Anda di halaman 1dari 11

Kontribusi Ayat-ayat Pancasila Terhadap

Persatuan Indonesia di Era Covid-19

Rangga Divario Prabowo, Rintania Rahma Putri, Rio Fahmi Praditya,


rangga.divario.2106316@students.um.ac.id ,rintania.rahma.2106216@students.u
m.ac.id ,rio.fahmi.2106316@students.um.ac.id
Pendidikan Agama Islam, Universitas Negeri Malang

Abstrak
Umat muslim memiliki pedoman hidup yaitu al-Qur’an. Di samping itu, muslim
Indonesia juga memiliki pedoman lain untuk dijadikan panduan dalam kehidupan
bernegara dan bermasyarakat, yaitu Pancasila. Salah satu sila Pancasila adalah
Persatuan Indonesia. Dua aturan yang dihadapkan kepada umat muslim Indonesia
ini, memerlukan kajian relevansi antara nilai-nilai persatuan dalam al-Qur’an dan
nilai-nilai persatuan yang terkandung dalam Pancasila sila ketiga. Tulisan ini
bertujuan menemukan relevansi pada dua aturan tersebut. Penelitian kepustakaan
ini menggunakan metode maudhu’i yaitu menafsirkan ayat al-Qur’an secara
tematik atau yang membahas tema-tema tertentu. Pengumpulan data dilakukan
dengan cara mengumpulkan ayat-ayat yang terkait menggunakan Mu’jam al-
Mufahras li Alfaz alQur’an al-Karim. Selanjutnya, penulis memahami ayat-ayat
tersebut berdasarkan penafsiran para mufasir dan dari referensi lainnya.
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa perbedaan yang ada adalah
anugerah dan rahmat dari Allah Swt dan untuk membuktikan kekuasaan Allah.
Penulis juga mendapatkan beberapa ayat alQur’an yang membahas tentang
konsep persatuan secara lengkap. Begitu juga dengan penjelasan dari Pancasila
sila ketiga tentang persatuan. Nilai-nilai persatuan yang terkandung dalam
Pancasila tidak bertentangan dengan nilai-nilai persatuan yang ada dalam al-
Qur’an.
Kata Kunci: Persatuan, Pancasila, al-Qur’an

Abstract
Muslims have a way of life, namely the Qur'an. Besides that, Indonesian Muslims
also have other guidelines to be used as a guide in state and social life, namely
Pancasila. One of the precepts of Pancasila is the Indonesian Association. Two
rules faced by Muslims Indonesia, requires a study of the relevance of the values
of unity in the Qur'an and the values of unity contained in the third principle of
Pancasila. This writing aims to find the relevance of these two rules. This library
research using the maudhu'i method, namely interpreting the verses of the Qur'an
thematically or which discuss specific themes. Data collection is carried out by
means of collect related verses using Mu'jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur'an al-
Karim. Furthermore, the author understands these verses based on interpretation
of the commentators and from other references. Based on the research results, it is
known that the difference is a gift and mercy from Allah SWT and to prove the
power of God. The author also finds several verses of the Qur'an that discuss the
concept of unity in full. As well as explanation of the third Pancasila principle of
unity. The values of unity that contained in Pancasila does not conflict with the
existing values of unity in the Qur'an.

