 : Adegan ini merupakan flashback adegan 77. Yaitu adegan di


dalam
bathtub, Adjeng SD tersentak akibat tempat bathfoam
yang pecah karena disenggolnya sambil menatap ke arah
pintu masuk kamar mandi. Wajah Adjeng SD terlihat
tegang. Sementara, terlihat langkah kaki mendekat ke
arahnya.

Lintah

datang

menhampirinya

sudah

mengenakan baju mandi. Lintah pun lalu naik ke dalam


bathup tempat di mana Adjeng SD sedang mandi. Lalu
tiba-tiba terlihat kumpulan lintah tampak berlarian
berenang di air, sedangkan. Lama kelamaan air di dalam

102

bathtub memerah dipenuhi darah sehingga lintah-lintah


maupun kaki Adjeng SD tidak lagi terlihat. Namun akhir
adegan ini adalah Pacar ibu tiba-tiba jatuh dipukul
kepalanya dari belakang. Lalu terlihat Ibu sudah berdiri di
samping buthup.
Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi menunjukan bayanganbayangan peristiwa masa lalu yang menimpa Adjeng yang
kembali hadir dipikirannya. Selain itu, adegan ini juga
dalam rangka fungsi menunjukkan betapa selama ini ibu
sayang dan melindunginya. Ini merupakan titik sadarnya
Adjeng.

Adegan 83 : Adegan ini kembali ke adegan Adjeng yang tengah telentang


di atas
kasur dengan nafas tersengal habis di bekap dengan bantal, dan
wajah yang terlihat kesal dan marah. Ia lalu berteriak
sekencangkencangnya.
Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi menunjukan dirinya
yang seolah tak lagi kuasa menahan beban pikirannya.
Adegan 84 : Dari adegan 83 berlanjut ke adegan 84. Dalam adegan ini
dilukiskan
bahwa raungan Adjeng seolah terbang hingga kamar Ibu
dan membuat Ibu yang sedang lelap tertidur sambil
mendekap Surat Kabar yang memuat Cerita Pendek

103

Adegan
karangan Adjeng tersentak bangun. Serta merta ia meraih
telepon di samping tempat tidurnya.
Ibu duduk di atas tempat tidur sambil memijit nomor telepon yang
hendak dituju. Terdengar nada sambung. Ibu menunggu
jawaban tetapi tak kunjung ada jawaban. Ibu lalu
menyibakkan selimutnya.
Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi menunjukan betapa
hubungan ibu dengan anak tak pernah putus, ibu bisa ikut
merasakan apa yang sedang dirasakan anaknya.

Adegan 85 : Cerita bersambung ke adegan di kamar Adjeng SD dan


Adjeng SMP.
Dering telepon masih berbunyi. Sibakkan selimut tampak
menghentak dan membuat Adjeng SD terkejut bangun.
Setelah itu tampak Adjeng SMP seperti mengambil
sesuatu dan menaruhnya lagi di tempat yang berbeda.
Adjeng SD seketika terlonjak bangun dari tempat tidurnya
dan bergegas keluar kamar.
Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi menunjukan bayanganbayangan masa lalu Adjeng sekaligus menunjukkan
pengacauanpengacauan alur cerita.

Adegan 86 : Cerita menyambung ke adegan di rumah Ayah. Dering


telepon

104

masih menyambung.

Ayah tampak muncul dari balik

pintu sambil membetulkan kancing bajunya. Pakaiannya


rapih berdasi. Ketika hampir melewati meja telepon ia
pun berhenti dan berteriak memanggil pembantunya. Lalu
tubuh ayah menghilang di balik pintu.
Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi sebagai pengacauan
alur cerita.
Adegan 87 : Cerita berlanjut ke kamar mandi pembantu. Di sana tampak
Bi Inah
sedang mencuci. Ia lantas membuang baju yang sedang
diperasnya ke dalam ember, lalu berbegas bangkit berdiri
dan pergi. Sementara bunyi telepon terus mengiring.
Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi sebagai pengacauan
alur cerita.
Adegan 88 : Cerita berlanjut ke kisah Pacar Ibu. Dering telepon masih
terus
berbunyi. Di rumahnya ia tampak sedang membetulkan
tali sepatunya. Ia mengenakan kaos lekton dengan handuk
kecil di pundaknya. Ia tampak mau berolah raga. Ia pun
beranjak dan hilang di balik pintu.
Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi sebagai pengacauan
alur cerita.
Adegan 89 : Cerita berlanjut ke ekterior rumah. Tampak mobil antar
jemput

105

Adegan
sekolah berhenti di depan sebuah rumah. Beberapa saat
kemudian muncul dari arah kiri mobil Adjeng SMP dan
Adjeng SD berrangkulan. Lalu dari depan mobil tampak
tergesa-gesa Asmoro muncul dan membukakan pintu
mobil untuk Adjeng SMP dan Adjeng SD. Mereka berdua
pun masuk. Mobil kemudian tampak pergi melewati jalan
paving tersebut.
Saat mobil melintas, datang berpapasan gerobak makanan keliling
lalu berhenti di sebuah rumah. Lalu tampak muncul Bi
Inah menghampiri, dan dari rumah sebelahnya muncul Ibu
juga menghapiri gerobak makanan keliling dan menyapa
Bi Inah. Sedangkan dari rumah depan tempat gerobak tadi
berhenti, muncul Ayah dengan pakaian rapih berdasi
menghampiri mobil yang dari tadi terparkir di depan
rumahnya, di jalan berpaving. Bersamaan dengan itu,
muncul dari arah belakang kamera Pacar Ibu dengan
pakaian oleh raga dan hancuk kecilnya sedang joging. Ia
pun sempat menyapa ayah ketika berpapasan lewat tepat
di sampingnya. Ayah pun melambaikan tangannya. Lalu
masuk ke dalam mobilnya. Suara telepon pun masih terus
mengiringi.
Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi sebagai pengacauan

106

alur cerita.
Adegan 90 : Cerita berlanjut ke mobil antar jemput yang tengah melewati
jalan
paving, tampak berbelok dari halaman rumah. Terlihat
dari dalam Adjeng SMP dan Adjeng SD melongok ke luar
jendela mobil dan melambaikan ke arah atas. Sedangkan
di kamar apartemennya Adjeng tampak tengah mengamati
ke arah bawah dari jendela yang dibukak kordennya, lalu
ia tampak membalas lambaian Adjeng SMP dan Adjeng
SD. Adjeng tampak tersenyum lalu kembali terdiam dan
menghisap rokoknya. Adjeng belum juga berhenti
mengamati suasana di luar, di bawah, dari jendela kamar
apartemennya. Sementara suara telepon belum juga
berhenti. Lalu dari mulutnya telontar kata-kata, Ibu
saya. Tiba-tiba terdengar suara Ibu dari telepon
memenggilnya, Jeng Adjeng pun tergagap menoleh
ke belakang, ke arah telepon, dan bergegas mau meraih
telepon. Akan tetapi urung, ia kemudian melangkah
menuju meja tempat ia menulis lalu duduk di kursi di
depan laptopnya. Setelah mematikan rokoknya di asbak,
ia pun mulai menulis. Ibu saya memelihara seekor
lintah Dari situ cerita pun berakhir.
Adegan-adegan tersebut dalam rangka fungsi sebagai pengacauan

107

Adegan
alur cerita dan menunjukkan sifat skizofenia Adjeng, yang
tak lagi bisa membedakan pikiran dan kenyataan.

Berdasarkan analisis scene atau adegan dalam film MBSM


menunjukkan bahwa cerita-cerita di dalam cerpen hadir ke dalam cerita
film sebagai potonganpotongan fragmen, yang kemudian diselipkan
masuk ke bagian adegan film, sebagai bentuk flashback ingatan tokoh
Adjeng. Cerita cerpen yang dihadirkan ke dalam film juga dalam
bentuk cerita atau adegan yang memang ada atau pengembangan dari
cerita yang ada pada cerpen tersebut. Penggarapan alurnya adalah jenis
alur campuran, yaitu memadukan antara alur maju dan alur mundur.
Beberapa scene juga muncul cerita yang hanya berupa pikiran atau
hayalan dari tokoh utama, Adjeng, cerita itu sendiri tidak pernah terjadi
sebelumnya. Namun demikian, karena cerita tersebut hadir di dalam
teks, maka cerita itu pun menjadi bagian dari teks, ada, dan turut di
analisis sesuai dengan bagian, kebutuhan, dan porsinya dalam
pembahasan-pembahasan selanjutnya di dalam penelitian ini.

2.1.4 Perubahan Alur Cerita dalam Pelayarputihan


Setelah pada sub-sub bab sebelumnya dibahas bagaimana
susunan alur cerita pendek dan alur film, pada bagian ini dibahas
perubahan alur cerita dari dua cerita pendek, Lt dan MJ, dalam
pelayarputihan ke dalam film MBSM. Dalam pembahasan bagian ini,

108

analisis dilakukan dengan cara melihat alur cerita di dalam film dan
selanjutnya melihat di mana bagian cerita cerpen masuk ke dalam
rangkaian alur cerita film tersebut. Hal ini dilakukan atau dilihat
berdasarkan urutan-urutan sekuen sebagaimana yang telah di bagi pada
pembahasan sub-sub sebelumnya.
Film memiliki alur campuran. Hal ini terlihat dari penggarapan
cerita dengan menggunakan flashback dan alur maju secara bersamasama dan bergantian. Latar waktu cerita film berbeda dengan latar
cerita cerpen. Latar cerita film adalah masa Adjeng sudah
dewasa/besar, sedangkan masa cerpen berkisah tokoh Maha dan Mayra
yang masih anak-anak, masih duduk di bangku SD dan SMP.
Sementara

itu,

model

penggarapan

alurnya

adalah

model

pengembangan character-driven story12. Sementara itu, cerpen


menggunakan model pengembangan plot-driven story13.
12 Character-driven plot adalah model pengembangan plot dengan menekankan
karakter sebagai penggerak terjadinya cerita. Model plot ini adalah dengan
karakter memicu terjadinya eventlalu event terjadi kemudian karakter akan
mereaksi hal tersebut. Ini adalah model character-drien story. (http://overstreetfilmmaking.blogspot.com/2009/07/plot-driven-stories-vs-characterdriven.html)
13 Plot-driven story model pengembangan alur dimana event-event yang terjadi
kerap berada di luar batas kemampuan kendali tokoh. Terutama tokoh utama
dalam cerita. Akan tetapi yang ada, ia harus mereaksi keadaan yang muncul.
(http://overstreet-filmmaking.blogspot.com/2009/07/plotdriven-stories-vscharacter-driven.html). Model plot ini dengan event occurs character reacts.
Artinya muncul event terlebih dahulu sebagai pemicu reaksi dari tokoh. Konsep
ini seperti konsep deus ex machina, yaitu merupakan perlengkapan atau peralatan
plot yang bisa berupa orang atau benda-benda yang lain dalam rangka membantu
mengeluarkan
tokoh
dari
persoalan/kesulitan
yang
dihadapinya.

109

Adegan
Untuk melihat penggarapan alur cerita film dan bagaimana arus
masuknya event-event cerita dalam cerita pedek Lt dan MJ ke dalam
adegan-adegan film MBSM digambarkan dalam diagram dan dijabarkan
sebagai berikut.

(http://en.wikipedia.org/wiki/Deus_ex_machine).

110

111

Adegan
Keterangan diagram:
= menunjukkan event pertama (diabjadkan dengan kode
a) dari sekuen 1. Sedangkan Lt menunjukkan cerpen
Lintah.
= menunjukkan adegan, angka 1 menunjukkan adegan
pertama dari film MBSM.
= menunjukkan alur masuk event dalam cerpen ke
adegan dalam film. = menunjukkan adegan yang sama
dari adegan yang dilekati, atau berarti flashback dari adegan tersebut.
Berdasarkan diagram di atas bisa dilihat ada beberapa event
yang ditransformasi masuk ke dalam cerita film. Seperti pada cerpen Lt
misalnya, ada lima event yang masuk ke bagian cerita film, yaitu event
1.a masuk di adegan 10 dan 11; 1.d masuk di adegan 26, 27, dan 28; 2.a
di adegan 02, 04, 06, 08; 2.c di adegan 54; 2.d di adegan 36 dan 80;
serta 2.e di adegan 41, 77, 81, dan 82. Sedangkan dari cerpen MJ ada
tiga event yang masuk ke dalam adegan-adegan film, antara lain: event
1.c ke adegan 31 dan 60; 3.a ke adegan 58; dan event 3.d ke adegan 61.
Untuk memperjelas ilustrasi event cerita cerpen yang masuk ke
adegan di dalam film berikut diberikan contoh kutipan event cerpen dan
gambar beserta dialog dalam adegan film.
Event Lt 1.a cerpen Lt dan adegan 10 film MBSM
Event tersebut berisi cerita Ibu Maha yang memelihara seekor
Lintah dan dibuatkan kandang yang mirip dengan rumah boneka
berlantai dua. Maha sering kali merengek, meminta Ibunya untuk

112

mengganti lintah dengan binatang lain, tetapi Ibu bersikeras tidak mau.
Berikut kutipan cerpen dan gambar adegan 10 filmnya.
Ibu saya memlihara seekor lintah. Lintah itu dibuatkan
sebuah kandang yang mirip seperti rumah boneka berlantai dua,
lengkap dengan kamar tidur, ruang makan, ruang tamu dan kamar
mandi di tempatkan di sebelah kamar Ibu. Saya selalu merengek
kepada Ibu untuk memelihara hewan lain, namun Ibu bersikeras
memlihara lintah itu dan mempertahankannya sebegai hewan
peliharaan tunggal di rumah kami.
( DMA 2004: 11)

Gambar 1. Rangkaian ceritaMBSM


film adegan 10 dan 11

Dalam rangkaian gambar di atas, nomor gambar 1 dan 2


merupakan rangkaian gambar dalam adegan 10, sedangkan gambar
nomor 3 adalah rangkaian dari adegan 11 film MBSM. Pada akhir
adegan 10 (gambar nomor 2) Adjeng dewasa diceritakan mengetik
tulisan Ibu saya memelihara seekor lintah. Sedangkan dialog
selanjutnya, yaitu Lintah itu dibuatkan sebuah kandang yang mirip
seperti rumah boneka berlantai dua,. dan seterusnya ada pada
adegan 11. Jadi dari adegan 10 ke adegan 11 rangkaian cerita awal dari
cerpen Lt tersebut di masukkan.

Event Lt 1.d cerpen Lt dan adegan 26, 27, dan 28 film MBSM

113

Adegan
Lt 1.d bercerita tentang keingintahuan Adjeng pada suatu hari
pada apa yang terjadi di dalam kamar Ibu. Adjeng lalu mengintip dari
sela-sela tirai dan melihat Ibu dengan Lintah sedang di sana. Lintah
menjulurkan lidahnya dan meneteskan liurnya, sedangkan Ibu menelan
habis liur itu. Berikut kutipan cerpennya.
Pada suatu hari Minggu, keingintahuan saya mendesak
kuat. Saya mengintip dari sela-sela tirai yang sedikit terbuka
ke dalam kamar Ibu. Dan saya sangat kaget melihat seekor
ular yang merah menyala. Lidahnya menjulur keluar dan
liurnya menetes ke bawah. Saya sangat jijik melihatnya.
Namun Ibu dengan rakusnya menelan habis liur ular itu
tanpa menyisakan satu tetes pun! Yang lebih
mencengangkan lagi, ular itu lalu berangsur-angsur
mengecil, saya tak bisa membayangkan sebelumnya bila
ular itu tidak lain adalah lintah. (DMA, 2004: 12-13)
Berikut cuplikan gambar dan dialog adegan 26, 27, MBSM
dan 28
. film

MBSM
Gambar 2. Rangkaian adegan 26, 27, dan
28 film

Rangkaian gambar di atas menggambarkan keingintahuan


seorang Adjeng untuk mengetahui apa yang terjadi di kamar Ibu

114

seperti tergambar dalam kutipan cerpen di atassehingga Adjeng lalu


mengintip dari balik tiraidalam film digambarkan dari balik pintu.
Akan tetapi, transformasi yang digarap adalah kalau di dalam cerpen
peristiwa, yang diintip Adjeng, itu terjadi di kamar Ibu dan pada Ibu, di
dalam film terjadi di apartemen Adjeng dan terhadap Andien, tetapi
juga muncul dalam adegan itu bahwa perempuan tersebut adalah Ibu
dengan lelaki yang di ajak Andien tersebut, meskipun pada menjelang
akhir adegan permpuan itu kembali menjadi Andien. Berikut dialog
Adjeng dari adegan ke adegan.
Adjeng
Adjeng
Adjeng

Adjeng
Adjeng
Andien
Adjeng

: Pada suatu hari keingin-tahuan saya mendesak kuat.


: Saya mengintip dari sela-sela tirai yang sedikit terbuka ke
dalam kamar Ibu.
: Dan saya sangat kaget melihat seekor ular yang merah
menyala. Lidahnya menjulur keluar dan liurnya menetes ke
bawah. Saya jijik melihatnya. Namun Ibu dengan rakusnya
menelan habis liur ular besar itu tanpa menyisakan satu tetes
pun!
: Yang lebih mencengangkan lagi, ular itu lalu berangsurangsur mengecil.
: Saya tidak bisa membayangkan sebelumnya, bila ular itu
tidak lain adalah
: Sayang, mau kemana? Kamar mandi tamu di sana
: Lintah.

Selain event-event tersebut yang masuk ke dalam alur cerita


film MBSM, beberapa adegan film juga berisi cerita yang berkisah
seputar tokoh utama Adjeng SD dan Adjeng SMP. Adjeng SD adalah
transformasi tokoh Maha dalam cerpen Lt, sedangkan Adjeng SMP
adalah transformasi tokoh Mayra dalam cerpen MJ. Di dalam film,
selain ada adegan yang diambil dari cerpen terdapat pula beberapa

115

Adegan
adegan yang berkisah Adjeng SD dan Adjeng SMP yang berupa
pengembangan cerita dari adegan dalam cerpen. Akan tetapi, secara
eksplisit cerita tersebut tidak hadir dalam cerpen. Adegan-adegan
tersebut antara lain adegan 03, 05, 07, 09, 18, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 36,
39, 40, 41, 45, 48, 54, 58, 59, 60, 61, 62, 77, 80, 81, 82, 85, 89, dan 90;
selebihnya cerita berkisah Adjeng dewasa. Cerita yang berkisah Adjeng
SD dan SMP, seperti event lain dari cerpen yang masuk ke dalam alur
film, berbentuk potongan-potongan fragmen, kadang-kadang juga hadir
sebagai bayangan pikiran dari tokoh Adjeng saja.
Cerita kini film MBSM adalah cerita ketika Adjeng telah
dewasa. Cerita dikembangkan mengikuti kisah yang dialami oleh tokoh
utama serta tidak pernah lepas dari peran tokoh utama. Karakternya
menjadi kunci jalannya cerita. Hal ini dapat dilihat, misalnya, dalam
relasi antara tokoh Adjeng dengan tokoh Ibu. Ketika dewasa, Adjeng
tumbuh menjadi sosok yang memiliki double bladge character, yaitu
karakter mendua ketika Adjeng sedang bersama Ibunya dan ketika
sedang bersama dengan teman dan pacarnya. Lebih tepatnya adalah
pasif dan agresif. Pasif ketika di hadapan ibunya dan agresif ketika
sedang bersama teman-teman dan kekasihnya. Keadaan ini sangat
dipengaruhi oleh masa lalunya (masa kecilnya), baik disebabkan oleh
ketidakpuasannya terhadap hubungan Ibu dengan Lintah maupun
pengalaman buruk atas tindakan Lintah terhadapnya, yang pada
akhirnya membentuknya menjadi memiliki double bladge character

116

seperti yang tampak pada saat ia dewasa (di film). Cerita kini justru
mendominasi cerita di dalam film. Seperti diungkapkan di depan, cerita
cerpen menjadi fragmenfragmen yang turut mengisi cerita keseluruan
film, menjadi flashback, di satu sisi ia berdiri sendiri, tetapi di sisi lain
juga tetap berhubungan dengan cerita secara keseluruhan. Berikut
cuplikan gambar adegan-adegan film yang menunjukkan
penceritaan
masa Adjeng kecil dan
masa Adjeng dewasa.

Gambar
3

. Cuplikan gambar adegan Adjeng kecil hingga Adjeng dewasa.

2.2 Perubahan Tokoh dan Perwatakan Tokoh


Perubahan tokoh merupakan salah satu bentuk perubahan yang
cukup signifikan dalam pelayarputihan cerpen Lt dan MJ ke dalam film
MBSM. Untuk melihat perubahan-perubahan tokoh yang muncul akan
dibahas secara berurutan dari tokoh-tokoh di dalam cerpen dan
selanjutnya tokoh di dalam film. Dengan demikian diharapkan dapat
lebih runtut pembahasannya. Tokoh-tokoh yang akan dibahas di sini

117

Adegan
juga diutamakan pada tokoh yang mengalami perubahan mencolok,
maupun tokoh-tokoh yang hanya hadir di dalam film transformasinya
(tokoh baru).
]

2.2.1 Kecil Besar = Dua Satu


Salah satu perubahan yang terjadi terhadap tokoh dalam
pelayarputihan cerpen Lt dan MJ ke dalam film MBSM adalah
perubahan dari kecil menjadi besar. Perubahan dari kecil menjadi besar
terjadi pada tokoh utama dalam kedua cerpen tersebut ketika diangkat
ke dalam film.
Pada cerpen pertama, Lt, tokoh utamanya adalah Maha. Dia
adalah seorang anak perempuan yang masih duduk di bangku sekolah
dasar14. Dalam keseharian ia tinggal bersama ibunya di sebuah rumah,
tanpa hadirnya seorang ayah. Dengan melihat cerita cerpen Lt, ibu
Maha adalah seorang single parent meskipun di dalamnya tidak pernah

14 Hal tersebut diketahui dari film. Potongan-potongan cerita yang hadir di dalam
film menunjukkan potongan cerita tersebut merupakan bentuk transformasi dari
cerpen Lt. Di dalam film MBSM tokoh ini digambarkan mengenakan pakaian
seragam sekolah dasar, atas hem putih dengan dasi dan logo sekolah dasar dan
bawah rok merah. Meskipun tidak ada dialog yang menunjukkan kalau Maha
(tokoh dalam Cerpen Lt) sedang belajar di sekolah dasar, hal tersebut cukup
memberikan gambaran akan hal tersebut.

118

diceritakan bagaimana itu terjadi. Sementara ibu Maha berprofesi


sebagai penyanyi dengan jadwal manggung yang tidak tetap.
Dalam satu kesempatan, ibunya terkadang mendapat job menyanyi di luar
kota, bahkan pada kesempatan yang lain ia terkadang tidak pulang untuk
beberapa hari.
Ibu Maha memiliki seorang kekasih, seorang anak band.
Pemuda itu sering dibawanya pulang ke rumah. Laki-laki itu pun
akhirnya sering tinggal di rumah Maha ketika ibu Maha pergi untuk
menyanyi. Di sinilah konflik utama digarap. Maha adalah orang yang
paling tidak senang dan tidak setuju kalau ibunya memiliki teman, atau
kekasih, seperti laki-laki tersebut. Dalam beberapa kesempatan bahkan
pernah berusaha disampaikan kepada kepada ibunya, tetapi ibunya
tidak memerdulikannya. Ironisnya justru ditanggapi negatif oleh
ibunya.
Ibunya menganggap Maha telah membesar-besarkan masalah, atau
mengada-ada.
Ketidaksukaan Maha kepada hubungan Lintah dan Ibu pun
berangsurangsur naik dan berubah menjadi kebencian, terlebih lagi
setelah lelaki itu juga sering mengganggu. Hal tersebut dilakukan
terhadap Maha berkali-kali tiap kali ibu Maha tidak ada di rumah.
Bukan hanya itu, lelaki tersebut juga seringkali melakukan hal yang
tidak senonoh terhadap Maha, menidurinya, memerkosanya, di saat
ibunya sedang tidak ada di rumah. Bahkan yang lebih memuakan lagi

119

Adegan
bagi Maha adalah hal tersebut juga kerap dilakukannya di kamar mandi
pada saat Maha sedang mandi.
Menghadapi perlakuan yang demikian beberapa kali Maha
berusaha

untuk

mengadukan

kepada

ibunya,

tetapi

ia

tidak

mendapatkan pembelaan dari ibunya seperti yang diharapkannya.


Sebaliknya ibunya justru selalu membela laki-laki kekasihnya dan
menganggap kalau Maha melebih-lebihkan kejadian yang sebenarnya.
Akhirnya Maha merasa kalau selama ini ibunya tidak pernah berpihak
kepadanya. Ia tidak menemukan perasaan sayang dari seorang ibu
kepada

anaknya

seperti

yang

diharapkannya.

