Anda di halaman 1dari 15

NGELMU KAHANAN DAN FATALISME JAWA:

SOAL KEPRIBADIAN JAWA, PERUBAHAN,


DAN STRATEGI PENDIDIKAN

1. Pengantar

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa perkembangan teknologi informasi dan


transportasi yang teramat pesat sejak beberapa dekade terakhir ini telah membuat batas-batas
geografis dan kultural yang semula memisahkan masyarakat yang satu dari masyarakat yang
lain, yang dengan demikian yang semula juga menjadi kondisi fisik-material dan kultural
yang memungkinkan terbentuknya kepribadian suatu masyarakat, yang karenanya
membedakannya dari kepribadian masyarakat yang lain, menjadi mencair. Arus barang, jasa,
dan manusia dengan muatan makna, budaya, dan ideologi yang beraneka bergerak dan
beredar dengan cepat ke berbagai ruang fisik dan sosial dan membuat kehidupan seakan
menjadi sebuah aliran dan perubahan yang terus-menerus.

Masyarakat yang terbiasa hidup dalam lingkungan geografis dan kultural yang semula
relatif terisolasi, yang dari hari ke hari menyakasikan lingkungan alamiah, fisik, manusia
yang sama sehingga apa yang terjadi hari ini dengan mudah dapat diramalkan akan terjadi
kembali keesokan harinya, tentu saja akan mengalami goncangan kultural-psikologis
menghadapi pergerakan dan perubahan lingkungan hidup yang cepat itu. Peta kognisi, afeksi,
dan motorik mereka yang mereka bangun dengan susah-payah, dalam waktu yang mungkin
berabad-abad, diturunkan dari generasi ke generasi, sehingga dapat menjadi pegangan yang
dapat bekerja dengan cara yang nyaris otomatis, dalam menyiasati kehidupan di masa lalu,
masa kini, dan masa depan, menjadi tidak lagi efektif dan efisien untuk mengidentifikasi dan
menyiasati lingkungan kehidupan baru yang bergerak cepat tersebut.

Setidaknya ada empat kemungkinan jalan keluar yang kemudian mereka ambil agar
dapat terbebas dari kegoncangan yang demikian. Pertama, mereka akan menutup diri,
menolak perubahan, dan berusaha membayangkan dan membangun lingkungan hidup
sebagaimana yang ada di masa sebelumnya, memperkuat ikatan-ikatan primordial baik dalam
bentuk primordialisme keagamaan, etnik-tribal ataupun lokal (Traditional Strategy). Kedua,
mereka akan terbawa arus perubahan itu, kehilangan ingatan akan pegangan masa lalu dan
bahkan pada akhirnya bersikap apatis terhadap segala yang mapan, dan meniscayakan serta
bahkan menikmati apa saja yang menimbulkan efek perubahan dan goncangan (Modernist
Strategy). Ketiga, mereka akan tetap bertahan hidup dalam perubahan itu, tetapi dengan sikap
kognitif, afektif, dan motorik yang sangat traumatik, yang menatap masa depan tanpa harapan
dan berjuang hidup hanya pada batas survival, untuk sekedar bertahan hidup di masa kini
(Anti-modernist Strategy). Keempat, mereka akan bertahan hidup dalam perubahan, tetapi
dengan membuat pegangan-pegangan baru yang bersifat sementara untuk bisa digunakan
dalam menyiasati masa lalu, masa kini, maupun masa depan, membangun kemapanan relatif
yang berguna dalam rentangan waktu yang pendek, yang selalu siap untuk mengalami
modifikasi sesuai dengan perubahan keadaan yang cepat dari waktu ke waktu (Post-
modernist Strategy)

Bila diskalakan berbagai kemungkinan sikap itu akan menjadi diagram berikut.

DIAGRAM KEMUNGKINAN SIKAP TERHADAP PERUBAHAN YANG CEPAT

KEMAPANAN PERUBAHAN

Traditional Modernist Antimodernist Postmodernist


Strategy
Strategy Strategy Strategy

PRIMORDIALISM MODERNISM FATALISME POSTMODERNISM

Tentu saja tidak pernah ada kategorisasi yang menyangkut kehidupan manusia, sosial
maupun psikologis, yang mutlak, yang di dalamnya satu kategori terpisah sepenuhnya dari
kategori yang lain. Apa yang dikemukakan di atas hanya semacam tipe-ideal yang bisa
digunakan sebagai ancang-ancang untuk memahami persoalan yang akan dibahas, yaitu
persoalan sebagaimana yang dikemukakan di dalam judul makalah ini.

2. Strategi Masyarakat dan Kebudayaan Jawa menghadapi Perubahan

Dibandingkan dengan setidaknya masyarakat-masyarakat etnis Indonesia lainnya,


masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang paling berpengalaman dalam menghadapi
perubahan. Sejak dari masa yang amat lama, dari awal abad-abad Masehi, sebagaimana yang
antara lain diungkapkan oleh Lombard dalam empat jilid bukunya yang berjudul Nusa Jawa:
Silang Budaya, masyarakat tersebut sudah bersentuhan secara aktif dengan tidak hanya
benda-benda, artifak-artifak, melainkan bahkan dengan manusia-manusia dan ideologi-
ideologi lain, yaitu manusia-manusia dan ideologi-ideologi India-Hindu, India-Buddha, Cina,
India-Arab-Islam yang datang secara tidak hanya berturut-turut, melainkan bahkan
bersamaan dan bertumpang tindih.

Hasil interaksi antara masyarakat Jawa dengan berbagai arus manusia dan ideologi
serta benda-benda kebudayaan di atas masih dapat disimak dari tidak hanya pada artifkak-
artifak dan teks-teks masa lalu, melainkan bahkan dari pikiran, sikap, dan perilaku sosial
masyarakat yang bersangkutan di masa kini. Dari sumber-sumber itulah banyak ahli percaya
bahwa masyarakat Jawa adalah masyarakat yang sinkritik, yaitu masyarakat yang suka
menggabungkan berbagai ideologi atau sistem kepercayaan, cara pergaulan, dan bahkan
berbagai teknologi yang pernah bersentuhan dengannya. Kategori sosial-keagamaan yang
disebut “abangan”, yang hingga sekarang masih cenderung dominan dalam masyarakat dan
kebudayaan Jawa, biasanya dipahami dalam pengertian sinkretisme yang demikian.

