Anda di halaman 1dari 10

SASTRA DALAM DUNIA MAYA1

Faruk2

1. Pengantar

Keterlibatan masyarakat seluruh dunia, termasuk masyarakat Indonesia, dalam dunia maya
(ruang siber) memperlihatkan kecenderungan yang semakin meluas dan mendalam. Sebuah
lembaga riset pasar, e-Marketer, sebagaimana yang dikutip oleh Kompas.com dan yang
kemudian dimuat di dalam website Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik
Indonesia (2014) memperkirakan bahwa pengguna internet dunia akan meningkat dari
2.692.6 milyar pada tahun 2013 menjadi 3.600.2 milyar di tahun 2018. Dalam rentang waktu
yang sama pengguna Indonesia diperkirakan meningkat dari 72.8 juta menjadi 123.0 juta.
Data yang lebih mutakhir, yang berasal dari lembaga riset pasar yang lain, Hootsuit,
sebagaimana yang dikutip oleh Andi.link (2019), memperlihatkan bahwa jumlah pengguna
internet di seluruh dunia mencapai 4.437 milyar pada kuartal kedua 2019. Sumber yang
sama menunjukkan bahwa pengguna internet di Indonesia mencapai 150 juta. Dibandingkan
dengan jumlah penduduk dunia maupun penduduk Indonesia, pengguna internet itu sudah
mencapai lebih dari 50%. Dengan kata lain, lebih separoh dari kita sudah memasuki dan
hidup dalam dunia maya. Adapun intensitasnya, menurut sumber yang kedua di atas,
mencapai tingkat penggunaan 8 jam perhari melalui perangkat apa pun dan 2 jam perhari
untuk video dan musik.

Tim Jordan (2001) mengatakan bahwa internet bukanlah sekedar media yang netral,
melainkan mempunyai kekuatan atau kekuasaan yang dapat mempengaruhi dan bahkan
membentuk kehidupan manusia. Teknologi tersebut membentuk suatu ruang maya, yang
terpisah dan bahkan dapat bertentangan dengan ruang kehidupan yang nyata. “Virtuality,
whether chosen by us or not, has grown parallel to reality, encompasses us all.” (2001: 2).

1
Makalah ini baru berupa draft yang dipergunakan khusus untuk presentasi dalam acara Bahasa dan Sastra
dalam Perspektif Budaya Siber yang diselenggarakan pada tanggal 26 Oktober 2019 di Universitas Negeri
Yogyakarta di Yogyakarta.
2
Dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta
Semua masyarakat, katanya, akan membentuk suatu pola, baik dalam hal politik, teknologi,
maupun kebudayaan. Hal yang sama berlaku juga bagi ruang maya. Contoh yang sederhana
adalah soal tubuh dan seks. Aktivitas seks virtual menunjukkan bahwa keterlibatan kita di
ruang maya tidak sekedar keterlibatan pikiran, melainkan juga ketubuhan. Konsep cyborg
(organisme siber) yang muncul di film-film ilmiah memperlihatkan adanya konsep tubuh
yang berbeda daripada tubuh di ruang nyata.

Contoh sederhana lainnya, yang tampak menyolok, dan bahkan sudah menjadi pengetahuan
umum, adalah bahasa. Setidaknya, ada dua gejala kebahasaan yang khas di dalam ruang
maya itu, yakni gejala munculnya semacam ragam atau seringkali disebut sebagai slank yang
khas di dalamnya, dengan berbagai bentuk singkatan seperti LOL dan berbagai bentuk
emoticon, dan gejala kekhasan gramatikanya, untuk tidak menyebutnya sebagai
pelanggaran terhadap kaidah-kaidah bahasa baku. Di internet akan dapat dengan mudah
diakses apa yang dinamakan sebagai kamus internet seperti yang antara lain dikemukakan
Elise Moreau (2019) di https://www.lifewire.com/urban-internet-slang-dictionary-3486341.

“The rise of web-based technologies, online chatting, mobile texting, email and instant
messaging have all helped shape the way we communicate. Short-form words,
acronyms, phrases, and memes have almost helped contribute to the development of a
whole new language that defines Internet culture.

Today, this so-called "Internet language" is as popular as ever and virtually second
nature in use amongst Internet users.”

Dengan mengutip temuan dari Mark Dery, David Hakken (1999) menyebut kecenderungan
di atas sebagai sub-culture.

