Anda di halaman 1dari 29

ANALISIS FEMINISME PADA CERPEN “PELAJARAN MENGARANG”

KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA

MAKALAH
Diajukan Sebagai Bagian dari Nilai UAS Mata Kuliah Kajian Prosa Bahasa Indonesia
Dosen Pengampu Akademik David Setiadi, M.hum.

Oleh :
Nidia Azzahra
1831321006

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUKABUMI
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Alasan Pemilihan Korpus


Penulis memilih salah satu judul dari buku antologi cerpen karya Seno Gumira Ajidarma.
Cerpen yang berjudul “Pelajaran Mengarang” menurut penulis cerpen ini menarik, karena jalan
ceritanya tentang keadaan sosial yang mungkin saja terjadi di kehidupan yang nyata. Cerpen
yang berkisah tentang seorang anak sekolah dasar yang mengalami kesulitan dalam pelajaran
mengarang di kelasnya menjadi daya tarik tersendiri bagi penulis. Di sini penulis melihat
banyak keterkaitan antara cerpen Pelajaran Mengarang ini dengan kajian feminisme. Ceritanya
yang menggambarkan bagaimana ibu Sandra berusaha dengan berbagai cara demi menghidupi
anaknya, bagaimana Sandra dengan keterpurukannya membayangkan pekerjaan ibunya itu,
sehingga penulis memutuskan untuk menganalisis cerpen tersebut dengan pendekatan
feminisme.
1.2 Pengarang dan karyanya
Seno Gumira Ajidarma lahir di Boston, Amerika Serikat pada tanggal 19 Juni 1958, tetapi
dibesarkan di Yogyakarta. Ayahnya adalah Prof. Dr. MSA Sastroamidjojo, guru besar Fakultas
MIPA Universitas Gadjah Mada. Ibunya, Poestika Kusuma Sujana, adalah dokter spesialis
penyakit dalam. Seno menikah dengan Ikke Susilowati pada tahun 1981 dan dikaruniai seorang
anak bernama Timur Angin.
Seno menyelesaikan sekolahnya di SD, SMP, dan SMA di Yogyakarta. Selanjutnya, ia
kuliah di Jurusan Sinematografi, Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) tahun 1977.
Pada tahun 2000, ia menyelesaikan studi di Magister Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia dan
lima tahun kemudian ia menyelesaikan Doktor Ilmu Sastra, Universitas Indonesia.
Proses kreatif Seno dimulai tahun 1975, saat itu ia berusia 17 tahun. Keterlibatan Seno di
dunia seni dimulai saat ia menjadi anggota rombongan sandiwara Teater Alam pimpinan
Azwar A.N. Berawal dari dunia teater, Seno kemudian masuk ke dunia sastra. Karyanya yang
pertama berbentuk puisi dimuat dalam rubrik "Puisi Lugu" dalam majalah Aktuil, asuhan
Remy Sylado. Selanjutnya, Seno menulis cerpen dan esai. Cerpennya yang pertama "Sketsa
dalam Satu Hari" dimuat dalam surat kabar Berita Nasional Tahun 1976. Esainya yang pertama
dimuat dalam harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta.
Karya Seno antara lain berbentuk kumpulan puisi, cerpen, novel, dan esai.
Berikut karya-karya Seno. Kumpulan puisi 1) Mati Mati Mati (1975), 2) Bayi Mati (1978),
3) Catatan-catatan Mira Sato(1978). Kumpulan cerpen 1) Manusia Kamar (1988) kemudian
dicetak ulang dengan judul yang berbeda Matinya Seorang Penari Telanjang (2000), 2)
Penembak Misterius (1993, 2007), 3) Saksi Mata (1994), 4) Dilarang Menyanyi di Kamar
mandi (1995), 5) Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (1996), 6) Negeri Kabut (1996), 7) Atas
Nama Malam (1999), (8) Iblis Tak Pernah Mati (1999, 2001), (9) Dunia Sukab (2001), (10)
Kematian Donny Osmond (2001), (11) Aku Kesepian Sayang, Datanglah Menjelang Kematian
(2004), (12) Sepotong Senja Untuk Pacarku (2002), (13) Linguae (2007). Kumpulan naskah
drama Mengapa Kau Culik Anak Kami (2001) Drama "Mengapa Kau Culik Anakku"
dipentaskan di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, 6-8 Agustus 2001,
dan di Societeit, Taman Budaya, Yogyakarta, 16—18 Agustus 2001. Pertunjukan diproduksi
oleh Perkumpulan Seni Indonesia bekerja sama dengan Kontras (Komisi untuk Orang Hilang
dan Korban Tindak Kekerasan). Naskah drama ini berasal dari sebuah cerpen Seno "Cinta dan
Ninja" dalam kumpulan Iblis Tak Pernah Mati yang merupakan juga fragmen dari Naskah
drama Tumirah, Sang Mucikari, dipentaskan pertama kali di Gedung Kesenian Jakarta, Jumat
29 Januari 1999, oleh Teater Yuka dengan sutradara Yenni Djajoesman. Naskah drama lainnya
yang terdapat di dalam kumpulan ini adalah "Clara" yang juga berasal dari cerpen "Clara" yang
dimuat dalam kumpulan Iblis Tak Pernah Mati. Karya dramanya yang lain "Pertunjukan
Segera Dimulai" (1976). Komik, antara lain, Jakarta 2039, 40 Tahun 9 Bulan setelah 13—14
Mei 1998 (2001), Sukab Intel Melayu: Misteri Harta Centini (2002), Taxi Blues (2001). Novel,
antara lain, Jazz, Parfum, dan Insiden (1996), Kitab Omong Kosong (1994), Biola Tak
Berdawai (2004), Kalatidha (2007), Wisangeni Sang Buronan (2000), Naga Bumi I Jurus
Tanpa Bentuk (2009). Esai, antara lain Affair Obrolan Tentang Jakarta (2004), Ketika
Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (1997, 2005), Kisah Mata Fotografi Antara Dua
Subjek: Perbincangan Tentang Ada (2002), Layar Kata: Menengok 20 Skenario Pemenang
Citra Festival Film Indonesia 1973—1992 (2008), Sembilan Wali dan Siti Jenar (2007), Surat
dari Palmerah (2002).
Beberapa karya Seno sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris di antaranya cerpen "Saksi
Mata" diterjemahkan oleh Jan Lingard dengan judul "Eye Witness" dan Negeri Kabut"
diterjemahkan oleh Tim Kortschak dengan judul "The Land of Mists". Dua cerpen tersebut
beserta terjemahannya diterbitkan dalam buku Sastrawan Indonesia: Seno Gumira Ajidarma:
Penerima Hadiah Sastra Asia Tenggara (1997). Salah satu karya Seno—cerpen "Penari"—
diubah menjadi skenario film pada tahun 1979 dan difilmkan untuk televisi oleh Nan Triveni
Achmas, Produksi Sinema Sejati tahun 1998.
Penghargaan yang pernah diperoleh Seno, antara lain, adalah 1) cerpen "Saksi Mata"
mendapat penghargaan Dimny O'Hearn Prize for Translation, Australia, 1977, 2) cerpen
"Kejaian" mendapat penghargaan dari Radio Arif Rahman Hakim, 1997, 3) cerpen "Dunia
Gorda" mendapat penghargaan dari majalah Zaman,1980, 4) cerpen "Cermin" mendapat
penghargaan dari majalah Zaman, 1983, 5) cerpen "Midnight Express" mendapat penghargaan
dari harian Kompas, 1990, 6) cerpen "Segitiga Emas" mendapat penghargaan dari harian Suara
Pembaruan, 1991, 7) cerpen "Pelajaran Mengarang" mendapat penghargaan dari harian
Kompas, 1993, 8) kumpulan cerpen Saksi Mata mendapat penghargaan Penulisan Kreatif dari
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Jakarta,1995, 9) kumpulan cerpennya Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi mendapat
penghargaan South East Asia Write Award, Bangkok, Thailand, 1997, 10) Seno memperoleh
penghargaan dari Chatulistiwa Literary Award tahun 2005, dan 11) Ahmad Bakrie Award (tapi
dia menolak) tahun 2012. Cerpennya "Cinta di Atas Perahu Cadik" terpilih sebagai cerpen
terbaik pilihan Kompas tahun 2007 sekaligus menjadi judul antologi Cerpen Kompas Pilihan
2007.
Seno Gumira Aji Darma dikenal sebagai pengarang yang seringkali mengedepankan
masalah sosial dan politik dalam karya-karyanya (Tjahjono Widijanto, 2007). Pembicaraan
mengenai Seno pernah dilakukan oleh Tirto Suwondo dalam makalahnya yang berjudul, "Seno
Gumira Ajidarma dan Pelajaran Mengarang" (Bahasa dan Sastra, tahun XIV, 3, 1996).
1.3 Landasan Teoritis