Tapi terjadinya sinkretisasi antarbudaya sebagai akibat dari pesentuhan satu


masyarakat dan kebudayaan dengan masyarakat dan kebudayaan yang lain merupakan proses
yang bisa dikatakan alamiah dan universal, khususnya dalam kasus masyarakat-masyarakat
dengan dasar kebudayaan lisan dan/atau tradisional. Tak ada satu masyarakat yang pun,
terutama yang berbasis lisan, yang bisa melepaskan begitu saja kebudayaan sebelumnya dan
mengambil alih sepenuhnya kebudayaan yang baru, baik yang datang dari luar maupun dari
dalam masyarakat itu sendiri. Kebudayaan adalah hasil dari sebuah proses yang berlangsung
lama, berabad-abad, dan juga hasil dari sebuah proses habituasi yang panjang sehingga bisa
dikatakan mendarah-daging bagi masyarakat yang bersangkutan. Karena itu, jangankan
masyarakat dan kebudayaan Jawa, masyarakat dan kebudayaan Eropa yang sudah lama hidup
dalam budaya tulis pun pada dasarnya melakukan hal yang sama. Agama Kristen di Eropa
jelas mempunyai warna Eropa, bercampur dengan mitos-mitos Eropa, dan sebagainya. Di
Cina tidak hanya agama Buddha yang mengalami sinkretisasi, melainkan bahkan ideologi
sekuler dan akademis seperti komunisme.

Maka pandangan bahwa masyarakat dan kebudayaan Jawa sebagai masyarakat dan
kebudayaan yang cenderung sinkretik dalam memperlakukan perubahan yang terjadi di
sekitarnya tidak bisa diterima begitu saja, harus dipersoalkan lebih lanjut, sehingga dapat
dipahami kekhasannya dibandingkan dengan masyarakat dan kebudayaan yang lain. Dan
persoalan kekhasan ini antara lain dapat dipahami dengan menempatkan kecenderungan
sinkretik yang tekstual itu dalam konteks historis, dalam fungsinya sebagai bagian integral
dari strategi adaptasi masyarakat Jawa dalam menghadapi dan menyiasati perubahan yang
berlangsung dari masa ke masa. Dan strategi itu bukan sekedar rumusan-rumusan verbal
apalagi tekstual yang abstrak, melainkan sesuatu yang terlembaga, yang terus-menerus
ditanamkan kepada generasi demi generasi masyarakat Jawa dalam rangka memproduksi dan
mereproduksi suatu subjek yang khas, yang handal dan trampil dalam mengambil sikap,
memperlakukan, dan menyiasati perubahan demi kesinambungan hidup masyarakat Jawa itu.

2.1 Karakteristik Perubahan dan Sikap Terhadapnya

Dilihat dari berbagai konsep dan praktik kebudayaannya, masyarakat Jawa jelas
merupakan masyarakat yang tidak hanya tidak menolak perubahan, bahkan tidak hanya mau
menerima perubahan, melainkan, lebih jauh lagi, menganggap perubahan itu sebagai sebuah
keniscayaan. Salah satu konsep penting yang merepresentasikan kecenderungan demikian,
yang seringkali digunakan dalam kehidupan sehari-hari, juga dalam ungkapan-ungkapan
kesenian dan ritual tertentu, adalah apa yang dinamakan “cakramanggilingan”. Dengan istilah
yang kemudian terebut orang Jawa mengungkapkan dan sekaligus melembagakan
pandangannya mengenai kehidupan yang secara niscaya selalu berubah dan perubahan itu
menyerupai perputaran roda yang dengannya bertempat dan hidup anggota-anggota
masyarakat yang bersangkutan. Karena kehidupan berputar seperti roda, posisi manusia pun
menjadi selalu berubah, tidak pernah tetap dan abadi. Jika suatu saat manusia ada di posisi
atas dari roda itu, ia tidak boleh berharap bahwa di saat lain ia akan tetap berada di posisi
yang sama.

Dengan konsep cakramanggilingan di atas masyarakat Jawa tampaknya memahami


perubahan sebagai sesuatu yang (a) revolusioner, bergerak secara radikal dari satu kutub ke
kutub yang lain dan (b) sirkular, melingkar, bergerak dari posisi tertentu dan kembali secara
berkala ke posisi yang sama. Namun, hal itu bukan satu-satunya konsep yang hidup dalam
masyarakat tersebut. Konsep perubahan lainnya adalah pandangan bahwa perubahan yang
niscaya itu berlangsur seperti aliran air yang bergerak linear yang, dalam konteks landscape
dan dunia pengalaman masyarakat Jawa, tentu saja dari gunung ke laut. Dengan konsep yang
demikian perubahan cenderung dipahami tidak hanya sebagai gerakan linear, melainkan juga
evolusioner.

Terhadap perubahan yang revolusioner maupun evolusioner di atas, yang sirkular


maupun linear itu, masyarakat Jawa mengambil dua sikap yang sebenarnya saling
berhubungan satu sama lain. Terhadap jenis perubahan yang pertama sikap pertama yang
diambil direpresentasikan dan sekaligus dilembagakan dengan konsep “Ojo Gumunan, ojo
kagetan”. Dari segi tertentu konsep ini mengimplikasikan semacam penolakan terhadap
perubahan. Namun, dalam praktik dan dalam konteks keseluruhan bangunan makna dan
praktik kultural masyarakat Jawa, hal itu lebih mengimplikasikan sikap untuk bersikap hati-
hati, penuh kewaspadaan dan kesadaran, dalam memahami perubahan untuk kemudian
mengambil keputusan menerima ataupun menolaknya. Elemen makna kewaspadaan ini
cenderung amat penting sebagaimana yang direpresentasikan dan dilembagakan oleh
ungkapan yang amat populer dalam masyarakat tersebut, yakni “eling lan waspada”.

Tapi, “eling lan waspada” itu sebenarnya lebih terarah kepada keharusan untuk
menerima perubahan dengan kesadaran penuh, dengan tetap terjaga sebagaimana yang
direpresentasikan dalam ungkapan “ngeli ning ora keli”. Konsep ini terkait dengan jenis
perubahan evolusioner. Meskipun demikian, konsep ini juga berkaitan erat dengan dan
sekaligus berfungsi dalam pemahaman konsep mengenai sikap terhadap perubahan
revolusioner di atas. Dengan kata lain, perubahan, baik yang revolusioner maupun
evolusioner, bagi masyarakat Jawa, merupakan sesuatu yang niscaya dan karenanya tidak
ditolak. Yang menjadi persoalan bagi masyarakat tersebut bukanlah perubahannya itu sendiri,
melainkan bagaimana cara menerima dan mengikuti perubahan tersebut. Konsep “Ojo
Gumunan, ojo kagetan” mungkin merupakan tahap pertama dalam menghadapi perubahan,
sedangkan konsep “Ngeli...” merupakan tahap kedua yang digunakan untuk menjalani
perubahan.

2.2 Fragmentarisme dan Diskontinuitas dalam Kebudayaan Jawa


Banyak ahli dan pengamat kebudayaan Jawa yang menafsirkan aspek kesadaran pada
“Ngeli...” di atas sebagai semacam esensi tertentu dari apa yang mungkin disebut sebagai
kepribadian Jawa. Dengan tafsiran yang demikian, sikap masyarakat Jawa terhadap
perubahan ditafsirkan sebagai sikap “menerima perubahan, tetapi tidak kehilangan
kepribadian”. Dan kepribadian itu ditafsirkan sebagai, tentu saja, apa yang ada sebelum
perubahan terjadi, apa yang dibayangkan sebagai “dulu pernah ada”.

