Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

“AGAMA ISLAM”

DISUSUN OLEH:
Kelompok 3 Lokal A 1
Fikram (2340301062)
Fitra (2340301003)
M. Abdul Karim (2340301064)
M. Riski (2340301019)

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL


UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN
2023

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat, rahmat,
dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“PANDANGAN ISLAM TERHADAP PANCASILA DAN RADIKALISME”
ini dengan baik dan tepat waktu.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Agama Islam dan untuk menambah pengetahuan serta wawasan mahasiswa
mengenai pandangan islam terhadap pancasila dan radikalisme. Penulis menyadari
bahwa masih banyak kekurangan dalam segi isi maupun penulisan makalah ini.
Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun agar makalah ini dapat menjadi lebih baik dan semakin bermanfaat.
Akhir kata, penulis berharap agar makalah ini dapat berguna dan
bermanfaat bagi semua pihak, Sekaligus sebagai sumber ilmu pengetahuan.

Tarakan, 13 September 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................i

KATA PENGANTAR.........................................................................................ii

DAFTAR ISI........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................2
C. Tujuan........................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pancasilan Dan Radikalisme.....................................................................4


B. Islam Dan Radikalisme Politik..................................................................8
C. Jihad Dan Terorisme..................................................................................13
D. Revivalisme Islam Dan Radikalime Di Indonesia.....................................19

BAB III KESIMPULAN

A. Kesimpulam...............................................................................................29
B. Saran .........................................................................................................30

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................31

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ancaman radikalisme dalam negara Pancasila menjadi isu penting di
Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Berbagai riset dan kajian
tentang fenomena berkembangnya paham radikalisme, fundamentalisme,
ekstremisme, dan terorisme semakin meningkat. Isu dan fokus perhatian yang
menjadi pendekatan dan sudut pandang adalah konflik atas nama agama, dan
agama menjadi alat konflik, serta konflik perbedaan pemahaman tentang
menata kehidupan keluarga, masyarakat, dan negara. Dalam perspektif ilmu
kewarganegaraan, radikalisme menjadi persoalan dan masalah dalam
demokrasi karena radikalisme memiliki paham dan nilai-nilai yang tidak
berlandaskan pada nilai demokrasi dan nilai-nilai yang ada dalam
kewarganegaraan. Prisma volume 39 mengulas topik Radikalisme,
Ekstremisme, dan Terorisme dari aspek terminologi dan gejala agresi
masyarakat dalam urusan agama yang menempatkan negara sebagai lawan
dari agama (Prisma, 2020). Masalah klasik yang selalu timbul di Indonesia
ialah masalah hubungan negara dan agama, dan hubungan Pancasila dan
agama (Ali, 2009). Hal ini selalu menjadi pertentangan dalam ruang publik
dan politik yang pada akhirnya menimbulan kerawanan ideologis. Menurut
Kaelan gerakan fundamentalisme pada dasarnya menggunakan dalil ayat Al-
sebagai pembenar, serta menafsirkan Al-Qur’an dengan melakukan
manipulasi makna dan diformulasikan dengan bahasa yang positif dan logis
(Kaelan, 2015).
Era reformasi menjadi proses penting dalam berkembang dan
masuknya paham paham radikalisme di negara Indonesia. Salah satu indikasi
sebagai penyebab dengan mudah masuknya paham radikalisme ialah kontrol
negara terhadap masyarakat semakin melemah, pergantian rezim otoriter
menjadi demokrasi, dan liberalisasi ideologi menjadi faktor pendorong utama

1
berkembangnya paham radikalisme di Indonesia. Studi tentang radikalisme
sudah cukup banyak dan berkembang di Indonesia sejak paska reformasi.
Berbagai pendekatan dalam melihat fenomena radikalisme sudah berkembang
sampai pada pendekatan interdisipliner dan multidisipliner. Selain itu, lokus
kajian tidak hanya pada agenda setting dengan pemahaman agama tetapi juga
geopolitik dan ekonomi global. Studi kasus dalam mencermati fenomena
radikalisme juga tidak hanya fokus pada kelompok tertentu tetapi juga sudah
masuk pada institusi pendidikan seperti sekolah, perguruan tinggi, lembaga
negara, organisasi sosial kemasyarakatan, dan institusi TNI/POLRI. Studi
yang dilakukan oleh Munip membahas tentang fenomena radikalisme agama
di lingkungan sekolah. Radikalisme dalam studi ini menguraikan dua hal dari
aspek pemikiran dan aksi. Fenomena radikalisme agama dalam ditunjukkan
dari tindakan yang bersifat destruktif-anarkis atas nama agama dari
sekelompok orang terhadap pemeluk agama lain atau kelompok agama yang
berbeda dan dianggap sesat. Menurut Munip penyebab radikalisme agama
karena munculnya berbagai macam penafsiran, pemahaman, aliran, dan sekte
dalam satu agama tertentu. Penyebaran paham radikalisme Islam di sekolah
pada umumnya terjadi melalui jalur pengkaderan organisasi, melalui masjid
masjid yang dikuasai oleh kelompok Islam garis keras, melalui majalah,
buletin, booklet, dan buku buku. Solusi yang ditawarkan oleh Munip kembali
kepada upaya untuk memberikan pemahaman ajaran agama yang benar
(Munip, 2012). Studi Qodir melihat radikalisme dalam perspektif agama yang
mengarah sebagai gerakan sosial kolektif perlawanan terhadap struktur,
sistem, dan nilai-nilai yang dianggap kurang sesuai dengan sistem keyakinan
yang dimiliki (Qodir, 2014).
B. Rumusan Masalah
1. Pancasila dan radikalisme
2. Islam dan radikalisme politik
3. Jihat dan terorisme
4. Revivalisme islam dan radikalisme di Indonesia
C. Tujuan

2
1. Untuk mengetahui Pancasila dan radikalisme
2. Untuk meengetahui Islam dan radikalisme politik
3. Untuk mengetahui Jihad dan terorisme
4. Untuk mengetahui revivalisme islam dan radikalisme di Indonesia

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pancasila Dan Radikalisme


1. Konsepsi Pancasila
Secara terminologis, Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945
sebagai dasar negara (Bakry, 2003, hal. 11). Kaelan menguraikan bahwa
kedudukan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, dasar negara, dan
sistem filsafat menjadi titik pijak penting dalam menata kehidupan
berbangsa dan bernegara. Ketika Pancasila diletakkan sebagai pandangan
hidup bangsa maka proses perumusan pandangan hidup masyarakat dapat
dituangkan dan dilembagakan menjadi pandangan hidup bangsa dan
pandangan hidup bangsa dapat dituangkan dan dilembagakan menjadi
pandangan hidup negara. Transformasi pandangan hidup masyarakat
menjadi pandangan hidup bangsa dan akhirnya menjadi dasar negara
sebagai bagian dari proses di dalam Pancasila (Kaelan, 2016). Dalam
uraian selanjutnya, Pancasila dijelaskan sebagai sumber dari segala
sumber hukum (sumber tertib hukum) Indonesia. Sehingga Pancasila
merupakan asas kerohanian tertib hukum (Kaelan, 1996). Pancasila
merupakan standar kriteria validitas nilai dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sila-sila Pancasila yang sudah
ada akan mengerucut ke nilai (values) bagi masyarakat dan negara.
Nilai yang akan menjadi titik tolak untuk menjadi standar kriteria
dan validitas nilai ialah nilai yang inheren dengan kebenaran yang bisa
diterima oleh semua manusia. Nilai-nilai Pancasila pada dasarnya
memiliki unsur dan elemen yang mendasar yang bersifat kebaikan, dan
memperkuat standar kriteria dan validitas nilai. Sila Ketuhanan Yang
Maha Esa, basisnya keyakinan dan kepercayaan kepada nilai-nilai
tertinggi tentang kehidupan setelah kematian. Negara yang berdasarkan
kepada Ketuhanan Yang Maha Esa ialah mempercayai adanya nilai-nilai
tertinggi Ketuhanan yang melintasi nilai-nilai teologis dan keagamaan