Seiring

dengan

tumbuhnya perasaan benci kepada lelaki teman ibunya juga tumbuh


perasaan benci kepada ibunya.
Di satu sisi Maha tidak suka dengan hadirnya laki-laki yang
menjadi kekasih ibunya, tetapi di sisi lain ia sebenarnya merindukan
sosok seorang ayah yang melengkapi kehidupan sebuah keluarga. Ia
memimpikan sebuah bangunan keluarga yang ideal, yang di dalamnya
hadir ayah, ibu, dan anak. Sebagai anak, selama ini ia tidak pernah
merasakan belaian kasih sayang dan perhatian dari seorang ayah. Akan
tetapi, dalam beberapa kesempatan pikiran dan keinginan tersebut juga
ia pertanyakan sendiri. Kutipan berikut menggambarkan hal tersebut.
Apakah semua lukisan keluarga yang menampakkan
senyum bahagia hanyalah sandiwara? pikir saya. (DMA
2004: 16)

120

Selain kutipan di atas, harapan dan keinginan seorang Maha


akan hadirnya seorang ayah sehingga dapat melengkapi kebahagiaan
dan idealnya sebuah bangunan rumah tangga juga tergambar dalam
kutipan berikut. Di dalam kutipan berikut tergambar bagaimana
kebahagiaan Maha pada saat mendengar berita kalau ibunya akan
menikah.
Ibu mau bicara padamu, Maha.
Saya juga ingin bicara pada Ibu.
Ibu akan bicara dulu, Maha. Sesudah itu giliranmu.
Kembali petir meledak dan kilatnya memperjelas
senyum Ibu. Kamu sudah besar. Sudah saatnya
kamu mempunyai adik. Ibu diam menunggu
jawaban. Namun saya lenih diam.
Ibu mengandung, Maha. Dan sebentar lagi Ibu
menikah. Sudah lama Ibu hidup sendiri semenjak ayahmu
meninggal. Dan kamu sudah lama hidup tanpa Ayah.
Mata saya membeliak lebar. Suara petir tidak lagi terdengar.
Siapakah laki-laki berbahagia itu, Ibu? Siapakah laki-laki
yang akan menjadi ayah saya?
Angin membuka tirai jendela. Sekejap cahaya
menerangi pengharapan jiwa. (DMA 2004: 17)
Selain terjadi pada cerpen pertama, perubahan tokoh dari kecil
menjadi besar juga terjadi pada cerpen kedua, MJ. Tokoh utama cerpen
kedua, yang mengalami perubahan dari kecil menjadi besar di dalam
film, adalah Mayra. Mayra adalah seorang anak perempuan yang duduk
di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Mayra adalah seorang
anak tunggal dan tinggal di rumahnya hanya dengan ayahnyatanpa
ibudan seorang pembantu. Di dalam cerpen diceritakan kalau Mayra
adalah seorang anak yang sejak kecil memiliki kegemaran melukis.
Kesendiriannya membuatnya seringkali melamun dan mengisinya

121

Adegan
dengan melukis. Dalam lamunannya ia juga seringkali membayangkan
sesuatu yang dapat membahagiakannya, termasuk hadirnya seorang ibu
yang menyayanginya, memberikan perhatian kepadanya, sehingga ia
tidak merasa kesepian seperti saat sekarang ini.
Kalau di dalam cerpen Lt tokoh Maha hanya hidup bersama
ibunyatanpa adanya seorang ayahsebaliknya di dalam cerpen MJ
tokoh Mayra tinggal bersama ayahnyatanpa adanya seorang ibu. Dari
kedua cerpen tersebut terdapat perbedaan yang saling berkebalikan.
Tokoh utama di dalam cerpen pertama merindukan hadirnya ayah,
sementara di dalam cerpen kedua tokoh utama merindukan hadirnya
sosok ibu. Tokoh Mayra, dalam cerpen kedua, akhirnya juga
mengalami keputusasaan harapannya untuk dapat bertemu dan
memiliki sosok ibu yang diharapkannya hadir. Hal tersebut
digambarkan dengan kebiasaannya menggambar seorang wanita
berkebaya; dilanjutkan dengan menggambar sepasang foto keluarga
lengkap dengan seorang ayah, ibu, dan anak; kemudian ia pun melukis
jendela. Ujung dari semua pencarian dan harapannya adalah
kepergiannya. Hal tersebut digambarkan pada bagian akhir cerita dalam
cerpen tersebut. Berikut kutipannya yang menunjukkan hal-hal di atas.
. Maka ia mulai melukis seorang ibu, bersanggul
dan berkebaya emas dengan selendang cokelat muda yang
kontras dengan kain berwarna cokelat tua yang
dikenakannya, sedang duduk memangku Mayra sambil
menatap mata Mayra hangat dan mesra. Setiap Mayra
pulang sekolah, disamut dengan kelengangan dan kesejukan
dari dalam rumahnya yang ber-AC, ia akan segera masuk
kamar dan menghabiskan waktu bercakap-cakap dengan
lukisan itu. (DMA 2004: 31)

122

Mayra melukis jendela. Ia sudah merobek-robek dan


membakar lukisan Ayah dan Ibu. Ia merasakan dirinya
dikhianati. Ia lebih membenci lukisan Ayah dan Ibu
ketimbang ayahnya yang seharian pergi atau menulis di
dalam kamar kerja atau mengunci diri dengan wanita.
Kebenciannya terhadap lukisan Ayah dan Ibu melebihi
kebenciannya terhadap Ibu yang tidak pernah berusaha
untuk mencari dirinya seperti yang selalu dikatakan Ayah
kepadanya. (DMA 2004:
37)
Pagi-pagi sekali Bi Inah mengetuk pintu kamar. Mayra
untuk membangunkan Mayra sekolah tidak seperti bisasa,
kamar itu tidak terkunci. Bi Inah menemukan kertas-kertas
bergambar jendela berserakan di seisi kamar. Mayra tidak
ada di kamarnya. Seprainya tetap rapi seperti tidak pernah
ditiduri. Bi Inah mengetuk kamar majikannya. Seorang
wanita membuka pintu mengatakan tuannya masih tidur. Bi
Inah menghela napas dan menunggu. Tetapi ia tahu, Mayra
tidak akan pernah kembali. (DMA 2004: 41-42)
Setelah diuraikan bagaimana tokoh utama di dalam kedua cerita
pendek, Lt dan MJ, yang ditransformasi ke dalam film MBSM,
sekarang akan diuraikan bagaimana wujud transformasi tokoh tersebut.
Ada satu perubahan signifikan dalam transformasi tokoh utama
kedua cerpen tersebut ke dalam film MBSM yang penulis rumuskan
dengan kecilbesar = duasatu. Kecilbesar berarti dari tokoh
yang masih kecil menjadi tokoh yang sudah besar atau sudah dewasa,
sedangkan duasatu berarti dari dua orang tokoh menjadi satu tokoh,
merger.
Selain transformasi dari cerpen ke dalam film menghasilkan
perubahan dari kecilbesar dan duasatu, transformasi tersebut
juga menghasilkan perubahan nama tokoh. Tokoh utama dalam cerpen

123

Adegan
Lt, yaitu Maha, dan Mayra dalam cerpen MJ, ditransformasi menjadi
tokoh dewasa bernama Adjeng di dalam film MBSM. Berikut cuplikan
gambar tokoh Adjeng di dalam film MBSM, tokoh yang ditandai
dengan angka 1, 2, dan 3 menunjukkan tokoh Maha (cerpen Lt)
sedangkan gambar dengan angka 4, 5, dan 6 menunjukkan tokoh Mayra
(dalam cerpen MJ).
bentukan hasil transformasi tokoh Maha dan
, dari
Mayra
kecil ke besar
.

Gambar
4.

MBSM
Tokoh Maha dan Mayra di dalam
film. Pada rangkaian
gambar

Kedua tokoh utama dalam kedua cerpen ditransformasi menjadi


tokoh dewasa bernama Adjeng. Hal ini terlihat dalam gambar berikut.

124

Gambar5.

MBSM
Tokoh Adjeng dalam film

, tokoh transformasi dari tokoh Mah

dan Mayra.
Tokoh utama filmAdjengadalah tokoh masa depan dari
cerpen Maha dan Mayra, atau sebaliknya Maha dan Mayra adalah
masa kecilnya Adjeng.
Artinya, Adjeng dewasa di film adalah masa dewasa Adjeng kecil di
cerpen yang dihadirkan sebagai Maha dan Mayra. Peristiwa ini
merupakan aktivitas transformasi tokoh yang cukup signifikan yang
terjadi di dalam pelayarputihan karya sastra Indonesia. Maha dan
Mayra sebagai tokoh utamabahkan Maha berperan juga sebagai
narator dalam cerpen Ltdi dalam cerpen tidak dihadirkan sebagai
Maha dan atau Mayra dengan sosok dan latar waktu yang relatif sama
dengan dirinya, melainkan cukup jauh rentang waktunya.
Selain itu, karakter tokoh Adjeng dewasa di dalam film juga
merupakan sisi perubahan signifikan yang lainnya. Adjeng dewasa
adalah penggambaran tokoh yang bebas, yang hidup dalam lingkungan
dan gaya kosmopolitan. Adjeng dewasa adalah sosok yang memiliki
karakter mendua. Di satu sisi Adjeng adalah sosok yang menurut dan

125

Adegan
patuh di hadapan Ibunyameskipun menurut dan patuh tetapi juga
tidak menurut dan patuhsedangkan di sisi lain ia menjadi pribadi
yang sangat agresif dan bebas ketika sedang bersama dengan
temantemannya. Di sini tokoh Adjeng menjadi sebuah simbol gaya
hidup masyarakat yang posmodern. Pembahasan lebih jauh mengenai
keposmoan dan sisi politis perubahan transformasi tokoh akan di bahas
di bab tiga penelitian ini.

2.2.2 Perluasan Cerita melalui Penciptaan Tokoh Baru


Munculnya tokoh baru dalam konsep Eneste (1991: 64) adalah
perluasan cerita sebagai salah satu bentuk perubahan yang terjadi dalam
ekranisasi atau pelayarputihan. Sebelum diuraikan lebih jauh tokohtokoh baru yang muncul dalam transformasi cerpen Lt dan MJ ke film
MBSM, terlebih dahulu diuraikan tokoh-tokoh yang ada di dalam kedua
cerita pendek tersebut.
2.2.2.1 Tokoh dan Relasinya di dalam Cerpen Lt
Cerita pendek Lt memiliki tiga tokoh, yaitu Maha, Ibu, dan
Lintah. Maha adalah tokoh utama sekaligus pencerita di dalam cerita
pendek tersebut. Di dalam teks cerpen disebutkan kalau Maha masih
duduk di bangku sekolah. Meskipun tidak ada keterangan berapa usia
Maha. Di dalam teks cerpen juga tidak ada keterangan yang jelas

126

apakah Maha masih duduk sekolah dasar atau sekolah lanjut. Berikut
kutipan yang menjelaskan hal tersebut.
Sepulang sekolah, sering saya temui lintah itu
duduk di sofa ruang tamu kami. Kadang ia mengganggu
saya ketika sedang menonton televisi dengan mengganti
saluran seenak hati. Bahkan ia sering kedapatan sedang
pulas tertidur di atas tempat tidur saya, dan tentunya
membuat saya mengurungkan niat untuk beristirahat. (DMA
2004: 11-12)
Tokoh Ibu adalah seorang wanita yang memiliki anak
perempuan bernama Maha. Ia tidak memiliki pekerjaan tetap melainkan
sebagai penyanyi lepas yang job-job manggungya tidak memiliki
jadwal yang pasti. Sesekali ia manggung dalam beberapa jam saja,
tetapi dalam kesempatan lain ia menggung berpindahpindah dari satu
tempat ke tempat lain, dari satu koa ke kota lain. Ibu dan Maha
diceritakan tinggal dalam sebuah rumah. Tokoh Ibu digambarkan di
dalam teks sebagai single parent bagi Maha anaknya.
Selain kedua tokoh tersebut juga ada tokoh lain bernama Lintah
di dalam cerpen tersebut. Lintah adalah laki-laki yang menjadi teman
dekat Ibu, pacar Ibu. Di dalam teks cerpen diceritakan kalau kehadiran
Lintah sebenarnya ditolak oleh Maha. Ia tidak senang kalau Ibu
berteman dekat dengan lelaki tersebut. Apalagi ia sering mengganggu
istirahat Maha, sampai dengan menidurinya baik di kamar tidur
maupun di kamar mandi saat ia sedang mandi. Akan tetapi, ketika
Maha berusaha mengadu kepada Ibunya dengan harapan mendapat

127

Adegan
perlindungan dari Ibu, justru Maha sebaliknya, ia dianggap mengadaada dan melebih-lebihkan. Panggilan Lintah sebenarnya adalah sebutan
atau panggilan Maha untuk laki-laki teman Ibunya.

2.2.2.2 Tokoh dan Relasinya di dalam Cerpen MJ


Cerita pendek berjudul MJ memiliki tokoh yang lebih banyak
dibandingkan dengan tokoh di dalam cerpen Lt. Tokoh-tokoh tersebut
adalah: Mayra, Ayah, dan Bi Inah. Selain tokoh-tokoh utama dalam
cerpen tersebut juga terdapat tokoh-tokoh pendukung lain seperti
perempuan yang merupakan teman kencan atau teman dekat tokoh
Bapak maupun teman-teman Mayra di sekolah.
Di dalam cerpen yang kedua ini, tokoh Mayra diceritakan
sebagai anak perempuan yang masih duduk di bangku sekolah dasar.
Baru kemudian setelah ia lulus dari sekolah dasar, ia melanjutkan ke
sekolah menengah pertama (SMP). Hal ini sesuai dengan kutipan
berikut.
Siang itu Mayra sangat bahagia. Setelah dinyatakan lulus
Sekolah Dasar dengan nilai cemerlang, ia di terima masuk
Sekolah
Menengah Pertama yang diinginkannya. Sesampainya di
rumah, mobil Ayah masih terparkir di garasi. Ia bergegas ke
dalam lalu mengetuk pintu kamar ayahnya untuk berbagi
kegembiraan. (DMA 2004: 35)
Tokoh lain yang ada di dalam cerpen ini adalah Bapak. Ayah
adalah ayah dari Mayra, seorang single parent. Mereka hidup di sebuah

128

rumah dengan dibantu oleh Bi Inah, pembantu rumah tangga di rumah


tersebut. Dalam beberapa kesempatan, Ayah terkadang pulang dengan
membawa seorang perempuan yang oleh Mayra dianggapnya sebagai
ibunya. Hal ini terjadi karena ia tidak pernah melihat ibunnya hadir di
dalam keluarga tersebut. Di dalam cerpen ini diceritakan kalau Mayra
adalah sosok yang merindukan kehadiran ibunya, melengkapi sebuah
bangunan rumah tangga: ayah, ibu, dan anak. Akan tetapi, semua itu
akhirnya dirasanya sia-sia. Berikut kutipan yang menunjukkan hal
tersebut.
Tidak ada yang berubah sebelum dan sesudah Mayra
meninggalkan rumah kecuali mobil ayahnya yang sudah
tidak terparkir di dalam garasi. Segala sesuatu masih tetap
berada di tempatnya. Lukisan-lukisan karya para pelukis
terkenal, dua patung Bali di samping pintu kamar ayahnya
yang terbuat dari kayu ukiran Jepara, barang-barang antik
dan bingkai foto ia dengan ayahnya, semuanya rapi, bersih
dan tidak terjamah.
Namun sama sekali tidak ada foto Ibu. Mayra
menangis berlari ke kamarnya dan mengeluarkan lukisan
Ibu. Ia menumpahkan kekecewaannya kepada Ibu. Tentang
janji bahwa segala sesuatunya akan lebih baik. Tentang
kepuasannya berhasil meninju hidung berandalan itu hingga
berdarah. Dan ia mengadu tentang Ayah. Ayah yang tidak
pernah mau menceritakan asal usul Ibu. Ayah yang tidak
pernah ada di rumah atau di rumah namun menghabiskan
waktu seharian menulis di dalam kamar kerja. Mayra dapat
merasakan tangan Ibu mengelus-elus rambutnya lalu
bersenandung menenangkan dirinya.
Mayra menggenggam tangan Ibu, menciuminya satu per satu.
(DMA 2004: 33)

Waktu ia tersadar dari lamunannya, Ibu sudah tidak


ada di belakangnya. Ibu sudah kembali ke dalam lukisan,
duduk tersenyum manis sambil memangku dirinya,

129

Adegan
mengenakan kebaya emas dan selendang cokelat muda.
(DMA 2004: 34)
Di dalam teks cerpen di atas dilukiskan kalau kehadiran sosok
ibu hanyalah ilusi, bayangan, atau harapan dari seorang Mayra saja.
Akan tetapi, kenyataannya sosok ibu tidak pernah hadir secara nyata.
Selain tiga tokoh utama di atas, tokoh lain yang hadir di dalam
cerita pendek MJ ini adalah teman-teman sekolah Mayra. Mereka
adalah segerombolan anak laki-laki yang kerap mengganggunya di
sekolahan, mulai dari merebut dan mengeledek gambar wanita yang
dibuat oleh Mayra sampai dengan meraba-raba payudara dan
kemaluannya hingga menyebabkan teror baginya tiap kali berangkat ke
sekolah. Akan tetapi, pada kesempatan yang berbeda Mayra justru
berani melawan mereka dan meninju salah satu dari teman lelakinya
yang suka menggodanya.

2.2.2.3 Perluasan Tokoh: Perluasan Cerita di dalam Film MBSM


Setelah dijelaskan tokoh-tokoh yang ada di dalam dua cerita
pendek berjudul Lt dan MJ di atas, berikutnya akan dibahas bagaimana
tokoh-tokoh tersebut ditransformasi di dalam film MBSM. Dengan
melihat tokoh-tokoh yang ada di dalam film, maka bisa dikategorikan
sebagai tokoh hasil transformasi dan tokoh baru. Tokoh hasil

130

transformasi yang terjadi di sini meliputi tokoh yang tetap dan


berubah15. Sedangkan tokoh baru adalah tokoh ciptaan yang hanya ada
di dalam film, sementara di dalam cerita pendek tokoh tersebut tidak
dimiliki atau tidak ada.
Satu transformasi tokoh dari cerpen ke film yang terjadi secara
drastis16 adalah transformasi tokoh Maha dan Mayra menjadi tokoh
Adjeng. Alasan pertama adalah di dalam cerpen mereka adalah dua
tokoh yang berbeda, hal ini juga terlihat dari namanya yang berbeda
dan berada pada dua cerita pendek yang berbeda pula. Akan tetapi, di
dalam film tokoh tersebut di transformasi menjadi satu tokoh bernama
Adjeng. Alasan berikutnya adalah adanya perbedaan usia yang cukup
jauh. Maha dan Mayra adalah tokoh yang masih kecil, duduk di bangku
sekolah, sedangkan di dalam film tokoh tersebut di transformasi
menjadi Adjeng yang telah berusia cukup dewasa, bekerja sebagai
15 Tetap yang dimaksudkan di sini adalah tetap (terutama) dari sisi nama tokoh,
yaitu menjadi tokoh seperti yang ada di dalam cerpen. Akan tetapi, meskipun
demikian tetap mengalami perubahan dalam karakter dan beberapa hal lain.
Sedangkan berubah yang dimaksudkan adalah berubah nama tokoh serta
karakternya.
16 Istilah ini digunakan untuk memberikan keterangan suatu kondisi transformasi
tokoh yang mengalami banyak perubahan. Banya perubahan di sini juga diartikan
signifikan, artinya penting keberadaannya di dalam cerita. Satu bentuk
transformasi tokoh yang demikian terjadi dalam transformasi tokoh Maha dan
Mayra menjadi Adjeng. Istilah ini sendiri secara kamus (KBBI Edisi Ketiga 2001:
276) memiliki arti: 1) tegas dan cepat; keras dan berpengaruh cepat; 2)
menyeluruh; radikal; 3) hebat; luar biasa. Sehingga perubahan yang drastis bisa
diartikan sebagai perubahan yang tegas dan radikal.

131

Adegan
penulis cerita anak di sebuah majalah majalah anak. Hal lain yang
membedakan dengan tokoh ini sebelum ditransformasi adalah karekter
tokohnya. Di dalam cerpen, tokoh tersebut memliki karakter pendiam
(sering merenung dan berdiam diri), masih memiliki kecenderungan
berpegang pada norma, serta merindukan pada idealitas sebuah
bangunan rumah tangga, yaitu ada ibu, ayah, dan anak. Akan tetapi,
karakter Adjeng di dalam film cenderung menerobosi apa-apa yang ada
di dalam cerpen. Norma telah diterobosinya. Keadaaan justru
dijungkirbalikan. Sesuatu yang baginya dirasa sakit atau menyakitkan,
di film justru dilakukannya dengan

enjoy. Penerobosan dan

penjungkirbalikan dilakukannya. Sesuatu yang dianggapnya tabu di


masa kecil, kini justru dikerjakannya dan dianggapnya sebagai sesuatu
yang biasa. Selain itu, tokoh Adjeng juga mengalami split character, di
satu sisi ia menjadi anak yang penurut, penakut, dan halus dihadapan
dan terhadap ibunya, tetapi di sisi lain ia menjadi anak yang sangat
bebas ketika tidak sedang dihadapan atau bersama ibunya. Dengan
demikian bisa disebutkan transformasi yang terjadi pada tokoh ini
adalah transformasi yang mengalami banyak perubahan.
Selain transformasi seperti yang terjadi dengan tokoh Maha dan
Mayra menjadi tokoh Adjeng di atas, ada pula transformasi tokoh yang
lain, yaitu tokoh Ibu, Ayah, Bi Inah, Lintah, Teman-teman sekolah
Maha. Transformasi yang terjadi dengan tokoh-tokoh tersebut berbeda

132

dengan transformasi tokoh Maha dan Mayra yang menjadi Adjeng.


Pada transformasi tokoh-tokoh tersebut tidak mengalami banyak
perubahan signifikan seperti yang terjadi pada tokoh Maha dan Mayra.
Di dalam film tokoh-tokoh tersebut diransformasi menjadi Ibu, Ayah,
Bi Inah, dan Lintah. Sedangkan tokoh perempuan muda di dalam
cerpen MJ ditransformasi menjadi (dengan memberi nama) Nova di
dalam filmnya. Selebihnya dalam hal karakter dan lain-lainnya tokohtokoh tersebut tidak mengalami banyak perubahan.
Selain transformasi tokoh, dalam pelayarputihan cerpen Lt dan
MJ ini juga terjadi penciptaan tokoh baru. Kehadiran tokoh-tokoh baru
dalam film berkelindan membangun cerita sesuai dengan tuntutan
cerita baru

yang berlatar berbeda dari cerpen. Kebaruan ini

dipengaruhi oleh perbedaan media yaitu dari menceritakan menjadi


memperlihatkan.
diceritakan

Durasi

tersebut

waktu

juga

dalam

merupakan

memperlihatkan
salah

satu

yang

penyebab

perubahanperubahan signifikan pada cerita dan alur sehubungan


dengan logika memperlihatkan. Dalam film, untuk mengambarkan
perilaku, kondisi psikis, dan latar ketertekanan Adjeng diperlukan
tokoh-tokoh yang mendukung penampilan tersebut.
Tokoh teman-teman SD Adjeng yang pada cerpen Lt tidak ada
adalah dalam rangka fungsi melogiskan latar sekolah. Untuk
menguatkan eksistensi Adjeng SD dalam lingkungannya sebagai murid

133

Adegan
sekolah yang dijemput ibunya dalam film, maka murid-murid lain
dimunculkan walaupun tanpa komunikasi. Sementara Venny dan
Andien, hadir sebagai teman Adjeng dewasa, adalah dalam rangka
fungsi menunjukkan perilaku Adjeng dewasa yang bebas dan
mengekplorasi pandangan-pandangannya mengenai parenting dan
berpasangan. Ideologi Adjeng dikomunikasikan dan ditunjukkan
dengan pergaulannya bersama teman-temannya tersebut. Demikian
pula pacar Adjeng dewasa, kehadirannya dalam cerita film juga untuk
menunjukkan ideologi Adjeng terhadap tubuhnya, bahwa dialah
controller atas tubuhnya. Dia berpasangan dengan Asmoro, pria beristri
yang juga menjadi mentornya, tetapi di saat yang sama dia berpacaran
dengan laki-laki kaya yang membayar kebutuhan hidupnya, Boss.
Kehadiran redaktur, anak Andien, suami Venny, istri Asmoro,
serta pembantu Ibu juga tak luput dari transformasi komunikasi
ideologi yang berbeda media dari cerpen ke film. Konflik dan
perbedaan ideologis antartokoh menjadi visible dan audible yang
menuntut aksentuasi ulang dan pemfokusan ulang pada tema, karakter
dan plot (Hutcheon 2006: 40). Dengan demikian kehadiran tokohtokoh
baru dalam membangun konflik baru dengan ideologi baru adalah
berubah sesuai dengan media. Akan tetapi munculnya alur penceritaan
baru yang menyebabkan perbedaan signifikan antara cerita cerpen ke

134

film ini memiliki alasan ideologis dan politis tersendiri yang akan
dibahas lebih lanjut dalam bab selanjutnya.
Berikut adalah diagram transformasi tokoh dari cerpen ke film.
Tokohdalam
CerpenLt:

Tokoh dalam Film


MBSM
:

- Maha
- Ibu
- Lintah

ditrans
formasi
Tokoh dalam
CerpenMJ:
- Mayra
- Ayah
- Bi Inah
- Perempuan muda
- Teman
-teman
sekolah Mayra
Mayra

- Adjeng
- Ibu
- Ayah
- Lintah
- Bi Inah
- Teman SMP Adjeng
- Nova
- Teman SD Adjeng
- Andien
- Anak Andien
- Venny
- Suami Venny
- Pacar Adjeng
- Asmoro
- Redaktur
- Boss
- Lelaki
- Istri Mentor
- Pelayan Bar
- Pengunjung Bar

Diagram
4 . Transformasi
T okohCerpenLt dan MJ ke F ilm MBSM.

Untuk lebih jelas melihat bagaimana pergerakan transformasi


tokoh dari cerpen ke film serta tokoh-tokoh baru yang diciptakan di
dalam film, digambarkan melalui tabel sebagai berikut.

135

Adegan

Tabel 2. Tabel Transformasi Tokoh dari Cerpen ke Film serta TokohTokoh


Ciptaan Baru di dalam Film MBSM
RANAH CERPEN
Tokoh
cerpen

Judul

Maha

Ibu
Lintah

Karakter Tokoh
- perempuan
- kecil
- sekolah

penyanyi
single parent
pacar Ibu
lelaki anak band

Lintah

RANAH FILM
Transforma
si tokoh di
film

Adjeng*)

Ibu
Lintah

Karakter Tokoh
- perempuan
- besar/dewasa
- bekerja sebagai
penulis cerita anak
di sebuah majalah
anak
- penyanyi
- single parent
- pacar Ibu
- lelaki anak band

(tidak ada
penggambaran atau
cerita secara lebih
spesifik dan detail
yang bisa
menggambarkan
Temanteman
SD Adjeng karakter tokoh,
melainkah hanya
(kecil)**)
dimunculkan tanpa
kontak
khususlangsung
dengan tokoh
Adjeng)

136

Mayra

Melukis
Jendela

- perempuan
- kecil
- sekolah (SD lalu
masuk
SMP)

Adjeng*)

- perempuan
- besar/dewasa
- bekerja sebagai
penulis cerita anak
di sebuah majalah
anak sebuah
majalah
- kerja kantor
- single parent

- seorang penulis
- pengusaha
Ayah
terkenal
- single parent
Bi Inah
- pembantu
- laki-laki
- teman sekolah
Anton
Mayra
suka
mengganggu
Mayra
Temanteman- laki-laki
sekolah
- suka mengganggu
Mayra yang Mayra
lain

Temanteman - laki-laki
sekolah
- suka mengganggu
Adjeng
Adjeng SMP
(kecil)**)

Ibu

Wanita
muda

- perempuan
- tokoh yang hanya
hadir dalam
alam pikiran
Mayra,
merupakan
tokoh rekaan
dari Mayra,
diwujudkan
dalam bentuk
lukisan seorang
ibu.
(tidak
ada
penggambaran
karakter lebih
detail)

Ayah
Bi Inah
Anton

Nova

- pembantu
- laki-laki
- teman sekolah
Adjeng SMP
- suka mengganggu
Adjeng
(kecil)

- perempuan
- pacar Ayah

137

Adegan
-

Venny

Andin

Pacar
Adjeng

Asmoro

Redaktur

Koko

Hendra

Pembantu

Suami
Venny
Anaknya
Andien
Pelayan Bar
Pemain
Piano

- teman Adjeng besar


- menikah
- belum punya anak
- teman Adjeng besar
- menikah
- punya anak dua
- laki-laki
- pacar Adjeng yang
membiayai
apartemen dan
kebutuhan
Adjeng yang lain
- laki-laki
- teman dekat
Adjeng, pacar
Adjeng besar
- seorang penulis
senior
- mentor Adjeng
- laki-laki
- redaktur majalah
anak
- Teman sekolah
Adjeng SMP
- Teman sekolah
Adjeng SMP
- pembantu yang
melayani Ibu di
kamar, pagi hari,
mengantarkan
koran
dan
sepiring buah.

