Anda di halaman 1dari 13

Javanese Women in Postcolonial Prose: Eroticism,

Feminism, and Education

Fitri Puji Rahmawati1a, Eko Muharudin, Shinta Aziez, Choirun Nisa’, Umi Faizah, Onok
Yayang Pamungkas, Farida Hanun, Husen Hasan Basri, Ta'rif

Abstract

Sejauh ini, erotisme dalam budaya Timur, seringkali dianggap sebagai hal tidak etis. Selain itu, feminism dalam
sastra Indonesia juga dianggap ada pada sastra kontemporer abad 21. Sementara, berdasarkan temuan penelitian,
erotisme dan feminism dalam sastra Indonesia telah ada sejak tahun 1901, pada masa kolonialisme Belanda.
Karena itu, tujuan penelitian ini adalah menginvestigasi representasi erotisme dan feminism dalam sastra
Indonesia. Sumber data penelitian ini adalah Empat Novel karya Ki Padmasusastra (selanjutnya disebut FNKP).
Penelitian menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa FNKP merupakan novel
poskolonial yang merepresentasikan erotisme, feminism. Selain itu, FNKP juga mengandung nila-nilai pendidikan.
Ada upaya pengarang untuk menunjukkan bahwa erotisme dan feminism bukanlah hal yang melanggar etika bagi
budaya Timur. Melalui sastra, pengarang berupaya untuk memberikan pendidikan bagi pembaca bahwa budaya
kontemporer Barat tidak selalu berlawanan dengan budaya Timur, tetapi keduanya dapat saling dipadukan dalam
dinamika masyarakat modern.

Keywords: erotisme, feminism, novel, Ki Padmasusastra, nilai pendidikan

1
Associate Professor, Email: onokyayangpamungkas@gmail.com (Corresponding Authors) Tel. 085702152332
1. Introduction

P
erempuan sejak dulu dianggap sebagai “yang lain”. Perempuan seringkali disepresentasikan
sebagai inferior (Astagini, 2021; Kristeva, 1980). Karena itu, kompleksitas pengalaman
perempuan, pembentukan identitas mereka, dan bagaimana mereka masuk ke dalam gerakan
feminis. Dalam sastra, eksplorasi lensa feminis sering kali mencakup pemeriksaan kritis terhadap
peran dan stereotip gender (Irshad & Yasmin, 2022; Panggabean et al., 2022). Melalui dimensi
budaya, pengalaman perempuan dalam sastra telah memberikan kontribusi signifikan terhadap
pemahaman kita tentang bagaimana sastra mencerminkan dan membentuk norma dan harapan social
(Asteria et al., 2016). Feminisme sebagai gerakan sosial dan politik yang memperjuangkan kesetaraan
gender telah melahirkan banyak karya sastra yang mengeksplorasi pengalaman perempuan, baik
dalam konteks sosial dan personal (Alkali & Talif, 2016; Ogunyemi, 2022). Karena itu, studi
interdisipliner perspektif ini memberikan pemahaman yang lebih luas tentang pengalaman perempuan
dalam konteks sosial budaya. Dengan memahami kompleksitas pengalaman perempuan, kita dapat
memperluas wawasan kita tentang pengalaman perempuan dan memperjuangkan kesetaraan gender
dalam dalam konteks sastra.
Saat ini, sastra feminis sedang mengalami periode transformasi. Penekanan semakin besar pada
interseksionalitas dan kebutuhan untuk mengatasi pengalaman kelompok-kelompok yang
terpinggirkan, termasuk perempuan kulit berwarna, perempuan queer dan trans, dan perempuan cacat
(Alkali & Talif, 2016; Lloro-Bidart, 2018). Namun, terlepas dari perkembangan ini, sastra feminis
masih menghadapi beberapa tantangan yang signifikan. Salah satu tantangan utama yang dihadapi
sastra feminis adalah dominasi perspektif dan teori Barat yang terus berlanjut. Sementara, literatur
feminis telah membuat langkah signifikan dalam menangani pengalaman perempuan di Barat, masih
ada kesenjangan yang signifikan dalam memahami pengalaman perempuan dari budaya non-Barat
(Felski, 2020; Irshad & Yasmin, 2022). Hal ini sangat relevan dengan kasus perempuan Jawa, yang
sering dikecualikan dari wacana feminis karena lokasi mereka di luar gerakan feminis Barat.
Tantangan lain yang dihadapi sastra feminis adalah kebutuhan untuk terlibat dengan kompleksitas
norma dan harapan budaya. Selain itu, ada kebutuhan untuk literatur feminis untuk terlibat lebih kritis
dengan teori erotisme dan pendidikan. Literatur feminis telah mengeksplorasi dimensi erotisme dan
pendidikan untuk melihat potensi mereka dalam menjelaskan kompleksitas pengalaman perempuan.
Untuk alasan ini, ada kebutuhan untuk menginvestigasi pengalaman perempuan Jawa dan keterlibatan
mereka dengan gerakan feminis. Kebutuhan untuk membahas keterbatasan wacana feminis saat ini
menawarkan perspektif alternatif yang memperhitungkan pengalaman unik perempuan Jawa dalam
konteks erotisme dan pendidikan.
Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi wacana feminism Jawa dalam empat novel karya Ki
Padmasusastra (FNKP) dalam perspektif erotisme dan pendidikan. FNKP adalah novel berangkai,
sebagai prosa pertama Jawa. Ia disebut prosa pertama karena sebelumnya tradisi sastra di Jawa hanya
dalam bentuk puisi (Pamungkas, 2021). FNKP diciptakan pada masa kolonialisme Belanda di
Indonesia. Karena itu, ada kemungkinan bahwa wacana feminism dalam sastra memiliki relevansi
dengan budaya Barat yang dibawa oleh Belanda ke Indonesia. Selain itu, mengingat klaim oleh
beberapa sarjana bahwa penciptaan sastra selalu memiliki pesan pendidikan yang tersirat, maka
penelitian ini juga bertujuan untuk menginvestigasi aspek tersebut. Karena, bagaimanapun, sastra
adalah wacana pendidikan yang penting karena pendidikan sastra sangat terselubung, tidak dengan
cara yang menggurui (Pamungkas et al., 2019; Pattaro, 2016). Untuk alasan ini, penelitian ini
memfokuskan FNKP dalam tiga perspektif yang berbeda: 1) Erotisme dalam Perspektif Pendidikan
dan Budaya; 2) feminism dalam sastra Jawa; 3) nilai-nilai pendidikan dalam sastra feminism. Selain
itu, dengan mempertimbangkan kronologi penciptaan FNKP pada masa kolonialisme Belanda, maka
spirit feminism ini juga akan didiskusikan dalam konteks poskolonialisme.
2. Theoretical Framework