4
tertentu. Dalam negara Pancasila, negara tidak menjadikan agama tertentu
sebagai dasar negara, tetapi negara mengambil nilai-nilai agama sebagai
spirit konstitusi (Qodir, 2011). Dengan demikian, tidak lagi perdebatan
epistemologis historis yang menganggap Ketuhanan Yang Maha Esa
berdasarkan syariat Islam atau agama tertentu. Sila Kedua Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab, manusia Indonesia secara konstitusional
merupakan manusia Indonesia yang berpijak pada nilai-nilai supreme
bukan homo faber, tetapi manusia spiritual. Sila ketiga Persatuan
Indonesia, sila persatuan ini berhubungan dengan tiga elemen persatuan
sesama manusia, persatuan sebagai warga negara Indonesia, dan
persatuan internal agama. Manusia yang dimaksud merupakan ciptaan
Tuhan bukan makhluk yang terbentuk dan ada begitu saja. Sila
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan. Konsepsi ini mengarah pada demokrasi
yang dipimpin oleh hikmat. Hikmat merupakan otoritas nilai yang sudah
dirumuskan dan ditetapkan oleh lembaga negara.
Pancasila merupakan dasar negara Republik Indonesia yang telah
diletakkan oleh pendiri bangsa yang tercantum di dalam pembukaan
UUDNRI 1945 alenia IV menjadi dasar filsafat dalam kehidupan
bernegara. Pasal 2 dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
menyatakan bahwa “Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum
negara”. Dalam peraturan perundang-undangan secara jelas bahwa
kedudukan dan fungsi Pancasila dalam konteks hukum negara Indonesia
merupakan sumber dari segala sumber hukum negara. Oleh karena itu,
segala bentuk norma dan nilai-nilai yang hendak menjadi norma umum
untuk mengatur kehidupan masyarakat hendaknya merujuk pada
Pancasila. Persoalan yang muncul di masyarakat yang mengarah pada
paham paham yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila semakin
berkembang dan dibiarkan tumbuh menjadi nilai-nilai masyarakat.
Dampak terjadi muncul praktek diskriminasi, eksklusifisme, dan

5
kekerasan mengatasnamakan agama tertentu. Situasi dan kondisi seperti
ini apabila dibiarkan secara terus menerus dan tidak ada kontrol dari
pemerintah akan menimbulkan konflik horizontal. Kehadiran negara
dalam mengontrol pelaksanaan nilai-nilai dan proses legitimasi nilai-nilai
untuk menjadi norma menjadi penting. Meletakkan Pancasila menjadi
metode validitas dan standar kriteria nilai-nilai dalam proses penormaan
dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa menjadi sangat penting.
Paham radikalisme yang berkembang di Indonesia dan sudah
masuk ke berbagai aspek kehidupan masyarakat, berbangsa, dan
bernegara sebagai salah satu akibat dari tidak adanya standarisasi dan
validasi nilai-nilai kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pancasila sejak paska reformasi terabaikan. Pancasila hanya sekedar
dijadikan simbol dan jargon sosial dan politik tetapi bukan menjadi dasar
dan pandangan hidup bangsa yang harus diaktualisasikan. Untuk itu,
konsepsi Pancasila perlu diletakkan sebagai proses berbangsa dan
bernegara dengan menjadikan Pancasila sebagai aspek penormaan dan uji
sahih atas nilai-nilai yang berkembang di masyarakat.
2. Paham dan Konsep Radikalisme
Istilah radikalisme di Indonesia dipahami dalam berbagai dimensi.
Radikalisme dalam ranah keilmuan dapat dilihat dari aspek bahasa,
filsafat, aliran, nilai, dan sosial. Kusman meletakkan konsep radikalisme
sebagai kapasitas berpikir kritis dalam memahami kondisi sosial yang ada
beserta kemampuan untuk membongkar ketimpangan relasi kekuasaan
yang beroperasi dalam realitas sosial (Kusman, 2020, hal. 17). Pandangan
Sudjito dan Muhaimin melihat konsep radikal dipahami sebagai suatu
sikap ekstrim atau keyakinan yang tidak memberikan ruang toleransi
kepada kelompok yang tidak sepaham dengannya (Sudjito & Muhaimin,
2018). Radikalisme yang dimaksud disini dalam ruang lingkup
radikalisme yang berpotensi dan melakukan tindakan teroris yang
melanggar hukum dan melawan nilai-nilai luhur Pancasila. Dalam
konteks Undang Undang radikalisme diberikan batasan sesuatu yang

6
membahayakan ideologi negara dan keamanan negara (Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang).
Paham radikalisme sering menjadi pokok bahasan umum. Paham
radikalisme memiliki unsur unsur sebagai berikut:
a. Memiliki dan meyakini paham Takfirisme, paham Takfirisme yang
dimaksud ialah mengkafirkan dan menghalalkan darah kelompok lain
dan menganggap kelompoknya paling benar.
b. Melakukan tindak kriminal berupa melanggar aturan hukum yang
berlaku di Indonesia dan nilai-nilai Pancasila.
c. Mensosialisasikan kelompok yang dikafirkan secara terbuka melalui
organisasi dan wadah wadah yang dibuat atau dilegalkan oleh
pemerintah.
d. Melakukan upaya upaya dan tindakan tindakan dengan mengambil
peran atau otoritas negara atas nama keyakinan takfirisme yang
dimaksud.
3. Pengertian dan Maksud Metode Pancasila
Metode Pancasila dalam menangkal radikalisme menjadi pokok
pembahasan dan analisis dalam kajian ini karena selama ini Pancasila
belum dirumuskan dalam bentuk metode berpikir dan metode kebijakan.
Berbagai studi tentang Pancasila dalam merespon persoalan radikalisme
masih meletakkan pada dasar pemahaman dan program pelaksanaan
kegiatan untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila (Hakim & Ekapti, 2019;
Satriawan et al., 2019; Sudjito & Muhaimin, 2018). Upaya untuk
menjadikan Pancasila sebagai standar kriteria dan validitas nilai belum
terpikirkan lebih lanjut. Metode yang dimaksud merupakan acuan,
referensi untuk menyusun standar kriteria dan validitas nilai yang paling
obyektif dan memiliki otoritas. Dalam konteks kehidupan bernegara dan
bermasyarakat relasi negara dan warga negara menjadi penting untuk

7
dibangun sistem dan standar yang ideal di tengah tengah kehidupan
masyarakat yang majemuk. Metode Pancasila dapat digunakan sebagai
upaya untuk menangkal paham radikalisme. Selama ini, metode Pancasila
masih dimaknai dalam konteks pembelajaran dan pengajaran tentang
Pancasila. Sebagaimana model dan metode pembelajaran penanaman
karakter dan nilai-nilai Pancasila melalui role play yang diterapkan oleh
pendidik kepada peserta didik yang bertujuan untuk mengajak peserta
didik aktif dalam pembelajaran (Nurgiansah, Hendri, & Khoerudin, 2021;
Rachman, Nurgiansyah, & Kabatiah, 2021).
Pancasila perlu dirumuskan untuk menjadi standar kriteria,
validitas dan validasi nilai-nilai yang ada. Sosialisasi kepada masyarakat
tentang konsep radikalisme, terorisme, ekstremisme, dan
fundamentalisme berkaitan dengan hukum yang berlaku. Penggunaan
standar kriteria dan validitas nilai untuk diperbanyak konten konten logis
dan penalaran penalaran kebangsaan. Melakukan sosialisasi konten
konten ajaran ajaran edukatif yang paham tentang nilai-nilai agama yang
memadai, nilai-nilai universal. Sejauh ini kelompok berpaham radikal ini
menggunakan cara cara negara dan sumber daya negara untuk melawan
negara dan mengkerdilkan peran masyarakat, serta menekan minoritas.
Metode Pancasila dalam menangkal radikalisme dapat dilakukan
dengan merumuskan kurikulum Pancasila dan Agama. Substansi di dalam
kurikulum Pancasila dan Agama memiliki bangunan untuk membangun
harmonisasi konten agama yang dipandu dengan nilai-nilai Pancasila.
Materi materi yang perlu diletakkan antara lain: Pancasila dan filsafat
Ketuhanan, filsafat manusia, filsafat Pancasila, filsafat kenegaraan dan
keadilan, dan filsafat politik hikmat. Dalam konteks masyarakat dan
keluarga, metode Pancasila dapat dilakukan melalui konten ceramah
bertema harmonisasi Pancasila dan tasawuf.
B. Islam Dan Radikalisme Politik
Islam merupakan agama kedamaian yang mengajarkan sikap berdamai
dan mencari perdamaian (Nurcholis Madjid, 1995: 260). Sementara yang