Ruang maya pada dasarnya adalah ruang sosial dan kultural yang pembentukannya
dimungkinkan oleh teknologi informasi dan komunikasi berbasis komputer. Sebagai
teknologi informasi, komputer berfungsi sebagai alat untuk menyimpan, menerima,
mentransmisikan, dan memanipulasi atau mengolah data atau informasi. Fungsi tersebut
hanya dapat dilakukan apabila informasi itu sudah diubah menjadi satuan-satuan digital
yang memungkinkannya terbebas dari ikatan ruang dan waktu yang bersifat fisikal dan
menjadi citra-citra yang penyimpanannya tidak membutuhkan ruang fisik sebesar ruang
untuk menyimpan benda-benda yang bersifat fisikal. Sebagai satuan-satuan digital,
informasi itu dapat disimpan dan jumlah besar dengan ruang yang semakin kecil, menjadi
lentur sehingga dapat diolah dan dimodifikasi dengan bebas, serta dapat ditransmisikan
dengan cepat dan dengan jangkauan yang jaraknya dapat dikatakan tidak terbatas. Karena
sifat digital dari informasi tersebut, komputer sekaligus dapat bekerja secara multimedia.
Internet pada dasarnya adalah kombinasi atau kolaborasi antara komputer dengan telepon
sebagai teknologi komunikasi, yang menghubungkan komputer yang satu dengan komputer
yang lain, pengguna yang satu dengan pengguna yang lain dalam ruang dengan jarak yang
semakin meluas, sesuai dengan kapasitas teknologi komunikasinya.

Karena sifat komputer yang demikian, ruang maya pun menjadi suatu ruang yang bersifat
multi-media, yang di dalamnya berbagai bentuk informasi, baik yang verbal, audio, maupun
visual menyatu dan membentuk jaringan. Dengan menganalogikan dengan metafora yang
digunakan McLuhan dalam pembicaraannya mengenai sejarah perkembangan media,
Manuel Castlells (2002) mengatakan bahwa yang menjadi pesan dalam apa yang ia namakan
galaksi internet adalah jaringan itu sendiri. Jaringan, menurutnya, adalah seperangkat titik-
temu (nodes) yang saling terkoneksi satu sama lain. Berbeda dari satuan struktur yang
terpusat atau hirerarkis, jaringan, katanya, mempunyai sifat lentur, adaptif, dan kritis.

Di dalam jaringan, satu titik-temu dapat berkaitan dengan berbagai jaringan yang berbeda,
dapat bergerak secara lentur dari satu jaringan ke jaringan yang lain. Secara metaforis,
jaringan ini seringkali diumpamakan sebagai jamur, rumput, dan sejenisnya. Kekuatannya
tidak terletak pada akarnya yang dalam dan batangnya yang menjulang tinggi seperti yang
ada pada pohon beringin yang besar dan kokoh, melainkan pada jaringannya yang
cenderung bersifat egaliter. Dunia akademik akhir-akhir ini memperlihatkan pengaruh yang
kuat dari karakter ruang maya yang berbasis internet yang demikian. Pengaruh itu tidak
hanya terlihat pada makin banyaknya penggunaan komputer dan internet, melainkan
bahkan pada paradigma atau cara pandangnya mengenai ilmu pengetahuan itu sendiri.
Konsep mengenai lintas-disiplin atau multi-disiplin merupakan salah satu contohnya yang
menonjol. Begitu juga konsep mengenai tolok ukur produktivitas keilmuan, pembiayaan
penelitian, stake holder, dan sebagainya. Konsep jaringan di atas juga mempengaruhi
konsep mengenai identitas atau jati-diri, yaitu sebagai yang dianggap tidak bersifat
substansial, kokoh, tunggal, tak pernah berubah, melainkan bersifat relasional, plural, dan
dapat berubah-ubah, atau bahkan ganda.

2. Sastra Siber

Sastra, tentu saja, tidak terkecuali. Kajian mengenai sastra siber atau sastra di ruang maya
sebenarnya sudah sangat banyak. Piret Viires (2005) menyarikannya sebagai berikut.