Keywords: Unity, Pancasila, al-Qur'an


PENDAHULUAN
Pancasila telah menjadi kesepakan bangsa Indonesia dengan segala pertimbangan,
baik seperti letak geografis, kondisi demografi, serta kekayaan budaya nusantara.
Hal ini disebut sebagai sesuatu yang final ataupun dengan sebutan “The Great
Oughts”. Pancasila diyakini sebagai dasar yang mampu mempersatukan bangsa
dari kayanya suku ras dan budaya yang dimilikinya sehingga Pancasila diyakini
bahwa nilai-nilai mampu mewujudkan nilai-nilai toleransi anatara ummat
beragama. Tanpa pemersatu maka tidak ada kekuatan bangsa sebagaimana
pendapat dari politisi Amerika Serikat Jhon Gardner bahwa “tidak ada bangsa
yang dapat mencapai kebesaran ataupun keagungan jika tidak memiliki sesuatu
yang dipercaya dan yang dipercayainya itu memiliki dimensi moral untuk
mempertahankan peradaban warga negaranya”. Pancasila merupakan falsafah
bangsa dan dasar Negara Indonesia, yang seharusnya menjadi kerangka dasar
norma-norma bernegara dan bermasyarakat yang bermartabat. Kondisi bangsa
saat ini sungguh sangat memprihatinkan, dirasakan bahwa kondisi bangsa saat ini
mencerminkan belum diimplementasikan dan diperaktekannya dalam kehidupan
sehari-hari secara langsung. Segala perpecahan dan konflik yang terjadi sangat
jauh dan tidak mencerminkan jati diri bangsa yang sesungguhnya. Perpolitikan
yang terjadi marak dengan isu-isu sara, budaya, agama, etnis, dan golongan, hal
ini tentunya sangat berbahaya bagi disintegrasi bagi seluruh wilayah kesatuan
Indonesia. Perpecahan terjadi di semua sektor kehidupan berbangsa dan bernegara
akibat dari kesalahan implementasi etika politik yang dilakukan di tengah
masyarakat Indonesia. Konflik sengaja diciptakan ditengah masyarakat guna
mencapai kepentingan pribadi dan golongan semata, nilai-nilai luhur dan
peradaban mulia yang ada tergores oleh setitik tinta hitam demi sebuah transaksi
politik sesat dan sesaat. Hal ini tentu sangat disayangkan bagi keberlangsungan
kehidupan bermasyarakat Indonesia, yang menyisakan runtuhnya etika politik,
nilai-nilai luhur budaya dan peradaban bangsa yang mulia yang terkenal ramah,
santun, agamis, berprilaku baik, tulus dan budaya gotongroyong dalam setiap
kegiatan social ditengah kehidupan masyarakat. Hal ini tentunya sangat
merugikan kedaulatan, ketahanan, dan kemajemukan budaya bangsa Indonesia.
Secara tidak disadari oleh semua lapisan masyarakat bahwa gap terjadi akibat
kejahatan politik yang menggunakan cara-cara kotor, demi sebuah ambisi jabatan,
kehormatan dan dunia semata. Satu dengan yang lain nya di adu dan di rusak
persaudaraan, pertemanan, dan jalinan kesatuan persatuan umat di lapangan.
Maka sangatlah penting bahwa penerapan nilai-nilai pancasila di tengah
masayarat disinergikan kembali dengan ajaran-ajaran Agama di sekolah dan