2.1. Erotisme dalam Sastra


Pada dasarnya, erotisme adalah studi atau keinginan terhadap objek seksual atau keadaan yang
menghasilkan perasaan gairah dan kegembiraan. Erotisme bisa melibatkan berbagai media dan bentuk
ekspresi, termasuk sastra, seni visual, musik, atau bahkan perilaku sehari-hari (Bataille, 1986;
Michael, 2019; Zariat & Rani, 2009). Para filsuf dan teoretikus seperti Georges Bataille, Sigmund
Freud, dan lainnya telah membahas teori erotisme dalam berbagai cara. Bataille, misalnya,
menekankan aspek transgresif dari erotisme, menyatakan bahwa gairah seksual memainkan peran
penting dalam merobek kain dari norma-norma sosial dan etika. Bagi Bataille, erotisme adalah bentuk
pemberontakan terhadap struktur sosial dan batasan etika (Bataille, 1986). Freud, pendiri
psikoanalisis, juga melihat erotisme sebagai kekuatan psikologis yang sangat berpengaruh. Ia
membahas berbagai bentuk erotisme seperti erotisme oral, anal, dan genital, serta bagaimana ini
berkembang seiring dengan pertumbuhan individu dari masa kanak-kanak hingga dewasa (Aldhafeeri
& Termizi, 2016; Hurst, 2008).
Sementara itu, erotisme dalam sastra adalah sebuah tema yang sudah ada sejak awal munculnya
karya-karya sastra. Mulai dari puisi-puisi cinta klasik hingga novel-novel modern yang
mengeksplorasi keinginan dan gairah, erotisme tetap menjadi salah satu tema utama yang banyak
dibahas (Michael, 2019; Zariat & Rani, 2009). Karya sastra seringkali menggunakan erotisme sebagai
alat untuk mengeksplorasi kompleksitas emosi manusia, dilema moral, atau bahkan isu-isu sosial dan
budaya. Untuk hal ini, beberapa penulis memilih untuk menggambarkannya secara eksplisit,
sementara yang lain mungkin lebih suka mengeksplorasi secara implisit atau simbolis. Dalam banyak
kasus, erotisme digunakan untuk menantang norma-norma sosial atau untuk mempertanyakan struktur
kekuasaan yang ada, termasuk patriarki dan norma-norma seksual yang dianggap "normal". Karena
itu, erotisme dalam karya sastra menawarkan peluang untuk memahami lebih dalam tentang
kehidupan emosi dan seksual manusia (Michael, 2019; Zariat & Rani, 2009). Ini juga memberikan
alat untuk mengeksplorasi dan mempertanyakan struktur sosial dan budaya yang kita hidupi.
2.2. Feminism dalam Sastra

Feminisme adalah sebuah gerakan dan ideologi yang luas, yang tidak hanya berfokus pada satu isu
atau kelompok tetapi mencakup berbagai aspek yang berkaitan dengan kesetaraan gender. Tujuan
utamanya adalah untuk menciptakan dunia di mana perempuan dan laki-laki memiliki akses yang
sama terhadap hak-hak sosial, politik, dan ekonomi (Alkali & Talif, 2016; Ogunyemi, 2022;
Situmeang, 2018). Dalam rangka ini, feminisme mengeksplorasi dan menantang sistem patriarki yang
telah lama memberikan keistimewaan kepada laki-laki dalam banyak aspek kehidupan. Feminisme
mengupayakan untuk memberikan perempuan alat dan sumber daya yang mereka butuhkan untuk
melawan kekerasan dan diskriminasi ini. Diskriminasi berbasis gender seringkali tidak berdiri sendiri;
ia sering kali tumpang tindih dengan bentuk-bentuk diskriminasi lainnya (Alkali & Talif, 2016;
Felski, 2020; Lloro-Bidart, 2018). Oleh karena itu, ada aliran feminisme yang lebih inklusif, dikenal
sebagai feminisme interseksional, yang memperhitungkan bagaimana berbagai jenis diskriminasi—
seperti ras, kelas, dan orientasi seksual—bisa berinteraksi dan saling memperkuat satu sama lain.
Feminisme memiliki peran penting dalam karya sastra fiksi sejak beberapa dekade lalu. Sastra
adalah medium yang kuat untuk menyampaikan ideologi dan pesan sosial, termasuk pesan tentang
kesetaraan gender (Felski, 2020; Mardani et al., 2018; Masykuroh & Fatimah, 2019). Dalam banyak
hal, sastra bisa menjadi cerminan masyarakat dan budaya, termasuk dalam aspek-aspek seperti
hubungan kekuasaan antara gender, representasi perempuan, dan narasi yang mendukung atau
menentang patriarki. Dalam karya sastra klasik dan modern, perempuan sering kali direduksi menjadi
stereotip atau karakter yang satu dimensi—seperti ibu rumah tangga, objek hasrat, atau peran
pendukung bagi protagonis laki-laki. Feminisme dalam sastra bertujuan untuk mengkritik dan
merombak representasi ini. Salah satu kontribusi feminisme dalam sastra adalah munculnya lebih
banyak karakter perempuan yang kompleks, kuat, dan otonom. Mereka bukan hanya ada untuk
mendukung karakter laki-laki, tetapi memiliki motivasi, keinginan, dan konflik mereka sendiri. Dalam
sastra kontemporer, ada usaha untuk mengeksplorasi feminisme dari sudut pandang yang
interseksional, mencakup ras, kelas, dan orientasi seksual. Ini membantu dalam memperkaya
diskursus feminis, yang sering kali dianggap terfokus terlalu banyak pada perjuangan perempuan dari
ketertindasan banyak hal (Felski, 2020; Lloro-Bidart & Semenko, 2017). Karena itu, feminisme dalam
sastra fiksi tidak hanya terbatas pada apa yang ditulis dalam teks, tetapi juga bagaimana teks itu
dibaca, diinterpretasikan, dan diposisikan dalam konteks budaya dan sosial yang lebih luas.
2.3. Educational in Literature

Value is an axiological idea obtained through thought and appreciation, about things that are
considered valuable, important, good, worthy, and desirable (Gottlober, 2022; Scheler, 1973). The
value found by man precedes his sensory experience, and then a priori is captured by man through
emotional feelings (Scheler, 1973). Meanwhile, education is the learning of the knowledge, skills, and
habits of a group of people that are passed from one generation to the next (Aly & Thoyibi, 2020;
Cronin & MacLaren, 2018; Harper, 2018; Suprapto et al., 2023). Thus, the value of education in
literature is the variety of things that are considered valuable, important, good, worthy and desirable
about the knowledge, skills and habits of a group of people passed from one generation to the next.

