Anda di halaman 1dari 6

RESUME BUKU QIRA’AH MUBADALAH

(Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender dalam Islam)

Bukunya berjudul Qira’ah Mubadalah: Tafsir Progresif untuk Keadilan


Gender dalam Islam, memiliki ketebalan 616 halaman dan disetiap tema yang
dikupas sangat ketat dengan referensi buku dan kitab dibidangnya. Menurut saya,
buku tersebut menarik untuk dibaca dan disimak secara tuntas alias sampai
khatam. Sekelebat saya membaca pengantar dari beberapa nama tokoh yang
terpampang dibeberapa halaman bagian depan buku tersebut narasi komentarnya
mampu menggugah minat baca saya untuk lebih semangat menelusuri buku ini
sampai rampung.

Buku karya DR. KH. Faqihudin Abdul Qadir, MA tersebut sarat dengan
pemaparan ilmiah yang sangat gamblang. Hal ini tentu mencerminkan kualitas
keilmuan mumpuni dibidangnya dan jam terbang kajian keislaman yang
dilakoninya. Gamblangnya pemaparan ditandai dengan kuatnya referensi yang
terkuak dalam penjelasan disetiap tema yang diangkat dalam pembahasan setiap
bab dalam buku tersebut. Saya bersyukur dan bangga menjadi bisa menjadi murid/
mahasiswa beliau. Kedalaman ilmu kyai faqih sering saya rasakan pada saat
mengikuti perkuliahan dan saya merasakan fantasi akademik yang luar biasa
bersama beliau. Kami sekelas terasa diajak menyelam disamudra ilmu yang begitu
luas dan luar biasa dalamnya. Meskipun pada akhirnya saya merasa keteteran
mengikuti daya talar dan penjelasan beliau dalam mengurai tafsiran-tafsiran atas
teks al-Qur’an dan hadits yang beliau sampaikan. Sehingga perlu konsentrasi
penuh dalam menyimak setiap penjelasannya.

Buku ini hadir untuk menjawab kegelisahan akademik yang berkembang


saat ini dalam memahami teks al qur’an dan hadits terkait dengan issue
kesetaraan gender dengan pendekatan perspektif mubadalah. Kyai faqih, dengan
kepiawaian dan kedalaman ilmunya mampu memaparkan secara gamblang dan
terurai atas tantangan pertanyaan ilmiah mengenai rekontruksi pemaknaan gender
dalam teks suci Islam, alqur’an dan hadits. Keilmuannya diakui oleh salah satu

1
Tokoh islam perempuan dalam komentarnya tentang buku ini, yakni “
Memandang perbedaan (termasuk laki-laki dan perempuan) tidak selalu sebagai
yang berlawanan atau vis a vis adalah salah satu cara metodologi mubadalah
memaknai teks dan realitas. Perbedaan dapat dipersatukan dengan kesalingan dan
mencari titik temu, daripada membentangkan jarak dengan perlawanan. Bagi
pegiat sosial, buku ini sangat membantu untuk mempertahankan dan
menyampaikan nalar kritis dan konstruktif dengan cara elegan dan
mendamaikan.” Menurut saya pernyataan ini adalah sebuah pengakuan yang
mendalam atas kualitas individu kang faqih dan buku yang beliau tulis yakni
qiraah mubadalah ini.

Buku tersebut juga akan menuntun pembaca untuk menelusuri setiap


sudut makna yang paling dalam atas maksud teks agar sesuai dengan konteks
yang dikehendakinya. Sehingga pemaknaan teks akan selalu bernafas kesetaraan
gender yang berkeadilan dan tidak timpang makna akan selalu terasa aromanya
oleh ummat Islam khususnya dan seluruh umat manusia pada umumnya. Pesan
islam yang diturunkan kemuka bumi ini sebagai ajaran yang rahmatan lil
‘aalamin akan selalu terawat dimanapun dan sampai kapanpun.

Senada dengan hal tersebut diatas , pakar ilmu Al- Qur’an Dr. Nur Rofiah,
Bil. Uzm., menyampaikan pesan dalam komentarnya, yakni: “ Qira’ah
Mubadalah telah membantu mengatasi ketatnya aturan gender dalam bahasa arab
yang membuat teks-teks keislaman sangat maskulin menjadi seimbang. Cara baca
ini telah memungkinkan lahirnya narasi Islam yang menempatkan laki-laki dan
perempuan setara sebagai manusia. Ini adalah capaian sangat penting mengingat
ketimpangan relasi gender dapat diperbaiki menjadi seimbang. Karenanya laki-
laki dan perempuan sama-sama berhak memperoleh kemaslahatan dan terhindar
dari kemafsadatan.” Pernyataan tersebut menurut penulis bukan tanpa alasan,
disamping karena kuatnya eksplorasi pemaparan keilmuan yang dituangkan dalam
buku tersebut oleh penulis (kyai Faqih), juga mungkin karena beliau, Dr. Nur
Rofiah sendiri merasa menemukan nilai akademik yang baru dalam buku tersebut,
baik secara metodologi maupun rincian kajiannya. Dan beliau sendiri adalah pakar

2
dalam kajian ilmu Al-Qur’an yang kompetensinya diakui kalangan akademik dan
pengkaji Al- Qur’an.

Pada bab pertama menjelaskan tentang perspektif mubadalah dalam


memaknai teks suci tentang posisi laki-laki dan perempuan. Dijelaskan bahwa
kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama dan setara. Bahwa tafsir
keagamaan maupun praktek keberagamaan tidak boleh dijadikan landasan
dominasi salah satu salah satu jenis kelamin terhadap jenis kelamin yang lain.
Apalagi membiarkan tirani dan melestarikan hegemoni. Bahwa ada perbedaan
antara laki-laki dan perempuan , itu adalah niscaya. Tetapi hal tersebut tidak untuk
membedakan yang satu lebih mulia dan lebih penting daripada yang lain.
Sehingga langkah yang harus diambil dalam memecahkan segala persoalan adalah
dengan selalu mengedepankan aspek kesalingan satu sama lain dalam segala
ruang kehidupan. Dengan semangat keadilan hak dan kewajiban kedudukan
keduanya harus saling melengkapi dan menyempurnakan.

Qira’ah Mubadalah mengarahkan pada konsep berpikir keberagamaan


yang selalu menitikberatkan pada keseimbangan relasi dan kesalingan dalam
memaknai isu-isu relasi gender dalam Islam, berbasis teks-teks sumber dan tradisi
keilmuan Islam. Cara pandang ini menekankan kesadaran akan perlunya
keseimbangan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan dalam segala hal.
Bahwa relasi keduanya harus benar-benar kemitraan dan kerjasama, saling
menguatkan, melengkapi, mendukung, dan menolong satu sama lain. Sehingga
dengan pendekatan mumadalah dalam memaknai teks tentang gender, maka
tradisi akademik yang selama ini mengalami distorsi pemaknaan karena selalu
didekati dengan pria sebagai subjek. Maka mubadalah memberikan ruang agar
kedudukan perempuan juga bisa subjek dalam pemaknaan teks yang ada.
Sehingga relasi gender harus berjalan berkeadilan, beriringan dan bergandengan
tangan dengan penuh rasa tanggung jawab sesuai tugas dan kewajibannya. Dan
nilai moral dan akhlak sebagai basic dalam memainkan perannya masing-masing.

3
Pada bab II membahas tentang gagasan dan konsep Mubadalah: Makna
dan Landasan. Sebagai dasar pijakan gagasan dan konsep mubadalah Diawali
dengan mencantumkan terjemahan sebuah hadits Nabi Muhammad SAW., yang
berbicara tentang kesetaraan gender dalam Islam. Terjemahan hadits tersebut
adalah sebagai berikut: “Saling berpesan diantara kalian agar selalu berbuat baik
kepada perempuan. Karena mereka seringkali dianggap tawanan (seseorang yang
tidak diperhitungkan oleh kalian). Padahal, sesungguhnya kalian tidak memiliki
hak sama sekali atas mereka, kecuali dengan hal tersebut (berbuat baik).

Nabi Muhammad Saw., Sunan Ibnu Majah, no. 1924.

Kalimat yang mengandung makna dan pesan tentang kesetaraan gender


dalam hadits tersebut ada pada frasa “’awanin ‘indakum”, yang secara literal
berarti bahwa perempuan adalah “tawanan diantara kalian”. Kalimat tersebut bila
dimaknai secara tekstual, maka cenderung akan berekses negatif. Akibatnya
muncul stigma dalam ranah perlakuan laki-laki terhadap perempuan dalam status
sosial yang sudah lazim dipahami selama ini. Perlakuan terhadap perempuan
yang mungkin terjadi bila dimaknai secara literal sebagai tawanan adalah dizalimi,
dilemahkan, dan dipinggirkan dalam berbagai status sosial.

Nah, dalam konteks pendekatan mubadalah bahwa teks hadits ini sedang
mengingatkan kondisi faktual dimasyarakat, bukan sedang menetapkan kondisi
normatif tentang perempuan sebagai tawanan para laki-laki. Kondisi faktual ini
penting disebutkan sebagai konteks dimana pesan Nabi Muhammad Saw.
disampaikan diawal kalimat dan ditegaskan lagi diakhir kalimat. Pesan normatif
dari Nabi Muhammad Saw. yang dimaksud adalah tentang pentingnya memihak
pada perempuan, memberi perlindungan, dan melakukan kebaikan. Nabi meminta
kita untuk saling berwasiat secara terus-menerus untuk memastikan para
perempuan kebaikan karena konteks sosial masih sering merendahkan mereka.
Dengan demikian, bentuk pemihakan nabi terhadap kaum perempuan menjadi
sangat nyata dan menjadi sangat relevan dalam konteks kesetaraan gender antara
laki-laki ndan perempuan.

4
Dalam semangat pemihakan inilah, gagasan dan konsep mubadalah
ditawarkan untuk menegaskan kemanusiaan perempuan dan pentingnya relasi
kerjasama, bukan hegemoni, antara laki-laki dan perempuan. Secara perspektif
mubadalah merupakan norma yang fundamental dalam Islam, yang dibawa dan
ditegaskan al-Qur’an sejak awal. Sebagai penyempurnanya adalah penanaman
terminologi, penegasan sumber-sumber, dan penggunaannya secara aplikatif pada
kondisi sosial saat ini, baik dalam kontek memahami teks maupun dalam
hubungan sosial sehari-hari.

Gagasan konsep mubadalah berpijak dari nash-nash al-Qur’an dengan


salah satu asumsi dasarnya bahwa manusia sebagai salah satu makhluk Allah
SWT., yang diciptakan secara berpasang-pasangan dimuka bumi ini. Ini
mengandung makna bahwa manusia diciptakan agar saling menebar kebaikan,
saling tolong menolong, kerjasama, bahu- membahu secara sinergi dalam segala
aspek kehidupan. Hal ini dilakukan agar terciptanya harmonisasi dalam berbangsa
dan bernegara membangun kemajuan dalam peradaban serta berperadaban dalam
kemajuan.

Sejalan dengan asumsi tersebut seperti yang tercantum dalam QS. Al-
Hujuraat [49]: 13, yang artinya:”Wahai manusia, Kami telah ciptakan kalian
semua dari laki-laki dan perempuan, lalu Kami jadukan kalian bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa, agar kalian saling mengenal satu sama lain. Sesungguhnya
yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah
itu Maha tahu dan Maha Mengerti.”

Senada dengan ayat diatas bahwa ajaran Islam diturunkan ke bumi ini
bernilai universal. Manfaatnya diperuntukkan bukan hanya umat Islam, tetapi juga
untuk kemaslahatan umat manusia. Pesannya harus menyeluruh dan bernilai
rahmatan lil ‘aalamiin. Pesan ajarannya membawa kedamaian dan membawa
angin sejuk kasih sayang antar umat manusia. Konsep kesalingan dalam konteks
mubadalah mengarahkan manusia untuk saling menguatkan satu sama lain dalam
lintas suku dan sektoral, bahkan agama agar saling menghormati satu sama lain.

5
KESIMPULAN

Kajian keislaman dalam buku Qira’ah Mubadalah adalah fokus pada isu-
isu gender yang ada dalam teks-teks al-Qur’an dan hadits dengan perspektif
mubadalah atau kesalingan sebagai kekuatan metodologinya. Buku ini
mencerahkan dan penting dimiliki, khususnya untuk pegiat kajian gender dan para
pemula yang berniat menyelami ilmu-ilm keislaman.

Semangat kesetaraan gender, bahwa laki-laki dan perempuan memiliki


kedudukan yang sama disetiap segmen kehidupan menjadi dominasi pembahasan
dalam kajian buku tersebut. Dan buku ini juga mempertegas bahwa metodologi
mubadalah akan lebih menuntun dan memudahkan pengkaji dalam mencari dan
menemukan pesan ajaran islam yang sesungguhnya dalam teks suci, sebagai
wahyu dari langit yang rahmatan lil ‘aalamiin.

Mengkaji teks suci tentang kesetaraan gender dengan pendekatan


mubadalah memiliki dasar yang kuat dalam teks al- Qur’an dan Hadits. Sehingga
keabsahan penggunaan metodologi ini dalam memaknai al-Qur’an diakui oleh
kalangan akademik maupun pakar al-Qur’an.

SARAN

Membaca dan menelusuri setiap bab dalam buku ini semakin


mengingatkan dan menyadarkan saya bahwa islam iktu agama yang ajarannya
begitu luwes dan memanusiakan manusia. Menyelami karya kang faqih ini
membukakan mata dan pikiran bahwa saya belum mengerti apa-apa tentang Islam.
Oleh karena itu, saya sangat menunggu dan mendambakan karya-karya kang faqih
selanjutnya untuk saya miliki. Dengan begitu saya dan umat Islam bisa
tercerahkan dan bisa menambah pengetahuan Islam. Dengan goresan tangan kang
faqih dalam bentuk buku keilmuan kang faqih bisa terbagi tersebar luas keseluruh
penjuru dunia, khususnya umat Islam. Karena pembahasannya mudah dipahami
dan kuat referensinya sehingga pembaca merasa tertuntun dalam alur berpikir
yang rapih.

Anda mungkin juga menyukai