Anda di halaman 1dari 12

DRUPADI DAN WASTI

Sebuah Upaya Pembacaan Poskolonial Dengan Metode Imajinasi Dialogis Untuk Melawan
Wajah Patriakhi-Imperialis / Kolonialis Secara Personal

Antonius Prasetyo Jati1

Pendahuluan

Kekerasan seksual terhadap perempuan tidak hanya terjadi di ranah publik saja, tetapi
juga di ranah rumah tangga atau relasi personal. Relasi dalam rumah tangga dan secara personal
seharusnya memperlihatkan jalinan relasi yang melindungi dan menjaga satu sama lain. Namun,
hal tersebut nampaknya berhenti pada beberapa pihak saja atau malah hanya menjadi ideal
semata dalam sebuah relasi. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa seseorang yang terdekat dan
terkasih pun dapat menjadi pelaku dan korban kekerasan dalam jalinan relasi tersebut. Hal ini
dapat dilihat berdasarkan catatan tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Anti Kekerasan
Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memperlihatkan bahwa kekerasan di ranah rumah
tangga atau relasi personal yang meningkat dari tahun ke tahun. Dalam CATAHU 2019
menggambarkan bagaimana berbagai spektrum kekerasan terhadap perempuan yang terjadi
sepanjang tahun 2018. Data tersebut memperlihatkan bahwa kekerasan terhadap istri menempati
peringkat pertama 5.114 kasus (53%), kekerasan dalam pacaran 2.073 kasus (21%), kekerasan
terhadap anak perempuan 1.417 kasus (14%), dan sisanya kekerasan mantan kekasih serta
terhadap pekerja rumah tangga.2

Nampaknya, data yang semakin meningkat dari tahun ke tahun oleh Komnas Perempuan
bukan disebabkan oleh bertambahnya kasus yang terjadi. Melainkan, disebabkan oleh perhatian
dan keberanian melaporkan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan untuk ditindaklanjuti
melalui proses hukum. Keberanian melaporkan kasus yang dialami perempuan kepada berbagai
lembaga layanan masyarakat menunjukkan langkah maju perempuan.3 Selama ini masyarakat
yang didalamnya termasuk korban kekerasan memiliki kecenderungan untuk bungkam terhadap
realita kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga atau insan terdekatnya sendiri. Hal
tersebut menjadi langkah bagi mereka yang telah menjadi korban. Lalu bagaimana langkah yang
harus ditempuh bagi mereka agar tidak menjadi korban kekerasan? Dan, sejauh mana ketika

1
Mahasiswa Angkatan 2017 Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta
2
Korban Bersuara, Data Bicara Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai Wujud Komitmen Negara,
Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan tahun 2018, Komnas Perempuan, Jakarta, 6 Maret 2019, h. 1-107
3
Korban Bersuara, Data Bicara Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai Wujud Komitmen Negara,
Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan tahun 2018, Komnas Perempuan, h.1-107
langkah yang menjadi tawaran tersebut dapat menghindari terjadinya kekerasan di ranah rumah
tangga atau relasi personal?

Tidak hanya dalam realitas masa kini saja kekerasan dapat terjadi di ranah keluarga atau
relasi personal, tetapi juga kekerasan tersebut juga telah menjadi bagian dari realitas masa lalu.
Seperti dalam kisah epos Mahabarata ketika Ratu Drupadi mendapatkan penghinaan dan
pelecehan dari anggota keluarga kerajaan Hastinapura. Niat dan tindakan kekerasan di ranah
rumah tangga atau relasi personal juga terjadi pada Ratu Wasti yang dikisahkan dalam kitab
Ester. Kedua kisah ini menjadi pengingat dan pembelajaran akan sikap perempuan yang
diperhadapkan dengan ancaman dan keprihatianan atas kekerasan di ranah rumah tangga atau
relasi personal. Sikap kedua figur perempuan tersebut memiliki kesamaan dan keunikan masing-
masing ketika diperhadapkan dengan kekerasan seksual oleh insan terdekatnya. Oleh karena itu,
penulis memberikan tawaran ketika diperhadapkan oleh ancaman kekerasan yang dilakukan di
ranah rumah tangga atau relasi terdekat dengan kedua figur tersebut. Kedua figur merupakan
tokoh yang sering kali tenggelam oleh dominasi budaya patriakhi pada jamannya.

Alasan penulis memilih mendialogkan narasi Wasti dalam kitab Ester dan narasi Drupadi
dalam epos Mahabarat adalah karena penulis menemukan resonansi dalam kedua kisah tersebut.
Hal tersebut bertolak pada tawaran Kwok Pui-Lan bahwa Alkitab sebagai a talking book untuk
menghadirkan corak teologis yang tidak bersuara tunggal.4 Terdapat tiga alasan. Pertama, dua
kisah ini muncul dari dua bangsa yang mengalami ketertindasan oleh sistem patriarki
imperialis/kolonialis pada masanya. Kedua, dua kisah mengungkapkan bagaimana suara
perlawanan perempuan terhadap penindassan yang dialami secara personal. Ketiga, dua kisah ini
mengungkapkan bahwa perlawanan terhadap penindasan dan marginalisasi memiliki resiko.