- dua orang

138

Istri Mentor

- tidak hadir dalam


cerita, melainkah
hanya
digambarkan
melalui kegiatan
menelpon Mentor
dalam salah satu
scene. Selain itu
juga beberapa kali
diucapkan oleh
Adjeng dalam
beberapa scene.

Keterangan:
*) = tokoh yang sama (satu tokoh)
**) = tokoh Adjeng yang digambarkan masih kecil, tokoh ini hadir
dalam scenescene film yang berbentuk fragmen-fragmen atau
sebagai flashback. Kalau dikembalikan ke dalam cerita di dalam
cerpen, tokoh Adjeng kecil di dalam film MBSM adalah tokoh
Maha di dalam cerpen Lt dan Mayra di dalam cerpen MJ.
= menunjukkan adanya tokoh ciptaan di dalam film
Mengingat

banyaknya

tokoh

yang

hadir

dalam

film,

pembahasan akan difokuskan pada tokoh utama, Adjeng, dan tokoh lain
yang berelasi kuat dalam membangun cerita. Hal ini bertujuan untuk
menyempitkan pembahasan dan untuk keperluan fokus bahasan sesuai
dengan tujuan penelitian ini. Dengan demikian, tidak semua tokoh akan
dibahas secara luas.

2.3 Perubahan Latar Waktu Cerita


Perubahan latar waktu penceritaan di dalam film merupakan
unsur lain yang perubahannya cukup drastis dan signifikan. Untuk
melihat bagaimana gerak perubahan dari latar penceritaan di dalam

139

Adegan
cerpen dengan latar penceritaan di dalam film, berikut ini akan
diuraikan secara berurutan dari penjabaran latar penceritaan cerpen dan
kemudian diikuti dengan latar penceritaan film. Dengan cara demikian
diharapkan dapat terlihat perbandingan latar penceritaan kedua karya
tersebut yang menunjukkan adanya gerak perubahan latar dalam proses
transformasi kedua genre karya tersebut. Pembahasan latar waktu
penceritaan di sini akan dilihat dari sisi tokoh Maha dan Mayra, serta
tokoh Adjeng sebagai tokoh utama. Alasan pemilihan ini adalah di
samping tokoh-tokoh tersebut merupakan tokoh utama, cerita juga
terfokus ke arah cerita seputar tokoh utama. Hal ini pula yang
menunjukkan

adanya

perubahan

signifikan

di

dalam

karya

transformasinya.
Latar penceritaan cerpen adalah latar pada saat tokoh Maha dan
Mayra yang kemudian tokoh ini ditransformasi menjadi tokoh
Adjeng besar di dalam filmmasih kecil dan duduk di bangku
sekolah. Oleh karena tokoh Maha dan Mayra ada dalam dua cerita
pendek yang berbeda, maka untuk melihat latar penceritaan masingmasing cerita pendek tersebut akan diuraikan berdasarkan masingmasing cerpen sebagai berikut.
Di dalam cerita pendek yang pertama, Lt, latar waktu
penceritaan berkisah ketika tokoh utama, Maha, masih duduk di bangku
sekolah. Akan tetapi, di dalam cerpen itu sendiri tidak ada deskripsi

140

yang lebih jelas atau eksplisit menjelaskan apakah tokoh Maha duduk
di bangku sekolah dasar (SD) atau sekolah lanjutan (SMP). Teks cerpen
hanya menyebutkan kata sekolah yang menunjukkan kalau tokoh
Maha masih berusia sekolah, tetapi tanpa menyebutkan tingkatan
sekolah tersebut. Berikut kutipan cerpennya.
Saya penyayang binatang. Namun saya sangat benci
kepada lintah. Lintah tidak pernah puas atas apa yang
dimilikinya. Begitu juga dengan rumah pribadi istimewa.
Sepulang sekolah, sering saya temui lintah itu duduk di sofa
ruang tamu kami. Kadang ia mengganggu saya ketika
sedang menonton televisi dengan mengganti saluran seenak
hati. Bahkan ia sering kedapatan sedanag pulas tertidur di
atas tempat tidur saya, dan tentunya membuat sayang
mengurungkan niat untuk beristirahat. (DMA 2004: 11)
Hari itu terik matahari begitu menyengat. Seragam
sekolah saya basah oleh peluh yang tidak kunjung berhenti
menetes. Sesekali saya rasakan perih saat setitik peluh jatuh
tepat pada luka-luka bekas gigitan lintah. (DMA 2004: 16)
Di dalam dua kutipan teks cerpen di atas terlihat adanya
penyebutan sekolah tetapi tanpa keterangan tingkatan sekolah
tersebut, sekolah dasar atau sekolah menengah. Hal ini berbeda dengan
cerita pendek yang kedua. Di dalam cerpen MJ, ada satu deskripsi yang
menceritakan latar waktu penceritaan saat sekolah tokoh utama Mayra.
Berikut kutipan cerita pendeknya.
Sudah hampir dua tahun sejak Mayra menyayat mukanya.
Ayahnya marah besar dan memindahkan Mayra ke sekolah lain
dengan alasan malu. Mayra tidak pernah menceritakan apa yang
sebenarnya terjadi. Ia sudah cukup bahagia dipindahkan ke
sekolah lain dan mendapatkan reaksi dari Ayah. Ia berterima kasih

141

Adegan
kepada Ibu dan kini ia melukis Ayah untuk disandingkan dengan
lukisan Ibu.
Siang itu Mayra sangat bahagia. Setelah dinyatakan lulus
Sekolah Dasar dengan nilai cemerlang, ia di terima masuk
Sekolah
Menengah Pertama yang diinginkannya. Sesampainya di
rumah, mobil Ayah masih terparkir di garasi. Ia bergegas ke
dalam lalu mengetuk pintu kamar ayahnya unuk berbagi
kegembiraan.
(DMA 2004: 34-35)
Di dalam kutipan teks cerpen tersebut disebutkan kalau tokoh
Mayra setelah lulus dari Sekolah Dasar lalu ia diterima di Sekolah
Menengah Pertama. Dari kutipan tersebut juga dapat diketahui bahwa
latar waktu penceritaan di dalam cerpen MJ ini adalah saat tokoh
Mayra duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Di dalam cerita
ini Mayra tinggal bersama Ayahnya, tanpa hadirnya seorang ibu.
Film Mereka Bilang, Saya Monyet! hadir dengan latar waktu
penceritaan yang jauh berbeda dengan latar penceritaan di dalam
cerpen. Latar waktu penceritaan di dalam film adalah waktu pada saat
tokoh Adjengsebagai tokoh hasil transformasi tokoh Maha dan
Mayratelah besar atau dewasa. Cerita tidak lagi berkisar aktivitas
tokoh Maha yang masih sekolah, tinggal di dalam rumah bersama
dengan Ibu, dan dalam beberapa kesempatan hadir tokoh Lintah yang
juga kerap mengganggunya, melainkan dalam kehidupan tokoh Adjeng
yang dewasa, yang telah bekerja sebagai seorang penulis cerita anak di
sebuah majalah anak, kemudian memilih berhenti sebegai penulis cerita
anak, dan lengkap likaliku kehidupannya di luar rumah. Juga bukan

142

pada saat Maha tinggal di rumah bersama dengan Ayah, yang sering
kali berdiam diri karena tiada saudara, serta kerap menggambar sosok
perempuan sebagai bentuk kerinduannya pada hadirnya sosok Ibu di
dalam rumah, melengkapi sebuah bangunan rumah tangga, hingga
cerita seputar teman-teman sekolahnya yang kerap mengganggu dan
melecehkannya.
Di dalam film latar waktu penceritaannya adalah seputar
kehidupan tokoh Adjeng setelah ia dewasa, berhenti menulis cerita
anak, dan memulai menulis cerita unuk dewasa. Selain aktivitas
tersebut, cerita juga berkisah tentang kehidupannya di luar rumah, pada
saat bersama teman-temannya, serta bagaimana ketika ia dihadapan
ibunya. Adjeng desawa di dalam film telah lahir menjadi sosok yang
memiliki split character, memiliki pribadi yang ganda. Di satu sisi pada
saat ia di hadapan ibunya Adjeng menjadi orang yang sangat penurut,
akan tetapi di belakangnya ia merupakan sosok yang sangat berani,
memberonak, bebas, dan keras. Termasuk pada saat ia sedang bersama
dengan teman-temannya.
Demikianlah latar waktu penceritaan di dalam film. Sedangkan
ceritacerita di dalam cerpen di dalam film hadir sebagai fragmenfragmen, sebagai potongan-potongan cerita, tidak menyatu ke dalam
cerita film secara keseluruhan, membentuk cerita sendiri, tetapi tetap

143

Adegan
memiliki keterkaitan dengan cerita masa kini dengan latar tokoh
Adjeng yang telah dewasa.
Cerita yang terjadi di dalam film lebih menggambarkan
bagaimana kehidupan Adjeng setelah dewasayang bebas, serta
memberontaki dan menerobosi apa yang baginya terasa tabu dimasa ia
masih kecil dulu. Sesuatu yang sangat dibencinya dulu, justru kini
dilakoninya dengan enjoy dan tanpa beban. Kebenciannya pada Lintah
(oleh tokoh Maha dalam cerpen Lt) dan pada teman-temannya yang
suka menggerayanginya (Mayra dalam cerpen MJ) ternyata di masa
dewasa (Adjeng) justru menjadi bagian dari kehidupannya, dilakukan
dengan penuh yakin, menjadi tuntutan kan kebutuhan hidup, menjadi
bayaran kebutuhan akan hidupnya.
Kebutuhan dan kerinduan pada sesuatu yang ideal telah
dikuburnyaini seperti diceritakan dalam cerpen MJ, seperti dalam
kutipan berikut.
Mayra melukis jendela. Ia sudah merobek-robek dan
membakar lukisan Ayah dan Ibu. Ia merasakan dirinya
dikhianati. Ia lebih membenci lukisan Ayah dan Ibu
ketimbang ayahnya yang seharian pergi atau menulis di
dalam kamar kerja atau mengunci diri dengan wanita.
Kebenciannya terhadap lukisan Ayah dan Ibu melebihi
kebenciannya terhadap Ibu yang tidak pernah berusaha
untuk mencari dirinya seperti yang selalu dikatakan Ayah
kepadanya. Kepadanya Ayah dan Ibu ia sudah tidak punya
penghargaan apa-apa. Ia sudah menerima bahwa kenyataan
itulah yang mutlak ia telan bulat-bulat.
Maka Mayra nmelukis jendela. Sebuah jendela besar
tanpa tirai menghadap ke sebuah dunia yang ia inginkan. Ia

144

sering masuk ke dalam jendela itu lalu menemukan dirinya


terbaring di hamparan hangat pasir putih dan riak ombak
menggelitik pucuk jari kakinya. (DMA 2004: 37-38)
Ideologi idealitas yang dianut Mayra di masa kecil, sudah harus
dikuburnya seiring dengan kenyataan yang terus ia hadapi. Maka yang
harus dilakukannya adalah menerima kenyataan yang ada, menerima
dan

menelan bulat-bulat kenyataan tersebut. Kebenciannya pada

hubungan Ibu dengan Lintah tidak dapat dibuang, tetapi keadaan juga
tidak

dapat

diubahnya

terjadi

seperti

yang

diharapkannya.

Kebenciannya pada perlakuan Lintah yang kerap menggereyanginya


dan memperkosanya harus dilupakan dan dibiarkan terjadi. Bahkan ia
tak mampu melakukan pembelaan dan pengaduan sedikitpun kepada
Ibunya. Adjeng dewasa adalah sosok yang menerobosi semua
kebencian akan perlakuan Lintah pada dirinya. Kini ia menjalaninya
demi memenuhi kebutuhan dirinya dan hidupnya. Bahkan dengan
enjoy dan tanpa beban. Kerinduan dan keinginannya pada bangunan
rumah tangga lengkap yang tersusun atas ayah, ibu, dan anak dengan
segudang perhatian dan kasih-sayang tak bisa diperolehnya.
Maka jendela menjadi pilihannya untuk keluar dari semua harapan.

145

Adegan
BAB III
POLITIK DALAM TRANSFORMASI MEREKA BILANG, SAYA
MONYET!: DIALOG DUA MEDIA

Pada bab sebelumnya telah dibahas perubahan-perubahan yang muncul


dan dalam transformasi cerpen Lt dan MJ ke dalam film MBSM, yang meliputi
perubahan alur, tokoh dan penokohan, serta perubahan latar. Selain melihat
perubahan

yang

muncul,

pada

bab

tersebut

juga

dibahas

fungsi

perubahanperubahan yang ada serta bagimana relasi antar unsur cerita yang ada,
baik di dalam cerpen maupun di dalam film. Selanjutnya, pada bab ini dibahas
sisi-sisi posmodernitas pada transformasi cerpen Lt dan MJ ke dalam MBSM untuk
kemudian ditemukan atau dibahas aspek-aspek politis dari perubahan-perubahan
terebut. Pembahasan selanjutnya dibagi ke dalam beberapa sub sub-bab sebagai
berikut. Pembahasan pada bab ini lebih menekankan pada teori atau perspektif
posmodernisme Hutcheon (1991).

3.1

Two in One: Indikasi Posmodernisme dalam Ekranisasi MBSM


Transformasi dua cerpen, Lt dan MJ, ke dalam satu film, MBSM

menghasilkan karya yang mengindikasikan adanya ciri-ciri posmodernisme. Ada


dua hal yang akan dibahas di sini, yaitu fragmentasi dan doubleness, sebagai dua
ciri yang tampak mencolok dari karya tersebut. Pembahasan ini sebagai
pembahasan awal untuk masuk pada pembahasan politik posmodernisme

146

147
representasi posmodernis film MBSM sebagai hasil transformasi cerpen Lt dan
MJ.
3.1.1 Dua Cerpen dalam Satu Film: Fragmentasi dan Pengacauan Logika
Cerita
Melalui proses ekranisasi atau pelayarputihan, cerpen Lt dan MJ dikemas
dipadukan dan digabungkanlalu dihadirkan dalam satu bentuk karya film
berjudul MBSM. Pemaduan dan penggabungan yang dilakukan hakikatnya adalah
penggabungan atas perbedaan, yaitu perbedaan cerita. Penggabungan dua cerita
ini telah

menghasilkan satu bentuk atau satu konstruksi karya dengan tetap

membiarkan keragaman-keragaman yang ada tetap ada. Keragaman dari dua cerita
dalam cerpen tersebut dihadirkan dalam film seperti halnya cerita yang ada di
dalam cerpen tersebut, hingga di satu sisi seolah-olah cerita tersebut berdiri
sendiri, tetapi di sisi lain juga merupakan cerita yang include di dalam cerita film.
Sehingga yang tampak kemudian adalah adanya ketumpangtindihan cerita.
Dibiarkannya ketumpangtindihan cerita tetap ada di dalam film MBSM telah
menghasilkan satu alur cerita film yang berbentuk fragmen (cuplikan atau
petikan). Fragmentasi dilakukan terhadap cerita-cerita cerpen yang hadir sesekali
mengisi ruang cerita film, dengan cara merajutnya dengan cerita film itu sendiri.
Di dalam film, cerita cerpen dihadirkan sebagai flashback dari film yang
berkisah cerita Adjeng dewasa, sebagai cerita kini dari film, dalam bentuk
bayangan pengalaman masa lalu Adjeng di masa kecilnya yang cukup menghantui

147

Adegan
hingga Adjeng telah dewasa. Dihadirkannya fragmentasi cerita cerpen seperti ini
dalam rangka fungsi menunjukkan kepada penonton satu alasan pengalaman
masa lalu yang pernah ada dalam kehidupan Adjeng di masa lalu, yang
membentuknya menjadi pribadinya di masa sekarang. Kalau dalam konsep
kausalitas cerita, fragmentasi cerita yang diambil dari cerpen adalah logika
kausalitas yang ingin ditunjukkan kepada penonton. Masa lalu Adjeng yang berat
yang sangat berpengaruh terhadap kondisi psikologis dan cara hidup Adjeng di
masa dewasanya.
Di sisi lain, kehadiran fragmentasi cerita cerpen dalam cerita film sering
terkaburkan atau tidak jelas skat pembatasnya. Di dalam film MBSM, fragmentasi
cerita cerpensebagai bentuk bayangan Adjeng akan masa lalunyahadir ke
dalam cerita yang seolah-olah juga berupa cerita kini atau peristiwa kini yang
terjadi saat ini, dalam rangkaian alur cerita film yang lebih bersifat kini (yaitu
dalam latar waktu Adjeng dewasa). Di sini ketumpangtindihan fragmen-fragmen
dengan cerita kini film itu muncul. Konstruksi tersebut adalah dalam rangka
fungsi menunjukkan dan membiarkan pluralitas tetap ada dalam film MBSM.
Fragmentasi, ketumpangtindihan, dan pluralitas tersebut mengarah kepada satu
bentuk karya seni yang memiliki indikasi ciri-ciri posmodernitas, yaitu karya yang
melawan satu bentuk struktur yang otonom. Hal tersebut juga menunjukkan
adanya satu gerakan anti pusat.
Fragmentasi serta comot-comot yang dilakukan terhadap dua cerpen Lt dan
MJ dalam pengarapan film dalam konsep teori sosial yang ada disebut dengan

148

pastiche17 (meminjam istilah Jameson) atau parodi2 (sebagaimana yang


diistilahkan oleh Hutcheon)atau yang dalam istilah lain sering disebut dengan
kutipan ironis, daur ulang, atau intertekstualitassebagai unsur sentral
posmodernisme (Hutcheon, 1991: 93). Dengan merujuk pada konsep pastiche
sebagai parodi kosongseperti yang diungkapkan Jamesson (1991: 17), maka
parodi seperti yang terjadi dalam film MBSM, dengan comot-comot-nya, menjadi
sebuah parodi yang tidak berintensi, kosong, bahkan menjadi ironi yang kosong.
Akan tetapi, hal tersebut oleh Hutcheon dibaca berbeda, parodi posmodernisme
bukan lagi imitasi murni dan pasti memiliki maksud, politik.
Melalui bentuknya yang fragmentaris dan terkesan comot-comot, ada
sesuatu

yang

ingin

disampaikan

oleh

teks

tersebut

melalui

parodi

posmodernismenya. Kemasan atau konstruksi tersebut lebih jauh adalah dalam


rangka fungsi mendenaturalisasi konvensi umum serta representasi itu sendiri.
Dari sudut pandang Adjeng sebagai seseorang yang mengalami tekanan
batin di masa kecilnya, suara politik dari parodi ini disampaikan. Ada
pemberontakan dan kritik yang ingin disampaikan terhadap dominasi kekuasaan
yang ditimpakan kepadanya di saat ia kecil, yaitu dari orang tua. Ketidakbebasan
dan ketiadaan perhatian orang tuayang dirasakannyadiberontakinya di saat ia

17 Jameson (1991: 17) menyebut pastiche sebagai imitasi yang ganjil atau unik,
sebagai gaya idiosinkratik (gaya yang khas dari seseorang, yang berbeda dengan
gaya orang lain), serta sebagai satu bentuk penggunaan topeng bahasa. Jameson
juga menyebut pastiche sebagai parodi kosong (blank parody), ironi kosong.
Sementara berdasarkan definisi The Concise Oxford Dictionary of

149

Adegan
dewasa. Harapan dan kebutuhan akan perhatian dari orang tua yang tidak pernah
ia dapatkan, menumbuhkan satu pandangan tersendiri kepada orang tuanya.

Literary Terms, yang juga dikutip oleh Piliang (2003: 187) mengutip bahwa pastiche adalah karya
sastra yang disusun dari elemen-elemen yang dipinjam dari berbagai penulis lain atau dari penulis
tertentu di masa lalu.
2
Sementara Hutcheon, untuk konsep yang kurang lebih sama, menyebutnya dengan istilah parodi.
Kalau Hutcheon menyebut pastiche sebagai imitasi murni, sedangkan parodi bukan imitasi murni.
Ia mendefinisikan parodi sebagai sebagai satu bentuk pengulangan yang dilengkapi dengan ruang
kritik, yang mengungkapkan perbedaan ketimbang persamaan. Parodi menggunakan teks, karya,
atau gaya masa lalu sebagai titik berangkat dari kritik, sindiran, kecamansebagai ungkapan dari
ketidakpuasan atau sekadar rasa humor (dalam Piliang 2003: 191). Lebih lanjut Hutcheon juga
melihat parodi sebagai relasi formal atau struktural antara dua teks.

Konsep perhatian dan kasih sayang yang diberikan kepadanya ternyata tidak
dirasakannya. Di sini parodi ini mencoba mengkritik konsep kasih sayang yang
diberikan orang tua dalam setiap representasinya, yang ternyata tidak pula
demikian dirasakan oleh anak.
Di sisi lain, MBSM melalui representasinya juga bekerja mendenaturalisasi
atau melonggarkan atau mengendorkan perekat yang selama ini digunakan
sebagai pelabelan dalam produk-produk konvensi (meminjam istilahnya
Rosaliand Krauss, dalam Hutcheon, 1991: 8). Salah satu yang dilakukan adalah
terhadap konsep keluarga ideal, yaitu sebuah bangunan keluarga yang harus
memiliki atau terdiri atas ayah, ibu*, dan anak. Hanya ada ibu dan anak dan tanpa
hadirnya ayah adalah kepincangan, demikian pula sebaliknya. Untuk kasus yang
pertama adalah seperti yang terjadi dalam cerpen Lt, sedangkan untuk kasus kedua
terjadi pada cerpen MJ. Representasi yang ada di dalam film MBSM merupakan
satu bentuk pemberontakan atau penjungkirbalikan pencarian idealitas seperti
yang dimiliki oleh cerpen. Film juga menjadi satu titik balik kesadaran betapa

150

ideal yang dicari di masa kecil bisa jadi tidak pernah ditemukan, atau bahkan pada
sesuatu yang lebih jauh bahwa tidak ada sesuatu yang ideal.
Berikut kutipan gambar dalam adegan film MBSM yang menunjukkan
adanya fragmentasi dari cerita cerpen ke film.

Gambar 6.Fragmen
- fragmenadegan
26-32 dalam filmMBSM

Rangkaian gambar di atas menunjukkan fragmentasi adegan di dalam film


MBSM yang bergantian mengisi dari cerita kini film kemudian beralih ke cerita

151

Adegan
Adjeng SD (dari cerita cerpen Lt) dan ke cerita Adjeng SMP (yang dikembangkan
dari cerpen MJ). Cuplikan gambar dengan nomor 1 dan 2 merupakan gambar dari
rangkaian adegan 26 sampai dengan 28. Cerita dari adegan tersebut berkisah
tentang keingintahuan Adjeng terhadap aktivitas Ibunya di dalam kamar dan
suara-suara desahan yang didengarnya dari dalam kamar Ibuadegan ini
sebernarnya cerita berawal dari adegan Andien dan Lelaki teman kecan Andien di
ruang tamu apartemen Adjeng. Kekagetan dan ketakutan (trauma) Adjeng dengan
Lintah muncul pada saat itu. Adegan pun beralih ke adegan 29 film MBSMyang
digambarkan dengan cuplikan gambar bernomor 3yang mengisahkan ketakutan
Adjeng SD hingga duduk gemetaran di pojok kamarnya. Cerita kemudian berganti
lagi ke adegan 30 seperti terlihat pada cuplikan gambar dengan nomor 4, 5, dan 6,
yang berkisah suasana pulang sekolah di sekolahan Adjeng SD. Pada adegan
tersebut tampak anak-anak SD berlarian keluar dari sekolah menuju pintu gerbang
dan pergi. Akhirnya Adjeng SD pun muncul, berjalan santai seorang diri.
Sedangkan di depan pintu pagar, telah menunggu Ibunya dengan gaun merahnya.
Cerita ini merupakan pengembangan cerita dari cerpen Lt. Dari sana, adegan pun
berganti ke adegan di sekolah Adjeng SMPgambar nomor 7-8 (adegan 31 film
MBSM) dan di kamar Adjeng SMPgambar nomor 9 (adegan 32 film MBSM).
Berikut adalah kutipan cerpen Lt dari sekuen 1 event b yang ditransformasi
ke film pada adegan 26 s.d. 28, sebagaimana gambarnya telah dicuplik pada
gambar 6 di atas, beserta kutipan dialognya di dalam film.
Pada suatu hari Minggu, keingintahuan saya mendesak kuat. Saya
mengintip dari sela-sela tirai yang sedikit terbuka ke dalam kamar

152

Ibu. Dan saya sangat kaget melihat seekor ular yang merah menyala.
Lidahnya menjulur keluar dan liurnya menetes ke bawah. Saya sangat
jijik melihatnya. Namun Ibu dengan rakusnya menelan habis liur ular
itu tanpa menyisakan satu tetes pun! Yang lebih mencengangkan lagi,
ular itu lalu berangsur-angsur mengecil, saya tak bisa membayangkan
sebelumnya bila ular itu tidak lain adalah lintah.
(DMA dalam cerpen Lintah, 2004: 12-13)
Dialog film:
Adjeng : (sambil meninggalkan laptop berjingkat menuju pintu dan
membukanya perlahan)
Pada suatu hari keingin-tahuan saya mendesak kuat.
Adjeng : Saya mengintip dari sela-sela tirai yang sedikit terbuka ke dalam
kamar Ibu.
(dialog Adjeng dalam adegan 26 film MBSM)
Adjeng : Dan saya sangat kaget melihat seekor ular yang merah
menyala. Lidahnya menjulur keluar dan liurnya menetes ke
bawah. Saya jijik melihatnya. Namun Ibu dengan rakusnya
menelan habis liur ular besar itu tanpa menyisakan satu
tetes pun!
Adjeng : Yang lebih mencengangkan lagi, ular itu lalu berangsurangsur
mengecil.
Adjeng : Saya tidak bisa membayangkan sebelumnya, bila ular itu tidak
lain adalah
Adjeng : Sayang, mau kemana? Kamar mandi tamu di sana
Adjeng : Lintah
(dialog Adjeng dalam adegan 27 film MBSM)
Penggarapan cerita pada adegan 26 dan 27 merupakan split dari cerita
cerpen Lt. Pada cerita sebelumnya, adegan 25 film MBSM, merupakan adegan
ranjang Andien dengan Lelaki yang baru dikencaninya, adegan terjadi di ruang
tamu apartemen Adjeng. Oleh karena mendengar rintihan dan desahan nafas
Andien dan Lelaki, Adjeng pun penasaran untuk mengintip apa yang tengah
terjadi.