Landasan teori yang dijadikan sebagai acuan untuk proses dan hasil penelitian tersebut,
termasuk dalam kajian cerpen “Pelajaran Mengarang” karya Seno G Ajidarma. Landasan teori
merupakan sebuah penjelasan mengenai teori yang berkaitan dengan analisis structural dan
pendekatan feminisme.
1.3.1 Landasan Strukturalisme
Hawkes (dikutip Pradopo, 2007:75) mengatakan bahwa strukturalisme adalah struktur
yang unsur-unsurnya saling berhubungan erat dan setiap unsur itu hanya mempunyai makna
dalam hubungannya dengan unsur lainnya dan keseluruhannya.
Menurut Jabrohim (2003:55) dalam menganalisis strukturalisme suatu karya sastra, hanya
memusatkan perhatian pada otonomi sastra sebagai karya fiksi. Artinya, penyerahan
pemberian makna karya sastra yang dimaksud terhadap eksistensi karya itu sendiri, tanpa
mengaitkan dengan unsur-unsur di luar signifikansinya. Hal ini dikarenakan strukturalisme
tergolong pendekatan objektif yang hanya mengkaji karya sastra itu sendiri.
Sejalan dengan pendapat itu, Teeuw (dikutip Jabrohim, 2003:55) menyatakan bahwa
analisis struktural merupakan tugas prioritas bagi seorang peneliti sastra sebelum ia melangkah
pada hal-hal lain. Hal itu berdasarkan anggapan bahwa pada dasarnya karya sastra merupakan
“dunia dalam kata” yang mempunyai makna intrinsik yang hanya dapat digali dari karya sastra
itu sendiri. Jadi, untuk memahami makna karya sastra secara optimal, analisis strukturalisme
yaitu unsur pembangun terhadap karya sastra adalah suatu tahap yang sulit dihindari atau
secara lebih ekstrem hal itu harus dilakukan.
Penulis menggunakan pendekatan struktural karena pendekatan ini memandang karya
sastra sebagai teks mandiri. Dengan pendekatan ini penulis bermaksud untuk menjaga
keobjektifan sebuah karya sastra, sehingga untuk memahami maknanya, karya sastra harus
dikaji berdasarkan strukturnya sendiri, lepas dari latar belakang sejarah, lepas dari diri dan niat
penulis dan lepas pula dari efeknya pada pembaca (Jabrohim, 2003:54).
Strukturalisme dalam penelitian sastra yang memusatkan perhatiannya pada elemen atau
unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Elemen itu disebut unsur intrinsik, yaitu
unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur itu menyebabkan karya sastra
hadir sebagai karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang secara
langsung turut serta membangun cerita (Nurgiantoro, 2004:23).
Stanton (dikutip Nurgiyantoro, 2000:207—243) menyatakan bahwa unsur pembangun
dalam sebuah karya sastra sebagai berikut.
1. Alur dan pengaluran
Salah satu elemen terpenting dalam membentuk sebuah karya fiksi adalah alur cerita
Menurut Nurgiyantoro (2000:110), alur adalah rangkaian peristiwa yang tersaji secara
berurutan sehingga membentuk sebuah cerita. Alur merupakan cerminan atau perjalanan
tingkah laku para tokoh dalam bertindak, berpikir dan bersikap dalam menghadapi berbagai
masalah dalam suatu cerita. Suharianto (1982:28) mengatakan alur adalah cara pengarang
menjalin kejadian-kejadian secara beruntun dengan memperhatikan hukum sebab akibat,
sehingga merupakan kesatuan yang padu, bulat dan utuh. Menurut KBBI rangkaian peristiwa
yang direka dan dijalani dengan seksama dan menggerakan jalan cerita melalui kerumitan kea
rah klimaks dan penyelesaian.
Untuk menjelaskan alur dan pengaluran dalam analisis ini, penulis menggunakan kaitan
kausal dan fungsi utama. Secara teknis fungsi utama itu diberi nomor dan dilingkari. Hubungan
antara fungsi utama itu ditujukan oleh tanda panah. Artinya, arah panah itu menunjukan suatu
fungsi utama yang mengakibatkan fungsi utama lainnya.
2. Tokoh dan Penokohan
Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi, sehingga peristiwa itu
mampu menjalin suatu cerita, sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku itu
disebut penokohan (Aminuddin, 2004:79). Penokohan atau perwatakan ialah pelukisan
mengenai tokoh cerita; baik lahirnya maupun batinnya yang dapat berupa: pandangan
hidupnya, sikapnya, keyakinannya, adat-istiadatnya dan sebagainya (Suharianto, 1982:31).
Teknik pelukisan tokoh dalam suatu karya sastra naratif/fiksi dibedakan menjadi teknik
ekspositoris, atau teknik analitik dan teknik dramatik (Nurgiyantoro, 2000:90). Teknik analitik
adalah pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan
secara langsung. Tokoh hadir dan dihadirkan oleh pengarang kehadapan pembaca secara tidak
berbelit-belit melainkan langsung mendeskripsikan sikap, sifat, watak, tingkah laku, atau ciri
fisiknya. Teknik darmatik merupakan pelukisan tokoh dilakukan secara tidak langsung.
Pengarang tidak mendeskripsikan secara langsung sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh
cerita.
3. Tema
Tema (theme), menurut Stanton dan Kenny (dikutip Nurgiyantoro, 2000:67), adalah makna
yang terkandung oleh sebuah cerita. Namun, ada banyak makna yang dikandung dan
ditawarkan oleh cerita itu, maka masalahnya adalah makna khusus yang mana dapat
dinyatakan sebagai tema.
Menurut Hartoko dan Rahmant (dikutip Nurgiyantoro, 2000:67), untuk menentukan makna
pokok sebuah cerita, kita perlu memiliki kejelasan pengertian tentang makna pokok ,atau tema
itu sendiri. Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan
menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian
cerita. Tema bisa berupa persoalan moral, etika, agama, sosial budaya, teknologi, tradisi yang
terkait dengan masalah kehidupan.
4. Latar/Setting
Latar/Setting yaitu tempat atau waktu terjadinya cerita. Kegunaan latar atau setting dalam
cerita, biasanya bukan hanya sekedar sebagai petunjuk kapan dan dimana cerita itu terjadi,
melainkan juga sebagai tempat pengambilan nilai-nilai yang ingin diungkapkan pengarang
melalui ceritanya tersebut (Suharianto, 1982:32)
Nurgiyantoro (2000:230) mengatakan unsur-unsur setting dibedakan menjadi tiga unsur
pokok, yaitu setting tempat, setting waktu dan setting sosial. Setting tempat adalah settingyang
menggambarkan lokasi atau tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya
fiksi. Setting waktu adalah setting yang berhubungan dengan masalah “kapan” waktu
terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Setting sosial menyarankan
pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat
yang diceritakan dalam karya fiksi. Setting sosial dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat,
tradisi, keyakinan, pandangan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan dalam sebuah
cerita.
5. Sudut Pandang
Sudut pandang atau point of view adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam
cerita yang dipaparkannya (Aminuddin, 2004:90). Sudut pandang merupakan cara atau
pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar
dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca
(Abrams dikutip Nurgiyantoro, 2000:24).
Menurut Suharianto (1982:36) ada beberapa jenis pusat pengisahan, yaitu:
1) Pengarang sebagai pelaku utama cerita. Dalam cerita dengan jenis pusat pengisahan
ini, tokoh akan menyebut dirinya sebagai aku. Jadi seakan-akan cerita tersebut
merupakan kisah atau pengalaman diri pengarang.
2) Pengarang tidak terlibat didalam cerita (sudut pandang secara ekstern), yang dicirikan
dengan pronominal dia atau nama tokoh