Dalam kondisi yang tertindas kedua figur yang berasal dari Alkitab dan epos Mahabarata
untuk menjawab realitas masa kini. Untuk itu, dalam mendialogkan kedua kisah ini penulis ingin
melakukan penafsiran dengan metode imajinasi dialogis dan pendekatan feminisme poskolonial.
Melihat hal ini, penulis merasa pendekatan feminisme poskolonial mampu menggali alternatif
untuk melawan wajah patriarki-imperialis/kolonialis secara personal. Senada dengan pertanyaan
sebelumnya, bagaimana carok teologis Alkitab dan epos Mahabarata menghentikan rantai
kekerasan di ranah rumah tangga atau relasi personal? Dalam tulisan yang sederhana ini, penulis
tujukan untuk menjadi tawaran pembacaan poskolonial dari perspektif feminisme terhadap
perlawanan atas wajah patriarki-imperialis/kolonialis secara personal. Atas tujuan tersebut
tulisan ini akan dibagi dalam beberapa sub-judul. Pertama, penulis akan memaparkan metode
imajinasi dialogis. Kedua, penulis akan memaparkan pendekatan feminisme poskolonial. Ketiga
penulis akan memaparkan narasi dari Drupadi dan Wasti. Keempat, penulis dalam tinjauan
teologisnya mencoba untuk mengimplementasikan metode imajinasi dialogis dengan kritik
ideologi Wasti. Dan, terakhir, penulis akan menutup tulisan sederhana ini dengan kesimpulan.

4
Daniel K. Listijabudi, BERGULAT DI TEPIAN: Pembacaan Lintas Tekstual Dua Kisah Mistik (Dewa Ruci dan
Yakub di Yabok) untuk Membangun Perdamaian, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2019), h. 62
Analisa

Metode Tafsir: Imajinasi Dialogis

Asia memiliki keunikan di mana terdapat keberagaman agama, budaya dan tradisi
sehingga membuat satu sama lain diperkaya dan dikoreksi. Termasuk dalam proses hermeneutik,
Kwok Pui-Lan mengembangkan sebuah metode yaitu “imajinasi dialogis”.5 Melalui metode ini,
seorang Asia yang berada di tengah-tengah lingkungan dengan berbagai tradisi agama dan
budaya memiliki ruang untuk mendialogkan tradisinya sendiri dengan traadisi Alkitab yang
sudah begitu rupa dipengaruhi oleh teologi Barat. Dengan metode ini, Pui-Lan menggabungkan
proses imajinasi dengan tradisi Alkitab dan konteks Asia secara dialektis. Pui-Lan membagi
tahapan dalam proses imajinasi dalam empat tahapan, yaitu: a consciousness of conflict
(something not fitting), a pause, the finding of a new image, the repattering of reality and
interpretation.6

Melalui metode imajinasi dialogis ini, terdapat tahapan-tahapan dalam proses imajinasi
memperjumpakan kedua tradisi secara dialektis. Terdapat dua sisi dalam keterlibatan seseorang
memperjumpakan dialektika dua tradisi dalam proses imajinasi. Di satu sisi, kita harus
mengimajinasikan bagaimana tradisi Alkitab menjawab permasalahan saat ini, meskipun Alkitab
dibentuk pada waktu dan tempat yang berbeda. Di sisi lain, kita harus mengimajinasikan ulang
dunia Alkitab bertolak pada kondisi masa kini, sehingga membuka khazanah baru yang selama
ini belum tersingkapkan.7 Mengadopsi cara kerja multi-axial menjadi prasyarat dalam
menganalisa dengan metode imajinasi dialogis. Cara kerja metode tersebut ialah bagaimana
mengintegrasikan dan mempertimbangkan isu-isu mengenai gender, ras, kelas, dan perbedaan
kultural dalam melakukan analisa.8 Metode ini juga merujuk pada kondisi di mana pembacaan
poskolonial sebagai perspektif yang memiliki dimensi yang variatif berjumpa dengan isu rasial,
seksisme, imperialisme agama dan budaya seiring berjalannya penafsiran teks.9

Menurut penulis, poskolonial juga sebagai perspektif yang memiliki dimensi yang
variatif diintegrasikan dalam metode imajinasi dialogis. Pui-Lan juga menambahkan bahwa
poskolonial menjadi cara pandang yang dibutuhkan bagi orang Kristen Asia yang tidak bisa
memungkiri kenyataan bahwa keberagaman budaya lokal Asia ingin berdialog dengan iman
Kristen yang notabene dipengaruhi oleh imperialisme atau kolonialisme.10 Pembacaan dengan
metode ini, membawa pada sebuah kesadaran bahwa teks memiliki pluralitas makna dan bukan
sesuatu yang bebas-gravitasi atau tanpa relasi dengan konteks sekitarnya. Metode yang dialogis
ini memberi kemungkinan bahwa kita tertantang untuk bergumul dan bergulat akan narasi-narasi

5
Kwok Pui-Lan, Discovering the Bible in the Non-Biblical World, (New York: Orbis Books, 1995), h. 12
6
Kwok Pui-Lan, Discovering the Bible in the Non-Biblical World, h. 13
7
Kwok Pui-Lan, Discovering the Bible in the Non-Biblical World, h. 13
8
Kwok Pui-Lan, Discovering the Bible in the Non-Biblical World, h. 39
9
Kwok Pui-Lan, Discovering the Bible in the Non-Biblical World, h. 79
10
Kwok Pui-Lan, Postcolonial Imajination and Feminist Theology, (Louisville Westminster John Knox Press,
2005), h. 41
yang berbeda dalam waktu yang beriringan, menelaah versi-versi yang berbeda dari setiap kisah,
dan akhirnya memberikan tawaran dalam narasi yang baru. Dalam hal ini, penulis menggunakan
metode imajinasi dialogis untuk mengupayakan perjumpaan dua kisah yang berbicara mengenai
nilai-nilai yang memiliki kemiripan terhadap kondisi masa kini, namun bertolak dari konteks
kehidupan yang beragam dikomunitas masing-masing.