153

Adegan
Cerita penasaran Adjeng untuk mengintip apa yang terjadi di kamar Ibu
seperti yang terjadi di ruang tamu apartemen Adjengmerupakan cerita dalam
cerpen Lt. Di sinilah split cerita cerpen Lt (dari sekuen 1 event b) masuk ke dalam
cerita film. Pada adegan ini telah terjadi tumpang tindih logika cerita dari cerita
Andien dan Lelaki kencannya menjadi cerita atau adegan Ibu dengan Lintah
seperti yang ada dalam cerpen Lt, seperti yang ada dalam angan Adjeng. Inilah
satu cara yang dilakukan dalam menghadirkan cerita cerpen ke dalam film.
Berikut adalah cuplikan gambar detail split cerita tersebut dari adegan 25-27.

MBSM
Gambar 7. Split cerita cerpen di dalam
film
adegan 25
-27

154

Dari rangkaian gambar di atas, pada gambar bernomor 1 berkisah


datangnya Andien yang membawa Lelaki kencanannya ke apartemen Adjeng.
Oleh karena Adjeng akan bekerja (gambar nomor 2) maka Andien dan Lelaki
tidak diizinkan Adjeng untuk kamarnya. Maka mereka menggunakan sofa di ruang
tamu untuk tidur. Pada saat Adjeng tengah asik mengetik di kamarnya (gambar
nomor 2) ia mendengar suara-suara berisik dari luar, serta suara desahan nafas
Andien dan Lelaki. Ia mulai terusik. Adjeng pun kemudian penasaran untuk
melihat apa yang terjadi di luar. Maka ia pun mengintip dari celah pintu yang tidak
tertutup rapat (gambar nomor 3). Dalam gambar berikutnya (nomor 4) yang
tampak sudah bukan Andien dan Lelaki lagi, melainkan Ibu dengan Lelaki. Split
tokoh telah terjadi dalam adegan ini. Sampai dengan gambar nomor 6 kejadian
masih sama, yaitu Ibu dengan Lelaki. Pada gambar nomor 6 Lelaki bangkit untuk
pergi ke kamar mandi dan kebetulan lewat di depan pintu kamar Adjeng dimana
Adjeng tengah berdiri mengintip di sana. Melihat kejadian tersebut, Adjeng pun
mundur dengan tampak kecemasan (gambar nomor 7). Adegan pada gambar ini
sekaligus menunjukkan sifat traumatik yang dialami oleh Adjeng di masa kecilnya
(pada cerpen Lt) akibat ulah pelecehan yang dilakukan oleh Lintah kepadanya.
Pada gambar delapan, Ibu telah kembali berubah menjadi Andien, ia
menggeliatkan tubuhnya di atas sofa, sambil menunjukkan letak toilet kepada
Lelaki. Setelah itu, gambar nomor 9, yang tampak di gambar adalah bergantinya
tokoh menjadi Lintah dan Ibu, bukan lagi Andien dan Lelaki seperti yang pertama
kali masuk pada adegan 25.

155

Adegan
Kejadian demi kejadian dalam adegan-adegan tersebutseperti tergambar
pada rangkaian gambar 7 di atasmenunjukan bagaimana split-split cerita cerpen
hadir dan dimasukkan ke dalam cerita film. Campur aduk terjadi, dari awal kisah
Andien dengan Lelaki kemudian menjadi Ibu dengan Lelaki, dan akhirnya
menjadi Ibu dengan Lintah. Cerita tersebut juga dalam rangka fungsi
menampilkan sifat trauma Adjeng dengan masa lalunya yang terbawa hingga ia
dewasa. Trauma dan kebencian pada hubungan Ibu dengan Lintah, kepenasaranan
Adjeng dengan hubungan Ibu dan Lintah, dalam cerpen Lt, yang terbawa
kemanamana. Bahkan hingga ketika ia mendengar desahan dan rintihan Andien
dan Lelaki pikiran dan perasaannya terbawa ke masa lalu, yaitu pada kisah Ibu
dengan Lintah. Dengan representasi gambar yang demikian juga tercermin kalau
Adjeng dengan skizofreniknya sudah tak lagi mampu membedakan antara kini dan
masa lalu, bayangan pikiran dan kenyataan, antara orang lain dengan Ibunya.
Hingga ketika ada peristiwa yang terjadi yang mirip dengan kisah berat masa
lalunya, cerita itu kembali muncul dan menguat dalam dirinya.
Selain itu, fragmentasi-fragmentasi cerita juga tampak dalam rangkaian

156

gambar berikut.

Gambar
8 . Fragmentasi adegan
33, 34, 35dalam filmMBSM

Cuplikan gambar 8 juga merupakan rangkaian cerita lanjutan dari


adengan-adegan pada cuplikan gambar 6 yang juga menunjukan sifat fragmentaris
penceritaan. Pada gambar dengan nomor 1 pada rangkaian gambar 8 ini, terlihat
gambar Bi Inah yang sedang menyetrika, sedangkan gambar nomor 2 adalah
gambar televisi yang ada di kamar Bi Inah, tepat di belakang Bi Inah yang sedang
menyetrika (adegan 33 film MBSM). Fragmentasi terjadi dari adegan ini, dari
televisi di kamar Bi Inah ke televisi di ruang keluarga rumah Adjeng SD (gambar
nomor 4, dari cerita cerpen Lt). Di sana terlihat Adjeng SD yang tengah duduk
menonton televisi yang sedang memindah-mindah channel televisinya. Lalu ia
mendapati acara talk show wawancara dengan menghadirkan Ibunya sebagai
narasumber. Padahal pada adegan sebelumnya, Bi Inah, adalah rangkaian adegan
Adjeng SMP (adegan 34-35 film MBSM).

157

Adegan
Fragmen-fragmen cerita juga terlihat pada adegan 41 ke 42 film MBSM.
Pada adegan 41 diceritakan Lintah sedang mengemudikan mobil, mengantarkan
Adjeng SD ke sekolah. Insiden pun terjadi pada saat itu, Lintah meraba-raba paha
Adjeng SD. Sementara Adjeng tidak bisa membela apa-apa, ia hanya bisa diam
pasrah menerima apa yang dilakukan oleh Lintah pacar Ibu. Dari adegan 41, yang
bercerita Adjeng SD dan Lintah di dalam mobil, tiba-tiba cerita berganti ke kisah
Adjeng dewasa yang sedang meminta Asmoro, pacarnya, untuk mengomentari
cerpennya. Cerita terjadi dengan latar di kamar apartemen Adjeng (adegan 42 film
MBSM). Pada adegan ini pergerakan cerita yang terjadi adalah dari cerita Adjeng
SD

ke cerita Adjeng dewasa.


Berikut cuplikan gambarnya.

Gambar
9 . Fragmenta
si adegan
41-42 dalam filmMBSM

Fragmentasi alur juga semakin banyak dilakukan pada bagian akhir cerita
film. Bukan hanya itu, pengobrak-abrikan logika juga dilakukan pada bagian
tersebut. Flashback dengan scene-scene sebelumnya juga terjadi. Penggarapan
seperti ini dimulai dari scene 79 sebagai dasar logika ceritanya. Berikut cuplikan
rangkain gambar dan ilustrasi ceritanya.

158

Gambar 10.Fragmentasi adegan


-8279dalam filmMBSM

Dari cuplikan gambar pada rangkaian gambar 10 di atas cerita yang terjadi
pada Adjeng, dari gambar nomor 3, 4, 5, dan 6, merupakan kisah masa lalu Adjeng
yang muncul kembali dan menguat dalam pikiran Adjeng. Kisah ini di awali dari
pertengkaran antara Adjeng dengan Asmoro (adegan 79 film), terlihat dalam
gambar nomor 1, yang berujung kemarahan Asmoro. Sebagai bentuk
kemarahannya, ia lalu membekap Adjeng dan memutuskan hubungannya dengan
Adjeng. Sementara Adjeng yang lemas dan kehabisan nafas hanya bisa tergeletak
di atas kasur. Pada saat itulah pikirannya terbawa hingga ke masa lalunya. Gambar
nomor 3 merupakan flashback pada adegan 36cerita Adjeng SD yang sedang
serius menonton televisi acara talk show yang menghadirkan Ibu sebagai bintang
tamu, lalu tiba-tiba datang Lintah, pacar Ibu, dari belakang lalu meremas dan
mengecup pundaknya. Fragmen ini dikemas dalam rangka fungsi menunjukkan
bayangan atau ingatan Adjeng dengan masa lalunya yang sering diganggu dan
diperlakukan tidak senonoh oleh Lintah. Hal ini juga menunjukkan betapa dendam

159

Adegan
dan kebenciannya kepada Lintah dan hubungan Ibu dengan Lintah masih terbawa
hingga usianya dewasa.
Sementara ingatannya lepas dari kejadian di depan televisi, Adjeng teringat
dengan peristiwa di mobil ketika ia di antar berangkat sekolah oleh Lintah. Pada
momen seperti itu, di dalam mobil, Lintah terus menggunakan kesempatan untuk
menggerayanginya. Sambil mengemudikan mobil, tangan Lintah menggerayangi
paha Adjeng SD. Untuk melukiskan bayangan ini, fragmen cerita digambarkan
seperti terlihat pada gambar nomor 4. Cerita adegan 81 pada film MBSM ini
sekaligus merupakan flashback cerita dari adegan 41 film MBSM.
Fragmen cerita terus berjalan ke adegan 82. Pada scene ini dilukiskan
peristiwa di buthup kamar mandi Adjeng SD. Seperti scene sebelumnya lagi-lagi
cerita berkisah seputar perlakuan pelecehan yang dilakukan Lintah kepada Adjeng
di masa kecilnya. Pada adegan ini, yang juga flasback adegan 77, dilukiskan
Adjeng SD yang sedang mandi, berendam di buthup (pada gambar nomor 5).
Tiba-tiba Lintah datang, masuk ke dalam kamar mandi. Ia pun kemudian melapas
baju mandinya dan segera naik ke atas buthup. Pada adegan ini digambarkan kalau
Lintah telah melakukan pelecehan seksual, pemerkosaan terhadap Adjeng SD di
dalam buthup dengan visualisasi bertebarannya banyak lintah di dalam air di
buthup dan kemudian disusul dengan perubahan warna air menjadi merah, sebagai
penggambaran darahpada scene 77. Adegan 82 pun berakhir dengan
tergeletaknya di atas buthup Lintah setelah dipukul oleh Ibu yang tiba-tiba saja
datang dan telah berdiri di samping buthup sambil memegang sebilah kayu yang

160

dipakai untuk memukul kepala Lintah. Melihat kejadian ini, Adjeng SD pun
tercengang.
Kisah-demi

kisah

pengalaman

masa

lalu

susul-menyusul

hadir

membayangi langkah dan pikiran Adjeng dewasa. Kesal akibat pertengkarannya


dengan Asmoro ternyata membawanya pada ingatan kekelaman masa lalu hingga
bertumpuk-tumpuk hadir di hadapannya. Munculnya fragmen cerita dipukulnya
Lintah oleh Ibu baru pada scene 82 adalah dalam rangka fungsi menunjukkan
adanya satu sisi pemikiran kembali, dekonstuksi pikiran dalam benak Adjeng,
akan sikap dan sifat Ibu terhadapnya. Ibu yang selama ini di anggap tidak pernah
berpihak

kepadanya,

tidak

pernah

memperhatikannya,

tidak

pernah

memperdulikannya, ternyata semua itu mungkin salah. Ada pengubahan sudut


pandang dan anggapan terhadap sikap Ibu terhadapnya selama ini. Dari sini
kekesalan, kebingungan, dan kekacauan hadir bertumpuk-tumpuk. Adjeng pun
kemudian meluapkannya dengan berteriak sekuat tenaga. Berikut cuplikan gambar
dan ilustrasi cerita
nya.

Gambar 11. Fragme


ntasi adegan-84
83 dalam filmMBSM

Rangkaian gambar tersebut merupakan lanjutan adegan pada rangkaian


gambar 10. Gambar nomor 1 merupakan cuplikan gambar pada adegan 83. Pada

161

Adegan
scene ini digambarkan, karena kekesalan dan kekacauan pikiran Adjeng, baik oleh
sikap dan pertengkarannya dengan Asmoro maupun pada semua bayang-bayang
masa lalunya yang tak bisa lepas dan mendamaikannya, maka ia pun berteriak
sekuat-kuatnya sambil masih terkapar di atas kasur. Gambar nomor 1 tersebut
sekaligus menunjukkan fragmentasi yang terjadi dari gambar nomor 6 pada
rangkaian gambar 10 di atas, dari flashback Adjeng kecil peristiwa di buthup ke
kisah Adjeng dewasa.
Rangkaian cerita dalam adegan 83 dan 84 ini seolah menunjukkan masih
adanya satu kekuatan hubungan batin antara Ibu dengan anak, yaitu seorang Ibu
bisa merasakan apa yang tengah dirasakan oleh anaknya, terutama jika kejadian
yang di alami oleh anaknya adalah kejadian buruk. Hal ini dilukiskan dengan
rangkaian gambar nomor 1 ke gambar nomor 2. Teriakan kekacauan dan
kekesalan batin Adjeng (gambar nomor 1), dan pergantian fragmen ke gambar
nomor 2, ternyata melukiskan hubungan itu, yaitu mampu membangunkan Ibu
yang sedang tidur. Pada gambar nomor 2 terlihat adegan Ibu yang tiba-tiba
terkejut bangun oleh, seolah-olah, teriakan Adjeng. Apalagi dikuatkan dengan Ibu
yang kemudian terlihat menelepon Adjeng (gambar nomor 3).
Fragmentasi juga muncul sekaligus menghancurkan logika cerita. Mulai
dari scene 86 sampai dengan 90 logika penonton seolah-olah dikacaukan.
Hubungan tokoh satu dengan tokoh lain, serta latar cerita dijungkirbalikkan dan
dicampuraduk. Termasuk pula posisi dan peran tokoh satu dengan lainnya semakin
dikacaukan.

162

Pada adegan 86, cerita terjadi di rumah Ayah. Pada saat itu masih terdengar
dering telepon, sambungan dari telepon Ibu pada scene 84, yang masih
menyambung hingga ke adegan 86. Cerita kemudian berlanjut pada munculnya
Ayah dari balik pintu sambil membetulkan kancing bajunya. Pakaiannya rapih
berdasi. Ketika hampir melewati meja telepon ia pun berhenti dan berteriak
memanggil pembantunya. Lalu tubuh ayah menghilang di balik pintu. Sampai di
situ, cerita berpindah ke adegan 87, yaitu adegan Bi Inah. Pada saat itu Bi Inah
tampak sedang mencuci. Seolah mendengar dipanggil oleh majikannya, Bi Inah
lantas meletakkan baju yang sedang diperasnya ke dalam ember, lalu berbegas
bangkit berdiri dan pergi. Sementara bunyi telepon terus mengiring sampai ke
scene ini.
Adegan 87 berakhir di situ, cerita kemudian berlanjut ke adegan 88. Kisah
beralih ke Lintah, pacar Ibu. Latar cerita adalah di dalam ruang depan sebuah
rumah. Di sana ia tampak mengenakan pakaian oleh raga dan sedang
membetulkan tali sepatunya. Ia mengenakan kaos lekton dengan handuk kecil di
pundaknya. Sesaat kemudian ia pun beranjak pergi joging dan hilang di balik
pintu. Sampai dengan adegan ini dering telepon masih belum terputus. Berikut

163

Adegan
adalah cuplikan gambarnya.

Gambar 12. Fragmentasi adegan


-88 film
86 MBSM

Cerita kemudian berganti ke adegan 89 dan 90. Pada dua adegan inilah
terjadi penjungkirbalikan dan pengacauan logika penonton terhadap semua cerita
yang ditontonnya. Konstruksi cerita yang telah terbangun dibongkar dan di
acakacak.
Cerita adegan 89 terjadi di eksterior. Hal yang pertama kali ditampilkan
dalam layar adalah munculnya mobil antar-jemput sekolah berwarna hitan yang
berhenti tepat di depan sebuah rumah. Sementara di depan sebelah kiri tempat
mobil antar-jemput tadi berhenti, tampak sebuah mobil sedan berwarna merah
terparkir di depan sebuah rumah. Lokasi lebih mirip dengan lingkungan
perumahan, dengan jalan paving yang tidak terlalu lebar dan rumah berjejer
berdempetan. Beberapa saat kemudian muncul dari arah kiri mobil Adjeng SMP
dan Adjeng SD berrangkulan. Lalu dari depan mobil tampak tergesa-gesa Asmoro
muncul dan membukakan pintu mobil untuk Adjeng SD dan Adjeng SMP. Mereka
berdua pun masuk. Mobil kemudian tampak pergi melewati jalan paving tersebut.
Di sini satu konsep tokoh Adjeng SD, Adjeng SMP, dan Asmoro tampak
dikacaukan. Dengan adegan demikian, yang tampak kemudian adalah antara

164

Adjeng SD dan Adjeng SMP adalah dua orang yang hidup pada masa yang
bersamaan. Atau bisa dianggap mereka adalah kakak-adik yang hendak berangkat
ke sekolah. Sedangkan Asmoro, yang dalam kisah Adjeng dewasa adalah pacar
Adjeng, merupakan sopir mobil antar-jemput sekolah tersebut. Di sini
penjungkirbalikan logika dilakukan terhadap tokoh Adjeng kecil dan Asmoro.
Berikut cuplikan gambar dari adegan 89.

Gambar13.

Fragmentasi
dan pengacauanlogika tokoh pada adegan89 film

MBSM
Pengacauan logika cerita pada adegan 89 bukan saja terjadi pada cerita dan
cuplikan gambar di atas. Rangkaian gambar berikut ini merupakan rangkaian
cerita lanjutan scene 89 ini, sekaligus lanjutan cerita dari gambar 13 di atas. Pada
rangkaian gambar berikut, pengacauan logika bukan hanya dilakukan terhadap
tokoh Adjeng SD, Adjeng SMP, dan Asmoro, tetapi juga terhadap relasi
antartokoh dan latar yang telah dikonstruk dalam scene-scene sebelumnya.

165

Adegan
Berikut cuplikan gambar dan ilustrasi ceritanya.

Gambar14. Fragmentasi
dan pengacauan
logika cerita dalam adegan89 film

MBSM
Saat mobil antar-jemput sekolah melintas pergi (gambar nomor 1), datang
berpapasan gerobak makanan keliling lalu berhenti di sebuah rumah karena
dipanggil oleh seorang perempuan yang ternyata adalah Bi Inah. Lalu tampak
muncul Bi Inah menghampiri gerobak tersebut. Lalu pada gambar nomor 2, dari
rumah sebelah tempat Bi Inah muncul Ibu juga menghapiri gerobak makanan
keliling. Ibu tersebut ternyata adalah Ibu Adjeng. Antara Ibu dengan Bi Inah pun
saling menyapa (gambar nomor 3). Pada gambar nomor 3 juga tampak tokoh
Bapak dan Lintah. Tokoh Bapak ternyata muncul dari rumah tepat tempat mobil
sedan merah terparkir. Pengacauan logika cerita yang dilakukan adalah dalam
relasi tokoh Bapak dengan Bi Inah. Dalam cerita sebelumnya Bi Inah adalah
pembantu Bapak. Juga pada adegan 87 dimana diceritakan Bapak yang
memanggil pembantunya dengan panggilan Bi karena bunyi telepon yang terus
berdering. Akan tetapi, yang terjadi di sini adalah antara Bapak dengan Bi Inah
muncul dari dua rumah yang berbeda, rumah yang saling berhadapan. Pada frame
yang sama juga muncul sosok Lintah yang tengah joging, melintas di
tengahtengah mereka, dan aksi Bapak yang melambaikan tangan pada Lintah

166

untuk saling menyapa. Sampai dengan scene ini suara telepon pun masih terus
berdering mengiringi.
Pengacauan logika dilakukan kembali pada scene terakhir film
transformasi ini. Pada scene 90 ini, pengacauan dilakukan terhadap tokoh Adjeng
SD dan Adjeng SMP ke Adjeng Dewasa. Hal yang tampak dalam adegan 90 ini
adalah Adjeng dewasa menyaksikan aktifitas Adjeng SD dan SMP yang, pada
cerita adegan sebelumnya diceritakan, akan berangkat ke sekolah dengan mobil
antar-jemputnya. Pada saat itu Adjeng dewasa tengah berada di aparemennya,
yang teletak di lantai atas, dan melihat ke bawah dari balik tirai jendela kaca
kamar apartemennya. Bukan hanya itu, komunikasi antara Adjeng SD/SMP dan
Adjeng dewasa juga terjadi. Pada saat itu Adjeng SD/SMP melambaiakan tangan
kepada Adjeng dewasa. Demikian pula Adjeng dewasa, ia pun membalas
lamabaian tangan itu serta tersenyum kepada meraka. Berikut cuplikan gambar
yang melukiskan bagaimana pengacauan logika dilakukan.

Gambar 15. Fragmentasi dan pengacauan cerita pada tokoh Adjeng dalam adeg

90 film MBSM
Pengacauan logika cerita yang demikian merupakan sebuah penggarapan
dalam rangka fungsi menunjukkan sifat Adjeng dewasa yang sudah tak bisa lagi

167

Adegan
membedakan antara alam nyata dan alam yang ada di dalam bayangan atau
pikirannya. Berusaha menunjukkan masih adanya komunikasi antara masa lalu
dengan masa sekarang, terutama dalam pikiran Adjeng, berangkat dari pluralitas
pengalamannya. Hal ini pula untuk menyatakan atau menunjukkan sifat traumatik
yang dialami Adjeng dari pengalaman masa lalunya. Fragmen-fragmen yang
digarap tanpa dialog dari adegan 80 sampai dengan adegan 90 dan berisi
flashback serta bayangan pikiran Adjeng merupakan satu upaya menunjukkan
bagaimana kekacauan pikiran yang dialami oleh Adjeng, serta kebenciannya pada
hubungan Ibu dengan Lintah yang terus membekas hingga ia dewasa. Hal ini
ditunjukkan dengan dialognya yang terakhir, Ibu saya memelihara seekor
lintah, sambil mengetiknya di laptop, setelah dari telepon terdengar suara Ibu
menanggilnya, Jeng Jeng. Akan tetapi Adjeng tetap mengabaikannya, dan
mulai asik mengetik kalimat demi kalimat cerpennya yang, kemudian, diberi judul
Lintah.
Secara keseluruhan representasi parodi posmodernisme yang ditampilkan
dalam film MBSM ini di satu sisi merupakan satu bentuk pemberontakan karakter
narator (dalam hal ini adalah Adjeng) terhadap dominasi kekuasaan yang
ditimpakan terhadap dirinya, yang menurutnya tidaklah menguntungkan bagi
dirinya. Pengalaman buruk masa lalu: hubungan ibu dengan teman laki-lakinya
ataupun ayah dengan teman-teman perempuannya (yang bisa dianggap lebih jauh
telah melacur), tidak pernah dirasakannya atau didapatnya kasih sayang dari oang
tua terhadap dirinya, keheningan kesendirian, hingga teror kejahatan seksualitas
yang terjadi kepadanya. Sementara kritik yang diberikan adalah kritik terhadap

168

secara lebih khususorangtua yang mestinya menjadi pelindung anaknya dari


berbagai persoalan, baik kejahatan fisik maupun psikis. Tidak adanya jaminan
perlindungan dan perhatian dari orang tua akan hal tersebut, menjadi satu titik
berangkat kritik dari karya tersebut melalui representasi parodisnya. Satu bentuk
pemberontakan yang dilakukan oleh tokoh utama sekaligus narator dalam film
adalah dengan melanggar dan menerobosi norma yang selama ini dianggapnya
tabu, ia justru melakukannya, seperti yang dilakukan oleh ibu dengan laki-laki
kekasihnya dan oleh ayah dengan perempuan-perempuan yang dibawanya pulang.
Sisi lain dari penggarapan film MBSM dengan konstruksinya dapat dibaca
sebagai satu bentuk dekonstruksi sekaligus rekonstruksi. Berangkat dari
konstruksi cerpen, yaitu dua cerpen Lt dan MJ dengan konstruksi ceritanya;
kemudian didekonstruksi melalui penghadirannya di dalam film dengan
bentuknya yang fragmentaris dan tumpang-tindih, hadir dalam satu cerita, tetapi
seolah-olah memiliki logika cerita sendiri-sendiri. Selanjutnya cerita atau bentuk
tersebut pun kemudian direkonstruksi melalui salah satu scene 66 film MBSM
yang berkisah suasana ulang tahun Ibu yang dirayakan dengan kejutan oleh anak
dan ayah. Rekonstruksi yang dilakukan adalah bahwa ada penggabungan dua
cerpen itu memiliki hubungan atau keterkaitan, yaitu berembrio dari satu keluarga
yang kemudian pecah atau berpisah. Hal tersebut juga dikuatkan dengan beberapa
kali tokoh Ibu di dalam film menyebutkan kata ayah untuk menunjuk ayah
Adjeng di dalam film, dalam beberapa scene, termasuk scene 48 film MBSM yang
mengisahkan Ibu sedang mencari suaminya di salah satu kamar di sebuah hotel
dengan diikuti oleh Adjeng kecil (SD). Akan tetapi, kemudian rekonstruksi ini pun

169

Adegan
di dekonstruksi kembali dengan menunjukkan bahwa adegan perayaan ulang
tahun pada scene 66 ternyata hanya mimpi dan lukisan Adjeng SMP dan tidak
pernah terjadi secara nyata, baik dalam film maupun dalam cerpen sendiri. Bentuk
dekonstruksi yang lain adalah skizofrenik yang dialami oleh Adjeng dan
kehidupan Ayah dan Ibu yang hingga pada akhir cerita tetap menjadi sebuah
kehidupan dua karakter yang berbeda, sendiri-sendiri, dan tidak pernah ada saling
kontak dalam satu relasi yang menunjukkan adanya hubungan sebagai sebuah
keluarga atau bekas keluarga.
Dalam bentuk diagram, konstruksi dan dekonstruksi bentuk dari dua jenis
karya tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.