“Cyberliterature could therefore serve as an umbrella term which could tentatively be


divided in three:
(i) All literary texts available in the Internet (WWW). This term covers prose or poetry
texts available at the home pages of professional writers; anthologies of prose or
poetry published and digitised; collections of classical texts (e.g. Project Gutenberg2 );
online literature magazines (e.g. Ninniku3 ), etc.
(ii) Non-professional literary texts available at the Internet, which inclusion in literary
analysis expands the boundaries of traditional literature. Here the net functions first
and foremost as an independent place of publication. The term would cover home
pages of amateur writers, groups of unrecognised young authors and their portals
(e.g. Kloaak4 ). Here we might also include peripheries of literature, such as fanfiction
or blogs describing people’s daily life, also text-based role-playing games and
collective online novels.
(iii) Hypertext literature and cybertexts. These would include literary texts of more
complex structure, which exploit various hypertext solutions, but also intricate
multimedia cybertexts. Such cybertexts would be the most authentic example of
multimedia artefacts, merging literature, visual arts, film, music.”

Di dalam tulisan ini kelompok (i) dan (ii) digabungkan menjadi sastra yang dipublikasikan di
ruang maya dalam pengertian bahwa internet hanya merupakan alat untuk publikasi,
menjadi media yang seakan netral terhadap sastra yang berbasis cetak. Kelompok (iii)
dipahami sebagai sastra yang dipublikasikan lewat internet dan bahkan hanya dapat dibaca
melalui internet pula atau setidaknya media berbasis komputer. Selain itu, tulisan ini juga
memasukkan kelompok sastra yang lain, yang justru berbasis cetak. Seperti yang juga
diungkapkan oleh Viires diskusi mengenai hubungan antara internet dengan karya-karya
sastra pasca-modernisme dan modernisme juga terjadi. Dalam hal ini internet bukan lagi
berfungsi sebagai alat produksi, distribusi, maupun konsumsi sastra, melainkan lebih
sebagai model atau paradigma dalam penciptaan karya-karya sastra yang bahkan berbasis
cetak. Saya menyebut karya sastra yang demikian adalah karya sastra dengan sensibilitas
internet.

2.1 Sastra Bermedia Internet

Yang dimaksud dengan sastra dalam judul 2.1 di atas adalah sastra dalam pengertian yang
sekarang masih hegemonic, yaitu sastra sebagai tulisan yang tercetak dan dipublikasikan
melalui media cetak, baik di surat kabar, majalah, ataupun buku-buku hasil cetakan. Dengan
pengertian yang demikian, hubungan antara sastra dengan internet sekedar hubungan alat
publikasi, media komunikasi, yang bersifat netral. Karena itu, meskipun berada di dalam
ruang maya, sastra yang demikian tidak mengalami perubahan dalam keberadaannya
sebagai tulisan yang tercetak.

Seperti diketahui bersama, sastra cetak sebenarnya mempunyai media komunikasinya


sendiri, yaitu berbagai media cetak yang sudah disebutkan di atas. Meskipun demikian,
sastra cetak tersebut masih membutuhkan internet sebagai media komunikasinya dengan
mempertimbangkan kelebihan dari media yang kemudian itu dibandingkan dengan media
yang terdahulu. Dibandingkan dengan media cetak, media internet mempunyai jangkauan
public yang jauh lebih luas, dab dapat digunakan dengan bebas oleh pengguna, tanpa
terhambat oleh birokrasi penerbitan yang terstruktur dan hierarkis.

Di indonesia terdapat sebuah penelitian mengenai sastra yang demikian, yaitu yang
dilakukan oleh Fathu Rahman (2017) dengan judul “Cyber Literature: A Reeder-Writer
Interactivity”. Dengan menggunakan pendekatan yang disebutnya sebagai respon pembaca,
khususnya teori Hans Robert Jauss, penelitian itu mencoba memahami interaksi langsung
pembaca dengan penulis yang berlangsung di internet dengan mengacu pada karya-karya
sastra yang diupload di media tersebut. Hasilnya adalah bahwa karya-karya sastra Siber
dengan jenis yang sudah dikemukakan di atas bermanfaat dalam memperkenalkan genre
sastra baru dan sekaligus memberi motivasi bagi peningkatan kreativitas penulis dan
sekaligus dorongan untuk memanfaatkan internet.