Pendekatan Feminisme Poskolonial

Dalam memandang ketidakadilan gender, pendekatan feminisme poskolonial bahwa


kaum perempuan mendapatkan penindasan yang berlapis. Baik dari bangsa kolonial dan juga
kaum laki-laki pribumi. Poskolonialisme mengimplikasikan bahwa “Perempuan di Dunia
Ketiga” menjadi korban dari ideologi imperial dan patriakhi pribumi (patriarki asing yang
terselubung).11 Bentuk ketidakadilan gender terhadap perempuan masa kini erat kaitannya
dengan landasan praktik kolonial yang lahir dari pandangan yang percaya bahwa superioritas
mutlak pada manusia terhadap bukan manusia, laki-laki terhadap perempuan, dan modern
terhadap tradisional.12 Senada dengan kondisi tersebut, kolonial membedakan laki-laki dengan
perempuan dan bertindak sesuai dengan pembedaan itu. Dalam hal ini, terdapat paham dualistik
yang menerapkan pemilihan terhadap satu pihak dan konsekuensi logisnya satu pihak lain akan
dipungkiri keberadaannya.

Dalam kehidupan komunitas, laki-laki selalu menjadi insan yang diperhitungkan dalam
berbagai hal. Proses kolonial tersebut tetap akan membedakan jenis kelamin sejauh pada yang
menjajah itu berjenis kelamin laki-laki dan menggunakan identitas gender untuk membatasi yang
lain. Pada sistem kolonial terdapat hirarki dalam empat kategori, yaitu laki-laki (Eropa),
perempuan (Eropa), bumiputra (laki-laki negeri jajahan), dan liyan (perempuan negeri jajahan).
Dalam hirarki ini, terdapat marjinalisasi berlapis terhadap perempuan negeri jajahan. Terlihat di
mana pada tahap pertama mereka dimarjinalisasi sebagai warga negeri jajahan, lalu perempuan
negeri jajahan dipisahkan dari laki-laki negeri jajahan. Perempuan mendapatkan perlakuan
marjinalisasi yang berlapis dari pihak laki-laki (Barat) dan laki-laki pribumi untuk membelenggu
perempuan sebagai yang inferior.

Secara teoritis, pendekatan feminisme poskolonial mencoba untuk merespon hirarki


gender, budaya, dan ras yang telah ada dan keduanya menjadi bagian dalam restrukturalisasi
yang menolak atau melawan oposisi biner terhadap konstruksi wewenang patriarki dan
kolonialisme.13 Cara kerja feminisme poskolonial dalam mengkritisi terkait dengan ide, cara
penilaian, cara pandang, dan cara mengimajinasikan perempuan di negeri terjajah dan tempat-
tempat tertentu di Barat. Terdapat dua sisi pendekatan. Di satu sisi, pendekatan ini berfokus pada

11
Leela Gandhi, Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat, diterjemahkan oleh Yuwan Wahyutri
dan Nur Hamidah, (Jakarta: CV Triarga Utama, 2007), h. 108
12
Awla Akbar Ilma, Representasi Penindasan Ganda Dalam Novel Mirah dari Banda Berdasarkaan Perspektif
Feminisme Poskolonial, Jurnal Peotika Volume. IV, No. 1, 2016, h. 4
13
Leela Gandhi, Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat, h. 109
konstruksi perbedaan gender pada masa kolonial melalui wacana kolonial dan antikolonial. Di
sisi lain, pedekatan ini juga menekankan pada representasi perempuan dalam wacana poskolonial
yang bertolak pada karya-karya penulis perempuan. Praktik pembacaan feminis menekankan
pada kontestasi dengan autoritas patriarkal.14

Titik tolak pada kuasa laki-laki dan pemarjinalan perempuan menjadi pengejawantahan
dalam sistem politik, material, dan imajinatif. Boleh dikatakan bahwa patriarki memiliki
kesejajaran dengan kolonialisme dalam ranah yang konkret dan imajinasi. Keduanya menjadi
standar bagaimana cara pandang dunia sebagai hal yang normal dan bahkan ideal. Dengan
demikian, feminisme dan poskolonialisme menjadi tawaran untuk melawan penindasan.
Perlawanan tersebut tidak bermaksud agar yang tertindas berupaya untuk menjadi penindas,
melainkan bagaimana tawaran untuk melawan tersebut meniadakan setiap unsur penindasan.

Narasi Drupadi

Dalam sebuah cerita pendek karya Mahasweta Devi15 yang berjudul “Draupadi” atau
“Drupadi” dikisahkan bagaimana wajah patriarki-imperialis atau kolonialis dari salah satu
fragmen epos Mahabarata.16 Drupadi menjadi salah satu figur perempuan yang penting dalam
epos Mahabarata. Ia menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan Pandawa. Salah satu
yang melatarbelakangi terjadinya perang Baratayuda (perang saudara antara Pandawa dan
Kurawa) di Kurusetra adalah terlibatnya Drupadi daalam membangun konflik. Konflik tersebut
lahir dari kait-kelindannya kompleksitas permusuhan antara Pandawa dan Kurawa. Hal ini
bertolak dari terjadinya kekerasan dan penghinaan yang dilakukan oleh Kurawa terhadap
Drupadi. Fragmen penghinaan terhadap Drupadi menjadi titik puncak pengalaman padang gurun
atau penderitaan dalam hidup Drupadi.