institusi pendidikan lanjut kepada anak didik dan generasi bangsa, guna
menopang keutuhan NKRI, kemandirian, kedaulatan, dan peradaban budaya dan
tanah air Indonesia. Karena pada hakekatnya tidak ada satu agamapun
mengajarkan tentang keburukan sikap dan tingkah laku kepada seluruh manusia.
Oleh karena itu sudah sepatutnya, Indonesia yang mayoritas muslim terbesar di
dunia, menjadi cermin bagi Negara-negara lain dalam melakukan aktivitas di
segala bidang yang senantiasa menjungjung tinggi nilai-nilai luhur, budi pekerti
yang baik yang tercermin dalam ajaran agama Islam yang dituntun dalam Al-
Qur’an. Nilai luhur yang terkandung dalam kitab suci Al-Qur’an tersebut
merupakan bukti bahwa Islam merupakan agama yang mengajarkan kelembutan
sikap, akhlak karimah, budi luhur, tutur kata dan bahasa, cara berkehidupan di
masyarakat, semua sector kehidupan di kupas dalam Al-qur’an, baik ekonomi,
politik, tata Negara, kepribadian, kepemimpinan, dan lain sebagainya. Hal ini
sudah menjadi bukti tauladan bagi seluruh umat dunia dimana apa yang tertuang
dalam Al-Qur’an dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari oleh Nabi
Muhammad SAW. Sehingga patutlah bahwa Rasulullah menjadi contoh dan
menjadi hal yang tidak terpisahkan antara Al-Qur’an dan kepribadian Rasulullah.
Rasulullah dianggap melekat sebagai Al-Qur’an berjalan, karena seluruh karakter
kepribadian Rasulullah sudah tertuang dalam Al-Qur’an itu sendiri. Akhir-akhir
ini suara-suara untuk menegakkan syariat Islam secara keseluruhan kembali
mencuat. Seruan ini disertai dengan usaha-usaha untuk menyebarkan ideologi
kekhilafahan Islam sebagai dasar negara menggantikan Pancasila dan UUD 45.
Bagi mereka, Pancasila dengan lambang burung Garudanya merupakan salah satu
jenis kemusyrikan dan bahkan layak disebut thagut. Jelas pemikiran seperti ini
merupakan hasil pembacaan yang nominalis, pembacaan yang fokus kepada
nama, bukan semangat yang dikandung nama tersebut. Dalam Pancasila, tidak ada
sila-sila yang dapat menjerumuskan ke dalam sistem kesyirikan atau ke-thagut-an.
Coba perhatikan baik-baik lima sila dalam Pancasila. Semuanya merupakan
pesan-pesan yang bersesuaian dengan nilai universal Islam. Bagi kita yang akrab
dengan pemikiran al-Ghazali, as-Syatibi, Izzudin bin Abd Salam, al-Qaffal, Ibnu
Asyur, Allal al-Fasi, ar-Raysuni dan lain-lain, ketika membandingkan semangat
nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 45 dengan nilai-nilai universal
Islam lewat kacamata pemikiran mereka, niscaya kita akan sampai kepada
kesimpulan bahwa kedua dasar negara ini sesuai dengan maqasid al-syariah.
Dari permasalahan diatas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
 Biografi M. Quraish Shihab
 Pancasila dan Persatuan
 Tafsir Qs Ali Imron 103 dan Asbab al-Nuzul
 Kontribusi Ayat-ayat Pancasila Terhadap Persatuan Indonesia di Era Covid
19

