1. Pengantar
Masyarakat yang terbiasa hidup dalam lingkungan geografis dan kultural yang semula
relatif terisolasi, yang dari hari ke hari menyakasikan lingkungan alamiah, fisik, manusia
yang sama sehingga apa yang terjadi hari ini dengan mudah dapat diramalkan akan terjadi
kembali keesokan harinya, tentu saja akan mengalami goncangan kultural-psikologis
menghadapi pergerakan dan perubahan lingkungan hidup yang cepat itu. Peta kognisi, afeksi,
dan motorik mereka yang mereka bangun dengan susah-payah, dalam waktu yang mungkin
berabad-abad, diturunkan dari generasi ke generasi, sehingga dapat menjadi pegangan yang
dapat bekerja dengan cara yang nyaris otomatis, dalam menyiasati kehidupan di masa lalu,
masa kini, dan masa depan, menjadi tidak lagi efektif dan efisien untuk mengidentifikasi dan
menyiasati lingkungan kehidupan baru yang bergerak cepat tersebut.
Setidaknya ada empat kemungkinan jalan keluar yang kemudian mereka ambil agar
dapat terbebas dari kegoncangan yang demikian. Pertama, mereka akan menutup diri,
menolak perubahan, dan berusaha membayangkan dan membangun lingkungan hidup
sebagaimana yang ada di masa sebelumnya, memperkuat ikatan-ikatan primordial baik dalam
bentuk primordialisme keagamaan, etnik-tribal ataupun lokal (Traditional Strategy). Kedua,
mereka akan terbawa arus perubahan itu, kehilangan ingatan akan pegangan masa lalu dan
bahkan pada akhirnya bersikap apatis terhadap segala yang mapan, dan meniscayakan serta
bahkan menikmati apa saja yang menimbulkan efek perubahan dan goncangan (Modernist
Strategy). Ketiga, mereka akan tetap bertahan hidup dalam perubahan itu, tetapi dengan sikap
kognitif, afektif, dan motorik yang sangat traumatik, yang menatap masa depan tanpa harapan
dan berjuang hidup hanya pada batas survival, untuk sekedar bertahan hidup di masa kini
(Anti-modernist Strategy). Keempat, mereka akan bertahan hidup dalam perubahan, tetapi
dengan membuat pegangan-pegangan baru yang bersifat sementara untuk bisa digunakan
dalam menyiasati masa lalu, masa kini, maupun masa depan, membangun kemapanan relatif
yang berguna dalam rentangan waktu yang pendek, yang selalu siap untuk mengalami
modifikasi sesuai dengan perubahan keadaan yang cepat dari waktu ke waktu (Post-
modernist Strategy)
Bila diskalakan berbagai kemungkinan sikap itu akan menjadi diagram berikut.
KEMAPANAN PERUBAHAN
Tentu saja tidak pernah ada kategorisasi yang menyangkut kehidupan manusia, sosial
maupun psikologis, yang mutlak, yang di dalamnya satu kategori terpisah sepenuhnya dari
kategori yang lain. Apa yang dikemukakan di atas hanya semacam tipe-ideal yang bisa
digunakan sebagai ancang-ancang untuk memahami persoalan yang akan dibahas, yaitu
persoalan sebagaimana yang dikemukakan di dalam judul makalah ini.
Hasil interaksi antara masyarakat Jawa dengan berbagai arus manusia dan ideologi
serta benda-benda kebudayaan di atas masih dapat disimak dari tidak hanya pada artifkak-
artifak dan teks-teks masa lalu, melainkan bahkan dari pikiran, sikap, dan perilaku sosial
masyarakat yang bersangkutan di masa kini. Dari sumber-sumber itulah banyak ahli percaya
bahwa masyarakat Jawa adalah masyarakat yang sinkritik, yaitu masyarakat yang suka
menggabungkan berbagai ideologi atau sistem kepercayaan, cara pergaulan, dan bahkan
berbagai teknologi yang pernah bersentuhan dengannya. Kategori sosial-keagamaan yang
disebut “abangan”, yang hingga sekarang masih cenderung dominan dalam masyarakat dan
kebudayaan Jawa, biasanya dipahami dalam pengertian sinkretisme yang demikian.
