Anda di halaman 1dari 11

Wujud feminisme tokoh Bawuk yang terdapat dalam Cerpen Bawuk karya

Umar Kayam: Kajian Feminisme

Oleh
Rudi Umar Susanto
147835014
S2 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia-Daerah
Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya
2014

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karya sastra sebagai salah satu produk sebuah kebudayaan dapat dikatakan sebagai
cerminan dari masyarakat tempat karya sastra itu lahir. Sebuah penelitian yang
membicarakan tentang maju tidaknya atau tinggi rendahnya sebuah kebudayaan tidak hanya
ditilik dari karya-karya atau tulisan ilmiah yang dihasilkannya. Tetapi, penilaian tentang hal
tersebut dapat juga dilakukan dengan melihat karya-karya sastra yang dihasilkan oleh
masyarakat yang bersangkutan.
Cerpen Bawuk karya Umar Kayam merupakan cerpen yang menceritakan kehidupan
seorang perempuan bernama Bawuk, dia tidak mau menikah dengan pria pilihan keluarganya,
dia lebih memilih pria pilihannya yaitu Hasan. Hasan merupakan anggota dari G 30 S PKI.
Cerpen Bawuk adalah sebuah cerpen yang berbingkai feminisme. Perspektif feminisme lebih
mengarah pada karya sastra yang terilhami oleh fakta sosial yang ada di tengah-tengah
masyarakat sekaligus menampilkan tokoh perempuan dengan berbagai masalahnya.
Perspektif dimaksud tidak semata-mata memandang cerpen dari kacamata estetika, tetapi
juga memfokuskan kajian pada makna dan hubungannya dengan realitas sosial dan budaya.
Cerpen Bawuk karya Umar Kayam merupakan cerpen yang menceritakan kehidupan seorang
perempuan bernama Bawuk, dia memiliki pendirian yang kuat dan tidak bisa dipatahkan oleh
orang lain termasuk keluarganya sendiri. Cerpen Bawuk karya Umar Kayam ini memiliki
kandungan ekspresi dan konsistensi fiksional untuk mengutuhkan kepribadian, kecerdasan,
dan keyakinan tokoh perempuan di dalamnya. Pengutuhan itu bukan saja terbaca dari latar
sosial tokohnya, Bawuk, tetapi juga emansipasi pemikiran dan keberaniannya untuk melawan
dominasi dan diskriminasi tokoh-tokoh antagonis yang bersifat patriarkis. Penggambaran
posisi dan sikap tokoh perempuan tersebut juga mencerminkan adanya upaya untuk
menanggapi dan mencari solusi terhadap masalah gender yang ditimbulkan oleh
ketidakadilan sosial dan budaya di sekitar tokoh itu berada.
Inilah yang kemudian melatarbelakangi peneliti untuk mengkaji Cerpen Bawuk karya Umar
Kayam dengan judul Sikap Feminis Tokoh Bawuk dalam Cerpen Bawuk karya Umar Kayam:
Kajian Feminisme Sastra.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
Bagaimanakah perwujudan feminisme tokoh Bawuk yang terdapat dalam Cerpen Bawuk
karya Umar Kayam?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui dan mendeskripsikan perwujudan feminisme
tokoh Bawuk yang terdapat dalam Cerpen Bawuk karya Umar Kayam.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Tokoh
Tokoh menurut Abrams (Nurgiantoro, 2010: 165) orang yaang ditampilkan dalam suatu
karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan
kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan
dalam tindakan. Pendapat Abrams ini sebenarnya kurang tepat. Menurut Atmazaki (1990: 61)
tokoh tidak mesti selalu manusia. Binatang dan tumbuh-tumbuhan pun sering dijadikan tokoh
lain. Tumbuh-tumbuhan pun sering dijadikan tokoh. Tokoh sering dikenal dengan istilah
karakter, sedangkan penokohan dengan istilah karakterisasi. Parrine (Kasiyun, 2004: 31)
menyatakan bahwa karakter adalah representasi sifat kemanusiaan penulis, khususnya
kualitas diri yang menentukan seseorang bereaksi pada kondisi yang bermacam-macam, atau
mencoba untuk membentuk lingkungannya.
Menurut Adi (2011: 47) sebuah cerita terbentuk karena terdapat pelaku atau tokoh dalam
cerita tersebut. seluruh pengalaman yang diceritakan dalam cerita cerita berdasarkan pada
tingkah laku dan pengalaman yang dijalani oleh para pelakunya, melalui pelaku cerita inilah
pembaca mengikuti jalan seluruh cerita, karena pembaca ikut mengalami hal-hal yang
dialami pelakunya.
Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau perlakuan di dalam
berbagai peristiwa dalam cerita (Sudjiman, 1988: 16). Jadi, tokoh merupakan orang yang
memainkan peran dalam karya sastra (Zaidan, 2007: 2006). Sebagai subjek yang
menggerakkan peristiwa-peristiwa dalam suatu cerita, tokoh tentu saja dilengkapi dengan