PEMBAHASAN
Biografi M. Quraish Shihab
1. Latar Belakang Pendidikan
Nama lengkapnya adalah Muhammad Quraish Shihab. Ia lahir di
Rappang, Sulawesi Selatan, pada 16 Fe bruari 1944. Ayahnya adalah Prof. KH.
Abdurrahman Shihab keluarga keturunan Arab yang terpelajar. Abdurrahman
Shihab adalah seorang ulama dan guru besar dalam bidang tafsir dan dipandang
sebagai salah seorang tokoh pendidik yang memiliki reputasi baik di kalangan
masyarakat Sulawesi Selatan. Pendidikan formalnya dimulai dari sekolah dasar di
Ujungpandang. Kemudian ia melanjutkan pendidika n menengahnya di Malang,
sambil "nyantri" di Pondok Pesantren Dar al-Hadits al-Faqihiyyah. Pada 1958
setelah selesai menempuh pendidikan menengah, dia berangkat ke Kairo, Mesir,
dan diterima di kelas II Tsanawiyyah al-Azh ar. Pada 1967, meraih gelar Lc (S-1)
pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafs ir dan Hadis Universitas al-Azhar.
Selanjutnya dia meneruskan studinya di fakultas yang sama, dan pada 1969
meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang Tafsir al-Quran dengan tesis berjudul
al-I 'ja>z al-Tashri'iy li al-Quran al-Kari>m (kemukjizatan al-Quran al- Karim dari
Segi Hukum). Sekembalinya ke Ujung Pandang, Qu raish Shihab dipercaya untuk
menjabat Wakil Rektor bi dang Akademis dan Kemaha siswaan pada Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin, Ujung Pandang. Selain itu, dia juga
diserahi jabatan-jabatan lain, baik di dalam kampus se perti Koordinator
Perguruan Tinggi Swasta (Wilayah VII Indonesia Bagian Timur), maupun di
luar kampus seperti Pembantu Pimpin an Kepolisian Indonesia Timur dalam
bidang pembinaan mental. Selama di Ujung Pandang ini, dia juga sempat
melakukan berbagai penelitian; antara lain, penelitian dengan tema "Penerapan
Kerukunan Hidup Beragama di Indonesi a Timur" (1975) dan "Masalah Wakaf
Sulawesi Selatan" (1978). Demi cita-citanya, pada tahun 1980 M. Quraish Shihab
menuntut ilmu kembali ke almamaternya dulu, al-Azhar , dengan spesialisasi studi
tafsir al- Quran. Untuk meraih gelar doktor dala m bidang ini, hanya ditempuh
dalam waktu dua tahun yang berarti selesai pada tahun 1982. Disertasinya yang
berjudul “Nazm al-Dura>r li al-Biqa’i Tah}qi>q wa Dirasah (Suatu Kajian
terhadap Kitab Nazm al-Dura>r karya al-Biqa’i)” berhasil dipertahankannya
dengan predikat summa cum laude dengan penghargaan Mumtaz Ma’a Martabah
al-S}araf al-Ula (sarjana teladan dengan prestasi istimewa). Pendidikan Tingginya
yang kebanyakan ditempuh di Timur Tengah, al- Azhar, Kairo sampai
mendapatkan gelar M.A dan Ph.D-nya. Atas prestasinya, ia tercatat sebagai orang
yang pertama dari Asia Tenggara yang meraih gelar tersebut.
2. Aktifitas dan Jabatan
Dalam perjalanan karir dan aktifitasnya, Quraish Shihab memiliki jasa
yang cukup besar di berbagai hal. Sekembalinya dari Mesir, sejak tahun 1984,
ia pindah tugas dari IAIN Ujung Pand ang ke Fakultas Ushuluddin di IAIN
Jakarta. Di sini ia aktif mengajar bida ng Tafsir dan Ulum al-Quran di Program
S1, S2 dan S3 sampai tahun 1998. sela in itu, ia juga menduduki berbagai
jabatan, anatara lain: Ketua Majlis Ul ama Indonesia Pusat (MUI) sejak 1984,
Anggota Lajnah Pentashih al-Quran De parteman Agama sejak 1989, Anggota
Badan Pertimbangan Pendidikan Nasion al sejak 1989, dan Ketua Lembaga
Pengembangan. Ia juga berkecimpung di beberapa organisasi profesional,
antara lain: Pengurus perhimpunan Ilmu -ilmu Syariah, Pe ngurus Konsorsium
ilmu-ilmu Agama Departem en Pendidikan dan Kebudayaan, dan Asisiten
Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Musl im Indonesia (ICMI). Rektor IAIN
Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu ia
dipercaya menduduki jabatan sebagai Ment eri Agama selama kurang lebih dua
bulan di awal tahun 1998, hingga kemudian dia diangkat sebagai Duta Besar
Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Repub lik Indonesia untuk negara Republik
Arab Mesir merangkap negara Republik Djibauti berkedudukan di Kairo.
Kehadiran Quraish Shihab di Ibukota Jakarta telah memberikan suasana
baru dan disambut hangat oleh masyar akat. Hal ini terbukti dengan adanya
berbagai aktifitas yang dijalankannya di tengah-tengah masyarakat. Di
samping mengajar, ia juga dipercaya untuk menduduki sejumlah jabatan. Di
antaranya adalah sebagai Ketua Majeli s Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak
1984), anggota Lajnah Pentashhih al-Qur 'an Departemen Agama sejak 1989.
Dia juga terlibat dalam beberapa organisasi profesional, antara lain Asisten
Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Musl im se-Indonesia (ICMI), Aktivitas
lainnya yang ia lakukan adalah se bagai Dewan Redaksi Studia Islamika:
Indonesian journal for Islamic Studies, Ulumul Qur 'an, Mimbar Ulama, dan
Refleksi jurnal Kajian Agama dan Filsafat. Semua penerbitan ini berada di
Jakarta.Quraish Shihab juga aktif dalam kegi atan tulis-menulis seperti menulis
untuk surat kabar Pelita dalam rubrik "P elita Hati." Kemudi an rubrik "Tafsir
al-Amanah" dalam majalah Amanah di Jakarta yang terbit dua minggu sekali. Ia
juga tercatat sebagai anggota Dewa n Redaksi majalah Ulumul Qur'an dan
Mimbar Ulama, keduanya terbit di Ja karta, menulis berbagai buku suntingan
dan jurnal-jurnal ilmiah, diantaranya Tafsir al-Manar, Keistimewaan dan
Kelemahannya (Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1984); Filsafat Hukum Islam
(Jakarta: Departemen Agama, 1987); dan Mahhota Tuntunan Ilahi (Tafsir
Surat Al-Fatihah) (Jakarta: Untagma, 1988). Di samping kegiatan tersebut di atas,
H.M.Quraish Shihab juga dikenal penceramah yang handal. Kegiatan ceramah ini
ia lakukan di sejumlah masjid bergengsi di Jakarta, seperti Masjid al-Tin dan
Fathullah, di lingkungan pejabat pemerintah seperti pengajian Istiqlal se rta di
sejumlah stasiun televisi atau media elektronik, khususnya di.bulan Ra madhan.
Beberapa stasiun televisi, seperti RCTI dan Metro TV.
Pancasila dan Persatuan