After all, literature has an important role in the formation of educational value. Through literature, one
can gain valuable experience and wisdom about life that is not always obtained from other sources of
learning. Literature is a medium that conveys values, ideas, and ideas through creative and artistic
writing, such as short stories, novels, poems, and plays. The value of education in literature is not only
about developing knowledge and understanding of the structure of language and the literary work
itself, but also about developing moral, ethical, and social values (Pamungkas, Onok Y et al., 2023;
Rhamdon & Yanti, 2021; Santoso & Khisbiyah, 2021). Literature often tells about human life,
including about the values and norms that exist in society, both explicitly and implicitly. Thus,
literature has the potential to be a very effective source of value education.

Literature also promotes human values, such as justice, truth, freedom, and love. Many literary works
discuss the struggle of individuals or groups in achieving justice, truth, and freedom (El-nashar &
Nayef, 2023; Pamungkas, Onok Yayang et al., 2023; Suyitno, 2017). In addition, there are also many
literary works that raise the theme of love, both romantic love and love between humans. Thus, the
value of education in literature is very diverse and unlimited. This depends on how the reader or
learner is able to understand, interpret, and apply the values contained in the literary work in everyday
life. Quality education is education that is able to integrate knowledge, skills, and values in its
learning process, and literature can be a very valuable resource in this regard.

3. Methods

Penelitian ini berupaya menginvestigasi dan memberikan argumentasi kritis terhadap novel FNKP.
Fokus investigasi adalah 1) Erotisme dalam Perspektif Pendidikan dan Budaya; 2) feminism dalam
sastra Jawa; 3) nilai-nilai pendidikan dalam sastra feminism. Diskusi melibatkan wacana
poskolonialisme. Berbagai model teks dianggap sebagai strategi untuk tujuan spirit feminism dalam
kultur Jawa. Akibatnya, penelitian ini merupakan studi interdisipliner tentang sastra, gender, budaya,
dan pendidikan. Karena itu, metode kualitatif, yang terfokus pada hermeneutik, dipilih karena
dianggap mampu memberikan penjelasan secara komprehensif terhadap interpretasi teks (McCrea,
2005; Porter & Robinson, 2011; Ricoeur, 2016; Strauss & Corbin, 2010).
Objek penelitian ini disebut novel siber karena datanya diambil dari novel yang dipublikasikan
secara online di situs web https://www.sastra.org, yang dikelola Yayasan Sastra Lestari, Surakarta,
Jawa Tengah, Indonesia. Sumber data penelitian adalah empat novel karya Ki Padmasusastra, yang
dirinci sebagai berikut.
TABLE 1. Data for four novels by Ki Padmasusastra

No. Novel Title Publication Catalog Code


Year
1. Serat Pethikan Saking Kabar Angin (SPSKA) 1901 1901-315, #39
2. Serat Rangsang Tuban (SRT) 1912 1912, #516
3. Serat Prabangkara (SP) 1921 1921, #43
4. Serat Kandha Bumi (SKB) 1924 1924, #112
Data penelitian ini berupa teks yang secara eksplisit maupun implisit mengandung aspek feminism
dan nilai-nilai pendidikan dalam FNKP. Temuan data diklasifikasikan berdasarkan kategori erotisime,
feminism, dan nilai pendidikan (Strauss & Corbin, 1998). Upaya mengungkap makna FNKP
dilakukan dengan sangat hati-hati dengan memperhatikan makna teks (Ricoeur, 2016). Hasil
pengolahan data dibandingkan dan diuji dengan sumber data lain (Archibald, 2016). Analisis juga
dilakukan dengan menafsirkan modus simbol-simbol budaya yang terdapat dalam teks. Secara
bersamaan, para peneliti mencari literatur akademis yang relevan untuk mengidentifikasi beberapa
narasi terkait. Langkah-langkah analisis meliputi: 1) mengumpulkan data [teks] sesuai dengan
kategori feminism dan nilai-nilai pendidikan; 2) mengamati dan menganalisis sesuai dengan masalah
penelitian; 3) menafsirkan dan memverifikasi data; dan 4) membuat kesimpulan.

4. Results

Temuan penelitian ini akan dimulai dengan memberikan gambaran tentang representasi erotisme
dalam perspektif pendidikan dan budaya. Setelah itu, representasi feminism dalam novel Jawa.
Kemudian, nilai-nilai pendidikan dalam konteks erotisme dan feminism novel Jawa ditampilkan pada
akhir diskusi. Ini akan memeriksa cara-cara di mana identitas perempuan Jawa dibentuk oleh norma-
norma dan harapan budaya dan bagaimana norma-norma ini bersinggungan dengan dinamika
kekuasaan gender dalam teks narasi. Eksplorasi tentang cara perempuan Jawa terlibat dengan gerakan
feminis dapat menawarkan wawasan tentang pengalaman penindasan dan perlawanan perempuan
Jawa. Setelah itu, nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalam teks narasi akan ditampilan untuk
melihat peran sastra dalam memberikan pendidikan yang halus, tanpa menggurui.

4.1. Erotisme dalam Perspektif Pendidikan dan Budaya

Erotisme, sebagai sebuah konsep, telah lama menjadi bagian dari ekspresi manusia di berbagai
masyarakat di seluruh dunia. Definisi, representasi, dan penerimaan erotisme bervariasi tergantung
pada latar belakang budaya, sosial, dan historis dari suatu komunitas. Melalui teks yang diberikan,
kita dapat mengeksplorasi bagaimana tubuh wanita dan berbagai bentuk eksposurnya dianggap erotis
dalam konteks tertentu, serta implikasi dari hal ini dalam pendidikan erotisme. Berdasarkan analisis
yang telah dilakukan, representasi erotisme dalam FNKP ditampilkan pada table 2.