8
dimaksud dengan radikalisme adalah gerakan yang berpandangan kolot dan
sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan keyakinan mereka
(Nasution, 1995: 124). Islam tidak pernah membenarkan praktik penggunaan
kekerasan dalam menyebarkan agama, paham keagamaan, serta paham
politik.Tetapi memang tidak bisa dibantah bahwa dalam perjalanan sejarahnya
terdapat kelompok-kelompok Islam tertentu yang menggunakan jalan
kekerasan untuk mencapai tujuan politis atau mempertahankan paham
keagamaannya secara kaku yang dalam bahasa peradaban global sering
disebut kaum radikalisme Islam.
Istilah radikalisme untuk menyebut kelompok garis keras dipandang
lebih tepat ketimbang fundamentalisme, karena fundamentalisme sendiri
memiliki makna yang interpretable. Dalam perspektif Barat, fundamentalisme
berarti paham orangorang kaku ekstrim serta tidak segan-segan berperilaku
dengan kekerasan dalam mempertahankan ideologinya. Sementara dalam
perspektif Islam, fundamentalisme berarti tajdid (pembaruan) berdasarkan
pesan moral Al-Quran dan Sunnah (Imarah, 1999: 22). Dalam tradisi
pemikiran teologi keagamaan, fundamentalisme merupakan gerakan untuk
mengembalikan seluruh perilaku dalam tatanan kehidupan umat Islam kepada
Al-Quran dan Sunnah (Watt, 1998: 2). Fundamentalisme juga berarti anti-
pembaratan (westernisme) (Rahman, 1982: 136). Terkadang fundamentalisme
diartikan sebagai radikalisme dan terorisme disebabkan gerakan
fundamentalisme memiliki implikasi politik yang membahayakan negara-
negara industri di Barat (Kuntowijoyo, 1997: 49).
Radikalisme merupakan gerakan yang dilakukan oleh individu atau
kelompok yang dirugikan oleh fenomena sosio-politik dan sosio-historis.
Gejala praktik kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok umat Islam itu,
secara historissosiologis, lebih tepat sebagai gejala sosial politik ketimbang
gejala keagamaan meskipun dengan mengibarkan panji-panji keagamaan.
Fenomena radikalisme yang dilakukan oleh sebagian kalangan umat Islam,
oleh pers Barat dibesar-besarkan, sehingga menjadi wacana internasional dan
terciptalah opini publik bahwa Islam itu mengerikan dan penuh dengan

9
kekerasan. Akibatnya tidak jarang image-image negatif banyak dialamatkan
kepada Islam sehingga umat Islam terpojokkan sebagai umat perlu dicurigai.
Hal yang demikian terjadi karena masyarakat Barat mampu menguasai pers
yang dijadikan instrumen yang kuat guna memroyeksikan kultur dominan dari
peradaban global. Apa yang ditangkap masyarakat dunia adalah apa yang
didefinisikan dalam media-media Barat. Label Islam untuk menyebut gerakan
fundamentalis sangat menyenangkan bagi pers Barat ketimbang label Tamil di
Srilangka, militan Hindu di India, IRA (kelompok bersenjata Irlandia Utara),
militan Yahudi sayap kanan, sekte kebatinan di Jepang atau bahkan musuh
lamanya, komunis-marxis yang tidak jarang menggunakan jalan kekerasan
sebagai solusi penyelesaian masalah. Karena terlalu mengkaitkan kata-kata
radikalisme, fundamentalis, atau gerakan militan dengan Islam, seringkali
media Barat mengabaikan perkembangan praktik kekerasan yang ditopang
keyakinan keagamaan yang dilakukan oleh kalangan non-Islam atau pun yang
ditopang oleh ideologi “kiri.” Contoh yang sangat jelas adalah aksi tutup
mulut para elit politik Barat atau aksi bicara dalam kepura-puraan ketika
melihat praktik kekerasan yang dilakukan oleh ekstrimis Yahudi atau pun
serdadu Israel atas orang-orang Arab Palestina. Apa yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok pelaku kekerasan ini secara faktual sama dengan apa
yang dilakukan oleh kelompok pelaku garis keras “radikalisme Islam.” Tetapi
sebutan radikalisme lebih kental ditujukan kepada gerakan Islam. Hal inilah
yang ditolak oleh gerakan negara-negara OKI (Organisasi Konferensi Islam)
dalam pertemuannya di Kuala Lumpur Malaysia tanggal 1–3 April 2002.
Konsep radikalisme politik ke-agamaan dalam konteks Indonesia
adalah menempatkan sifat radikalisme dalam kemajemukan, sebagaimana
kemajemukan atau keragaman keagamaan yang dipeluk oleh warga
masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, dalam masyarakat-masyarakat atau
bangsa-bangsa yang homogen dalam keagamaan seperti negara Arab Saudi
misalnya, maka pernyataan bahwa negara adalah harus berazas Islam adalah
tidak relevan untuk dibicarakan dalam konteks negara Arab Saudi. Tapi untuk
Indonesia, wacana bahkan tuntutan seperti itu menjadi krusial justru karena

10
masyarakat Indonesia secara socio-religion adalah heterogen. Masalahnya
adalah keharusan untuk mendasarkan pada azas Islam atau memperlakukan
syariat Islam bagi semua warga Indonesia, bahkan mencita-citakan Indonesia
sebagai negara Islam secara implisit terkait dengan memposisikan agama
dalam kaitannya dengan kekuasaan dan penguasaan, serta aturan dan
pengaturan.
Radikalisme yang bergerak dari dan gerakan atas nama agama, dalam
kenyataannya mempunyai pola-polanya sendiri. Pola-pola dari radikalisme
tadi, rupanya menjadi semacam “saling tarik- ulur” dengan empat faktor
(dalam bahasa kuantitatif disebut variabel) yaitu: pencitraan keagamaan (the
religious imaging); dominasi budaya masyarakat (the cultural domination);
kekuatan dukungan sosial (the power of social support); dan peran-peran
media (the role of media). Keempat faktor itu bisa hadir secara bersama-sama,
tetapi bisa juga hadir secara terpisah.
Pencitraan keagamaan beroperasi secara timbal balik antara
pemahaman keagamaan personal dengan ormas keagamaan dan atau politik
yang diikuti. Ini artinya, “apa yang dipahami sebagai agama dan kewajiban
keagamaan”, proses awalnya hadir sebagai pemahaman dan kemauan elite-
elite ormas/orsospol yang bercorak personal kemudian dihadirkan dalam arti
disosialisasi dan diinter- nalisasikan secara berkesinambungan kepada anggota
atau simpatisan sehingga menjadi pemahaman dan kemauan kolektif
(collective wilingness). Dari sinilah agama dan pemeluk agama sesuai dengan
aliran keagamaannya menyatu dalam identitas ormas/orsospol. Kalau
seseorang menye- but diri (identitas ormas orsospol-nya) misalnya, “saya
adalah anggota FPI”, maka di balik pernyataan itu hadir atau menghadirkan
“pencitraan keagamaan” yang berbeda dan dibedakan dengan orang lain yang
mengatakan lain seperti, “kalau saya orang NU”. Penyebutan “FPI” atau “NU’
tadi, tidak semata-mata sebagai nama atau label ormas keagamaan, tetapi
bersamaan dengan itu juga menghadirkan “realitas baru” yaitu pencitraan yang
berbeda mengenai “agama dan kewajiban keagamaan” antar keduanya.

11
Dalam konteks Indonesia atau lebih spesifik Jawa Tengah, ciri-ciri
dan radikalisme bisa dilihat dari beberapa indikator berikut:
1. Bertitik tolak pada kesepakatan nasional yaitu dasar negara adalah
Pancasila. Ini berarti, kekuatan apapun seperti perseorangan, ormas,
maupun orsospol, yang menginginkan perubahan dasar negara menjadi
negara Islam, merupakan indikasi munculnya radikalisme di dalam diri
atau kelompok itu. Pada tataran ini, radikalisme tentu tidak harus
dipandang negatif sepanjang tidak terjadi pemaksaan kehendak.
2. Munculnya semangat yang kuat untuk mengganti hukum-hukum formal
dengan memberlakukan hukum atau syari’at Islam bagi warga bangsa.
3. Adanya tindakan yang terorganisir untuk melarang, menghentikan, atau
menghancurkan berbagai kegiatan- kegiatan amusement secara sepihak
dengan menganggapnya sebagai kemak- siatan tanpa perlu koordinasi
kepada aparat atau penegak hukum yang ada.
4. Berkecenderungan melakukan kekerasan terhadap pihak-pihak yang
dianggap berseberangan.
5. Keseluruhan tindakan kekerasan itu mereka justifikasi atau klaim sebagai
perintah agama.
Persoalan radikalisme keagamaan memang merupakan persoalan yang
kompleks karena hal tersebut mencakup berbagai dimensi kehidupan seperti
keyakinan, interpretasi ajaran, hubungan personal dan kemasyarakatan serta
yang lainnya. Faktor lain terkait dengan tingkat pendidikan umat, lingkungan
sosial dan pemahaman terhadap setiap perubahan. Berdasarkan pada temuan-
temuan lapa- ngan, benih-benih radikalisme sebetulnya sudah mulai muncul
baik secara perse- orangan maupun kelembagaan. Hanya saja bagaimana
mewujudkan keinginan demikian, dari sinilah sebetulnya gradasi radikalitas
bisa dikenali.
Radikalime politik keagamaan mudah tumbuh dalam berbagai kondisi
sebagai berikut:
1. Kondisi di mana ruang-ruang untuk lahirnya sikap kritis dan peluang
untuk mengkritisi keadaan baik untuk lingkup sosial maupun