Tafsir Qs Ali Imron 103 dan Asbab Al-Nuzul


Kontribusi Ayat-ayat Pancasila Terhadap Persatuan Indonesia di Era Covid-
19
Pendiri bangsa telah meletakkan fondasi yang kuat dalam bentuk dasar negara
Pancasila. Pancasila adalah hasil konsensus berbagai elemen di Indonesia, baik
kelompok nasional maupun agama. Pancasila lahir sebagai ideologi yang
menyadari realitas kemajemukan Indonesia. Walaupun mayoritas penduduk
Indonesia Muslim, bukan pendekatan mayoritanisme yang dipilih para pendiri
bangsa, melainkan pendekatan yang mengakomodasi segala perbedaan untuk
menuju persatuan. Survei kerukunan umat beragama dari Litbang Kementerian
Agama menunjukkan, indeks kerukunan beragama di Indonesia mencapai 72,20
pada tahun 2017, 70,9 pada tahun 2018, dan 73,93 pada tahun 2019. “Kerukunan
adalah DNA bangsa Indonesia. Dalam berbagai forum dialog antar iman
internasional, Indonesia sering menjadi model dan rujukan bagaimana
membangun harmoni dan kerukunan intern serta antarumat beragama” (Mu’ti,
Abdul dalam Kompas, 3 September 2020. Hal: 5). Pancasila dinilai tak
bertentangan, bahkan selaras dengan syariat Islam. Bahkan, Pancasila merupakan
syariat itu sendiri karena dalam teks-teks syariat ditemukan sejumlah ayat dan
hadis yang patut menjadi dalil atau pun landasan bagi setiap sila. (Muhajir,
Afifuddin dalam Kompas, 21 Januari 2021. Hal: 5) mengatakan, Allah SWT
menakdirkan Pancasila, sejak kemunculannya, sebagai solusi persoalan dan
mengurai perbedaan. (Syuriah, Rais, 2021) dalam media yang sama, mengaku tak
menemukan satu kejanggalan pun, baik dalam bentuk maupun kandungan
maknanya. Maka, menurut akal sehat, sudah semestinya Pancasila sebagai
keputusan final. Seandainya Pancasila diposisikan dan diimplementasikan dengan
sebaik-baiknya, tentu Indonesia akan jauh lebih baik dari keadaannya saat ini.
Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Pancasila sebagai dasarnya adalah
negara syar’i yang sesuai dengan teks-teks dan tujuan-tujuan syariat. Pancasila
bukan penghalang untuk menerapkan aturan syariat di negara yang berlandaskan
atasnya. Pancasila masih relevan bagi kehidupan bangsa karena lahir dari
kesepakatan bersama. Menjadi bangsa Indonesia artinya harus siap hidup bersama
dalam keberagaman. Proses lahirnya Pancasila tidak bisa dipisahkan dari agama.
Pasalnya, penggodokan Pancasila melibatkan para tokoh agama dan tokoh
nasional. Meski pada awalnya ada dorongan menjadikan Islam sebagai landasan
negara, akhirnya para tokoh bangsa saat itu menyepakati Pancasila menjadi
ideologi bersama. Namun kepentingan agama tetap diakomodasi dalam sila-sila
Pancasila. Misalnya, sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa yang artinya negara
mengakui dan melindungi keagamaan warganya. Bahkan, negara memfasilitasi
warga dalam menjalankan ajaran agamanya (Rumadi dalam Kompas, 6 November
2018. Hal: 4). Kendati demikian, nilai-nilai Pancasila merefleksikan nilai-nilai
Islam. “Nilai Islam itu tercitrakan dalam sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa,
yang menggambarkan keyakinan warga bangsa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
yang juga merupakan salah satu nilai dan prinsip penting dalam Islam (Mahfud
dalam Kompas, 1 November 2020. Hal: 2). Nilai-nilai Islam juga mewujud dalam
empat sila lainnya, yakni kemanusian, persatuan, permusyawaratan atau
demokrasi, dan keadilan sosial. Nilai-nilai itu juga merupakan prinsip di dalam
Islam dan merupakan nilai yang tak dapat dilepaskan dari substansi Islam sebagai
agama rahmatan lil alamin. Karena itu, Islam sama sekali tak bertentangan dengan
nilai-nilai Pancasila. Islam pun kompatibel dengan nilai-nilai demokrasi. Sebagai
ideologi negara, Pancasila merupakan pemersatu bangsa Indonesia yang majemuk
sebagai hasil kesepakatan dari para pendiri bangsa. Pancasila tidak boleh diganti
dengan ideologi lain. Upaya-upaya untuk menggantikan Pancasila tidak pernah
berhasil karena Pancasila tidak bertentangan dengan agama. Selain itu, nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya juga merupakan turunan dari ajaran agama.
Pancasila sudah menjadi kesepakatan nasional. Untuk menjaga agar Pancasila
tetap dipahami secara komprehensif, Pancasila tidak boleh dipahami secara parsial
antara satu sila dan sila yang lain. Pemahaman Pancasila secara utuh sebagaimana
dirumuskan dan dipahami para pendiri bangsa sangat penting. Dengan
pemahaman yang utuh seperti itu, berarti
Kesimpulan
SUMBER REFERENSI/DAFTAR PUSTAKA
Husnul khotimah S, S.Ag, M.Si, (2020) “Penerapan Pancasila Perspektif Islam”
https://uia.e-journal.id/Tahdzib/article/download/1037/586
Siti Naziatul Ukhra, (2021) “Konsep Persatuan Dalam Al-Quran dan Relevasinya
Dengan Pancasila Sila Ke 3”, journal of Qur’anic Studies https://jurnal.ar-
raniry.ac.id/index.php/tafse/article/download/9205/pdf
Afrizal Nur, (2012) “BAB III Biografi”, jurnal Ushuluddin
http://bio.or.id/biografi-quraish-shihab/

Anda mungkin juga menyukai