Table 2. Representasi erotisme dalam FNKP

No Bentuk Erotisme Deskripsi Erotis Kode data


1 Pakaian mini Wanita mandi hanya mengenakan kain jarit (EWJ/SRT:8)
2 Tonjolan Payudara Tonjolan payudaya saat mandi di sungai (EWJ/SRT:8)
3 Wanita mandi Wanita mandi dengan memakai pakaian mini (EWJ/SKB:41)
4 Tonjolan Payudara Tonjolan payudara wanita saat menggunakan pakaian (EWJ/SKB:41-42)
tradisional
5 Tonjolan Payudara Tonjolan payudara wanita saat menggunakan pakaian (EWJ/SRT:31)
tradisional
6 Terlihatnya payudara Perempuan berlatih menggunakan bikini sehingga (EWJ/SRT:86)
seringkali payudaranya terlihat keluar
7 Tonjolan Payudara Tokoh wanita yang menyamar laki-laki, namun ia (EWJ/SRT:105)
terlihat bentuk payudaranya
8 Bentuk tubuh wanita Bentuk tubuh wanita mengundang gairah bagi laki- (EWJ/SKA:8-9)
laki
9 Bentuk tubuh wanita Bentuk tubuh wanita mengundang gairah bagi laki- (EWJ/SKB:40-41)
laki
10 Bentuk tubuh wanita Bentuk tubuh wanita menimbulkan gairah laki-laki (EWJ/SKB:41-42)
11 Pesona tubuh wanita Tubuh wanita dalam berpakaian tradisional (EWJ/SKA:197)
Table 2 menunjukkan bahwa erotisme dalam FNKP merepresentasikan kultur budaya Jawa
tradisional. Hal ini, misalnya ditemukan dalam data, “Sang Putri takut menolak keinginan suami, tapi
tidak mau memakai baju, hanya memakai baju kain untuk berbasah basahan dan baju penutup
payudara, namun terlihat lehernya yang bening bagai cahayat” (EWJ/SRT:8). Ini merupakan
gambaran budaya Jawa yang masih terbiasa dengan budaya tradisional, terlebih mereka belum banyak
mendapat pemahaman tentang Islam. Untuk hal ini, teks tersebut menekankan sejumlah cara di mana
tubuh wanita, baik dalam pakaian maupun aksi tertentu, dapat dianggap erotis. Dari penggunaan
pakaian mini, tonjolan payudara, sampai penekanan pada bentuk tubuh wanita dalam pakaian
tradisional, setiap eksposur mempunyai konotasi erotis yang unik tergantung pada konteksnya.
Misalnya, pakaian tradisional dan kain jarit yang dikenakan saat mandi di sungai memiliki konotasi
budaya yang khusus dan sejarah yang mendalam. Ini menunjukkan bahwa apa yang dianggap erotis
tidak hanya bergantung pada eksposur fisik semata, tetapi juga pada konteks budaya dan sejarah.
Konsep erotisme yang berkaitan dengan pakaian tradisional menggugah pemikiran tentang
bagaimana nilai-nilai dan norma budaya mempengaruhi persepsi kita terhadap tubuh wanita. Dalam
banyak masyarakat, pakaian tradisional menggambarkan kehormatan, status, dan identitas, bukan
sekadar objek erotis (Crane-Seeber, 2016). Namun, dalam beberapa konteks, seperti yang ditekankan
dalam teks, pakaian tradisional juga dapat menonjolkan bentuk tubuh wanita yang dianggap erotis. Ini
menunjukkan dualitas pandangan terhadap tubuh wanita: sebagai pembawa tradisi dan simbol
kehormatan, serta sebagai objek erotis. Selain itu, ada narasi dominan yang menekankan bagaimana
tubuh wanita dilihat dari perspektif maskulin. Persepsi bahwa "Bentuk tubuh wanita mengundang
gairah bagi laki-laki", sebagaimana data EWJ/SKA:8-9, EWJ/SKB:40-41, EWJ/SKB:41-42,
mencerminkan pandangan yang didominasi oleh objektifikasi tubuh wanita. Narasi ini mengurangi
wanita menjadi objek hasrat, mengabaikan agensi, kepribadian, dan keunikan mereka sebagai individu
(Michael, 2019; Zariat & Rani, 2009). Dalam konteks pendidikan erotisme, hal ini menyoroti
kebutuhan untuk mengatasi objektifikasi tubuh wanita dan mempromosikan pandangan yang lebih
holistik yang memperhitungkan keseluruhan individu.
Pendidikan erotisme, dalam responsnya terhadap narasi ini, memungkinkan individu untuk
melakukan refleksi kritis. Ini berarti mempertanyakan dan memahami bagaimana masyarakat, media,
dan budaya mempengaruhi pandangan kita tentang tubuh, seksualitas, dan erotisme. Dengan
pemahaman yang lebih mendalam tentang norma-norma sosial dan budaya membentuk persepsi
erotisme, individu dapat membuat keputusan yang lebih sadar tentang cara mereka memandang dan
menghargai tubuh mereka sendiri dan orang lain. Lebih lanjut, pendidikan erotisme harus
mempromosikan penerimaan diri. Dalam masyarakat yang seringkali menilai individu berdasarkan
penampilan fisik, penting bagi setiap orang untuk merasa diterima dan berharga. Mengingat
bagaimana eksposur tertentu dari tubuh wanita dapat dianggap erotis dalam konteks tertentu,
pendidikan erotisme harus memfokuskan diri pada mempromosikan kepercayaan diri, penerimaan
diri, dan pemahaman tentang bagaimana tubuh wanita dipandang dan dihargai dalam berbagai konteks
budaya (Crane-Seeber, 2016; McRobbie, 2008). Dengan demikian, teks tersebut menawarkan
wawasan yang berharga tentang bagaimana tubuh wanita dilihat dan dipahami dalam konteks
erotisme. Namun, penting untuk melihat di luar pandangan yang sempit dan objektif ini dan menuju
pemahaman yang lebih inklusif dan holistik tentang tubuh wanita. Pendidikan erotisme, dengan
fokusnya pada pemahaman, penerimaan diri, dan refleksi kritis, dapat memainkan peran penting
dalam mencapai pemahaman ini.