12
pemerintahan/negara terbuka lebar. Kampus terutama kampus-kampus
(dari pendidikan umum) merupakan lahan yang paling mudah timbulnya
kelompok mau- pun gerakan radikalisme ini. Organisasi kegamaan seperti
Hizbut Tahrir meru- pakan contoh bagaimana gejala radikalisme
keagamaan lahir di kampus-kampus.
2. Dalam situasi di mana kesenjangan sosial politik dan ekonomi telah
menggejala secara meluas, sebagai akibat dari pemerintahan yang korup
dan tidak adil, sehingga menumbuhkan perasaan frustasi di antara kaum
terpelajar dan aktivis keagamaan terhadap keadaan itu. Dalam kondisi
seperti ini, mereka akan dengan mudah terbawa kepada kebutuhan
perubahan dan sekaligus tumbuh romantisme kepada terwujudnya suatu
negara yang aman, makmur dan sejahtera karena warga masyarakatnya
sudah terampuni segala dosa-dosanya (baldatun toyyibatun wa robbun
ghofur).
3. Ketika tumbuh ketidak percayaan kepada tokoh-tokoh agama, ormas-
ormas keagamaan, dan orsospol yang membawa-bawa nama agama tetapi
di dalam tindakannya dianggap telah menyimpang jauh dari spirit dan
moralitas Islam. Akibatnya, memunculkan adanya pemikiran alternatif
yang bisa diusung oleh kelompok idealis. Berkumpulnya kaum idealis ini
memungkinkan terako- modasinya pemikiran dan gerakan radikal dalam
rangka mengembalikan spirit keagamaan baru.
C. Jihad Dan Terorisme
1. Konsep Jihad Dalam Islam
a. Jihad dalam al-Qur’an dan Hadist
Kata jihad dalam al-Qur‟an disebutkan sebanyak 35 kali,
baik dalam bentuk fi’il maupun ism yang tersebar dalam 15 surat
Makkiyah maupun Madaniyah. Kata jihad dalam ayat-ayat periode
Mekkah yaitu: al-Furqon (25: 52), al-Naḥl (16: 110), alAnkabūt (29:
6,69). Sedangkan ayat periode Madinah yaitu al-Baqarah (2: 218), al-
Anfāl (8: 72, 74,75), al-Imrān (2:142), al-Mumtaḥanah (60:1), al-
Nisa (4:95), Muḥammad (47: 31), al-Ḥajj (22:78), al-Ḥujurat (49:15),

13
al-Taḥrīm (66: 9), al-Ṣaf (61: 11), al-Maidah (5:35, 54), al-Taubah
(9:16,19,20,24,41,44,73,81,86,88) (al-Maududi, et.al, 1984).
Tindakan yang dilakukan oleh Rasulullah setelah turunnya
ayat tersebut adalah membentuk pasukan untuk menjaga Madinah
terhadap serangan mendadak yang dilakukan oleh suku Badui
maupun kafir Quraisy. Operasioperasi militer dalam rangka menjaga
Madinah itulah yang kemudian menjadi salah satu pemicu
peperangan Badar (Dahlan, 1997). Menurut Chirzin, ayat-ayat jihad
para periode Mekkah dan Madinah memiliki beberapa perbedaan.
Pada ayat jihad periode Mekkah, pada umumnya berisi tentang
seruan untuk bersabar terhadap tindakan-tindakan musuh serta terus
berdakwah di tengah-tengah umat. Sedangkan ayat-ayat jihad periode
Madinah, menyerukan kepada umat Islam untuk menghadapi musuh
secara konfrontatif dan mewajibkan umat Islam untuk memerangi
penduduk Mekkah. Perbedaan itu disebabkan oleh situasi umat Islam,
dimana pada periode Mekkah umat Islam berada dalam tekanan,
sedangkan pada periode Madinah umat Islam telah kuat secara politik
(Rohimin, 2006).
Pengulangan perintah jihad dalam periode Madinah
menunjukkan pentingnya aktifitas jihad dalam Islam. Dalam
pembahasan ulūm al-Qur‟ān, perintah merupakan permintaan sesuatu
dari sesuatu yang lebih tinggi kedudukannya (Allah SWT) kepada
pihak yang lebih rendah (manusia). Sedangkan dari segi kaidah uṣūl
fiqh perintah menunjukkan kepada wajibnya suatu perkara. Adapun
ayat-ayat jihad dalam Al-Qur‟an pada umumnya menunjukkan
perintah (Ali, 1993). Tentang ayat-ayat jihad periode Madinah ini,
Rohimin menjelaskan bahwa penggunaan kata jihad dapat diartikan
sebagai perjuangan masyarakat Islam yang sudah terprogram dan
sistematis untuk menentang semua bentuk pengingkaran terhadap
ajaran agama dan upaya-upaya untuk menghalang-halangi
penyebarannya. Dalam keadaan tertentu, perjuangan tersebut dapat

14
dilakukan melalui peperangan. Akan tetapi jihad dalam konteks
perang adalah pendekatan terakhir ketika jalan damai sudah tidak bisa
ditempuh.
Adapun di dalam hadits sebagaimana diriwayatkan oleh al-
Bukhāri disebutkan bahwa, jihad merupakan amal yang utama selain
sholat pada waktunya dan berbuat baik kepada kedua orang tuanya.18
Dalam hal ini Ibnu Ḥajar al-Asqalāni menyatakan bahwa penyebutan
tiga amal tersebut karena ketiganya merupakan lambang dari
ketaatan-ketaatan lainnya. Pengabaian terhadap waktu shalat akan
mengakibatkan pengabaian terhadap hal-hal lain. Keengganan
berbuat baik kepada orang tua akan berdampak pada keengganan
berbuat baik kepada lainnya serta ketidakpedulian terhadap panggilan
jihad terhadap orang-orang kafir mengakibatkan ketidakpedulian
terhadap kefasikan lainnya (al-Asqalāni, 1985). Didalam hadits yang
lain yang juga diriwayatkan oleh al-Bukhāri,20 dijelaskan bahwa
jihad tidak hanya berarti perang. Hadis yang diriwayatkan `Aisyah
tersebut memuat pertanyaan tentang bagaimana jihad untuk wanita
setelah diketahuinya bahwa jihad adalah amal yang paling utama.
Rasulullah kemudian menjawab bahwa bagi wanita, jihad yang paling
utama adalah haji mabrur. Hadis tersebut menunjukkan bahwa jihad
bukanlah semata-mata bertempur di medan perang, tetapi haji juga
disebut dengan jihad. Hal itu mengindikasikan bahwa pengertian
umum jihad telah dikenal sejak masa Rasulullah disamping makna
khususnya yaitu berperang menghadapi orang-orang kafir.
Sedangkan tentang kewajiban jihad, al-Bukhāri
meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbās bahwa Rasulullah bersabda
pada saat Fathu Makkah mengenai tidak adanya lagi kewajiban hijrah
setelah pembukaan kota Mekkah. Yang ada adalah kewajiban jihad
dan memasang niat. Apabila umat Islam diseru untuk ke luar ke
medan jihad, maka mereka harus berangkat.Hadis tersebut
mengukuhkan kewajiban berjihad bagi setiap muslim serta tidak ada