KONSTRUKSI

Dua cerpen, dua cerita

DE KONSTRUKSI

Dihadirkan secara fragment


asi dalam satu
film

RE KONSTRUKSI

Scene66 film MBSMsebagai titik temu


dan logika cerita dua cerpen

DE KONSTRUKSI

- Scene66 hanya mimpi Adjeng SMP


- Skizofrenik Adjeng
- Kehidupan Ayah dan Ibu

Diagram
5 . Konstruksi
- Dekonstruksi Cerita

170

3.1.2 Doubleness: antara Menerima dan Menolak Ideologi Idealitas


Selain alur yang fragmentaris, sifat posmodernisme juga muncul dari
komposisi cerita baik cerpen maupun filmnya. Di dalam film, struktur
penceritaannya

berangkat

dari

pandangan

tokoh

dan

perkembanganperkembangannya yang mengikuti karakter tokoh utama, yaitu


Adjeng. Di sini tokoh menjadi penggerak cerita. Hal ini berkebalikan dengan
cerpennya. Cerpen menggunakan plot-driven story, sedangkan film menggunakan
character-driven story. Kalau dalam cerpen, cerita mengalir, tokoh mengikuti
jalannya cerita, terutama terjadi dalam cerpen Lt. Sedangkan di dalam cerpen MJ
meskipun sebagian besar masih plot-driven, tetapi benih character-driven justru
muncul pada bagaian akhir cerita, yaitu melalui satu pengalaman tokoh: Mayra
mulai melukis jendela. Sementara di dalam film cerita digerakkan oleh tokoh
utama.
Konflik yang terjadi dipicu dari action yang dilakukan oleh tokoh utama hingga
menggerakkan jalannya cerita.
Penggarapan alur demikian memiliki fungsi terhadap jalan cerita yang
dialami tokoh utama. Di dalam cerpen, pemilihan plot-driven dalam rangka fungsi
semakin menunjukkan ketidakberdayaan seorang Maha dalam berusaha merebut
perhatian dan menyampaikan ketidak sukaannya akan hubungan Ibu dengan
Lintah. Melalui plot-driven tokoh dibuat semakin dalam kondisi terpojok dan
kelam dalam pengalaman buruknya. Sementara di dalam cerpen MJ, kurang lebih
sama, lebih ditekankan untuk menunjukkan kekesalannya pada keadaan, pada
ketidakhadiran seorang Ibu yang dapat memberikan perhatian dan kasih-sayang,

171

Adegan
pada kekesalannya dengan kebiasaan keseharian Bapak yang hanya mengetik di
dalam kamar tiap kali di rumah, atau justru bersenang-senang dengan perempuan
yang dibawanya pulang, tanpa pernah memperhatikan Mayra yang membutuhkan
perhatian orang tua.
Selain penggarapan alur, masih terkait dengan karakter tokoh utama,
transformasi cerpen ke film telah menghasilkan satu perubahan signifikan pada
tokoh. Tokoh Adjeng dewasa telah lahir sebagai tokoh dengan karakter yang
mendua, doubleness. Pengalaman kelam masa lalunya telah menjadi momok yang
mengurung Adjeng hingga berpengaruh pada dirinya ketika ia dewasa. Ia tumbuh
dengan dua karakter melekat. Di satu sisi, ia adalah sosok yang sangat agresif dan
permisif ketika di hadapan teman-teman (Andien dan Venny) dan kekasihnya
(Asmoro). Akan tetapi, di lain sisi, ia terlihat begitu pasif ketika di hadapan
ibunya.
Sifat doubleness pada karakter Adjeng terjadi sangat tampak di dalam film.

Berikut kutipan gambar dan dialog bagaimana dualitas karakter Adjeng, teman

dan pacarnya

172

agresif
- permisif dan
pasif.

Gambar 16. Sikap


Adjeng

yang agresif dan permisif ketika di hadapan teman

Pada gambar nomor 1, dari rangkaian gambar di atas, terlihat sikap Adjeng
yang bebas dan agresif ketika ia berada di luar, di luar kendali Ibu. Di dalam bar
bersama teman-temannya ia tampak bergitu menikmati hidupnya. Ia pun begitu
permisif. Ini juga terjadi seperti pada gambar nomor 2, di sana dikisahkan
pembeberan Adjeng kepada teman-temannya tentang apa yang telah ia lakukan
terhadap Asmoro, kekasihnya beberapa waktu sebelumnya. Dari adegan ini
terlihat bagaimana ia begitu bebas dan terbuka dengan teman-temannya, bahkan
untuk urusan yang sangat pribadi, yaitu tentang hubungannya dengan kekasihnya.
Berikut kutipan dialog adegan 23 film MBSM yang terjadi antara Adjeng, Andien,
dan Venny yang terjadi seperti pada gambar nomor 2 di atas.
ANDIEN : Bravo, Djeng! Biar mampus aja tuh lakor, dipikirnya kita
restoran padang 24 jam apa?! Selalu buka kapan aja dia mau
jajan!
ADJENG : Dalem bener.pengalaman pribadi?
VENNY : Tapi baik juga dia yaGak maksa. Gak nagih lagi.
ANDIEN : (dengan nada dan ekspresi lucu) Yeiyeleeeh.dia kan bisa
cara lain
VENNY : Maksud lu begini?
ANDIEN : Ngapain?! Kan ada bininyaaaauuuu.!!!!!
ADJENG : (berteriak sambil tertawa) Muonyeeeeeeet!!!!!!!!

173

Adegan
Selain di hadapan teman-temannya, sikap agresif juga terjadi ketika
Adjeng tengah bersama Asmoro, kekasihnya, seperti ditunjukan oleh gambar
dengan nomor 3 dari rangkaian gambar di atas.
Namun, di sisi lain, selain bersifat permisif dan agresif, Adjeng justru
bersifat pasif ketika di hadpan Ibunya. Bukan saja ketika dihadapan ibunya secara
langsung, tetapi ketika ia sedang berbicara di telepon dengan ibunya ketika sedang
bersama dengan teman-temannya ia akan berusaha tampil setenang mungkin.
Berikut cuplikan gambar dan kutipan dialog yang menunjukkan hal tersebut.

Gambar 17. Sikap Adjeng yang pasif ketika di hadapan Ibunya

Pada gambar nomor 1 rangkaian gambar ini tampak sikap Adjeng yang

cenderung pasif dan berusaha menurut ketika di hadapan Ibunya. Sedangkan


pada gambar nomor 2 dan 3 sikap pasif dan tenang dalam pembicaraan telepon
antara dirinya dengan Ibunya. Gambar nomor 2 dan 3 merupakan rangkaian
gambar lanjutan dari gambar nomor 2 pada rangkaian gambar 16 di atas, yaitu dari
adegan 23 film MBSM. Cerita dari gambar tersebut adalah Adjeng yang tengah
heboh bersama dengan teman-temannya di satu sudut kafe di Plasa Senayan tiba-

174

tiba ditelepon oleh ibunya, maka ia pun berusaha menenangkan, menyuruh temantemannya untuk diam, dan ia pun menerima telepon dari Ibunya.
Pada gambar nomor 3 dilukiskan bagaimana ia berusaha bersikap tenang ketika
berbicara dengan ibunya melalui telepon genggamnya. Berikut kutipan dialog dari
rangkaian adegan dalam gambar nomor 2-3 gambar di atas.
Di tengah riuh penungjung kafe dan canda tawa Adjeng dan
temantemannya, tiba-tiba ponsel Adjeng berdering. Ia pun segera
menjawab panggilan tersebut.
ADJENG : (dengan suara yang dibuat lembut dan tenang)
Hallo Mommy
ADJENG : Di Plaza Senayan, Mom. Tinta printer habis.
Sendirian, Mom. Ya, ntar nggak kemana-mana kok nulis. Iya, Iya, Ok
Mom. Bye.
ADJENG : (bete)
Ah, monyet. Gue mesti cabut ya soalnya nyokap gue
resek, ntar malah nelpon ke Apartemen lagi.
Dari kutipan dialog di atas, tampak bagaimana dualitas sikap yang dimiliki
oleh Adjeng, agresif-permisif dan pasif.
Melalui penggarapan karakter yang demikian, sikap Adjeng dewasa,
tampak plural dalam cerita. Seorang Adjeng tampil dengan dua karakter yang
berbeda, yang bekerja dalam kondisi dan orang yang berbeda pula. Ia sendiri
membiarkan itu ada dan tetap ada. Sikap pasif di hadapan ibunya yang di alami
Adjeng dewasa merupakan akibat atau pengaruh dari masa lalunya yang kelam,
baik atas sikap ibu terhadapnya, kebenciannya pada hubungan Ibu dengan Lintah,
hingga trauma perlakuan tidak senonoh yang dilakukan Lintah terhadapnya.

175

Adegan
Sifat agresif dan permisif Adjeng di satu sisi juga merupakan satu bentuk
pemberontakan dan pelarian, penolakan pada ideologi idealitas yang dimilikinya
pada masa ia kecil. Ideologi cerpen adalah ideologi idealitas. Baik pada Lt
maupun MJ, Maha dan Mayra, sama-sama berideologi idealitas. Mereka mencari
dan merindukan sesuatu yang ideal: bahwa sebuah keluarga harus memiliki
konstuksi lengkap, yaitu ada ayah, ibu, dan anak. Selain itu, seorang ideal dalam
pandangan Maha dan Mayra, atau Adjeng SD dan SMP di dalam film, juga adalah
bahwa orang tua harus memberikan kasih sayang dan perhatian kepada anak
sehingga hak anak adalah mendapatkan perlindungan, perhatian, dan kebahagiaan
dari orang tuanya.
Namun, karena pencarian idealitas tidak kunjung didapatnya, pada cerpen
MJ Mayra pun melukis jendela. Melukis jendela digunakan sebagai metafora
keluarnya Mayra dari ideologi idealitasnya. Ia menyadari dan harus bisa menelan
mentah-mentah kenyataan yang ada di depan matanya. Bahwa kenyataan
keluarganya tidak seperti pada lukisan yang digambarnya. Orang tua mereka juga
tidak lengkap seperti yang tergambar pada music box yang dipasangnya di kamar
mandi apartemen Adjeng, juga yang berputar dan mengeluarkan musik pada
malam ulang tahun Ibu.
Agresif dan permisif merupakan satu bentuk penolakan pada ideologi
bahwa seorang anak harus patuh dan menurut pada orang tuanya, bahwa ia harus
menerima apa yang dititahkan oleh ibunya, tidak boleh melawan dan
membantahnya, seperti menjilat kembali muntahan sayur dari dalam kloset,

176

minum vitamin dan makan buah apel, serta rutin mengonsumsi brokoli supaya
tidak kanker. Bahkan ketika ia punya unek-unek ia tak mampu menerobos untuk
menyampaikan dan membuat orang lain mempercayai dan membelanya.
Sedangkan di sisi lain lagi, pasif dan lembut merupakan satu bentuk penerimaan
pada ideologi idealitas itu sendiri. Dalam konteks ini, Adjeng dengan dualitas
karakternya, sifatnya, telah berada pada dua sikap terhadap ideologi idealitas:
yaitu antara menerima sekaligus menolak ideologi tersebut.

3.2

Politik dalam Transformasi Cerpen ke Film


Karya-karya posmodern, baik fiksi maupun visual, kerap menampakan

campur aduk paradoks dalam representasi-representasinyabaik yang fiktif


maupun historisyang ditawarkan sebagai sesuatu yang, menurut Hutcheon
(1991: 6), dipolitisasi dan secara tidak terelakan ideologis. Hutcheon (1991: 3)
juga berpendapat bahwa karya seni posmodern tidak bisa tidak politis. Politik
representasi posmodern menurut Hutcheon adalah nilai dan kepentingan ideologi
yang menyatakan setiap bentuk representasi. Dalam pandangan Althusserian
(seperti dikutip Hutcheon 1991: 32) ideologi adalah produksi representasi. Bagi
Hutcheon seni posmodernisme, melalui kerja parodi, merupakan modalitas dalam
proses kritik dan berusaha men-de-naturalisasi konvensi dan representasi tersebut
dengan melonggarkan sesuatu yang ganjil perekat, yang biasanya digunakan
sebagai pelabelan untuk mengikat produk konvensi. Ia bekerja dengan cara
menggunakan serta (secara ironis) menyalahgunakan konveni umum dan bentuk
representasi yang spesifik.

177

Adegan
Berdasarkan tesis dan konsep Hutcheon di atas, serta melihat hasil
transformasi cerpen Lt dan MJ ke dalam film MBSM yang menghasilkan satu
karya posmoseperti telah dibahas pada sub bab sebelumnyamaka pada bagian
ini dibahas sisi-sisi politis yang melekat pada transformasi karya tersebut. Sebagai
karya posmodern, dengan perubahannya yang signifikan, ia akan dikaji bagaimana
politik di balik representasi yang ada, yang meliputi nilai dan kepentingan
ideologinya.
Untuk membahas persoalan ini, pembahasan dirumahkan pada dua pokoh
pembahasan, yaitu perubahan signifikan tokoh utama dari kecil ke besar serta
segala relasi yang dimilikinya dan penganutan sekaligus penerobosan ideologi
idealitas yang muncul dalam karya. Pembatasan dan perumahan ini bertujuan
untuk

menyempitkan

dan

menyepesifikkan

pembahasan,

sesuai

dengan

permasalahan penelitian, sehingga pembahasan diharapkan akan lebih spesifik dan


terarah.

3.2.1 Kecil-Besar: Politik dalam Transformasi Tokoh Adjeng


Perubahan media yang digunakan dalam karya transformasi menuntut
berbagai perubahan. Hal ini dipengaruhi adanya karakter yang melekat pada
masing-masing media tersebut. Film melalui media audio-visual merupakan alat
komunikasi massa dengan audien yang lebih terbuka, dalam arti bisa ditonton oleh
siapa saja. Soal penikmatan juga lebih mudah bahkan cenderung menarik untuk
ditonton.

178

Persoalan demikian menjadi satu persoalan sekaligus alasan para pekerja


seni, khususnya sineas, mengkreasi dan melakukan penyesuaian-penyesuaian.
Penyesuaian juga dilakukan dalam fangka fungsi tertentu, artinya sengaja
diciptakan. Demikian juga pada kehadiran tokoh utama cerita dalam film MBSM
dari kecil menjadi dewasa. Dengan tokoh yang ditampilkan dewasa ada banyak
yang bisa disampaikan kepada audien. Pertama, orang dewasa memiliki
kemampuan dan kebebasan lebih dalam menyampaikan pendapat. Memiliki
kekuatan untuk menyampaikan sebuah konsep dan pikiran kepada orang lain.
Dengan konstruksi tokoh menjadi dewasa ada banyak hal, fakta cerita, yang
mampu di sampaikan oleh teks. Hal ini tentu saja terkait dengan berbagai faktor,
baik pengalaman, maupun perkembangan pemikiran dan ideologi yang dianutnya.
Kedua, perubahan kecil ke dewasa juga dalam rangka rungsi menawarkan ideologi
baru dalam norma hubungan antara orang tua dengan anak. Konter ideologi baru
terhadap yang lama berkembang dalam norma tersebut tampak pada cerpen Lt,
ketika Maha menyampaikan pendapat dan unek-unek pada ibu ditanggapi dengan
acuh, sekenanya dan sesuka hati. Bahkan kerab kali ibu menyalahkan Maha
karena dianggap berlebihan. Ibu lebih membela Lintah dari pada Maha, bagian ini
juga dihadirkan dalam film. Demikian pula sikap Ayah terhadap Mayra pada
cerpen MJ yang hampir tidak pernah memberikan perhatian dan kasih sayang
kepadanya. Pengalaman-pengalaman buruk masa lalu, karena adanya ideologi
idealitas di sana, berpengaruh secara psikologis ketika ia dewasa. Hadirnya tokoh
Adjeng menjadi dewasa di dalam film dalam rangka fungsi memberikan konter
terhadap norma hubungan orang tua dan anak, yang menempatkan anak di bawah

179

Adegan
kekuasaan orang tua. Ketimpangan kekuasaan antara orang tua dan anak ini
disebabkan oleh adanya keterpusatan kekuasaan pada yang kuat (orang tua) dan
subordinasi pada yang lemah (anak). Pandangan demikian berusaha dikonter teks
film dengan menegaskan melalui pewacanaan kekacauan psikologis orang dewasa
yang disebabkan oleh pengalaman masa kecil. Artinya, yang kecil atau yang
lemah adalah bagian dari yang besar, yang kuat atau manusia dewasa. Hal itu juga
dikuatkan dalam cerita film melalui relasi tokoh Adjeng dengan Asmoro dalam
karis kepenulisan seorang Adjeng. Perubahan tokoh utama dari kecil menjadi
dewasa menggerakkan cerita dari dulu ke sekarang. Dengan demikian, faktor
pengaruh masa lalu terhadap kehidupan seseorang lebih mampu divisualisasi dan
dielaborasi. Masa lalu yang dihadirkan sebagai flashback dalam filmdalam
fragmen-fragmen ceritamerupakan bukti masa lalu yang ditunjukkan dalam
teks cerita. Melalui konstruksi ini jalinan logika cerita lebih bisa disajikan, teks
mampu menunjukkan pengaruh masa lalu terhadap masa sekarang secara lebih
nyata. Dualitas karakter, sebagai akibat pengaruh pengalaman kelam masa lalu,
menjadi salah satu sarana menunjukkan pengaruh masa lalu pada masa sekarang.
Ketiga, di satu sisi konstruksi ini juga merupakan salah satu alternatif solusi yang
ditawarkan dan disarankan oleh teks, sebagai sarana kritik kepada pembaca atau
penonton (seperi diungkapkan Hutcheon). Keempat, dalam dunia komunikais
massa, seperti film, sensor menjadi sisi lain yang patut mendapat pertimbangan.
Untuk itulah, tokoh dihadirkan sebagai tokoh dewasa, menghindari sensor media.

180

3.2.2 Antara Menganut dan Menerobos Ideologi Idealitas: Politik dalam


Transformasi Ideologi
Transformasi cerpen Lt dan MJ ke MBSM dengan represenasi
posmodernisme-nya menunjukkan adanya unsur politik yang terrepresentasi pada
filmnya. Perubahan cerita dari masa kecil ke masa dewasa, misalnya, secara
signifikan mengandung unsur politik.
Melalui wadah tokoh Adjeng, ada nilai dan ideologi yang dianut sekaligus
pada saat yang bersamaan juga diterobosi, diikuti tetapi juga digembosi. Film juga
mencoba mengungkapkan suatau ketabuan, sesuatu yang selama ini oleh
masyarakat dianggap tabu untuk diperbincangkan, menjadi layak untuk
dikemukakan sebagai topik pembicaraan di masyarakat, mencoba melihat dari sisi
pandang yang berbeda. Pada satu sisi teks mencoba menunjukkan satu realitas
teks yang bisa sebagai bahan perenungan penonton.
Ideologi idealitas adalah ideologi yang kuat ada, ditunjukkan, dianut oleh
tokoh pada cerita cerpen, yaitu idealitas kehidupan: bahwa kehidupan harus baik;
bahwa kontruksi keluarga harus lengkap ada ayah, ibu, dan anak; juga bahwa
orang tua harus memberikan perhatian dan kasih sayang yang cukup kepada
anakanaknya. Itulah ideal yang dicari oleh tokoh dalam cerpen, baik Lt maupun
MJ.
Hal tersebut seperti tampak pada kutipan berikut.
Pada suatu hari saya mengadu kepada Ibu, bahwa saya sulit
beristirahat karena lintah itu sering meniduri tempat tidur saya. Di
luar dugaan Ibu membela lintah ketimbang saya. Ia mengatakan
bahwa saya melebih-lebihkan. Ibu tidak percaya semua pengaduan

181

Adegan
yang saya utarakan. Yah lintah ini memang sangat pandai menarik
hati Ibu. (DMA, Lintah, 2004: 12)
Saya pernah mencoba pura-pura terganggu nyamuk dan
menyemprotkan obat serangga ke seluruh ruangan dengan harapan
racun serangga itu dapat membunuh lintah. Tapi Ibu langsung
melompat dari duduknya dan menempeleng muka saya. Dan mata
lintah kelihatan benar-benar tertawa. (DMA, Lintah, 2004: 14)
Dari kutipan di atas terlihat satu idealitas yang diharapkan didapatkan oleh
seorang anak dari seorang ibu, yaitu perhatian dan kasih sayang. Hal lain juga
adalah keterbukaan, bahwa anak juga memiliki hak bicara untuk mengusulkan
sesuatu agn dirasa terbaik atau lebih baik untuk keluarga. Akan tetapi, kenyataan
yang ada adalah sebaliknya.
Di dalam cerpen MJ, ideologi idealitas juga memberi warna. Berikut
kutipannya.
Ibumu? Ibu yang mana? Ibu yang tidak pernah kami lihat satu
kali pun selama lima tahun bersekolah? Ibu yang tidak pernah datang
pada saat mengambil rapormu sekalipun?! Mereka ramai-ramai
tertawa. Seorang dari mereka berlima ikut berteriak, Aku mau lihat
ibumu, pasti ibumu yang menurunkan kecantikannya kepadamu. Biar
kami garap sekalian! mereka kembali tertawa sambil memegangi
perut. Mayra mengayunkan tinjunya, tepat mengenai hidung salah
satu anak laki-laki. Darah segar meleh dari dalam hidungnya. [.]
Tidak ada yang berubah sebelum dan sesudah Mayra
meninggalkan rumah kecuali mobil ayahnya yang sudah tidak
terparkir di dalam garasi. Segala sesuatu masih tetap berada di
tempatnya. Lukisan-lukisan karya para pelukis terkenal, dua patung
Bali di samping pintu kamar ayahnya yang terbuat dari kayu ukiran
Jepara, barang-barang antik dan bingkai foto ia dengan ayahnya,
semuanya rapi, bersih dan tidak terjamah.
Namun sama sekali tidak ada foto Ibu. Mayra menangis berlari
ke kamarnya dan mengeluarkan lukisan Ibu. Ia menumpahkan
kekecewaannya kepada Ibu. Tentang janji bahwa segala sesuatunya
akan lebih baik. Tentang kepuasannya berhasil meninju hidung
berandalan itu hingga berdarah. Dan ia mengadu tentang Ayah. Ayah
yang tidak pernah mau menceritakan asal usul Ibu. Ayah yang tidak

182

pernah ada di rumah atau di rumah namun menghabiskan waktu


seharian menulis di dalam kamar kerja. Mayra dapat merasakan
tangan Ibu mengelus-elus rambutnya lalu bersenandung menenangkan
dirinya. Mayra menggenggam tangan Ibu, menciuminya satu per satu.
(DMA, Melukis Jendela, 2004: 32-33)
Beberapa idealitas yang dicari dalam cerpen MJ seperti, diantaranya,
terlihat dalam kutipan di atas adalah kerinduan tokoh Mayra kepada Ibu. Mayra
yang hanya tinggal di dalam rumah bersama Ayah dan Bi Inah (pembantu) dan
tidak pernah datang seorang ibu di rumahnya, kecuali wanita muda yang selalu di
bawa oleh ayah, yang mengambilkan rapor Mayra, atau yang memberikan
kebahagiaan dan kasih sayang kepadanya. Belum lagi kekecewaannya pada ayah
yang sering tidak ada di rumah, atau hanya sibuk ngetik di kamar kalau pas di
rumah, atau bahkan sibuk dengan wanita muda yang dibwanya pulang, tanpa
menghiraukan kesepian dan kesendirian Mayra.
Persoalan lain yang juga di cari sekaligus di lawan adalah persoalan
norma. Ada kebencian yang dalam yang dialami tokoh dalam cerpen Lt, yaitu
persoalan pelecehan seksual yang dilakukan oleh Lintah kepada Maha. Tokoh
dalam cerpen masih menganut norma bahwa hal itu adalah tindakan yang tidak
baik, yang melanggar norma. Akan tetapi, hal itu pula yang diterobosi di dalam
film. Benih penerobosan terjadi pada cerpen MJ, melalui lukisan jendela yang
dibuatnya, tokoh menginginkan keluar, lepas dari beban norma dan idealitas yang
dicarinya. Bahwa semua harus ditelannya bulat-bulat karena ia juga tidak mampu
mengubah sesuatu menjadi seperti yang dikehendakinya. Berikut kutipannya dari
cerpen MJ.

183

Adegan
Mayra melukis jendela. Ia sudah merobek-robek dan membakar
lukisan Ayah dan Ibu. Ia merasakan dirinya dikhianati. Ia lebih
membenci lukisan Ayah dan Ibu ketimbang ayahnya yang seharian
pergi atau menulis di dalam kamar kerja atau mengunci diri dengan
wanita. Kebenciannya terhadap lukisan Ayah dan Ibu melebihi
kebenciannya terhadap Ibu yang tidak pernah berusaha untuk mencari
dirinya seperti yang selalu dikatakan Ayah kepadanya. Kepadanya
Ayah dan Ibu ia sudah tidak punya penghargaan apa-apa. Ia sudah
menerima bahwa kenyataan itulah yang mutlak ia telan bulat-bulat.
(DMA, Melukis Jendela, 2004: 37)
Secara umum film adalah representasi penerobosan ideologi idealitas yang
ada di dalam cerpen, yang menjadi masa lalu Adjeng. Melalui wadah tokoh
Adjeng, dengan segala karakter yang melekat, hadirnya tokoh lain yang merelasi
dengan dirinya, serta cerita yang melingkupinya, penerobosan ideologi
digambarkan. Dualitas karakter merupakan satu representasi dalam rangka fungsi
menyampaikan kepentingan ideologi kebebasan, keluar dari kungkungan masa
lalu yang kelam dan memberatkan, sehingga ia harus bebas dan merdeka,
menikmati hidup.
Namun, di sisi lain, dualitas atau doubleness karakter Adjeng juga
mengindikasikan adanya pemegangan norma. Melepas tetapi juga memeganginya,
menerobos tetapi juga menganutnya. Agresifitas dan permisifnya Adjeng
dihadapan teman dan kekasihnya dalah wakil penerobosan yang dilakukan, upaya
menuju kebebasan dirinya, upaya keluar dari kungkungan, jendela bagi
kehidupannya. Sebaliknya, pasif dan lembut ketika di hadapan Ibunya merupakan
bukti bahwa sekeras dan sebebasnya ia untuk keluar dari norma ternyata ia juga
masih memegang dan manganut norma itu sendiri. Di sinilah dualitas terjadi.