4.2. Feminisme dalam Novel Jawa

FNKP merupakan novel yang merepresentasikan spirit feminism. Sebagai novel poskolonial,
narasi feminism nampaknya dipengaruhi cara berpikir Barat yang dibawa oleh kolonial Belanda.
Karena itu, narasi feminism dalam novel ini merupakan salah satu pelopor feminism di Indonesia
yang sebelumnya lebih mengutamakan budaya Timur yang kuat dengan budaya patriarki. Untuk hal
ini, temuan tentang narasi feminism dalam FNKP ditampilkan pada table 3.
Table 3. Bentuk Feminism dalam FNKP
No. Bentuk Deskripsi Judul Kode data
feminisme Novel
1 Kesaktian Perempuan Jawa memiliki spirit kesaktian SRT SRT:32
seperti laki-laki
2 Kesaktian Perempuan Jawa memiliki kesaktian SRT SRT:42
seperti laki-laki
3 Kesaktian Perempuan Jawa memiliki kemampuan SKA SKA:254-255
perang seperti laki-laki
4 Kesaktian Wanita memiliki kemampuan berperang SKA SKA:259-260
sama dengan laki-laki
5 Perlawanan fisik Perempuan membunuh laki-laki karena SRT SRT:19
dilecehkan
6 Kemampuan Tokoh perempuan tidak memiliki SRT SRT 99-100
kinerja kekhawatiran atas kejahatan pada malam
hari
7 Pemerolehan Wanita berhak pendapat pendidikan yang SKA SKA:129
pendidikan maksimal seperti laki-laki
8 Kekuasaan Perempuan memiliki hak yang sama untuk SKA SKA:153-54
politik memimpin negara
9 Hak Perempuan memiliki hak yang sama untuk SKA SKA:273-274
kepemimpinan menjadi pemimpin perang

Table 3 merepresentasikan beberapa bentuk feminisme yang terdapat dalam FNKP. Temuan
penelitian menggambarkan beberapa tema feminisme dalam empat judul novel. Tema-tema ini
mencakup kesaktian perempuan Jawa yang setara dengan laki-laki, baik dalam hal spirit maupun
kemampuan kesaktian (seperti yang terlihat dalam novel "SRT" dengan kode data SRT:32 dan
SRT:42). Hal ini tergambar, misalnya, dalam kisah ketika putri mampu menunjukkan kesaktiannya
dalam berbagai cara, “apa yang diinginkan akan menjadi kanyataan, menjelma laki-laki menjelma
perempuan, dapat berubah bentuk” (Padmasusastra, 1912, p. 32). Selain itu, terdapat juga
penggambaran perempuan Jawa dengan kemampuan perang yang setara dengan laki-laki, yang
menyoroti bahwa perempuan juga dapat berperan aktif dalam pertempuran (seperti yang terlihat
dalam novel "SKA" dengan kode data SKA: 254-255 dan SKA: 259-260). Hal ini menunjukkan
bahwa kesaktian bukanlah domain eksklusif laki-laki, melainkan perempuan juga memiliki potensi
dan kemampuan yang sama dalam hal ini. Tema kesaktian perempuan ini memberikan gambaran
tentang perempuan yang mandiri, kuat, dan mampu menghadapi berbagai tantangan dengan
kemampuan yang luar biasa. Penekanan pada kesaktian perempuan dalam novel-novel ini secara tidak
langsung juga mengajak pembaca untuk melihat perempuan sebagai sosok yang lebih dari sekadar
lemah. Ini adalah upaya untuk mengangkat citra perempuan yang kuat, berdaya, dan mampu berdiri
sendiri. Karena itu, kesaktian perempuan dalam novel-novel ini memberikan kontribusi positif
terhadap gerakan feminisme dan pemberdayaan perempuan, dengan menekankan pada potensi dan
kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu, terlepas dari jenis kelaminnya.
Di sisi lain, terdapat juga tema perlawanan fisik, di mana perempuan dalam novel tersebut
membunuh laki-laki yang telah melakukan pelecehan terhadap mereka (seperti dalam novel “SRT”
dengan kode data SRT:19). Hal ini mencerminkan penekanan pada perlawanan fisik sebagai bentuk
pembelaan diri terhadap perlakuan tidak adil. Selain itu, terdapat pula tema kemampuan perempuan
untuk menjalankan kegiatan pada malam hari tanpa kekhawatiran akan kejahatan (seperti yang terlihat
dalam novel "SRT" dengan kode data SRT 99-100), menggambarkan perempuan sebagai tokoh yang
mandiri, kuat, dan tidak tergantung pada laki-laki untuk keamanan dan perlindungan. Hal ini
menggambarkan aspirasi untuk menghilangkan ketergantungan perempuan pada pria dan
mempromosikan kemandirian perempuan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Untuk itu, narasi
cerita dalam FNKP mencerminkan pendekatan feminisme yang kuat, di mana perempuan dianggap
sebagai individu yang memiliki kemampuan dan hak untuk membela diri, serta memiliki kekuatan
dan kemandirian untuk menjalani kehidupan tanpa kekhawatiran akan kekerasan atau pelecehan. Ini
menunjukkan upaya untuk mengubah pandangan masyarakat terhadap perempuan, melepaskan
stereotip dan norma yang membatasi peran dan potensi mereka.
Dalam novel "SKA" dengan kode data SKA:129, tema pemerolehan pendidikan yang maksimal
bagi perempuan menyoroti pentingnya kesetaraan gender dalam pendidikan. Hal ini menekankan
perlunya memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang
berkualitas tanpa diskriminasi (Felski, 2020; Irshad & Yasmin, 2022). Dengan demikian, perempuan
dapat mengembangkan potensi mereka secara penuh dan berkontribusi secara merata dalam berbagai
bidang. Tema lain yang muncul dalam novel "SKA" dengan kode data SKA:153-154 adalah hak
perempuan untuk memiliki kekuasaan politik dan memimpin negara. Ini menunjukkan aspirasi untuk
kesetaraan gender dalam ranah politik, di mana perempuan memiliki hak yang sama untuk
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan memegang jabatan kepemimpinan. Dengan adanya
representasi perempuan dalam kepemimpinan politik, akan terjadi penghapusan stereotype dan
batasan-batasan yang menghalangi partisipasi perempuan secara penuh dalam dunia politik. Selain itu,
novel "SKA" dengan kode data SKA:273-274 juga menggambarkan hak perempuan untuk menjadi
pemimpin dalam konteks perang. Ini menunjukkan adanya pengakuan terhadap kemampuan
perempuan dalam kepemimpinan dan strategi perang. Dengan demikian, perempuan diberikan
kesempatan yang sama untuk berkontribusi dalam situasi konflik dan mengambil peran penting dalam
memimpin pasukan atau mengambil keputusan strategis.