Maka pandangan bahwa masyarakat dan kebudayaan Jawa sebagai masyarakat dan
kebudayaan yang cenderung sinkretik dalam memperlakukan perubahan yang terjadi di
sekitarnya tidak bisa diterima begitu saja, harus dipersoalkan lebih lanjut, sehingga dapat
dipahami kekhasannya dibandingkan dengan masyarakat dan kebudayaan yang lain. Dan
persoalan kekhasan ini antara lain dapat dipahami dengan menempatkan kecenderungan
sinkretik yang tekstual itu dalam konteks historis, dalam fungsinya sebagai bagian integral
dari strategi adaptasi masyarakat Jawa dalam menghadapi dan menyiasati perubahan yang
berlangsung dari masa ke masa. Dan strategi itu bukan sekedar rumusan-rumusan verbal
apalagi tekstual yang abstrak, melainkan sesuatu yang terlembaga, yang terus-menerus
ditanamkan kepada generasi demi generasi masyarakat Jawa dalam rangka memproduksi dan
mereproduksi suatu subjek yang khas, yang handal dan trampil dalam mengambil sikap,
memperlakukan, dan menyiasati perubahan demi kesinambungan hidup masyarakat Jawa itu.
Dilihat dari berbagai konsep dan praktik kebudayaannya, masyarakat Jawa jelas
merupakan masyarakat yang tidak hanya tidak menolak perubahan, bahkan tidak hanya mau
menerima perubahan, melainkan, lebih jauh lagi, menganggap perubahan itu sebagai sebuah
keniscayaan. Salah satu konsep penting yang merepresentasikan kecenderungan demikian,
yang seringkali digunakan dalam kehidupan sehari-hari, juga dalam ungkapan-ungkapan
kesenian dan ritual tertentu, adalah apa yang dinamakan “cakramanggilingan”. Dengan istilah
yang kemudian terebut orang Jawa mengungkapkan dan sekaligus melembagakan
pandangannya mengenai kehidupan yang secara niscaya selalu berubah dan perubahan itu
menyerupai perputaran roda yang dengannya bertempat dan hidup anggota-anggota
masyarakat yang bersangkutan. Karena kehidupan berputar seperti roda, posisi manusia pun
menjadi selalu berubah, tidak pernah tetap dan abadi. Jika suatu saat manusia ada di posisi
atas dari roda itu, ia tidak boleh berharap bahwa di saat lain ia akan tetap berada di posisi
yang sama.
Tapi, “eling lan waspada” itu sebenarnya lebih terarah kepada keharusan untuk
menerima perubahan dengan kesadaran penuh, dengan tetap terjaga sebagaimana yang
direpresentasikan dalam ungkapan “ngeli ning ora keli”. Konsep ini terkait dengan jenis
perubahan evolusioner. Meskipun demikian, konsep ini juga berkaitan erat dengan dan
sekaligus berfungsi dalam pemahaman konsep mengenai sikap terhadap perubahan
revolusioner di atas. Dengan kata lain, perubahan, baik yang revolusioner maupun
evolusioner, bagi masyarakat Jawa, merupakan sesuatu yang niscaya dan karenanya tidak
ditolak. Yang menjadi persoalan bagi masyarakat tersebut bukanlah perubahannya itu sendiri,
melainkan bagaimana cara menerima dan mengikuti perubahan tersebut. Konsep “Ojo
Gumunan, ojo kagetan” mungkin merupakan tahap pertama dalam menghadapi perubahan,
sedangkan konsep “Ngeli...” merupakan tahap kedua yang digunakan untuk menjalani
perubahan.
Bila melihat pada kenyataan konseptual dan sekaligus praktik masyarakat Jawa dalam
kehidupan sehari-hari sebagaimana yang setidaknya saya alami dan ketahui selama puluhan
tahun di Yogyakarta, kecenderungannya tidaklah demikian. Karena masyarakat Jawa
menganggap perubahan merupakan satu keniscayaan kehidupan, mereka cenderung
menganggap bahwa kehidupan itu terfragmentasikan menjadi satuan-satuan yang lepas, yang
berdiri sendiri-sendiri, yang terpisah satu sama lain, tidak hanya dalam dimensi waktu,
melainkan bahkan dimensi ruang. Kehidupan adalah peralihan dari momen ke momen,
kumpulan momen-momen yang terpisah, tak berkesinambungan. Momen-momen inilah yang
mungkin merupakan konsep kultural dari apa yang mereka sebut sebagai “kahanan”.