184

Penerobosan dilakukan dalam bentuk upayanya keluar dari kungkungan Ibu,


melalui latar tempat tinggal Adjeng di apartemen, serta simbolik menginjak-injak
pita merah dengan petanda bahwa ia tidak lagi memperdulikan efek kebebasan
(HIV-AIDS) yang ia lakukan. Adjeng dewasa adalah Adjeng dengan keinginan
keluar dari rumah, bebas dari kekuasaan dan kontrol orang lain. Hal yang
dinginkannya adalah kebebasan. Oleh karena itu, maka dengan melukis jendela
Adjeng melukis harapannya, membawa angannya, membawa dirinya, untuk keluar
dari keadaan yang ada. Dari idealitas yang dicita-citakan, tetapi tak kunjung
diperolehnya. Dalam hal ini, rumah berarti kungkungan, dengan keterbatasan,
ketidakbebasan, berada dalam kuasa dan pantauan orang lain, bahkan
ketidakbahagiaan; sedangkan luar rumah berarti kebebasan, kemerdekaan,
kenikmatan. Sehingga yang ada adalah oposisi biner antara rumah vs luar rumah.
Di samping itu, rumah juga identik dengan norma, sedangkan luar rumah adalah
keluar dari kungkungan norma. Luar rumah adalah sesuatu yang dicari oleh
Adjeng, tokoh utama. Akan tetapi, hal ini juga tidak sepenuhnya benar dilakukan
dan dianutnya. Berikut cuplikan gambar dari film MBSM yang menunjukkan
halkungkungan

185

Adegan
hal di atas.

Gambar18. Oposisi biner rumah dan luar rumah: penerobosannorma dan

Gambar bernomor 1 merupakan gambar di dalam rumah, menjadi wakil


adegan-adegan atau peristiwa-peristiwa kelam yang tidak mengenakan yang
terjadi di dalam rumah. Melalui adegan tersebut digambarkan bahwa rumah
identik dengan norma, kepatuhan, dan nihil kebebasan dan menyampaikan
pendapat. Oleh karena itu, tokoh mencari kebebesan di luar rumah. Pada gambar
bernomor 2, tokoh menjalani kebebasan di luar rumah. Ia agresif bersama
temantemannya. Di sana ia juga menemukan kenikmatan dirinya, kebebasan yang
dicarinya. Keluar juga bermakna keluar dari kemarahan orang tua, pergi dari
kungkungan orang tua, pergi dari yang dibencinya (kebencian pada ibu, sama
dengan kebencian pada hubungan ibu dengan lintah).
Namun, meskipun Adjeng mencoba keluar dari rumah, pergi dari rumah,
mencari kebebasan, meninggalkan norma, ternyata ia juga tidak sepenuhnya bisa
demikian. Pada suatu malam, kekacauan dan heterogenitas pengalamannya di

186

dunia luar rumah membuat kekacauan dalam dirinya, hingga akhirnya ia


merindukan kembali ibu. Merindukan ibu berarti merindukan rumah, kembali
kepada norma itu sendiri. Berikut rangkaian gambar pada scene film yang
menunjukkan cerita tersebut.

Gambar 19. Kerinduan Adjeng pada rumah

Gambar di atas merupakan rangkaian gambar dari adegan 73 s.d. 76.


Rangkaian gambar tersebut melukiskan diri Adjeng yang merindukan rumah,
merindukan Ibu. Dari rangkaian gambar tersebut bisa diceritakan bahwa Adjeng,
dengan segala yang melingkupinya selama ini, tiba-tiba kembali rindu pada ibu
yang selama ini dibencinya. Maka pada gambar nomor 1 ia tampak menelepon ibu
via handphone-nya. Gambar nomor 2 Adjeng tampak tengah menunggu jawaban
teleponnya. Gambar nomor 3 dan 4 adalah adegan Ibu yang tengah berada di
kamarnya, sedang tidur, dan terbangun mendengar teleponnya berbunyi. Ia pun
bangun mengangkat telepon. Akan tetapi tidak ada jawab dari si penelepon.

187

Adegan
Sementara Adjeng yang telah menghentikan mobilnya di depan rumah ibu
(gambar nomor 5), kemudian memutus telepon dan memacu mobilnya. Keheranan
Ibu pun kian muncul, setelah ia mendengar deru mobil di depan rumah dan sinar
lampu mobil yang menerobos jendela kamarnya, sehingga melongok keluar
(gambar 6). Kerinduan pada rumah, pada ibu juga tampak pada cerpen. berikut
kutipannya.
Hari itu terik matahari begitu menyengat. Seragam sekolah
saya basah oleh peluh yang tidak kunjung berhenti menetes.
Sesekali saya rasakan perih saat setitik peluh jatuh tepat pada
lukaluka bekas gigitan lintah. Namun penat dan perih mendadak
hilang setibanya saya di rumah. Saya sangat bahagia mendapatkan
mobil Ibu tidak ada. Saya masuk melalui ruang tamu yang kosong
tanpa mereka. Saya menengok rumah lintah yang rapi tak terjamah.
Saya masuk ke dalam kamar lengang dan kembali bahagia
bersemayam dalam dada. Saya membuka pintu kamar Ibu. Bau
wangai menergap hidung saya, menyergap kerinduan, menyergap
perasaan. Saya melangkah masuk. Memutar kunci dan merebahkan
diri di atas tempat tidur Ibu sambil memandang lukisan kami berdua
yang terpampang di atasnya. Apakah semua lukisan keluarga yang
menampakkan senyum bahagia hanyalah sandiwara? Pikir saya.
Tiba-tiba tercium bau yang sangat saya kenal dan begitu saya benci.
Tanpa dapat saya hindari lintah sudah berdiri tepat di depan saya.
Lintah itu berubah menjadi ular kobra yang siap mematuk
mangsanya. Matanya warna merah saga menyala. Jiwa saya
gemetar. Raga saya lumpuh. Ular itu menyergap, melucuti pakaian
saya, menjalari satu persatu lekuk tubuh saya. Melumat tubuh saya
yang belum berbulu dan bersusu, dan menari-nari di atasnya
memuntahkan liur yang setiap tetesnya berubah menjadi lintah.
Lintah-lintah yang terus menghisap hingga tubuh mereka menjadi merah.
(DMA, Lintah, 2004: 16)
Kisah tersebut menunjukkan bahwa keinginan-keinginan untuk lepas dari
norma, dari keluarga dan segala karakternya, dari kenyataan yang ada, untuk pergi
kepada kebebasan, juga berbenturan dengan dirinya sendiri, hingga ia merindu

188

kembali kepada rumah, pada ibu yang dibencinya. Pada yang demikian, yang
terjadi adalah keinginan untuk lepas tetapi juga masih muncul perasaan untuk
pulang. Menerobos sekaligus masih memegangi ideologi itu sendiri.

3.2.3 Film MBSM: Respons terhadap Wacana Pengelompokan Sastra


dengan Citra Negatif
Menjelang dan awal tahun 2000-an (bahkan hingga sekarang) dunia
kesastraan kita dihebohkan dengan pengelompokkan dan pelabelan karya sastra
yang memiliki citra negatif. Pengelompokkan dan pelabelan tersebut adalah
sastrawangi, sebuah pelabelan yang diberikan kepada karya penulis-penulis
perempuan yang memiliki gaya hidup, gaya bercerita, serta tema cerita yang
dianggap ekspoitatif terhadap hal-hal tabu, yaitu persoalan seks dan aktivitas
seksual. Pelabelan tersebut pun kemudian menimbulkan perdebatan di berbagai
kalangan, akademisi, pemerhati sastra, sastrawan, serta (mereka sendiri) penulis
yang tergolongkan ke dalam pengelompokkan tersebut.

3.2.3.1 Kritik terhadap Pelabelan Sastrawangi


Munculnya penulis-penulis baru perempuan dalam dunia kesusastraan di
Indonesia dalam kurun waktu (kurang lebih) sepuluh tahun terakhir yang bercerita
tentang kehidupan metropolitan pada middle-class urban dengan mengangkat
persoalan seksualitas dengan lebih berani dari angkatan penulis-penulis
sebelumnya menimbulkan polemik dan perdebatan di kalangan akademisi dan

189

Adegan
pemerhati sastra. Tanggapan positif dan negatif pun bermunculan. Bukan hanya
itu, pelabelan sebagai sastrawangi juga diberikan pada tulisan kelompok penulis
tersebut yang juga mengundang kontroversi terutama di kalangan feminis.
Sementara itu, dari (sebagian) kalangan penulis yang dikelompokkan ke dalam
penulis wangi tersebut melihat pelabelan ini sebagai bentuk pendiskreditan karya
mereka; karya mereka yang laris di masyarakat dianggap sekadar numpang
populer pada fisik atau tubuh pengarangnya yang cantik dan wangi karena
balutan make up dan parfum bermerek. Bahkan isu kedekatan (personal) para
penulis perempuan dengan beberapa pengarang senior (Bandel (2006:161) juga
menambah stigma negatif pada mereka. Dengan demikian menurut Bandel istilah
sastrawangi kemudian identik dengan keidiotanpara penulis perempuan yang
digolongkan ke dalamnya seolah-olah merupakan sekumpulan orang idiot.
Istilah wangi pada perempuan identik dengan cantik dengan polesan
make-up yang artinya juga mengacu pada pelayanan (service) perempuan pada
laki-laki yang menuntut perempuan harus cantik seperti yang dikonstruksi oleh
wacana sosial selama ini dalam bayang-banyang pemikiran patriarkal. Pola
pemikiran tersebut merupakan pola pikir tradisional yang kembali mendudukkan
perempuan pada posisi kedua atau sebagai objek. Absennya intelektualitas dalam
otak perempuan pengarang18 seperti ditudingkan pada sekelompok penulis
tersebut, menyempitkan penilaian terhadap karya sastra yang dihasilkan. Sederet
nama (penulis perempuan) yang muncul dan kerap diperbincangkan karena warna

18 Maneke Budiman (dalam Ikwan Setiawan, TT)

190

tulisan mereka yang bercorak kosmopolit middle-class urban19, kehidupan dari


kafe ke kafe, pergaulan bebas dan terbuka mengenai seksualitas antara lain; Ayu
Utami, Dewi (Dee) Lestari, Fira Basuki, Djenar Maesa Ayu, Linda Cristanty,
Herlinatiens, Nukila Amal, dan Oka Rusmini.
Sehubungan dengan pelabelan karya-karya penulis tersebut yang
cenderung mengarah pada pencitraan negatif, maka dalam tulisan ini digunakan
istilah sastra perkotaan (sastra kosmopolitan) pada jenis karya sastra yang banyak
berbicara mengenai kehidupan kosmopolitan, gaya hidup bebas dan banyak
mengeksplorasi persoalan tubuh, seksualitas dengan semangat membongkar tabu
seksualitas. Dengan pembatasan tersebut, maka istilah ini tidak mengeneralisasi
tulisan yang dihasilkan semua penulis yang berdomisili di kota menjadi sastra
perkotaan sebagaimana yang dimaksud.
Label negatif terhadap sastra perkotaan dan juga penulisnya ini
menyeruak menjadi polemik karena sorotan yang timpang, yaitu hanya fokus pada
aspek kebaruan pemikiran mengenai seksualitas dan tabuisme dari konstruksi
masyarakat sebelumnya. Padahal karya-karya tersebut juga punya sumbangsih
positif terhadap perkembangan kesusastraan di Indonesia. Faruk menjabarkan
justifikasi terhadap karya sastra perkotaan ini miring akibat gambaran terbuka
mengenai seks dan aktivitas seksual yang dipandang sebagai gambaran
eksploitatif selera rendah manusia, sebagai sebuah upaya karya-karya sastra/seni
populer demi memeroleh nilai pasar yang tinggi (Faruk 2004:122-123). Salah satu
19 wawancara Nukila Amal oleh Laksmini dalam Prosa, (2004; 222)

191

Adegan
yang menganggap sastra jenis ini negatif adalah Taufik Ismailseorang sastrawan
senior Indonesiamengistilahkan apa-apa yang penulis sastra perkotaan lakukan
melalui karya-karya mereka sebagai sebuah Gerakan Syahwat Merdeka20. Akan
tetapi apresiasi positif salah satunya juga datang dari Damono 21 yang memandang
bahwa fenomena kemunculan sastrawan atau penulis baru tersebut sebagai titik
balik dari proses kebangkitan. Dia bahkan memprediksi bahwa perempuan akan
menjadi pewarna dunia kesusastraan Indonesia di masa mendatang. Pandangan ini
selangkah lebih maju dari pandangan sebelumnya yang menggolong-golongkan
sastra seperti yang diungkapkan Goenawan Mohamad22.
Penggolongan penulis berdasarkan penulisnya yang perempuan, cantik,
kosmopolit middle-class urban dan karyanya terjual laris di nusantara juga
menimbulkan

kegeraman

serta

kegelisahan

di

kalangan

para

penulis

tergolongkan tersebut. Sebagaimana yang dimuat dalam jurnal Prosa (2004),


Nukila Amal (dalam Laksmini 2004:219-224), penulis novel Cala Ibi itu
menyatakan bahwa label wangi yang diberikan kepada karya-karya penulis
perempuan terlalu meng-generalisasi. Ditambah lagi dengan image yang
20 Dalam puisi Taufik Ismail yang dikutip dari Ridwan Juniarso. Sastra Mesum
dan
Arsitektur
Tubuh.
Diunduh
dari
http://www.pikiranrakyat.com/cetak/0104/08/0804.htm.
21 Disampaikan dalam salah satu seminar yang diselenggarakan di Undip
Semarang (dalam http://www.suaramerdeka.com/harian/0603/02/nas04.htm
22 Dia membuat tiga golongan, yaitu: 1) karya yang berusaha mempersoalkan
seks tetapi tidak berani menggambarkannya, 2) karya yang mempersoalkan seks
dan menggambarkannya dengan cara meneriakkan dengan keras, 3) karya yang
mempersoalkan seks sebagai bagian dari kehidupan manusia yang wajar dan
menggambarkannya secar wajar pula.

192

terlahirkan dari label tersebut yang terlalu negatif. Oleh karena itu, atas dasar
keberatan-keberatannya, ia lebih bersepakat jika pengistilahan karya-karya mereka
atau terhadap diri mereka sendiri bukan sebagai sastrawangi, sastrawanwangi
atau pun penulis perempuan, melainkan penulis saja23.
Sementara itu, dalam wawancara yang sama, yang dimuat dalam jurnal
Prosa (2004:190-196), Djenar Maesa Ayu yang juga mengusung permasalahan
kehidupan perkotaan dengan gaya kosmopolit pada tulisan-tulisannya juga
menunjukkan sikap dan pandangannya terhadap pelabelan miring tersebut. Dalam
ruang itu, ia mengungkapkan bahwa karya-karya penulis perempuan memang
memiliki style sendiri, menunjukkan cermin zamannya, sekaligus cermin
(perkembangan pola pikiran) perempuan itu sendiri. Berkesinambungan dengan
sikapnya tersebut, Djenar melahirkan film Mereka Bilang, Saya Monyet! yang
diangkat dari dua cerpen Lintah dan Melukis Jendela dari kumpulan cerpen
Mereka Bilang, Saya Monyet!yang digolongkan sebagai karya wangidengan
mengimplementasi pemikiran posmodernisme di dalam karya-karya tersebut dan
membingkainya dalam konsep penolakan terhadap anggapan kemungkinan adanya
hal yang alamiah, melainkan konstruktif dan punya nilai politis.
23 Hal tersebut diungkapkan dalam Prosa (2004:221). Sementara untuk pelabelan
sastrawangi Nukila tidak memberikan satu istilah sendiri. Ia berpendapat bahwa
untuk karya-karya sastra hasil penulis perempuan tidak perlu diberikan label
tersendiri yang justru memberi ruang batas pembedaan antara karya penulis lakilaki dan penulis perempuan. Apalagi dikotomi tersebut memberi efek makna yang
memosisikan karya penulis perempuan sebagai karya yang rendah, inferior, baik
dari sisi gaya maupun isi itu sendiri. Sehingga harapan atau pendapatnya adalah
karya mereka (penulis perempuan) tidak dibedakan dari karya para penulis lakilaki, cukup disebut sastra (tanpa harus memberi embel-embel wangi di
belakangnya).

193

Adegan
Mengenai bagaimana Djenar mengkritik atau mengkonter pelabelan
sastrawangi yang diberikan terhadap karya-karya para penulis yang digolongkan
sebagai penulis atau sastrawan wangi melalui film MBSM-nya, diuraikan dalam
sub bab berikut.
3.2.3.2 Film MBSM: Konter terhadap Pelabelan Sastra
Melalui cerita scene 74 dan dilanjutkan dengan scene 77, dengan latar di
bar pada malam hari, respons terhadap pengelompokkan atau pelabelan sastra
yang bernada negatif dikemas. Pada scene ini dikisahkan Adjeng datang ke sebuah
bar. Di sana telah menunggu Asmoro, kekasih sekaligus mentornya. Setelah
menemukan kursi tempat Asmoro duduk, Adjeng pun langsung menuju ke
tempatnya. Malam itu, Amoro memberikan kejutan ucapan selamat kepada Adjeng
karena cerpen pertamanya berhasil dimuat di koraninformasi ini diketahui
melalui scene 77 film ini. Penceritaan dilakukan menggunakan peran
tokoh figuran pelayanr ba
dan pemain piano
. Berikut adalah cuplikan gambar
nya.

Scene74 film MBSM, openingrespons wacana


sastra perkotaan
Gambar 20.

Pada scene ini ditunjukkan perdebatan atau polemik seputar perempuan


pengarang dan kepengarangannya mendapatkan berbagai tanggapan dari

194

masyarakat. Melalui

scene ini ditunjukkan berbagai tanggapan seputar

persoalan satra perkotaan, baik respons positif maupun negatif, tetapi di sisi lain
juga scene ini merupakan satu bentuk respons dan konter terhadap wacana dan
tanggapan masyarakat mengenai persoalan tersebut.
Respons masyarakat terhadap persoalan perempuan pengarang yang
pertama dimunculkan dalam scene ini adalah isu cantik, bahwa perempuan penulis
harus cantik, karena kalau tidak cantik bakal tidak laku. Berikut adalah cuplikan
gambar dan kutipan dialog dalam filmnya.

Gambar 21. Cantik: Respons Masyarakat Penulis


terhadap
Perempuan

Kutipan dialog:
PENGUNJUNG LELAKI 1:
O, penulis. Penulis-penulis sekarang cantik-cantik ya, Man!
PENGUNJUNG LELAKI 2:
Ya iya lah. Kalo nggak, nggak laku!
Dengan melihat dialog yang muncul dalam scene 77 tersebut, tanggapan
miring masyarakat terhadap perempuan penulis tampak, bahwa yang turutatau
malah dianggap lebihpenting adalah kecantikan karena kecantikan membuat
karya yang dibuatnya laku. Pandangan seperti ini menunjukkan apresiasi pada

195

Adegan
kemasan fisik penulis, bukan pada apa yang ditulis. Betapapun karyanya biasa saja
atau bahkan cenderung kurang berkualitas, asalkan penulisnya cantik, karyanya
bisa laku atau bisa diterbitkan.
Pandangan miring tersebut pun dipadu atau diimbangi dengan pandangan
positif yang muncul berikutnya, tetapi tetap pada scene yang sama. Penggarapan
cerita dengan menggunakan sudut angle24 kamera yang bergerak ke kiri kemudian
menangkap pengunjung bar lain yang tengah asik mengamati perempuan
pengarang tersebut dengan kekaguman atau simpatiknya. Berikut cuplikan gambar
dan kutipan dialognya.

Gambar 22. Muda: Tanggapan Positif yang Muncul terhadap


Penulis
Persoalan
Perempuan

Kutipan dialognya:
CEWEK:
(Memalingkan wajah menatap muka pasangannya)
Kok ngeliatinnya gitu banget sih? Suka ya?
COWOK:
(Sedikit gelagapan)
Ah, enggak kok, kagum aja, masih muda begitu udah jago nulis.

24 Sudut pengambilan gambar (Nugroho 2007:7)

196

Di satu sisi, tanggapan yang dimunculkan tersebut adalah tanggapan


positif, tetapi di lain sisi justru menimbulkan kecemburuan bagi pasangannya.
Tanggapan positif karena menganggap seorang perempuan yang masih muda
sudah mampu menulis dengan baik dan karyanya berhasil dimuat di surat kabar.
Tentu sebuah prestasi yang patut dihargai. Di balik pandangan tersebut juga
tersirat makna bahwa pada kenyataannya tidak mudah sebuah karya sastra
apalagi penulis pemulauntuk dapat memajang karyanya di sebuah media cetak
terkenal berskala nasional. Prestasi-prestasi semacam ini yang ingin diapresiasi
oleh seorang Djenar melalui penggarapan scene ini melalui wakil tokoh figuran
COWOK dan CEWEK dalam scene 77 ini. Apalagi sudah menjadi rahasia umum
bahwa mengirimkan tulisan atau karya sastra bagi penulis pemula yang belum
memiliki nama memang satu kesulitan tersendiri agar karyanya bisa dimuat. Ia
harus berperang dengan penulis-penulis terkenal yang sudah biasa mengisi
kolom yang menjadi saingannya.
Kembali menggunakan teknik pergerakan angle kamera ke arah kiri dari
sudut penangkapan tokoh figuran COWOK-CEWEK tadi, kamera menangkap tiga
perempuan yang sedang duduk dan asik menggunjing. Melalui pergunjingan
merekadan

seolah-olah

menanggapi

pendapat

COWOK

tadi

perempuanperempuan tersebut berpendapat berbeda dengan COWOK tadi.


Tanggapan yang muncul pun cibiran dan pendapat miring. Berikut cuplikan
gambar dan kutipan dialognya.

197

Adegan

Gambar 23. Konter Muda: Tanggapan terhadap Tanggapan Masyarakat

Kutipan dialog:
PEREMPUAN CANTIK 1:
Muda? Muda dari mana? Matanya udah berkerut gitu!
Lihat deh, teteknya udah turun, padahal kecil loh bo.., bagaimana kalo
segede gue?!
PEREMPUAN CANTIK 2:
Dia belum kenal dokter Robi kali bo! Tapi jangan deh, ntar makin cantik,
makin jadi lagi!
PEREMPUAN CANTIK 3:
Kok lu berdua gitu sih, yang paling penting kan karyanya udah
diterbitin.

Tidak berhenti di situ, tudingan miring seputar kepengarangan perempuan juga


muncul menanggapi isu kedekatan perempuan pengarang dengan mentornya atau
penulis seniornyaseperti telah diungkapkan di awal pembahasan ini. Berikut
tanggapan miring yang digarap dan dimunculkan dalam scene 77 film
MBSMini.

Gambar 24. Karya Siapa: Pertanyaan terhadap Kepengarangan Perempuan

198

Pertanyaan karya siapa pun akhirnya muncul. Mosi tidak percaya ini
dimunculkan dan tampak dalam kutipan dialog berikut ini.
ORANG SERIUS 1:
Karyanya siapa dulu, karya dia apa karya mentornya? Jaman sekarang
KKN nggak cuma ada di pemerintahan doang. Kalau bisa cari mentor
yang bagus, terus mau ditidurin, saya juga bisa jadi penulis!
ORANG SERIUS 1:
See?
Gambar dengan nomor 1 dan 2 mewakili dialog pertama ORANG SERIUS
I. Di sini mosi tidak percaya soal siapa yang membuat tulisan tersebut
dimunculkan. Tentu dengan berbagai pertanyaan dan tanggapan yang dimunculkan
sebelumnyamulai dari masih muda, cantik, dst.kondisi-kondisi tersebut
menuai sejumlah tanggapan yang bernada miring. Pertanyaan seputar karya
siapa, karya dia atau mentornya, seperti dimunculkan dalam dialog di atas juga
pernah menimpa perempuan pengarang Indonesia, pemenang sayembara menulis
novel yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta tahun 1998, Ayu Utami
dengan karyanya Saman. Kedekatan perempuan penulis muda dengan penulis
senior25 ditanggapi negatif oleh sebagian kelompok masyarakat. Melalui scene 77
ini, pendapat tersebut juga dimunculkan dengan manggunakan tokoh figuran
ORANG SERIUS I dan ORANG SERIUS II sebagai wakilnya. Hal ini justru

25 Isu kedekatan Ayu Utami dengan penulis senior Goenawan Muhamad pasca
kemenangan Saman dalam sayembara penulisan novel tersebut terus merebak
pada masa itu. Bahkan Ayu Utami dalam tulisannya mengaku juga mendapatkan
pertanyaan seputar hal tersebut, dalam sebuah wawancara Cek & Ricek sebuah
stasiun televisi (2005:80). Hal tersebut sekaligus menguatakan betapa isu tersebut
berkembang luas dan menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat hingga
media massa dan elektronika.

199

Adegan
dikuatkan dengan adegan sebagaimana ditunjukkan dalam gambar bernomor 3
pada rangkaian gambar 24 di atas. Pada gambar tersebut, di belakang orang serius
I dan II tampak Adjeng dan Mentornya yang tengah berpelukan dan bericuman.
Penggarapan adegan ini sebagai penguat pandangan masyarakat tersebut.
Namun, penggambaran keadaan ini dalam scene ini bukan berarti
mengiya-kan pendapat miring yang bermunculan di tengah masyarakat, terutama
berkaitan dengan isu siapa yang membuat atau menggarap karya tersebut
misalnya. Di samping memunculkannya, film ini juga memiliki konter terhadap
pendapat masyarakat seputar sastra perkotaan dan pengarangnya yang perempuan.
Pandangan-pandangan miring masyarakat mengenai sastra perkotaan maupun
karya-karya perempuan pengarang, baik soal isi maupun siapa yang membuat
karya tersebut dimunculkan sekaligus dikonter dalam film MBSM ini.
Djenar sebagai perempuan penulis yang tidak luput dari tudingan
penghasil sastra perkotaan menggarap film MBSM justru sebagai konter terhadap
pandangan miring masyarakat terhadap karya-karya perempuan yang selama ini
dianggap hanya menonjolkan atau mengeklporasi tabu seksualitas dan tubuh, serta
penggarapannya yang tak lepas dari peran serta besar dari seorang mentor atau
penulis senior yang dekat dengan dirinya. Melalui pelayarputihan ini, Djenar
menggarap dan memunculkan pandangannya dan konternya terhadap wacana
sastra perkotaan yang berkembang di masyarakat.
Konter terhadap perkembangan wacana sastra perkotaan, tanggapan
masyarakat seputar karya perempuan-perempuan pengarang yang digarap dalam

200

film MBSM dapat ditemukan pada scene 45 film tersebut. Di dalam scene tersebut
digambarkan bagaimana seorang Adjeng yang berprofesi sebagai penulis cerita
anak dan sedang memulai profesi baru menjadi penulis cerita dewasa. Cerita
pendek yang telah ditulisnya pun kemudian dimintakan komentar kepada
kekasihnya yang notabene juga seorang penulis senior. Di sinilah konter tersebut
dimunculkan. Pada cerita yang digarap, tokoh Adjeng justru merasa tidak
mendapatkan masukkan sesuai dengan harapannya. Sebaliknya ia merasa bahwa
masukkan dan komentar yang diberikan oleh Asmoro, mentor sekaligus
kekasihnya, justru hanya menjelek-jelekkan karyanya, menjatuhkan dan
merendahkan karyanya. Dalam keadaan ini yang terjadi adalah justru Adjeng
menganggap bahwa mentornya memiliki pandangan yang jauh lebih terbelakang
dibanding dirinya, yang tidak siap menerima perubahan keadaan dan estetika
sesuai dengan zaman yang tengah berkembang. Mulai dari gaya penulisan dengan
alur yang tidak terlalu datar dan monoton, cerita harus memiliki penyelesaian atau
setidaknya memberikan tawaran alternatif jalan keluar kepada pembaca, sampai
dengan isi cerita yang tidak terlalu dianggap kelam dan mengada-ada. Oleh-oleh
permintaan pendapat adalah ketidakpuasan dan kekecewaan.
Perdebatan antara Adjeng dan Asmoro yang memperdebatkan cerpen

201

Adegan
Adjeng dapat dilihat dalam
cuplikangambar dankutipan dialog berikut.

