Anda di halaman 1dari 7

KARENA LAUT TAK HANYA BISA BERCERITA1

Faruk2

Gayatri Spivak mengatakan bahwa lapisan terbawah masyarakat apalagi


dengan gender perempuan tidak dapat bicara. Mereka cenderung selalu
menjadi objek yang dibicarakan, yang direpresentasikan. Dan, dalam
representasi yang sesungguhnya bicara bukanlah masyarakat lapisan terbawah
yang ia sebut sebagai the subaltern itu, melainkan terutama sekali justru yang
merepresentasikannya. Tapi, bagaimana dengan apa yang disebut dengan
alam? Dalam wacana pencerahan yang borjuis-kapitalistik dibentuk tatanan
kehidupan yang terdiri dari subjek dengan objek yang di dalamnya pihak
pertama dianggap sebagai sebuah kekuatan yang aktif, sedangkan yang kedua
pasif. yang pertama adalah makhluk yang berpikir, rasional, sedangkan yang
kedua adalah makhluk yang tidak berpikir, yaitu yang meliputi tidak hanya
alam, melainkan manusia yang ada dalam belenggu tradisi, yang bisa
disejajarkan dengan the subalternnya Spivak, tetapi yang dilihat dari segi yang
berbeda. Wacana Buddhist, sebagaimana yang dinyatakan di dalam gaya hidup
para biarawannya, membedakan makhluk hidup dengan makhluk tak
bernyawa yang keduanya dapat masuk dalam kategori alam dalam wacana
pencerahan. Binatang termasuk dalam kategori makhluk hidup yang tidak
boleh dimakan. Wacana ini meluas menjadi apa yang kemudian dinamakan
sebagai vegetarianisme. Dalam wacana yang demikian yang dianggap sebagai
pasif adalah tumbuh-tumbuhan, sedangkan hewan dimasukkan ke dalam
kategori makhluk yang aktif.

Namun, hampir bersamaan dengan tetapi sekaligus sebagai tandingan dari


wacana pencerahan, muncul wacana romantik yang membedakan kehidupan
menjadi alam dengan kebudayaan. Di dalam wacana ini kebudayaan tetap
dipahami sebagai kekuatan yang aktif, bahkan agresif dan eksploitatif terhadap
alam. Meskipun demikian, wacana romantik tidak menganggap alam
sepenuhnya sebagai kekuatan yang pasif, melainkan bahkan sebaliknya.

1
Tulisan ini masih berupa draft yang hanya digunakan untuk kepentingan presentasi dalam acara peluncuran
novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori yang diselenggarakan pada tanggal 24 Januari 2018 di FIB-UGM,
Yogyakarta.
2
Dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM
Gambaran mengenai kekuatan maha besar alam, misalnya banjir, badai,
menjadi motif yang terus berulang di dalam wacana romantik, terutama karya-
karya sastra dan seninya. Wacana romantik ini dikenal sebagai wacana yang
mencoba menghidupkan kembali gagasan atau paham-paham yang hidup
dalam tradisi di masa sebelum pencerahan, yang di dalam masa pencerahan
dianggap sebagai sesuatu yang pasif, objek semata. Paham-paham keagamaan
kristen merupakan salah satunya dengan antara lain cerita mengenai air bah
yang menenggelamkan seluruh alam semesta. Sebagai kelanjutan dari tradisi
agama yang sama, yang disebut sebagai agama-agama samawi, di dalam kitab
suci agama Islam pun ditemukan banyak gambaran mengenai bencana alam
yang menghancurkan manusia dengan segala peradabannya. Hanya saja, kalau
di dalam wacana keagamaan tersebut alam dianggap sebagai kepanjangan
tangan dari Tuhan untuk menghukum manusia-manusia yang berdosa, di
dalam wacana romantik kekuatan tuhan itu cenderung lebih diminimkan dan
disekularkan menjadi kekuatan orang-orang yang teraniaya, terutama oleh
masyarakat dan kebudayaan borjuis-kapitalistik yang rasional dengan
industrialisasinya. Bahkan, alam dengan kekuatan yang maha dahsyat itu
diidentikkan dengan kekuatan yang ada di dalam diri penyair, terutama yang
dianggap profetik. Lebih jauh, Marx membumikannya menjadi kekuatan maha
dahsyat dan revolusioner dari kelas sosial yang tertindas, terutama proletar.
Walaupun, sesungguhnya, sekularisasi kekuatan alam Illahiah di atas sudah
terkandung juga di dalam ajaran keagamaan. Di dalam Islam, misalnya, doa
orang-orang yang teraniaya dianggap sebagai sebuah doa yang pasti
dikabulkan oleh Tuhan. Identifikasi nabi-nabi dengan lapisan masyarakat yang
terbawah seperti yang dipahami oleh Spivak sudah menjadi pengetahun umum
seperti hubungan antara Yesus dengan Maria Magdalena. Bahkan, bahwa
kekuatan alam yang dahsyat itu bersifat revolusioner, yang membuka jalan
bagi terbentuknya kehidupan yang sepenuhnya baru, terimplikasikan dalam
tidak hanya bencana alam yang memusnahkan semuanya, melainkan juga
dalam konsep mengenai kiamat.