watak atau karakteristik tertentu. Watak adalah kualitas tokoh yang meliputi kualitas nalar
dan jiwa yang membedakkannya dengan tokoh cerita yang lain (Sudjiman, 1988: 23). Watak
itulah yang menggerakkan tokoh untuk melakukan perbuatan tertentu sehingga cerita bisa
menjadi hidup. Tokoh menurut Aminuddin (2002: 79) adalah pelaku yang mengemban
peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita. Berdasarkan
fungsinya, tokoh dibedakan menjadi tokoh sentral atau tokoh utama dan tokoh nawahan atau
tokoh tambahan. Kriteria yang digunakan untuk menentukan tokoh utama bukan frekuensi
kemunculan tokoh itu di dalam cerita, melainkan intensitas keterlibatan tokoh dalam
peristiwa yang membangun cerita (Sudjiman, 1988: 1718).

B. Teori Feminisme Sastra


Sastra adalah salah satu dari berbagai bentuk representasi budaya yang menggambarkan
relasi dan rutinitas jender. Selain itu, teks sastra juga dapat memperkuat dan membuat
stereotipe jender baru yang lebih merepresentasikan kebebasan jender. Oleh karena itu, kritik
sastra feminis membantu membangun studi jender yang direpresentasikan dalam sastra
(Goodman, 2001: 2). Kajian sastra feminisme secara sederhana dapat di artikan sebagai
kajian yang memandang sastra dengan kesadaran khusus,kesadaran bahwa ada jenis kelamin
yang banyak berhubungan dengan budaya,sastra,dan kehidupan kita.Jenis kelamin inilah
yang membuat perbedaan di antara semuanya yang juga membuat perbedaan pada diri
pengarang, pembaca, perwatakan, dan pada faktor luar yang mempengaruhi situasi karang
mengarang (Sugihastuti, 2005: 5).
Dalam arti leksikal, feminisme adalah gerakan wanita yang menuntut persamaan hak
sepenuhnya antara kaum wanita dan pria (KBBI, 1996: 241). Feminisme ialah teori tentang
persamaan antara laki-laki dan wanita di bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau kegiatan
terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan wanita (Goefe, 1986: 837).
Kritik sastra feminis di Indonesia diperkenalkan antara lain oleh Soenardjati Djajanegara.
Kritik ini digunakan untuk menyebut disiplin ilmu kritik sastra yang lahir sebagai respon atas
berkembangluasnya feminisme di dunia. Kritik sastra feminis muncul ketika citra perempuan
di dalam karya sastra hampir selalu ditempatkan sebagai korban, bersifat sentimentalis, dan
memiliki kepekaan spiritualitas di tengah kekuasaan laki-laki yang mengungkung.