Permainan dadu licik yang diadakan di sidang istana Hastinapura didalangi oleh paman
Kurawa, Sengkuni. Pada saat itu atas saran Sengkuni dan desakan Duryudana, Raja Drestarasta
mengundang Yudhistira dan keempat saudaranya untuk berjudi melawan Duryudana dan para
Kurawa yang diwakili oleh Sengkuni. Sedangkan, Yudhistira yang sebagai wakil Pandawa untuk
terlibat dalam permainan dadu. Awalnya yang menjadi taruhan hanya harta-harta “kecil-kecilan”
terbatas pada perhiasan. Permainan awal dimenangkan oleh Yudhistira, tetapi kemudian
Sengkuni menggunakan akal liciknya, sehingga permainan-permainan selanjutnya dimenangkan
oleh Sengkuni. Kualitas taruhan pun semakin meningkat dan Yudhistira semakin terpancing
mengikuti permainan licik Sengkuni. Semula yang menjadi taruhan hanya perhiasan, kemudian
meningkat menjadi kereta kencana, desa-desa, dan kerajaan Indraprastha.

14
Awla Akbar Ilma, Representasi Penindasan Ganda Dalam Novel Mirah dari Banda Berdasarkaan Perspektif
Feminisme Poskolonial, h. 5
15
Seorang penulis fiksi dan aktivis sosial Bengali, India.
16
Risang Anggoro Elliarso, Pembacaan Katakrestis: Sebuah Alternatif Pe(m/nyalah)bacaan Biblis Poskolonial,
GEMA TEOLOGI, Vol. 39, No. 2, 2015, h. 137-170
Pada awal permainan dadu tersebut, kedua belah pihak telah mengikat sumpah untuk
tidak berhenti dalam permainan sebelum semua harta salah satu pihak habis dan tidak boleh ada
pihak yang mengintervensi selama permainan dadu tersebut. Termasuk setiap pihak yang hadir
dalam sidang istana tidak berhak menghentikan permaianan dadu tersebut. Dalam keadaan yang
emosional, Yudhistira mulai kehilangan kendali dan akhirnya mempertaruhkan pakaiannya dan
pakaian keempat saudaranya. Bahkan, menjadikan dirinya dan keempat saudaranya sebagai
barang taruhan. Kemenangan menjadi milik Kurawa. Dalam kondisi tersebut, Pandawa telah
kehilangan harta bahkan hak atas dirinya sendiri sehingga mereka menjadi hamba bagi Kurawa.
Lebih tragis lagi bahwa Pandawa menjadikan Drupadi sebagai barang taruhan. Dalam pertaruhan
itu, Pandawa harus menelan pil pahit atas kekalahan dalam permaianan dadu oleh karena
Drupadi menjadi hamba bagi Kurawa.

Inilah fragmen yang memperlihatkan bagaimana wajah patriarkii-imperialis/kolonialis


secara personal. Fragmen tersebut mengisahkan Dursasana yang menjambak rambut Drupadi dan
diseret ke sidang istana. Dalam situasi tersebut, Drupadi berteriak untuk meminta perlindungan
pada setiap orang yang hadir dalam sidang istana. Termasuk kepada para suaminya Pandawa,
para petinggi istana seperti Raja Drestarasta, Panglima Bisma, Widura, dan Durna. Akan tetapi,
semua bungkam. Mereka tidak memberi pertolongan oleh karena terikat sumpah dalam
permainan dadu licik dari Sengkuni. Jerit tangis dan penderitaan dari seorang perempuan tidak
mampu menembus bekunya tradisi. Drupadi terus-menerus melawan dengan mempertahankan
hak atas dirinya sebagai pribadi yang utuh. Hanya dirinya sendiri yang dapat membela haknya
sebagai seorang manusia.

Lebih tragis lagi, atas perintah Duryudana, Dursasana mencoba menelanjangi Drupadi
menyusul kekalahan kakak-beradik Pandawa dalam permainan dadu dengan Kurawa. Ditengah
penderitaan dari penghinaan dan pelecehan seksual tersebut, Drupadi meminta dengan penuh
kepasrahan diri kepada Yang Ilahi. Upaya Dursasana gagal oleh karena restu Basudewa Krisna
(yang menjadi representasi dari Yang Ilahi) terhadap kain sari yang dipakai Drupadi. Kain sari
yang menyelubungi raga Drupadi terus-menerus memanjang seiring dengan upaya Dursasana
untuk menarik dan melucutinya. Kain yang semakin ditarik kian memanjang. Begitu seterusnya,
sampai pada akhirnya Dursasana kelelahan dan menghentikan upayanya.