Selain itu, penelitian tersebut juga melihat adanya kecenderungan yang serupa dengan
kategori sastra siber (ii) yang dikemukakan di atas, yaitu terbukanya peluang bagi
sastrawan-sastrawan baru untuk tampil dengan bebas, tanpa harus dihambat oleh seleksi
kritikus sastra, redaksi surat kabar, dan sebagainya. Namun, sebenarnya masih ada satu
kemanfaatan yang lain, yang secara tidak langsung terkait dengan perkembangan sastra
cetak. Hartmantyo (2019) menunjukkan bagaimana apa yang ia sebut sebagai boom kedua
usaha penerbitan di Yogyakarta sangat dipengaruhi oleh teknologi digital dalam hal
percetakan dan sekaligus dalam hal publikasi dan komunikasi melalui internet. Boom
pertama yang terjadi pada awal 1980an, menurutnya, terjadi akibat adanya bantuan dari
Ford Foundation kepada penerbit-penerbit Yogya dengan dana yang relatif besar dan
dengan oplag yang relatif tinggi. Setelah bantuan itu dihentikan, penerbitan di Yogya
menurun drastis, banyak penerbit yang bangkrut. Boom kedua terjadi akibat adanya dua
faktor pendukung, yaitu adanya internet sebagai ruang publikasi dan pemasaran yang
murah dan meriah dan adanya teknologi percetakan yang didasarkan pada permintaan (in
demand). Dalam hal ini internet membebaskan penerbit Yogya dari beban modal finansial
yang besar.

Pada tanggal 2-5 September yang lalu, dalam acara Kampung Buku yang diselenggarakan di
PKKH-UGM, yang memamerkan buku-buku terbitan penerbit Indie Yogya dan sekitarnya,
saya dibut takjub oleh begitu banyaknya buku-buku yang diterbitkan, termasuk buku-buku
sastra. Yang lebih menarik adalah bahwa yang diterbitkan tidak hanya karya-karya sastra
yang baru, melainkan juga karya-karya sastra yang lama, yang klasik, baik yang bersifat lokal
maupun global. Tidak sedikit dari buku-buku itu yang relatif tebal dengan harga yang juga
dapat dikatakan tidak murah. Pengunjung hampir penuh sepanjang waktu dan sepanjang
hari. Tentu tidak sedikit juga yang membeli. Dengan kata lain, fenomena penerbitan itu
setidaknya mengindikasikan dua hal, bagi saya. Pertama, efek internet dan teknologi digital
terhadap penerbitan, termasuk penerbitan sastra. Kedua, antusiasme pengunjung dan
pembeli yang bukan tidak mungkin dipengaruhi juga oleh internet. Saya akan mengulas
kembali persoalan yang kemudian ini di uraian selanjutnya.

2.2 Sastra Berbasis Internet

Seperti yang sudah saya kemukakan, ketegori yang kedua ini merupakan sastra berbasis
internet, yang produksi maupun konsumsinya dilakukan melalui teknologi digital, baik
sebagai alat untuk menyimpan, mengolah, maupun mempublikasikan dan
mengkomunikasikan informasi. Karya sastra yang demikian bisa dibedakan menjadi
setidaknya dua jenis, yaitu karya sastra yang disebut hypertext dan cybertext seperti yang
juga sudah dikemukakan. Yang pertama memperlihatkan relasi inter-tekstual yang sama-
sama bersifat verbal, sedangkan yang kedua relasi antara teks verbal dengan teks-teks jenis
lain, baik yang bersifat auditif maupun visual dan bahkan audio-visual (video). Meskipun
berbeda dalam hal bahannya, cara kerja dari kedua karya sastra ini sebenarnya serupa, yaitu
dengan menggunakan link yang tersebar di dalam teks, yang dapat diklik agar pembaca atau
pengguna dapat masuk ke dalam berbagai teks lain. Cara kerja yang demikian dapat disebut
sebagai cara kerja yang khas internet, yaitu pola jaringan.

