MAKALAH
OLEH
RETNO YUNITA SUSANTI
NIM: 06021381924029
ABSTRAK
Novel merupakan karya sastra yang sering kali memuat pertikaian dan konflik dalam
suatu rangkaian cerita kehidupan seorang tokoh dengan watak dan perilakunya, konflik yang ada
sering kali memuat nilai-nilai sosial, moral, budaya, maupun pendidikan. Perempuan merupakan
gender yang paling rentan mengalami ketidakadilan dalam masyarakat karena adanya kuasa
patriarki. Ketidakadilan yang dialami dan dirasakan oleh gender perempuan sering kali
termanifestasikan dalam berbagai ketidakadilan, yaitu marginalisasi gender perempuan dari
dunia pendidikan, politik, ekonomi, maupun rumah tangga. Kritik sastra feminisme merupakan
salah satu perkembangan kritik sastra yang relevan dalam melawan marginalisasi gender
perempuan untuk mengkritisi sistem patriarki yang berkembang di masyarakat yang kemudian
diangkat menjadi isu-isu sensitif dalam sebuah karya sastra novel. Sastra hijau merupakan
bentuk ilmu sastra yang muncul karena adanya ketidakadilan yang alam dapati dari hasil
kesewenang-wenangan sistem patriarki dalam mengeksploitasi bumi dan isinya. Kesamaan
antara marginalisasi hak perempuan dan alam tentu menimbulkan berbagai permasalahan yang
kemudian diangkat menjadi isu ekologi dan gender pada sebuah karya sastra berupa novel.
Rumusan masalah pada makalah ini yaitu; 1) mengetahui bentuk marginalisasi peran gender dan
alam yang terdapat pada novel sastra Indonesia; 2) mengetahui fenomena sastra hijau dalam
sebuah karya sastra novel; 3) mengetahui kritik sastra ekologi dan feminisme sebagai disiplin
ilmu yang saling berkaitan.
Kata kunci: perlawanan; perempuan; alam; kuasa patriarki; sastra hijau; novel; sastra Indonesia.
ABSTRACT
Novels are literary works that often contain disputes and conflicts in a series of stories
from the life of a character with their character and behavior, conflicts that often contain social,
moral, cultural, and educational values. Women are the most vulnerable gender to experience
injustice in society because of patriarchal power. The injustice experienced and felt by the
female gender is often manifested in various injustices, namely the marginalization of women's
gender from the world of education, politics, economy, and household. Feminist literary
criticism is one of the developments of literary criticism that is relevant in fighting the
marginalization of women's gender to criticize the patriarchal system that develops in society
which is then raised as sensitive issues in a literary novel. Green literature is a form of literary
science that arises because of the injustice that nature finds as a result of the arbitrariness of the
patriarchal system in exploiting the earth and its contents. The similarity between the
marginalization of women's rights and nature certainly raises various problems which are then
raised into ecological and gender issues in a literary work in the form of a novel. The formulation
of the problem in this paper are; 1) knowing the forms of marginalization of gender and natural
roles found in Indonesian literary novels; 2) knowing the phenomenon of green literature in a
novel literary work; 3) to know literary criticism of ecology and feminism as interrelated
disciplines.
Keywords: marginalization; gender; natural; patriarchal power; green literature; novel; Indonesian
literature.
PENDAHULUAN
Novel merupakan karya sastra yang mengandung rangkaian konflik kehidupan seseorang
dengan orang lain dengan menonjolkan watak dan perilaku tokoh untuk menuangkan gagasan,
dan pikiran dalam permasalahan yang terjadi di masyarakat sekitar (Nurgiyantoro, 2015).