Menurut Djajanegara (2003:27) Kemunculan kritik sastra ini berawal dari hasrat pertama
yang mendorong munculnya gerakan feminisme dalam sastra adalah adanya kesadaran dari
kaum perempuan bahwa dalam sastra pun perempuan masih tampak sebagai pihak yang
tersubordinasi. Sedangkan menurut Sugihastuti (2005:29), kritik sastra feminis yang
mempunyai definisi sebagai kajian sastra yang mengarahkan pada fokus analisis perempuan
muncul dari adanya kenyataan bahwa di dalam karya sastra terdapat permasalahan gender.
Kolodny menjelaskan bahwa kritik sastra feminis membeberkan wanita menurut stereotipe
seksual, baik dalam kesusastraan maupun dalam kritik sastra kita, dan juga menunjukkan
bahwa aliran-aliran serta cara-cara yang tidak memadai telah digunakan untuk mengkaji
tulisan wanita secara tidak adil dan tidak peka. Menurutnya, mereka yang menekuni bidang
sastra pasti menyadari bahwa biasanya karya sastra, yang pada umumnya hasil tulisan lakilaki menampilkan stereotipe wanita sebagai istri dan ibu yang setia dan berbakti, wanita
manja, pelacur, dan wanita dominan. Citra-citra wanita seperti itu ditentukan oleh aliranaliran sastra dan pendekatan-pendekatan tradisional yang tidak cocok dengan keadaan karena
penilaian demikian tentang wanita tidak adil dan tidak teliti. Padahal wanita memiliki
perasaan-perasaan yang sangat pribadi, seperti penderitaan, kekecewaan atau rasa tidak aman
yang hanya bisa diungkapkan secara tepat oleh wanita itu sendiri.
Teori feminis muncul seiring dengan bangkitnya kesadaran bahwa sebagai manusia,
perempuan juga selayaknya memiliki hak-hak yang sama dengan laki-laki. John Stuart Mill
dan Harriet Taylor menyatakan bahwa untuk memaksimalkan kegunaan yang total
(kebahagiaan/kenikmatan) adalah dengan membiarkan setiap individu mengejar apa yang
mereka inginkan, selama mereka tidak saling membatasi atau menghalangi di dalam proses
pencapaian tersebut. Mill dan Taylor yakin bahwa jika masyarakat ingin mencapai kesetaraan
seksual atau keadilan gender, maka masyarakat harus memberi perempuan hak politik dan
kesempatan, serta pendidikan yang sama dengan yang dinikmati oleh laki-laki (Tong, 1998 :
23).
Fokus pembicaraan yang menyangkut masalah eksistensi kewanitaan dalam kritik sastra,
terkait erat dengan lima pokok masalah (Selden, 1991).
1. Biologis: dari sudut pandang lelaki, wanita adalah Tofa Mulier in Utero perempuan
tidak lain adalah sebuah kandungan. Jadi, dilihat dari peranan tubuh wanita, ia adalah
tempat penerus keturunan. Dari pihak feminis, sebaliknya berpendapat atribut biologis
wanita lebih merupakan sumber keunggulan dari pada kerendahan (inferioritas).

2. Pengalaman: ada perbedaan yang jelas dari segi persepsi dan emosi wanita dan lakilaki dalam hal penting dan yang tidak penting.
3. Wacana: Foucaut berpendapat bahwa apa yang benar tergantung pada siapa yang
menguasai wacana. Maka, adalah wajar kalau terjadi dominasai laki-laki dalam
kebenaran yang terkandung dalam karya sastra yang yang ditulis kaum laki-laki.
Ada dugaan (Robin Lakoff=sosiolinguis) bahwa bahasa wanita terkesan agak rendah,
mempunyai ketidakpastian, dangkal, sembrono, tidak serius, dan penuh perasaan.
Agar wanita lebih dominan, maka harus berusaha merebut wacana dari pria.
4. Ketaksadaran: Teori psikoanalitik Lacan dan Krisfeva berbicara tentang hal ini.
Seksualitas wanita bersifat revolusioner, subversive, beragam dan terbuka. Sebab itu
ada upaya menolak untuk mendefinisikan seksualitas wanita.
5. Kondisi sosial dan ekonomi: kaum wanita berupaya membuat perimbangan perubahan
kondisi

sosial

dan

ekonomi

dalam

interaksi

wanita

dan

laki-

laki.