Bila melihat pada kenyataan konseptual dan sekaligus praktik masyarakat Jawa dalam
kehidupan sehari-hari sebagaimana yang setidaknya saya alami dan ketahui selama puluhan
tahun di Yogyakarta, kecenderungannya tidaklah demikian. Karena masyarakat Jawa
menganggap perubahan merupakan satu keniscayaan kehidupan, mereka cenderung
menganggap bahwa kehidupan itu terfragmentasikan menjadi satuan-satuan yang lepas, yang
berdiri sendiri-sendiri, yang terpisah satu sama lain, tidak hanya dalam dimensi waktu,
melainkan bahkan dimensi ruang. Kehidupan adalah peralihan dari momen ke momen,
kumpulan momen-momen yang terpisah, tak berkesinambungan. Momen-momen inilah yang
mungkin merupakan konsep kultural dari apa yang mereka sebut sebagai “kahanan”.

Karena kahanan yang satu berbeda dari kahanan lain, baik dari segi ruang maupun
waktu, strategi yang harus digunakan untuk menghadapi dan menyiasati satu kahanan tidak
bisa digunakan untuk kahanan yang lain. Karena itu, tafsir bahwa yang diimplikasikan oleh
konsep kesadaran dalam ungkapan “Ngeli...” sebagai sesuatu yang ada di masa lalu, di masa
sebelum perubahan terjadi, menjadi problematik. Dalam konsep kahanan yang bervariasi di
atas, strategi yang digunakan untuk menghadapi dan menyiasati kahanan di masa lalu dengan
kahanan sekarang, ketika perubahan terjadi, tentu akan dipandang tidak lagi bisa digunakan,
tidak lagi efektif. Dengan kata lain, dalam pandangan masyarakat dan kebudayaan Jawa masa
lalu tidak mungkin bisa digunakan di masa kini, tidak bisa dipertahankan keterlibatannya
dalam kehidupan di masa kini, juga masa depan karena kahanannya berbeda.

Bila demikian halnya, yang menjadi problematik bukan hanya tafsir mengenai
implikasi kesadaran dalam ungkapan “Ngeli...” di atas, melainkan juga tafsir mengenai
masyarakat dan kebudayaan Jawa sebagai masyarakat dan kebudayaan yang sinkretik.
Sinkretisme Jawa biasanya dipahami sebagai kebiasaan dan kesukaan masyarakat Jawa untuk
menerima berbagai kebudayaan lain yang pernah, dalam sejarah, bersentuhan dengannya,
untuk kemudian meramunya menjadi satu kesatuan budaya dan masyarakat yang baru,
kesatuan budaya dan masyarakat dengan komponen budaya yang beraneka, yang bersumber
dari berbagai macam pengaruh dari luar. Dengan kata lain, dalam pemahaman mengenai
sinkretisme yang demikian diandaikan bahwa dalam masyarakat dan kebudayaan Jawa
dimungkinkan bertahannya segala kebudayaan, ideologi, kepercayaan dari masa lalu di masa
kini. Padahal, sebagaimana sudah dikemukakan, masa lalu dan masa kini itu merupakan dua
kahanan yang berbeda dan terpisah.

Tentu pandangan mengenai diskontinuitas itu pun dapat dengan mudah disangkal
dengan menunjukkan fakta-fakta yang diperoleh dari teks dan artifak mengenai adanya unsur
kebudayaan lama dalam kebudayaan masa kini, adanya akumulasi berbagai kebudayaan yang
pernah bersentuhan dengan masyarakat Jawa dari masa ke masa dalam masyarakat dan
kebudayaan masa kini. Bahkan, tidak hanya fakta-fakta tekstual dan arkeologis itu saja yang
dapat menyangkalnya, melainkan juga praktik kehidupan keseharian masyarakat itu sendiri.
Dalam praktik kehidupan keseharian tampak bahwa masyarakat Jawa bukanlah masyarakat
yang mudah begitu saja membuang dan melupakan masa lalu untuk masuk sepenuhnya ke
dalam masa kini. Gombal, kain-kain bekas, memperlihatkan dengan jelas kecenderungan
demikian. Pakaian atau apa saja yang sudah tidak terpakai di masa kini tidak dibuang,
melainkan disimpan, dan bahkan digunakan untuk keperluan tertentu di masa kini. Bahkan,
ketika sesuatu yang lama itu tidak bisa digunakan di masa kini pun, ia tidak akan dibuang
oleh masyarakat tersebut, melainkan disimpan, misalnya di gudang atau di ruang kosong
tertentu di belakang rumah atau di dalam peti atau entah di mana. Masyarakat Jawa adalah
masyarakat yang sangat pandai “ngeman”, “eman-eman”, dan sejenisnya.

Namun, kenyataan di atas tidak dengan sendirinya membuat masyarakat Jawa


menjadi sinkretik dalam pengertian di atas. Kecenderungan masyarakat tersebut untuk
“ngeman” segala sesuatu yang lama bukan terutama untuk digunakan dalam mengatasi masa
kini, melainkan untuk menjadikannya sebagai cadangan, reserve, untuk menghadapi
kemungkinan perubahan yang mendadak, yang tak terduga sebelumnya, yang dapat membuat
apa yang ada di masa kini pun tidak lagi dapat digunakan. Dengan kata lain, masyarakat Jawa
dapat hidup dengan melepaskan diri sepenuhnya dari masa lalu, tetapi dengan menyimpan
berbagai “senjata” di dalam gudangnya, senjata yang setiap saat dapat dikeluarkan lagi untuk
digunakan seperlunya sesuai dengan tuntutan kahanan yang berubah. Dalam keadaan tertentu
yang dianggap genting, misalnya ketika sakit, ketika mengalami musibah, semua senjata
dikerahkan, entah dari masa lalu, masa kini, dari orang lain, milik sendiri, yang sebelumnya
dibenci atau disenangi, dari India, Arab, Cina, Belanda, Amerika, dukun, kedokteran, atau
apa pun, misalnya sebagaimana yang terekam dalam beberapa mantera Jawa atau cara-cara
penyembuhan Jawa. Dan dalam pengertian yang demikian pulalah apa yang tampak
kontradiktif dalam masyarakat tersebut menjadi dapat dipahami, misalnya kontradiksi antara
frekuensi diskontinuitas dalam kancah politik kerajaan-kerajaan Jawa, banyaknya kudeta
dalam kancah tersebut, dengan sekaligus banyaknya penggunaan dan sekaligus
penyalahgunaan kekuatan-kekuatan simbolik dari masa lalu seperti dalam babad-babad Jawa,
atau kontradiksi dalam sikap Suharto terhadap Sukarno.