15
lagi kewajiban hijrah sebagaimana yang telah dilakukan oleh
Rasulullah dan para sahabat. Hadis tersebut secara tegas juga
menyatakan bahwa jihad itu hukumnya wajib, dan umat Islam harus
menunaikannya apabila di serukan untuk berjihad.
b. Jihad dalam Wilayah Fiqih
Ajaran jihad mendapat perhatian khusus dari para fuqaha.
Hampir dalam setiap buku-buku fiqh ditemukan pembahasan jihad
secara rinci. Jihad dalam pandangan mereka adalah perang untuk
memperluas wilayah kekuasaan Islam. Uraian jihad merupakan
justifikasi dan solusi legal untuk melakukan perang terhadap musuh
di luar Islam. Penggunaan term jihad selalu terkait dengan term al-
qital, al-harb, alghazw, dan an-nafr. Ketentuan-ketentuan jihad dalam
literatur fiqh merupakan sistematisasi fiqh yang diambil dari solusi-
solusi Rasulullah Saw yang pernah terjadi dalam sejarah peperangan
dalam Islam.
Dari pemahaman fuqaha tentang ajaran jihad, dengan
menampilkan uraian tentang syarat-syarat, rukun dan tata caranya,
maka seakan-akan fuqaha lebih menekankan ajaran jihad pada aspek
ibadahnya, sehingga jihad dianggap tidak sah apabila tidak diikuti
dengan syarat, rukun, dan tata cara yang telah mereka tentukan.
Selanjutnya, ibadah yang tidak sah akan berpengaruh pada pahala
ibadah itu sendiri. Ulama fikih madzhab Hanafi, al-Kasāni ,
sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab Badā‟i al-Ṣanā„i,
menyatakan bahwa secara literal, jihad adalah ungkapan tentang
pengerahan seluruh kemampuan. Sedangkan menurut pengertian
syariat, jihad bermakna pengerahan seluruh kemampuan dan tenaga
dalam berperang di jalan Allah, baik dengan jiwa, harta, lisan ataupun
yang lain.
2. Terorisme
a. Terorisme pada perspektif kebahasaan

16
Terorisme (terorism) berasal dari kata terror. Menurut Oxford
Paperback Dictionary, terror berarti extreme fear (rasa takut yang luar
biasa), a terrifying person or thing (seseorang atau sesuatu yang
mengerikan). Terorisme diartikan sebagai use of violence and
intimidation, especially for political purposes (penggunaan kekerasan
dan intimidasi, utamanya bagi tujuan-tujuan politik). Banyak analisis
sepakat bahwa terorisme memiliki cara yang khas, yaitu penggunaan
kekerasan secara sistematis untuk mencapai tujun politik. Metodenya
adalah pemboman, pembajakan, pembunuhan, penyandraan atau
singkatnya aksi kekerasan bersenjata (Jamil, 2001). Teroris adalah
pelaku terror. Sedangkan terorisme berarti paham yang berprinsip
bahwa teror adalah suatu jalan, taktik untuk mencapai suatu tujuan
tertentu. Sementara itu, Enclycopedia Americana menyebutkan
bahwa terorisme adalah penggunaan atau ancaman kekerasan yang
terbatas pada kerusakan fisik, namun berdampak psikologis tinggi
karena ia menciptakan ketakutan dan kejutan. Keefektifan terorisme
lebih bersifat politik daripada militer. Aksi teroris di maksudkan
untuk mengkomunikasikan sebuah pesan. Secara konvensional
terorisme ditujukan pada aksiaksi kaum revolusioner atau kaum
nasionalis yang menentang pemerintah, sedangkan teror merujuk
pada aksi-aksi pemerintah untuk menumpas pemberontakan. Pada
praktiknya, perbedaan antara terorisme dan teror tidak selalu jelas.
b. Terorisme pada perspektif akademisi
Terorisme merupakan istilah yang kabur dan bermakna ganda
(ambiguous). Di kalangan akademisi atau ilmuan sosial-politik pun
tidak ada kesepakatan tentang batasan pengertian (definisi) istilah
yang kesannya mengerikan itu. Tidak ada satu pun definisi
‛terorisme‛: yang diterima secara universal. Yang jelas dan ini di
sepakati, terorisme merupakan sebuah aksi atau tindak kekerasan
(violence) yang merusak (destructive).
3. Terorisme Dalam Sejarah Peradaban Islam

17
Jauh sebelum opini dunia tentang ‚Terorisme Islam‛ muncul ke
permukaan, kita pernah mendengar sebutan ‚Fundamentalisme Islam‛
dalam bahasa Arab, ‚fundamentalisme‛ atau ‚ al-ushuliyyah‛ berarti
‚mendasar atau berdisiplin dalam menjalankan kewajiban agama‛.
Dengan demikian, ‚muslim fundamental‛ adalah seorang muslim yang
sangat disiplin dalam menjalankan ajaran Islam, seperti shalat lima waktu
secara berjamaah dan menghindari sesuatu yang tidak jelas kehalalannya.
Termasuk ‚muslim fundamental‛ ini adalah para ‚zahid‛, orang-orang
yang menjaga diri dan agamanya dan juga para sufi. Dalam konteks
perngertian ini, umat Islam diserukan untuk melaksanakan ajaran
agamanya secara fundamental.
Sedangkan ‚radikalisme‛ dalam bahasa Arab disebut ‚ syiddah at-
tanatu. Artinya, keras, eksklusif, berpikiran sempit, rigid, serta
memonopoli kebenaran. Muslim radikal adalah orang Islam yang
berpikiran sempit, kaku dalam memahami Islam, serta bersifat eksklusif
dalam memandang agama-agama lainnya. Dari pengertian di atas terlihat
bahwa fundamentalis Islam atau muslim fundamental sangat dianjurkan
dalam menjalankan perintah-perintah agama sesuai dengan Al-Quran dan
sunnah. Sedangkan radikalisme bertentangan dengan ajaran agama Islam
yang menganjurkan bagi pemeluknya untuk berbuat baik kepada semua
orang tanpa memandang latar belakang suku bangsa dan agama
(pluralisme). Pada tahun 35 H, khalifah Usman Ibnu Affan terbunuh
secara mengenaskan oleh sekelompok umat Islam yang ekstrem. Peristiwa
ini kemudian terulang pada masa khalifah Ali Ibnu Abi Thalib yang juga
terbunuh oleh kalangan ekstrem dari umat Islam. Komunitas ekstrem
tersebut, sungguhpun pada mulanya bernuansa politik, berkembang
menjadi sebuah ideologi yang dikenal dengan paham Khawarij.
Maka, gelombang umat Islam radikal yang berkembang saat ini
memang harus diakui eksistensinya. Mereka sebenarnya terpengaruh pada
pola-pola khawarij pada masa periode awal sejarah umat Islam.

18
Gelombang revivalisme (kebangkitan) Islam di timur tengah
muncul pada dekade ke tujuh abad ke 20 M. Kurun waktu yang bertepatan
dengan momentum abad baru hijriah, abad ke 15. Sebuah momentum
yang terkait dengan kepercayaan umat Islam, bahwa setiap abad baru
akan melahirkan seorang pembaharu (mujaddid) keyakinan umat dan
perbaikan kondisi komunitas umat Islam. Sejak dekade inilah gerakan-
gerakan Islam berada di panggung utama, dari Malaysia sampai Senegal,
dari Soviet atau Rusia sampai daerah-daerah pinggiran di Eropa yang
dihuni oleh para imigran.
Fenomena gerakan terorisme di Indonesia tidak terlepas dari
hadirnya kelompok-kelompok radikal dalam Islam yang merasakan
ketidakadilan terhadap umat Islam oleh barat terutama Amerika dan
sekutu-sekutunya baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun budaya.
Dominasi barat terhadap negara-negara Islam dirasakan sebagai upaya
untuk melemahkan kekuatan Islam secara menyeluruh. Secara politis
tindakan terorisme pada dasarnya lebih disebabkan oleh ketidakadilan,
imperialisme, dan kolonialisme yang telah lama terjadi dan terus bercokol
dalam dunia Islam. Oleh karena itu, secara teoritis dapat dikatakan selama
ketimpangan-ketimpangan dan pelanggaran HAM masih terjadi reaksi
yang berupa terorisme akan tetap bermunculan. Maka, perlu adanya upaya
yang bersifat terpadu, menyeluruh, dan berkelanjutan dari berbagai
elemen dan bangsa-bangsa di dunia atas dasar persamaan atau kesetaraan
(humanisasi).
D. Revivalisme Islam Dan Radikalisme Di Indonesia
1. Definisi Revivalisme Islam
Revivalisme Islam diartikan kebangkitan kembali Islam.
Revivalisme Islam hendak menjawab kemerosotan Islam dengan kembali
kepada ajaran Islam yang murni. Contoh dari gerakan Islam revivalis
adalah Wahhabiyyah yang memperoleh inspirasi dari Muhammad ibn
Abd al-Wahhab (1703-1792) di Arabia, Shah Wali Allah (1703-1762) di
India, Uthman Dan Fodio (1754-1817) di Nigeria, Gerakan Padri (1803-