1.3.2 Pendekatan Feminisme

Nugroho (2008: 61). Menurut Nugroho, gerakan feminis pada hakikatnya adalah
gerakan perubahan dan bukanlah gerakan untuk membalas dendam kepada kaum laki-laki.
Dengan demikian, dapat dikatakan gerakan transformasi wanita merupakan suatu usaha
untuk menciptakan hubungan antarsesama manusia (laki-laki dan wanita) agar lebih baik
dan baru. Hubungan ini meliputi hubungan ekonomi, politik, kultural, ideologi, lingkungan
dan termasuk di dalamnya hubungan antara laki-laki dan wanita.

Faham feminisme lahir dan mulai berkobar pada sekitar akhir 1960-an di Barat,
dengan beberapa faktor penting yang mempengaruhinya. Gerakan ini mempenganihi
banyak segi kehidupan dan mempengaruhi setiap aspek kehidupan perempuan (Sugihastuti
dan Suharto, 2005: 6).

Feminisme lahir dengan tujuan mencari keseimbangan antara laki-laki dengan


perempuan. Feminisme merupakan gerakan perempuan untuk menolak sesuatu yang
dimarginalisasikan, direndahkan, dinomorduakan, dan disubordinasikan oleh kebudayaan,
sosial, balk dalam bidang publik maupun bidang domestik.

Redyanto Noor (2005: 99) memberikan pengertian feminisme sebagai suatu


gerakan yang memusatkan perhatian pada perjuangan wanita dalam menempatkan
eksistensinya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tujuan feminisme adalah
meningkatkan kedudukan dan derajat wanita agar sama dan sejajar dengan kedudukan dan
derajat laki-laki (Djajanegara, 2000: 4).

Feminisme merupakan gerakan kaum wanita untuk menolak segala bentuk


tindakan marginalisasi (pembatasan), subordinasi (kedudukan) dan direndahkan oleh
kebudayaan dominan, dalam hal ini adalah kebudayaan paternalisme, baik dalam bidang
politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya. Gerakan ini bertujuan
meningkatkan kedudukan dan derajat wanita agar sama dan sejajar dengan kedudukan dan
derajat laki-laki, baik pada ranah domestik maupun publik.
Gerakan feminis berdampak sangat luas, salah satunya adalah di bidang sastra,
yaitu dengan munculnya kritik sastra feminis. Dalam sastra, feminis dikaitkan dengan cara-
cara memahami karya sastra baik dalam kaitannya dengan proses produksi maupun resepsi
(Ratna, 2008: 184). Dalam kaitannya dengan karya sastra, feminisme berkaitan erat dengan
kritik sastra feminisme yakni kajian karya sastra yang mendasarkan pada pandangan
feminisme yang menginginkan adanya keadilan dalam memandang eksistensi wanita, baik
sebagai penulis maupun dalam karya sastra-karya sastranya. Pengkritik memandang sastra
dengan kesadaran, khusus adanya jenis kelamin yang berhubungan dengan sastra, budaya
dan kehidupan (Djajanegara, 2000: 22).

Sejalan dengan itu, Redyanto Noor (2005: 99-100) mengungkapkan bahwa dalam
sastra, feminisme adalah studi sastra yang memfokuskan kepada wanita, yang
mengemukakan pemikiran berupa kritik terhadap dominasi laki-laki dengan
mengedepankan identitas wanita. Kritik sastra feminis bertujuan untuk menunjukkan citra
wanita dalam karya penulispenulis pria yang menampilkan wanita sebagai makhluk yang
dengan berbagai cara ditekan, disalahtafsirkan, serta disepelekan oleh tradisi patriarkal.

Selain itu menurut Rutven (dalam Muhammad Nurachmat Wirjosutedjo dan


Rachmat Djoko Pradopo ,2004) bahwa kritik sastra feminis antara lain menelusuri
bagaimana perempuan direpresentasikan, bagaimana teks terwujud dengan relasi gender
dan perbedaan sosial. Selain itu, kritik sastra feminis membicarakan bagaimana perempuan
dilukiskan dan bagaimana potensi yang dimiliki perempuan di tengah kekuasaan
partriarkhi dalam karya sastra.

Dan paparan di depan dapatlah disimpulkan bahwa feminisme adalah gerakan


persamaan antara laki-laki dan perempuan di segala bidang baik politik, ekonomi,
pendidikan, sosial dan kegiatan terorganisasi yang mempertahankan hak--hak serta
kepentingan perempuan.minan (Sugihastuti, 2002: 136)
1.4 Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, penulis dapat mengemukakan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Analisis Struktur teks cerpen “Pelajaran Mengarang” karya Seno G Ajidarma?
2. Bagaimana gambaran prasangka gender pada teks cerpen “Pelajaran Mengarang” karya
Seno G Ajidarma?
3. Bagaimanakah bentuk ketidakadilan gender pada teks cerpen “Pelajaran Mengarang”
karya Seno G Ajidarma?
4. Bagaimana bentuk eksploitasi perempuan pada teks cerpen “Pelajaran Mengarang” karya
Seno G Ajidarma?
BAB II
ANALISIS STRUKTUR CERPEN “ PELAJARAN MENGARANG “ KARYA SENO
GUMIRA AJIDARMA

2.1 Analisi Sintaksis

2.1.1 Alur dan Pengaluran

Salah satu elemen terpenting dalam membentuk sebuah karya fiksi adalah alur cerita
Menurut Nurgiyantoro (2000:110), alur adalah rangkaian peristiwa yang tersaji secara berurutan
sehingga membentuk sebuah cerita. Alur merupakan cerminan atau perjalanan tingkah laku para
tokoh dalam bertindak, berpikir dan bersikap dalam menghadapi berbagai masalah dalam suatu
cerita. Suharianto (1982:28) mengatakan alur adalah cara pengarang menjalin kejadian-kejadian
secara beruntun dengan memperhatikan hukum sebab akibat, sehingga merupakan kesatuan yang
padu, bulat dan utuh. Menurut KBBI rangkaian peristiwa yang direka dan dijalani dengan seksama
dan menggerakan jalan cerita melalui kerumitan kea rah klimaks dan penyelesaian.

