Anda di halaman 1dari 8

MARGINALISASI ALAM DAN GENDER TERHADAP KUASA

PATRIARKI MELALUI SASTRA HIJAU DALAM NOVEL SASTRA


INDONESIA

MAKALAH

Disampaikan dalam Seminar Bahasa dan Sastra Indonesia


yang dilaksanakan pada (tanggal, bulan, tahun) di (tempat)

OLEH
RETNO YUNITA SUSANTI
NIM: 06021381924029

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2022
PERLAWANAN PEREMPUAN DAN ALAM TERHADAP
KUASA PATRIARKI MELALUI SASTRA HIJAU DALAM
NOVEL SASTRA INDONESIA

Retno Yunita Susanti

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sriwijaya
Surel: retnoyunita2910@gmail.com

ABSTRAK

Novel merupakan karya sastra yang sering kali memuat pertikaian dan konflik dalam
suatu rangkaian cerita kehidupan seorang tokoh dengan watak dan perilakunya, konflik yang ada
sering kali memuat nilai-nilai sosial, moral, budaya, maupun pendidikan. Perempuan merupakan
gender yang paling rentan mengalami ketidakadilan dalam masyarakat karena adanya kuasa
patriarki. Ketidakadilan yang dialami dan dirasakan oleh gender perempuan sering kali
termanifestasikan dalam berbagai ketidakadilan, yaitu marginalisasi gender perempuan dari
dunia pendidikan, politik, ekonomi, maupun rumah tangga. Kritik sastra feminisme merupakan
salah satu perkembangan kritik sastra yang relevan dalam melawan marginalisasi gender
perempuan untuk mengkritisi sistem patriarki yang berkembang di masyarakat yang kemudian
diangkat menjadi isu-isu sensitif dalam sebuah karya sastra novel. Sastra hijau merupakan
bentuk ilmu sastra yang muncul karena adanya ketidakadilan yang alam dapati dari hasil
kesewenang-wenangan sistem patriarki dalam mengeksploitasi bumi dan isinya. Kesamaan
antara marginalisasi hak perempuan dan alam tentu menimbulkan berbagai permasalahan yang
kemudian diangkat menjadi isu ekologi dan gender pada sebuah karya sastra berupa novel.
Rumusan masalah pada makalah ini yaitu; 1) mengetahui bentuk marginalisasi peran gender dan
alam yang terdapat pada novel sastra Indonesia; 2) mengetahui fenomena sastra hijau dalam
sebuah karya sastra novel; 3) mengetahui kritik sastra ekologi dan feminisme sebagai disiplin
ilmu yang saling berkaitan.

Kata kunci: perlawanan; perempuan; alam; kuasa patriarki; sastra hijau; novel; sastra Indonesia.

ABSTRACT

Novels are literary works that often contain disputes and conflicts in a series of stories
from the life of a character with their character and behavior, conflicts that often contain social,
moral, cultural, and educational values. Women are the most vulnerable gender to experience
injustice in society because of patriarchal power. The injustice experienced and felt by the
female gender is often manifested in various injustices, namely the marginalization of women's
gender from the world of education, politics, economy, and household. Feminist literary
criticism is one of the developments of literary criticism that is relevant in fighting the
marginalization of women's gender to criticize the patriarchal system that develops in society
which is then raised as sensitive issues in a literary novel. Green literature is a form of literary
science that arises because of the injustice that nature finds as a result of the arbitrariness of the
patriarchal system in exploiting the earth and its contents. The similarity between the
marginalization of women's rights and nature certainly raises various problems which are then
raised into ecological and gender issues in a literary work in the form of a novel. The formulation
of the problem in this paper are; 1) knowing the forms of marginalization of gender and natural
roles found in Indonesian literary novels; 2) knowing the phenomenon of green literature in a
novel literary work; 3) to know literary criticism of ecology and feminism as interrelated
disciplines.

Keywords: marginalization; gender; natural; patriarchal power; green literature; novel; Indonesian
literature.