2.3 “Ngelmu” Kahanan

Kahanan merupakan konsep kultural yang amat khas Jawa, yang karenanya,
seringkali diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia/Inggris yang juga khas, aneh, yaitu apa
yang biasa disebut sebagai “situasi dan kondisi”. Dan, lebih jauh, kahanan itu tidak hanya
merupakan konsep yang khas, melainkan bahkan bisa dikatakan sebagai konsep kunci dalam
keseluruhan detak kehidupan masyarakat dan kebudayaan Jawa. Hampir seluruh institusi
dalam masyarakat tersebut dikerahkan untuk memproduksi dan mereproduksi satu subjek
yang mempunyai pengetahuan dan kepekaan terhadap kahanan dan sekaligus mempunyai
ketrampilan kognitif, afektif, maupun motorik untuk menyiasati kahanan itu. Subjek yang
demikianlah yang mungkin disebut sebagai “manusia Jawa”, “Orang Jawa”, atau bahkan
“Njawani”. Manusia yang ideal, dalam pemahaman masyarakat Jawa, dengan demikian,
adalah manusia yang “ngerti kahanan”, sedangkan manusia yang paling bodoh dan bahkan
rendah adalah manusia yang “ora ngerti kahanan”.

Sistem stratifikasi sosial Jawa yang rumit, dengan unggah-ungguh bahasa Jawa yang
juga sama rumitnya dengan kahanan itu, adalah salah satu institusi sangat fungsional dalam
produksi dan reproduksi subjek di atas. Dengan bahasa tersebut orang Jawa, dari bayi hingga
dewasa, terus-menerus dihadapkan dengan kahanan dan dengan keharusan untuk mengambil
sikap dan strategi yang tepat terhadap kahanan tersebut. Kahanan itu antara lain menyangkut
siapa yang berbicara, apa yang dibicarakan, dalam lingkungan yang bagaimana, dengan
kondisi subjektif dan objektif apa, dan sebagainya. Dengan kata lain, dengan dan dalam
bahasa itu, semua warga masyarakat Jawa, dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi,
politik, generasional, dikondisikan untuk peka tidak hanya terhadap apa yang dikatakan
secara verbal, melainkan juga keseluruhan situasi dan kondisi yang di dalamnya apa yang
dinyatakan secara verbal itu berlangsung. Beberapa ungkapan yang bertalian dengan hal ini
adalah: “ngono ya ngono, ning ojo ngono”, “bener, ning ora pener”, dan sebagainya.

Ketika bahasa Jawa dengan unggah-ungguh yang rumit itu telah mulai sirna,
khususnya di Yogyakarta muncul institusi baru, yaitu sistem lalu lintas. Sistem lalu lintas di
Yogyakarta cenderung tidak menggunakan aturan-aturan yang baku dan ketat, Beberapa
simbol lalu lintas pun tidak mengikuti standard umum mengenai rambu-rambu lalu lintas.
Polisi tidak bersikap sebagai penegak hukum yang ketat, melainkan penegak hukum yang
angin-anginan, yang sikap dan perilakunya dapat berubah dengan cara yang bisa dikatakan
sulit untuk diramalkan. Dengan sistem yang hampir “chaos” seperti itu, pemakai jalan benar-
benar dilatih dan dikondisikan untuk tidak berpegang pada aturan yang baku dan ketat,
melainkan berpegang pada perasaan, pada feeling, pada kepekaan membaca kahanan. Yang
termasuk dalam unsur-unsur kahanan itu antara lain adalah: padat tidak padatnya lalu lintas,
besar kecilnya kendaraan, kondisi psikologis pemakai jalan yang lain, kondisi psikologis
polisi, yang kesemuanya itu dapat berubah dari waktu ke waktu, memberikan pengalaman
yang partikular setiap saat.

Institusi lain, yang sejajar dengan kecenderungan lalu lintas itu, terkait dengan
kesukaan masyarakat Jawa untuk menciptakan ketidakpastian. Birokrasi merupakan salah
satu institusi penting dalam hal ini. Proses birokrasi yang berbelit-belit, dengan prosedur yang
tidak pernah baku, meskipun ada aturan tertulisnya, dengan prosedur yang amat tergantung
pada suasana hati birokratnya, dan sebagainya, merupakan medan yang sangat penting bagi
semua anggota masyarakat Jawa untuk melatih kepekaannya dan sekaligus ketrampilannya
dalam menyiasati kahanan.

Institusi berikut yang tidak kalah pentingnya dan bahkan mempunyai fungsi ganda
adalah plesetan. Di satu pihak, plesetan ini merupakan satu cara untuk menegaskan
ketidakpastian makna, sifat arbitrernya, dan, karena itu, juga sifatnya yang dapat berubah
sesuai dengan keadaan. Di lain pihak, ia juga merupakan satu cara untuk melatih masyarakat
untuk “ora kagetan”, tidak terkejut, apalagi marah, menghadapi perubahan yang mendadak,
yang tidak terduga sebelumnya. Bahkan, dalam pelatihan itu, masyarakat Jawa tidak hanya
dilatih untuk tidak kagetan, melainkan juga untuk mengambil sikap yang santai menghadapi
perubahan yang demikian.

Kemungkinan perubahan yang mendadak, ketidakpastian, dan karenanya tidak adanya


aturan yang baku dan ketat dalam masyarakat dan kebudayaan Jawa juga menyatakan diri
dalam pola kelembagaan sosial masyarakat tersebut. Masyarakat dan kebudayaan Jawa,
subjek manusia Jawa, cenderung terbentuk lebih melalui proses-proses simbolik subjektif dan
yang cair daripada pelembagaan yang objektif, intersubjektif, fisik, dan beku-kaku.
Masyarakat Jawa sebenarnya mempunyai banyak aturan, tetapi aturan-aturan itu disimpan,
dipelihara, dan disosialisasikan, serta diinternalisasikan lebih secara simbolik daripada secara
kelembagaan. Karena sifatnya yang demikian, aturan-aturan itu menjadi sangat lentur, mudah
berubah, mudah dimodifikasi, mudah ditekak-tekuk sesuai dengan kahanan yang bersifat
partikular dan sangat bervariasi. Ungkapan “sepikul-segendongan”, misalnya, merupakan
aturan mengenai cara pewarisan harta untuk anak-anak laki-laki dan perempuan. Anak laki-
laki memperoleh sepikul, anak perempuan segendong. Namun, aturan itu tidak selalu
dilakukan dengan kaku. Dalam kondisi dan situasi tertentu aturan itu dapat berubah. Jika,
umpamanya, si anak lelaki sudah kaya, sudah berharta, atau setidaknya mempunyai
kemampuan ekonomi yang lebih tinggi daripada si anak perempuan, aturan di atas dapat
dibalik: anak perempuan mendapat sepikul, anak laki-laki mendapat segendong. Begitu juga
dengan aturan mengenai sistem kekerabatan yang bisa bergerak dengan lentur dari patrilineal
ke matrilineal. Ungkapan “kiyak-kiyuk” yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari
merepresentasikan dan sekaligus melembagakan keniscayaan kemampuan masyarakat Jawa
untuk bersikap lentur dalam pengelolaan keuangan, baik keuangan pribadi, keluarga, bahkan
negara, sesuai, sekali lagi, dengan kahanan yang ada..