Dalam penelitian perlu diangkat masalah-masalah di atas sebagai fokus penelitian


melihat peranan dan karakter tokoh (perwatakan tokoh) wanita. Kita dapat mengkaji
bagaimana peranan dan karakter tokoh-tokoh wanita dalam novel-novel Indonesia
dari periode ke periode. Salah satu fokus, atau dua, bahkan tiga fokus di atas dapat
dijadikan pusat kajian.
Terutama dalam mengkaji karya-karya yang ditulis penulis wanita. Kalau kita lihat dalam
bidang yang lebih luas ada beberapa masalah yang bisa dikaji dengan kritik feminis. Pada
umumnya semua karya sastra yang menampilkan tokoh wanita, baik dalam ragam fiksi
maupun puisi (sajak) dapat dikaji dengan pendekatan feminis. Yang dikaji dalam
hubungannya dengan tokoh wanita adalah :
a. Peranan tokoh wanita dalam karya sastra itu baik sebagai tokoh protagonis ataupun
tokoh antagonis, atau tokoh bawahan.
b. Hubungan tokoh wanita dengan tokoh-tokoh lain yaitu tokoh laki-laki dan tokoh
wanita lain.
c. Perwatakan tokoh wanita, cita-citanya, tingkah lakunya, perkataannya (tutur
bahasanya), dan pandangannya tentang dunia dan kehidupan.
d. Sikap penulis ( pengarang ) wanita dan pengarang laki-laki terhadap tokoh wanita.
Berdasarkan uraian di atas, pada hakikatnya kritik feminis dapat dipakai untuk
mengkaji karya sastra hasil penulis laki-laki dan wanita. Pengeritik feminis (pembaca

feminis) dapat melihat bagaimana penampilan tokoh wanita dalam karya sastra
pengarang laki-laki dan dalam karya sastra wanita.

BAB III
PEMBAHASAN
Tokoh Bawuk merupakan tokoh sentral dalam cerpen ini. Dia memang perempuan
tetapi dia dapat menjadikan dirinya layaknya seorang lak-laki. Mengapa demikian, karena
tokoh Bawuk melakukan hal yang tidak dilakukan oleh seorang perempuan. Sempat suatu
ketika Bawuk dimarahi oleh orang tuanya karena melakukan pekerjaan yang diboleh
dilakukan oleh seorang perempuan. Adapun kutipannya sebagi berikut:
Tetapi tiap kali ayah-ibunya berusaha menegur Bawuk tentang hal ini, selalu
saja dengan cara yang khas Bawuk. Bawuk berhasil menyakinkan orang
tuanya bahwa apa yang dikerjakannya itu tidak apa-apa. Dan anehnya,
ayahnya yang bisa begitu keras terhadap bawahannya bahkan juga terhadap
kakak-kakak Bawuk, seringkali harus banyak mengalah kepada anak-anak
yang bungsu ini. (Kayam, 1975: 87)
Berdasarkan kutipan di atas, tokoh Bawuk telah melakukan suatu pekerjaan yang
layaknya dilakukan oleh orang lain, lebih tepatnya pantas dilakukan oleh seorang laki-laki.
Bahkan ayah dan ibunya pernah menegur Bawuk akan aktivitas yang dilakukan oleh Bawuk,
namun dengan cara yang digunakannya, Bawuk berhasil menyakinkan orang tuanya bahwa
apa yang dilakukan Bawuk itu merupakan hal yang wajar dan Bawuk bisa melakukan hal
tersebut. Dan anehnya ayahnya yang biasa keras kepada bawahannya bahkan kepada kakakkakak Bawuk, sering kali kalah dengan anak bungsunya yaitu si Bawuk.
Tidak hanya di situ saja, walaupun tokoh Bawuk telah menjadi seorang istri, namun
tokoh Bawauk tetap saja melakukan hal yang tidak selayaknya dilakukan oleh seorang
perempuan. Akan tetapi tokoh Bawuk merubah paradigma tersebut menjadi sebuah
kewajaran. Adapun kutipannya sebagai berikut:
Di T Bawuk melihat, meraba dan merasakan dari jarak yang jauh lebih dekat
lagi daripada sebelumnya apa yang selama ini dipertaruhkan suaminya.
Sesuatu yang menempel pada diri suaminya itu telah menjadi semacam setan
kecil yang sepenuhnya telah menguasai suaminya (Kayam, 1975: 104)