Pada saat itu, setiap orang kembali bungkam atas suatu energi yang menghisap dan
melepaskan setiap pakaian laki-laki di sidang istana tersebut. Dari sini terdapat pesan simbolik
bahwa setiap orang yang bungkam terhadap penelanjangan keadilan, dikemudian hanya akan
ditelanjangi oleh keadilan itu sendiri. Upaya penelanjangan atas Drupadi direspon dengan
perlawanannya sendiri dengan sumpah bahwa ia tidak akan pernah mengikat rambutnya hingga
berkeramas dengan darah Dursasana. Sumpah Drupadi menjadi bukti perlawanannya atas wajah
patriarki-imperialis/kolonialis secara personal yang dialami. Perjuangan untuk melawan
kebungkaman setiap laki-laki menjadi nilai untuk berjuang atas keadilan dan hidupnya sebagai
seorang insan. Setelah mengakhiri permainan dadu, Drupadi dan Pandawa mengasingkan diri di
hutan selama duabelas tahun sebagai penebusan dosa dari ketelibatan permainan dadu.
Narasi Wasti

Dalam kitab Ester, penarasian figur ratu Wasti sangat minim dibandingkan ratu Ester.
Kisah Wasti hanya terdapat pada pasal 1 dalam kitab Ester dan tidak seluruhnya mengisahkan
Wasti. Pasal ini dibuka dengan penyataan akan figur Ahasyweros yang dikemudian mengambil
peran signifikan dalam keseluruhan kitab Ester. Bertolakbelakang dengan Wasti yang mulai
dikisahkan pada ayat 9. Kisah Wasti hanya terhenti pada pasal 1 dan tidak dapat ditemui pada
pasal-pasal selanjutnya. Meskipun begitu, keberadaan pasal-pasal selanjutnya bertolak pada
nasib yang dialami oleh Wasti. Narator kitab Ester menggambarkan karakterisasi Wasti yang
cukup sulit tersentuh di hati pembacanya. Konsekuensi logisnya, terdapat kontradiksi pengisahan
secara emosional antara pengisahan Wasti dengan pengisahan reaksi raja dan Memukan terhadap
penolakan Wasti.

Sebelum Wasti menolak titah raja, ratu Wasti dibawa untuk menghadap raja dengan
memakai mahkota untuk memperlihatkan kecantikannya kepada sekalian rakyat dan pembesar-
pembesar, karena sangat elok rupanya. Namun, ratu Wasti menolaknya. Penolakan Wasti ini
dapat dilihat dari apa yang telah dilakukannya, yaitu mengadakan pesta bagi para perempuan
(ayat 9) dan menolak titah Raja (ayat 12). Dalam pengisahan tersebut pembaca tidak pernah
menemukan bagaimana dan sejauh mana isi hati dan pikiran dari Wasti. Bertolak pada ayat 12,
narator melukiskan konflik yang bersumber pada persoalan seks (jenis kelamin) hingga
seksualitas. Dengan jelas, melukiskan bahwa penolakan Wasti atas titah raja mengakibatkan
“sangat geramlah raja dan berapi-apilah murkanya” – yang menekankan pada keadaan emosional
raja.

Kemarahan raja tidak dengan spontan diikuti dengan tindakan yang serupa. Akan tetapi,
raja malah bertanya kepada para pembantunya mengenai tindakan apa yang harus dilakukannya
terhadap Wasti. Dalam hal ini, Ahasyweros terkesan tidak mandiri dan percaya akan dirinya
sendiri. Sehubungan dengan hal tersebut, terdapat ruang bagi karakter lainnya untuk mengambil
alih peran yang sebaliknya. Pengisahan Wasti yang terbatas dalam kitab Ester malah
memberikan karakter Wasti yang lebih mandiri dan percaya diri daripada Ahasyweros.
Seharusnya kalangan Kristen menyadari bahwa figur Ester tidak memiliki apa yang dimiliki oleh
figur Wasti yang berani menolah titah Raja. Nampaknya, Mordekhai juga memiliki keberanian
seperti Wasti, tetapi Mordekhai saja yang mendapat ruang pujian. Lalu bagaimana dengan
Wasti?

Pemilihan terhadap satu pihak (supporting systems patriarki) memberi konsekuensi logis
pada peningkaran terhadap kaum perempuan yang dipandang sebelah mata. Peningkaran
terhadap figur Wasti juga dilakukan oleh pengarang kitab Ester yang sangat sedikit menarasikan
identitas Wasti. Beritik tolak pada keterbatasan pengarang mengisahkan figur Wasti memberi
ruang bagi Ester untuk mengisi kekosongan tersebut. Ester dalam pengisahan dan penafsirannya
mendapat ruang pujian dan perhatian yang lebih besar. Dengan demikian, minimnya pengisahan
tentang siapa Wasti dapat diasumsikan sebagai cara untuk mengidealkan figur Ester.
Tinjauan Teologis: Imajinasi Dialogis

Seperti yang telah penulis uraikan bagaimana narasi kedua kisah dari Drupadi dalam epos
Mahabarata dan Wasti dalam kitab Ester. Alasan penulis memilih figur Drupadi dan figur Wasti
oleh karena kedua narasi ini memiliki titik jumpa untuk saling beresonansi. Namun, penulis juga
tidak memungkiri bahwa terdapat juga titik beda sebagai keunikan masing-masing narasi. Baik
Drupadi dan Wasti memperlihatkan perlawanan terhadap wajah patriarki-imperialis/kolonialis
yang masing-masing tokoh alami dan rasakan secara personal. Dalam titik jumpa dan titik beda
kedua kisah ini menjadi prasyarat untuk melakukan proses metode imajinasi dialogis. Tujuan
dari kesadaran akan persamaan dan perbedaan antara kedua kisah memberikan ketegangan bagi
orang-orang Asia untuk menemukan dan memberikan gambaran baru terhadap realitas Alkitab
dan kehidupan masa kini.17 Untuk mencapai proses tersebut, pendekatan feminisme poskolonial
juga menjadi sumbangsih dalam perjumpaan dua kisah secara dialektis.