19
1837) di Sumatra, dan Sanusiyyah di Libya yang dinisbatkan kepada
Muhammad Ali al-Sanusi (1787-1859). Chouieri melihat adanya
kemiripan agenda yang menjadi karakteristik gerakan-gerakan revivalis
Islam tersebut, yaitu:
a. Kembali kepada Islam yang asli, memurnikan Islam dari tradisi lokal
dan pengaruh budaya asing.
b. Mendorong penalaran bebas, ijtihad, dan menolak taqlid.
c. Perlunya hijrah dari wilayah yang didominasi oleh orang kafir (dar al-
kufr).
d. Keyakinan kepada adanya pemimpin yang adil dan seorang pembaru.
Revivalisme Islam juga berhubungan dengan fundamentalisme.
Gerakan dan pemikiran ini muncul sebagai reaksi terhadap akibat-akibat
yang ditimbulkan oleh modernisme dan sekularisme dalam kehidupan
politik dan keagamaan. Peradaban modern-sekular menjadi sasaran kritik
fundamentalisme Islam, dan di sini fundamentalsime memiliki fungsi
kritik. Seperti ditipologikan oleh Fazlur Rahman, fundamentalisme Islam
(atau revivalisme Islam) merupakan reaksi terhadap kegagalan
modernisme Islam (klasik), karena ternyata yang disebut terakhir ini
tidak mampu membawa masyarakat dan dunia Islam kepada kehidupan
yang lebih baik, sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai gantinya,
fundamentalisme Islam mengajukan tawaran solusi dengan kembali
kepada sumber-sumber Islam yang murni dan otentik, dan menolak
segala sesuatu yang berasal dari warisan modernisme Barat.
Salah satu karakteristik atau ciri terpenting dari fundamentalisme
Islam ialah pendekatannya yang literal terhadap sumber Islam (al-Qur‟an
dan al-Sunnah). Literalisme kaum fundamentalis tampak pada
ketidaksediaan mereka untuk melakukan penafsiran rasional dan
intelektual, karena mereka -kalau-lah membuat penafsiran- sesungguhnya
adalah penafsir-penafsir yang sempit dan sangat ideologis. Literalisme ini
berkoinsidensi dengan semangat skripturalisme, meskipun Leonard

20
Binder membuat kategori fundamentalisme non-skriptural untuk pemikir
fundamentalis seperti Sayyid Qutb.
Pembedaan yang signifikan antara revivalisme dan
fundamentalisme adalah, revivalisme Islam (Islamic revivalism) atau
Islamic resurgence mewujudkan dirinya dalam bentuk yang beragam,
misalnya Wahhabiyyah, yang dia anggap sebagai representasi dari
prototipe Islam fundamentalis modern. Terlepas dari beberapa perbedaan
perspektif dan implikasi yang ditimbulkannya, korelasi, kaitan atau
kemiripan karakteristik dasar antara fundamentalisme, revivalisme,
Islamisme dan radikalisme tidak bisa dikesampingkan. Jika ditelaah lebih
mendalam akan tampak adanya semacam family resemblance antara
berbagai orientasi ideologis tersebut,3 meskipun masing-masing tetap
memiliki tekanan dan strategi yang berbeda, tergantung situasi dan
kondisi sosial dan gaya kepemimpinan (leadership style) dari masing-
masing gerakan.
2. Revivalisme Islam Sebagai Bukti adanya Ideologi Islam
Sejak akhir abad ke- 18 dunia Islam mengalami kemunduran yang
tak pernah diperkirakan sebelumnya. Pemerintahan Islam dengan
konsepnya yang terbaik kini telah berganti dengan sistem pemerintahan
yang despotis. Anarki dan pembunuhan demi perebutan kekuasaan terjadi
dimana- mana. Satu demi satu daerah yang tergabung ke dalam Pan
Islamisme melepaskan diri dan mendirikan negara dengan memakai
konsep Barat. Dunia Islam telah kehilangan ruhnya, yakni ideologi
sebagai worldview. Di saat demikian muncullah gerakan revivalisme
Islam yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab dengan gerakan
Wahabinya. Tujuan gerakan Wahabi adalah pemurnian atas ideologi
Islam yang telah banyak berubah dan disesuaikan dengan bentuk Islam di
masa Nabi Muhammad Saw. Untuk masifnya gerakan Wahabi maka
Muhammad bin Abdul Wahab mendirikan sekolah untuk mencetak
kaderkader. Salah satu kadernya yang kelak memiliki pengaruh cukup
dominan di dunia Islam adalah Su‟ud yang kemudian dapat merebut

21
tanah Nejed dan Hejaz dan kemudian mendirikan negara Saudi Arabia.
Kalau Wahabiah lebih mewakili Jazirah Arab maka di Aljazair, Afrika
muncul seorang revivalis Muhammad bin Ali As- Sanusi Al- Idrisi
pendiri tarekat Sanusiyah yang kemudian terjun ke dalam masyarakat
untuk memimpin perjuangan gerakan kembali kepada kemurnian Islam
tetapi lebih menekankan pada cara- cara persuasif dan damai. Kalau umat
Hindu India memiliki Mahatma Gandhi maka dunia Islam memiliki
Muhammad AsSanusi. Menyusul kemudian munculnya gerakan yang
dipimpin oleh Muhammad Abduh yang menitikberatkan aspek
pendidikan dan menghasilkan para pembaharu Islam yang lain seperti
Muhammad Rasyid Ridha.
Gerakan revivalisme Islam yang paling berpengaruh dan
fenomenal adalah Jamaluddin Al-Afghani dengan konsep Pan Islamisme
dan Hasan Al-Banna dengan Jama‟ah Ikhwanul Musliminnya. Tujuan
pertama dari Pan Islamisme Jamaluddin Al- Afghani adalah untuk
mempersatukan negara- negara Islam ke dalam satu federasi, yang
mampu menghalau campur tangan Barat dan mewujudkan kembali
kejayaan Islam. Sedangkan tujuan utama Ikhwanul Muslimin adalah
membangun pribadi Muslim, kemudian menuntut setiap Muslim agar
membina keluarga Muslim dan pada akhirnya akan membentuk
masyarakat Muslim dan negara Islam yang kemudian akan bersatu.
Ikhwanul Muslimin merupakan gerakan yang bergerak di ranah sosial dan
ekonomi. Dengan sistem halaqoh atau liqo’ yang masif, maka gerakan ini
telah memberikan dampak luar biasa bagi gerakan revivalisme Islam.
Hasan al-Banna sebagai pendiri Ikhwanul Muslimin, dalam khazanah
pergerakan Islam tercatat sebagai tokoh pertama yang menyusun secara
komprehensif dan sistematis bagaimana kebangkitan Islam global dapat
dilakukan melalui kekuatan-kekuatan nasional yang telah jiwai spirit dan
falsafah Islam.
3. Faktor Penyebab Terjadinya Revivalisme Islam

22
Revivalisme Islam atau kebangkitan Islam merupakan suatu
fenomena yang menjadi perbincangan menarik di kalangan umat Islam.
Dalam perjalanan sejarah, umat Islam mengalami masa kejayaan dan juga
masa kemunduran. Di sisi lain, bangkitnya Negara-negara yang berbasis
Islam merupakan gerakan awal dari kebangkitan Islam secara
intrernasional.5 Negara Islam yang melepaskan diri dari kolonialisme
mulai muncul kesadaran untuk berkembang dan mengkritisi Barat.
Revivalisme adalah Istilah lain dari kebangkitan Islam,
merupakan gerakan keagamaan yang disebabkan oleh beberapa faktor.
Umat Islam khawatir akan tergerusnya nilai dan ajaran Islam akibat dari
meluasnya pengaruh kolonialisme dan imperialisme Barat. Revivalisme
Islam telah menyerukan rekonstruksi gagasan dan membangun sistem
hukum yang komprehensif, birokrasi pemerintahan, pendidikan, dan
etikadalam dunia modern dengan landasan teologis sumber-sumber asli
Islam. Dengan demikian, fondasi dan arah dari sebuah gerakan dengan
mudah diterima oleh umat Islam.
Ada dua faktor yang menjadi penyebab terjadinya revivalisme
Islam, yaitu:
a. Faktor Internal
Fakta bahwa umat Islam memiliki nilai-nilai peradaban,
kekayaan warisan turats, intelektual dan teori ijtihad yang
konprehensif dalam wujud agama Islam yang lurus, agama yang
memiliki keistimewaan dengan sifat syumulnya yang mencakup nilai-
nilai, gagasan, akidah, syariat dan moralitas dalam urusan dunia dan
akhirat. Agama Islam telah memecahkan masalah manusia dalam
semua dimensinya, baik fisik, psikis, duniawi maupun ukhrawi,
sehingga membuat seorang muslim dan orang yang perilakunya
terinspirasi oleh Islam dalam kehidupannya, hidup dalam keadaan
kenyamanan dan ketenangan.
b. Faktor eksternal