Berdasarkan data kutipan cerpen di atas, ketika tokoh Bawuk pindah daerah T, dia
bisa melihat, meraba serta merasakan lebih dekat apa yang dilakukan oleh suaminya yaitu
gerakan revolusi yang dilakukan PKI. Tokoh Bawuk ikut andil dalam aktivitas tersebut,
padahal tokoh Bawuk merupakan sosok perempuan, namun walaupun dia seorang
perempuan, dia tidak mau kalah dengan tokoh laki-laki pada umumnya. Dia lebih senang
berperan aktif dalam gerakan tersebut melalui jaringan yang dibuat oleh suaminya yaitu
tokoh Hassan. Ada beberapa kutipan lagi yang dapat menunjukkan sikap penyetaraan gender
yang dimiliki oleh tokoh Bawuk. Adapun kutipannya sebagi berikut:

Tiap kali Bawuk bersama kawan-kawannya berdiskusi dengan kaum ibu, para
isteri birokrat desa dan isteri petani-petani. Bawuk melihat kilatan-kilatan mata
mereka itu yang jauh berbeda dari stereotip petani-petani yang selama ini
digambarkan sebagai redup dan membosankan. Kilatan mata mereka
mengikuti mata suami-suami mereka. Keras, tegang dan penuh dengan
ketetapan hati. (Kayam, 1975: 104-105)

Berdasarkan data kutipan di atas, terlihat bahwa tokoh Bawuk bersama teman-temannya yang
merupakan para istri birokrat desa dan istri para petani. Mereka tengah melakukan diskusi
untuk mengatur siasat guna gerakan revolusi PKI. Mereka berbeda dengan persepsi
masyarakat awam tentang ibu-ibu birokrat desa serta ibu-ibu petani. Mereka semua telah
memiliki mata yang tajam, hidup yang keras, ketegangan, serta penuh ketetapan hati yang
telah mereka ikuti dari suaminya. Di bawah ini juga ada kutipan yang menunjukkan sikap
penyetaraan gender yang dilakukan oleh tokoh Bawuk. Adapun kutipannya sebagai berikut:

Pada saat-saat itu, bila malam telah larut, anak-anaknya telah tidur dan diskusidiskusi telah selesai Bawuk sering memikirkan tentang perjalanannya bersama
Hassan yang penuh dengan busa ideologi, kegairahan untuk mereguk
kehidupan hingga dasarnya bersama dengan keyakinannya itu. (Kayam, 1975:
106)
Berdasarkan data kutipan cerpen di atas, tokoh Bawuk telah diajarkan tentang apa itu
kehidupan. Ketika menjelang larut malam dan semua anak-anaknya telah tidur, dia
memikirkan tentang kehidupannya, tokoh Bawuk yang telah berbusa akan ideologi revolusi
dan tidak selayaknya dia dijejali dengan ideologi karena tokoh Bawuk merupakan sosok
perempuan, namun semuanya berkebalikan, dia tidak menghiraukan bahwa dia adalah sosok