***

Laut Bercerita, yang merupakan judul novel ini, sudah langsung membawa kita
kepada aneka wacana mengenai alam di atas. Di dalamnya terimplikasikan
bahwa laut, alam itu, tidak pasif, tidak hanya bisa berbicara, melainkan bahkan
bisa bercerita. Karena pada kenyataannya yang bercerita adalah novel ini,
karya sastra, ia pun menjadi lebih dekat dengan wacana romantik yang
menempatkan sastrawan, penyair, sebagai lebih dekat dan bahkan identik
dengan alam tersebut. Tidak hanya dalam kenyataan, melainkan bahkan di
dalam cerita dari novel ini sendiri. Dinamika hampir keseluruhan novel ini, yang
dianggap memberi motivasi pada terutama tokoh utama ceritanya, sang
narator, adalah puisi, apa yang dinamakan dengan sang penyair. Tokoh
utamanya itu sendiri merupakan seorang penulis cerita, katakanlah, sastrawan.
Pacarnya pun seorang seniman, pelukis.

Ini cerita tentang para aktivis muda di yogyakarta yang melakukan banyak
kegiatan kritis terhadap rezim ORBA di satu pihak dan kegiatan pemberdayaan
terhadap masyarakat lapisan bawah yang jadi korban dari kebijakan-kebijakan
ekonomi rezim tersebut. Bila dilihat dari kerangka wacana yang sudah
dikemukakan, sebagai aktivis tentu mereka adalah orang-orang yang aktif,
bersuara, berkata, dan bahkan terutama bertindak. Mereka adalah subjek,
tetapi dari jenis yang berbeda dari subjek pencerahan. Kalau yang kemudian ini
cenderung melakukan objektifikasi dan sekaligus pasifikasi, para aktivis muda
itu bergerak dalam tindakan-tindakan pemberdayaan dan penyuaraan the
subaltern. Mereka dapat disebut, dalam istilah Gramscian, sebagai intelektual
organik, yang menempatkan diri sebagai bagian integral dari pertarungan
kekuasaan, mencoba menghimpun massa dalam satu kesadaran ideologis
tertentu yang bersifat resisten.

Namun, dalam perkembangan pertarungan itu, dengan beberapa


keberhasilannya, mereka akhirnya terpojok dan mengalami pasifikasi. Mereka
diseret makin jauh dari kancah pertarungan, terdesak ke dalam wilayah-
wilayah yang sunyi, gelap, dan bungkam: dari hilangnya komunikasi dengan
keluarga, teman-teman sesama aktivis, mata yang ditutup, masuk tahanan
rumah yang tak diketahui lokasinya, tahanan bawah tanah, hinggga akhirnya,
sebagai klimaks, dibawa dan dibuang ke laut, menyatu dengan alam, menjadi
objek dalam kerangka wacana pencerahan. Tapi, novel ini menolak wacana
yang menempatkan alam sebagai sesuatu yang pasif, yang membuat para
tokoh di atas juga menjadi pasif. Karena alam dipahami sebagai sesuatu yang
hidup, yang dapat bercerita, persatuan dengannya tidak membuat para tokoh
di atas menjadi pasif. Novel ini bisa dikatakan sebagai sebuah tindakan untuk
menghidupkan kembali tokoh-tokoh tersebut, setidaknya dalam ingatan
pembacanya. Hanya saja, sebagaimana alam, kehidupan mereka itu bukan lagi
kehidupan aktivis yang revolusioner, yang menyerupai alam dalam wacana
keagamaan dan romantisisme, melainkan kehidupan aktivis yang bercerita.
Penggunaan kata kerja ‘bercerita’ menjadi penting dalam hal ini. Kata kerja ini
termasuk dalam kata kerja intransitif, yang tak mempunyai objek, yang tak
bergerak keluar dirinya. Dengan kata lain, keaktifannya cenderungan menjadi
keaktifan yang bergerak ke dalam, aktivitas yang pasif, pasivitas yang aktif.