Gambar 25

. Adjeng Meminta Asmoro Mengomentari Cerpennya

Kutipan dialog:
ADJENG:
Gimana?
[.]
ASMORO:
Hmmmmmsedikit berlebihan ya
[.]
ASMORO:
Itulah..Kamu kayak lagi nulis cerita anak-anak. Terlalu ngekhayal,
hiperbola, gak bisa kamu terapin cara kayak gini di cerita orang dewasa.
ADJENG:
Loh? Namanya juga fiksi. Imajinasi!
ASMORO:
Tapi fiksi kan juga butuh logika, Cinta.
ADJENG:
Jangan panggil saya Cinta! Justru imajinasi lahir karena realitas ini sering
gak masuk akal! Gak logis!
ASMORO:
Iya, OK Tapi coba kamu liat tokoh utama kamu di sini. Perempuan ini
dilecehiiin terus, diperkosa terus. Tapi tidak pernah melawan. Apa
mungkin? ADJENG:
Kamu nih tolol banget ya? Nonton TV nggak sih, baca koran? Berapa
banyak korban perkosaan yang cuma bisa terima nasib? Berapa banyak
yang mau bunuh diri? Mereka itu udah kehilangan semuanya! Harga diri.
Kepercayaan diri. Semua! Boro-boro mau ngelawan! Semangat hidupnya
aja udah ilang! Dan ini realitas!
ASMORO:
Tapi Negara kita Negara hukum. Kenapa tidak seret bajingan
pemerkosanya ke polisi. Dudukin di meja pengadilan. ADJENG:

202

Heh..! Kamu itu buta apa ya?! Heh, buta? Sejak kapan hukum di Negara
ini berlaku?! Jangankan lapor polisi! Orang keluarga yang seharusnya
belain aja malah nekan-nekan korban dengan alasan malu lah, aib keluarga
lah, terus takut kalau ketahuan anaknya udah gak perawan nanti gak ada
yang mau ngawinin lah! Taik lah! [.]
ASMORO:
Oke, aku gak maksud bermaksud menyinggung kamu kamu kan
tadi minta supaya aku kasih pendapat. Ya to? Tulisanmu ini terlalu kelam.
Kelam sih sah-sah aja.. tapi kan harus ada perubahan dalam cerita. Ada
penyelesaian, ada klimaks, jadi gak ngambang kayak gini.. nggak datar
kayak gini.
ADJENG:
Memangnya dalam realitas tiap hal harus selalu ada penyelesaian?!
ASMORO:
Ya justru itu, kalo kamu bicara soal realitas, kamu ngomongin realitas,
kamu tidak bisa mangkir dari realitas karena kamu berhadapan dengan
pembaca. Mereka butuh penyelesaian.. Saya sih yakin orang lebih suka
cerita anak-anakmu. Karena lebih spontan, ceria menyenangkan
ADJENG:
Alah gak usah bertele-tele. Maksud kamu, gue harus nulis untuk
nyenengin orang lain, kan?!
ASMORO:
Ya apa salahnya, semua kreator pada akhirnya pengen karyanya disukai.
ADJENG:
Lu
tau
nggak?
ADJENG:
Gue pikir punya pacar penulis senior kayak lu bisa bikin gue tambah
pinter!
ADJENG:
Gak taunya bisanya cuma ngewek doang!
[.]

Penggarapan

scene

ini

sekaligus

memberikan

konter

terhadap

perkembangan isu sastra perkotaan berkaitan dengan kedekatan perempuan


pengarang dengan pengarang senior atau mentornya. Pada kasus Saman-nya Ayu
Utami, kecurigaan merebak kuat karya tersebut bukanlah murni karya Ayu,
melainkan banyak campur tangan penulis senior Goenawan Muhamad.
Desasdesus isu tersebut berkembang kuat pasca pengumuman juara sayembara

203

Adegan
penulisan novel yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada tahun
1998 dan menobatkan Saman sebagai pemenangnya. Berbagai pendapat pun
bermunculan, baik positif maupun negatif.
Berkaitan dengan kedekatan perempuan pengarang muda dengan penulis
senior serta peran penulis senior tersebut terhadap karya perempuan pengarang
muda tersebutsebagaimana yang menimpa Ayu Utami, atau terhadap karyakarya
yang digolongkan ke dalam sastra perkotaan pada umumnyaDjenar melalui
film MBSM memiliki cara sendiri dalam memberikan konternya. Menurut Djenar,
melalui film MBSM, kedekatan perempuan pengarang dengan penulis atau
pengarang senior lebih pada sebuah hubungan yang bersimbiosis mutualisme.
Keduanya saling memberikan keuntungan. Meskipun menurut scene 45,
perempuan pengarangdiwakili oleh tokoh Adjengjustru tidak mendapatkan
banyak keuntungan terutama berupa masukkan terhadap kepengarangannya.
Pendapat yang diharapkan dapat diberikan oleh mentornya dapat semakin
memperkuat dan memberikan kredit point demi perbaikan kualitas tulisannya
justru sebaliknya. Adjeng merasa tidak mendapatkan apa-apa selain cemoohan dan
cacian terhadap karyanya.
Tidak berhenti di situ, konter terhadap pandangan masyarakat seputar
kedekatan perempuan pengarang dengan pengarang senior juga digarap atau
dimunculkan melalui scene 89 film MBSM. Pada scene ini justru konter lebih
keras. Di sini, Djenar mencoba menunjukkan satu fakta bahwa kedekatannya
dengan penulis atau pengarang senior juga turut kembali mengangkat namanya

204

yang hampir mati dan tenggelam. Kondisi ini barangkali relevan dengan kasus
yang dialami oleh Ayu Utami dengan Goenawan Muhamad26. Penggarapan film
MBSM,yang meskipun secara de fakto diangkat dari dua cerpen Lt dan MJ dari
kumpulan cerpennya Djenartetapi tidak bisa tidak berkaitan dengan isu yang
berkembang baik secara khusus terhadap kasus Ayu Utami maupun secara umum
terhadap perempuan pengarang yang digolongkan ke dalam penulis sastra
perkotaan. Sehingga pembahasan film MBSM sebagai respons sastra perkotaan
tidak bisa dilepaskan dari pembahasan tersebut. Berikut cuplikan gambar dan
kutipan dialog, bagaimana Djenar mengkonter isu-isu sastra perkotaan dan
kedekatan perempuan pengarang dengan penulis senior.

Gambar6.
2 Konter Sastra Perkotaan dan Isu Kedekatan dengan Penulis Senior

melalui Scene 45
Kutipan Dialog:
[.]
ASMORO:
Terus! Terus salahin semua orang untuk lari dari masalahmu sendiri!
26 Lagi-lagi harus menyebutkan atau menggunakan dua nama tersebut sebagai
contoh sekaligus data terhadap korelasinya dengan pembahasan ini. Hal ini karena
memang persoalan Ayu Utami dengan Saman-nya dan isunya dengan Goenawan
Muhamad adalah awal perdebatan persoalan sastra perkotaan yang mencuat
dalam dunia kesastraan Indonesia.

205

Adegan
Tidak tau berterima kasih!
ADJENG:
Maksudnya?!
ASMORO:
Gak tau, atau pura-pura gak tau lagi? Kamu yang gak bisa mengerti apaapa, bukan orang lain yang nggak ngerti kamu!
ADJENG:
Saya gak ngerti! Maksud kamu apa?!
ASMORO:
Kamu seharusnya bersyukur sekarang, cerpen kamu dimuat di koran
karena aku yang kirim!
ADJENG:
Berani lu ngomong kayak gitu? Gak usah sok pahlawan deh? Elu yang
justru nebeng nama gue tahu nggak? Nama lu dioomongin lagi sejak jadi
mentor gue! Lu pikir gue buta apa?! Lu pikir gue gak liat kalo karier nulis
lu udah tinggal nunggu matinya aja! Lu yang mestinya berterimakasih
sama gue, tau gak?! []
Melalui dialog di atas tampak ada dua anggapan. Pertama, adalah mentor
yang merasa telah memiliki atau memberi andil besar terhadap keberhasilan
Adjeng dalam membantu agar karyanya bisa diterbitkan atau dimuat di surat
kabar. Artinya dengan namanya yang besar, maka karya Adjeng yang belum
diketahui publik, apalagi redaktur surat kabar, dapat dimuat. Kepercayaan diri ini
tampak dalam dialog Asmoro: Kamu seharusnya bersyukur sekarang, cerpen
kamu dimuat di koran karena aku yang kirim!. Hal tersebut relevan jika
dihubungkan dengan persoalan yang terjadi pada Ayu Utami, seorang penuis
muda, dengan karya pertamanya, tetapi langsung dapat memenangkan sebuah
event sayembara penulisan novel berskala besar. Sedangkan mengenai wacana
yang berkembang di masyarakat, Djenar memiliki jawaban dan pendapat sendiri,
seperti tampak pada anggapan kedua.

206

Kedua, kondisi yang berkebalikan dimiliki oleh Adjeng. Ia justru merasa


bahwa kehadirannya dalam dunia sastra melalui karyanya, dengan Asmoro
menjadi mentornya, justru berdampak positif terhadap nama Asmoro. Namanya
yang sudah hampir mati, kembali terangkat karena ia menjadi mentornya, mentor
Adjeng, yang memiliki kemampuan menulis cerita yang luar biasa, sebagaimana
pesan-pesan yang masuk ke dalam teleponnya (dalam scene 85). Demikianlah,
Ayu Utami melalui karyanya, dengan kedekatannya dengan Goenawan Muhamad,
mentor dalam versi film MBSM, justru mengangkat nama Goenawan yang hampir
tenggelamsetidaknya untuk mengistilahkan atau menyebutkan bahwa kiprah
kepengarangan dan kepenulisannya tidak seperti era sebelumnya, termasuk
tulisan-tulisannya yang sudah mulai jarang diperbincangkan, misalnya melalui
Catatan Pinggir-nya.
Begitulah bagaimana film MBSM memberikan responnya terhadap wacana
sastra perkotaan yang berkembang di masyarakat, dari tanggapan negatif sampai
dengan tanggapan yang positif. Djenar Maesa Ayu sebagai salah satu pengarang
yang karyanya juga digolongkan ke dalam karya sastra tersebut, memberikan
sebuah tanggapan atau jawaban seputar polemik sastra perkotaan dengan cara
yang apik dan cerdas, yaitu melalui wadah ekranisasi, dengan mengangkat dua
cerpennya yang digolongkan ke dalam sastra perkotaan, tetapi justru lahir
menjadi konter terhadap wacana dan tudingan miring sastra perkotaan itu sendiri.
Dengan kata lain dapat diistilahkan: mengkonter sastra perkotaan melalui
karyasastra perkotaan.

207

Adegan
BAB IV
PENUTUP

4.1 Simpulan
Uraian-uraian yang disajikan pada bab 2 dan bab 3 penelitian ini
merupakan upaya untuk menjawab dan menjabarkan permasalahan yang diangkat
dalam penelitian ini. Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini dapat disimpulkan
sebagai berikut.
Ekranisasi cerpen Lt dan MJ ke dalam film MBSM telah melahirkan
sejumlah perubahan yang signifikan. Perubahan yang terjadi meliputi perubahan
tokoh utama dari kecil menjadi besar, penciptaan tokoh-tokoh baru, perubahan
karakter

tokoh,

perubahan

latar

cerita,

serta

perubahan

alur

cerita.

Perubahanperubahan yang dilakukan merupakan bentuk penyesuaian terhadap


media, dipengaruhi titik sinkronik-diakronik eranya, serta tujuan atau politik yang
melingkupi.
Transformasi

karya

tersebut

telah

menghasilkan

satu

karya

posmodernisme, film posmodernis. Aspek keposmoan ditampakan diantaranya


melalui penggarapan atau penyajian alurnya yang berbentuk fragmen-fragmen,
memasukkan unsur cerita cerpen ke dalam film dalam bentuk split-split yang
berhubungan tetapi juga memiliki logika ceria sendiri. Selain itu juga doubleness
yang tampak melalui karakter tokoh utama. Dualitas karakter tokoh utama.

208

Kesemua representasi tersebut menunjukkan estetika posmodernisme, melalui


pluralitas-pluralitas yang dibangunnya.
205
Dengan merujuk pada konsep Hutcheon, bahwa ada politik dalam
representasi posmodernisme, perubahan-perubahan dalam transformasi karya
tersebut juga memiliki nilai politis. Dengan perubahan menjadi dewasa, banyak
hal yang bisa diungkapkan: seperti kemampuan menyampaikan suatu pendapat,
melihat pengaruh masa lalu terhadap masa kini, sebagai konter dominasi
kekuasaan yang kuat terhadap yang lemah.
Transformasi cerpen ke film tersebut, dengan segala representasinya
berusaha

menyampaikan

pesan

ideologis.

Ada

penerimaan

sekaligus

pemberontakan atau penerobosan terhadap ideologi idealitas yang hadir dalam


cerpen, upaya penerobosan norma, lepas dari kungkungan, dan beban masa lalu
yang terus menghantui.
Ada keluar-masuk penerobosan dan kembali kepada norma, pada ideologi
idealitas. Adanya kekuatan dalam diri untuk pergi, tetapi juga ada saat-saat
ketika semuanya menjadi tak terkendali muncul kerinduan untuk kembali.
Film MBSM juga lahir sebagai satu bentuk respons terhadap wacana sastra
perkotaan yang berkembang di masyarakat. Menunjukkan berbagai tanggapan,
baik positif maupun negatif, sekaligus memberikan konter terhadap tudingan
miring karya penulis perempuan.

209

Adegan
Kesimpulan penulis terhadap penelitian ini adalah kenormalan atau
idealitas adalah produk kultural yang kerap digunakan sebagai pelabelan serta
pelanggengan dominasi dan kekuasaan. Oleh karena itu, perlu ada penerimaan
terhadap cara pandang yang berbeda-beda bahwa kenyataan itu plural sehingga
tidak ada pengkutuban ideal-tidak ideal, salah-benar.
4.2 Saran
Penelitian ekranisasi di Indonesia belum banyak dilakukan. Terutama
terhadap MBSM. Kalau penelitian ekranisasi selama ini dilakukan masih terbatas
pada pembahasan struktur naratif dan melihat perubahan yang muncul dalam
pelayarputihan tersebut, maka perlu kiranya dilakukan penelitian ekranisasi
dengan melihat keluar, mengaitkannya aspek dan bidang lain, sehingga penelitian
lebih bermanfaat.
Berkaitan dengan objek materi dalam penelitian ini, MBSM, bagi peneliti
khususnya, merupakan satu bentuk karya transformasi yang sarat dengan tanda
dan makna, sehingga masih belum menutup kemungkinan untuk dilakukannya
penelitian-penelitian berikutnya. Misalnya, dengan melihat representasinya
sebagai tanda-tanda yang bisa dikaji dari sisi semiotika, bukan saja untuk bidang
sastra, tetapi juga komunikasi.
DAFTAR PUSTAKA

210

Sumber Buku
Althusser, Louis. 2004. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis,
Cultural Studies. (terjemahan Olsy Vinoli Arnof dari Essays on
Ideology, pengantar oleh Bagus Takwim). Yogyakarta: Jalasutra.
--------- 2007. Filsafat sebagai Sebuah Senjata Revolusi: pengantar Fredric
Jameson (terjemahan dari Lenin and Philosophi, and other Essays/Louis
Althusser: introduction by Fredic Jameson.1971).Yogyakarta: Resist Book.
Alwi, Hasan dkk. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta:
Balai Pustaka.
Ayu, Djenar Maesa. 2004. Mereka Bilang, Saya Monyet!. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Bandel. Katrin. 2006. Sastra, Perempuan, Seks. Yogyakarta: Jalasutra.
Belsey, Catherine. 1990. Critical Practice. London and New York: Routledge.
Bluestone, George. 1957. Novels into Film. Berkeley, Los Angeles, London:
University of California Press.
Chamamah-Soeratno, Siti. 2001. Penelitian Sastra: Tinjauan Tentang Teori dan
Metode Sebuah
Pengantar
dalam Metodologi Penelitian
Sastra.Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.
Damono, Sapardi Djoko. 2005. Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta:
Pusat Bahasa.
Eneste, Pamusuk. 1991. Novel dan Film. Jakarta: Nusa Indah.
Fowler, Roger (ed.). 1987. A Dictionary of Modern Critical Terms (Revised and
Enlarged Edition). London and New York: Routledge & Kegan Paul.
Fulton, Helen. 2005. Narrative and Media. New York: Cambridge University
Press.
H.T., Faruk. 2001. Beyon Imagination: Sastra Mutakhir dan Ideologi. Yogyakarta:
Gama Media.

208
-------- 2000. Film dan Video sebagai Media Ekspresi dan Komunikasi dalam
Interkulturalisme (dalam) Teater. (editor Nur Sahid). Yogyakarta:
Indonesiatera.
--------- 2004. Novelis Wanita dan Budaya Populer dalam Prosa; Yang Jelita
Yang Cerita. Jakarta: Metafor.

211

Adegan
Heider, Karl G. 1935. Indonesian Cinema: National Culture on Screen. Honolulu:
University of Hawaii Press.
Hutcheon, Linda. 1991. The Politics of Posmodernism. London and New York:
Routledge.
------------ 2006. Theory of Adaptation. New York: Routledge.
Iser, Woflgang.1978. The Act of Reading: A Theory of Aesthetic Response.
London: The Johns Hopkins University Press.
Jameson, Frederic. 1991. Postmodernism or, the Cultural Logic of Late
Capitalism. London-New York: Verso.
Jauss, Hans Robert. 1982. Toward an Aesthetic of Reception. Minneapolis:
University of Minneasota Press.
Laksmini, Gita Widya dkk. 2004. Seks, Sastra, Perempuan dalam Jurnal Prosa;
Yang Jelita yang Cerita. Jakarta: PT. Metafor Intermedia Indonesia.
Labib, Muh. 2002. Potret Sinetron Indonesia: Antara Realitas Virtual dan
Realitas Sosial. Jakarta: MU3.
Lichte, Erika-Fischer. 1992. The Semiotics of Theater. Terjemahan J. Gaines dan
Doris L. Jones. Indiana University Press. Bloomington Indiana Polis.
Loven, Klarijn. 2003. Si Doel and Beyond: Discourse on Indonesian Television in
the 1990s. Amsterdam.
Mohamad, Goenawan. 1981. Seks, Sastra, Kita. Jakarta: Sinar Harapan.
Nugroho, Fajar. 2007. Cara Pinter Bikin Film Dokumenter. Yogyakarta: Indonesia
Cerdas.
ODonnel, Kevin. 2009. Postmodernism. Terjemahan Jan Riberu. Yogyakarta:
Kanisius.
Paramaditha, Intan. 2004. Seksualitas Remaja dalam Biru dan Mereka Bilang,
Saya Monyet! dalam Prosa; Yang Jelita Yang Cerita. Jakarta: Metafor.
Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya
makna. Yogyakarta: Jalasutra.
Utami, Ayu. 2005. Mari Berkeluarga di dalam Kota dalam Si Parasit Lajang;
Sex, Sketsa, dan Cerita. Jakarta: Gagas Media.
WS, Hasanudin dkk. 2004. Ensiklopedi Sastra Indonesia. Bandung: Titian Ilmu.

212

Sumber Koran dan Majalah


Hady , Abdul. 1984. Nyanyian Duka Ronggeng Dukuh Paruk dimuat dalam
Surat Kabar Merdeka Edisi Minggu, 13 Mei 1984 Tahun XXXIX Nomor
1923 Halaman 6 Kolom 7-8 (Sumber ini didapat dari Pusat Dokumentasi
Sastra HB Jassin Jakarta).

Sumber Tesis/Karya Ilmiah/Jurnal


Hadiansyah, Firman. 2006. Adaptasi Film Biola Tak Berdawai ke dalam Novel:
Kajian Perbandingan. Tesis. Jakarta: Universitas Indonesia.
Indrawati, Rika. 2008. Mereka Bilang, Saya Monyet!, Karya Djenar Maesa Ayu:
Kajian Psikoanalisis Frued. Skripsi. Bandung: Fakultas Sastra Universitas
Padjadjaran.
Melati, Sunti. 2007. Novel Genduk Duku Karya Y.B. Mangunwijaya: Analisis
Posmodernisme Linda Hutcheon. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Gadjah Mada.
Ratino. 2007. Rara Mendut Karya Y.B. Mangunwijaya: Analisis Posmodern
Linda Hutcheon. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Gadjah Mada.
Rokhani, Umilia. 2008. Transformasi Novel ke Bentuk Film: Analaisis
Ekranisasi teradap Novel Ca Bau Kan. Tesis. Yogyakarta: Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Gadjah Mada.
Saputra, Heru S.P. 2009. Transformasi Lintas Genre: dari Novel ke Film, dari
Film ke Novel dalam Humaniora. Jurnal Budaya, Sastra, dan Bahasa,
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Volume 21, Nomor 1,
Februari 2009.
Setiawan, Ikhwan. TT. Yang Wangi itu Politis: Perdebatan Sastra Wangi dan
Pertarungan Hegemoni dalam Sastra Populer Indonesia. Tidak
diterbitkan.
Setiawati, Beta. 2005. Disneyzation of Non American Stories in Disneys
Films: A study on Popular Cultur. Tesis prasyarat kelulusan S-2 Program
Studi American Studies Universitas Gadjah Mada.
Suseno. 2008. Isu Poligami dalam Novel dan Film Ayat-Ayat Cinta: Kajian
Perbandingan dalam Alayasastra. Jurnal Ilmiah Kesusastraan Balai
Bahasa Semarang. Volume 4, Oktober 2008. Pusat Bahasa. Depdiknas.

213

Adegan
Sumber Film
Ayu, Djenar Maesa. 2004. Mereka Bilang, Saya Monyet!. Produksi Intimasi
Production.
Sumber Internet
Althusser, Louis. 1970. Lenin and Philosophy and Other Essays: Ideology and
Ideological
State Apparatuses.
file://localhost/F:/Downloads/download%20files/Althusser%20archieve/Id
eology%20and%20Ideological%20State%20Apparatuses%20by%20Louis
%20Althusser%201969-70.htm/ diunduh pada 21 Maret 2008, pukul 09:50
wib.
Cattrysse, Patrick. 1997. "Unbearable Lightness of Being: Film adaptation seen
from
a
different
perspective,
The"
diunduh
dari
http://findarticles.com/p/articles/mi_qa3768/is_199701/ai_n8747779 pada
tanggal 17 Desember 2008, pukul 01:08 wib.
Cho, Sung-eun. TT. Intertextuality and Translation in Film Adaptation. Atikel.
Diunduh dari http://www.ibas.re.kr/journal/pdf/12_4.pdf pada tanggal 26
Desember 2008, pukul 03:44 wib.
Darmawan, Hikmat. 2007. dalam tulisannya yang berjudul RONGGENG YANG
MENGECEWAKAN: Novel dan Film di Indonesia, diunduh dari
http://hikmatdarmawan.multiply.com/journal/item/24/RONGGENG_YAN
G_MENGECEWAKAN_Novel_dan_Film_di_Indonesia pada 29 April
2008, pukul 00:11 wib.
Engelstad, Arne. TT. Literary Film Adaptation as Educational Text diunduh dari
http://www.caen.iufm.fr/colloque_iartem/pdf/engelstad.pdf pada tanggal
26 Desember 2008, pukul 04:09 wib.
http://en.wikipedia.org/wiki/Deus_ex_machine diunduh pada 25 Agustus 2009,
00:24 wib.
http://en.wikipedia.org/wiki/Literary_adaptation. Literary Adaptation, diunduh
pada tanggal 13 Januari 2009, pukul 17:27 wib.
http://en.wikipedia.org/wiki/Snow_White_and_the_Seven_Dwarfs_(1937_film)
diunduh pada tanggal 13 Desember 2008, pukul 20:23 wib.
http://overstreet-filmmaking.blogspot.com/2009/07/plot-driven-storiesvscharacter-driven.html diunduh pada 25 Agustus 2009, 00:02 wib
http://www.gong.tikar.or.id/?mn=wawasan&kd=48 (diunduh pada 9 November
2009 pukul 20:10 wib).

214

http://www.suaramerdeka.com/harian/0603/02/nas04.htm (diunduh pada 30 Desember


2009 pukul 15:36 wib).

Itafarida, S. Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra, Universitas Airlangga, dalam


artikelnya berjudul Adaptasi dari Karya Sastra ke Film: Persoalan dan
Tantangan diunduh dari www.journal.unair.ac.id pada 29-4-2008 pukul
21:31 wib.
Juniarso, Ridwan. TT. Sastra Mesum dan Arsitektur Tubuh. Diunduh dari
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0104/08/0804.htm. pada 19 November 2009
pukul 19:23 wib.

Lagi,

Sastra
Wangi
Itu
diunduh
dari
http://www.koranjakarta.com/beritadetail.php?id=15889, pada 19 januari 2010, 19:35 wib.