perempuan yang seharusnya merawat dan membesarkan anak-anaknya dengan kasih sayang.
Tidak hanya sampai di situ saja, terdapat kutipan yang menunjukkan sikap yang dimiliki
tokoh Bawuk. Adapun kutipannya sebagai berikut:
Dari Pak Jogo, Bawuk mendapat tugas menjadi kurir dan mengamati gerakgerik mahasiswa. Menurut Pak Jogo, Bawuk mempunyai potongan yang tepat
untuk melaksanakan tugas itu. Dia tidak pernah menonjol selama ini di S.
Tidak terlalu banyak orang S yang mengenalnya sebagai isteri Hassan, tidak
pernah ikut menonjol dalam berbagai rapat atau seminar terbuka yang
diorganisir oleh PKI, Lekra atau anak organisasi yang lainnya, dan yang lebih
penting kata Pak Jogo, Bawuk memiliki kecerdasan serta kesabaran yang
diperlukan buat itu semua. (Kayam, 1975: 109)
Berdasarkan data kutipan di atas, tokoh Bawuk telah mengenal jaringan yang ada di
S. Tokoh Bawuk bertemu dengan tokoh Pak Jogo, Bawuk mendapatkan tugas sebagai kurir
padahal tugas tersebut tidak selayaknya dijalani oleh seorang perempuan. Namun dengan
tekad yang kuat tokoh Bawuk siap menerima tugas tersebut karena dia yakin bahwa dia bisa.
Mengapa tokoh Pak Jogo memberikan tugas kepada tokoh Bawuk? Bawuk mempunyai
potongan yang tepat untuk melaksanakan tugas itu. Dia tidak pernah menonjol selama ini di
S. Tidak terlalu banyak orang S yang mengenalnya sebagai isteri Hassan, tidak pernah ikut
menonjol dalam berbagai rapat atau seminar terbuka yang diorganisir oleh PKI, Lekra atau
anak organisasi yang lainnya, dan yang lebih penting kata Pak Jogo, Bawuk memiliki
kecerdasan serta kesabaran yang diperlukan buat itu semua. Itulah yang menjadikan tokoh
Bawuk menjadi luar biasa.
Tidak hanya data kutipan di atas, tokoh Bawuk juga sempat menjadi mata-mata untuk
mengawasi gerak-gerik para tentara dalam mengintai gerakan revolusi PKI. Adapun
kutipannya sebagai berikut:

....Karenanya Bawuk harus lebih meningkatkan kewaspadaannya serta lebih


mempertajam lagi pancainderanya di dalam menilai gerak-gerik tentara.
(Kayam, 1975: 104)
Berdasarkan data kutipan di atas, tokoh Bawuk harus meningkatkan kewaspadaanya
dalam tugas pengintaian gerak-gerik para tentara tersebut. Sebenarnya tugas memata-matai
tentara ini amatlah berat terlebih tokoh Bawuk seorang perempuan dan memiliki dua orang
buah hati. Akan tetapi semua itu dikesampingkan demi bertemu dengan sang pujaan hati

yaitu tokoh Hassan. Dan kutipan yang terakhir menunjukkan bahwa tokoh Bawuk pun
memiliki pilihan yang bisa dia argumentasikan kepada saudaranya. Adapun kutipannya
sebagai berikut:

Kalau begitu, kenapa tidak disini saja menunggu suamimu itu. Kau bisa
menemani ibu, menunggui anak-anakmu. Aku bisa mengusahakan
perlindungan dan surat-surat yang kauperlukan.
Aku condong untuk tetap memilih menunggu di M, Mas Sun.
Kalau begitu kau tidak hanya menunggu di M. Kau pasti ada tugas
tertentu, Wuk, dari kawan-kawan Hassan.
Tunggu. Tunggu, Mas Sun. Biar ganti saya yang tanya.
Wah, ini namanya kena interogasi. Baiklah, Mas Tok. (Kayam, 1975:
115)
Tapi mas-mas, mbak-mbak, mammie-pappie, itulah dunia pilihanku.
Dunia abangan yang bukan priyayi, dunia yang selalu resah dan gelisah, dunia
yang penuh illusi yang memang seringkali bisa indah tiap kali. (Kayam, 1975:
122)
Berdasarkan data kutipan di atas, tokoh Bawuk dapat mempertahankan pilihannya,
walaupun saudara laki-lakinya terus mendesaknya namun tokoh Bawuk tetap akan pergi
menunggu suaminya yang tidak tahu rimbanya. Sebenarnya saudaranya telah tahu keputusan
dari tokoh Bawuk akan tetapi tokoh Bawuk selalu dan selalu diinterogasi bagaikan
narapidana. Dari pendeskripsian mulai dari awal sampai akhir, telah jelas bahwa bagaimana
bentuk feminisme yang dimiliki tokoh Bawuk.