Dengan cara kerja yang demikian, konsep teks atau tekstualitas dalam sastra internet
berpotensi meluas. Kalau dalam kasus kategori yang pertama, internet memungkinkan
adanya interaktivitas dalam hubungan antara penulis dengan pembaca, terutama dalam
konsumsi dan penafsiran karya sastra yang diunggah dan memungkinkan munculnya
sastrawan-sastrawan baru yang terbebas dari seleksi dan evaluasi berbagai otoritas sastra
cetak, dalam kasus ketagori yang kedua ini tekstualitas sastra dapat menjadi tidak hanya
verbal, melainkan juga audio-visual, tepatnya multi-media. Karena model yang paling
representatif dari karya sastra dengan cara kerja jaringan di atas, muncul karya sastra yang
saat ini masih berada di wilayah perbatasan, masih menjadi bahan perdebatan, yaitu video
game. Dalam beberapa hal video game mempunyai karakteristik yang sama dengan sastra,
misalnya mengandung elemen cerita, plot, tokoh, setting, dan juga terutama bersifat
imajinatif. Akan tetapi, dari segi yang berkeberatan, video game dianggap tidak mendalam,
tidak mengandung makna, hanya menjadi cerita petualangan yang dangkal. Mattheuw J.
Shields (2009) meneliti video game tertentu dengan pendekatan dramaturgi. Tujuannya
adalah bagaimana menemukan makna dalam video game dengan pendekatan tersebut.
Hasilnya adalah bahwa video game yang diteliti menggambarkan secara ironik kehidupan
ekonomi dan politik masyarakat modern yang lebih berpihak pada kepentingan elite
daripada kepentingan masyarakat kebanyakan. Begitu pemain (player) video game itu
menginginkan hal yang lain, misalnya bermaksud menyenangkan rakyat, game itu akan
berhenti, tidak dapat dilanjutkan.
Persoalan hubungan pemain dengan video game sekaligus memperlihatkan sisi lain dari
sastra siber, yaitu sifat interaktivitasnya. Kalau dalam penelitian Fathu Rahman di atas,
interaksi terjadi antara pengarang dengan pembaca dalam cara mengkonsumsi,
memahami,atau mengapresiasi karya sastra, di dalam sastra siber interaksi itu terjadi di
antara pemain dengan teks video gamenya sendiri. Teks video game dapat memberikan
reaksi terhadap pilihan yang diambil oleh pemain karena teksnya tidak hanya bersifat
hypertekstual, melainkan juga membentuk satu sistem yang aktif, yang berbasis aplikasi
atau program. Salah satu teoretisasi mengenai sifat interaktif dari sastra siber ini adalah
Espen J. Arseth dalam bukunya yang berjudul Cybertext: Perspective in Ergodic Literature
(1997) yang juga dikutip secara khusus oleh Shiels.

Sebagaimana yang sudah dikemukakan sebelumnya, model hypertextualitas dari sastra


siber memberikan banyak pilihan jalan, cabang-cabang, yang dapat membuat pembaca
masuk ke dalam teks-teks verbal dan audio-visual yang lain. Dengan kata lain, di dalam
proses pembacaan teks siber pembaca dapat menjadi aktif karena ia dapat melakukan
pilihan terhadap kemungkinan-kemungkinan yang dibuka oleh teks. Tapi, lebih jauh dari hal
tersebut, Arseth mengatakan kekhasan lebih lanjut dari sifat aktif dalam pembacaan teks
siber itu. Menurutnya, membaca teks yang pertama adalah membaca teks, sedangkan
membaca teks yang kedua adalah membaca dari teks. Maksudnya, ketika membaca teks
siber, pembaca terus-menerus diingatkan akan strategi-strategi yang tidak terakses dan
jalan-jalan yang tidak diambil, suara-suara yang tidak terdengar. Setiap keputusan dari
pembaca membuat beberapa bagian dari teks lebih dapat diakses, sedangkan yang lain tidak
terakses, dan pembaca, lanjutnya, tidak akan pernah tahu hasil akhir dari pilihan-pilihanmu,
tepatnya tidak pernah tahu apa yang pembaca lewati. Hal inilah yang ia sebut sebagai
ambiguitas teks siber, yang sesungguh lebih tepat disebut sebagai suatu ketidakhadiran
kemungkinan, suatu aporia.

Bagi Arseth, sifat naratif dari teks siber menyerupai labirin, suatu permainan, atau sebuah
dunia imajiner, yang di dalamnya pembaca dapat menjelajah, tersesat, menemukan jalan-
jalan rahasia, bermain-main, mematuhi aturan-aturan, dan sebagainya. Betapa kuatnya pun
keterlibatannya dalam pemekaran naratif karya sastra cetak, pembaca, menurutnya, tetap
pasif, tidak berdaya, sama tidak berdayanya dengan seorang penonton sepak bola yang
sebesar apa pun semangatnya atau seperti seorang penumpang kereta api yang dapat
mempelajari dan menafsirkan gerakan pemandangan. Yang satu tidak bisa mempengaruhi
permainan, yang lain tidak bisa memindah rel kereta ke arah yang berbeda. Pembaca teks
sastra, lanjutnya, hanya menjadi penikmat dari sebuah perjalanan yang aman. Hal itulah
yang membuatnya lebih suka menyebut pembaca sastra siber sebagai pemain, bukan
pembaca.