A Consciousness of Conflict

Pada narasi Wasti di kitab Ester, bermula dari titah Raja kepada ketujuh sida-sida yang
diperintahkan untuk membawa Wasti dengan memakai mahkota kerajaan. Titah tersebut
menyatakan bahwa Wasti harus menghadap raja untuk memperlihatkan kecantikannya kepada
sekalian rakyat, pembesar-pembesar. Hal ini dikarena Wasti memiliki rupa yang sangat elok.
Wasti hendak dijadikan perempuan penghibur bagi para lelaki (asumsi siapa para tamu undangan
Raja) dengan nuansa pelecehan seksual. Akan tetapi, Wasti menolak titah tersebut oleh karena
kecantikannya dimanfaatkan untuk menyalurkan hasrat birahi kepadanya. Penolakan Wasti
berujung pada penurunannya sebagai seorang ratu.

Beralih pada fragmen epos Mahabarata. Dalam permainan dadu, ketika Pandawa yang
menjadikan Drupadi sebagai barang taruhan telah kalah dari Kurawa. Di titik itu juga Duryudana
(saudara tertua Kurawa) meminta adiknya, Dursasana untuk membawa Drupadi ke sidang istana.
Kehadiran Drupadi di tengah sidang istana tidak didasari oleh keinginannya sendiri. Drupadi
enggan untuk hadir di tengah sidang istana pada saat itu dan akhirnya Dursasana memaksa
dengan kekerasan fisik. Bahkan, Drupadi dijambak dan diseret rambutnya sampai terurai oleh
Dursasana. Dengan penuh kesakitan atas penghinaan tersebut, Drupadi menghadap Duryudana.
Tidak berhenti pada kondisi tersebut, Drupadi mempertanyakan perlakuan kekerasan yang
diterima bagi dirinya. Penolakan Drupadi untuk hadir di sidang istana dan penolakan ntuk
ditelanjangi menjadi perlawanan Drupadi untuk mempertahankan hak atas dirinya sendiri.

Perintah untuk membawa seorang perempuan hadir dihadapan para petinggi kerjaan
menjadi sesuatu hal yang harus terlaksanakan. Hal tersebut menggambarkan bahwa kekuasaan
secara politis juga dapat digunakan untuk menguasai orang lain. Dalam situasi ini perempuanlah
yang terkesan menjadi barang yang kapan saja dapat dikehendaki dengan tujuan tertentu. Kedua

17
Daniel K. Listijabudi, BERGULAT DI TEPIAN: Pembacaan Lintas Tekstual Dua Kisah Mistik (Dewa Ruci dan
Yakub di Yabok) untuk Membangun Perdamaian, h. 63
kisah ini memperlihatkan bagaimana seorang penguasa yang membawa perempuan untuk hadir
dan memenuhi tujuannya sebagai sebuah keharusan. Tindakan tersebut mengindikasikan bahwa
sistem patriarki dan kyriarki yang dapat digunakan untuk menindas perempuan.

Penindasan sistem patriarki tersebut dialami dan dirasakan oleh perempuan secara
personal. Akan tetapi, penulis juga menyadari bahwa kedua kisah ini memiliki cara yang berbeda
dalam penyampaiannya. Perbedaannya terletak pada kehadiran perempuan di hadapan para
penguasa dan akibat penolakan dari perempuan. Wasti tidak hadir menghadap raja oleh karena
menolak perintah yang disampaikan oleh sida-sida. Penolakan Wasti berakibat pada penurunan
dirinya sebagai ratu. Senada dengan Wasti, Drupadi pun juga enggan untuk hadir di sidang
istana. Namun, oleh karena tangan besi yang imperialis membuat Drupadi diseret ke sidang
istana. Nampaknya, kedua kisah ini memperlihatkan penolakan perempuan terhadap perintah
penguasa, tetapi kita juga tidak bisa mengabaikan perbedaannya. Bagi Wasti, penolakannya
berdampak pada penurunannya sebagai ratu. Akan tetapi, bagi Drupadi, penolakannya
berdampak pada kekerasan, pemaksaan dan penghinaan. Persamaan dalam kedua kisah ini
adalah keterbungkaman wajah imperialisme/kolonialisme sisitem patrikhi terhadap hak hidup
dari perempuan secara personal.

A Pause

Dalam narasi kitab Ester, digambarkan bahwa respon penolakan Wasti membuat raja
begitu geram dan marah. Dengan berdasarkan pertimbangan dengan Memukan, sang raja
memberikan kedudukan sebagai ratu kepada orang lain. Penolakan Wasti sebenarnya sangat
sederhana, yaitu menolak untuk memamerkan kecantikannya di depan para tamu lelaki raja.
Namun, terdapat kekuatiran yang cukup mendalam bahwa hal tersebut akan berimbas ke mana-
mana, mendorong pemberontakan pada isteri kepada suaminya. Reaksi tersebut terlihat
berlebihan yang mengungkapkan bagaimana perasaan terpendam laki-laki yang selalu kuatir jika
perempuan berani melawan dirinya, maka ia akan kehilangan daya.18

Beralih pada Drupadi, setelah perlawanan dalam permaianan dadu berujung pada
pengasingan dirinya dan Pandawa ke hutan selama dua belas tahun. Pengasingan diri ke hutan
sebagai bentuk penebusan dosa dan menunaikan hukuman oleh karena kalah dalam permainan
dadu dengan laku kehidupan yang prihatin. Hukuman Drupadi dan Pandawa dalam
pengasingannya ke hutan menjadi desakan Kurawa untuk menyingkirkan Pandawa dari tahta
Hastinapura.