4.3. Pendidikan Erotis dan Feminisme dalam sastra Jawa


Teks yang disajikan menyoroti berbagai isu yang berkaitan dengan erotisme, feminisme, dan
representasi tubuh wanita dalam sastra. Pada satu sisi, teks mengeksplorasi bagaimana tubuh wanita
dilihat melalui lensa erotis, seringkali dari perspektif maskulin. Ini membuka diskusi mengenai
bagaimana objektifikasi tubuh wanita masih menjadi narasi yang dominan dalam banyak aspek
budaya (Irshad & Yasmin, 2022; Spencer & Nichols, 2010). Dalam konteks ini, pendidikan erotisme
berperan penting sebagai alat untuk mempromosikan refleksi kritis dan pemahaman holistik tentang
seksualitas dan tubuh, bukan hanya sebagai objek hasrat tetapi juga sebagai bagian dari identitas dan
agensi individu.
Di sisi lain, novel-novel seperti FNKP menawarkan pandangan feminis yang mempengaruhi
persepsi tentang tubuh wanita, kekuatan, dan kemampuan mereka. Tema-tema feminisme yang
tercakup mencakup representasi perempuan sebagai sosok yang kuat, mandiri, dan berdaya. Adanya
tokoh perempuan yang menunjukkan kesaktian, kemampuan perang, dan kemandirian memberikan
gambaran alternatif tentang perempuan yang berbeda dari narasi tradisional yang seringkali
mengobjektifikasi atau melemahkan mereka. Ini penting karena novel-novel seperti ini memberikan
kontribusi positif terhadap gerakan feminisme dengan mempromosikan representasi yang lebih setara
dan inklusif tentang perempuan (Karlovic & Patrick, 2003; Spencer & Nichols, 2010).
Selanjutnya, ide-ide mengenai feminisme dalam teks ini juga menunjukkan bagaimana gerakan
feminisme di Indonesia dipengaruhi oleh ide-ide Barat, namun tetap mempertahankan nuansa kultural
dan sejarah lokal. Misalnya, pakaian tradisional yang dianggap erotis dalam satu konteks dapat juga
menjadi simbol kehormatan dan identitas dalam konteks lain. Ini menunjukkan adanya kebutuhan
untuk pendekatan yang lebih kompleks dan berlapis dalam memahami dan mengkritisi bagaimana
tubuh perempuan direpresentasikan dan dipahami. Dengan demikian, sastra tidak hanya menawarkan
cerita atau hiburan tetapi juga berfungsi sebagai medium pendidikan untuk mengeksplorasi dan
memahami isu-isu sosial dan budaya seperti erotisme dan feminisme (Huggan & Tiffin, 2010;
Wibowo & Pamungkas, 2023). Dalam konteks Indonesia, ini sangat relevan karena masyarakatnya
adalah amalgame dari berbagai tradisi, norma, dan nilai, termasuk di dalamnya pertentangan antara
patriarki tradisional dan gerakan feminisme modern. Pendidikan erotisme dan sastra feminis dapat
berfungsi sebagai alat untuk memfasilitasi pemahaman yang lebih mendalam tentang isu-isu
kompleks ini, mempromosikan kesetaraan gender, dan menghargai keberagaman budaya dan sejarah.

5. Discussion

FNKP merupakan novel zaman poskolonial yang merepresentasikan spirit feminisme. Wacana
feminism yang hadir dalam novel masih terlihat belum terlihat total. Masih ada keragu-raguan
pengarang dalam menampilkan semangat perempuan. Dalam hal ini, nampaknya, masih ada ketakutan
pengarang untuk secara vulgar menampilkan emansipasi melalui tokoh perempuan. Sebab, pada
kenyataannya, pada masa kolonial memang banyak sastrawan yang mengalami nasip kurang baik
ketika ia melakukan penulisan sastra yang bernuansa perlawanan (Kersten, 2015; Suwondo et al.,
2015). Untuk hal ini, kuat dugaan bahwa, wacana feminism dipengaruhi oleh pemikiran yang dibawa
oleh tokoh-tokoh kolonial Belanda. Hal ini tidak terlepas dari hubungan pengarang dengan tokoh-
tokoh penting Belanda pada waktu itu. Ada bayang-bayang pengetahuan masa lalu pengarang akibat
hubungan social dengan Belanda manjadi sumber inspirasi tentang penciptaan narasi feminism dalam
novel. Hal ini menunjukkan bahwa dalam konteks zaman poskolonial, penulis mungkin merasa perlu
untuk melibatkan aspek feminisme dalam karyanya, tetapi mereka juga menghadapi ketakutan atau
kehati-hatian dalam mengekspresikannya secara terbuka. Hal ini mungkin dikaitkan dengan risiko
penindasan atau penyalahgunaan yang dapat dialami oleh para penulis yang berani mengeksplorasi
tema-tema perlawanan dalam sastra pada masa colonial (Baldacchino & Royle, 2010; Han, 1996;
Ogunyemi, 2022). Dalam konteks ini, FNKP memberikan wawasan tentang latar belakang sosial dan
sejarah pengarang yang dapat mempengaruhi penulisan dan representasi feminisme dalam novel
tersebut. Meskipun wacana feminisme masih memiliki keterbatasan dalam novel ini, tetap dapat
diakui bahwa adanya upaya untuk mencerminkan semangat perempuan dan aspirasi kesetaraan
gender.
FNKP merepresentasikan bahwa tema-tema dalam novel-novel tersebut menunjukkan perjuangan
untuk mengubah pandangan masyarakat terhadap perempuan. Representasi perempuan dalam novel-
novel ini mencoba menggambarkan perempuan sebagai individu yang memiliki potensi, kekuatan,
dan hak yang sama dengan laki-laki. Tema pemerolehan pendidikan yang maksimal bagi perempuan
menyoroti pentingnya memberikan kesempatan pendidikan yang setara kepada perempuan tanpa
batasan atau diskriminasi. Hal ini bertujuan untuk menghapuskan batasan-batasan sistemik yang
membatasi akses perempuan terhadap pendidikan yang setara dengan laki-laki. Dengan memberikan
kesempatan yang sama, perempuan dapat mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan potensi
mereka secara penuh, serta berkontribusi secara signifikan dalam masyarakat. Tema hak perempuan
untuk memiliki kekuasaan politik dan memimpin negara menekankan pentingnya representasi
perempuan dalam posisi kekuasaan dan pengambilan keputusan politik. Dengan adanya partisipasi
perempuan dalam kepemimpinan politik, akan terjadi perubahan dalam dinamika politik yang lebih
inklusif dan mewakili kepentingan perempuan. Ini juga membantu mengatasi stereotip dan bias
gender yang masih ada dalam politik (Ogunyemi, 2022; Pelluchon & Sinnreich, 2019). Tema hak
perempuan untuk memimpin dalam konteks perang menggarisbawahi bahwa perempuan memiliki
kemampuan dan keberanian yang sama dalam situasi konflik. Ini menantang pandangan yang
membatasi peran perempuan hanya pada peran yang tradisional. Untuk itu, FNKP menggambarkan
bahwa tema-tema dalam novel-novel tersebut mengandung aspirasi dan perjuangan untuk mencapai
kesetaraan gender, menghapuskan diskriminasi, dan mengubah pandangan masyarakat terhadap
perempuan.