Untuk menjelaskan alur dan pengaluran dalam analisis ini, penulis menggunakan kaitan
kausal dan fungsi utama. Secara teknis fungsi utama itu diberi nomor dan dilingkari. Hubungan
antara fungsi utama itu ditujukan oleh tanda panah. Artinya, arah panah itu menunjukan suatu
fungsi utama yang mengakibatkan fungsi utama lainnya.

Fungsi Utama dalam cerpen “ Pelajaran Mengarang “ antara lain :

1. Dimulainya pelajaran mengarang di kelas

2. lbu Guru Tati menawarkan tiga judul

3. Semua murid sibuk membuat karangan

4. Sandra harus benar benar mengarang

5. Hampir 10 menit Sandra belum menulis karangannya.

6. Sandra berfikir tentang keluarga kami yang bahagia

7. 15 menit berlalu, Sandra tak mengerti apa yang di bayangkan dari sebuah keluarga

8. Sandra mencoba memikirkan karangan liburan kerumah nenek


9. Wanita yang dipanggil mami

10. Sandra dibawa ke tempat yang tidak dimengertinya

11. 30 menit berlalu, Sandra mulai memikirkan tentang ibunya

12. Gambaran ibunya yang diingat Sandra

13. Kenangan bahagian bersama ibunya

14. Waktu pengerjaan karangan sudah habis

15. Sandra di tanya oleh ibu guru

16. Sandra mengumpulkan karangannya

17. Bu Tati menyimpulkan dari hasil karangan muridnya

18. Bu tati belum sampai pada karangan Sandra

Berdasarkan fungsi utama diatas, dapat penulis deskripsikan hubungan antara fungsi satu
dan selanjutnya.

Awal mula cerita dari cerpen “Pelajaran Mengarang” Di kelas V pelajaran mengarang
sedang berlangsung (f1). Ibu guru Tati menawarkan tiga judul yang bisa dipilih oleh 40 murid
untuk dijadikan karangan, yaitu “ Keluarga Kami yang Berbahagia”, “Liburan ke Rumah Nenek”,
dan “Ibu”(f2). Semua murid sibuk menulis kecuali Sandra. Dia sangat membenci pelajaran
mengarang(f3) karena dia harus benar-benar mengarang, tidak seperti teman-temannya yang bisa
bercerita apa adanya(f4). Hampir 10 menit Sandra belum menulis karangannya. Sandra ingin
meninggalkan kenyataan yang terpaksa diingatnya (f5)

Ketika dia berpikir mengenai keluarga yang bahagia, di otaknya hanya ada gambaran
rumah yang selalu berantakan dengan bir, sejumlah manusia yang terus mendengkur, tak ada
papa.(f6) Lima belas menit berlalu namun Sandra tak mengerti apa yang harus di bayangkan
tentang keluarga bahagia.(f7)

Dia mulai memikirkan judul selanjutnya, yaitu “Liburan ke Rumah Nenek”. Dalam
benaknya gambaran seorang nenek adalah wanita penuh kerut yang merias diri dengan sapuan
warna tebal (f8). Wanita itu dipanggil mami oleh semua orang yang ditemuinya. Wanita
menyebalkan itu sering dititipi Sandra saat mamanya keluar kota berhari-hari (F9). Dia
membawanya ke tempat yang tidak dimengerti oleh Sandra dan memang bukan tempat yang tepat
untuk anak kecil, apalagi baru umur sepuluh tahun seperti Sandra. Di sana dia melihat orang
dewasa saling berpelukan lengket. Musik berbunyi sangat keras, dan mami melarangnya
menonton.(f10)

Tiga puluh menit berlalu, Sandra mulai memikirkan tentang ibu (f11). Wanita cantik yang
selalu merokok itu sering mengeluarkan kata-kata kasar untuknya. Tak jarang pula, mamanya
pulang dengan kondisi mabuk(f12). Akan tetapi, Sandra tahu bahwa mamanya menyayanginya
karena setiap hari minggu wanita itu mengajaknya jalan-jalan ke plaza. Sebelum tidur dia
membacakan cerita dan mencium Sandra. Dia meminta Sandra untuk menjadi wanita baik-baik,
bukan seperti mamanya.(f13)

Waktu pengerjaan sudah habis. Ibu Guru Tati meminta murid-muridnya mengumpulkan
hasil pekerjaannyaf(14). Akan tetapi, kertas Sandra masih kosong. Ibu guru Tati
mempertanyakannya. Kemudian, Sandra menuliskan judul Ibu (F15). Ibu guru Tati berlalu, dia
tidak tahu apa yang ditulis Sandra selanjutnya. Semua murid menumpuk karangannya di meja
guru. Sandra menyelipkan kertas karangannya di tengah.(f16)

Di rumahnya sambil nonton tv Ibu Guru Tati memeriksa pekerjaan murid-muridnya. Baru
membaca setangah tumpukan, dia sudah berkesimpulan bahwa murid-muridnya mengalami masa
kanak-kanak yang indah(f17). Dia belum sampai pada karangan Sandra yang hanya berisi kalimat
sepotong: Ibuku seorang pelacur…(f18)
keterangan :

kejadian yang terus berkembang dan saling berhbungan


hubungan sebab akibat
3 4 5 6 7 8

9
2

10
1

11

12

18 17 16 15 14 13
2.2 Analisis Semantik

2.2.1 Tokoh dan Penokohan

Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi, sehingga peristiwa itu
mampu menjalin suatu cerita, sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku itu
disebut penokohan (Aminuddin, 2004:79). Penokohan atau perwatakan ialah pelukisan mengenai
tokoh cerita; baik lahirnya maupun batinnya yang dapat berupa: pandangan hidupnya, sikapnya,
keyakinannya, adat-istiadatnya dan sebagainya (Suharianto, 1982:31).