Kecenderungan demikian tampaknya terkait dengan kenyataan bahwa novel


ini sendiri ditulis ketika semua aktivitas dari para tokoh aktivis di atas sudah
berakhir. Karena itu, cerita mengenai gejolak aktivitas yang revolusioner yang
terjadi di masa lalu tidak bisa mengelak dari kesadaran akan sudah berakhirnya
gejolak tersebut. Gambaran mengenai tindakan para aktivis yang bergerak ke
masa depan dibayangi oleh tindakan para tokoh yang ditinggalkan yang
bergerak ke masa lalu. Memang, novel ini, di bagian akhir ceritanya,
menyatakan bahwa para tokoh yang ditinggalkan harus ikhlas melepaskan
masa lalu dan membuka diri untuk menyambut masa kini dan masa depan.
Namun, masa kini dan masa depan itu dihuni bukan lagi oleh tokoh-tokoh yang
revolusioner seperti yang ada di masa lalu. Ada kesan novel ini sudah
menganggap pemerintah sudah tidak ada persoalan lagi. Tatanan yang
diidamkan sudah dicapai. Yang bermasalah justru orang-orang yang
mempertanyakan tatanan yang dibangun pemerintah dengan cara yang bodoh
seperti yang terlihat dalam kutipan berikut.

Di luar kepedihan yang begitu mendalam, aku juga ingin Mas


Laut tahu bahwa kami semua tengah mengalami Indonesia yang
berbeda. Pemerintah mencoba belajar menjadi lebih demokratis.
Mungkin sisi hukum dan parlemen masih harus banyak belajar,
tapi paling tidak pemilu setelah reformasi jauh berbeda, Mas.
Pers Indonesia kini dicemburui negara-negara tetangga karena
sekarang media dibebaskan memberitakan laporan sekritis apa
pun. Ini tantangan jurnalistik yang berbeda, karena artinya
wartawan masa kini harus jauh lebih gigih dan ulet dalam
menginvestigasi. Naratama kini bekerja di kantor bapak sebagai
wartawan. Sedangkan Alex bekerja paruh waktu sebagai fotografer
di Harian Demokrasi.
Tantangan lain: korupsi semakin mengerikan. Menurut Alex,
selama Orde Baru, Indonesia bagaikan sungai besar dengan
permukaan yang tenang, tak ada kericuhan khas demokrasi
karena partai politik sudah ditentukan, hukum bisa dibeli, ekonomi
hanya milik penguasa dan para kroni, dan rakyat hidup dalam
ketakutan. Kini kita belum terbiasa dengan kegaduhan, keramaian
dan begitu banyak pertanyaan (yang cerdas maupun yang dungu)
yang mengomentari tingkah laku pemerintah. Ah, aku sudah mulai
menggunakan diksi kalian, anak-anak Winatra….

Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa tokoh-tokoh masa kini dan masa
depan tidak lagi perlu menjadi revolusioner dalam pengertian mengubah
tatanan, melainkan mempertahankan tatanan dari pertanyaan-pertanyaan
orang-orang bodoh. Mereka tidak lagi harus bergerak keluar, melainkan ke
dalam. Kecenderungan yang demikian tampak memperlihatkan pengaruhnya
pula terhadap cara cerita ini disusun, yaitu dengan gerakan bolak-balik dari
situasi kenyamanan dalam kehidupan keluarga dengan situasi ketegangan dan
penderitaan dalam lingkungan aktivis, dari masa kini ke masa lalu atau
sebaliknya. Tentu, cara membangun cerita yang demikian dapat juga diartikan
sebagai usaha membangun kontras antara kebahagiaan dengan derita karena
derita yang terus-menerus justru akan kehilangan efek penderitaannya.
Kehilangan hanya akan dirasakan mendalam apabila yang hilang itu adalah
sesuatu yang berharga dan yang berharga itu tidak lain dari kebahagiaan hidup
dalam keluarga atau dalam lingkungan pergaulan persahabatan yang intim,
harmonis. Selain itu, penataan cerita yang demikian juga untuk
membangkitkan human interest dengan menempatkan tokoh-tokoh cerita
dalam kesatuan dan ketegangan antara sisi politisnya dengan sisi
manusiawinya, semacam “rocker juga manusia” yang jangan disamakan
dengan “pisau belati” atau “artis juga manusia yang bisa menderita dan
menangis”. Dengan cara demikian, para aktivis tidak sekedar dimaknai sebagai
para prajurit yang kalah dalam peperangan, anak-anak muda yang penuh
kalkulasi rasional, tetapi juga sebagai manusia yang punya hati, punya rasa
sehingga dapat menjadi lebih dekat, lebih intim dengan pembacanya yang
diasumsikan mempunyai sensibilitas yang sama.