PENDAHULUAN

Novel merupakan karya sastra yang mengandung rangkaian konflik kehidupan seseorang
dengan orang lain dengan menonjolkan watak dan perilaku tokoh untuk menuangkan gagasan,
dan pikiran dalam permasalahan yang terjadi di masyarakat sekitar (Nurgiyantoro, 2015).
Sebagai karya sastra tengah, novel sering dijadikan sebagai pengungkapan konflik yang terjadi
pada kehidupan masyarakat sehari-hari hasil dari refresentatif alur cerita yang dilukiskan oleh
perwatakan tokoh. Novel memuat banyak kisah baik yang bertemakan politik, ekonomi,
percintaan, maupun penindasan. Salah satu bentuk marginalisasi yang ditemukan pada novel-
novel sastra Indonesia ialah bentuk peminggiran peran gender yang terjadi pada kehidupan
sehari-hari masyarakat Indoensia. Konstruksi sosial masyarakat kerap meminggirkan hak-hak
perempuan sebagai gender kedua setelah laki-laki yang digambarkan mempunyai banyak
masalah pada kehidupan sehari-hari. Pada sebuah karya pun perempuan selalu dijadikan objek
yang lemah, pintar dalam melakukan pekerjaan rumah, pintar merawat anak, melayani suami
baik secara seksual maupun makan serta minum. Hal-hal tersebut merupakan kiprah perempuan
yang digambarkan kaum patriarki sehingga perempuan tidak memiliki kebebasan bahkan
cenderung tertindas dan dieksploitasi hanya untuk kepentingan-kepentingan rumah tangga.
Pekerjaan seseorang wanita pada bidang domestik cenderung dievaluasi menjadi pekerjaan yang
tidak krusial, sebuah pekerjaan yang praktis serta membuat repot dan menghabiskan banyak
pengeluaran secara finansial. Hal-hal tersebut memang wajar terjadi pada kehidupan ini, sebagai
akibatnya terkadang perempuan tak menerima apreasi dari sebuah tindakan di dunia domestik.
Gender kerap disamakan dengan jenis kelamin (sex), padahal gender dan sex adalah dua hal yang
berbeda. Walaupun berdasarkan etimologinya gender dan sex merupakan jenis kelamin, tetapi
konsep seperti ini perlu dipahami kembali bahwa gender adalah sifat yang menyatu pada diri
perempuan dan laki-laki yang sudah menjadi kultur dalam kehidupan sosial masyarakat. Sifat
yang dimaksud sebagai contoh perempuan identik dengan sifat lemah lembut, keibuan, cantik,
dan emosional. Sedangkan laki-laki dianggap gagah, kuat, berkumis, tidak menangis.

Kultur yang ada di masyarakat kerap memandang perempuan sebagai objek yang terlihat
pada kebudayaan jawa (pingitan) yang mana perempuan akan dikurung sebelum ia menikah. Ibu
pelopor emansipasi Wanita Indonesia yaitu, R, A Kartini yang mengembalikan hak-hak
perempuan Indonesia untuk mampu bersekolah dan menjadi perempuan mandiri adalah bentuk
perlawanan atas kuasa patriarki yang merampas hak gender. Handayani dalam Rokhmansyah
(2016) menyatakan bahwa gender merupakan sifat yang dapat ditukar antara laki-laki dan
perempuan. Dengan artian laki-laki tidak semuanya harus berkumis, berbadan atletis, berambut
pendek dan identik dengan warna hitam. Tetapi laki-laki juga dapat memiliki sifat keibuan,
penuh emosional sehingga mudah menangis, berambut panjang, bahkan dapat menggunakan
pakaian berwarna merah muda. Demikian pula perempuan, dapat berambut pendek, dapat
menggunakan warna hitam dalam berbusana, dapat memiliki otot, dapat mengendarai mobil, dan
sebagainya.
Patriarki merupakan sebuah sistem yang menempatkan laki-laki pada posisi dominan
sehingga kerap menindas, mengeksploitasi dan mengganggap perempuan sebagai gender kedua
yang tidak penting dalam mengambil keputusan serta kebijakan daripada laki-laki (subordinasi).
Kuasa patriarki inilah yang akhirnya menjadi kultur masyarakat Indonesia bahwa perempuan
merupakan gender lemah yang tidak dapat melakukan apapun tanpa adanya bantuan gender laki-
laki sehingga memunculkan kerugian pada kaum perempuan (Permana & Maulana, 2020).