Acknowledgements

Kami mengucapkan terima kasih kepada Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Universitas


Muhammadiyah Surakarta, Universitas Muhammadiyah Purworejo, dan Badan Riset dan Inovasi
Nasional yang telah mendukung penelitian ini.

References
Aldhafeeri, H., & Termizi, A. A. (2016). The place of memory in john burnside’s the locust room.
Pertanika Journal of Social Sciences and Humanities, 24(4), 1699–1712.
Alkali, M., & Talif, R. (2016). Reconstructing the female sex in emergent novels. Kritika Kultura,
2016(26), 33–60.
Aly, A., & Thoyibi, M. (2020). Violence in online media and its implication to Islamic education of
Indonesia. Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, 10(1), 177–198.
https://doi.org/10.18326/ijims.v10i1.177-198
Archibald, M. M. (2016). Investigator triangulation: A collaborative strategy with potential for mixed
methods research. Journal of Mixed Methods Research, 10(3), 228–250.
Astagini, N. (2021). Stereotip Perempuan Pekerja Rumah Tangga Dalam Video “Pembantu Zaman
Old Vs Pembantu Zaman Now.” Journal of Scientific Communication, 3(1).
Asteria, D., Herdiansyah, H., & Apriana, I. W. A. (2016). Women’s Environmental Literacy As
Social Capital in Environmental Management for Environmental Security of Urban Area. IOP
Conference Series: Earth and Environmental Science, 30(1). https://doi.org/10.1088/1755-
1315/30/1/012014
Baldacchino, G., & Royle, S. A. (2010). Postcolonialism and islands: Introduction. Space and
Culture, 13(2), 140–143. https://doi.org/10.1177/1206331209358229
Bataille, G. (1986). Erotism: Death and sensuality. San Francisco, CA, US: City Lights Books.
Crane-Seeber, J. P. (2016). Sexy warriors: The politics and pleasures of submission to the state.
Critical Military Studies, 2(1–2), 41–55.
Cronin, C., & MacLaren, I. (2018). Conceptualising OEP: A review of theoretical and empirical
literature in Open Educational Practices. Open Praxis, 10(2), 127.
https://doi.org/10.5944/openpraxis.10.2.825
El-nashar, M., & Nayef, H. (2023). Hegemony and Objectification: A Sexist Discursive Analysis of
Egyptian Songs. International Journal of Society, Culture and Language, 11(2), 28–46.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.22034/ijscl.2023.1990680.2949
Felski, R. (2020). Literature after feminism. Chicago: University of Chicago Press.
Gottlober, S. (2022). Max Scheler in Dialogue. Kildare: National University of Ireland.
Han, J. J. (1996). Clearing a Space: Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature.
Crossroads: An Interdisciplinary Journal of Southeast Asian Studies, 10(2), 33–81.
Harper, H. (2018). Management in Further Education: Theory and Practice. London: Routledge.
Huggan, G., & Tiffin, H. (2010). Postcolonial Ecocriticism: Literature, Animals, Environment. New
York: Routledge.
Hurst, A. (2008). Derrida Vis-à-vis Lacan: Interweaving Deconstruction and Psychoanalysis. New
York: Fordham University Press.
Irshad, I., & Yasmin, M. (2022). Feminism and literary translation: A systematic review. Heliyon,
8(3), e09082.
Karlovic, L., & Patrick, K. (2003). Environmental adult education: Women living the tensions. New
Directions for Adult and Continuing Education, 2003(99), 59–68.
https://doi.org/10.1002/ace.110
Kersten, C. (2015). Islamic Post-Traditionalism: Postcolonial and Postmodern Religious Discourse in
Indonesia. Sophia, 54(4), 473–489. https://doi.org/10.1007/s11841-014-0434-0
Kristeva, J. (1980). Desire in Language: A Semiotic Approach and Art (Roundiez, L. S., Ed.). New
York: Columbia University Press.
Lloro-Bidart, T. (2018). A feminist posthumanist ecopedagogy in/for/with animalScapes. Journal of
Environmental Education, 49(2), 152–163. https://doi.org/10.1080/00958964.2017.1417225
Lloro-Bidart, T., & Semenko, K. (2017). Toward a feminist ethic of self-care for environmental
educators. Journal of Environmental Education. Retrieved from
https://www.scopus.com/inward/record.uri?eid=2-s2.0-
85010894724&doi=10.1080%2F00958964.2016.1249324&partnerID=40&md5=ce954db4786b
9ed0887b178e341be1e4
Mardani, P. B., Suprasti, D., & Aratika, J. (2018). Women Issues in Two Short Stories By Ratna
Indraswari Ibrahim: a Study of Comparative Literature Toward Two Short Story; ‘Rambutnya
Juminten’ and ‘Baju.’ Kajian Linguistik Dan Sastra, 2(2), 156.
https://doi.org/10.23917/kls.v2i2.6739
Masykuroh, Q., & Fatimah, S. (2019). Girlhood and feminine ideals: Linguistic representation of
femininity in indonesian folktales. Humanities and Social Sciences Reviews, 7(3), 356–361.
https://doi.org/10.18510/hssr.2019.7353
McCrea, B. (2005). The Hermeneutics of Deliverance: Robinson Crusoe and the Problem of
Witnessing. In Kevin J. Vanhoozer, James K. A. Smith, and B. E. B. (Ed.), Hermeneutics at the
Crossroads. Bloomington: Indiana University Press.
McRobbie, A. (2008). The aftermath of feminism: Gender, culture and social change. California:
Sage.
Michael, T. (2019). Shamanism, eroticism, and death: The ritual structures of the Nine songs in
comparative context. Religions, 10(1). https://doi.org/10.3390/rel10010017
Ogunyemi, C. B. (2022). Sexuality and hierarchical trajectories in Global South: A de-colonial