Berdasarkan cerpen “Pelajaran Mengarang” memiliki beberapa tokoh, yaitu bu Tati,


Sandra Marti (ibu Sandra) dan nenek tua atau mami.

a. Sandra

Sandra adalah tokoh utama dari cerpen Pelajaran Mengarang. Sandra adalah seorang anak
berumur sepuluh tahun yang masih duduk di bangku kelas V SD. Akan tetapi, dia bukanlah
seperti anak-anak seumurannya yang memiliki masa kecil bahagia. Terdapat dalam kutipan:

“Namun Sandra, 10 tahun, belum menulis sepatah kata pun di kertasnya la memandang ke luar
jendela. Ada dahan bergetar ditiup angin Yang kencang. ingin rasanya ia lari keluar kelas,
meninggalkan kenyataan yang sedang bermain di kepalanya. Kenyataan yang terpaksa
diingatnya, karena Ibu Guru Tati menyuruhnya berpikir tentang Keluarga Kamiyang
Berbahagia, Liburan ke Rumah Nenek, dan Ibu.” (Seno, 1991 : 432 - 433)

Sandra di usianya yang baru 10 tahun mampu peka terhadap situasi. Terdapat dalam
kutipan:

“Suatu malam perempuan itu pulang merangkakrangkak karena mabuk. Di ruang depan ia
muntah-muntah dan tergeletak tidak bisa bangun lagi. Sandra mengepel muntahan-muntahan
itu tanpa bertanya-tanya..” (Seno, 1991 : 436)

Sandra pula memiliki watak yang penyabar meski diperlakukan dan sering mendapat kata
kata kasar dari ibunya dan mamih. Terdapat dalam kutipan:

“Lewat belakang anak jadah, jangan ganggu tamu Mama," (Seno, 1991 : 433)
"Tentü saja punya anak şetan! Tapi tidak jelas şiapa! Dan kalau pun jelas siapa, belum
tentü ia mau jadi Papa kamu! Jelas? Belajarlah untuk hidup tanpa seorang Papa! Taik kucing
dengan Papa!" (Seno, 1991 : 434)

Kata kata kasar dari mami terdapat dalam kutipan :

“Jangan rewel anak şetan! Nanti kamu kuajak ke tempatku kerja, tapi awas ya?..”

(Seno, 1991 : 434)

Meski kadang di perlakukan seperti itu Sandra berbaik sangka bahwa ibunya amat
menyayangi Sandra. Terdapat dalam kutipan:

Tentu, Sandra tahu perempuan itu mencintainya. Setiap hari Minggu perempuan itu
mengajaknya jalan jalan ke Plaza ini dan ke Plaza itu. Di sana Sandra bisa mendapatkan
boneka, baju, es krim, kentang goreng, dan ayam goreng. Dan setiap kali Sandra makan
perempuan itu selalu menatapnya dengan penuh Cinta dan seperti tidak puas-puasnya.
Perempuan itu selalu melap mullit Sandra yang belepotan dengan es krim sambil berbisik,
"Sandra, Sandra... “ (Seno, 1991 :436)

Sandra juga memiliki watak yang penurut. Terdapat dalam kutipan “Sandra selalu belajar
untuk menepati janjinya dan ia memang menjadi anak yang patuh.” (Seno, 1991 : 437)

Berdasarkan beberapa kutipan diatas tokoh Sandra dari segi psikisnya dia termasuk anak
yang mengalami kondisi yang tidak baik, memendam keluh kesahnya, namun dia juga mampu
menjadi anak yang kuat, anak yang peka dan mandiri. dia bisa menyimpan sendiri
kesedihannya. Dia juga sangat menyayangi mamanya meskipun dia sering dilontari kata-kata
kasar.

Dilihat dari wataknya, Sandra adalah tokoh sederhana karena tidak mengalami perubahan
watak dari awal hingga akhir cerita. Berdasarkan tingkat kepentingan peranannya Sandra
merupakan tokoh utama karena dia terkait dengan seluruh peristiwa yang berlangsung. Dia
merupakan tokoh penggerak alur. Jika ditinjau dari fungsi penampilannya, Sandra tergolong
dalam tokoh protagonis.
b. Marti (Mama Sandra)

Pengarang menggambarkan tokoh Marti, ibu dari Sandra adalah wanita yang cantik.
Akan tetapi, dia memiliki sifat yang keras. Nampaknya kerasnya kehidupan membuatnya
demikian. Tingkah lakunya menunjukkan bahwa dia bukan wanita baik-baik. Dia adalah
wanita urakan, tidak memiliki sopan santun. Wanita ini digambarkan sebagai wanita jalang.
Terdapat dalam kutipan:

“Sandra melihat seorang perempuan yang cantik. Seorang perempuan yang selalu merokok.
selalu bangun siang, yang kalau makan selalu pakai tangan dan kaki kánannya selalu naik ke
atas kursi” (Seno, 1991 : 435)

Dan dalam kutipan : “Suatu malam perempuan itu pulang merangkakrangkak karena mabuk.
Di ruang depan ia muntah-muntah dan tergeletak tidak bisa bangun lagi.” (Seno, 1991 : 436)

Berdasarkan tingkat kepentingan peranannya, Marti termasuk tokoh utama karena dia
termasuk ke dalam tokoh penggerak alur. Tingkat kemunculannya lumayan tinggi.

c. Mamih
Seorang germo yang disangka nenek dari Sandra karena ibunya memanggil wanita itu
dengan sebutan mami.Wanita yang sudah berkeriput ini berwatak keras. Riasannya sangat
tebal dan parfumnya sangat menyengat. Buktinya dia mengajak Sandra ke tempat yang
seharusnya tidak disinggahi anak kecil, apa pun alasannya itu tetap saja salah. Tokoh ini juga
tidak menampakkan rasa sayangnya pada anak-anak. Bisa saja dia memanggil Sandra dengan
namanya, tetapi dia memanggil Sandra dengan sebutan anak setan. Terdapat dalam kutipan :

“Sandra mencoba berpikir tentang sesuatu yang mirip dengan “Liburan ke Rumah Nenek” dan
yang masuk kedalam benaknya adalah gambar seorang wanita yang sedang berdandan dimuka
cermin. Seorang wanita dengan wajah penuh kerut yang merias dirinya dengan sapuan warna
yang serba tebal. Merah itu sangat tebal pada pipinya. Hitam itu sangat tebal pada alisnya. Dan
wangi itu sangat memabukkan Sandra.
“Jangan Rewel Anak Setan! Nanti kamu kuajak ke tempatku kerja, tapi awas, ya? Kamu tidak
usah ceritakan apa yang kamu lihat pada siapa-siapa, ngerti? Awas!” Wanita itu sudah tua dan
menyebalkan. (Seno, 1991 : 434)
Tokoh mami merupakan tokoh sederhana. Dia hanya berwatak kasar, tidak mengalami
perubahan watak. Wanita ini termasuk ke dalam tokoh tambahan. Kehadirannya tidak begitu
menggerakkan alur dan tingkat kemunculannya jarang.
d. Ibu guru Tati

Ibu Guru Tati merupakan guru yang sabar. Wanita ini merupakan tokoh sederhana karena
hanya memiliki satu watak, tidak ada perubahan watak. Dia hanya tokoh tambahan karena
tingkat Tokoh wanita ini digambarkan juga berpendidikan dengan kacamata tebalnya. Dia
adalah perempuan kalem dan penyayang. Hal itu terbukti dari sikapnya pada murid-muridnya
terdapat dalam kutipan :

“Ibu Guru Tati memandang anak-anak manis yang menulis dengan kening berkerut. Terdengar
gesekan halus pada pena kertas. Anak-anak itu sedang tenggelam ke dalam dunianya, pikir Ibu
Guru Tati. Dari balik kaca-matanya yang tebal, Ibu Guru Tati memandang 40 anak yang manis,
yang masa depannya masih panjang, yang belum tahu kelak akan mengalami nasib macam
apa.” (Seno, 1991 : 432)

Pembawaan wanita ini tenang dan santai. Dia juga tipikal orang yang cepat mengambil
kesimpulan. Baru separuh saja dia membaca karangan muridnya tetapi dia sudah memberi
penilaian. Terdapat dalam kutipan :

“Di rumahnya, sambil nonton RCTI, Ibu Guru Tati yang belum berkeluarga memeriksa
pekerjaan murid-muridnya. Setelah membaca separo dari tumpukan karangan itu, Ibu guru Tati
berkesimpulan, murid-muridnya mengalami masa kanak-kanak yang indah.”