Peninadasan bukan hanya dirasakan oleh sebagian gender. Alam, juga dapat merasakan
dan mengalami penindasan, eksploitasi, dan kerusakan oleh sistem patriarki. Novel sastra
Indonesia sudah banyak mengangkat isu penindasan dan eksploitasi alam sebagai rumah
manusia, sebagai contoh novel berjudul Amba (2012) karya novelis perempuan Indonesia
Laksmi Pamuntjak, mengisahkan eksploitasi besar-besaran yang terjadi di hutan oleh para
pendatang di Pulau Buru, yang memberikan dampak pada tokoh perempuan (Si Mukaburung).

1. MARGINALISASI PERAN GENDER DAN ALAM PADA NOVEL SASTRA


INDONESIA
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), marginalisasi ialah suatu pemutusan
hubungan antar kelompok dengan institusi sosial, yaitu berupa pendidikan, ekonomi, politik,
rumah tangga dan lainnya. Dapat disimpulkan bahwa marginalisasi merupakan peminggiran
atas hak-hak baik individu, kelompok, maupun universal dari ketidakadilan atas
diskriminasi yang ditimbulkan karena adanya perbedaan. Marginalisasi gender adalah
bentuk diskriminasi terhadap salah satu gender, baik laki-laki maupun perempuan.
Diskriminasi yang dialami sering kali didasarkan pada identitas ras, gender, agama, status
sosial, dan sebagainya. Gender yang kerap mengalami diskriminasi dan perampasan hak-hak
perlakuan ialah perempuan. Pada kehidupan masyarakat ketidakadilan gender terhadap
perempuan bukanlah masalah baru, marginalisasi peran gender perempuan sudah lama
menjadi kultur pada system patriarki di Indonesia. Munculnya berbagai karya sastra yang
mengangkat isu gender telah terwakilkan oleh berbagai karya sastra. Salah satunya novel
angkatan Balai Pustaka berjudul Siti Nurbaya karya Marah Roesli, yang mengangkat isu
gender berupa pertentangan adat tua-muda. Masyarakat zaman Siti Nurbaya beranggapan
jika seluruh pekerjaan yang berada di rumah dan mengurus anak adalah tanggung jawab
seorang perempuan bukan laki-laki dan perempuan tidak boleh melakukan pekerjaan
seorang laki-laki diluar dari pekerjaan domestik.
Adapun novel berjudul Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf, yang mengangkat isu
ekologi dan gender. Adanya perjuangan gender perempuan suku Dani (Papua) terhadap
penindasan oleh perusahaan emas terbesar di Indonesia yaitu PT. Freeport. Gender
perempuan pada novel ini berusaha untuk memperjuangkan haknya dari stigma patriarki
yaitu suami dan budaya suku Dani dalam memandang gender perempuan. Tokoh laki-laki
dalam novel Tanah Tabu digambarkan sebagai laki-laki yang pemberani, gagah, dan pandai
berburu sehingga menjadi suatu kebanggaan bila perempuan dinikahi oleh laki-laki suku
Dani, karena sifat superioritasnya inilah yang menindas gender perempuan suku Dani.
Perempuan suku Dani harus patuh dan taat akan perintah suami, rela di poligami dan
mengalami KDRT adalah hal yang lumrah. Mabel sebagai perempuan suku Dani merasa
haknya dimarginalisasi oleh hukum adat yang berlaku dan terkapitalisasi oleh perusahaan
PT Freeport yang memarginalisasikan hidupnya dengan alam yang di eksploitasi.
Pertambangan emas yang dilakukan telah mengganggu ekosistem alam dan hayati di
kawasan pegunungan yang merusak wilayah hutan, sumber mata air, hewan, dan struktur
tanah yang ditempati oleh Mabel di lembah Baliem Papua. Menurut (jurnal) Mabel sebagai
perempuan suku Dani memiliki peran ganda ekofeminisme, yaitu sebagai korban patriarki
oleh marginalisasi PT Freeport untuk terus mengeksploitasi alam Baliem, dan sebagai
pelaku perjuangan dan perlawanan terhadap penindasan perempuan oleh budaya suku Dani
dan eko-anarkis PT. Freeport untuk melestarikan ekosistem alam.