23
Faktor eksternal yang dimaksudkan di sini adalah faktor yang
disebabkan oleh pihak luar yaitu tantangan dari Barat.7 Kolonialisme
dan imperialisme Barat terhadap negara yang berpenduduk mayoritas
Islam menimbulkan banyak kesengsaraan bagi umat Islam. Di sisi
lain, kebanyakan umat Islam merasa takjub dengan peradaban
materialisme yang datang dari dari negeri timur dan Barat dan
kemudian mendominasi peradabannya sendiri, umat tidak berdaya di
hadapan invasi intelektual. Hal ini didukung oleh penurunan Islam
dalam hal ssaplikasi nyata karena beberapa faktor, untuk jangka
waktu yang sangat lama. Selain itu, tidak adanya kepemimpinan yang
bersih, kesibukkan penguasa Muslim dengan urusan pribadinya dan
melemahnya semangat amar makruf nahi munkar. Selain adanya
propaganda yang sangat menarik yang dibuat oleh kaum penjajah
dalam slogan pembebasan kaum muslimin dan perkembangannya.
Situasi ini semakin tidak memihak karena bertepatan dengan
perkembangan teknologi yang digunakan oleh penjajah sebagai bukti
perkembangan dan kemajuan peradaban mereka.
4. Radikalisme di Indonesia
Berubahnya sistem pasca runtuhnya Orde Baru 1998 membawa
pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan berbagai elemen bangsa,
termasuk di dalamnya perkembangan Islam. Bentuk Islam di Indonesia
menjadi sangat beragam. Keragaman ini tercermin dari jumlah organisasi
keislaman dan kelompok kepentingan atas nama Islam yang dari waktu ke
waktu semakin bervariasi.
Peter G. Riddel membagi menjadi empat kekuatan Islam
Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru, yaitu; modernis, tradisionalis,
neomodernis dan Islamis. Secara umum, Riddel sepaham terhadap
definisi masing-masing kategori dengan mengabaikan satu kategori dari
Woodward, yaitu indigenized Islam. Bagi Riddel, masing-masing kategori
memiliki ciri khasnya sendiri dalam menanggapi berbagai isu krusial di
tahun-tahun periode pertama pascapemilu pertama runtuhnya Orde Baru,

24
yaitu tahun 1999. Isu-isu tersebut antara lain kembali ke Piagam Jakarta,
krisis Maluku, membuka hubungan dagang Israel, negara Indonesia
federal, tempat kaum minoritas dalam sistem negara Indonesia, presiden
perempuan, dan partai politik yang baru dibuka krannya setelah Orde
Baru runtuh (Riddel, 2002: 65-83).
Pengelompokan yang dilakukan oleh Riddel di atas bila dilihat
dari sisi penafsiran dapat dipersempit menjadi dua pengelompokan saja,
yaitu liberal moderat dan radikal atau fundamental. Islam liberal dan
moderat dengan penafsiran terbuka terhadap ajaran Islam, sekalipun tidak
sama persis, sedangkan Islam radikal atau fundamentalis memiliki paham
penafsiran tertutup. Beberapa kelompok Islam seperti Jaringan Islam
Liberal (JIL), Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
(LAKPESDAM) NU, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah
(JIMM), adalah beberapa kelompok Islam yang dapat dikategorikan ke
dalam kelompok Islam yang beraliran terbuka.
Radikalisme atau fundamentalisme tidaklah muncul dari ruang
hampa. Dalam teori sosial, radikalisme adalah sebuah gerakan yang
terkait atau disebabkan oleh fakta lain. Dalam pandangan kaum fakta
sosial bahwa ada tiga asumsi yang mendasari keseluruhan cara
berpikirnya, yaitu terdapat keajegan atau terdapat keteraturan sosial
(social order), terdapat perubahan sekali waktu dan tidak ada fakta yang
berdiri sendiri kecuali ada fakta penyebabnya. Akar radikalisme dapat
ditilik dari beberapa penyebab, antara lain: pertama, adanya tekanan
politik penguasa terhadap keberadaannya. Di beberapa belahan dunia,
termasuk Indonesia fenomena radikalisme atau fundamentalisme muncul
sebagai akibat otoritarianisme (Azyumardi Azra, 1996: 18). Dalam kasus
Orde Baru, negara selalu membabat habis yang diidentifikasi sebagai
gerakan radikal. Baginya radikalisme adalah musuh nomer satu dan
dijadikan sebagai common enemy melalui berbagai media transformasi.
Radikalisme kiri dan kanan sama saja. Radikalisme kiri seperti Gerakan
New Left, yang pernah berkembang di Indonesia sekitar tahun 1980-an

25
dan terus memperoleh momentum di tahun 1990-an melalui Partai Rakyat
Demokratik (PRD) merupakan eksponen organisasi yang dianggap
sebagai musuh negara. Begitu kerasnya tekanan terhadap gerakan radikal
kiri ini, banyak para tokohnya yang ditangkap, disiksa, bahkan ada yang
hilang tidak tentu rimbanya. Orde Baru juga sangat keras terhadap
radikalisme kanan. Di antara yang paling menonjol adalah isu Komando
Jihad di pertengahan tahun 1980-an. Banyak tokoh Islam yang
diidentifikasi sebagai pemimpin atau anggota Komando Jihad yang
ditangkap dan ditahan. Usaha untuk memberangus gerakan-gerakan
radikal Islam itu pun terus berlangsung sampai periode munculnya Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di pertengahan tahun 1990-an.
Abdul Aziz Thaba membuat tipologi hubungan antara Islam dan Negara
dalam tiga kategori, yaitu hubungan antara Islam dan Negara yang
bercorak antagonistis, resiprokal kritis, dan hubungan antara Islam dan
Negara yang saling membutuhkan. Hubungan antagonistis terjadi di awal
Orde Baru sampai awal tahun 1980-an dan hubungan simbiosis terjadi di
era tahun 1990-an (Abdul Aziz Thaba, 1995). Di era reformasi, jika
gerakan radikal kiri berada dalam keadaan mati suri, tidak demikian
halnya dengan gerakan radikalisme kanan. Setelah kran-kran kebebasan
demokrasi dibuka, tidak serta merta membuat gerakan radikal ini surut,
bahkan tumbuh subur, seperti munculnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI),
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), Gerakan
Salafi, Laskar Jundullah, Lasykar Jihad, Gerakan Islam Ahlussunnah wal
Jamaah, Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), Negara Islam Indonesia (NII)
dan berbagai agama bercorak lokal adalah sebuah potret merebaknya
gerakan-gerakan keagamaan ini.
Pertama, faktor emosi keagamaan. Harus diakui bahwa salah satu
penyebab gerakan radikalisme adalah faktor sentimen keagamaan,
termasuk di dalamnya adalah solidaritas keagamaan untuk kawan yang
tertindas oleh kekuatan tertentu.

26
Kedua, faktor kultural ini juga memiliki andil yang cukup besar
yang melatarbelakangi munculnya radikalisme. Hal ini wajar karena
memang secara kultural, sebagaimana diungkapkan Musa Asy’ari (Musa
Asy’arie, 1992 :95), bahwa di dalam masyarakat selalu diketemukan
usaha untuk melepaskan diri dari jeratan jaring-jaring kebudayaan tertentu
yang dianggap tidak sesuai.
Ketiga, faktor ideologis antiwesternisme. Westernisme
merupakan suatu pemikiran yang membahayakan Muslim dalam
mengaplikasikan syariat Islam, sehingga simbol-simbol Barat harus
dihancurkan demi penegakan syariat Islam.
Keempat, faktor kebijakan pemerintah. Ketidakmampuan
pemerintah di negara-negara Islam untuk bertindak memperbaiki situasi
atas berkembangnya frustasi dan kemarahan sebagian umat Islam
disebabkan dominasi ideologi, militer maupun ekonomi dari negera-
negara besar. Dalam hal ini elit-elit pemerintah di negeri-negeri Muslim
belum atau kurang dapat mencari akar yang menjadi penyebab munculnya
tindak kekerasan (radikalisme) sehingga tidak dapat mengatasi
problematika sosial yang dihadapi umat. Hal yang demikian diungkapkan
oleh Mahathir Muhammad dalam sambutannya pada acara pertemuan
negara-negara OKI di Kuala Lumpur Malaysia tanggal 1–3 April 2002
(SOLOPOS, 2002: 4). Di negeri ini bisa dilihat tidak tuntasnya
penyelesaian masalah korupsi, aset negara yang banyak lari ke luar
negeri, pencaplokan wilayah Indonesia oleh Malaysia, dan disedotnya
kekayaan negara oleh konspirator politik.
Di samping itu, keenam, faktor media massa (pers) Barat yang
selalu memojokkan umat Islam juga menjadi faktor munculnya reaksi
dengan kekerasan yang dilakukan oleh umat Islam. Propaganda-
propaganda lewat pers memang memiliki kekuatan dahsyat dan sangat
sulit untuk ditangkis sehingga sebagian “ekstrim” yaitu perilaku radikal
sebagai reaksi atas apa yang ditimpakan kepada komunitas Muslim.Lihat

27
misalnya film Fitna, penggambaran tentang kiamat (film, 2012), dan
lainnya.