Parys, Thomas Van. 2007. Film Adaptation and Its Discontens: From Gone with
the Wind to The Passion of the Christ. Diunduh dari
http://www.imageandnarrative.be/affiche_findesiecle/vanparys.htm pada
tanggal 26 Desember 2008, pukul 03:14 wib.
Sumber Lain
Merriam-Websters Unabriged Dictionary (2000:version 2,5)
Oxford Advance Genie (kamus elektronik)

Lampiran 1

LINTAH
Ibu saya memelihara seekor lintah. Lintah itu dibuatkan sebuah
kandang yang mirip seperti rumah boneka berlantai dua, lengkap
dengan kamar tidur, ruang makan, ruang tamu dan kamar mandi di
tempatkan di sebelah kamar Ibu. Saya selalu merengek kepada Ibu
untuk memelihara hewan lain, namun Ibu bersikeras memlihara lintah
itu dan mempertahankannya sebegai hewan peliharaan tunggal di
rumah kami.

213

Adegan
Saya penyayang binatang. Namun saya sangat benci kepada
lintah. Lintah tidak pernah puas atas apa yang dimilikinya. Begitu juga
dengan rumah pribadi istimewa. Sepulang sekolah, sering saya temui
lintah itu duduk di sofa ruang tamu kami. Kadang ia

212

mengganggu saya ketika sedang menonton televisi dengan mengganti


saluran seenak hati. Bahkan ia sering kedapatan sedang pulas tertidur
di atas tempat tidur saya, dan tentunya membuat saya mengurungkan
niat untuk beristirahat.
Dari hari-ke hari kebencian saya memuncak. Sudah lebih enam
bulan lintah itu tinggal bersama kami. Dan tabiatnya bertambah hari
semakin kurang ajar. Pada suatu hari saya mengadu kepada Ibu, bahwa
saya sulit beristirahat karena lintah itu sering meniduri tempat tidur
saya. Di luar dugaan Ibu membela lintah ketimbang saya. Ia
mengatakan bahwa saya melebih-lebihkan. Ibu tidak percaya semua
pengaduan yang saya utarakan. Yah lintah ini memang sangat pandai
menarik hati Ibu. Setiap Ibu pulang kerja lintah duduk manis di dalam
rumahnya. Lalu Ibu akan mengecupnya mesra dan membawanya
masuk ke dalam kamarnya. Entah apa yang mereka lakukan di sana.
Saya hanya mendengar sayup-sayup suara Ibu tertawa-tawa. Kadang
hening tanpa satu suara. Namun pernah juga saya mendengar desahan
napas Ibu dan lintah berbaur jadi satu.
Pada suatu hari Minggu, keingintahuan saya mendesak kuat. Saya
mengintip dari sela-sela tirai yang sedikit terbuka ke dalam kamar Ibu.
Dan saya sangat kaget melihat seekor ular yang merah menyala.
Lidahnya menjulur keluar dan liurnya menetes ke bawah. Saya sangat
jijik melihatnya. Namun Ibu dengan rakusnya menelan habis liur ular
itu tanpa menyisakan satu tetes pun! Yang lebih mencengangkan lagi,
ular itu lalu berangsur-angsur mengecil, saya tak bisa membayangkan
sebelumnya bila ular itu tidak lain adalah lintah.
Hubungan Ibu dan lintah semakin erat saja. Kalau dulu Ibu hanya
mengeluarkan lintah dari rumahnya dan membawanya ke dalam
kamar, sekarang Ibu membawanya ke mana-mana. Bila kami makan
bersama, lintah itu ditaruhnya di atas kepala dan berubah menjadi ularular kecil tak terhingga banyaknya. Setiap Ibu menyendok satu suap
nasi ke dalam mulutnya, tidak lupa Ibu melemparkan sedikit makanan
ke atas kepalanya dan ular-ular itu berebut dengan rakus di sana.*
Tentu saja saya mual dengan pemandangan ini. Namun Ibu tidak mau
mengerti. Kalau saya tidak kuasa lagi menghabiskan makanan yang

214

masih tersisa, Ibu akan memaki dan memaksa saya untuk


menuntaskan. Saya dapat melihat mata ular-ular itu lebih menyala
melihat penderitaan saya. Saya dapat melihat mereka tertawa tanpa
suara.
Bila kami sedang menonton televisi, lintah itu tertidur di pangkuan
Ibu. Dengkurannya sangat mengganggu dan bau tidak sedap
menyergap seisi ruangan itu. Bila ada acara musik di televisi, lintah
langsung terbangun dan Ibu akan memindahkannya kembali di atas
kepalanya. Lalu lintah akan kembali berubah menjadi ular-ular kecil dan
menari gembira. Saya pernah mencoba pura-pura terganggu nyamuk
dan menyemprotkan obat serangga ke seluruh ruangan dengan
harapan racun serangga itu dapat membunuh lintah. Tapi Ibu langsung
melompat dari duduknya dan menempeleng muka saya. Dan mata
lintah kelihatan benar-benar tertawa.
***
Akhir-akhir ini Ibu lebih sering tinggal di rumah. Ibu memang
bukan pekerja tetap. Ibu adalah seorang penyanyi yang tentu saja
tidak tentu jadwal kerjanya. Kadang Ibu pergi pagi sekali dan tiba larut
malam. Kadang Ibu pergi sore hari dan baru kembali siang hari. Sering
juga berhari-hari Ibu tidak pulang bila mendapat tawaran menyanyi di
luar kota. Kalau dulu saya sering merindukan kehadiran Ibu, sekarang
saya sangat mengharapkan Ibu tidak pernah kembali. Saya sudah
muak melihat kedekatan Ibu dengan lintah. Bila Ibu pergi, saya merasa
tenang karena Ibu sudah mulai membawa lintah itu ke mana-mana.
Saya pernah melihat Ibu di televisi menyanyi dengan lintah yang sudah
berubah menjadi ular-ular kecil di atas kepalanya dan menari-nari. Saya
pernah membaca di surat kabar bahwa Ibu sudah diberi julukan
Penyanyi Medusa. Memang banyak sekali tawaran mengalir
sesudahnya. Dan ini membuat Ibu semakin sayang kepada lintah.
Mungkin karena Ibu sudah demikian terkenal. Ibu menjadi pilih-pilih
tawaran. Dan inilah yang membuat Ibu lebih sering berada di rumah.
Ekonomi kami pun membaik. Kami jadi sering pergi jalan-jalan. Ibu
membelikan saya berbagai macam barang yang tidak ingin saya
punyai. Saya hanya ingin Ibu berpisah dengan lintah. Mungkin barangbarang yang Ibu belikan untuk saya sematamata rayuan supaya saya
tidak lagi membicarakan lintah.
Di luar rumah, bila kami sedang berjalan-jalan, ibu tidak menaruh
lintah di atas kepalanya. Ibu menaruh lintah di kantung supaya tidak
ada yang mengenali Ibu yang sudah berubah menjadi selebriti. Sering

215

Adegan
lintah licik itu diam-diam membelah dirinya menjadi dua, dan seekor
menyelinap masuk ke dalam kantung saya tanpa sepengatahuan Ibu.
Saya tidak berani mengadu, takut Ibu marah seperti dulu. Sesekali
saya melihat Ibu memasukkan tangannya ke dalam kantung untuk
memeriksa keberadaan lintah. Dan alangkah puas mukanya bila
tangannya bersentuhan dengan tubuh lintah.
Beberapa kali berhasil membelah diri tanpa sepengetahuan Ibu,
lintah makin menjadi-jadi. Ia lalu membelah diri menjadi tiga, empat,
bahkan lima. Dan kali ini sudah tidak lagi menyelinap dalam kantung
saya. Ia menyelinap ke bawah baju saya. Yang satu menyelinap ke
pinggang saya. Yang satunya lagi ke perut saya. Dan mereka berputarputar sesuka hati menjelajahi tubuh saya sambil mengisapi darah saya.
Saya semakin membenci lintah. Dan saya mulai membenci Ibu.
***
Hari itu terik matahari begitu menyengat. Seragam sekolah saya
basah oleh peluh yang tidak kunjung berhenti menetes. Sesekali saya
rasakan perih saat setitik peluh jatuh tepat pada luka-luka bekas
gigitan lintah. Namun penat dan perih mendadak hilang setibanya saya
di rumah. Saya sangat bahagia mendapatkan mobil Ibu tidak ada. Saya
masuk melalui ruang tamu yang kosong tanpa mereka. Saya menengok
rumah lintah yang rapi tak terjamah. Saya masuk ke dalam kamar
lengang dan kembali bahagia bersemayam dalam dada. Saya
membuka pintu kamar Ibu. Bau wangai menergap hidung saya,
menyergap kerinduan, menyergap perasaan. Saya melangkah masuk.
Memutar kunci dan merebahkan diri di atas tempat tidur Ibu sambil
memandang lukisan kami berdua yang terpampang di atasnya. Apakah
semua lukisan keluarga yang menampakkan senyum bahagia hanyalah
sandiwara? Pikir saya. Tiba-tiba tercium bau yang sangat saya kenal
dan begitu saya benci. Tanpa dapat saya hindari lintah sudah berdiri
tepat di depan saya. Lintah itu berubah menjadi ular kobra yang siap
mematuk mangsanya. Matanya warna merah saga menyala. Jiwa saya
gemetar. Raga saya lumpuh. Ular itu menyergap, melucuti pakaian
saya, menjalari satu persatu lekuk tubuh saya. Melumat tubuh saya
yang belum berbulu dan bersusu, dan menari-nari di atasnya
memuntahkan liur yang setiap tetesnya berubah menjadi lintah. Lintahlintah yang terus menghisap hingga tubuh mereka menjadi merah.
***
Senja kelam hari ini. Hujan deras. Suara petir bertalu-talu.
Seberkas kilat menerangi wajah Ibu.

216

Ibu mau bicara padamu, Maha.


Saya juga ingin bicara pada Ibu.
Ibu akan bicara dulu, Maha. Sesudah itu giliranmu.
Kembali petir meledak dan kilatnya memperjelas senyum Ibu.
Kamu sudah besar. Sudah saatnya kamu mempunyai adik.
Ibu diam menunggu jawaban. Namun saya lebih diam.
Ibu mengandung, Maha. Dan sebentar lagi Ibu menikah. Sudah
lama Ibu hidup sendiri semenjak ayahmu meninggal. Dan kamu sudah
lama hidup tanpa Ayah.
Mata saya membeliak lebar. Suara petir tidak lagi terdengar.
Siapakah
laki-laki
berbahagia itu,
Ibu? Siapakah lakilaki yang akan menjadi ayah saya?
Angin membuka tirai jendela.
pengharapan jiwa. Lintah .
Angin mereda.

Sekejap
Tirai

cahaya
kembali

menerangi
tertutup.

Menghadirkan gelap, menghadirkan sunyi .


Jakarta, 4 Juli 1999
* Seorang tokoh wanita berambut bagai Medusa dalam novel Jazz,
Parfum dan Insiden karya Seno
Gumira Ajidarma

217

Adegan
Lampiran 2

MELUKIS
JENDELA
Sejak kecil Mayra senang melukis. Sebagai anak tunggal ia
menghabiskan banyak waktu hanya dengan melamun tanpa seorang
pun untuk diajak bicara. Maka ia mulai melukis seorang ibu, bersanggul
dan berkebaya emas dengan selendang cokelat muda yang kontras
dengan kain berwarna cokelat tua yang dikenakannya, sedang duduk
memangku Mayra sambil menatap mata Mayra hangat dan mesra.
Setiap Mayra pulang sekolah, disambut dengan kelengangan dan
kesejukan dari dalam rumahnya yang ber-AC, ia akan segera masuk
kamar dan menghabiskan waktu bercakap-cakap dengan lukisan itu.
Ia berkeluh kesah tentang teman-teman prianya di sekolah yang
kerap meraba-raba payudara dan

220
kemaluannya sehingga menyebabkan teror dalam dirinya setiap
berangkat ke sekolah. Ia mendengar Ibu dengan lembut mengatakan
segalanya akan membaik esok hari. Mayra mengecup Ibu lalu
mendekapnya hingga tertidur.
Keesokan harinya Mayra pergi ke sekolah tanpa beban dan penuh
pengharapan. Namun setibanya di sekolah segerombolan anak laki-laki
sudah menghadangnya di depan pintu pagar dan beramairamai
menariknya ke kantin yang masih sepi.
Kalia tidak akan bisa menyentuh saya hari ini! teriak Mayra.
Kenapa,

Maniskenapa

kami tidak bisa

menyentuhmu hari ini?


Karena Ibu saya mengatakan begitu!
Ibumu? Ibu yang mana? Ibu yang tidak pernah kami lihat satu kali
pun selama lima tahun bersekolah? Ibu yang tidak pernah datang pada
saat mengambil rapormu sekalipun?! Mereka ramai-ramai tertawa.

218

Seorang dari mereka berlima ikut berteriak, Aku mau lihat ibumu, pasti
ibumu yang menurunkan kecantikannya kepadamu. Biar kami garap
sekalian! mereka kembali tertawa sambil memegangi perut. Mayra
mengayunkan tinjunya, tepat mengenai hidung salah satu anak lakilaki. Darah segar meleh dari dalam hidungnya.
WahAnton KO sama cewek!
Mayra melepaskan diri lalu berlari kencang menuju kelasnya.
***
Tidak ada yang berubah sebelum dan sesudah Mayra meninggalkan
rumah kecuali mobil ayahnya yang sudah tidak terparkir di dalam
garasi. Segala sesuatu masih tetap berada di tempatnya.
Lukisanlukisan karya para pelukis terkenal, dua patung Bali di samping
pintu kamar ayahnya yang terbuat dari kayu ukiran Jepara, barangbarang antik dan bingkai foto ia dengan ayahnya, semuanya rapi,
bersih dan tidak terjamah.
Namun sama sekali tidak ada foto Ibu. Mayra menangis berlari ke
kamarnya dan mengeluarkan lukisan Ibu. Ia menumpahkan
kekecewaannya kepada Ibu. Tentang janji bahwa segala sesuatunya
akan lebih baik. Tentang kepuasannya berhasil meninju hidung
berandalan itu hingga berdarah. Dan ia mengadu tentang Ayah. Ayah
yang tidak pernah mau menceritakan asal usul Ibu. Ayah yang tidak
pernah ada di rumah atau di rumah namun menghabiskan waktu
seharian menulis di dalam kamar kerja. Mayra dapat merasakan tangan
Ibu mengelus-elus rambutnya lalu bersenandung menenangkan
dirinya. Mayra menggenggam tangan Ibu, menciuminya satu per satu.
Ibu, apakah Ibu secantik yang mereka katakan?
Dan mengapa hanya kecantikan itu saja yang Ibu wariskan? Saya
ingin Ibu. Saya tidang ingin kecantikan ini.
Lamat-lamat ia merasakan tangan Ibu berhenti mengelus
rambutnya. Ibu berjalan menuntunnya ke dapur dan memberinya
sebilah pisau.
Sayat wajahmu, Nak
Mayra menerima pisau itu ke dalam tangannya dan mereka
bergandengan kembali ke kamar lalu mengunci pintu.
Ia duduk di depan kaca meja rias. Kaca di depannya memantulkan
bayangan Ibu sedang berdiri di belakangannya. Perlahan Mayra
menyayat pipinya. Darah merah segar meleleh hangat di pipinya. Ia
tersenyum. Ia membayangkan darah segar yang keluar dari hidung

219

Adegan
temannya. Merasakan kenikmatan meninju hidung anak laki-laki itu.
Merasakan kakikakinya berlari kencang menuju kelas. Waktu ia
tersadar dari lamunannya, Ibu sudah tidak ada di belakangnya. Ibu
sudah kembali ke dalam lukisan, duduk tersenyum manis sambil
memangku dirinya, mengenakan kebaya emas dan selendang cokelat
muda.
***
Sudah hampir dua tahun sejark Mayra menyayat mukanya. Ayahnya
marah besar dan memindahkan Mayra ke sekolah lain dengan alasan
malu. Mayra tidak pernah menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
Ia sudah cukup bahagia dipindahkan ke sekolah lain dan mendapatkan
reaksi dari Ayah. Ia berterima kasih kepada Ibu dan kini ia melukis Ayah
untuk disandingkan dengan lukisan Ibu.
Siang itu Mayra sangat bahagia. Setelah dinyatakan lulus Sekolah
Dasar dengan nilai cemerlang, ia di terima masuk Sekolah Menengah
Pertama yang diinginkannya. Sesampainya di rumah, mobil Ayah masih
terparkir di garasi. Ia bergegas ke dalam lalu mengetuk pintu kamar
ayahnya untuk berbagi kegembiraan.
Pintu kamar dibuka oleh seorang wanita muda.
Apakah kamu Ibu? Biasanya itu yang selalu Mayra tanyakan
kepada setiap wanita yang dibawa ayahnya. Namun kali ini Mayra tidak
ingin bertanya. Ia tahu wanita ini terlalu muda sebagai ibunya. Dan ia
tahu ayahnya sedang tidak ingin diganggu. Dengan langkah gontai
Mayra masuk ke dalam kamarnya lalu membuka lukisan Ayah.
Ia meluapkan kegembiraanya. Ayah pun turut bergembira. Ia
mencium dahi Mayra lalu mengatakan betapa bangganya Ayah pada
Mayra dan melantunkan puja puji kepadanya. Mayra membuka lukisan
Ibu. Mereka bertiga berpelukan dan berjanji akan merayakan
kebahagiaan ini dengan makan malam yang indah di restoran
kesukaan Mayra.
Dengan manja Mayra menyandarkan kepalanya ke pundak Ayah.
Ayah dan Ibu menciuminya bertubi-tubi. Mayra merasa geli dan
girang. Ia tertawa keras hingga terguling dari kursi. Mereka memapah
Mayra ke atas tempat tidur. Menyelimuti, membelai dan mendekapnya
hingga Mayra bermimpi.
Malam tiba. Mayra mengenakan gaunnya yang terindah sambil
mematut-matut di depan kaca. Ia kenakan giwang, kalung dan cincin
berlian yang diberikan ayahnya saat ulang tahun, lalu menyapu halus

220

wajahnya dengan bedak. Luka bekas sayatan di pipinya mulai


memudar dan ternyata tidak juga dapat menyembunyikan kecantikan
Mayra. Ketika segalanya dirasakan sudah sempurna, ia bergegas
mengetuk kamar Ayah. Seorang wanita keluar membukakan pintu lalu
mengatakan bahwa ayahnya sedang beristirahat. Mayra bersikeras
kalau ayahnya sudah berjanji pergi makan malam dengan Ibu. Wanita
itu menggelengkan kepala lalu perlahan menutup pintu.
Mayra berteriak dan menangis keras sambil memukul-mukul pintu
kamar ayahnya. Tidak ada jawaban dari dalam. Mayra terus berteriak
memanggil Ayah dan Ibu. Tetap tidak ada jawaban, semuanya sunyi
dan hening sama seperti ketika Mayra terjaga dari mimpinya.
Hanya sedikit cahaya emas bulan menembus masuk dari celah-celah
gorden kamar Mayra. Sekujur tubuh Mayra basah berkeringat. Lukisan
Ayah dan Ibu masih menempel di dadanya. Ia merasa lega semua itu
hanya mimpi. Ia bangkit lalu menyalakan lampu kamar. Dibukanya
lemari pakaian dan mengeluarkan gaun malam. Tiba-tiba ia diserang
perasaan cemas jika mimpinya menjadi kenyataan. Sambil masih
memegang gaun malam ia berjalan menuju kamar Ayah.
Kamar Ayah tidak tertutup. Kembali rasa lega menyelinap dalam
dada. Ia mengintip ke dalam. Ranjang Ayah teratur rapi, namun tidak
ada Ayah. Tidak ada wanita muda itu. Lampu kamar mandi Ayah
bersinar terang, suara air mengucur terdengar dari dalam. Mayra
membuka pintu kamar mandi Ayah perlahan dan hanya menemukan Bi
Inah yang sedang membersihkan kamar mandi.
***
Mayra melukis jendela. Ia sudah merobek-robek dan membakar
lukisan Ayah dan Ibu. Ia merasakan dirinya dikhianati. Ia lebih
membenci lukisan Ayah dan Ibu ketimbang ayahnya yang seharian
pergi atau menulis di dalam kamar kerja atau mengunci diri dengan
wanita. Kebenciannya terhadap lukisan Ayah dan Ibu melebihi
kebenciannya terhadap Ibu yang tidak pernah berusaha untuk mencari
dirinya seperti yang selalu dikatakan Ayah kepadanya. Kepadanya Ayah
dan Ibu ia sudah tidak punya penghargaan apaapa. Ia sudah menerima
bahwa kenyataan itulah yang mutlak ia telan bulat-bulat.
Maka Mayra melukis jendela. Sebuah jendela besar tanpa tirai
menghadap ke sebuah dunia yang ia inginkan. Ia sering masuk ke
dalam jendela itu lalu menemukan dirinya terbaring di hamparan
hangat pasir putih dan riak ombak menggelitik pucuk jari kakinya. Ia
sadar sedang menunggu seseorang. Lakilaki berkuda dengan dada

221

Adegan
bidang dan berkulit cokelat kemerah-merahan terbakar surya untuk
menjemputnya. Ia dapat mendengarkan dengan jelas derap kaki kuda
yang mendekat dari kejauhan. Bayangan rambut hitam laki-laki yang
tergerai hingga dada menari-nari tertiup angin di atas kuda putih tak
berpelana. Ia menunggu laku-laki itu datang. Mengecup kening, mata
lalu bibirnya, dan mereka berpelukan tanpa busana. Ia membayangkan
laki-laki itu meraba payudaranya yang mulai timbuh seperti yang
pernah ia rasakan di kantin sekolah. Ia ingin mereka saling menikmati
kehangatan tubuh mereka. Saling erat, saling mengaduh, hingga senja
tiba dan pasang ombak menghanyutkan tubuh mereka ke tengah. Lalu
mereka tertawa dan berlomba berlari kembali ke tepi pantai lalu
bercerita untuk kesekian kalinya. Dan ketika matahari benar-benar
tenggelam bagai ditelan lautan, laki-laki itu mengulurkan tangannya,
membantunya naik ke atas kuda dan mereka pergi meninggalkan
pantai menuju sebuah dunia yang tak terjamah penderitaan. Dunia
penuh suka cita dan kebahagiaan.
Atau, Mayra masuk ke dalam jendela dan menemukan dirinya
berada di sekolah. Udara pagi menusuk kulitnya nemun hatinya hangat
oleh rasa suka cita. Seragam SD-nya berlumur darah. Tangan kanannya
menggenggam pisau yang sama dengan pisau yang pernah ia gunakan
untuk menyayatpipinya. Dan tangan kini Mayra menggenggam sebuah
kantong plastik hitam juga penuh darah.
Beberapa menit yang lalu ia tiba di sekolah dan seperti biasa lima
anak berandalan itu mencegatnya di pintu pagar. Sebelum mereka
menarik tangan Mayra, Mayra berkata bahwa ia ingin segera ke kantin
sekolah. Segerombolan anak laki-laki itu menyeringai senang. Seperti
kerbau dicucuk hidungnya mereka mengikuti langkah Mayra menuju
kantin. Dengan pasti Mayra berdiri bersandar pada tembok lalu
perlahan membuka kancingnya satu persatu. Kini Mayra tak lagi
berbusana. Kelima anak berandal itu menatap Mayra dengan
pandangan kosong. Lalu Mayra berkata, Mengapa kalian diam saja?
Tidakkah kalian ingin segera melucuti pakaian kalian dan menggarap
saya satu per satu?
Mereka semua terdiam kelu. Selama ini mereka senang melihat
Mayra ketakutan, memberontak dan berteriak. Mereka ingin
menunjukkan kepada Mayra. Seorang anak berayahkan penulis dan
pengusaha terkenal, satu-satunya murid yang pulang dan pergi sekolah
degan selalu mengendarai mobil mewah dengan sopir pribadi, agar
tidak seenaknya saja melihat mereka dengan sebelah mata. Namun

222

akhirnya keheningan pecah oleh sebuah suara dari salah satu anak
berandalan itu.
Apa susahnya buka baju?! Ayo kita buka, kita garap beneran!
Lalu laki-aki bernama Anton yang pernah Mayra tinju hidungnya
membuka bajunya. Yang lain mengikuti namun tetap diam di tempat.
Mereka membiarkan Anton berjalan lebih dulu mendekati Mayra.
Kalian boleh menggarap saya semau kalian, tapi bergiliran dan
tidak di sini. Kita ke kemar mandi. Kalian berlima harus menunggu satu
per satu di setiap kamar mandi. Jika saya selesai, saya akan
mendatangi kalian.
Mereka setuju dan berjalan beriringan ke kamar mandi. Mayra
berjalan lebih dulu dengan Anton sementara yang lain mengikuti dari
belakang dan masing-masing menunggu dalam kamar mandi sekolah
yang berjajar. Mereka mendengar Anton mendesah pelan, lalu makin
lama makin tak beraturan hingga Anton berteriak kencang dan setelah
itu tidak ada lagi suara terdengar. Setelah itu Mayra pindah ke kamar
mandi sebelah, mereka kambali mendengar apa yang baru saja mereka
dengar. Mereka tidak tahan menunggu giliran, mereka ingin cepatcepat Mayra datang. Semua berlangsung sama dengan sebelumnya
hingga kamar mandi yang kelima. Mayra mengenakan kembali baju
seragamnya hingga darah ditangannya menempel pada seragam
sekolahnya. Sebelum Mayra pergi, ia melirik sepintas ke arah Anton
yang telentang di lantai kamar mandi tanpa penis lagi.
Mayra melukis jendela, masuk dan menemukan dirinya berada di
sebuah taman indah penuh warnawarni bunga. Dua anak perempuan
kecil menghampiri dan tersenyum kepadanya. Wajah mereka mirip
dengan Mayra namun jauh lebih cantik. Pipi mereka merona merah,
kulit mereka putih bersih, baju yang mereka kenakan begitu indah
dengan mahkota bunga di kepala mereka. Mereka lebih mirip dengan
bidadari ketimbang anak manusia. Mayra mengecup mereka dengan
lembut dan menuntun mereka menuju pelangi emas bertahtakan
mutiara. Seorang laku-laki sudah menunggu di sana. Merentangkan
tangan untuk memeluk mereka semua.
***
Pagi-pagi sekali Bi Inah mengetuk
pintu kamar. Mayra untuk
membangunkan Mayra sekolah. Tidak seperti bisasa, kamar itu tidak
terkunci. Bi Inah menemukan kertas-kertas bergambar jendela
berserakan di seisi kamar. Mayra tidak ada di kamarnya. Seprainya
tetap rapi seperti tidak pernah ditiduri. Bi Inah mengetuk kamar

223

Adegan
majikannya. Seorang wanita membuka pintu mengatakan tuannya
masih tidur. Bi Inah menghela napas dan menunggu. Tapi ia tahu,
Mayra tidak akan pernah kembali.
Jakarta, 19 September 2001, 2:50 PM

Anda mungkin juga menyukai