BAB IV
PENUTUP
1. Simpulan
Bertolak dari hasil analisis data dapat ditarik simpulan bahwa perwujudan pandangan
feminisme yang terdapat dalam Cerpen Bawuk Karya Umar Kayam tampak dalam sikap dan hidup
yang dimiliki oleh tokoh utama wanita, yakni Bawuk. Melalui Bawuk perempuan seharusnya
menyadari hak dan kewajiban yang dimilikinya. Perempuan tidak boleh disamakan dengan laki-laki
karena sosok perempuan juga memiliki hak untuk memilih apa yang dianggap layak.
Terkadang orang lain terutama sosok laki-laki menanggap sosok perempuan tidak bisa apaapa dalam kata lain perempuan itu lemah. Tetapi sosok perempuan itu kuat dalam segala hal namun
terkadang perasaan perempuan terlebih dahulu muncul dari pada logikanya. Perjuangan serta usaha

feminisme untuk mencapai tujuan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu

caranya adalah berusaha mendapatkan hak dan kewajiban yang sejajar dengan kaum laki-laki.
Oleh karena itu, kemudian muncul istilah equal right's movement (gerakan persamaan hak).
Cara lainnya adalah membebaskan perempuan dari ikatan lingkungan domestik atau
lingkungan keluarga dan rumah tangga, dinamakan dengan women's liberation
movement yaitu sebuah gerakan pembebasan wanita. Pada akhirnya, wanita dapat
menunjukkan tokoh-tokoh citra wanita yang kuat dan mendukung nilai-nilai feminisme.
2. Saran
Saran peneliti kepada peneliti lain, setelah penelitian ini diharapkan lebih kreatif dalam
meneliti dan menelaah kajian sastra berperspektif gender dengan menggunakan pendekatan sosiologi
sastra. Inovasi-inovasi lain pun diharapkan akan hadir untuk melengkapi penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. 2001. Seks, Gender & Reproduksi Kekuasaan. Tarawang, Yogyakarta.
Cavallaro, Dani. 2004. Critical and Cultural Theory, terj. Laily Rahmawati. Yogyakarta:
Niagara.
Eagleton, Terry. 2006. Teori Sastra : Sebuah Pengantar Komprehensif, terj.Harfiyah
Widiawati dan Evi Setyarini. Yogyakarta : Jalasutra.
Kayam, Umar. 1975. Sri Sumarah dan Bawuk. Jakarta: Pustaka Jaya
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Selden, Raman. 1985. Panduan Membaca Teori Sastra Masa Kini, terj. Rachmat Djoko
Pradopo. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Tong, Rosemarie Putnam. 1998. Feminist Thought : Pengantar paling Komprehensif kepada
Aliran Utama Pemikiran Feminis, terj. Aquarini Priyatna Prabasmoro. Yogyakarta:
Jalasutra.
Suwondo S.H, Nani. 1981. Kedudukan Wanita Indonesia.Jakarta Ghalia Indonesia.
Sofia, Adib. 2009. Aplikasi Kritik Sastra feminis. Yogyakarta: Citra Pustaka.
Welleck, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan, terj. Melani Budianta. Jakarta:
Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai