Anda di halaman 1dari 13

Problematika dan Prospek Relasi Gender di Indonesia

(Tinjauan Kritis Implementasi Nilai-nilai Islam dalam Relasi Gender)

Azhar Azizah1
1
Prodi Studi Agama-agama, Fakultas Ushuluddin,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia
email: azharaa022@gmail.com

Abstrak:

Wacana relasi gender adalah wacana krusial yang saat ini sedang
berkembang di Indonesia. Selain penting, wacana relasi gender juga
masuk dalam kategori isu-isu kontemporer dalam dunia akademis yang
masih hangat diperbicangkan oleh para aktivis, gerakan sosial, maupun
intelektual Muslim feminis. Meski demikian perlu kita perhatikan
bersama bahwa, pembahasan tentang relasi gender sejatinya telah ada
sejak dahulu dan akan selalu relevan dalam setiap perkembangan
zaman. Hal ini dapat ditelaah melalui wacana relasi gender yang
berkembang pada masa Orde Baru yang mengalami problematika
melalui politik domestifikasi ibuisme dan pembedaan gender yang
bersifat kodrati dalam wacana pembangunan dan sekaligus mengalami
prospek perkembangannya dalam mewujudkan relasi gender yang
harmonis, reseptif, komplementer melalui relasi atau kekerabatan
bilateral sebagai ciri khas relasi gender di Indonesia. Hal ini dapat
dibuktikan dengan menjamurnya gerakan atau organisasi muslimah
reformis dan para intelektual Muslim yang berusaha menafsirkan dan
mengembalikan nilai Islam sebagai sumber progresivitas emansipatif
yang menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai mitra yang
sejajar.

Kata Kunci: Orde Baru, Relasi Gender, Islam, Problematika, Prospek.

Abstract:

The discourse on gender relations is a crucial discourse that is


currently developing in Indonesia. Apart from being important, the
discourse on gender relations is also included in the category of
contemporary issues in the academic world which are still hotly
discussed by activists, social movements and Muslim feminist
intellectuals. However, we need to pay attention together that
discussions about gender relations have actually been around for a
long time and will always be relevant in every development of the
times. This can be explored through the discourse on gender relations
that developed during the New Order era which experienced problems
2
| Azhar Azizah

through the domestication politics of motherism and natural gender


distinctions in the development discourse and at the same time
experiencing the prospects for its development in realizing
harmonious, receptive, complementary gender relations through
bilateral relations or kinship. as a characteristic of gender relations in
Indonesia. This can be proven by the proliferation of various
movements or organizations of reformist Muslim women and Muslim
intellectuals who are trying to interpret and restore Islamic values as a
source of emancipatory progress that places men and women as equal
partners.

Keywords: New Order, Gender Relations, Islam, Problems, Prospects.

A. Pendahuluan

Dalam membahas relasi gender di Indonesia, hal ini tidak pernah terlepas pada nilai-nilai
Islam sebagai ajaran yang mayoritas dipeluk oleh masyarakat sekitar. Tak hanya itu,
kehadiran Islam juga dapat tampil sebagai sumber kerangka etika universal bagi advokasi
kesetaraan dan pilihan yang bijak (Anwar, 2021: 309) tentang etika egalitarianisme gender
mengenai cara membangun relasi yang setara dan seimbang melalui pesan etis Al-Qur‟an.
Selain menjadi landasan atau fondasi bagi pembentukkan relasi gender di Indonesia, Islam
juga merupakan salah satu prospek pembangunan relasi gender ideal yang sampai saat ini
masih terus diimplementasikan dalam kondisi kehidupan pribadi maupun sosial masyarakat
Indonesia. Hal ini dapat terlihat melalui relasi yang terjadi pada keluarga Muslim antara
suami dan isteri yang menerapkan konsep keluarga sakinah, mawaddah, warahmah1 dan
relasi bilateral dalam praktiknya. Dalam pemikiran Faqihuddin Abdul Qodir, konsep bilateral
dalam relasi gender sama halnya dengan konsep Qira'ah Mubadalah, yakni konsep yang
mengandung nilai kemitraan, kerjasama, kesalingan, timbal balik dan resiprokal. Atau konsep
yang dilandasi dengan spirit Tauhid yang menempatkan laki-laki dan perempuan berada
dalam posisi yang sejajar sebagai subjek kemanusiaan yang setara2 di bawah superioritas
Ketuhanan (Anwar, 2021: 306).
Problematika relasi gender di Indonesia, pada hakikatnya bersumber dari budaya
patriarkis yang ada, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan keagamaan
masyarakat Indonesia. Menurut Kamla Bhasin, patriarki adalah sebuah ideologi yang
menyebutkan secara umum tentang kekuasaan laki-laki (Bahsin, 1996: 1). Sedangkan
menurut Alfian Rokhmansyah (Rokhmansyah, 2013: 32), patriarki berasal dari kata
„patriarkat,‟ berarti struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal,
sentral, dan segala-galanya. Sebab dalam pandangan patriarki, laki-laki dan perempuan
adalah dua jenis makhluk yang berbeda dan harus dilakukan pembedaan pula melalui
segregasi ruang yang cukup ketat.3 Sehingga posisi perempuan hanyalah merupakan
subordinat (inferior) yang pada gilirannya melahirkan ketidaksetaraan atau ketidakadilan
gender yang diklasifikasikan berdasarkan politik perbedaan jenis kelamin (Anwar, 2017: 48).

1
A.M. Ismatulloh, “Konsep Sakinah, Mawaddah dan Rahmah Dalam Al-Qur‟an (Perspektif Penafsiran
Kitab Al-Qur‟an Dan Tafsirnya),” Mazahib: Jurnal Pemikiran Hukum Islam, vol. xiv, no. 1 (Juni 2015): 54-55
2
Ajat Sudrajat, “Kesetaraan Gender Dalam Penyelesaian Nusyuz Perspektif Teori Mubȃdalah,”
(Skripsi S1 Fakultas Syariah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2020), h. 3.
3
Halimah Bashri, “Konsep Relasi Gender dalam Tafsir Fii Zilaal Al-Qur‟an” (Disertasi S3, Fakultas
Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017), 6.

ICON-UF 2023
3
| Azhar Azizah

Bentuk problematika dalam relasi gender sendiri akan melahirkan keadaan inkonsistensi
gender, misalnya stereotip, diskriminasi, marginalisasi ruang, subordinasi, kekerasan, beban
kerja ganda, dan un-historisasi yang dialami oleh perempuan, karena dalam konstruksi
budaya patriarki, perempuan akan terus menjadi liyan, the second person, atau pun the
second sex seperti yang diungkapkan oleh Simone De Beavoir.4 Bagi Asante dan Mazama,
keadaan yang mengunggulkan laki-laki hanya akan menunjukkan keunggulan yang opresif
dan diskriminatif terhadap kehidupan sosial manusia (Asante dan Mazama, 2005: xxv).
Sementara itu, argumen „budaya patriarki yang menguntungkan laki-laki‟ juga tak selamanya
benar. Sebab dalam realitasnya, budaya patriarki telah membentuk pelabelan jati diri
maskulin secara mutlak yang harus diterima oleh laki-laki, misalnya bahwa laki-laki dalam
konstruksi sosial patriarkis dituntut untuk harus selalu kuat, tak boleh menangis, harus
menjadi pemimpin, pekerja keras, dsb. Inilah yang sejatinya menjadi beban yang harus
ditanggung dan secara sah seringkali diterima sebagai kebenaran mutlak oleh laki-laki,
meskipun dalam realitasnya, tidak selamanya laki-laki mampu untuk melaksanakan semua
tuntutan maskulinitas tersebut.
Sedangkan dalam realitas kehidupan keagamaan, kondisi sosial patriarkis yang hierarkis
akan berdampak pada relasi ketidaksetaraan dan ketidakseimbangan yang terjadi antara laki-
laki dan perempuan Muslim yang pada gilirannya akan menghasilkan ketidakseimbangan
relasi gender. Hal ini dapat di lihat bahwa, perempuan Muslim di Indonesia seringkali
menghadapi ketidakadilan gender dalam kehidupan keagamaan yang didasari secara kuat
oleh budaya patriarki dan hierarki gender yang mengutamakan dan mengunggulkan laki-laki.
Bagi Simone De Beavoir, penerimaan perempuan atas posisinya sebagai yang lain (the liyan)
atau perannya sebagai yang tertindas dalam keluarga harmonis khas patriarkis, pada akhirnya
akan melahirkan konsep „kesetaraan abstrak.‟5 Gender yang bersifat hierarkis dalam
kehidupan masyarakat Muslim selalu hadir pada tingkat teoritis dan praktik yang bersifat
dominan, sebab tendensi gender hierarkis akan terus menghasilkan perbedaan alami antara
laki-laki dan perempuan, baik dalam tataran ontologis, moral, spiritual, finansial, sosial,
budaya, dan politik (Anwar, 2017 : 18). Selain itu, kondisi sosial patriarkis yang hierarkis
juga telah menyebabkan timbulnya tafsir-tafsir keagamaan yang menyebabkan inkonsistensi
gender, di mana kedudukan perempuan Muslim selalu berada pada posisi subordinat. Hal ini
misalnya dapat ditelaah melalui tafsir Al-Qur‟an tentang penciptaan Adam (QS. Al-Baqarah
2: 30-31), posisi suami yang superior karena memiliki tanggung jawab finansial terhadap
keluarga sebagai pemimpin (QS. An-Nisa 4: 34), warisan (QS. An-Nisa 4: 176), dan saksi
(QS. Al-Baqarah 2: 282) (Anwar, 2017 : 19).
Pembacaan kaum Muslim atas tafsir-tafsir bias ini tidak hanya membuat teks tersebut
sebagai sumber utama legitimasi (Fadl, 1996: 12) kekuasaan laki-laki atas perempuan, tetapi
juga hal ini menimbulkan persepsi kebenaran publik tentang cara memperlakukan perempuan
Muslim yang baik dan benar (Anwar, 2017: 52). Namun sayangnya, perempuan Muslim tidak
menyadari hal ini sebagai sebuah masalah ketidakadilan dalam relasi gender, justru terkadang
kebanyakan dari mereka tak memiliki kekuatan untuk mendobrak tafsir bias tersebut dan
memilih untuk menerima begitu saja (taklid) (Anwar, 2017: 69) serta mendukung tafsiran
tersebut sebagai kebenaran absolut. Inilah yang kemudian membentuk legitimasi otoritatif
4
Ni Putu Laksmi Mutiara Prameswari dkk, “Feminisme Eksistensial Simone De Beauvoir: Perjuangan
Perempuan di Ranah Domestik.” Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Udayana, h. 3
5
Anita Dhewy, Edisi Khusus Feminisme: Feminisme Eksistensialis Perjuangkan Seksualitas
Perempuan (2023) dari https://www.konde.co/2022/12/edisi-khusus-feminisme-feminisme-eksistensialis-
perjuangkan-seksualitas-perempuan.tml/ (diakses pada 26 Oktober 2023)

ICON-UF 2023
4
| Azhar Azizah

dalam ajaran Islam, di samping proses penafsiran melalui ijtihad pada realitasnya dominan
bersifat ekslusif yang didasarkan pada pola pikir dan pengalaman sang penafsir (mufasir)
yang cenderung didominasi oleh laki-laki, sehingga Al-Qur‟an pada akhirnya berpotensi bisa
dibaca secara patriarkis (Anwar, 2017: 55) yang menyebabkan perempuan Muslim terus
mengalami miss-interpretasi dalam sejarah maupun kehidupan keagamaan.
Oleh sebab itu, inilah yang dihadapi oleh para perempuan Muslim dalam kehidupan
keagamaan maupun dalam tataran relasi gender di Indonesia yang masih timpang. Maka,
dibutuhkan prospek sebagai upaya untuk membangun relasi gender maupun pemberdayaan
perempuan Muslim di Indonesia, seperti yang telah banyak dilakukan oleh para sarjana,
teolog, feminis, aktivis, gerakan, dan intelektual Muslim melalui ijtihad non-yudisial maupun
timbulnya pergerakan-pergerakan perempuan yang berorientasi Muslimah Reformis– menjadi
kunci bagi terbangunnya relasi gender di Indonesia dalam mendobrak ketidakadilan dan
ketimpangan gender terhadap perempuan sebagai objek subordinat (inferior) dalam
kehidupan sosial maupun kehidupan keagamaan yang patriarkis dan hierarkis–seperti yang
terjadi pada masa Orde Baru. Sebab, Orde Baru secara nyata dan universal telah
memposisikan laki-laki dan perempuan memiliki peran kodrati sebagai bapak dan sebagai
ibu/isteri atau membentuk peran gender dalam kacamata pembangunan berdasarkan politik
pembedaan jenis kelamin melalui otoritarianisme rezim berdasarkan maskulinitas,
femininitas, dan hierarki gender yang akan terus berkembang.
Dengan upaya kritis ini, maka interpretasi atas tafsir dan makna Al-Qur‟an sebagai nilai-
nilai etis yang selalu relevan, akan membawa manusia berada dalam pemahaman kesetaraan
dan keadilan yang inklusif hingga tujuannya membentuk dan menciptakan relasi gender yang
bersifat reseptif, harmonis dan komplementer.6 Penulis dalam hal ini menyoroti nilai Islam
sebagai alat analisis memahami relasi gender melalui relasi antara suami-isteri dalam
keluarga Muslim di Indonesia, sebab pada realitasnya Islam adalah agama yang terbuka
terhadap konsep kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dan prospek pembangunan relasi
gender ideal. Di sisi lain nilai Islam juga berguna sebagai sumber advokasi dan emansipatif
kesetaraan dan keadilan yang sudah tertulis dalam Al-Qur‟an. Dengan demikian, maka nilai-
nilai Islam melalui pesan etis Al-Qur‟an sejatinya merupakan spirit dan prospek bagi
pembentukan relasi gender yang ideal di Indonesia.

B. Problematika Relasi Gender di Indonesia

Untuk mengawali narasi terkait relasi gender, kita perlu memahami terlebih dahulu apa
yang menjadi problem terkait relasi gender di Indonesia. Penulis mengawali bahwa,
problematika tentang relasi gender yang dialami oleh seluruh elemen masyarakat Indonesia
pada hakikatnya tidak terlepas dari konsep ketidaksetaraan dan pengklasifikasian antara laki-
laki dan perempuan. Problematika ini sejatinya telah ada sejak dahulu dan masih eksis hingga
kini. Hal ini menunjukkan bahwa, konsep kesadaran gender belum sepenuhnya
terimplementasikan dengan nyata, baik dalam lingkungan pribadi maupun dalam lingkungan
masyarakat. Misalnya dapat dilihat melalui survei yang dilakukan oleh Emy Susanti dan Siti

6
Azhar Azizah, “Perbandingan Pemikiran Tentang Relasi Gender Dalam Pandangan Etin Anwar dan
Sachiko Murata” (Skripsi S1, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2023),
22 dan 35-36.

ICON-UF 2023
5
| Azhar Azizah

Masudah yang mengkaji persentase kesadaran gender di kalangan mahasiswa Universitas


Airlangga (UNAIR) dan mahasiswa Universitas Pattimura (UnPatti) yang masih rendah.7
Selain itu, budaya pendukung yang menghambat relasi gender sulit terimplementasikan
dengan baik adalah eksistensi budaya patriarki yang kolot, yang masih tetap eksis di
lingkungan masyarakat sampai hari ini. Pengertian patriarki merujuk pada tiga definisi; (1)
patriarki merupakan kondisi sebuah masyarakat yang mengutamakan otoritas laki-laki, (2)
patriarki merupakan sebuah masyarakat yang berpusat dan didominasi oleh laki-laki
(Kesselman, 1999: 9), (3) budaya patriarki adalah sifat dasar mengenai ide-ide tentang segala
sesuatu yang di dalamnya kelaki-lakian dan maskulinitas secara erat dikaitkan dengan peran
manusia, sementara keperempuanan dan femininitas direndahkan sebagai pihak yang lain (the
other) (Anwar, 2017: 25). Dalam realitasnya, membaca kondisi sosial kehidupan masyarakat
Indonesia adalah patriarkis, karena laki-laki masih diposisikan superior terhadap perempuan
diberbagai sektor wilayah kehidupan–baik domestik ataupun publik. Tak hanya itu, hegemoni
laki-laki atas perempuan juga memperoleh legitimasi dari nilai-nilai sosial, agama, hukum
negara–yang terjadi pada masa Orde Baru, dan sebagainya yang tersosialisasi secara turun-
temurun, dari generasi ke generasi yang menyebabkan perempuan terus mengalami
subordinasi dan inferioritas, misalnya seperti keterbelakangan perempuan dalam hal
pendidikan (Wiyatmi, 2013: 1-2).
Bagi Muhadjir Darwin, posisi perempuan dalam budaya atau sistem patriarki masyarakat
Jawa adalah setara dengan bondo (harta), griyo (istana), turonggo (kendaraan), kukilo
(burung, binatang piaraan, bunyi-bunyian), dan pusoko (senjata, kesaktian). Penguasaan
terhadap perempuan adalah simbol kejantanan seorang lelaki, yang mana sifat ketundukan,
ketergantungan, dan kepasrahan perempuan atas laki-laki adalah gambaran kemuliaan hati
seorang perempuan Jawa.8 Dan inilah yang terjadi dalam kacamata keindonesiaan, terutama
dalam kondisi masa Orde Baru dan menempatkan perempuan dalam posisi yang sedemikan
lain dan subordinat.
Dalam hal ini, kondisi perempuan pada masa Orde Baru merupakan poin sentral yang
menyoroti problematika dan ketimpangan relasi gender dalam sejarah Indonesia. Meskipun
pemerintah berupaya mengangkat derajat perempuan Indonesia melalui wacana
pembangunan (rust en orde)9 dalam proyek feminisme–Woment in Development (WID),
Gender in Development (GID), dan Gender and Development (GAD), tetapi penggunaan
istilah tersebut dalam realitasnya memunculkan politik perbedaan gender sebagai penyebab
adanya ketidaksetaraan dan ketimpangan dalam relasi gender. (Anwar, 2021: 136).
Narasi feminisme, pada realitasnya tidak membuat perempuan terbedayakan secara
setara, justru feminisme dalam hal ini juga mendapatkan stigma yang dianggap
memposisikan perempuan Asia Tenggara, khususnya Indonesia lebih rendah dan tertindas
sebagai alat propaganda Orde Baru melalui ideologi “ibuisme”10. Hal ini sejatinya dilakukan
sebagai upaya menjalankan kekuasaan Orde Baru yang paternalistik dan menegaskan kembali
fungsi perempuan berdasarkan kodrat yang hanya berada pada ranah domestik. Padahal

7
Emy Susanti dan Siti Masudah, “Gender Consciousness among Students of Higher Education,”
International Journal of Innovation, Creativity and Change, Vol. 13, Issue. 1, 2020: 989-991
8
Muhadjir Darwin, “MASKULINITAS: Posisi Laki-Laki dalam Masyarakat Patriarkis,” Center for
Population and Policy Studies, Gadjah Mada University (June, 1999): 1.
9
Tiar Anwar Bachtiar, “Sikap Intelektual Persatuan Islam Terhadap Kebijakan Politik Orde Baru”
(Tesis S2, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, 2008), 50.
10
Mochammad Arief Wicaksono, “Mereka Yang Tidak Dibayar Tinggi: Ibuisme, Taman Kanak-kanak,
dan Kampung di Indramayu,” ETNOSIA: Jurnal Etnografi Indonesia, Vol.3 Ed.2 (Desember 2018): 122.

ICON-UF 2023
6
| Azhar Azizah

sejatinya, feminisme sendiri adalah oase yang memantik terwujudnya konsep kesetaraan
dalam kesadaran gender maupun relasi gender yang memperjuangkan ketidakadilan,
penyimpangan, dan kekerasan berbasis gender atau suatu upaya dalam menentang kondisi
struktural yang lebih menguntungkan dan mengutamakan laki-laki dibandingkan dengan
perempuan.
Bagi Agidia, perempuan Asia Tenggara, khususnya di Indonesia bukanlah perempuan
yang lemah, akan tetapi lebih merujuk pada pelemahan perempuan oleh suatu kuasa politik,
baik adat ataupun kerajaan (pemerintah), yang pada akhirnya keadaan ini menciptakan
ketimpangan dalam relasi gender11 dan relevan pada masa pemerintahan Orde Baru.
Suryakusuma menyebut istilah "ibuisme negara" untuk menjelaskan indoktrinasi Orde Baru
mengenai status perempuan sebagai ibu dan istri.12 Jika perempuan bagus dalam pengelolaan
rumah tangga, mereka akan menerima penghormatan dari laki-laki. Hal inilah yang pada
akhirnya akan meninggikan status dan derajat mereka untuk diakui dan dihormati secara
penuh sebagai manusia, meskipun di sisi lain ideologi kesetaraan ini dimanfaatkan oleh
pemerintah untuk mempertahankan rezim dan ideologisnya. Alih-alih mendapatkan
pemberdayaan (melalui peran aktif perempuan dalam pembangunan yang mendukung
proyek-proyek negara melalui kebijakan westernisasi), perempuan dan keluarga sejatinya
hanyalah dibuat tunduk pada kekuasaan negara yang paternalistis. (terakhir)
Pelabelan melalui politik ibuisme ini sejatinya merupakan problematika yang harus
dikritisi. Sebab, selain mendomestifikasikan citra perempuan dalam ranah pribadi maupun
publik, di sisi lain, hal ini juga kembali mengesahkan dan mendukung prestise kesejahteraan
dan status laki-laki, sedangkan perempuan harus tunduk pada struktur kelembagaan
paternalistis pemerintah yang mendukung maskulinitas di Indonesia (Anwar, 2021: 145-146).
Model emansipasi yang berusaha digenderkan oleh negara, sejatinya menjadi proyek negara
dengan sengaja untuk memperkuat peran gender laki-laki dan perempuan berdasarkan
pembagian kerja secara seksual (Anwar, 2021: 146) serta memicu timbulnya ketimpangan
dalam relasi gender melalui timbulnya relasi kuasa dan ketundukan penuh yang terjadi antara
laki-laki (suami) dan perempuan (isteri) dalam institusi keluarga.
Hal ini kemudian mengindikasikan bahwa, alih-alih memberdayakan perempuan melalui
konsep kesetaraan yang dibawakan oleh politik kolonial-feminis Barat dalam ideologi
pembangunan. Namun pada realitasnya, hal ini justru membuka jurang pemisah yang lebar
mengenai inkonsistensi relasi gender yang menempatkan elastisitas laki-laki berada pada
tingkat teratas sebagai bapak yang memiliki kekuasaan penuh, sedangkan perempuan berada
pada tingkat subordinat sebagai ibu–di samping tidak memiliki hak penuh untuk
menyampaikan hak-hak dan kemerdekaan mereka sebagai perempuan dan sebagai sesama
manusia. Maka, peran aktif perempuan dalam pembangunan, hanya dituntut untuk
mendukung proyek-proyek modern negara melalui kebijakan westernisasi yang paternalistis.
Suryakusuma memiliki pandangan kritis terhadap ketetapan-ketetapan dan aturan Dharma
Wanita (1974), yang menegaskan kembali ideologi ibuisme negara dalam hierarki
keanggotaan dan struktur organisasinya yang sistemis dan menyisakan sedikit ruang untuk
mengembangkan otonomi perempuan. Maka, hal ini menyimpulkan bahwa, rezim orde baru
sejatinya mengimplementasikan GBHN dalam berbagai program dan lembaga yang
11
Agidia Oktavia, Selayang Pandang Relasi Gender di Indonesia: Problem dan Prospek (2023) dari
https://www.academia.edu/12664546/Selayang_Pandang_Relasi_Gender_di_Indonesia (diakses pada 21 Juni
2023), 4.
12
Julia I. Suryakusuma, “The State and Sexuality in New Order Indonesia,” dalam Etin Anwar,
Feminisme Islam: Genealogi, Tantangan, dan Prospek di Indonesia (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2021), h. 142.

ICON-UF 2023
7
| Azhar Azizah

mendorong kekuasaan hegemonik tentang ideologi gender; maskulinitas, femininitas, dan


hierarki gender (Anwar, 2021: 151) dalam pemerintahannya secara universal selama 32
tahun. Dalam pengertian ini, maka penyebaran nilai keibuan sebagai wacana yang dominan
dalam Dharma Wanita maupun PKK13, tentu saja tidak sepenuhnya memberdayakan
perempuan. Justru hal ini mengimplementasikan nilai-nilai paternalistis negara melalui
politik ibuisme. Konsep ketidaksetaraan dan pengklasifikasian ini telah ada sejak zaman pra-
Islam dengan didasarkan pada politik pembedaan berdasarkan jenis kelamin yang kemudian
menghasilkan suatu sistem atau tatanan yang hierarkis yang diimplementasikan dalam
kehidupan bermasyarakat maupun dalam relasi gender itu sendiri.
Meski demikian, kebijakan yang melibatkan bahwa 'perempuan berperan aktif dalam
pembangunan' pada realitasnya rata-rata didukung oleh gerakan perempuan dunia ketiga,
khususnya perempuan Muslim sebagai suatu paham yang ideal. Sebab, pergerakan mereka
sejak dahulu sebagai masyarakat Asia Tenggara, tidak terlepas pada konsep keluarga yang
merupakan jantung kehidupan (Anwar, 2021: 146) yang tetap membawa nilai-nilai asli
pribumi, kewajiban-kewajiban agama dan adat di dalamnya. Namun, problematika
selanjutnya terhadap implementasi relasi gender yang sesuai dengan nilai-nilai Islam sebagai
ajaran yang etis dan terbuka terhadap kesetaraan gender adalah bahwa, pada masa ini, praktik
Islam dianggap sebagai penghambat kemajuan negara dan perempuan dalam kacamata
feminis dan Orde Baru. Maka, solusi yang dilakukan pemerintah saat itu adalah, mengganti
azas Islam dengan azas Pancasila melalui kebijakan yang otoriter sebagai ideologi yang
tertutup (berdasarkan pada kepatuhan negara), dengan cara membatasi ekspresi-politik Islam
yang sempat berpengaruh pada stagnannya pergerakan atau perhimpunan-perhimpunan
perempuan, seperti Muslimat NU (1946) (Nakamura dan Kafrawi, 2009: 206-212), Aisyiyah
(1917) (Fatimah, 2021: 85), dan Persistri (1936). Politik penyingkiran atas Islam maupun
oganisasi-organisasi yang berafiliasi Islam ini sejatinya memperburuk hubungan yang rapuh
dan paradoksal antara Islam dan feminisme di Indonesia. Padahal, hingga 1980-an kelompok
Islam dan promosi para aktivis gender sekuler sama-sama menitikberatkan pada retorika
kesetaraan gender. (Anwar, 2021: 138-139)
Dalam kacamata feminisme, Islam dinilai menghambat advokasi kesetaraan tentang
emansipasi. Toety Heraty, seorang intelektual feminis sekuler dalam hal ini menyampaikan
bahwa; (1) kepatuhan-agamis perempuan dalam Islam terhadap suaminya memiliki korelasi
dengan etika perniagaan (transaksi)–yang menitikberatkan superioritas laki-laki terhadap
perempuan, (2) konsep perlindungan perempuan dalam Islam merupakan tradisi atau praktik
dari budaya pingitan, (3) perempuan dalam Islam tetap akan dan selalu diposisikan sebagai
makluk kelas kedua (subordinat), (4) pembagian kerja secara seksual menjadi alat yang sah
untuk menindas perempuan sebagai makhluk kelas kedua yang hidupnya didedikasikan untuk
melayani suami, mengurus anak-anak dan keluarga, serta memproduksi generasi baru, dan (5)
dukungan Islam terhadap poligami menunjukkan bahwa perempuan dapat digantikan, dan
bahwa Islam tidak memiliki nilai-nilai etis terhadap implementasi keadilan dan kesetaraan
gender (Anwar, 2021: 178-180).
Dengan demikian hal ini menandai bahwa, selain stigma melalui miss-interpretasi
perempuan dalam kehidupan sosial terhadap Islam, posisi umat Islam pada masa pemerintah

13
PKK selama ini menjadi bagian penting dalam kajian-kajian mengenai ibuisme dalam kaitannya
dengan negara dan konstruksi rezim Orde Baru terhadap kaum perempuan dewasa (Wicaksono, M. A, “Ibuisme
Masa Kini: Suatu Etnografi tentang Posyandu dan Ibu Rumah Tangga”. UMBARA Indonesian Journal of
Anthropology, Vol.1, No.2 (2017).

ICON-UF 2023
8
| Azhar Azizah

Orde Baru periode pertama juga berada dalam posisi berhadapan (vis a vis).14 Selain itu, alih-
alih feminisme digunakan sebagai wacana pembangunan pada masa Orba, para intelektual
feminis menyebutkan bahwa, proyek orde baru melalui “ibuisme negara” dan ajaran Islam
yang cenderung konservatif merupakan upaya domestifikasi yang melemahkan peran
perempuan sebagai isteri dan ibu berdasarkan politik pembedaan jenis kelamin yang harus
patuh dan tunduk pada kekuasaan negara maupun pola relasi keluarga yang paternalistis.
Di samping itu. sejarah relasi gender di Indonesia pada masa Orde Baru juga masih
mengalami ketimpangan yang besar, yakni belum sepenuhnya terealisasi dengan baik dalam
mewujudkan kesetaraan gender yang ideal. Hal ini dikarenakan relasi yang ada sejatinya sulit
untuk mencapai kemitraan yang sejajar dan seimbang dalam relasi gender. Sebab, peran serta
fungsi perempuan dan laki-laki dalam rezim Orde Baru masih diukur berdasakan politik
pembedaan jenis kelamin.

C. Prospek Relasi Gender di Indonesia


Adapun prospek relasi gender, terutama yang terjadi pada masa Orde Baru agaknya tepat
jika mengambil tema “mewujudkan relasi gender yang inklusif di Indonesia” dengan
mengembalikan dan memasukkan kembali nilai-nilai Islam sebagai sumber progresivitas
emansipatif atau sumber advokasi kesetaraan dan pilihan yang bijak dalam membangun
hubungan yang harmonis antara laki-laki dan perempuan sebagai mitra yang sejajar.
Sebab, untuk mewujudkan relasi yang inklusif dan disertai nilai-nilai harmonis, reseptif,
dan komplementer dalam konteks keindonesiaan–haruslah mengutamakan relasi bilateral.
Maka dalam hal ini, manusia baik laki-laki maupun perempuan harus kembali lagi kepada
ajaran Islam dan makna Al-Qur‟an sebagai kiblat, kerangka-pesan etis, dan ajaran yang
egaliter-emansipatif, yang sejatinya mendukung kesetaraan dan keadilan antara laki-laki dan
perempuan dengan kembali kepada prinsip Tauhid. Sebab, realisasi relasi gender di
Indonesia, tidak akan pernah terlepas dengan nilai-nilai Islam yang dianutnya, mengingat
mayoritas masyarakat Indonesia adalah pemeluk Islam. Selain itu bagi Ajat Sudrajat dengan
megambil perspektif Faqihuddin Abdul Qodir, relasi bilateral juga telah memunculkan
adalanya istilah „mubȃdalah’, yakni sebuah perspektif dan pemahaman dalam relasi antara
dua belah pihak, yang mengandung nilai dan semangat kemitraan, kerjasama, kesalingan,
timbal balik, dan prinsip resiprokal atau sebuah relasi yang didasarkan pada hubungan yang
harmonis antara laki-laki dan perempuan.15

14
Terdapat beberapa alasan yang menyebabkan hubungan antara Orde Baru dan Islam tidak harmonis:
Pertama, Islam sangat percaya pada demokrasi. Kedua, orang-orang Islam adalah mayoriti penduduk Indonesia
sehingga dengan mekanisme penyelenggaraan negara yang demokratis akan mudah bagi Islam untuk
mengambil kendali kehidupan politik dan mewujudkan nilai-nilai Islam dalam segala aspek kehidupan politik.
Ketiga, adanya individu-individu di kalangan umat Islam yang menginterpretasikan Islam secara harfiah/ketat
sehingga dalam proses artikulasinya sering dilakukan secara keras dan memicu konflik-konflik yang
primodialistik. Keempat, terutama di kalangan Angkatan Darat, pengalaman masa lampau yang sangat traumatik
dengan DI/TII, Kahar Muzakkar, Daud Beureueh, mempunyai presepsi kurang positif bahkan cenderung
mencurigai pihak Islam sebagai ekstrim kanan. Kelima, karateristik pemerintahan yang otoriter yang dipilih
sebagai upaya membentuk format politik yang baru terutama dalam masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru.
(Afan Gaffar dan Moh. Mahfud, "Dua menteri Agama dalam Pergumulan Politik hukum Islam di Indonesia",
dalam Okrisal Eka Putra, “Hubungan Islam dan Politik Pada Masa Orde Baru,” JURNAL DAKWAH, Vol. IX No.
2 (Juli-Desember 2008): 187.)
15
Ajat Sudrajat, “Kesetaraan Gender Dalam Penyelesaian Nusyuz Perspektif Teori Mubȃdalah,”
(Skripsi S1 Fakultas Syariah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2020), h. 42.

ICON-UF 2023
9
| Azhar Azizah

Oleh sebab itu, maka kekerabatan bilateral menjadi solusi bagi prospek relasi gender yang
harmonis pada masa Orde Baru dalam sejarah Indonesia yang ditandai dengan ciri suatu
hubungan yang menekankan aspek relasi yang reseptif dan komplementer. Atau, relasi gender
yang mengutamakan konsep bilateral dengan cara menerapkan hubungan yang lebih cair
sebagai mitra yang sejajar. Lebih jauh, relasi ini bisa sampai pada tahap pertukaran peran
antara suami dan isteri yang saling dapat diterima, hingga terwujudnya keluarga yang
sakinah, mawaddah, warahmah16 yang diridhai dalam Islam.
Dalam relasi yang bilateral, hubungan ini tidak selalu menonjolkan perbedaan gender,
karena perbedaan gender disepakati sebagai problem utama yang menyebabkan terjadinya
ketidakseimbangan atau inkonsistensi dalam relasi gender menuju perpecahan. Status yang
saling melengkapi antara gender laki-laki dan perempuan disebabkan oleh kesepakatan
bilateral yang secara tidak langsung memberikan kesetaraan dalam konstruksi gender yang
lebih progresif. (Anwar, 2021: 156-157)
Dalam kacamata keindonesiaan, meskipun relasi yang terjadi masih bersifat kodrati yang
didasarkan pada perbedaan jenis kelamin. Namun, keharmonisan relasi yang terjadi dalam
lingkup keluarga maupun sosial mampu terimplementasikan dengan baik. Misalnya,
meskipun dalam realitasnya peran perempuan dalam rezim Orde Baru diinternalisasikan
sebagai ibu dan isteri dalam posisi yang subordinat, sedangkan peran laki-laki
diinternalisasikan sebagai bapak atau ayah dalam posisi yang superior (berdasarkan
pembedaan jenis kelamin), relasi yang terjadi masih melekatkan ciri khas kekeluargaan dan
kekerabatan yang bersifat harmonis. Hal ini dapat dilihat melalui Undang-Undang
Pernikahan (Peraturan Kementerian Agama No. 3/1975) (Anwar, 2021: 163) yang
menjelaskan bahwa, dalam surat nikah menyatakan kewajiban suami-istri adalah saling
menginternalisasikan keluarga dengan baik menjadi pengayom, pembimbing, dan pelindung
satu sama lain–meskipun posisi perempuan masih dilekatkan sebagai posisi kodrati dengan
cara melayani dan mendukung suaminya. Hubungan yang tidak seimbang ini, sejatinya
memproduksi lingkaran ketergantungan ekonomi perempuan pada laki-laki. Namun,
meskipun para istri tidak menjadi korban penjagaan laki-laki yang ketat, tetapi kebanyakan
mereka dengan sadar mengetahui bahwa ketaatan pada suami merupakan kunci perkawinan
yang bahagia dan stabil. Inilah yang diimplementasikan dalam keluarga Muslim di Indonesia.
Situasi ini sempat menegang, tetapi mampu di redakan kembali dengan cara melihat
kembali prinsip-prinsip Al-Qur‟an dan Islam yang menempatkan laki-laki dan perempuan
sebagai mitra yang sejajar dalam konteks kemanusiaan yang setara. Selain itu, prinsip relasi
gender dalam konsep keindonesiaan tidak menganut paham individualistis dan perpecahan
seperti yang umumnya terjadi di Barat, melainkan relasi gender yang ada sejatinya tidak
terlepas dengan konsep keluarga sebagai jantung utama kehidupan.
Adapun Gender And Development (GAD) yang dikembangkan oleh Orde Baru telah
menandai mulainya analisis gender dalam pembangunan GBHN 1993 yang berbicara tentang
pentingnya partisipasi perempuan yang dalam keluarga dan masyarakat yang harus dilindungi
oleh negara (Hamid, 2017: 84). Pada masa ini, pemerintah memperkenalkan gagasan tentang
kemitrasejajaran dan menginisiasi implementasi Gender and Development. Konsep
kemitrasejajaran sendiri merupakan suatu konsep harmonis antara laki-laki dan perempuan

16
A.M. Ismatulloh, “Konsep Sakinah, Mawaddah dan Rahmah Dalam Al-Qur‟an (Perspektif Penafsiran
Kitab Al-Qur‟an Dan Tafsirnya),” Mazahib: Jurnal Pemikiran Hukum Islam, vol. xiv, no. 1 (Juni 2015): 61-63.

ICON-UF 2023
10
| Azhar Azizah

yang merupakan kondisi dinamis yang didalamnya laki-laki dan perempuan memiliki
kesamaan hak, kewajiban, dan kesempatan berdasarkan sikap saling menghormati, saling
menghargai, saling mendukung, dan saling menolong dalam konteks pembangunan di
berbagai bidang. Maka, diperlukan adanya pengenalan gender, sehingga masyarakat menjadi
sadar dalam mewujudkan kesadaran gender melalui pembangunan yang berwawasan
gender.17
Maka, selain nilai-nilai Islam berperan sebagai kerangka etika universal yang
mengandung prinsip kesetaran manusia di dalamnya, azas Pancasila yang final juga dalam
hal ini berperan penting sebagai akomodir dalam membangun wacana gender atau pewujudan
relasi gender yang ideal melalui nilai-nilai yang memiliki prinsip ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, dan keadilan–yang cocok untuk diterima dan diterapkan dalam
pembentukkan relasi gender yang inklusif oleh para perempuan Muslim. Oleh karena itu,
seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa, walaupun kebijakan yang melibatkan perempuan
aktif dalam pembangunan, masih bersifat paternalistis dan kodrati, tetapi pada realitasnya, hal
ini banyak didukung oleh gerakan perempuan dunia ketiga, khususnya perempuan Muslim
sebagai suatu paham yang ideal. Sebab, pergerakan mereka sejak dahulu, tidak terlepas pada
konsep keluarga yang merupakan jantung kehidupan (Anwar, 2021: 146) yang tetap
membawa nilai-nilai asli pribumi, kewajiban-kewajiban agama dan adat di dalamnya, serta
cocok dengan ideologi gender negara melalui “ibuisme negara.”
Upaya ini tentunya tak hanya melahirkan konsep kemitrasejajaran di kalangan laki-laki
dan perempuan, tetapi juga memantik munculnya para sarjana dan intelektual-intelektual
Muslim yang melakukan interpretasi ulang terhadap tafsir-tafsir yang misoginis dan
menyebabkan posisi perempuan subordinat melalui upaya re-interpretasi ijtihad non-yudisial
dengan cara mengembalikan kembali nilai-nilai Islam sebagai pesan etis universal maupun
Al-Qur‟an sebagai spirit progresivitas emansipatif yang menempatkan laki-laki dan
perempuan dalam posisi yang sejajar dan setara di hadapan Allah SWT–dengan kembali
kepada landasan Tauhid sebagai satu-satunya superioritas yang paling tinggi. Hal ini seperti
yang dilakukan oleh Etin Anwar, Neng Dara Affiah. K.H. Husein Muhammad, Faqihuddin
Abdul Qodir, Musdah Mulia, Ratna Megawangi, Zaitunah Subhan, dsb. Misalnya, Etin
Anwar sendiri berusaha mengkaji konsep ketidakadilan gender dalam Islam yang dikaji ulang
menggunakan kacamata filsafat Islam (Anwar, 2017: 26), Zaitunah Subhan yang berusaha
menelaah tafsir-tafsir kebencian misoginis yang bias gender dengan mengkaji kembali pesan
etis Al-Qur‟an18, dan Musdah Mulia seorang aktivis, feminis, dan juga intelektual Muslim
moderat yang berusaha mengkaji ulang praktik poligami yang secara lugas dan keras
menolak sebagai praktik kesewenangan (lighairihi) dan menginterpretasi pendapat umat
Islam bahwa poligami merupakan sebagai tuntutan dan kewajiban dalam agama.19 Upaya ini
juga sebagai acuan dalam merespons tantangan Orba di zaman selanjutnya yang
mendefinisikan perempuan hanya berada pada ranah domestifikasi dan subordinat sebagai ibu
dan isteri dalam konsep ibuisme negara. Apakah posisi perempuan dalam Islam hanya sebatas

17
Sri Pujiastuti, “Kemitrasejajaran dan Peningkatan Produktivitas Wanita,” Cakrawala Pendidikan,
Vol.1 (1997): 182.
18
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir Qur‟an, dalam
Halimatussa‟diyah, “Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir Al-Qur‟an Karya Zaitunah Subhan,”
Jurnal Ilmu Agama: Mengkaji Doktrin, Pemikiran, dan Fenomena Agama, Vol.16, No.1 (2015)
19
Yusefri, “Hukum Poligami Menurut SitI Musdah Mulia (Suatu Tinjauan Metodologis),” Mizan:
Jurnal Ilmu Syari’ah, Vol.3 No.2 (2015): 210 dan 217.

ICON-UF 2023
11
| Azhar Azizah

dalam ranah domestik dan ibu saja? Atau mitra yang sejajar seperti yang termaktub dalam
nilai-nilai atau pesan etis Al-Qur‟an yang membawa angin segar emansipatif bagi
pemberdayaan perempuan maupun mewujudkan relasi gender yang bilateral?
Selain munculnya gerakan organisasi-organisasi atau perhimpunan-perhimpunan
perempuan (muslimah reformis), hal ini juga memantik munculnya LSM-LSM yang
menyerukan kemitrasejajaran dan keberpihakan pada perempuan. Hal ini seperti yang
dilakukan YASANTI, Kalyanamitra maupun LBH Apik yang merealisasikan sebuah sistem
hukum yang sensitif gender dan mempromosikan hubungan yang adil antara laki-laki dan
perempuan dengan penekanan pada pentingnya penghapusan segala bentuk ketidakadilan dan
ketidaksetaraan gender. (Anwar, 2021: 168-169). Meningkatnya jumlah organisasi yang
berorientasi gender juga sejatinya telah menyatukan upaya untuk melawan dominasi patriarki
berupa pemaksaan negara tentang nilai keibuan yang diberlakukan secara universal bagi
semua perempuan yang terus mendomestifikasi peran perempuan berdasarkan seksualitas
(Anwar, 2021: 171).
Maka dengan demikian, perlibatan perempuan dalam proyek reformasi Islam
menggaungkan semangat zaman yang menyerukan integrasi perempuan dan kepentingan
mereka ke dalam gerakan sosial yang progresif. Hal ini juga menandai bahwa ajaran Islam
dan wacana kesetaraan hingga pembentukan upaya relasi gender, terus relevan dalam setiap
perkembangan zaman. Tahap ini pada akhirnya akan membuka jalan bagi Islam sebagai etika
pembentukan relasi gender yang harmonis dan bilateral dengan memasukkan ide-ide seputar
nilai-nilai kesetaraan gender dan implementasi gender etis yang sesuai dengan Al-Qur‟an
(Anwar, 2021: 77). Selain itu, retorika ini juga membawa pemahaman nilai-nilai Islam
tentang kesetaraan di Indonesia bahwa, Islam adalah ajaran inklusif yang menegaskan
kembali hakikat relasi gender yang harmonis antara laki-laki dan perempuan sebagai
pembentuk kemanusiaan dan sesama subjek dalam institusi keluarga dan komunitas
(kehidupan bernegara dan bermasyarakat).
D. Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa, berbicara tentang problematika dan
prospek relasi gender di Indonesia, hal ini tidak pernah terlepas pada masa Orde Baru sebagai
sentral sejarah yang merealisasikan peran gender berdasarkan misi pembangunan (rust en
orde) yang berwawasan gender dengan mengambil konsep emansipasif yang berasal dari
feminis Barat. Problematika relasi gender di Indonesia, pada hakikatnya bersumber dari
budaya patriarkis, melalui politik “ibuisme negara” sebagai usaha dalam menjalankan
kekuasaan Orde Baru yang paternalistik dan menegaskan kembali fungsi perempuan
berdasarkan kodrat yang hanya berada pada ranah domestik. Oleh sebab itu, alih-alih
mendapatkan pemberdayaan yang sebenarnya, perempuan dan keluarga sejatinya hanyalah
dibuat tunduk pada kekuasaan negara yang paternalistis. Di sisi lain, peran Islam sebagai
angin segar emansipasi juga mendapatkan stigma dari Barat maupun para feminisme sekuler
yang melahirkan kontradiksi antara Islam dan feminisme dan mempertanyakan posisi
perempuan dalam definisi sebagai “yang tertindas”.
Adapun prospek relasi gender di Indonesia sejatinya juga membawa angin segar melalui
konsep kemitrasejajaran laki-laki dan perempuan dalam relasi bilateral yang dikembangkan
dalam wacana keislaman melalui konsep mubadalah maupun yang dikembangkan dalam
proyek Gender and Development (GAD) oleh pemerintah untuk perwujudan membentuk
relasi gender yang harmonis, reseptif, inklusif dan komplementer. Hal ini seperti munculnya

ICON-UF 2023
12
| Azhar Azizah

para intektual Muslim yang mengkaji kembali penafsiran yang misoginis maupun menjamur
dan berkembangnya organisasi-organisasi perempuan Muslim reformis yang menyerukan
kesetaraan dan pemberdayaan perempuan demi mewujudkan relasi gender yang harmonis.

Referensi:
Anwar, Etin. Feminisme Islam: Genealogi, Tantangan, dan Prospek di Indonesia. Bandung:
PT Mizan Pustaka, 2021.
Anwar, Etin. Jati Diri Perempuan dalam Islam. Bandung: PT Mizan Pustaka, 2017.
Asante, M. K., & Mazama, A. Encyclopedia of Black Studies. California: SAGE Publications,
2005.

Azizah, Azhar. “Perbandingan Pemikiran Tentang Relasi Gender Dalam Pandangan Etin
Anwar dan Sachiko Murata.” Skripsi S1. Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2023.

Bashri, Halimah. “Konsep Relasi Gender dalam Tafsir Fii Zilaal Al-Qur‟an.” Disertasi S3.
Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017.

Bachtiar, Tiar Anwar. “Sikap Intelektual Persatuan Islam Terhadap Kebijakan Politik Orde
Baru.” Tesis S2. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, 2008.

Bhasin, Kamla. Menggugat Patriarki. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1996.

Darwin, Muhadjir. “MASKULINITAS: Posisi Laki-Laki dalam Masyarakat Patriarkis,”


Center for Population and Policy Studies, Gadjah Mada University (Juni, 1999): 1.

Fadl, Khaled Abou El. Speaking In God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women. Oxford:
Oneworld, 1996.

Fatimah, Siti. Negara dan Perempuan: Representasi Politik Perempuan Masa Orde Baru.
Depok: PT Raja Grafindo Persada, 2021.

Gaffar, Afan dan Moh. Mahfud. "Dua menteri Agama dalam Pergumulan Politik hukum
Islam di Indonesia." dalam Okrisal Eka Putra, “Hubungan Islam dan Politik Pada
Masa Orde Baru,” JURNAL DAKWAH, Vol. IX No. 2 (Juli-Desember 2008): 187.

Hamid, Abd. Haris. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Makassar: SAH Media,
2017.

Ismatulloh, A.M. “Konsep Sakinah, Mawaddah dan Rahmah Dalam Al-Qur‟an (Perspektif
Penafsiran Kitab Al-Qur‟an Dan Tafsirnya)”. Mazahib: Jurnal Pemikiran Hukum
Islam, vol. xiv, no. 1 (Juni 2015): 54-55.

Kesselman, Amy, Lily D. McNair Schniedewind. “What Is Women‟s Studies.” in Women:


Images and Realities. California: Mayfield Publishing Company, Ed. 1999.

ICON-UF 2023
13
| Azhar Azizah

Oktavia, Agidia. “Selayang Pandang Relasi Gender di Indonesia: Problem dan Prospek”,
Academia.edu, 21 Juni, 2023, diakses dari
https://www.academia.edu/12664546/Selayang_Pandang_Relasi_Gender_di_Indonesi
a

Nakamura, Mitsuo dan Shalahudin Kafrawi, “Nahdatul Ulama”, in John El. Espocito (Ed).
The Oxford Encyclopedia Of Modern Islamic World. Oxford: Oxford University
Press, 2009.

Prameswari, Ni Putu Laksmi Mutiara dkk. “Feminisme Eksistensial Simone De Beauvoir:


Perjuangan Perempuan di Ranah Domestik”. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Udayana.

Pujiastuti, Sri. “Kemitrasejajaran dan Peningkatan Produktivitas Wanita”. Cakrawala


Pendidikan, Vol.1 (1997): 182.

Rokhmansyah, Alfian. Pengantar Gender dan Feminisme (Pemahaman Awal Kritik Sastra
Feminisme). Yogyalarta: Penerbit Garudhawaca, 2016.

Subhan, Zaitunah. Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir Qur‟an. dalam
Halimatussa‟diyah. “Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir Al-Qur‟an
Karya Zaitunah Subhan.” Jurnal Ilmu Agama: Mengkaji Doktrin, Pemikiran, dan
Fenomena Agama. Vol.16, No.1 (2015).

Sudrajat, Ajat. “Kesetaraan Gender Dalam Penyelesaian Nusyuz Perspektif Teori


Mubȃdalah.” Skripsi S1. Fakultas Syariah Dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2020.

Suryakusuma, Julia I. “The State and Sexuality in New Order Indonesia,” dalam Etin Anwar.
Feminisme Islam: Genealogi, Tantangan, dan Prospek di Indonesia. Bandung: PT
Mizan Pustaka, 2021.

Susanti, Emy dan Siti Masudah. “Gender Consciousness among Students of Higher
Education.” International Journal of Innovation, Creativity and Change. Vol. 13,
Issue. 1, 2020: 989-991.

Wicaksono, Mochammad Arief. “Mereka Yang Tidak Dibayar Tinggi: Ibuisme, Taman
Kanak-kanak, dan Kampung di Indramayu”. ETNOSIA: Jurnal Etnografi Indonesia,
Vol.3 Ed.2 (Desember 2018): 122.

Wiyatmi. Menjadi Perempuan Terdidik: Novel Indonesia dan Feminisme. Yogyakarta: UNY
Press, 2013.

Yusefri. “Hukum Poligami Menurut SitI Musdah Mulia (Suatu Tinjauan Metodologis).”
Mizan: Jurnal Ilmu Syari’ah. Vol.3 No.2 (2015).

ICON-UF 2023

Anda mungkin juga menyukai