2.4 Sakmadya: Bayang-Bayang Fatalisme

Untuk melatih anggota-anggotanya peka dan trampil dalam menghadapi perubahan


bergerak cepat dan tidak terduga, masyarakat Jawa menciptakan ketidakpastian baik secara
simbolik maupun praktik. Tapi, lebih jauh lagi, mereka tidak hanya melakukan hal tersebut,
melainkan bahkan punya kecenderungan untuk takut terhadap kepastian, aturan-aturan
hukum yang terstandardisasikan, terkodifikasi secara eksplisit. Ketakutan akan kepastian ini
berkaitan dengan kepercayaan mereka bahwa kehidupan pasti akan berubah dan berpegang
pada satu pedoman yang baku bisa menghilangkan daya kelenturan mereka dan pada
gilirannya bisa membuat mereka lumpuh menghadapi kepastian. Kecenderungan yang
demikian tampak antara lain dari sikap mereka untuk tidak berani meminjam uang di bank
walaupun bunganya rendah dan memilih meminjam uang pada lintah darat walaupun
bunganya tinggi.

Salah satu institusi penting dan efektif untuk memperoduksi subjek yang takut pada
kepastian itu adalah agama atau gagasan mengenai Tuhan yang maha kuasa, Tuhan yang bisa
bersikap dan bertindak semaunya, Tuhan yang kehendak dan takdirnya tidak bisa diramal.
Salah satu fakta yang biasa mereka gunakan untuk memberikan pembenaran empiris terhadap
kekuasaan Tuhan dan sifat dari takdir Tuhan yang tak bisa diduga itu adalah kematian.
Institusi yang terkait dengan kematian ini pun menjadi institusi terpenting bagi masyarakat
Jawa. Institusi itu adalah institusi “melayat” atau “layatan”. Ungkapan “Ojo Dumeh...”
merupakan mekanisme kontrol bagi anggota masyarakat dengan mengingatkan mereka
jangan mabuk dengan status sosial yang tinggi saat ini karena kehidupan bergerak secara
cakramanggilingan. Selain itu, konsep tersebut pun juga menggunakan kepercayaan bahwa
manusia akan mati, semua kekuasaan milik Tuhan dan bisa ia ambil kapan saja ia mau, untuk
menjalankan kontrol tersebut. Ancaman bahwa orang tidak boleh sombong biasanya juga
menggunakan kematian: “Kalau mati, siapa yang mengusungnya ke kuburan?”.

Yang juga berhubungan dengan ketakutan pada kepastian itu adalah pandangan
masyarakat Jawa mengenai masa depan. Karena hidup penuh ketidakpastian, perubahan
merupakan sesuatu yang niscaya tetapi tidak bisa diramalkan, dan kehendak Tuhan tidak bisa
ditebak, masyarakat Jawa cenderung tidak percaya pada segala bentuk perencanaan akan
masa depan. Seperti halnya perubahan, masa depan pun tidak bisa diduga. Menduga dan
merencanakan masa depan bukan hanya perbuatan yang bodoh, melainkan bahkan perbuatan
yang melanggar kehendak Tuhan, kehendak alam: “Nggege mangsa...”. Ungkapan bahasa
Indonesia yang populer dan yang relevan dengan kecenderungan demikian tidak lain:
“Manusia bisa berencana, Tuhan yang menentukan.”

Bila dikaitkan dengan pandangan yang terakhir di atas, juga dengan konsep
cakramanggilingan yang sudah dikemukakan, ketakutan akan kepastian itu seakan merupakan
satu sikap yang sangat religius. Namun, tidak semua masyarakat yang religius menghayati
kepercayaannya akan kekuasaan Tuhan, memahami kenyataan perubahan dengan ketakutan
akan kepastian. Religiusitas masyarakat Bali, Islam dan Kristen fundamentalis jelas tidak
demikian. Karena itu, ketakutan yang demikian mungkin pula merupakan satu kecenderungan
kultural yang khas Jawa, merupakan respon kultural dan strategi adaptasi yang dianggap
efektif oleh masyarakat yang bersangkutan dalam menghadap berbagai perubahan yang
mereka alami dari masa ke masa.

Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang mengalami pergolakan tak henti-hentinya


di sepanjang sejarah kehidupan mereka. Kerajaan-kerajaan timbul dan tenggelam dalam
waktu yang cepat. Peralihan kekuasaan hampir selalu berlangsung melalui kudeta dan
peperangan. Dalam situasi yang demikian, masyarakat tersebut benar-benar terkondisikan
untuk selalu hidup dalam krisis, dalam perubahan yang cepat dan yang serba tidak terduga.
Dengan kata lain, masyarakat ini benar-benar tidak pernah mempunyai kesempatan untuk
membangun peradaban, merealisasikan segala gagasan mereka mengenai kehidupan menjadi
kenyataan bangunan sosial, kultural, dan material yang mapan. Hanya dalam dua periode
masyarakat tersebut mengalami situasi yang tenang, situasi kemapanan dalam waktu yang
relatif lama, yaitu pada masa Majapahit dan masa pasifikasi kolonial Belanda. Dengan
kemapanan di masa Majapahit, masyarakat Jawa berhasil merealisasikan gagasannya menjadi
kenyataan, berhasil mengendapkan pikiran-pikirannya dan mewujudkannya dalam banyak
karya-karya sastra yang terbilang adiluhung. Pada zaman Belanda juga muncul banyak karya
sastra. Tercipta etos kerja kepriyayian yang cukup kuat dan berdisiplin. Apa yang terjadi pada
masa Majapahit dapat dilihat pada bangunan masyarakat dan kebudayaan Bali yang tidak
hanya mempunyai kaidah-kaidah yang kuat, baku, melainkan juga yang sangat teknologis.
Apa yang terjadi zaman pasifikasi Belanda tidak begitu kuat karena penguasa kolonial
Belanda sendiri merupakan para petualang yang terus-menerus hidup dalam krisis.