2.3 Sastra dengan Sensibilitas Internet

Kategori sastra yang ketiga ini, yaitu sastra cetak dengan sensibilitas internet ini, sebagian
sudah pernah saya bahas dalam pidato pengukuhan guru besar saya yang berjudul Sastra
dalam Masyarakat yang (Ter-)Multimedia(-kan) (2011). Dalam pidato tersebut saya melihat
internet bukan lagi sebagai sebuah ruang maya dengan karakteristik internelnya, melainkan
sebagai sebuah kekuatan yang mempunyai dampak kultural yang berupa terbentuknya
sensibilitas baru dengan karaktersitik yang serupa dengan karakteristik internet atau ruang
maya seperti yang sudah saya kemukakan di bagian pengantar tulisan ini.

Dalam masyarakat multimedia, menurut saya dalam pidato tersebut, teks sastra tidak lagi
berdiri sendiri, melainkan menyatu dengan konteks penuturannya yang bersifat multimedia,
serupa dengan konsep parole atau tuturan dalan linguistik, yang dipertentangkan dengan
kaidah bahasa yang abstrak dengan sistem yang tertutup atau eksklusif. Dalam konteks
posisi yang demikian, karya sastra seakan kembali ke situasi tuturan yang konkret, yang
terikat pada ruang dan waktu. Ada setidaknya dua kecenderungan literer yang muncul
dalam konteks masyarakat yang demikian, yaitu, yang pertama adalah memudarnya genre
puisi lirik yang cenderung meruangkan waktusehingga membuat waktu terhenti, statis dan
munculnya genre puisi naratif yang cenderung mengutamakan ruang, dinamika.
Kecenderungan literer yang kedua adalah munculnya sifat sadar-diri pada karya sastra, yaitu
dengan meniadakan pencitraan bahwa apa yang digambarkan di dalamnya merupakan
sebuah kenyataan dan membangkitkan kesadaran sifat fiksionalitasnya, kesastraannya,
sebagai sebuah permainan. Kecenderungan demikian saya sebut sebagai sensibilitas yang
khas dari sastra pasca-modern.
Namun, bila dikaitkan dengan karakteristik ruang dan sastra siber yang sudah dikemukakan,
masih terdapat satu ciri lain dari sastra dalam kategori ketiga ini, yaitu sifat
hypertekstualnya atau, secara lebih umum, sifat jaringannya. Hal ini sudah pernah saya
kemukakan dalam makalah saya yang berjudul “Teks Sastra sebagai Jaringan” yang
dipresentasikan di Universirtas Padjajaran pada tanggal 12 September 2019 yang baru lalu.
Dengan menunjuk kepada karya-karya Eka Kurniawan, saya mengemukakan karakteristik
yang demikian sebagai berikut.

“Karya-karya Eka Kurniawan merupakan sebuah fenomena yang tampaknya bisa


dijelaskan dengan paradigma sastra internet di atas, khususnya keberadaannya
sebagai sebuah hiperteks. Karya pertamanya yang sekaligus menjadi kekuatan yang
melambungkannya ke kancah sastra dunia, Cantik Itu Luka, misalnya. Seakan
membentuk sebuah jaringan teks-teks yang berdiri sendiri, tetapi sekaligus
dipertemukan dalam titik-titik temu (nodes) tertentu. Begitu juga karya-karyanya lain
seperti O: Tentang Seekor Monyet yang Ingin Menikah dengan Kaisar Dangdut,
Manusia Harimau, dll. Pertama, hampir semua tokoh dalam novel itu mempunyai
cerita tersendiri, baik tokoh yang muncul dari alur utamanya, maupun dalam alur
sekundernya. Kedua, Eka cenderung menata ceritanya secara sorot balik, bermula dari
belakang, sehingga masa kini seperti menyediakan link-link yang dapat membawa
pembaca ke dalam teks-teks yang lain, yang teramat banyak dan kaya. Ketiga, Eka juga
hampir selalu membuka karya-karyanya, baik yang dalam bentuk novel ataupun
cerpen, dengan kutipan dari teks-teks lain seperti Quran, Injil, atau karya-karya sastra
dunia. Keempat, jaringan teks-teks yang terkadang sangat banyak dan rumit di dalam
karya-karyanya itu membuat dunia yang terbangun di dalamnya menjadi seakan
sebuah labirin atau setidaknya sebuah festival teks-teks dengan tingkat koherensi yang
lemah atau tidak terlalu dianggap penting. Pertautan antara teks yang satu dengan
teks yang lain terkadang terkesan hanya sebagai sebuah hubungan yang superfisial.”

Anda mungkin juga menyukai