Sebagai karya sastra tengah, novel sering dijadikan sebagai pengungkapan konflik yang terjadi
pada kehidupan masyarakat sehari-hari hasil dari refresentatif alur cerita yang dilukiskan oleh
perwatakan tokoh. Novel memuat banyak kisah baik yang bertemakan politik, ekonomi,
percintaan, maupun penindasan. Salah satu bentuk marginalisasi yang ditemukan pada novel-
novel sastra Indonesia ialah bentuk peminggiran peran gender yang terjadi pada kehidupan
sehari-hari masyarakat Indoensia. Konstruksi sosial masyarakat kerap meminggirkan hak-hak
perempuan sebagai gender kedua setelah laki-laki yang digambarkan mempunyai banyak
masalah pada kehidupan sehari-hari. Pada sebuah karya pun perempuan selalu dijadikan objek
yang lemah, pintar dalam melakukan pekerjaan rumah, pintar merawat anak, melayani suami
baik secara seksual maupun makan serta minum. Hal-hal tersebut merupakan kiprah perempuan
yang digambarkan kaum patriarki sehingga perempuan tidak memiliki kebebasan bahkan
cenderung tertindas dan dieksploitasi hanya untuk kepentingan-kepentingan rumah tangga.
Pekerjaan seseorang wanita pada bidang domestik cenderung dievaluasi menjadi pekerjaan yang
tidak krusial, sebuah pekerjaan yang praktis serta membuat repot dan menghabiskan banyak
pengeluaran secara finansial. Hal-hal tersebut memang wajar terjadi pada kehidupan ini, sebagai
akibatnya terkadang perempuan tak menerima apreasi dari sebuah tindakan di dunia domestik.
Gender kerap disamakan dengan jenis kelamin (sex), padahal gender dan sex adalah dua hal yang
berbeda. Walaupun berdasarkan etimologinya gender dan sex merupakan jenis kelamin, tetapi
konsep seperti ini perlu dipahami kembali bahwa gender adalah sifat yang menyatu pada diri
perempuan dan laki-laki yang sudah menjadi kultur dalam kehidupan sosial masyarakat. Sifat
yang dimaksud sebagai contoh perempuan identik dengan sifat lemah lembut, keibuan, cantik,
dan emosional. Sedangkan laki-laki dianggap gagah, kuat, berkumis, tidak menangis.
Kultur yang ada di masyarakat kerap memandang perempuan sebagai objek yang terlihat
pada kebudayaan jawa (pingitan) yang mana perempuan akan dikurung sebelum ia menikah. Ibu
pelopor emansipasi Wanita Indonesia yaitu, R, A Kartini yang mengembalikan hak-hak
perempuan Indonesia untuk mampu bersekolah dan menjadi perempuan mandiri adalah bentuk
perlawanan atas kuasa patriarki yang merampas hak gender. Handayani dalam Rokhmansyah
(2016) menyatakan bahwa gender merupakan sifat yang dapat ditukar antara laki-laki dan
perempuan. Dengan artian laki-laki tidak semuanya harus berkumis, berbadan atletis, berambut
pendek dan identik dengan warna hitam. Tetapi laki-laki juga dapat memiliki sifat keibuan,
penuh emosional sehingga mudah menangis, berambut panjang, bahkan dapat menggunakan
pakaian berwarna merah muda. Demikian pula perempuan, dapat berambut pendek, dapat
menggunakan warna hitam dalam berbusana, dapat memiliki otot, dapat mengendarai mobil, dan
sebagainya.
Patriarki merupakan sebuah sistem yang menempatkan laki-laki pada posisi dominan
sehingga kerap menindas, mengeksploitasi dan mengganggap perempuan sebagai gender kedua
yang tidak penting dalam mengambil keputusan serta kebijakan daripada laki-laki (subordinasi).
Kuasa patriarki inilah yang akhirnya menjadi kultur masyarakat Indonesia bahwa perempuan
merupakan gender lemah yang tidak dapat melakukan apapun tanpa adanya bantuan gender laki-
laki sehingga memunculkan kerugian pada kaum perempuan (Permana & Maulana, 2020).
Peninadasan bukan hanya dirasakan oleh sebagian gender. Alam, juga dapat merasakan
dan mengalami penindasan, eksploitasi, dan kerusakan oleh sistem patriarki. Novel sastra
Indonesia sudah banyak mengangkat isu penindasan dan eksploitasi alam sebagai rumah
manusia, sebagai contoh novel berjudul Amba (2012) karya novelis perempuan Indonesia
Laksmi Pamuntjak, mengisahkan eksploitasi besar-besaran yang terjadi di hutan oleh para
pendatang di Pulau Buru, yang memberikan dampak pada tokoh perempuan (Si Mukaburung).
3. Nj
4. MNM