Pengalaman sejarah ketidakpastian dan pergolakan yang panjang itulah yang


tampaknya membuat masyarakat Jawa tampak sangat traumatis terhadap kepastian, menjalani
kehidupan dengan keterlibatan yang sangat terbatas dan dibatasi, menerima perubahan
dengan sikap penuh reserve, setengah-setengah, “Sakmadya...”. Seperti halnya konsep
mengenai perubahan dan kahanan di atas, konsep “Sakmadya..” merupakan strategi yang
dianggap efektif untuk menghadapi dan menyiasati perubahan yang tidak terduga. Konsep-
konsep lain yang berhubungan dengan dan menopang konsep ini antara lain adalah “Tidak
boleh ngongso, tidak boleh ngeden, tidak boleh ambisius..”.

Dengan sikap “Sakmadya...” masyarakat Jawa menjadi aman dari kemungkinan


kepanikan dan kehancuran psikologis ketika berhadapan dengan perubahan yang mendadak.
Masyarakat dapat mengikuti perubahan tanpa khawatir akan dikecewakan oleh perubahan itu.
Konsep tersebut benar-benar dapat membuat masyarakat Jawa menjadi “selamat” lahir batin.
Dan “Selamat...” merupakan cita-cita hampir semua anggota masyarakat Jawa. Banyak anak
yang diberi nama dengan makna “selamat” dan banyak pula kata yang digunakan untuk
menyampaikan makna yang demikian: “slamet, rahayu, sugeng, raharjo...”.

Tapi, biarpun menjamin keselamatan lahir dan batin, sikap “sakmadya..” membuat
masyarakat Jawa tidak akan pernah maksimal dalam pencapaian, cenderung setengah-
setengah. Dengan kata lain, strategi adaptasi yang serupa itu hanya akan membawa
masyarakat Jawa sampai pada batas kondisi survival. Karena itu, kata “slamet..” biasanya
berpasangan dengan kata lain dan membentuk frase “waton slamet”.

Inilah fatalisme masyarakat Jawa. Fatalisme itu menjadi semakin kuat karena konsep
mereka mengenai perubahan cenderung merupakan sesuatu yang ditentukan oleh kekuatan
eksternal, bukan kekuatan mereka sendiri. Masyarakat Jawa diciptakan oleh berbagai institusi
kulturalnya bukan untuk melakukan perubahan, melainkan untuk beradaptasi dengan
perubahan. Dengan demikian, keyakinan akan kemampuan diri untuk dapat melakukan
perubahan, apalagi menciptakan yang baru, menciptakan masa depan yang lebih baik,
menjadi sama sekali jauh dari jangkauan.

3. Strategi Pendidikan

Uraian di atas menunjukkan bahwa apa yang dinamakan identitas masyarakat Jawa
bukanlah sebuah entitas yang tetap, stabil, baku, esensial. Kejawaan orang Jawa tidak terletak
pada kesetiaannya pada satu “pegangan hidup” tertentu, melainkan jusru pada
kemampuannya untuk menggunakan “pegangan hidup” apa pun yang bisa dijangkaunya,
disimpannya, dan digunakannya sesuai dengan tuntutan dan perkembangan keadaan atau
kahanan. Kemampuan untuk menjangkau, menyimpan, dan menggunakan “pegangan hidup”
apa pun itu dimungkinkan oleh sikapnya yang “sakmadya..” dalam menghadapi perubahan.
Sikap ini membuatnya bisa menerima yang baru dari manapun sumbernya, tetapi tidak
dengan membuang yang lama, bagaimanapun sejarahnya. Lebih jauh, kemampuan untuk
mengumpulkan berbagai “pegangan” di atas hanya mungkin jika berbagai “pegangan” itu
lebih dahulu dilepaskan oleh masyarakat Jawa dari konteks material, fisik, dan historisnya,
dan diubahkan menjadi sesuatu yang simbolik, polisemik, dan karenanya lentur.

Kelenturan itu juga ditopang oleh penyempitan batas komunitas sampai hanya pada
keluarga batih dan bahkan individu. Karena tidak adanya aturan yang baku, yang menjadi
kesepakatan kolektif, kepekaan dan ketrampilan menyiasati kahanan menjadi persoalan daya
kreatif individual, perjuangan individu, bukan kolektif.

Dengan karakteristik identitas yang serupa itu masyarakat Jawa tentu akan selalu
dapat survive dalam perubahan yang bagaimanapun. Hanya saja, daya survival mereka benar-
benar akan terbatas pada kemampuan untuk bertahan hidup dalam perubahan, bukan untuk
menghentikan perubahan apalagi menciptakannya. Tujuan dan strategi pendidikan yang
bagaimanakah yang, dengan demikian, tepat bagi mereka?

Ada dua pilihan tujuan dan strategi pendidikan bagi masyarakat Jawa jika dilihat
kenyataan di atas, yaitu (a) pendidikan yang merupakan pengembangan dari sistem produksi
dan reproduksi tradisional Jawa yang karenanya akan dapat membuat masyarakat Jawa untuk
dapat selalu survival menghadapi perubahan dan (b) pendidikan alternatif yang justru
bertujuan membebaskan masyarakat dan kebudayaan Jawa dari kecenderungan yang
fatalistik.

3.1 Konsep dan Praktik Pendidikan di Indonesia/Yogya

Negara Indonesia adalah negara yang modern. Karena itu, tidak hanya sistem
politiknya yang modern, melainkan juga sistem pendidikannya. Sistem pendidikan modern
itu sendiri merupakan sistem pendidikan yang tidak hanya mengajarkan sistem pengetahuan
modern, sistem pengetahuan yang disebut ilmiah, melainkan juga yang proses belajar-
mengajarnya diorganisasi secara modern. Dan modernitas dapat diartikan sebagai sebuah
keadaan yang terbentuk sebagai realisasi dari modernisme. Sedangkan modernisme itu
sendiri merupakan cara pandang yang rasional terhadap kehidupan. Artinya, para penganut
modernisme beranggapan bahwa kehidupan harus dipahami sebagai keadaan dan proses yang
rasional dan yang harus disiasati dengan cara yang rasional pula. Dengan siasat yang rasional
itu, penganut modernisme mengutamakan perumusan yang jelas dan eksplisit terhadap tujuan
yang ingin dicapai dan perumusan yang jelas dan eksplisit pula mengenai pilihan cara-cara
dan/atau alat-alat yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut.

Pengertian di atas dengan sendirinya mengimplikasikan bahwa pemahaman mengenai


sistem dan praktik pendidikan di Indonesia sebagai sistem pendidikan modern hanya dapat
dilakukan dengan tepat jika aspek-aspek tujuan dan alat/cara pencapaiannya dipahami.