28
BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Radikalisme yang berkembang dan muncul di Indonesia sebagai
wujud dari persoalan fundamental tentang legitimasi kebenaran dan nilai-nilai
yang harus dianut dan diikuti oleh masyarakat. Munculnya paham Takfirisme
telah melahirkan pemahaman, pemaknaan, dan penilaian atas persoalan
kehidupan masyarakat yang terjadi menjadi cenderung berpihak nilai-nilai
tertentu. Keberpihakan pada nilai-nilai tertentu ini telah berpotensi
menimbulkan pada disintegrasi bangsa dan lunturnya nilai-nilai Pancasila.
Radikalisme berpotensi menjadi paham yang dapat mengganggu persatuan
dan kesatuan bangsa. Metode Pancasila sebagai upaya untuk menangkal
radikalisme menjadi sangat penting dan dibutuhkan bagi negara dan
masyarakat. Pancasila sebagai sistem nilai dan sistem negara perlu diperkuat
dengan pembentukan standar kriteria dan validitas nilai yang dapat dipercaya
dan diakui oleh seluruh lapisan masyarakat. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa metode Pancasila sebagai upaya dalam menangkal radikalisme perlu
diperkuat dengan perumusan standar kriteria dan validitas nilai.
Jihad dalam agama Islam adalah suatu upaya bersungguh-sungguh
untuk melaksanakan perintah Allah yang bertujuan untuk kemasalatan umat
manusia dengan cara-cara tidak bertentangan dengan kemanusiaan. Terorisme
adalah perbuatan yang menghalalkan segala cara untuk mencapai suatu tujuan
termasuk cara kekerasan, oleh karena itu jelas terorisme bertentangan dengan
ajaran agama Islam. Terorisme adalah suatu usaha dan kegiatan seseorang atau
sekelompok orang yang mempunyai tujuan yang sama di mana gerakan
tersebut penuh ancaman yang menakutkan, dan berwujud kekerasan dengan
cara yang brutal dan cenderung menimbulkan korban, baik harta maupun jiwa,
serta lingkungan, baik terhadap musuh yang menjadi sasaran, maupun bukan
musuh yang ada di sekitarnya.

29
B. Saran
1. Perlunya ada kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada kaum lemah,
sekaligus perlakuan yang adil bagi setiap warga di muka hukum. Dengan
tumbuhnya kehidupan yang lebih baik, menjadikan kelompok- kelompok
kritis akan merespon secara reaktif dengan mengedepankan pemikiran
dan gerakan radikal lewat payung agama secara subyektif.
2. Jika kelahiran radikalisme disebabkan antara lain oleh tersumbatnya
komunikasi maka pemerintah harus mulai terbuka dan membuka diri
untuk dapat terjadinya komunikasi guna memecahkan persoalan
kebangsaan secara partisipatif.
3. Para tokoh agama harus mulai memberi contoh yang baik dan konsisten,
sehingga mereka terutama kaum muda tumbuh kepercayaan lagi untuk
mengikuti jejaknya atau mendiskusikan berbagai problema kehidupan
sosial keagamaan secara arif

30
DAFTAR PUSTAKA

Ali, A. S. (2009). Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa. Jakarta:


LP3ES.
Abdul Jamil, Perlawanan Kiai Desa: Pemikiran dan Gerakan Islam KH. Ahmad
Rifa‟I Kalisasak, Yogyakarta: LKIS, 2001
Abul al-A‟la al-Maududi, et.al, Jihad Perang Suci Islam, diterjemahkan Asep
Hikmat dan Bahrun Abu Bakar, Bandung: Risalah, 1984
Abdul Aziz Thaba. (1995). Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. Jakarta:
Gema Insani Press.
Abdul Rahman Dahlan, Kaidah-Kaidah Penafsiran Al-Qur‟an , Bandung : Mizan,
1997
Abdullah Yusuf Ali, Qur‟an Terjemahan dan Tafsirnya, diterjemahkan oleh Ali
Audah (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.
Azyumardi Azra. (1996). Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalis,
Modernisme hingga Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina.
Bakry, N. M. (2003). Pancasila Yuridis Kenegaraan. Yogyakarta: Liberty.
Bukhori, Mochtar, 1986, “Radikalisme Agama – Sebuah catatan Awal” dalam
pesantren, No. 4/Vol. III. Hal 55-69
Burrel, RM, ed, 1995, Fundamentalisme Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ofsett (Terjemahan)
Hakim, L., & Ekapti, R. F. (2019). Penguatan Pendidikan Pancasila Sebagai
Jatidiri, Refleksi, dan Tantangan Dalam Membatasi Paham
Radikalisme Mahasiswa di Perguruan Tinggi Islam Ponorogo. Muslim
Heritage, 4(2), 403 419.
https://doi.org/10.21154/muslimheritage.v4i2.1850
Ibnu Ḥajar al-Asqalāni, Kitāb Jihād Wa alSsiyār min Fath al-Bāir, Beirut: Dar al-
Balaghah, 1985
Imarah, Muhammad. (1999). Fundamentalisme dalam Perspektif Pemikiran Barat
dan Islam. Terjemah oleh Abdul Hayyie al-Kattani. Jakarta: Gema Insani
Press.
Kaelan. (1996). Filsafat Pancasila Disusun Berdasarkan GBPP dan SAP Tahun
1995. Yogyakarta: Paradigma.
Kaelan. (2015). Liberalisasi Ideologi Negara Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
Kaelan. (2016). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
Kuntowijoyo. (1997). Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan.

31
Kusman, A. P. (2020). Mengawasi “Radikalisme” Pendekatan Kultural dan
Kebijakan Illiberal Paska Momen 212. Prisma, 39(1), 16 27.
Mukhlisin, Bahaya Radikalisme, http://icrp-online.org/112011/post-804.html,
diakses 9 Maret 2012.
Munip, A. (2012). Menangkal Radikalisme Agama di Sekolah. Jurnal Pendidikan
Islam, 1(2), 159 181. https://doi.org/10.14421/jpi.2012.12.159-181
Nasution, Harun. (1995). Islam Rasional. Bandung: Mizan.
Nurcholish Madjid. (1995). Pintu-Pintu Menuju Tuhan. Jakarta: Paramadina.
Nurgiansah, T. H., Hendri, & Khoerudin, C. M. (2021). Role Playing dalam
Pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Jurnal
Kewarganegaraan, 18(1), 56 64. https://doi.org/10.24114/jk.v18i1.22597
Qodir, Z. (2011). Hubungan Penguasa dan Rakyat dalam Praktik Politik Islam,
serta Gagasan Hubungan Agama dan Negara di Indonesia. In J.
Mardimin (Ed.), Mempercakapkan Relasi Agama & Negara, Menata
Ulang Hubungan Agama dan Negara di Indonesia (hal. 26 57).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Qodir, Z. (2014). Radikalisme Agama di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahman, Fazlur. (1982). Islam and Modernity. Chicago: The University of
Chicago Press.
Riddel, Peter G. (2002). “The Diverse Voices of Political Islam in Post-Suharto
Indonesia”, Islam and Christian-Muslim Relations. Vol. 13, No. 1.
Rohimin, Jihad Makna dan Hikmah, Jakarta: Erlangga, 2006.
Sudjito, & Muhaimin, H. (2018). Membudayakan Nilai-Nilai Pancasila dan
Upaya Menangkal Tumbuhnya Radikalisme di Indonesia. WASKITA:
Jurnal Pendidikan Nilai dan Pembangunan Karakter, 2(1), 1 16.
https://doi.org/10.21776/ub.waskita.2018.002.01.1
The American College Dictionary (1961: 998)
Watt, William Montgomery. (1988). Islamic Fundamentalism and Modernity.
London: T.J. Press (Padstow) Ltd.
Zuly Qodir. (2011). Sosiologi Agama: Esai-esai Agama di Ruang Publik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

32

Anda mungkin juga menyukai