(Seno, 1991 ; 438)

Sebagai seorang guru seharusnya dia mengerti betul sikap murid-muridnya. Akan tetapi,
ketika melihat Sandra yang belum menulis sama sekali di kertasnya sementara temannnya yang
lain sudah sibuk menulis dari tadi, dia hanya bertanya lalu meninggalkannya. Semestinya dia
bertindak lebih dari itu. Dia bukan wanita yang peka karena dia mengabaikan kejanggalan yang
terjadi pada Sandra. Hal itu membuatnya terkesan kurang begitu peduli.

“Kertasmu masih kosong, Sandra?” Ibu Guru Tati tiba-tiba bertanya.


Sandra tidak menjawab. Ia mulai menulis judulnya: Ibu. Tapi, begitu Ibu Guru Tati pergi,
ia melamun lagi. (Seno, 1991 : 437)

2.2.2 Latar

Latar/Setting dibagi menjadi 3 unsur pokok, yaitu :

(1) latar tempat (2) Latar waktu (3) Latar suasa

A. Latar Tempat

Berdasarkan isi dalam cerpen “Pelajaran Mengarang” karya Seno G Ajidarma secara
keseluruhan latar tempatya yaitu berlatar di dalam sebuah kelas saat pelajaran mengarang.
“Anak-anak kelas V menulis dengan kepala hampir menyentuh meja” (Seno, 1991 : 432)

Berdasarkan kutipan diatasa, sudah jelas terlihat bahwa latar tempatnya berada di dalam
ruangan kelas dengan anak anak yang focus membuat karangan. Selain itu terdapat latar tempat
yaitu di rumah, dilihat dari kutipan

“Sandra hanya mendapatkan gambaran sebuah rumah yang berantakan. Botol-botol dan
kaleng-kaleng minuman yang kosong berserakan di meja, lantai, bahkan sampai ke atas tempat
tidur. Tumpahan bir berceceran di atas kasur yang sepreinya terseret entah ke mana. Bantal-
bantal tak bersarung. Pintu yang tak pernah tertutup..” (Seno, 1991 : 433)

Berdasrkan kutipan diatas, latar tempat yang dijelaskan adalah rumah dan kamar yang
berantakan pula.

Kemudian, dalam isi cerita cerpen tersebut menampilkan adanya kutipan tempat yaitu
tempat pelacur. Dapat dilihat dalam kutipan: “Di tempat kerja perempuan itu, meskipun gelap,
Sandra melihat banyak orang dewasa berpeluk-pelukan sampai lengket. Sandra juga
mendengar musik yang keras, tapi Mami itü melarangnya nonton.”

Berdasarkan kutipan tersebut, tempat yang digambarkan adalah tempat pelacur/diskotik


dan Sandra dilarang untuk memperhatikan kegiatan didalamnya.

B. Latar Waktu

Latar waktu sangat kental pada cerpen ini karena durasi cerita sangatlah pendek. Bahkan,
latar waktu hanya dilukiskan dengan menit.
Pelajaran mengarang sudah dimulai.

Kalian punya waktu 60 menit”, ujar Ibu Guru Tati. (Seno, 1991 : 432)

Sepuluh menit segera berlalu. (Seno, 1991 : 432)

Lima belas menit telah berlalu. (Seno, 1991 : 433)

Tiga puluh menit lewat tanpa permisi. (Seno, 1991 : 434)

Empat puluh menit lewat sudah. (Seno, 1991 : 437)

Berdasrkan kutipan di atas, sudah terlihat jelas bahwa latar waktunya singkat berdurasi
menit. Selain itu terdapat latar waktu yaitu malam. Dapat dilihat dalam kutipan :

“Suatu malam perempuan itu pulang merangkakrangkak karena mabuk.” (Seno, 1991 :
435)

Berdasarkan kutipan diatas terlihat latar waktu digambarkan pada malam hari.

Adapun latar waktu dijelaskan secara tersirat yaitu waktu siang hari. Seperti dalam kutipan:
"Kalian punya waktu 60 menit," ujar Ibu Guru Tati. Anak-anak kelas V menulis dengan kepala
hampir menyentuh meja.

Berdasarkan kutipan diatas suasana digambarkan di dalam kelas dan biasanya anak anak
sekolah dasar kelas v belajar di sekolahnya pada waktu siang hari

C. Latar Suasana

Latar suasana cenderung menakutkan dan menegangkan. Itu berlangsung sangat lama dan
hampir keseluruhan cerita karena memang konflik mendominasi cerpen ini.

Sepuluh menit segera berlalu. Tapi Sandra, 10 Tahun, belum menulis sepatah kata pun di
kertasnya. Ia memandang keluar jendela. Ada dahan bergetar ditiup angin kencang. Ingin
rasanya ia lari keluar dari kelas, meninggalkan kenyataan yang sedang bermain di
kepalanya. Kenyataan yang terpaksa diingatnya, karena Ibu Guru Tati menyuruhnya
berpikir tentang “Keluarga Kami yang Berbahagia”, “Liburan ke Rumah Nenek”, “Ibu”.
Sandra memandang Ibu Guru Tati dengan benci. (Seno, 1991 432-433)
Kemudian, latar suasana berubah menjadi santai ketika latar tempat berpindah ke rumah
Ibu Guru Tati.

Di rumahnya, sambil nonton RCTI, Ibu Guru Tati yang belum berkeluarga memeriksa
pekerjaan murid-muridnya. Setelah membaca separo dari tumpukan karangan itu, Ibu guru
Tati berkesimpulan, murid-muridnya mengalami masa kanak-kanak yang indah. (Seno,
1991 : 438)

Ada beberapa latar tempat dan waktu di dalam cerita, tetapi hanya dalam ingatan Sandra
yaitu saat dia membayangkan apa yang telah dilalui selama hidupnya. Latar tempat berupa rumah,
tempat pelacuran, plaza, kolong ranjang. Latar waktu berupa malam-malam, ketika, suatu malam,
kadang-kadang sebelum tidur, setiap hari minggu.

2.2.3 TEMA

Tema yang terdapat dalam cerpen “Pelajaran Mengajarang” karya Seno Gumira Ajidarma
adalah keluhan atau tekanan anak dari seorang pelacur. Sandra, nama gadis kecil itu, mengalami
tekanan batin karena hidup di lingkungan yang berbeda dari teman-temannya. Dia mengalami
masa kanak-kanak tidak seperti anak seumurannya. Sandra tidak mengenal kasih sayang sejak
kecilnya. Dia sama sekali tidak merasakan kehadiran seorang keluarga di dalam kehidupannya.
Satu-satunya yang dia punya adalah mamanya, tetapi mamanya lebih sering bersikap kasar dan
mencacinya daripada bersikap manis kepadanya layaknya seorang ibu pada umumnya.