The Finding of A New Image

Bagi Wasti, penolakan untuk memamerkan tubuhya di hadapan para tamu Raja
merupakan sebuah bentuk keberanian ditengah tekanan mayoritas. Dalam hal ini, Wasti mampu

18
Robert Setio, Wasti Sebagai Kritik Ideologi, Jurnal Studia et Philosophica et Theologica, STFT Widya Sasana,
Malang, Vol. 11, No. 1, 2011, h. 1-17
untuk tidak hanyut dalam kehendak kaum patriarki yang mencoba untuk mencegah para lelaki
meyalurkan hasrat birahi terhadap dirinya. Wasti tidak bungkam dan melarikan diri dari tekanan
tersebut, melainkan menghadapinya dengan keberanian yang membuat kaum patriarki merasa
terancam. Keberanian merupakan karakter yang mengungkapkan kualitas pikiran atau pendapat
yang memampukan seorang menghadapi kesulitan atau kesukaran dengan keyakinan dan
kepastian, dengan tanpa takut, dan tanpa kehilangan semangat.19

Senada dengan Wasti, keberanian Drupadi untuk menolak perintah Kurawa untuk hadir
di sidang istana dan mempertanyakan hak atas dirinya sebagai sebuah perlawanan. Perlawanan
tersebut tidak dimaksudkan untuk menindas yang lain, melainkan perlawanan yang dimaksudkan
untuk mempertahankan dan melindungi dirinya dari penindasan. Keberanian Drupadi membuat
kaum laki-laki sadar akan sumpah (tradisi) yang menindas. Kesadaran tersebut hanya diikuti
dengan kebungkaman dan tanpa daya untuk melawan sistem tersebut. Hanya Drupadi saja yang
menyuarakan keberaniannya untuk lepas dari imperialisme sistem patriarki. Baik Wasti dan
Drupadi tidak ingin hanyut pada tekanan mayoritas dan memilih untuk tidak merasa inferior dan
bergantung pada mayoritas yang memiliki superioritas kekuasaannya.

The Repattering of Reality and Interpretation

Nampaknya, seperti sistem patriarki yang melanggengkan penindasan dan pembenaran


terhadap pihak laki-laki. Demikian juga dengan agama dan tradisi, yang menjadi alasan
pembenar sesuatu yang sebenarnya sulit untuk diterima secara etis-moral. Hal ini terlihat dari
tradisi Yahudi yang menganggap Wasti sebagai representasi musuh orang Yahudi dan dalam
tradisi Kristen menempatkan Wasti sebagai representasi orang Yahudi yang mereka musuhi.20
Artinya dalam tradisi Yahudi dan Kristen mendasarkan Wasti sebagai pihak lawan dan tidak
mungkin diterima sebagai kawan. Dalam perkembangan penafsiran dan konteks masyarakat
yang menolak pemerintahan feodal, Wasti menjadi representasi sekaligus role model untuk
berjuang dalam melawan wajah patriarki imperialis/kolonialis yang menindas. Wasti yang juga
sebagai simbol minoritas memiliki apa yang tidak dimiliki oleh Ester, yaitu integritas. Menjaga
integritas adalah keniscayaan bagi siapa saja untuk mempertahankan dan melindungi keutuhan
kemanusiaannya.21

Integritas tersebut juga dimiliki oleh Drupadi ditengah tekanan sistem patriarki imperialis
di Hastinapura. Dalam hal ini, integritas merupakan suatu kehidupan yang utuh dari sistem nilai
yang nirpertentangan antara personalitas dan cara hidup.22 Drupadi secara konsisten dalam
pemikiran dan perbuatannya menolak penghinaan dan kekerasan yang dialaminya terhadap para
lelaki di kerajaan itu. Integritas Drupadi terlihat pada bagaimana perempuan yang ditindas

19
Victor P.H. Nikijuluw dan Aristarchus Sukarto, Kepemimpinan di Bumi Baru: Menjadi Pemimpin Kristiani di
Tengah Dunia yang Terus Berubah, (Literatur Perkantas, 2014), h. 133
20
Robert Setio, Wasti Sebagai Kritik Ideologi, h. 1-17
21
Robert Setio, Wasti Sebagai Kritik Ideologi, h. 1-17
22
Victor P.H. Nikijuluw dan Aristarchus Sukarto, Kepemimpinan di Bumi Baru: Menjadi Pemimpin Kristiani di
Tengah Dunia yang Terus Berubah, h. 149
menjadi agen pembebas terhadap tradisi dan sistem patriakhi yang imperialis. Pengalaman
penindasan yang diraasakan secara personal tersebut membawa Drupadi sebagai figur yang
sentral untuk mengkonter sistem patriakhi yang menindas.

Yang menjadi sebuah kesadaran adalah kondisi imperialis/kolonialis dalam suatu sistem
yang tidak hanya terjadi sekali saja, melainkan secara terus-menerus. Baik sistem patriarki dalam
kitab Ester dan epos Mahabarata menjadi kondisi aktual sebagai bukti langgengnya masa
penindasan yang dilakukan oleh kaum patriarki. Untuk itu, penulis menyadari bahwa kondisi
imperialis dari suatu sistem bukan hanya sebagai momentum saja, tetapi juga sebagai rantai
penindasan yang terjadi terus-menerus. Yang menarik baik Wasti dan Drupadi memperlihatkan
bagaimana dan sejauh mana perlawanan dibutuhkan untuk memutus rantai imperialis.
Keberanian dan integritas menjadi sikap yang harus diperjuangkan agar tidak merasa hanyut
untuk terjebak dalam sistem yang menindas.

Kesimpulan: Untuk Melawan Wajah Patriakhi-Imperialis / Kolonialis Secara Personal

Dalam kitab Ester memiliki corak teologis yang unik di mana dalam Alkitab Ibraninya
tidak menggunakan istilah YHWH atau penyebutan lain untuk Allah. Namun, bukan berarti
Allah tidak hadir sama sekali dalam setiap peristiwa dalam narasi ini. Allah hanya secara tidak
langsung menyatakan bahwa YHWH adalah Allah Israel dan Tuhan sejarah.23 Dalam kitab Ester
setidaknya terdaapat tiga pesan yang ingin disampaikan kepada para pembaca Kristen. Pertama,
terdapat batasan tertentu untuk mengadaptasi sistem politik dan budaya; kedua, terdapat suatu
status confessionis (status yang diakui); ketiga, terdapat dalam situasi tertentu di mana identitas
dan integritas diri sendiri hanya dapat dipertahankan dengan pertaruhan nyawa. 24 Sedangkan
dalam epos Mahabarata, melukiskan bagaimana pola kehidupan mansuia yang tidak bisa
dilepaskan dari penderitaan. Penderitaan bukan berarti menihilkan keberadaan Sang Ilahi dalam
setiap naraasi kehidupan manusia. terbukti bahwa Krisna yang sebagai representasi dari Sang
Ilahi senantiasa hadir ditengah-tengah pergumulan dan pergulatan hidup manusia.

Dengan demikian, baik corak teologis dalam kitab Ester dan epos Mahabarata memiliki
sebuah resonansi. Dalam hal ini, imajinasi dialogis menjadi metode yang membawa penulis dan
orang-orang Asia untuk menyadari adanya dominasi wajah patriarki-imperialis/kolonialis dalam
sistem kehidupan sehari-hari. Untuk itu epos Mahabarata dan Alkitab menjadi sarana untuk
mengembangkan nilai-nilai dalam melawan penindasan di Asia. Begitu juga untuk melawan
penindasan dan kekerasan wajah patriarki yang tersembunyi pada masa kini. Tawaran dari
penulis berdasarkan imajinasi dialogis ini adalah dibutuhkannya sikap keberanian dan integritas
untuk melawan bahkan menghapus wajah patriarki-imperialis/kolonialis secara personal. Dan,
menghentikan rantai kekerasan terhadap perempuan ranah rumah tangga dan relasi personal.

23
Jan Christian Gertz dkk, Purwa Pustaka: Eksplorasi ke dalam kitab-kitab Perjanjian Lama dan Deuterokanonika,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017), h. 732
24
Jan Christian Gertz dkk, Purwa Pustaka: Eksplorasi ke dalam kitab-kitab Perjanjian Lama dan Deuterokanonika,
h. 733
Daftar Pustaka

Buku

Gandhi, Leela. 2007. Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. diterjemahkan
oleh Yuwan Wahyutri dan Nur Hamidah. Jakarta: CV Triarga Utama.

Gertz, Jan Christian, dkk. 2017. Purwa Pustaka: Eksplorasi ke dalam kitab-kitab Perjanjian
Lama dan Deuterokanonika. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Listijabudi, Daniel K. 2019. BERGULAT DI TEPIAN: Pembacaan Lintas Tekstual Dua Kisah
Mistik (Dewa Ruci dan Yakub di Yabok) untuk Membangun Perdamaian. Jakarta: BPK Gunung
Mulia.

Nikijuluw, Victor P.H. dan Sukarto, Aristarchus. 2014. Kepemimpinan di Bumi Baru: Menjadi
Pemimpin Kristiani di Tengah Dunia yang Terus Berubah. Literatur Perkantas.

Pui-Lan, Kwok. 1995. Discovering the Bible in the Non-Biblical World. New York: Orbis
Books.

_____. 2005. Postcolonial Imajination and Feminist Theology. Louisville Westminster John
Knox Press.

Jurnal

Elliarso, Risang Anggoro. 2105. Pembacaan Katakrestis: Sebuah Alternatif Pe(m/nyalah)bacaan


Biblis Poskolonial, GEMA TEOLOGI Vol. 39, No. 2.

Ilma, Awla Akbar. 2016. Representasi Penindasan Ganda Dalam Novel Mirah dari Banda
Berdasarkaan Perspektif Feminisme Poskolonial. Jurnal Peotika Vol. IV, No. 1.

Komnas Perempuan. 2019. Korban Bersuara, Data Bicara Sahkan RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual Sebagai Wujud Komitmen Negara, Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan
tahun 2018. Jakarta.

Pontororing, Angela. 2016. Sebuah Upaya Pembacaan Poskolonial dengan Metode Dialog
Imajinatif antara Foto Soeharto “Piye Kabare, Penak Jamanku to?” dan Teks Keluaran 14:10-
12;16:1-3;17:3. Indonesian Journal of Theology 4/1. h. 1-44.

Setio, Robert. 2011. Wasti Sebagai Kritik Ideologi. Jurnal Studia et Philosophica et Theologica.
STFT Widya Sasana, Malang. Vol. 11, No. 1.

Spivak, Gayatri C. 1981. “’Draupadi’ by Mahasveta Devi”. Critical Inquiry. Vol. 8, No. 2.

Anda mungkin juga menyukai