reading of Sefi Atta’s novel, A Bit of Difference in the exemplification of contemporary
literature. Heliyon, 8(8), e10159. https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2022.e10159
Padmasusastra, K. (1901). Serat Pêthikan Saking Kabar Angin. Surakarta: Yayasan Sastra Lestari.
Padmasusastra, K. (1912). Serat Rangsang Tuban. Surakarta: Yayasan Sastra Lestari.
Padmasusastra, K. (1921). Serat Prabangkara. Surakarta: Yayasan Sastra Lestari.
Padmasusastra, K. (1924). Serat Kôndha Bumi. Surakarta: Yayasan Sastra Lestari.
Pamungkas, O. Y. (2021). Eko-Sufisme Jawa: Representasi Ekokritik dalam Sastra [Javanese Eco-
Sufism: Representations of Ecocriticism in Literature]. Yogyakarta: Lintas Nalar.
Pamungkas, Onok Y, Hastangka, H., Raharjo, S. B., Sudigdo, A., Agung, I., Language, I., Education,
L., Purwokerto, M., & Agency, I. (2023). The spirit of Islam in Javanese mantra: Syncretism and
education. HTS Teologiese Studies/Theological Studies, 79(1), 1–7.
https://doi.org/https://doi.org/ 10.4102/hts.v79i1.8407
Pamungkas, Onok Yayang, Hastangka, H., Suprapto, S., Purwoko, D., Zuhrah, F., & An-nahidl, N. A.
(2023). Discovering the Value of Education in a Fantastical World: An Exploration of Magical
Realism in a Contemporary Novel. International Journal of Society, Culture and Language,
11(2), 1–15. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.22034/ijscl.2023.2008386.3115
Pamungkas, O. Y., Widodo, S. T., Suyitno, & Endraswara, S. (2019). Environmental wisdom: An
observation of ecocriticism towards the javanese cyber literature in 20th century. International
Journal of Advanced Science and Technology. Retrieved from
https://www.scopus.com/inward/record.uri?eid=2-s2.0-
85081619421&partnerID=40&md5=a37d9cb2f0ba3290ba2bcc8b260d32fc
Panggabean, S., Simanjuntak, H., Sitorus, P. J., & Simangunsong, F. (2022). Analysis of Radical
Feminism in The Novel Isinga Roman Papua by Dorothea Rosa Herliany. Citra Pendidikan Dan
Pembelajaran, 1(2), 36–40.
Pattaro, C. (2016). Character education: themes and researches. An academic literature review. Italian
Journal of Sociology of Education, 8(1), 6–30. https://doi.org/10.14658/pupj-ijse-2016-1-2
Pelluchon, C., & Sinnreich, J. (2019). “Considération” and feminism. International Journal of
Feminist Approaches to Bioethics, 12(2), 171–180. https://doi.org/10.3138/ijfab.12.2.12
Porter, S. E., & Robinson, J. C. (2011). Hermeneutics: An Introduction to Interpretive Theory.
Cambridge: William B. Eerdmans Publishing Company.
Rhamdon, R. K., & Yanti, P. G. (2021). Nilai Pendidikan Karakter dan Konsep Pendidikan Ra Kartini
pada Cerita Rakyat Volume Empat. Kajian Linguistik Dan Sastra, 6(2), 176–189.
https://doi.org/10.23917/kls.v6i2.15219
Ricoeur, P. (2016). Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and
Interpretation. Cambridge: Cambridge University Press.
Santoso, M. A. F., & Khisbiyah, Y. (2021). Islam-based peace education: Values, program, reflection
and implication. Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, 11(1), 185–207.
https://doi.org/10.18326/IJIMS.V11I1.185-207
Scheler, M. (1973). Formalism in Ethics and Non-formal Ethics of Values: A New Attempt toward the
Foundation of an Ethical Personalism. Evanston: Northwestern University Press.
Situmeang, S. (2018). Analysis of Social Feminism Against Novel Banat Riyadh by Raja Al Sanae.
Kajian Linguistik Dan Sastra, 3(1), 68–76.
Spencer, M. E., & Nichols, S. E. (2010). Exploring Environmental Education Through Ecofeminism:
Narratives of Embodiment of Science. In Bodzin, A. M., B. S. Klein & S. Weaver (Eds.), The
History and Philosophy of Environmental Education (pp. 255–265). London and New York:
Springer Science+Business Media B.V.
Strauss, A., & Corbin, J. (2010). Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Strauss, A. L., & Corbin, J. M. (1998). Basics of Qualitative Research: Techniques and Procedures
for Developing Grounded Theory. https://doi.org/10.1177/1350507600314007
Suprapto, S., Widodo, S. T., Suwandi, S., Wardani, N. E., Hanun, F., Mukodi, M., Nurlina, L., &
Pamungkas, O. Y. (2023). Reflections on Social Dimensions, Symbolic Politics, and
Educational Values: A Case of Javanese Poetry. International Journal of Society, Culture and
Language, 11(2), 1–12. https://doi.org/https://doi.org/10.22034/ijscl.2023.2006953.3095
Suwondo, T., Waluyo, H. J., Sayuti, S. A., & Satoto, S. (2015). The Trilogy of Gadis Tangsi Novels
By Suparto Brata: Postcolonial Pragmatism Study. International Journal of Science and
Research (IJSR), 4(3), 1826–1831. Retrieved from
https://www.ijsr.net/archive/v4i3/SUB152446.pdf
Suyitno, S. (2017). New asmaradana in Indonesian contemporary poetry and malayan pop song:
Product of rooted culture or new interpretations? 3L: Language, Linguistics, Literature, Vol. 23,
pp. 86–97. https://doi.org/10.17576/3L-2017-2301-07
Wibowo, I. D., & Pamungkas, O. Y. (2023). Novels Ancika Dia Yang Bersamaku Tahun 1995 by Pidi
Baiq in Feminist Perspective. ATHENA: Journal of Social, Culture and Society, 1(4), 192–199.
https://doi.org/https://doi.org/10.58905/athena.v1i4.100
Zariat, M., & Rani, A. (2009). Between eroticism and social criticism. Wacana, 11(1), 159–172.

Anda mungkin juga menyukai