“Mama, apakah Sandra punya Papa?”

“Tentu saja punya, Anak Setan! Tapi, tidak jelas siapa! Dan kalau jelas siapa belum tentu
ia mau jadi Papa kamu! Jelas? Belajarlah untuk hidup tanpa seorang Papa! Taik Kucing dengan
Papa!” (Seno, 1991 : 433 – 434)

3.3 Analisi Pragmatik

3.3.1 Sudut Pandang

Sudut pandang pengarang di dalam cerpen ini adalah orang ketiga serba tahu. Pengarang
tidak hadir di dalam cerita. Dia hanya menjadi pembawa cerita saja. Namun pengarang mengetahui
isi hati dari setiap tokoh. Seperti dalam kutipan :
“Ketika berpikir tentang “Keluarga Kami yang Berbahagia”, Sandra hanya mendapatkan
gambaran sebuah rumah yang berantakan. Botol-botol dan kaleng-kaleng minuman yang kosong
berserakan di meja, di lantai, bahkan sampai ke atas tempat tidur ….” (Seno, 1991 : 433)

“Lewat belakang, anak jadah, jangan ganggu tamu Mama,” ujar sebuah suara dalam ingatannya,
yang ingin selalu dilupakannya.” (Seno, 1991 : 433)

“Sandra tidak menjawab. Ia mulai menulis judulnya: Ibu. Tapi, begitu Ibu Guru Tati pergi, ia
melamun lagi.”Mama, Mama, bisiknya dalam hati. Bahkan dalam hati pun Sandra telah terbiasa
hanya berbisik.” (Seno, 1991 :438)

Berdasarkan beberapa kutipan diatas, dapat kita ketahui bahwa pengarang memposisikan
dirinya sebagai orang ke tiga serba tahu dengan menggambarkan suasana hati tokoh Sandra.
BAB III

ANALISIS FEMINISME PADA CERPEN “PELAJARAN MENGARANG” KARYA


SENO GUMIRA AJIDARMA

3.1 PRASANGKA GENDER

Feminisme merupakan kajian sosial yang melibatkan kelompok-kelompok perempuan


yang tertindas, feminisme muncul akibat dari adanya prasangka gender yang menomorduakan
perempuan, pemikiran ini berdasarkan pada anggapan bahwa laki laki berbeda dengan perempuan.
Laki laki dianggap lebih berperan penting dalam berbagai kegiatan dan mempunyai kepentingan
yang lebih besar dari perempuan. Perbedaan ini tidak hanya berdampak pada lahiriah, tetapi juga
dalam struktur social budaya masyarakat.

Berdasarkan analisis penulis cerpen “Pelajaran Pengarang “ karya Seno G Ajidarma


memiliki prasangka gender, yang terdapat dalam kutipan :

“Suatu malam perempuan itu pulang merangkakrangkak karena mabuk. Di ruang depan ia muntah-
muntah dan tergeletak tidak bisa bangun lagi.

Sandra mengepel muntahan-muntahan itu tanpa bertanya-tanya. Perempuan yang dikenalnya


sebagai ibunya itu sudah biasa pulang dalam keadaan mabuk.” (Seno, 1991 : 436)

Berdasarkan kutipan diatas dapat dilihat penderitaan yang dialami ibu Sandra atau Marti,
disini yang diperlihatkan adalah akibat dari pekerjaan yang dia lakukan demi materi untuk bertahan
hidup. Marti rela melakukan pekerjaan sebagai perempuan penghibur demi untuk menghidupi
kebutuhannya dan Sandra. Pada satu sisi Marti dianggap sebelah mata untuk pemuas hasrat kaum
patriarki. Lelaki merasa memiliki uang sehingga bertindak sesukanya tanpa melihat kondisi Marti.
Namun, pada sisi lain Marti disudutkan sebagai pelaku profesi yang paling hina.

3.2 KETIDAK ADILAN GENDER

Ketidakadilan gender merupakan bentuk perbedaan perlakuan berdasarkan alasan gender,


seperti pembetasan peran, penyingkiran atau pilih kasih yang mengakibatkan pelanggaran atas
pengakuan hak asasi, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan maupun hak dasar dalam
bidang sosial, politik, ekonomi, budaya, dan lain-lain.

Menurut Fakih (dalam Rokhmansyah, 2016 : 15) ketidak adilan gender merupakan kondisi
dimana relasi antara laki laki dan perempuan berlangsung timpang, merugikan bahkan
mengorbankan salah satu pihak.

Dalam ajaran islam sendiri kedudukan manusia itu setara baik laki laki maupun perempuan,
tanpa membedakan ras, suku atau bangsanya, seperti yang terkandung dalam Alqu’an surat Al
Hujurut : 13 yang berkaitan dengan kesetaraan hak setiap manusia. Dijelaskan pula penciptaan laki
laki dan perempuan serta menjadikan bersuku – suku dan berbangsa bangsa agar saling mengenal
dan memahami satu sama lain, saling memahami karakteristik dan psikologi masing masing
kelompok yang ada.

Dalam cerpen “Pelajaran Mengarang” karya Seno Gumira Ajidarma, penulis melihat isi
ceritanya terdapat ketidak adilan gender yaitu terdapat dalam kutipan :

” Mama, apakah Sandra punya Papa?"

"Tentu saja punya anak şetan! Tapi tidak jelas şiapa! Dan kalau pun jelas siapa, belum tentü ia
mau jadi Papa kamu! Jelas? Belajarlah untuk hidup tanpa seorang Papa! Taik kucing dengan
Papa!"

Berdasarkan kutipan diatas, kita dapat mengetahui bahwa ibu Sandra atau Marti menjadi
korban, yang melahirkan Sandra tanpa ada satu lelakipun yang bertanggung jawab. Sandra
kehilangan impiannya untuk memiliki keluarga ideal. Ketidak adilan gender sangat terlihat karena
perlakuan laki laki yang tidak mau bertanggung jawab terhadap tokoh perempuan Marti.

Terdapat pula dalam kutipan :

“Apakah perempuan itu ibuku? la pernah terbangun malam-malam dan melihat perempuan itu
menangis sendirian.

Mama, Mama, kenapa menangis Mama?”

Perempuan itu tidak menjawab, ia hanya menangis, sambil memeluk Sandra.. (Seno, 1991 : 435)
Berdasarkam kutipan di atas ketidak adilan perempuan dalam tokoh Marti terlihat saat
pengarang menggambarkan suasana hati Marti yang terbangun malam malam dan menangis
sendirian seolah Marti sedih dengan keadaan yang dia hadapi. Marti dipandang sebagai akomodasi
pemuas seks oleh kaum laki laki yang menjadi pelanggan. Dan persaaan menyesalanpun dijelaskan
secara tersirat dalam kutipan :

“Kadang-kadang, sebelum tidur perempuan itu membacakan sebuah cerita, dari sebuah buku
berbahasa Inggris dengan gambar-gambar berwarna, Selesai membacakan cerita perempuan itu
akan mencium Sandra dan selalu memintanya berjanji menjadi anak baik-baik.