Secara verbal rumusan mengenai tujuan pendidikan nasional Indonesia sudah sangat
jelas, yaitu: “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Namun, kejelasan rumusan verbal itu tidak
dengan sendirinya berarti sistem pendidikan Indonesia menjadi terbebas dari persoalan
penetapan tujuannya. Sebagaimana sudah dikemukakan, masyarakat dan kebudayaan Jawa
merupakan masyarakat dan kebudayaan yang tidak menyukai dan bahkan cenderung
traumatik terhadap kepastian dan sangat menggemari ketidakpastian untuk membuat anggota-
anggotanya menjadi peka terhadap dan trampil menyiasati kahanan. Dengan kecenderungan
budaya yang demikian, makna “mencerdaskan kehidupan bangsa” tidak dapat dipahami
dengan tepat bila hanya didasarkan pada makna tekstualnya, makna kebahasaannya yang
denotatif belaka.

Secara kebahasaan cerdas menunjuk kepada kemampuan intelektual yang tinggi,


khususnya kemampuan aspek intelegennya. Tapi, dalam kebudayaan Jawa kecerdasan tidak
dipahami dengan pengertian yang demikian. Pengertian masyarakat Jawa mengenai
kecerdasan cenderung menunjuk kepada “kepekaan yang tinggi dalam menangkap kahanan
dan ketrampilan yang tinggi dalam beradaptasi dengan kahanan itu”. Kenyataan demikian
membuat terjadi kesenjangan dan bahkan persaingan antara makna verbal dari tujuan di atas
dengan makna kulturalnya. Kesenjangan dan persaingan ini, pada gilirannya, melahirkan
berbagai kesenjangan dan persaingan lainnya, yaitu antara (a) program yang dirumuskan
secara verbal dengan pelaksanaannya dan (b) antara proses belajar-mengajar di kelas dengan
proses belajar-mengajar di luar kelas.

Selain itu, masih dalam konteks budaya yang sama, rumusan “mencerdaskan
kehidupan bangsa” itu sendiri, secara kultural, dapat mempunyai makna yang sama sekali
tidak berhubungan dengan suatu missi atau tujuan yang berjangka panjang. Karena, seperti
sudah dikatakan, masyarakat dan kebudayaan Jawa adalah masyarakat dan kebudayaan yang
tidak begitu percaya pada masa depan yang dapat dirancang, cenderung hanya memberikan
respon terhadap kahanan yang secara langsung di hadapi di masa kini, dan sangat simbolik
dalam pengertian menempatkan kata-kata dalam fungsinya sebagai mantera, bukan sebagai
pedoman bagi pelaksanaan atau praktis. Karena itu, rumusan verbal di atas pun dapat hanya
sebagai alat bagi masyarakat Jawa untuk sekedar mendapat pengakuan dunia bahwa mereka
sudah menjadi masyarakat dengan kebudayaan yang modern, masyarakat yang sudah
beradab, sehingga dapat dipercaya dan diakui untuk merdeka. Modernitas, dengan kata lain,
bukanlah sebuah design mengenai kehidupan untuk masa kini dan masa depan, melainkan
salah satu alat saja yang dianggap efektif untuk menghadapi dan menyiasati kahanan, satu
momen dalam kehidupan. Tujuan, dengan demikian, dapat bersaing dengan program, atau
program tidak harus diturunkan dari tujuan. Program bisa berkedudukan setara dengan tujuan
karena ia mungkin disusun dalam kahanan yang lain, yang berbeda. Program dapat menjadi
tujuan, tujuan dapat menjadi program. Atau, karena begitu pekanya masyarakat Jawa pada
perubahan keadaan, program yang disusun lebih kemudian daripada perumusan tujuannya,
disusun atas dasar tujuan baru, yang sama sekali berbeda dari tujuan semula, karena tujuan
yang baru itu disesuaikan dengan kahanan yang baru.

Dilihat dari sudut pandang masyarakat dan kebudayaan Jawa, tidak perlu ada
kontinuitas antara tujuan dengan program, antara tujuan yang ditetapkan pada masa tertentu
dengan tujuan yang ditetapkan pada masa sebelumnya dan sesudahnya, karena semuanya
merupakan jawaban terhadap tuntutan kahanan yang berbeda. Dengan sudut pandang yang
seperti ini tidaklah mengherankan apabila rumusan tujuan pendidikan “mencerdaskan
kehidupan bangsa” yang dibuat pada tahun 1945 itu dan yang tercantum dalam Undang-
Undang Dasar itu, dan yang sampai sekarang belum diubah dan bahkan, konon, tidak boleh
diubah, sama sekali tidak menghalangi berbagai rezim pemerintahan dan pendidikan yang
berkuasa kemudian untuk membuat rumusan pendidikan yang tidak berhubungan dan bahkan
dapat bertentangan dengannya. Juga, dengan sudut pandang di atas, tidak pula mengherankan
apabila kebijakan pendidikan berganti dengan cepat tidak hanya setiap kali berganti menteri,
melainkan bahkan setiap kali berhembus issue baru, teori baru, pendekatan baru, tekanan
media massa baru mengenai hal tersebut. Dan, yang tidak kalah pentingnya adalah, bahwa
antara kebijakan yang satu dengan kebijakan lainnya dapat dikatakan tak berhubungan kalau
tidak dapat dikatakan bertentangan satu sama lain.

Kebijakan mutakhir mengenai pendidikan di Indonesia adalah otonomi sekolah dan


universitas, terutama secara finansial dan kemudian juga dari segi pengelolaannya. Pada
tingkat negara dan kementerian, kebijakan itu sendiri dibuat dengan cepat sebagai tanda sikap
responsif pemerintah terhadap perubahan kahanan, yaitu tekanan wacana global dan LSM
yang kuat mengenai otonomi daerah, mengenai peran negara yang terlalu besar, mengenai
masyarakat sipil yang mandiri, dan juga tentu saja tekanan keuangan negara sendiri. Aparat-
aparat birokrasi di lapisan bawah, pada tingkat lokal, tidak berkeberatan dengan perubahan
kebijakan tersebut, melainkan bahkan menempatkannya sebuah kahanan baru yang dapat
direspon dengan cepat untuk kepentingan survival mereka. Sekolah-sekolah dan universitas
menaikkan biaya pendidikan dengan semaunya, kanwil-kanwil minta jatah melalui apa yang
disebut Komite Sekolah. Di Universitas didirikan Majelis Wali Amanah yang diasumsikan
sebagai wadah bagi stakeholders universitas dan karenanya menjadi pemegang kekuasaan
tertinggi di universitas itu. Perubahan ini pun dengan cepat dianggap sebagai peluang bagi
para pensiunan dosen dan guru besar untuk tetap mempertahankan diri dan penghasilannya di
universitas walaupun efeknya menjadi kontraproduktif bagi peran yang diasumsikan baginya
terutama karena ketergantungan ekonominya pada rektor, pada birokrasi universitas.