Karena kahanan yang satu berbeda dari kahanan lain, baik dari segi ruang maupun
waktu, strategi yang harus digunakan untuk menghadapi dan menyiasati satu kahanan tidak
bisa digunakan untuk kahanan yang lain. Karena itu, tafsir bahwa yang diimplikasikan oleh
konsep kesadaran dalam ungkapan “Ngeli...” sebagai sesuatu yang ada di masa lalu, di masa
sebelum perubahan terjadi, menjadi problematik. Dalam konsep kahanan yang bervariasi di
atas, strategi yang digunakan untuk menghadapi dan menyiasati kahanan di masa lalu dengan
kahanan sekarang, ketika perubahan terjadi, tentu akan dipandang tidak lagi bisa digunakan,
tidak lagi efektif. Dengan kata lain, dalam pandangan masyarakat dan kebudayaan Jawa masa
lalu tidak mungkin bisa digunakan di masa kini, tidak bisa dipertahankan keterlibatannya
dalam kehidupan di masa kini, juga masa depan karena kahanannya berbeda.
Bila demikian halnya, yang menjadi problematik bukan hanya tafsir mengenai
implikasi kesadaran dalam ungkapan “Ngeli...” di atas, melainkan juga tafsir mengenai
masyarakat dan kebudayaan Jawa sebagai masyarakat dan kebudayaan yang sinkretik.
Sinkretisme Jawa biasanya dipahami sebagai kebiasaan dan kesukaan masyarakat Jawa untuk
menerima berbagai kebudayaan lain yang pernah, dalam sejarah, bersentuhan dengannya,
untuk kemudian meramunya menjadi satu kesatuan budaya dan masyarakat yang baru,
kesatuan budaya dan masyarakat dengan komponen budaya yang beraneka, yang bersumber
dari berbagai macam pengaruh dari luar. Dengan kata lain, dalam pemahaman mengenai
sinkretisme yang demikian diandaikan bahwa dalam masyarakat dan kebudayaan Jawa
dimungkinkan bertahannya segala kebudayaan, ideologi, kepercayaan dari masa lalu di masa
kini. Padahal, sebagaimana sudah dikemukakan, masa lalu dan masa kini itu merupakan dua
kahanan yang berbeda dan terpisah.
Tentu pandangan mengenai diskontinuitas itu pun dapat dengan mudah disangkal
dengan menunjukkan fakta-fakta yang diperoleh dari teks dan artifak mengenai adanya unsur
kebudayaan lama dalam kebudayaan masa kini, adanya akumulasi berbagai kebudayaan yang
pernah bersentuhan dengan masyarakat Jawa dari masa ke masa dalam masyarakat dan
kebudayaan masa kini. Bahkan, tidak hanya fakta-fakta tekstual dan arkeologis itu saja yang
dapat menyangkalnya, melainkan juga praktik kehidupan keseharian masyarakat itu sendiri.
Dalam praktik kehidupan keseharian tampak bahwa masyarakat Jawa bukanlah masyarakat
yang mudah begitu saja membuang dan melupakan masa lalu untuk masuk sepenuhnya ke
dalam masa kini. Gombal, kain-kain bekas, memperlihatkan dengan jelas kecenderungan
demikian. Pakaian atau apa saja yang sudah tidak terpakai di masa kini tidak dibuang,
melainkan disimpan, dan bahkan digunakan untuk keperluan tertentu di masa kini. Bahkan,
ketika sesuatu yang lama itu tidak bisa digunakan di masa kini pun, ia tidak akan dibuang
oleh masyarakat tersebut, melainkan disimpan, misalnya di gudang atau di ruang kosong
tertentu di belakang rumah atau di dalam peti atau entah di mana. Masyarakat Jawa adalah
masyarakat yang sangat pandai “ngeman”, “eman-eman”, dan sejenisnya.