Perempuan yang termajinalisasikan juga termuat pada novel berjudul Tarian Bumi
karya Oka Rusmini, (jurnal) menyatakan bahwa novel sastra yang berjudul Tarian Bumi
karya Oka Rusmini, menunjukkan bentuk marginalisasi yang dialami oleh gender
perempuan juga dapat terjadi pada masyarakat modern yaitu di tempat bekerja. Perempuan
modern tidak menganut sistem patriarki yang mengharuskan perempuan hanya mengurus
keperluan rumah, perempuan sudah boleh mengeyam pendidikan, berpolitik, dan bekerja.
Tetapi kebebasan tersebut belum sepenuhnya memerdekakan perempuan dari kuasa
patriarki. Novel Tarian Bumi, menjadikan isu marginalisasi perempuan di tempat bekerja
sebagai tema cerita. Tokoh Luh Sekar sebagai anak perempuan dari mantan anggota PKI.
Sekar yang hidup pada kultur patriarki merasa terintimidasi dan termarjinalkan haknya
dalam bekerja sebagai penari. Tetapi tokoh Luh Sekar ingin memerdekakan dirinya dari
belenggu kuasa patriarki dengan terus berusaha menjadi penari yang tercantik dan mencari
seorang lelaki yang berasal dari kasta Brahmana (kasta tertinggi di agama Hindu) agar ia
terlepas Ari jerat marginalisasi dan kemiskinan.
Adanya perampasan hak oleh kaum patriarki yang telah berjalan lama menimbulkan
konstruksi sosial yang ada di masyarakat, membuat gender perempuan mengalami
eksploitasi untuk menghasilkan anak sebanyak-banyaknya. Perempuan diibaratkan sebagai
benda yang menghasilkan dan laki-laki pemilik benda yang mengakibatkan gender laki-laki
mendominasi gender perempuan dengan sifat superioritasnya. Menurut Worsley dalam
Sugihastuti & Suharto (2016) dominasi laki-laki yang terjadi di masyarakat sudah ada sebelum
masyarakat industrial modern lahir, perempuan kerap menjadi partisipasi kedua dalam
kegiatan masyarakat dan termarginalisasikan hak-haknya dalam kegiatan publik. Gender
perempuan sebagai minoritas memiliki kesamaan dengan alam. Alam dan perempuan sama-
sama dianggap sebagai objek dari kuasa patriarki yang menimbulkan kerusakan dan
bencana, Bumi adalah ibu yang melindungi dan menjaga makhluk hidup yang ada di
dalamnya, terutama manusia. Sumber daya alam yang ada di bumi juga merupakan manusia
bertahan dan memanfaatkan. Lalu bagaimana jika Ibu Pertiwi yaitu alam disalahgunakan
haknya. Menurut Naning Pranoto dalam(buku ekofeminisme) kerusakan alam terjadi karena
adanya ulah manusia yang melakukan eko-anarkis, eksploitasi, dan marginalisasi alam
menjadi kawasan non-pertanian yang mengakibatkan perubahan iklim bumi.
Ekokritik merupakan jenis kritik sastra yang memahami hubungan antara sastra dengan
alam (ekologi). Sastra mendapat berbagai kesempatan dalam memahami alam sebagai Ibu
dari peradaban. Manusia tidak terlepas dari yang namanya alam, sumber daya alam yang
tidak dapat diperbaharui juga termasuk bagian dari Ibu seperti minyak bumi, gas, nikel, batu
bara, besi, emas. Eksploitasi yang dilakukan oleh kuasa patriarki dapat menyebabkan
kehancuran ekosistem untuk generasi selanjutnya. Alam tidak dihargai sama seperti gender
perempuan yang dipaksa untuk menerima perlakuan kaum patriat untuk memenuhi
keinginannya. Ekokritik dan feminisme sebagai bagian dari kritik sastra dapat menjadi
pembelajaran untuk menghargai kelestarian dan keseimbangan ekologi dan feminisme.
Dengan terbitnya novel-novel sastra yang mengangkat isu gender dan alam, tentu menjadi
salah satu upaya kampanye dalam menanamkan cinta lingkungan dan perempuan untuk
tetap diperlakukan sebagaimana haknya untuk tumbuh dan berkembang.

2. FENOMENA SASTRA HINAU DALAM KARYA SASTRA NOVEL

3. Nj
4. MNM

Anda mungkin juga menyukai