Sejajar dengan kebijakan otonomi di atas, berkembang wacana yang bermuara pada
kebijakan baru mengenai tujuan pengajaran. Apa yang disebut dengan kecerdasan tidak lagi
dipahami sebagai sekedar kemampuan intelegen yang tinggi seperti yang dimaksudkan oleh
perumusnya di tahun 1945, melainkan sebagai kemampuan emosional yang tinggi, yang
terkait dengan kemampuan menangkap dan beradaptasi secara positi dengan kahanan. Ada
pragmatisme di dalam kebijakan itu. Dan pragmatisme ini berjalan seiring dengan kebijakan
tentang otonomi, tentang potensi lokal, pengetahuan lokal, dan sebagainya. Sejalan dengan
itu pula dibuat kebijakan kurikulum yang baru, yang menghargai tidak hanya kondisi khas
lokal, melainkan bahkan kondisi khas individual siswa. Standard kompetensi nasional diganti
dengan standard kompetensi lokal diganti lagi dengan standard kompetensi individual.
Kurikulum ini meniscayakan hapusnya ujian nasional, bahkan lokal, sesuai dengan tuntutan
para kritikus pendidikan, baik melalui media maupun LSM. Dengan kata lain, penyelenggara
pendidikan, pemerintah, kembali memperlihatkan kepekaan mereka pada kahanan, kecepatan
mereka beradaptasi dengan perubahan.

Masyarakat dan kebudayaan Jawa, seperti sudah dikemukakan dan sudah terbukti di
atas, sama sekali tidak pernah takut pada perubahan, secepat apa pun dan seradikal apa pun
perubahan itu. Mereka sudah sangat terlatih secara kultural untuk menerima dan menyiasati
perubahan kahanan yang secepat apa pun dan seradikal apa pun itu. Kemampuan itu tentu
saja digunakan untuk selalu dapat survive, selalu dapat mengambil keuntungan dari keadaan
yang baru. Karena itu, mereka bukannya alergi terhadap gagasan-gagasan baru dalam
pendidikan, melainkan selalu memperoleh keuntungan darinya, dapat menciptakan proyek
baru. Dan yang lebih hebat lagi, seperti sudah pula dikemukakan, kemampuan menerima
yang baru itu tidak harus pula diikuti oleh keinginan membuang yang lama. Mereka berusaha
mempunyai semuanya agar satu saat dapat digunakan secara serempak ataupun satu-persatu.
Kecenderungan demikian terlihat pula dari kebijakan mengenai kompetensi lokal dan
individual di atas. Sambil membuat proyek baru dalam penulisan kurikulum, pelatihan
mengenai kompetensi lokal dan individual, mereka berusaha mempertahankan proyek lama
yang bernama ujian nasional. Dan, bagi mereka, seperti yang biasa berlaku dalam masyarakat
dan kebudayaan Jawa, tidak ada masalah jika sebenarnya ujian nasional itu bertentangan
dengan kebijakan mengenai kompetensi lokal dan nasional.

Semua orang mengetahui persoalan proyek tersebut. Guru-guru mengetahui, murih-


murid mengetahui, masyarakat yang disebut stakeholder mengetahui. Semuanya bahkan tidak
hanya mengetahui, melainkan bahkan bisa memahaminya sebagai sesuatu yang wajar,
sesuatu yang memang niscaya bagi manusia Jawa, dan karena itu mereka pun bisa pula
menerimanya. Mereka, lebih jauh, tidak hanya bisa menerimanya, tetapi berusaha melakukan
pula hal yang sama, menirunya pada level yang rendah. Dengan keberhasilan dalam peniruan
itu, mereka pun membuktikan diri mereka sebagai “masih Jawa”, masih peka terhadap
kahanan, masih trampil menyiasati dan memanfaatkan kahanan, meskipun sekedar untuk
kebutuhan survival, masa kini. Soal bagaimana nasib generasi yang akan datang, bukanlah
soal mereka. Itu adalah soal yang baru, dengan kahanan yang baru. Yang perlu mereka
siapkan bagi generasi baru itu bukanlah keadaan objektif yang lebih baik, melainkan
kemampuan subjektif yang setidaknya sama dengan mereka: peka terhadap kahanan, trampil
memanfaatkan kahanan, dan “sluman-slumun-slamet”.

Sistem pendidikan di Indonesia memang sistem pendidikan yang dinyatakan modern.


Meskipun demikian, karena manusia-manusianya adalah manusia-manusia yang sudah
terdidik dengan pola pendidikan tradisional, khususnya Jawa, sistem pendidikan itu berubah
menjadi sistem pendidikan yang sangat khas Jawa. Karena kejawaan itu bukanlah suatu
substansi, esensi, melainkan strategi, sama sekali tidak terjadi pertentangan antara
kebudayaan Jawa dengan ekonomisasi dan komersialisasi pendidikan. Dalam konteks
masyarakat dan kebudayaan Jawa, ekonomisasi dan komersialisasi pendidikan hanyalah suatu
respon yang wajar dari kahanan yang berlangsung dalam ruang dan waktu tertentu, momen
sejarah tertentu yang biasanya mempunyai rentangan waktu yang teramat pendek.
Masyarakat Jawa, dengan latar belakang kemampuan tinggi dalam “ngelmu kahanan” sangat
percaya bahwa segala kebijakan berlangsung sementara dan akan dengan cepat berubah
sesuai dengan perubahan kahanan yang cepat, misalnya perubahan presiden, perubahan
menteri, perubahan parpol yang berkuasa, dan sebagainya. Dan masyarakat dan Kebudayaan
Jawa benar-benar siap untuk menghadapi perubahan itu, misalnya perubahan dari Mega ke
SBY. Tidak ada masalah.
3.2 Sistem Pendidikan Alternatif

Seperti sudah dikemukakan, sistem pendidikan alternatif bagi Indonesia adalah sistem
pendidikan yang dapat membebaskan masyarakat Indonesia khususnya Jawa dari
kecenderungan yang fatalistik dan bahkan chaostik. Karena itu, yang menjadi persoalan
dalam sistem pendidikan alternatif tersebut adalah sebagai berikut.

a. Bagaimana sistem pendidikan di Indonesia membuat tujuan nasional pendidikan


Indonesia, apa pun substansinya, termasuk tujuan komersialisasi, sekularisasi, dan
sebagainya, benar-benar merupakan missi bagi masa depan, merupakan design
untuk masa depan, bukan sekedar respon sesaat terhadap kahanan tertentu dan
dapat diubah dan dikhianati dalam kahanan yang lain.
b. Bagaimana menyinambungkan tujuan pendidikan nasional yang sudah disepakati
bersama, apa pun substansinya, dengan program-program dan praktik-praktik
pelaksanaan pendidikan di lapangan.
c. Bagaimana membuat tujuan pendidikan nasional dapat menjadi stabil dalam
waktu yang relatif lama, dapat membuahkan sistem pendidikan yang stabil pula,
tidak berubah dengan cepat, tidak terlalu terpengaruh oleh desakan-desakan
kahanan yang sesaat.

Anda mungkin juga menyukai