Kahanan merupakan konsep kultural yang amat khas Jawa, yang karenanya,
seringkali diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia/Inggris yang juga khas, aneh, yaitu apa
yang biasa disebut sebagai “situasi dan kondisi”. Dan, lebih jauh, kahanan itu tidak hanya
merupakan konsep yang khas, melainkan bahkan bisa dikatakan sebagai konsep kunci dalam
keseluruhan detak kehidupan masyarakat dan kebudayaan Jawa. Hampir seluruh institusi
dalam masyarakat tersebut dikerahkan untuk memproduksi dan mereproduksi satu subjek
yang mempunyai pengetahuan dan kepekaan terhadap kahanan dan sekaligus mempunyai
ketrampilan kognitif, afektif, maupun motorik untuk menyiasati kahanan itu. Subjek yang
demikianlah yang mungkin disebut sebagai “manusia Jawa”, “Orang Jawa”, atau bahkan
“Njawani”. Manusia yang ideal, dalam pemahaman masyarakat Jawa, dengan demikian,
adalah manusia yang “ngerti kahanan”, sedangkan manusia yang paling bodoh dan bahkan
rendah adalah manusia yang “ora ngerti kahanan”.
Sistem stratifikasi sosial Jawa yang rumit, dengan unggah-ungguh bahasa Jawa yang
juga sama rumitnya dengan kahanan itu, adalah salah satu institusi sangat fungsional dalam
produksi dan reproduksi subjek di atas. Dengan bahasa tersebut orang Jawa, dari bayi hingga
dewasa, terus-menerus dihadapkan dengan kahanan dan dengan keharusan untuk mengambil
sikap dan strategi yang tepat terhadap kahanan tersebut. Kahanan itu antara lain menyangkut
siapa yang berbicara, apa yang dibicarakan, dalam lingkungan yang bagaimana, dengan
kondisi subjektif dan objektif apa, dan sebagainya. Dengan kata lain, dengan dan dalam
bahasa itu, semua warga masyarakat Jawa, dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi,
politik, generasional, dikondisikan untuk peka tidak hanya terhadap apa yang dikatakan
secara verbal, melainkan juga keseluruhan situasi dan kondisi yang di dalamnya apa yang
dinyatakan secara verbal itu berlangsung. Beberapa ungkapan yang bertalian dengan hal ini
adalah: “ngono ya ngono, ning ojo ngono”, “bener, ning ora pener”, dan sebagainya.
Ketika bahasa Jawa dengan unggah-ungguh yang rumit itu telah mulai sirna,
khususnya di Yogyakarta muncul institusi baru, yaitu sistem lalu lintas. Sistem lalu lintas di
Yogyakarta cenderung tidak menggunakan aturan-aturan yang baku dan ketat, Beberapa
simbol lalu lintas pun tidak mengikuti standard umum mengenai rambu-rambu lalu lintas.
Polisi tidak bersikap sebagai penegak hukum yang ketat, melainkan penegak hukum yang
angin-anginan, yang sikap dan perilakunya dapat berubah dengan cara yang bisa dikatakan
sulit untuk diramalkan. Dengan sistem yang hampir “chaos” seperti itu, pemakai jalan benar-
benar dilatih dan dikondisikan untuk tidak berpegang pada aturan yang baku dan ketat,
melainkan berpegang pada perasaan, pada feeling, pada kepekaan membaca kahanan. Yang
termasuk dalam unsur-unsur kahanan itu antara lain adalah: padat tidak padatnya lalu lintas,
besar kecilnya kendaraan, kondisi psikologis pemakai jalan yang lain, kondisi psikologis
polisi, yang kesemuanya itu dapat berubah dari waktu ke waktu, memberikan pengalaman
yang partikular setiap saat.
Institusi lain, yang sejajar dengan kecenderungan lalu lintas itu, terkait dengan
kesukaan masyarakat Jawa untuk menciptakan ketidakpastian. Birokrasi merupakan salah
satu institusi penting dalam hal ini. Proses birokrasi yang berbelit-belit, dengan prosedur yang
tidak pernah baku, meskipun ada aturan tertulisnya, dengan prosedur yang amat tergantung
pada suasana hati birokratnya, dan sebagainya, merupakan medan yang sangat penting bagi
semua anggota masyarakat Jawa untuk melatih kepekaannya dan sekaligus ketrampilannya
dalam menyiasati kahanan.
Institusi berikut yang tidak kalah pentingnya dan bahkan mempunyai fungsi ganda
adalah plesetan. Di satu pihak, plesetan ini merupakan satu cara untuk menegaskan
ketidakpastian makna, sifat arbitrernya, dan, karena itu, juga sifatnya yang dapat berubah
sesuai dengan keadaan. Di lain pihak, ia juga merupakan satu cara untuk melatih masyarakat
untuk “ora kagetan”, tidak terkejut, apalagi marah, menghadapi perubahan yang mendadak,
yang tidak terduga sebelumnya. Bahkan, dalam pelatihan itu, masyarakat Jawa tidak hanya
dilatih untuk tidak kagetan, melainkan juga untuk mengambil sikap yang santai menghadapi
perubahan yang demikian.
Salah satu institusi penting dan efektif untuk memperoduksi subjek yang takut pada
kepastian itu adalah agama atau gagasan mengenai Tuhan yang maha kuasa, Tuhan yang bisa
bersikap dan bertindak semaunya, Tuhan yang kehendak dan takdirnya tidak bisa diramal.
Salah satu fakta yang biasa mereka gunakan untuk memberikan pembenaran empiris terhadap
kekuasaan Tuhan dan sifat dari takdir Tuhan yang tak bisa diduga itu adalah kematian.
Institusi yang terkait dengan kematian ini pun menjadi institusi terpenting bagi masyarakat
Jawa. Institusi itu adalah institusi “melayat” atau “layatan”. Ungkapan “Ojo Dumeh...”
merupakan mekanisme kontrol bagi anggota masyarakat dengan mengingatkan mereka
jangan mabuk dengan status sosial yang tinggi saat ini karena kehidupan bergerak secara
cakramanggilingan. Selain itu, konsep tersebut pun juga menggunakan kepercayaan bahwa
manusia akan mati, semua kekuasaan milik Tuhan dan bisa ia ambil kapan saja ia mau, untuk
menjalankan kontrol tersebut. Ancaman bahwa orang tidak boleh sombong biasanya juga
menggunakan kematian: “Kalau mati, siapa yang mengusungnya ke kuburan?”.
Yang juga berhubungan dengan ketakutan pada kepastian itu adalah pandangan
masyarakat Jawa mengenai masa depan. Karena hidup penuh ketidakpastian, perubahan
merupakan sesuatu yang niscaya tetapi tidak bisa diramalkan, dan kehendak Tuhan tidak bisa
ditebak, masyarakat Jawa cenderung tidak percaya pada segala bentuk perencanaan akan
masa depan. Seperti halnya perubahan, masa depan pun tidak bisa diduga. Menduga dan
merencanakan masa depan bukan hanya perbuatan yang bodoh, melainkan bahkan perbuatan
yang melanggar kehendak Tuhan, kehendak alam: “Nggege mangsa...”. Ungkapan bahasa
Indonesia yang populer dan yang relevan dengan kecenderungan demikian tidak lain:
“Manusia bisa berencana, Tuhan yang menentukan.”
Bila dikaitkan dengan pandangan yang terakhir di atas, juga dengan konsep
cakramanggilingan yang sudah dikemukakan, ketakutan akan kepastian itu seakan merupakan
satu sikap yang sangat religius. Namun, tidak semua masyarakat yang religius menghayati
kepercayaannya akan kekuasaan Tuhan, memahami kenyataan perubahan dengan ketakutan
akan kepastian. Religiusitas masyarakat Bali, Islam dan Kristen fundamentalis jelas tidak
demikian. Karena itu, ketakutan yang demikian mungkin pula merupakan satu kecenderungan
kultural yang khas Jawa, merupakan respon kultural dan strategi adaptasi yang dianggap
efektif oleh masyarakat yang bersangkutan dalam menghadap berbagai perubahan yang
mereka alami dari masa ke masa.
Tapi, biarpun menjamin keselamatan lahir dan batin, sikap “sakmadya..” membuat
masyarakat Jawa tidak akan pernah maksimal dalam pencapaian, cenderung setengah-
setengah. Dengan kata lain, strategi adaptasi yang serupa itu hanya akan membawa
masyarakat Jawa sampai pada batas kondisi survival. Karena itu, kata “slamet..” biasanya
berpasangan dengan kata lain dan membentuk frase “waton slamet”.
Inilah fatalisme masyarakat Jawa. Fatalisme itu menjadi semakin kuat karena konsep
mereka mengenai perubahan cenderung merupakan sesuatu yang ditentukan oleh kekuatan
eksternal, bukan kekuatan mereka sendiri. Masyarakat Jawa diciptakan oleh berbagai institusi
kulturalnya bukan untuk melakukan perubahan, melainkan untuk beradaptasi dengan
perubahan. Dengan demikian, keyakinan akan kemampuan diri untuk dapat melakukan
perubahan, apalagi menciptakan yang baru, menciptakan masa depan yang lebih baik,
menjadi sama sekali jauh dari jangkauan.
3. Strategi Pendidikan
Uraian di atas menunjukkan bahwa apa yang dinamakan identitas masyarakat Jawa
bukanlah sebuah entitas yang tetap, stabil, baku, esensial. Kejawaan orang Jawa tidak terletak
pada kesetiaannya pada satu “pegangan hidup” tertentu, melainkan jusru pada
kemampuannya untuk menggunakan “pegangan hidup” apa pun yang bisa dijangkaunya,
disimpannya, dan digunakannya sesuai dengan tuntutan dan perkembangan keadaan atau
kahanan. Kemampuan untuk menjangkau, menyimpan, dan menggunakan “pegangan hidup”
apa pun itu dimungkinkan oleh sikapnya yang “sakmadya..” dalam menghadapi perubahan.
Sikap ini membuatnya bisa menerima yang baru dari manapun sumbernya, tetapi tidak
dengan membuang yang lama, bagaimanapun sejarahnya. Lebih jauh, kemampuan untuk
mengumpulkan berbagai “pegangan” di atas hanya mungkin jika berbagai “pegangan” itu
lebih dahulu dilepaskan oleh masyarakat Jawa dari konteks material, fisik, dan historisnya,
dan diubahkan menjadi sesuatu yang simbolik, polisemik, dan karenanya lentur.
Kelenturan itu juga ditopang oleh penyempitan batas komunitas sampai hanya pada
keluarga batih dan bahkan individu. Karena tidak adanya aturan yang baku, yang menjadi
kesepakatan kolektif, kepekaan dan ketrampilan menyiasati kahanan menjadi persoalan daya
kreatif individual, perjuangan individu, bukan kolektif.
Dengan karakteristik identitas yang serupa itu masyarakat Jawa tentu akan selalu
dapat survive dalam perubahan yang bagaimanapun. Hanya saja, daya survival mereka benar-
benar akan terbatas pada kemampuan untuk bertahan hidup dalam perubahan, bukan untuk
menghentikan perubahan apalagi menciptakannya. Tujuan dan strategi pendidikan yang
bagaimanakah yang, dengan demikian, tepat bagi mereka?
Ada dua pilihan tujuan dan strategi pendidikan bagi masyarakat Jawa jika dilihat
kenyataan di atas, yaitu (a) pendidikan yang merupakan pengembangan dari sistem produksi
dan reproduksi tradisional Jawa yang karenanya akan dapat membuat masyarakat Jawa untuk
dapat selalu survival menghadapi perubahan dan (b) pendidikan alternatif yang justru
bertujuan membebaskan masyarakat dan kebudayaan Jawa dari kecenderungan yang
fatalistik.
Negara Indonesia adalah negara yang modern. Karena itu, tidak hanya sistem
politiknya yang modern, melainkan juga sistem pendidikannya. Sistem pendidikan modern
itu sendiri merupakan sistem pendidikan yang tidak hanya mengajarkan sistem pengetahuan
modern, sistem pengetahuan yang disebut ilmiah, melainkan juga yang proses belajar-
mengajarnya diorganisasi secara modern. Dan modernitas dapat diartikan sebagai sebuah
keadaan yang terbentuk sebagai realisasi dari modernisme. Sedangkan modernisme itu
sendiri merupakan cara pandang yang rasional terhadap kehidupan. Artinya, para penganut
modernisme beranggapan bahwa kehidupan harus dipahami sebagai keadaan dan proses yang
rasional dan yang harus disiasati dengan cara yang rasional pula. Dengan siasat yang rasional
itu, penganut modernisme mengutamakan perumusan yang jelas dan eksplisit terhadap tujuan
yang ingin dicapai dan perumusan yang jelas dan eksplisit pula mengenai pilihan cara-cara
dan/atau alat-alat yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut.
Secara verbal rumusan mengenai tujuan pendidikan nasional Indonesia sudah sangat
jelas, yaitu: “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Namun, kejelasan rumusan verbal itu tidak
dengan sendirinya berarti sistem pendidikan Indonesia menjadi terbebas dari persoalan
penetapan tujuannya. Sebagaimana sudah dikemukakan, masyarakat dan kebudayaan Jawa
merupakan masyarakat dan kebudayaan yang tidak menyukai dan bahkan cenderung
traumatik terhadap kepastian dan sangat menggemari ketidakpastian untuk membuat anggota-
anggotanya menjadi peka terhadap dan trampil menyiasati kahanan. Dengan kecenderungan
budaya yang demikian, makna “mencerdaskan kehidupan bangsa” tidak dapat dipahami
dengan tepat bila hanya didasarkan pada makna tekstualnya, makna kebahasaannya yang
denotatif belaka.
Selain itu, masih dalam konteks budaya yang sama, rumusan “mencerdaskan
kehidupan bangsa” itu sendiri, secara kultural, dapat mempunyai makna yang sama sekali
tidak berhubungan dengan suatu missi atau tujuan yang berjangka panjang. Karena, seperti
sudah dikatakan, masyarakat dan kebudayaan Jawa adalah masyarakat dan kebudayaan yang
tidak begitu percaya pada masa depan yang dapat dirancang, cenderung hanya memberikan
respon terhadap kahanan yang secara langsung di hadapi di masa kini, dan sangat simbolik
dalam pengertian menempatkan kata-kata dalam fungsinya sebagai mantera, bukan sebagai
pedoman bagi pelaksanaan atau praktis. Karena itu, rumusan verbal di atas pun dapat hanya
sebagai alat bagi masyarakat Jawa untuk sekedar mendapat pengakuan dunia bahwa mereka
sudah menjadi masyarakat dengan kebudayaan yang modern, masyarakat yang sudah
beradab, sehingga dapat dipercaya dan diakui untuk merdeka. Modernitas, dengan kata lain,
bukanlah sebuah design mengenai kehidupan untuk masa kini dan masa depan, melainkan
salah satu alat saja yang dianggap efektif untuk menghadapi dan menyiasati kahanan, satu
momen dalam kehidupan. Tujuan, dengan demikian, dapat bersaing dengan program, atau
program tidak harus diturunkan dari tujuan. Program bisa berkedudukan setara dengan tujuan
karena ia mungkin disusun dalam kahanan yang lain, yang berbeda. Program dapat menjadi
tujuan, tujuan dapat menjadi program. Atau, karena begitu pekanya masyarakat Jawa pada
perubahan keadaan, program yang disusun lebih kemudian daripada perumusan tujuannya,
disusun atas dasar tujuan baru, yang sama sekali berbeda dari tujuan semula, karena tujuan
yang baru itu disesuaikan dengan kahanan yang baru.
Dilihat dari sudut pandang masyarakat dan kebudayaan Jawa, tidak perlu ada
kontinuitas antara tujuan dengan program, antara tujuan yang ditetapkan pada masa tertentu
dengan tujuan yang ditetapkan pada masa sebelumnya dan sesudahnya, karena semuanya
merupakan jawaban terhadap tuntutan kahanan yang berbeda. Dengan sudut pandang yang
seperti ini tidaklah mengherankan apabila rumusan tujuan pendidikan “mencerdaskan
kehidupan bangsa” yang dibuat pada tahun 1945 itu dan yang tercantum dalam Undang-
Undang Dasar itu, dan yang sampai sekarang belum diubah dan bahkan, konon, tidak boleh
diubah, sama sekali tidak menghalangi berbagai rezim pemerintahan dan pendidikan yang
berkuasa kemudian untuk membuat rumusan pendidikan yang tidak berhubungan dan bahkan
dapat bertentangan dengannya. Juga, dengan sudut pandang di atas, tidak pula mengherankan
apabila kebijakan pendidikan berganti dengan cepat tidak hanya setiap kali berganti menteri,
melainkan bahkan setiap kali berhembus issue baru, teori baru, pendekatan baru, tekanan
media massa baru mengenai hal tersebut. Dan, yang tidak kalah pentingnya adalah, bahwa
antara kebijakan yang satu dengan kebijakan lainnya dapat dikatakan tak berhubungan kalau
tidak dapat dikatakan bertentangan satu sama lain.
Sejajar dengan kebijakan otonomi di atas, berkembang wacana yang bermuara pada
kebijakan baru mengenai tujuan pengajaran. Apa yang disebut dengan kecerdasan tidak lagi
dipahami sebagai sekedar kemampuan intelegen yang tinggi seperti yang dimaksudkan oleh
perumusnya di tahun 1945, melainkan sebagai kemampuan emosional yang tinggi, yang
terkait dengan kemampuan menangkap dan beradaptasi secara positi dengan kahanan. Ada
pragmatisme di dalam kebijakan itu. Dan pragmatisme ini berjalan seiring dengan kebijakan
tentang otonomi, tentang potensi lokal, pengetahuan lokal, dan sebagainya. Sejalan dengan
itu pula dibuat kebijakan kurikulum yang baru, yang menghargai tidak hanya kondisi khas
lokal, melainkan bahkan kondisi khas individual siswa. Standard kompetensi nasional diganti
dengan standard kompetensi lokal diganti lagi dengan standard kompetensi individual.
Kurikulum ini meniscayakan hapusnya ujian nasional, bahkan lokal, sesuai dengan tuntutan
para kritikus pendidikan, baik melalui media maupun LSM. Dengan kata lain, penyelenggara
pendidikan, pemerintah, kembali memperlihatkan kepekaan mereka pada kahanan, kecepatan
mereka beradaptasi dengan perubahan.
Masyarakat dan kebudayaan Jawa, seperti sudah dikemukakan dan sudah terbukti di
atas, sama sekali tidak pernah takut pada perubahan, secepat apa pun dan seradikal apa pun
perubahan itu. Mereka sudah sangat terlatih secara kultural untuk menerima dan menyiasati
perubahan kahanan yang secepat apa pun dan seradikal apa pun itu. Kemampuan itu tentu
saja digunakan untuk selalu dapat survive, selalu dapat mengambil keuntungan dari keadaan
yang baru. Karena itu, mereka bukannya alergi terhadap gagasan-gagasan baru dalam
pendidikan, melainkan selalu memperoleh keuntungan darinya, dapat menciptakan proyek
baru. Dan yang lebih hebat lagi, seperti sudah pula dikemukakan, kemampuan menerima
yang baru itu tidak harus pula diikuti oleh keinginan membuang yang lama. Mereka berusaha
mempunyai semuanya agar satu saat dapat digunakan secara serempak ataupun satu-persatu.
Kecenderungan demikian terlihat pula dari kebijakan mengenai kompetensi lokal dan
individual di atas. Sambil membuat proyek baru dalam penulisan kurikulum, pelatihan
mengenai kompetensi lokal dan individual, mereka berusaha mempertahankan proyek lama
yang bernama ujian nasional. Dan, bagi mereka, seperti yang biasa berlaku dalam masyarakat
dan kebudayaan Jawa, tidak ada masalah jika sebenarnya ujian nasional itu bertentangan
dengan kebijakan mengenai kompetensi lokal dan nasional.
Seperti sudah dikemukakan, sistem pendidikan alternatif bagi Indonesia adalah sistem
pendidikan yang dapat membebaskan masyarakat Indonesia khususnya Jawa dari
kecenderungan yang fatalistik dan bahkan chaostik. Karena itu, yang menjadi persoalan
dalam sistem pendidikan alternatif tersebut adalah sebagai berikut.