“Berjanjilah pada Mama, kamu akan jadi perempuan baik-baik Sandra."

"Seperti Mama?"

”Bukan, bukan seperti Mama. Jangan seperti Mama."

Sandra selalu belëjar untuk menepati janjinya dan ia memang menjadi anak yang patuh. (Seno,
1991: 436-437)

Berdasarkan kutipan diatas, terlihat naluri seorang ibu yang menyayangi anaknya,
melungan waktu untuk anaknya untuk membaca sebuah cerita meski tidak setiap waktu ibu Sandra
bersikap manis pada anaknya. Di sisi lain pula ada rasa sedih dan seolah ada penyesalan yang
dialami ibu Sandra atas sikap dan perilaku yang sudah dia lakukan, Marti ibu Sandra berharap
Sandra menjadi perempuan yang bisa lebih baik darinya.

3.3 EKSPLOITASI PEREMPUAN

Menurut Suharto pengertian eksploitasi adalah suatu sikap diskriminatif atau perlakuan
yang dilakukan dengan sewenang wenang. Menurut KBBI pengertian eksploitasi adalah
pemanfaatan untuk keuntungan sendiri, penghisapan, pemerasan atas diri orang lain yang
merupakan tindakan tidak terpuji.

Eksploitasi Perempuan yaitu perbuatan memanfaatkan kaum perempuan untuk


memperoleh keuntungan bagi kelompok. Adapun beberapa contoh eksploitasi yang dialami oleh
perempuan yaitu antara lain perempuan dijadikan pekerja seks komersial, dan kuli/profesi
sebagainya.
Dalam cerpen “Pelajaran Mengarang” karya Seno G Ajidarma, penulis melihat terdapat
muatan feminisme yaitu dalam eksploitasi perempuan yang didalamnya terdapat eksploitasi
profesi, yaitu perempuan rela melakukan pekerjaan apapun demi materi meskipun hanya
dimanfaatkan sebagai pelampiasan nafsu lelaki. Bagian cerpen yang menunjukan eksploitasi
perempuan terdapat dalam kutipan:

“Tentu saja Sandra selalu ingat apa yang tertulis dalam pager ibunya. Setiap kali pager itu
berbunyi, kalau sedang merias diri di muka cermin, perempuan itu selalu meminta Sandra
memencet tombol dan membacakannya.

DITUNGGU Dl M, RAMAR SOS, PKL 20.00.

Sandra tahu, setiap kali pager ini menyebut nama hotel, nomer kamar, dan sebuah jam pertemuan,
ibunya akan pulang terlambat, Kadang-kadang malah tidak pulang sampai dua atau tiga hari.”
(Seno, 1991 : 437)

Berdasarkan kutipan di atas, kita dapat mengetahui bentuk eksploitasi terhadap perempuan
dalam bidang profesi, isi pager itu biasanya panggilan dan pemberitahuan dimana ibu Sandra akan
bekerja. Layaknya robot ibu Sandra bekerja diatur, mereka mempekerjakan ibu Sandra tanpa
memikirkan kejiwaan yang dirasakan ibu Sandra. Pekerjaan yang dipillihnya adalah profesi akibat
budaya patriarki seolah perempuan berad dalam kuasam kaum lelaki.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan analisis structural dari ceerpen “Pelajaran Mengarang” karya Seno Gumira
Ajidarma, penulis dapat menyimpulkan bahwa teknik pengaluran yang digunakan pengarang
cerpen ini adalah foreshadowing, yaitu membayangkan sesuatu. Peristiwa di dalam kelas itu
tetap berlangsung maju, tetapi di latar yang pasif itu Sandra membayangkan banyak hal yang
telah dia alami. Pembayangan yang dilakukan oleh Sandra merupakan pertanda cerita
selanjutnya. Sandra hanya mengingat. Dia tidak benar-benar kembali ke masa lalu tersebut
sehingga itu lebih mengarah ke foreshadowing daripada backtraking.

Tokoh yang terdapan dalam cerpen ini adalah Sandra dan Marti ibu Sandra (sebagai tokoh
utama), Ibu guru tati dan germo yang dipanggil mami. Latar waktu dalam cerita tersebut malam
hari karena dijelaskan bahwa cerita ini menjelaskan pekerjaan ibu Sandra, ada pula latar waktu
siang hari dijelaskan saat Sandra sekolah juga waktu hitungan menit saat berada di dalam kelas.
Adapun latar tempat berupa rumah, tempat pelacuran. Latar suasana adalah menakutkan,
ketika konflik Sandra membuat karangan dan saat mengingat setiap kejadian. Tema dalam
cerpen ini adalah tekanan atau keluhan dari seorang anak pelacur. Sudut pandang pengarang
adalah sudut pandang orang ketiga serba tahu yaitu pengarang tidak hadir di dalam cerita. Dia
hanya menjadi pembawa cerita saja. Namun pengarang mengetahui isi hati dari setiap tokoh.

Analisis feminisme menunjukan adanya prasangka gender, ketidak adilan gender dan
eksploitasi gender. Dari prasangka gender, Marti dianggap sebelah mata untuk pemuas hasrat
kaum patriarki. Lelaki merasa memiliki uang sehingga bertindak sesukanya tanpa melihat
kondisi Marti. Dari analisi ketidak adilan gender ibu Sandra atau Marti menjadi korban, yang
melahirkan Sandra tanpa ada satu lelakipun yang bertanggung jawab. Ketidak adilan gender
sangat terlihat karena perlakuan laki laki yang tidak mau bertanggung jawab terhadap tokoh
perempuan Marti. Dari eksploitasi perempuan eksploitasi terhadap perempuan dalam bidang
profesi, mereka mempekerjakan ibu Sandra tanpa memikirkan kejiwaan yang dirasakan ibu
Sandra. Pekerjaan yang dipillihnya adalah profesi akibat budaya patriarki seolah perempuan
berada dalam kuasa kaum lelaki.
4.2 SARAN
Dari hasil analisi cerpen “Pelajaran Mengarang” karya Seno Gumira Ajidarma dengan
pendekatan feminism ini diharapkan menambah pengetahuan juga bisa bermanfaat bagi
pembaca. Penulis menyadari bahwa makalahini masih jauh dari kesempurnaan dan masih
banyak terdapat kesalahan baik dalam penulisan maupun penyampaian. Oleh karena itu,
penulis mohonn saran dan kritik yang membangun, ini dilakukan untu perbaikan makalah
penulis. Penulis ucapkan terimakasih atas perhatian semuanya.
DAFTAR PUSTAKA
Ajidarma Seno Gumira, 1991. Senja dan Cinta yang berdarah antologi kumpulan cerpen.
Jakarta : Buku Kompas.

Hartoko,Dick dan B.Rahmanto.1984.Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarya:Kanisius.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1993. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Ratna,Nyoman. 2009. Teori,Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka


pelajar

Salden, Rahman.1991. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Yogyakarta: Gajah
Mada

Teeuw,A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya-
Giri Mukti Pustaka

Nugroho, Riant.2008, Gender dan Strategi pengarus-utamaannya di


Indonesia.Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Sugihastusi dan Suharto. 2013. Kritik Sastra Feminis : Teori dan Aplikasi. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar

Anda mungkin juga menyukai