***
Usaha untuk memikat pembaca tersebut tentu menjadi sangat penting bagi
novel yang bisa disebut sebagai novel semi dokumenter ini. Teknik lain yang
juga menarik, yang digunakan dalam penyusunannya adalah teknik yang
menyerupai cerita detektif. Ada yang hal misterius yang seringkali terjadi
dalam pergerakan para aktivis di atas, yaitu kebocoran rencana-rencana pada
pemerintah sehingga banyak agenda-agenda aksi mereka gagal, segera
ketahuan. Muncul kecurigaan pada adanya orang dalam yang berkhianat.
Sebagaimana yang biasa digunakan di dalam cerita detektif, yang digunakan
dalam novel ini adalah dengan pengalihkan kecurigaan pada seorang tokoh
yang berulang kali memperlihatkan kegiatan yang mencurigakan. Akhirnya,
pelaku pengkhianatan itu dapat diketahui, menjadi sebuah peristiwa atau akhir
cerita yang mengejutkan. Pelakunya itu justru orang yang muncul hanya
samar-samar, disinggung selintas, yaitu tokoh yang dikatakan seringkali
menjengkelkan karena kesukaannya memotret kegiatan teman-temannya
dengan cara yang terkadang mengganggu privasi teman-temannya itu.

Tentu, kecenderungan yang serupa itu tidak sekedar persoalan teknis. Ia


sekaligus menunjukkan semacam pandangan dunia dari masyarakat
pendukung novel detektif tersebut, yaitu rasionalisme pencerahan atau
modernisme. Di dalam pandangan dunia yang demikian manusia diajarkan
untuk berhati-hati dan bersikap kritis terhadap kesan yang terbangun hanya
dari apa yang tampak di permukaan atau yang bersifat inderawi. Manusia
pencerahan diajarkan untuk bisa menembus sampai ke balik permukaan,
menemukan apa yang tidak dapat ditangkap dengan baik oleh pancaindra.
Karena, apa yang tidak tampak, yang tersembunyi di balik yang tampak, di
bawah permukaan justru lebih menentukan segala kejadian.

Maka, bila dilihat dari segi pandangan dunia tersebut, perhatian perlu
diberikan tidak hanya pada teknik detektif di atas, melainkan pada semua
kehadiran yang seakan sambil lalu, tidak penting, yang hanya sekedar ilusi akan
realitas, atau tuntutan faktisitas dari sifat dokumenter novel ini. Salah satunya
kehadiran dua romo yang bisa dikatakan sebagai pendamping bagi tokoh-
tokoh aktivis ketika mereka dalam perjuangan untuk pemberdayaan
masyarakat, maupun bagi keluarga dan para aktivis ketika mereka mengalami
penderitaan akibat kehilangan dan berusaha mencari yang hilang itu.
Kemungkinan ada kesengajaan dalam meminimkan cerita tentang romo-romo
ini, sebagaimana cerita tentang si pengkhianat yang bernama Gusti di atas,
terbuka karena dalam kasus kedung ombo, misalnya, novel ini sama sekali
tidak menyinggung hubungan para aktivis dengan romo Mangunwijaya. Begitu
juga hubungan para aktivis dengan Amerika Latin, baik secara intelektual,
maupun secara jaringan. Ini bisa saja menjadi misteri yang lain untuk cerita
detektif yang lain yang ada di balik cerita hilangnya para aktivis dalam novel ini.
Tentu saja hal tersebut dimungkinkan hanya bagi mereka yang tidak
menganggap persoalan indonesia di masa kini dan berikutnya sudah selesai
dan hanya tinggal sedikit masalah teknis. Karena laut tak hanya bisa bercerita.

Anda mungkin juga menyukai